Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan pada Pengeringan Ubi Jalar dengan Alat Pengering Surya Tipe Rak.

(1)

UJI LAMA PENGERINGAN DAN TEBAL TUMPUKAN PADA

PENGERINGAN UBI JALAR DENGAN ALAT PENGERING

SURYA TIPE RAK

SKRIPSI

Oleh

JONDI HARRYS PARLINDUNGAN MARBUN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

UJI LAMA PENGERINGAN DAN TEBAL TUMPUKAN PADA

PENGERINGAN UBI JALAR DENGAN ALAT PENGERING

SURYA TIPE RAK

SKRIPSI

Oleh

JONDI HARRYS PALINDUNGAN MARBUN 060308044/TEKNIK PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Urtara

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

(Ainun Rohanah, STP.,M.Si) (

Ketua Anggota

Ir. Edi Susanto, M.Si)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(3)

ABSTRAK

JONDI HARRYS PARLINDUNGAN MARBUN: Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan Pada Pengeringan Ubi Jalar dengan Alat Pengering Surya Tipe Rak, dibimbing oleh AINUN ROHANAH dan EDI SUSANTO.

Pengeringan ubi jalar dengan alat pengering surya tipe rak untuk membuat tepung ubi jalar dapat dijadikan solusi penanganan masalah pangan di Indonesia karena produktivitas ubi jalar sangat tinggi dan dapat dijadikan berbagai jenis makanan sumber karbohidrat pengganti beras dan gandum, sekaligus dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 di Laboratium Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian USU menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu lama pengeringan: 2, 3, dan 4 hari dan tebal tumpukan: 0,5; 1; dan 1,5 cm. Parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen, dan organoleptik warna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air dan rendemen, dan berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik warna. Tebal tumpukan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air, tetapi berbengaruh sangat nyata terhadap rendemen dan nilai organoleptik warna. Interaksi lama pengeringan dan tebal tumpukan berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter. Hasil terbaik diperoleh pada lama pengeringan 2 hari dan tebal tumpukan 1 cm.

Kata kunci : Pengeringan, Ubi jalar, Lama pengeringan, Tebal tumpukan, dan Tepung ubi jalar.

ABSTRACT

JONDI HARRYS PARLINDUNGAN MARBUN: The Effect of Drying Time and Heap Thickness on Drying of Sweet Potatoes Using Tray Type Solar Dryer, supervised by AINUN ROHANAH and EDI SUSANTO.

Drying of sweet potatoes in tray tipe solar dryer to make sweet potato flour can be a solution of food problem in Indonesia as the productivity of sweet potatoes is very high and can be made into various of type carbohydrate source of food to substitute rice and grist, and also can reduce fuel consumption. The research was performed in May-June 2010 at Agricultural Engineering Laboratory, Fakultas Pertanian USU using factorial completely randomized design with two factors i.e: drying duration: 2,3, and 4 days and heap thickness : 0.5, 1, and 1,5 cm. Parameters analysed were moisture content, yield, and organoleptic values of colour.

The results showed that the drying time had highly significant effect on moisture content and yield, and had significant effect on organoleptic value of colour. Heap thickness had no significant effect on moisture content, but had highly significant effect on yield and organoleptic value of colour. The interaction of drying time and heap thickness had highly significant effect on all parameters. The best result was obtained in the combination of drying time of 2 days and heap thickness of 1 cm.

Keywords: drying, sweet potato, drying time, heap thickness, and sweet potato flour.


(4)

RIWAYAT HIDUP

JONDI HARRYS PARLINDUNGAN MARBUN dilahirkan di P.Siantar pada tanggal 26 Maret 1988 dari ayah P. Marbun dan ibu M. Simanjuntak. Anak ketiga dari enam bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 P.Siantar dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Depertemen Teknologi Pertanian Program Studi Teknik Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Pabrik Lateks Pekat PTPN III Kebun Rambutan Tebing Tinggi pada tahun 2009.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan pada Pengeringan Ubi Jalar dengan Alat Pengering Surya Tipe Rak” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Ainun Rohanah, STP, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah membesarkan dan mendidik penulis selama ini. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, serta rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Maret 2010


(6)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Ubi Jalar ... 5

Pengeringan ... 6

Pengeringan Alami ... 8

Pengeringan Buatan ... 10

Teori Pengeringan ... 12

Alat-alat Pengering ... 14

Pengering Surya Tipe Rak ... 15

Pengeringan Ubi Jalar... 16

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Metode Penelitian ... 19

Model Rancangan Penelitian ... 20

Prosedur Penelitian ... 21

Parameter yang diamati ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Lama Pengeringan ... 24

Pengaruh Tebal Tumpukan ... 25

Rendemen ... 27

Kadar Air ... 32

Nilai Organoleptik Warna (Numerik) ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(7)

DAFTAR TABEL

Hal. 1. Skala hedonik untuk warna tepung ubi jalar ... 23 2. Pengaruh lama pengeringan terhadap parameter yang diamati ... 24 3. Pengaruh tebal tumpukan terhadap parameter yang diamati ... 25 4. Uji LSR efek utama pengaruh lama pengeringan terhadap

Rendemen tepung ubi jalar (%) ... 27 5. Uji LSR efek utama pengaruh tebal tumpukan terhadap

rendemen tepung ubi jalar (%) ... 29 6. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi antara lama pengeringan

dan tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar (%) ... 31 7. Uji LSR efek utama pengaruh lama pengeringan terhadap

kadar air tepung ubi jalar (%) ... 32 8. LSR efek utama pengaruh interaksi antara lama pengeringan

dan tebal tumpukan terhadap kadar air tepung ubi jalar (%)... 34 9. Uji LSR efek utama pengaruh lama pengeringan terhadap

nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar (%) ... 36 10. Uji LSR efek utama pengaruh tebal tumpukan terhadap

nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar (%) ... 37 11. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan

tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik)


(8)

DAFTAR GAMBAR

Hal. 1. Hubungan lama pengeringan terhadap rendemen tepung

ubi jalar yang dihasilkan ... 28 2. Hubungan tebal tumpukan terhadap rendemen tepung

ubi jalar yang dihasilkan ... 29 3. Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan

terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan ... 31 4. Hubungan lama pengeringan terhadap kadar air tepung

ubi jalar yang dihasilkan ... 33 5. Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan

terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan ... 35 6. Hubungan lama pengeringan terhadap nilai organoleptik

warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan ... 36 7. Hubungan tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik

warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan ... 38 8. Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan

terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

1. Gambar alat pengering surya tipe rak tampak samping ... 45

2. Gambar alat pengering surya tipe rak tampak atas ... 46

3. Gambar alat pengering surya tipe rak tampak depan ... 47

4. Flow chart ( bagan alir) penelitian ... 48

5. Data pengamatan rendemen (%) ... 49

6. Data pengamatan kadar air (%) ... 50

7. Data pengamatan organoleptik warna (numerik)... 51

8. Data hasil penelitian (pengeringan) ... 54

9. Data hasil penelitian (analisa laboratorium) ... 66

10. Dokumentasi ... 70


(10)

ABSTRAK

JONDI HARRYS PARLINDUNGAN MARBUN: Uji Lama Pengeringan dan Tebal Tumpukan Pada Pengeringan Ubi Jalar dengan Alat Pengering Surya Tipe Rak, dibimbing oleh AINUN ROHANAH dan EDI SUSANTO.

Pengeringan ubi jalar dengan alat pengering surya tipe rak untuk membuat tepung ubi jalar dapat dijadikan solusi penanganan masalah pangan di Indonesia karena produktivitas ubi jalar sangat tinggi dan dapat dijadikan berbagai jenis makanan sumber karbohidrat pengganti beras dan gandum, sekaligus dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 di Laboratium Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian USU menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu lama pengeringan: 2, 3, dan 4 hari dan tebal tumpukan: 0,5; 1; dan 1,5 cm. Parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen, dan organoleptik warna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air dan rendemen, dan berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik warna. Tebal tumpukan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air, tetapi berbengaruh sangat nyata terhadap rendemen dan nilai organoleptik warna. Interaksi lama pengeringan dan tebal tumpukan berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter. Hasil terbaik diperoleh pada lama pengeringan 2 hari dan tebal tumpukan 1 cm.

Kata kunci : Pengeringan, Ubi jalar, Lama pengeringan, Tebal tumpukan, dan Tepung ubi jalar.

ABSTRACT

JONDI HARRYS PARLINDUNGAN MARBUN: The Effect of Drying Time and Heap Thickness on Drying of Sweet Potatoes Using Tray Type Solar Dryer, supervised by AINUN ROHANAH and EDI SUSANTO.

Drying of sweet potatoes in tray tipe solar dryer to make sweet potato flour can be a solution of food problem in Indonesia as the productivity of sweet potatoes is very high and can be made into various of type carbohydrate source of food to substitute rice and grist, and also can reduce fuel consumption. The research was performed in May-June 2010 at Agricultural Engineering Laboratory, Fakultas Pertanian USU using factorial completely randomized design with two factors i.e: drying duration: 2,3, and 4 days and heap thickness : 0.5, 1, and 1,5 cm. Parameters analysed were moisture content, yield, and organoleptic values of colour.

The results showed that the drying time had highly significant effect on moisture content and yield, and had significant effect on organoleptic value of colour. Heap thickness had no significant effect on moisture content, but had highly significant effect on yield and organoleptic value of colour. The interaction of drying time and heap thickness had highly significant effect on all parameters. The best result was obtained in the combination of drying time of 2 days and heap thickness of 1 cm.

Keywords: drying, sweet potato, drying time, heap thickness, and sweet potato flour.


(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras dan terigu sebagai makanan pokok sumber karbohidrat telah menjadi masalah pangan belakangan ini. Maka perlu dikembangkan pemanfaatan bahan pangan alternatif yang merupakan bahan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat baik sebagai pengganti makanan pokok beras atau substitusi tepung terigu. Umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat dan sumber bahan pangan lokal mempunyai potensi untuk menjawab masalah tersebut. Salah satu umbi-umbian yang dapat dijadikan sumber pangan alternatif tersebut, karena merupakan produk lokal dan merupakan sumber karbohidrat adalah ubi jalar.

Selain dikonsumsi langsung, ubi jalar dapat diolah menjadi bahan setengah jadi yaitu pati maupun tepung. Pati dibuat dengan mengekstrak umbi yang telah diparut. Sedangkan tepung diperoleh dengan cara mencuci umbi, mengupas, mengiris, menjemur, dan menghancurkan (menepungkan) lalu diayak pada ukuran 80 mesh. Pati dan tepung ubi jalar dapat digunakan untuk membuat aneka jenis kue, mie, dan es krim (Balitkabi, 2008).

Ubi jalar tidak tahan disimpan lama. Untuk memperpanjang masa simpan, umbi perlu diolah menjadi bahan-bahan jadi atau setengah jadi. Ada empat kelompok produk olahan ubi jalar, yaitu: 1) hasil olahan ubi jalar segar, seperti ubi rebus, ubi goreng, ubi timus, kolak, nogosari, getuk, dan pie, 2) produk siap santap, misalnya keremes, saos, selai, hasil substitusi dengan tepung seperti biskuit, roti, dan kue, bentuk olahan dengan buah-buahaan seperti manisan dan


(12)

asinan, 3) produk siap masak seperti chips, mie, dan bihun, dan 4) produk bahan baku yang biasanya kering, setengah jadi, awet dan dapat disimpan lama, misalnya irisan ubi kering, tepung, dan pati, bisa juga menjadi campuran utama dalam membuat saos tomat, selai, dan sambal (Limbongan dan Soplanit, 2007).

Pengolahan ubi jalar menjadi bentuk setengah jadi misalnya sawut, chip, tepung dan pati sangat memungkinkan komoditas ini dapat disimpan lebih lama dan lebih praktis sehingga kesinambungan penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan lebih lanjut (bentuk jadi) menjadi lebih terjamin (Agustyanto, 2004).

Dalam usaha mengembangkan pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan pangan alternatif melalui pengolahan untuk menambah jenis-jenis makanan baru (diversivikasi pangan) dan mengatasi kerusakan-kerusakan pascapanen seperti yang telah diuraikan sebelumnya terdapat satu proses yang berperan penting yaitu pengeringan.

Pengeringan merupakan salah satu proses pengolahan pangan yang sudah lama dikenal. Tujuan dari proses pengeringan adalah menurunkan kadar air bahan sehingga menjadi lebih awet, mengecilkan volume bahan sehingga memudahkan dan menghemat biaya pengangkutan, pengemasan dan penyimpanan. Di samping itu banyak bahan hasil pertanian yang hanya digunakan setelah dikeringkan terlebih dahulu seperti tembakau, kopi, teh, dan biji-bijian. Namun ada kerugian yang ditimbulkan selama pengeringan yaitu terjadinya perubahan sifat fisik dan kimiawi bahan serta terjadinya penurunan mutu bahan (Rachmawan, 2001).

Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan suatu alat pengering (artificial drier), atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan energi langsung dari sinar matahari (Winarno dkk., 1980).


(13)

Pengeringan yang baik memerlukan panas yang seragam dan laju pengeringannya tidak terlalu cepat, agar tidak terjadi keretakan dan kadar airnya seragam. Syarat ini sukar dipenuhi dengan penjemuran langsung dengan matahari, karena intensitas panas matahari sulit dikendalikan. Untuk itu sangat diperlukan alat pengering buatan yang murah harganya dan rendah biaya operasinya (Soetoyo dan Syafaruddin, 1981).

Pengeringan dengan energi matahari adalah metode pengeringan yang murah harganya dan rendah biaya operasinya mengingat energi panas matahari dapat diperoleh dengan mudah dan melimpah jumlahnya sepanjang tahun, tetapi memiliki kekurangan bahwa pengeringan dengan menggunakan energi matahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan seperti kecepatan angin, kelembaban udara, kondisi awan, curah hujan dan lain sebagainya. Namun dapat dikembangkan alat pengering surya yang menggunakan tenaga panas matahari melalui sebuah pengumpul/kolektor panas yang memanaskan udara yang berada di atasnya kemudian mengalirkan udara panas hasil pemanasan tersebut dengan kipas/fan. Dengan adanya perlakuan-perlakuan tersebut pada alat pengering surya maka suhu pengeringan dapat ditingkatkan dan aliran udara dapat diatur pada kecepatan yang konstan dan kontiniu. Hal tersebut dapat memperbaiki kelemahan pengeringan surya tetapi tetap murah, mengingat harga bahan bakar sangat mahal belakangan ini.

Tebal tumpukan bahan yang dikeringkan dan lama proses pengeringan berlangsung sangat berpengaruh terhadap hasil pengeringan yang dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian terhadap faktor-faktor tersebut.


(14)

Tujuan Penelitian

Menguji pengaruh lama pengeringan dan tebal tumpukan pada pengeringan ubi jalar dengan alat pengering surya tipe rak.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan bagi penulis untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai sumber informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Hipotesis Penelitian

Adanya pengaruh lama pengeringan dan tebal tumpukan serta interaksi kedua faktor tersebut pada pengeringan ubi jalar dengan alat pengering surya tipe rak.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Jalar

Ubi jalar atau ketela rambat atau sweet potato diduga berasal dari benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropis pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia (BPPT, 2008).

Adapun sistematika tanaman ubi jalar adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub-Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomea

Spesies : Ipomea batatas L. (Wikipedia, 2010).

Ada dua jenis ubi jalar, jenis kering dan jenis basah. Ubi jalar jenis kering memiliki kulit berwarna cerah dan setelah dimasak memiliki daging umbi berwarna kuning cerah atau oranye pucat yang keras, kering, dan bertekstur seperti tepung. Ubi jalar jenis basah, atau sering disebut yam, memiliki daging


(16)

umbi berwarna kuning tua atau oranye kemerah-merahan yang lembut, basah, dan manis. Ubi jalar yang baik dari kedua jenis tersebut adalah yang bersih, halus, bentuknya utuh, dan keras. Tetapi umbi-umbi yang bentuknya rusak, jelek, atau busuk harus dihindarkan atau dibuang karena akan menimbulkan limbah atau sisa yang tinggi pada persiapan pengolahannya (Vail dkk., 1973).

Ubi Jalar atau juga biasa disebut ketela rambat merupakan tanaman palawija penting sesudah jagung, semakin meningkatnya kebutuhan ubi jalar baik sebagai konsumsi dalam rangka mendukung program diversifikasi pangan maupun sebagai bahan baku industri lanjutan seperti mie, saus, pakan ternak, dan sebagainya (Widowati, 2000).

Pada saat panen raya banyak umbi ubi jalar yang cacat atau rusak atau dibiarkan begitu saja karena harga di pasaran terlalu rendah, maka sebaiknya umbi-umbi tersebut diolah secara kering (diberikan perlakuan pengeringan) seperti dijadikan tepung atau keripik ubi jalar yang harga permintaan dari para konsumen/industri pembuat macam-macam panganan akan lebih baik atau menguntungkan (Kartasapoetra, 1994).

Pengeringan

Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang paling tua. Cara ini merupakan suatu proses yang ditiru dari alam, kita telah memperbaiki pelaksanaanya pada bagian-bagian tertentu. Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan pangan yang paling luas digunakan (Desrosier, 1988).

Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan


(17)

kadar air keseimbangan udara (atmosfir) normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw) yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi (Rachmawan, 2001).

Proses pengeringan dilakukan dengan cara penguapan air. Cara ini dilakukan dengan menurunkan kelembaban nisbi udara dengan mengalirkan udara panas di sekeliling bahan, sehingga tekanan uap air bahan lebih besar daripada tekanan uap air di udara. Perbedaan tekanan ini menyebabkan terjadinya aliran uap air dari bahan ke udara (Adnan, 1982).

Tujuan dari pengeringan pada prinsipnya adalah menurunkan kadar air suatu produk atau bahan pertanian sehingga memenuhi rencana penggunaan selanjutnya (Matondang, 1989).

Selain memberikan manfaat melindungi bahan pangan yang mudah rusak, pengeringan dengan pengurangan air juga menurunkan bobot dan memperkecil volume bahan pangan tersebut, sehingga mengurangi biaya pengangkutan dan penyimpanan. Pengeringan dapat pula menjadikan bahan pangan sesuai untuk pengolahan lebih lanjut, sehingga memudahkan penanganan, pengemasan, pengangkutan dan konsumsi (Iradiasi, 1991).

Disamping memberikan keuntungan, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lainnya. Kerugian yang lainnya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum digunakan, misalnya harus dibasahkan kembali (Winarno, 1980).


(18)

Kecepatan pengeringan lempengan bahan basah yang tipis akan berbanding terbalik dengan kuadrat ketebalannya. Jadi kecepatan pengeringan potongan bahan yang mempunyai ketebalan satu pertiga dari semula adalah sembilan kali kecepatan pengeringan potongan asal. Oleh karena itu lama pengeringan dapat dipersingkat dengan pengurangan ukuran bahan yang dikeringkan (Rachmawan, 2001).

Secara garis besar pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami (natural drying) dan pengeringan buatan (artificial drying). Pengeringan secara alami dapat dilakukan dengan cara menjemur di bawah sinar matahari (sun drying). Sedangkan pengeringan secara buatan dilakukan dengan menggunakan alat pengering (Taib dkk., 1988).

Pengeringan Alami

Pengeringan alami atau pengeringan matahari telah digunakan pada daerah beriklim panas untuk memproduksi buah-buahan atau biji-bijian kering. Pengeringan ini dapat dilakukan dengan penyinaran matahari langsung atau di daerah yang ternaung dimana pengeringan dilakukan dengan udara kering panas. Terbukti bahwa buah-buahan kering hanya dihasilkan di daerah dimana keadaan cuaca mendukung seperti temperatur yang relatif tinggi, kelembaban relatif

rendah, dan sedikit atau bahkan tidak ada curah hujan (Nickerson dan Ronsivalli, 1980).

Pengeringan dengan sinar matahari lebih dikenal masyarakat sebagai pengeringan tradisional dan telah umum dilakukan oleh para petani kita sejak dahulu, yang hasilnya dapat dikatakan baik dibanding dengan cara pengeringan tradisional lainnya, seperti penataan hasil tanaman pada para-para di atas dapur,


(19)

pengeringan dengan penggorengan tanpa minyak, dan lain-lain. Pengeringan dengan sinar matahari biasanya menghasilkan mutu yang baik, asalkan cara-cara pengeringan yang dianjurkan diikuti dengan seksama (Kartasapoetra, 1994).

Pengeringan surya atau pengeringan dengan cara penjemuran mempunyai kelebihan yaitu biayanya rendah karena memerlukan alat-alat yang relatif lebih murah. Namun memiliki beberapa kelemahan yaitu penjemuran sangat tergantung pada cuaca, sehingga kontinuitas pengeringan tidak dapat dijaga, misalnya kalau turun hujan pengeringan dihentikan. Demikian pula suhu, kelembaban udara dan kecepatan udara tidak dapat diatur, sehingga kecepatan pengeringan tidak seragam. Mutu hasil penjemuran umumnya lebih rendah daripada hasil menggunakan alat. Hal ini disebabkan waktu pengeringan yang lama, keadaan pengeringan dan sanitasi sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadi kerusakan selama penjemuran besar (Sitinjak dan Saragih, 1995).

Kecepatan pengeringan serta kualitas hasil yang diperoleh dengan cara penjemuran sangat dipengaruhi oleh:

1. Keadaan cuaca (suhu udara dan kelembaban/RH)

Suhu udara akan mempengaruhi kecepatan penjemuran. Pada suhu yang tinggi, kelembaban udara akan semakin rendah. Akibatnya kemampuan udara tersebut untuk menangkap uap air dari bahan yang dijemur akan semakin meningkat.

2. Jenis lamporan

Setiap jenis bahan yang digunakan sebagai lamporan mempunyai kecepatan perambatan panas tertentu yang pada gilirannya akan mempengaruhi kecepatan pengeringan.


(20)

3. Sifat bahan yang dikeringkan

Kadar air awal bahan dan ukuran partikel bahan akan mempengaruhi kecepatan pengeringan. Bahan yang mempunyai kadar air awal tinggi dan ukuran partikel besar akan lebih lama waktu pengeringannya daripada bahan yang kadar air awalnya rendah dan ukuran partikelnya kecil.

4. Cara penjemuran

Dalam hal ini ketebalan tumpukan bahan dan frekuensi pembalikan bahan akan sangat berpengaruh pada kecepatan pengeringan.

(Rachmawan, 2001).

Selama proses pengeringan berlangsung, ketidakseragaman ketebalan lapisan bahan mempengaruhi proses pengeringan itu sendiri. Udara yang lewat dari bahan lebih banyak pada lapisan yang tipis daripada lapisan yang tebal (Matondang, 1989).

Pengeringan Buatan

Penggunaan panas yang berasal dari api untuk mengeringkan bahan pangan dijumpai secara bebas, baik di dunia baru maupun dunia lama. Orang-orang kuno mengeringkan bahan pangan di tempat-tempat kediaman mereka. Orang-orang Indian Amerika sebelum Colombus menggunakan panas dari api untuk mengeringkan bahan pangan. Tetapi kamar dehidrasi dengan udara panas baru ditemukan pada tahun 1795. Di Perancis Masson dan Challet mengembangkan suatu alat pengering sayuran yang terdiri dari udara panas (105°F) yang mengalir di atas irisan sayuran yang tipis. Pada prinsipnya semakin lama suatu proses pengeringan dilakukan maka air yang diuapkan dari bahan akan semakin banyak. (Desrosier, 1988).


(21)

Pengeringan adiabatik adalah pengeringan dimana panas dibawa ke alat pengering oleh udara panas. Udara panas ini akan memberikan panas pada bahan pangan yang akan dikeringkan dan mengangkut uap air yang dikeluarkan oleh bahan. Sedangkan pengeringan isotermik adalah pengeringan dimana bahan yang akan dikeringkan berhubungan langsung dengan lembaran atau plat logam panas (Winarno, 1980).

Dalam pengeringan hasil pertanian secara mekanis, udara panas dialirkan dengan tekanan dari bawah sehingga tumpukan hasil pertanian akan mulai kering dari bagian dasar menuju ke atas. Dengan demikian terbentuklah zona pengeringan yang bergerak perlahan-lahan naik ke atas dengan berlanjutnya proses pengeringan (Moedjijarto, 1979).

Mesin pengering yang sederhana terdiri atas satuan baling-baling kipas angin, satuan alat pemanas, satuan alat pengering, dan satuan motor penggerak. Ada mesin pengering yang bekerja secara terus-menerus dan ada pula yang terputus-putus; sedangkan kontak panas dengan bahan yang dikeringkan dapat secara langsung atau tidak langsung (Hardjosentono dkk., 2000).

Pengeringan menggunakan alat mekanis (pengeringan buatan) yang menggunakan tambahan panas memberikan beberapa keuntungan, diantaranya tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. Pada pengeringan buatan dibutuhkan energi untuk memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat pengering, memanaskan bahan sampai tercapai suhu yang dipertahankan, untuk penguapan, dan untuk menggerakkan udara. Kecepatan pengeringan untuk setiap bahan akan


(22)

berbeda-beda. Lamanya kontak antara udara panas dengan bahan selama pengeringan juga akan berpengaruh. Semakin lama kontak antara udara panas dengan bahan maka semakin cepat pengeringan berlangsung (Taib dkk., 1988).

Pada pengeringan buatan atau mekanis; suhu, kelembaban nisbi udara serta kecepatan pengeringan dapat diatur dan diawasi. Sebagai sumber tenaga untuk mengalirkan udara dapat digunakan motor bakar atau motor listrik. Sumber energi yang dapat digunakan pada unit pemanas adalah gas, minyak bumi, batubara, dan elemen pemanas listrik (Rachmawan,2001).

Teori Pengeringan

Proses pengeringan adalah poses menurunkan kadar air suatu bahan sampai pada batas kandungan air yang ditentukan. Dalam wet basis, jumlah (massa) air yang diuapkan dihitung berdasarkan selisih massa air mula-mula (mw1) dan

massa air akhir (mw2).

Mw

∆ = mw1-mw2

Mw

...(1)

= massa air yang diuapkan pada proses pengeringan mw1

m

= massa air mula-mula

w2

dimana

= massa air akhir

mw1 = Ko

K

.m ...(2)

o

m = massa total bahan sebelum dikeringkan = kadar air mula-mula dalam wet basis (%)


(23)

Kadar air akhir (K) dicari dengan menggunakan persamaan : K = md mw mw + 2

2 ...(3)

K = kadar air setelah proses pengeringan dalam wet basis (%) md = massa kering bahan

Sehingga mw2 K md K − 1 .

= ...(4)

Sehingga didapatkan :

Mw

∆ = Ko.

K md K − 1 . m - Mw ∆ = K mw m K K m Ko −− − − 1 ) .( ) 1 ( . 1 Mw ∆ = K m Ko m K K m Ko − − − − 1 ) . .( ) 1 ( . Mw ∆ = K K Ko m −− 1 ) ( ...(5)

Persamaan diatas digunakan untuk menghitung massa air yang diuapkan dalam suatu bahan pada proses pengeringan ( Henderson dan Perry, 1976).

Kandungan air suatu bahan dapat dinyatakan dalam wet basis atau dry basis. Kandungan kelembaban dalam wet basis menyatakan perbandingan massa air dalam bahan dengam massa total bahan. Pada dry basis, kandungan air dihitung dengan membagi massa air dalam bahan dengan massa keringnya saja. Keduanya baik wet basis dan dry basis dinyatakan dalam persen kelembaban :

Mw =

md mw

mw


(24)

Mw = Wet basis mw = massa air

md = massa kering bahan

Md = md mw

...(7)

Md = dry basis

( Henderson dan Perry, 1976).

Alat-alat pengering

Terdapat berbagai jenis alat pengering buatan antara lain:

1. Yang berbentuk kabinet (rak), dilengkapi dengan rak-rak (3 atau 4 buah) sebagai wadah atau tempat hasil pertanian yang akan dikeringkan, rak-rak ditempatkan secara tersusun dalam alat dengan penyebaran udara panas ke dalamnya selama waktu yang telah ditentukan, pengeringan akan berlangsung dengan baik mendekati pengeringan sempurna dengan sinar matahari.

2. Yang berbentuk kabinet dengan ruangan lebih luas dan lebih besar, pada alat ini udara panas dialirkan ke dalam ruangannya melalui pipa-pipa di bagian bawah dan bagian atas atau lebih jelasnya pipa di bagian lantai dan pipa-pipa di bagian atap alat pengering ini.

3. Yang berbentuk terowongan (tunnel dryer), pada dasarnya alat pengering ini relatif sama dengan kedua bentuk alat pengering di atas hanya karena khusus digunakan untuk menangani sejumlah besar hasil pertanian maka ruang pengeringannya dibuat lebih luas.


(25)

4. Yang berbentuk rotari (rotary dryer), merupakan alat pengering yang dapat berputar, yang khusus diperuntukkan pengeringan hasil pertanian berbentuk biji-bijian, seperti padi, jagung pipilan, kedelai, sorgum, dan lain-lain.

5. Yang berbentuk silindris (drum dryer), alat pengering ini digunakan khusus bagi pengeringan bahan cairan yang berasal dari hasil pertanian, seperti sari buah (air buah-buahan), saridele ( susu buatan dari bahan kedelai), dan lain-lain yang berbentuk tepung.

6. Yang dilengkapi dengan sistem penyemprotan (spray dyer), alat pengering ini berfungsi mengeringkan bahan cairan yang juga berasal dari hasil pertanian, yang ke dalam alat pengering ini bahan cairan disemprotkan melalui sebuah sprayer ke dalam ruangan yang kondisinya panas, sehingga kandungan air pada cairan akan menguap dan tinggallah bagian bubuknya (tepung, powder), yang selanjutnya meluncur ke luar sebagai bubuk hasil pengeringan yang memuaskan (Kartasapoetra, 1994).

Pengering Surya Tipe Rak

Tray dryer atau alat pengering berbentuk rak, mempunyai bentuk persegi dan di dalamnya berisi rak-rak, yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Pada umumnya rak tidak dapat dikeluarkan. Beberapa alat pengering jenis ini rak-raknya mempunyai roda sehingga dapat dikeluarkan dari alat pengeringnya. Bahan diletakkan di atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alas yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan udara panas dan uap air (Taib dkk., 1988).


(26)

Pengering tipe rak biasanya merupakan pengering yang paling murah pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya. Pada umumnya pengering ini digunakan untuk penelitian-penelitian dehidrasi sayuran dan buah-buahan di dalam laboratorium, dan di dalam skala kecil dan digunakan secara komersil yang bersifat musiman (Desrosier, 1988).

Prinsip kerja alat pengering tipe rak adalah udara pengering dari ruang pemanas dengan bantuan kipas akan bergerak menuju dasar rak dan melalui lubang-lubang yang terdapat pada dasar rak tersebut akan mengalir melewati bahan yang dikeringkan dan melepaskan sebagian panasnya sehingga terjadi proses penguapan air dari bahan. Dengan demikian, semakin ke bagian atas rak suhu udara pengering semakin turun. Penurunan suhu ini harus diatur sedemikian rupa agar pada saat mencapai bagian atas bahan yang dikeringkan, udara pengering masih mempunyai suhu yang memungkinkan terjadinya penguapan air. Di samping itu kelembaban udara pengering pada saat mencapai bagian atas harus dipertahankan tetap tidak jenuh sehingga masih mampu menampung uap air yang dilepaskan. Di dalam penggunaan alat pengering ini perlu diperhatikan pengaturan suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan tebal tumpukan bahan yang

dikeringkan sehingga hasil kering yang diharapkan dapat tercapai (Rachmawan, 2001).

Pengeringan Ubi Jalar

Tepung ubi jalar merupakan suatu hasil olahan ubi jalar, di samping meningkatkan daya awetnya, juga meningkatkan daya gunanya. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan pengganti/substitusi tepung terigu dalam


(27)

pembuatan roti dan bahan substitusi gandum dalam pembuatan mie kering, bahan makanan campuran dan lain-lain (Budijanto, 2009).

Masalah teknologi yang sering dihadapi adalah kandungan protein tepung non terigu yang sangat rendah. Terbentuk pula warna coklat karena terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis, terutama bila mengandung gula pereduksi. Hal ini pada dasarnya adalah merupakan kelemahan dari pengeringan yaitu terjadinya perubahan warna, tekstur, rasa dan aroma. Waktu pengeringan yang terlalu lama dapat menyebabkan pigmen-pigmen pada bahan mengalami oksidasi. Belum lagi masalah cita rasa produk akhir yang susah dihilangkan (Buckle dkk., 1987).

Pengolahan ubi jalar menjadi tepung hanya memerlukan teknologi yang sederhana. Caranya ubi jalar dikupas kemudian dicuci bersih selanjutnya dipotong tipis-tipis. Chips kemudian dijemur di bawah sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering dengan suhu maksimum 60°C selama 18 jam kemudian digiling. Untuk menghasilkan chips kering atau tepung berkualitas baik, chips sebelum dijemur atau dikeringkan diblanching dan direndam dalam larutan natrium meta bisulfit terlebih dahulu. Rendemen chips kering atau tepung dapat mencapai 20-30% dari bobot bahan awal tergantung jenis varietas (Aini, 2004).

Perendaman dengan larutan kimia merupakan salah satu usaha melindungi hasil pertanian dari kerusakan mekanis, fisiologis maupun mikrobia. Adanya pencelupan dalam larutan kimia selain dapat mempertahankan kesegaran juga dapat memperbaiki tekstur bahan. Tekstur bahan setelah dicelupkan menjadi keras (Satuhu dan Supriadi, 1994).

Senyawa-senyawa kimia yang dapat digunakan pada proses sulfuring antara lain: SO2, Sulfit, dan metabisulfit. Sulfuring tersebut dapat dilakukan


(28)

dengan uap SO2 atau perendaman dalam larutan SO2

Salah satu bentuk aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah natrium metabisulfit. Natrium metabisulfit merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan untuk mencegah pencoklatan enzimatis, sebagai pemutih, antioksidan dan penghambat bakteri kapang dan khamir (Desroiser, 1988).

, sulfit atau metabisulfit. Jumlah penyerapan dan residu senyawa-senyawa tersebut dalam bahan yang dikeringkan dipengaruhi oleh, antara lain: varietas, kemasakan, ukuran bahan, konsentrasi larutan, suhu dan waktu sulfuring, kecepatan aliran udara, dan

kelembaban udara selama pengeringan serta keadaan penyimpanan (Susanto dan Saneto, 1994).

Natrium metabisulfit (Na2S2O5

Perendaman irisan umbi ubi jalar pada larutan natrium metabisulfit (sodium metabisulfit) 0,02% selama 15 menit adalah untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan/browning yang dapat menyebabkan warna bahan kering menjadi gelap dan tidak menarik (Suismono, 2008).

) adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan telah mendapat predikat GRAS (Generally Recognized As Save) dari Food and Drugs Administration (FDA) sejak Agustus 1959. Artinya bahan pengawet ini aman digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang diijinkan. Batas maksimum penggunaannya dalam bahan makanan yang dikeringkan di Amerika Serikat ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai 3000 ppm (Barnet, 1985).


(29)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 di Laboratorium Teknik Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat Penelitian

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi ubi jalar segar, natrium meta bisulfit, baterai kering dan air.

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengering surya tipe rak, timbangan, dandang, alat peniris, pisau pemotong / alat perajang, alat tulis, kalkulator, kamera, dan komputer.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode perancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan menguji dua faktor sekaligus, masing-masing adalah :

1. Lama Pengeringan (T) T1 = 2 hari

T2 = 3 hari T3 = 4 hari

2. Tebal Tumpukan (L) L1 = 0,5 cm

L2 = 1 cm L3 = 1,5 cm


(30)

Sehingga kombinasi perlakuan (Tc) sebanyak 3 x 3 = 9, maka jumlah ulangan minimum perlakuan (n) adalah :

Tc (n-1) ≥ 15 9 ( n-1) ≥ 15 9n – 9 ≥ 15

n ≥ 2,67

n ≥ 3

Jumlah ulangan dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. Kombinasi perlakuan ada 9 (sembilan), yaitu :

T1L1 T2L1 T3L1 T1L2 T2L2 T3L2 T1L3 T2L3 T3L3

Model Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode perancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan model sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana :

Yijk = Hasil pengamatan dari faktor T (Lama Pengeringan) pada taraf ke-i dan faktor L (Tebal Tumpukan) pada taraf ke-j dan ulangan ke-k.

µ = Efek nilai tengah.

αi = Efek dari faktor T (Lama Pengeringan) pada taraf ke-i. βj = Efek dari faktor L (Tebal Tumpukan) pada taraf ke-j.

(αβ)ij = Efek interaksi dari faktor T (Lama Pengeringan) pada taraf ke-i dengan faktor L (Tebal Tumpukan) pada taraf ke-j.


(31)

εijk = Efek galat dari faktor T (Lama Pengeringan) pada taraf ke-i dan faktor L (Tebal Tumpuk an) pada taraf ke-j dan ulangan ke-k (Bangun, 2001).

Prosedur Penelitian

1. Disortasi umbi ubi jalar yang sudah matang fisiologis dan masih segar. 2. Dikupas kulit luar ubi jalar.

3. Dicuci umbi yang telah dikupas sampai bersih.

4. Ditimbang terlebih dahulu umbi ubi jalar yang akan dikeringkan.

5. Diiris secara melintang umbi ubi jalar yang telah disortasi, dengan ketebalan rata-rata ± 3 mm.

6. Dilakukan perendaman umbi ubi jalar yang telah diiris dengan larutan natrium meta bisulfit (konsentrasi 0,02%) selama 15 menit.

7. Ditiriskan umbi ubi jalar yang telah direndam.

8. Diletakkan irisan-irisan umbi ubi jalar pada rak pengering sesuai perlakuan untuk tebal tumpukan sebagai berikut, L1 = 0,5 cm, L2 = 1 cm, dan L3 = 1,5 cm.

9. Dilakukan proses pengeringan dengan waktu yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan lama pengeringan sebagai berikut, T1 = 2 hari, T2 = 3 hari, dan T3 = 4 hari yang mana pengeringan dilakukan selama 6 jam per hari dimulai pukul 10.00 sampai pukul 16.00 WIB.

10.Digiling irisan-irisan umbi ubi jalar yang telah kering. 11.Diayak tepung hasil penggilingan.

12.Dilakukan pengamatan sesuai dengan parameter yang ditentukan. 13.Dicatat hasil pengamatan.


(32)

Parameter yang Diamati

Adapun parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kadar air

Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air yang terdapat per satuan bobot bahan. Adapun prosedur penghitungan kadar air adalah sebagai berikut: bahan ditimbang sebanyak 5 gram di dalam aluminium foil yang telah diketahui berat kosongnya. Dikeringkan dalam oven dengan suhu 105ºC selama 4 jam. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang, kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven selama 30 menit dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Perlakuan ini diulang sampai diperoleh berat konstan (AOAC, 1984).

Kadar air kemudian dihitung menggunakan rumus berikut:

% 100 ) ( ) ( ) ( × − = kg Akhir Berat kg Akhir Berat kg Awal Berat Air Kadar 2. Rendemen

Rendemen menunjukkan persentase perbandingan berat bahan akhir terhadap berat bahan awal. Rendemen diperoleh dengan cara sebagai berikut, bahan ditimbang sebelum percobaan, bahan setelah percobaan ditimbang kembali, kemudian dihitung dengan rumus:

% 100 ) ( ) ( × = kg Awal Berat kg Akhir Berat endemen R


(33)

3. Organoleptik (warna)

Uji organoleptik warna dilakukan menggunakan uji hedonik dengan mengambil sampel secara acak dan diberikan kepada sepuluh orang panelis untuk diamati dengan kode tertentu. Parameter yang diamati adalah warna tepung ubi jalar yang dihasilkan (Soekarto, 1985).

Tabel 1. Skala hedonik untuk warna tepung ubi jalar : Skala Hedonik Skala Numerik

Oranye 4

Oranye Kecoklatan 3 Coklat Keoranyean 2


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Lama Pengeringan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, secara umum diperoleh bahwa lama pengeringan memberikan pengaruh terhadap rendemen, kadar air, dan nilai organoleptik (warna) tepung ubi jalar. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Pengaruh lama pengeringan terhadap parameter yang diamati

Lama Pengeringan Rendemen Kadar Air Nilai Organoleptik

(hari) (%) (%) (Warna)

T1 = 2 hari 24.52 6.40 2.58

T2 = 3 hari 21.84 6.16 2.18

T3 = 4 hari 18.91 4.93 1.89

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa lama pengeringan memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan T1 yaitu sebesar 24.52% dan terendah pada perlakuan T3 yaitu sebesar 18.91%. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan T1 yaitu sebesar 6.40% dan terendah pada perlakuan T3 yaitu sebesar 4.93%. Nilai organoleptik (warna) tertinggi terdapat pada perlakuan T1 yaitu sebesar 2.58 dan nilai terendah terdapat pada perlakuan T3 yaitu sebesar 1.89.

Dari data hasil penelitian (Lampiran 9) dapat dilihat perbandingan antara hasil pengeringan menggunakan alat pengering surya tipe rak dengan pengeringan konvensional pada lama pengeringan yang sama. Pengeringan dengan alat pada umumnya menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, kadar air yang lebih rendah, dan nilai organoleptik warna yang lebih rendah daripada pengeringan konvensional. Hal ini disebabkan suhu pengeringan pada pengeringan dengan alat lebih tinggi daripada suhu pengeringan pada pengeringan konvensional (dapat dilihat pada Lampiran 8), sehingga massa air yang diuapkan pada pengeringan


(35)

dengan alat lebih banyak. Semakin banyak air yang diuapkan maka kadar air bahan semakin rendah sesuai dengan pernyataan Rachmawan (2001) yang menyatakan bahwa suhu udara mempengaruhi kecepatan pengeringan. Pada suhu tinggi proses pengeringan lebih cepat dan massa air yang diuapkan semakin banyak.

Dari kriteria mutu tepung ubi jalar (Lampiran 11) dapat dilihat bahwa tepung ubi jalar yang dihasilkan dengan pengeringan menggunakan alat pengering surya tipe rak untuk masing-masing perlakuan lama pengeringan memenuhi kriteria tersebut yang menyatakan kadar air maksimal tepung ubi jalar adalah 15%. Dalam hal ini perlakuan terbaik yaitu yang menghasilkan rendemen tertinggi, kadar air dibawah 15%, dan nilai organoleptik tertinggi adalah perlakuan lama pengeringan 2 hari.

Pengaruh Tebal Tumpukan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, secara umum diperoleh bahwa tebal tumpukan memberikan pengaruh terhadap rendemen, kadar air, dan nilai organoleptik (warna) tepung ubi jalar. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Pengaruh tebal tumpukan terhadap parameter yang diamati

Tebal Tumpukan Rendemen Kadar Air Nilai Organoleptik

(cm) (%) (%) (Warna)

L1 = 0.5 cm 18.70 4.67 2.40

L2 = 1 cm 24.30 5.66 2.24

L3 = 1.5 cm 21.14 7.54 1.72

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa tebal tumpukan memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan L2 yaitu sebesar 24.30% dan terendah pada perlakuan L1 yaitu sebesar 18.70%. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan L3 yaitu sebesar 7.54% dan terendah


(36)

pada perlakuan L1 yaitu sebesar 4.67%. Nilai organoleptik (warna) tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu sebesar 2.40 dan nilai terendah terdapat pada perlakuan L3 yaitu sebesar 1.72.

Dari data hasil penelitian (Lampiran 9) dapat dilihat perbandingan antara hasil pengeringan menggunakan alat pengering surya tipe rak dengan pengeringan konvensional pada tebal tumpukan yang sama. Pengeringan dengan alat pada umumnya menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, kadar air yang lebih rendah, dan nilai organoleptik warna yang lebih rendah daripada pengeringan konvensional. Hal ini disebabkan suhu pengeringan pada pengeringan dengan alat lebih tinggi daripada suhu pengeringan pada pengeringan konvensional (dapat dilihat pada Lampiran 8), sehingga massa air yang diuapkan pada pengeringan dengan alat lebih banyak. Semakin banyak air yang diuapkan maka kadar air bahan semakin rendah sesuai dengan pernyataan Rachmawan (2001) yang menyatakan bahwa suhu udara mempengaruhi kecepatan pengeringan. Pada suhu tinggi proses pengeringan lebih cepat dan massa air yang diuapkan semakin banyak.

Dari kriteria mutu tepung ubi jalar (Lampiran 11) dapat dilihat bahwa tepung ubi jalar yang dihasilkan dengan pengeringan menggunakan alat pengering surya tipe rak untuk masing-masing perlakuan tebal tumpukan memenuhi kriteria tersebut yang menyatakan kadar air maksimal tepung ubi jalar adalah 15%. Dalam hal ini perlakuan terbaik yaitu yang menghasilkan rendemen tertinggi, kadar air dibawah 15%, dan nilai organoleptik yang tinggi adalah perlakuan tebal tumpukan 1 cm.


(37)

Untuk analisa tingkat perbedaan masing-masing taraf perlakuan lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap parameter yang diamati (rendemen, kadar air, dan nilai organoleptik warna) maka dilakukan uji statistik lebih lanjut dengan hasil sebagai berikut.

Rendemen

Pengaruh lama pengeringan

Dari daftar analisis sidik ragam rendemen (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa lama pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh lama pengeringan terhadap rendemen untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Uji LSR efek utama pengaruh lama pengeringan terhadap rendemen tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - T3 18.91 c C

2 0.860 1.363 T2 21.84 b B

3 0.902 1.229 T1 24.52 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T2 dan T3. Perlakuan T2 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T3. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan T1 yaitu sebesar 24.52% dan terendah pada perlakuan T3 yaitu sebesar 18.91%.


(38)

Hubungan antara lama pengeringan terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

y = -2,8008x + 30,159 r = 0,9993

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

0 1 2 3 4 5

Lam a Pe nge ringan (hari)

R

en

d

em

en

(

%

)

Gambar 1. Hubungan lama pengeringan terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pengeringan dengan lama pengeringan 2 hari, 3 hari dan 4 hari menghasilkan tepung ubi jalar dengan rendemen yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka rendemen tepung ubi jalar semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desrosier (1988) bahwa semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak. Dengan demikian maka bobot bahan menjadi berkurang dan menghasilkan rendemen yang rendah. Banyaknya air yang menguap tersebut dipengaruhi oleh lamanya bahan kontak dengan udara pengering. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taib dkk. (1988) bahwa kecepatan pengeringan untuk setiap bahan akan berbeda-beda. Lamanya kontak antara udara panas dengan bahan selama pengeringan juga akan berpengaruh. Semakin lama kontak antara udara panas dengan bahan maka semakin cepat pengeringan berlangsung.

ŷ = -2,8008x + 30,159 r = 0,9993


(39)

Pengaruh tebal tumpukan

Dari daftar analisis sidik ragam rendemen (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa tebal tumpukan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh tebal tumpukan terhadap rendemen untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5. Uji LSR efek utama pengaruh tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - L1 18.70 c C

2 0.860 1.363 L3 21.14 b B

3 0.902 1.229 L2 24.30 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap perlakuan L2 dan L3. Perlakuan L2 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan L3. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan L2 yaitu sebesar 24.30% dan terendah pada perlakuan L1yaitu sebesar 18.70%

Hubungan antara tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 2. Hubungan tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

ŷ = -17,52x2 + 37,49x + 4,335 R = 1


(40)

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengeringan dengan tebal tumpukan 0.5 cm, 1 cm dan 1.5 cm menghasilkan tepung ubi jalar dengan rendemen yang mengikuti garis kuadratik yang naik dari L1 ke L2 kemudian turun dari L2 ke L3. Hubungan yang seharusnya adalah semakin tebal tumpukan bahan maka rendemen tepung ubi jalar semakin tinggi, sesuai dengan pernyataan Matondang (1989) bahwa Selama proses pengeringan berlangsung, ketidakseragaman ketebalan lapisan bahan mempengaruhi proses pengeringan itu sendiri. Udara yang lewat dari bahan lebih banyak pada lapisan yang tipis daripada lapisan yang tebal. Semakin banyak udara yang lewat dari bahan maka air yang menguap semakin tinggi sehingga untuk tumpukan yang tipis banyaknya air yang menguap

tersebut menyebabkan bobot bahan menjadi lebih banyak berkurang daripada tumpukan yang tebal. Keadaan ini terjadi karena pada kombinasi perlakuan lama

pengeringan 2 hari dan tebal tumpukan 1.5 cm udara semakin susah melewati bahan sehingga proses pengeringan tidak merata dan menyebabkan irisan-irisan ubi jalar yang dikeringkan tidak kering dan tidak dapat dijadikan tepung.

Pengaruh interaksi

Dari daftar analisis sidik ragam rendemen (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap rendemen untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(41)

Tabel 6. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - T3L1 16.82 e D

2 1.489 2.361 T2L1 18.07 de D

3 1.563 2.129 T3L3 18.71 d D

4 1.609 2.186 T1L1 21.21 c C

5 1.641 2.228 T3L2 21.21 c C

6 1.664 2.260 T2L3 23.57 b B

7 1.682 2.285 T2L2 23.88 b B

8 1.696 2.306 T1L2 27.82 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan antara lama pengeringan dan tebal tumpukan memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan T1L2 yaitu sebesar 27.82% dan terendah pada perlakuan T3L1 yaitu 16.82%.

Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Y1= -2.1917x + 25.275 r = 0.9416 Y2= -3.3083x + 34.227

r = 0.9877

Y3 = -4,8633x + 38,163 r = 1

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

0 2 4 6

lama pengeringan (hari)

R e n d e m e n ( % ) 0,5 1 1,5

Gambar 3. Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

y1 = -2,1917x + 25,275

r = 0,9416

y2 = -4,8633x + 38,163

r = 1

y3 = -3,3083x + 34,163


(42)

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada tebal tumpukan 0.5 cm; 1 cm; dan 1,5 cm dihasilkan tepung ubi jalar dengan rendemen yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka semakin rendah rendemen tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Kadar Air

Pengaruh lama pengeringan

Dari daftar analisis sidik ragam kadar air (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa lama pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Uji LSR efek utama pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - T3 4.93 b AB

2 1.240 1.965 T2 6.16 ab AB

3 1.301 1.772 T1 6.40 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 memberi pengaruh berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T2 tetapi memberi pengaruh berbeda nyata terhadap perlakuan T3. Perlakuan T2 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T3. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan T1 yaitu sebesar 6.40% dan terendah pada perlakuan T3 yaitu sebesar 4.93%.


(43)

Hubungan antara lama pengeringan terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 4. Hubungan lama pengeringan terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pengeringan dengan lama pengeringan 2 hari, 3 hari dan 4 hari menghasilkan tepung ubi jalar dengan kadar air yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka kadar air semakin rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desrosier (1988) bahwa semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak. Dengan demikian maka kadar air bahan akan menjadi rendah. Banyaknya air yang menguap tersebut dipengaruhi oleh lamanya bahan kontak dengan udara pengering. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taib dkk. (1988) bahwa kecepatan pengeringan untuk setiap bahan akan berbeda-beda. Lamanya kontak antara udara panas dengan bahan selama pengeringan juga akan berpengaruh. Semakin lama kontak antara udara panas dengan bahan maka semakin cepat pengeringan berlangsung.

ŷ = -0,734x + 8,031 r = 0,867


(44)

Pengaruh tebal tumpukan

Dari daftar analisis sidik ragam kadar air (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa tebal tumpukan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan sehingga uji least significant range (LSR) tidak dilanjutkan.

Pengaruh interaksi

Dari Daftar Analisis Sidik Ragam Kadar Air (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap kadar air untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 8. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap kadar air tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - T3L1 3.46 c C

2 2.147 3.404 T3L2 4.17 c BC

3 2.253 3.069 T2L1 4.91 bc ABC

4 2.320 3.152 T1L1 5.64 abc ABC

5 2.366 3.213 T2L2 5.64 abc ABC

6 2.399 3.259 T1L2 7.15 ab AB

7 2.425 3.295 T3L3 7.15 ab AB

8 2.445 3.325 T2L3 7.93 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan antara lama pengeringan dan tebal tumpukan memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata


(45)

terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan T2L3 yaitu sebesar 7.93% dan terendah pada perlakuan T3L1 yaitu 3.46%.

Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Y1= -1.0897x + 7.9362 r = 0.9653 Y2 = -1.4935x + 10.136

r = 1

Y3= -0,771x + 10,238 r = 1

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00

0 2 4

Lama Pengeringan (hari)

Ka da r A ir (% ) 0,5 1 1,5

Gambar 5. Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa pada tebal tumpukan 0.5cm; 1 cm; dan 1,5 cm dihasilkan tepung ubi jalar dengan rendemen yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka semakin rendah kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Nilai Organoleptik Warna (Numerik) Pengaruh lama pengeringan

Dari daftar analisis sidik ragam organoleptik warna (numerik) (Lampiran 7) dapat dilihat bahwa lama pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan.

y1 = -1,0897x + 7,9362

r = 0,9653

y2 = -1,4935x + 10,136

r = 1

y3 = -0,771x + 10,238


(46)

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh lama pengeringan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 9. Uji LSR efek utama pengaruh lama pengeringan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - T3 1.89 b B

2 0.341 0.541 T2 2.18 b AB

3 0.358 0.488 T1 2.58 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 memberi pengaruh berbeda nyata terhadap perlakuan T2 tetapi memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T3. Perlakuan T2 berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T3. Nilai organoleptik warna (numerik) tertinggi terdapat pada perlakuan T1 yaitu sebesar 2.58 dan terendah pada perlakuan T3 yaitu sebesar 1.89.

Hubungan antara lama pengeringan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 6. Hubungan lama pengeringan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan.

ŷ = -0,347x + 3,258 r = 0,990


(47)

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pengeringan dengan lama pengeringan 2 hari, 3 hari dan 4 hari menghasilkan tepung ubi jalar dengan nilai organoleptik warna (numerik) yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka nilai organoleptik warna semakin rendah. Hal ini disebabkan karena semakin lama proses pengeringan yang dilakukan sementara bahan belum kering semakin besar kesempatan mikroba untuk tumbuh sehingga menimbulkan kebusukan pada bahan juga terjadinya oksidasi pigmen-pigmen yang ada pada ubi jalar ini sesuai dengan pernyataan Buckle dkk. (1987) bahwa pengeringan mempunyai beberapa kelemahan seperti terjadinya perubahan warna, tekstur, rasa, dan aroma.

Pengaruh tebal tumpukan

Dari daftar analisis sidik ragam organoleptik warna (numerik) (Lampiran 7) dapat dilihat bahwa tebal tumpukan memberikan pengaruh berbeda

sangat nyata terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 10. Uji LSR efek utama pengaruh tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - L3 1.14 b B

2 0.311 0.494 L2 2.24 a A

3 0.327 0.445 L1 2.40 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.


(48)

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 memberi pengaruh berbeda tidak nyata terhadap perlakuan L2 tetapi memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap perlakuan L3. Perlakuan L2 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan L3. Nilai organoleptik warna (numerik) tertinggi terdapat pada

perlakuan L1 yaitu sebesar 2.40 dan terendah pada perlakuan L3 yaitu sebesar 1.14.

Hubungan antara tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 7. Hubungan tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa pengeringan dengan tebal tumpukan 0.5 cm, 1 cm dan 1.5 cm menghasilkan tepung ubi jalar dengan nilai organoleptik warna (numerik) yang mengikuti garis linier yang mana semakin tebal tumpukan maka nilai organoleptik warnanya semakin rendah. semakin lama pengeringan maka nilai organoleptik warna tepung ubi jalar semakin rendah. Hal ini disebabkan karena semakin tebal tumpukan bahan maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar air yang diinginkan dan ini memberikan kesempatan untuk mikroba tumbuh dan menyebabkan kebusukan pada bahan ini

ŷ = -0,683x + 2,803 r = 0,91


(49)

sesuai dengan pernyataan Buckle dkk. (1987) bahwa pengeringan mempunyai beberapa kelemahan seperti terjadinya perubahan warna, tekstur, rasa, dan aroma.

Pengaruh interaksi

Dari daftar analisis sidik ragam organoleptik warna (numerik) (Lampiran 7) dapat dilihat bahwa interaksi antara lama pengeringan dan tebal

tumpukan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Hasil pengujian dengan least significant range (LSR) yang menunjukkan pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (organoleptik) untuk tiap-tiap taraf perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 11. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar (%)

Jarak LSR

Perlakuan Rataan Notasi

p 0.05 0.01 0.05 0.01

- - - T2L3 1.57 d C

2 0.591 0.937 T3L2 1.77 d BC

3 0.620 0.844 T3L3 1.87 cd BC

4 0.638 0.867 T3L1 2.03 bcd ABC

5 0.651 0.884 T1L2 2.37 abc ABC

6 0.660 0.897 T2L1 2.37 abc ABC

7 0.667 0.907 T2L2 2.60 ab AB

8 0.673 0.915 T1L1 2.80 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan antara lama pengeringan dan tebal tumpukan memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan. Nilai organoleptik warna (numerik) tertinggi terdapat pada perlakuan T1L1 yaitu sebesar 2.80 dan terendah pada perlakuan T2L3 yaitu 1.57%.


(50)

Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Y1 = -0.3833x + 3.55 R2 = 0.9944

Y2 = -0,5333x2 + 2,9x - 1,3

R = 1

Y3 = 0,3x + 0,6667 r = 1

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00

0 1 2 3 4 5

Lam a Pe nge r ingan (har i)

Skal a N um er ik ( rat aan ) 0,5 1 1,5

Gambar 8. Hubungan interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan terhadap nilai organoleptik warna (numerik) tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa pada tebal tumpukan 0.5 cm dihasilkan tepung ubi jalar dengan nilai organoleptik warna yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka semakin rendah nilai organoleptik warna tepung ubi jalar yang dihasilkan. Sedangkan pada tebal tumpukan 1 cm dihasilkan tepung ubi jalar dengan nilai organoleptik warna yang mengikuti garis kuadratik yang naik dari T1 ke T2 kemudian turun ke T3. Dan pada tebal tumpukan 1.5 cm dihasilkan tepung ubi jalar dengan nilai organoleptik warna yang mengikuti garis linier yang mana semakin lama waktu pengeringan maka semakin tinggi nilai organoleptik warna tepung ubi jalar yang dihasilkan

y1 = -0,3833x + 3,55

r = 0,9944

y2 = -5333x

2

+ 2,9x + 1,3 R= 1

y3 = -0,3x + 0,6667


(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Lama pengeringan memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen dan kadar air dan berbeda nyata terhadap nilai organoleptik warna tepung ubi jalar yang dihasilkan.

2. Semakin lama waktu pengeringan yang dilakukan maka semakin rendah rendemen, kadar air dan nilai organoleptik warna tepung ubi jalar yang dihasilkan.

3. Tebal tumpukan memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen dan nilai organoleptik warna dan berbeda tidak nyata terhadap kadar air tepung ubi jalar yang dihasilkan.

4. Semakin tebal tumpukan bahan maka semakin tinggi kadar air dan semakin rendah nilai organoleptik warna tepung ubi jalar yang dihasilkan. Sedangkan rendemen naik dari L1 ke L2 kemudian turun dari L2 ke L3.

5. Interaksi antara lama pengeringan dan tebal tumpukan memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap rendemen, kadar air dan nilai organoleptik warna tepung ubi jalar yang dihasilkan.

Saran

1. Untuk pengeringan ubi jalar dengan alat pengering surya tipe rak dianjurkan dilakukan dengan lama pengeringan 2 hari dan tebal tumpukan 1 cm.

2. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk meningkatkan suhu dan laju aliran udara di dalam ruang pengering pada alat pengering surya tipe rak.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1982. Aktivitas Air dan Kerusakan Bahan Makanan. Agreetech. Yogyakarta.

Aini, N. 2004. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk-Produknya untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan.Makalah. IPB. Bogor. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Offical

Analytical Chemist. Washington, DC.

Agustyanto, P. 2004. Pengolahan Ubi Jalar Menjadi Tepung. Salam 8:1.

Balitkabi. 2008. Teknologi Produksi Ubi Jalar. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian.Malang.

Bangun, M.K. 2001. Perancangan Percobaan. Fakultas Pertanian. Usu-Press. Medan.

Barnet, D. 1985. Sulphites in Food in Their Chemistry and Analysis. Food Technology in Australia 37:11.

BPPT. 2008. Ubi Jalar/Ketela Rambat (Ipomea batatas). BPP Teknologi Menegristek. Jakarta.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Purnomo dan Adiono. UI-Press. Jakarta.

Budijanto, S. 2009. Dukungan Iptek Bahan Pangan pada Pengembangan Tepung Lokal. Pangan 54:55-63.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan M. Muljoharjo.Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Hardjosentono, M., Wijato, E. Rachlan, I.W. Badra, dan R.D. Tarmana. 2000. Mesin-Mesin Pertanian. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Henderson, S.M. dan R.L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering 3th Edition. The AVI Publishing Company. Inc., Wesport Connecticut. USA. Iradiasi. 1991. Iradiasi Pangan : Cara Mengawetkan dan Meningkatkan Keamanan

Pangan. Terjemahan Hermana. ITB. Bandung.

Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. PT. Rineka Cipta. Jakarta.


(53)

Limbongan, J., dan A. Soplanit. 2007. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 26:131-138.

Matondang, S. 1989. Pengeringan Biji-Bijian Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Moedjijarto, P. 1979. Teknologi Hasil Pertanian. Departemen Mekanisasi Pertanian. FATEMETA IPB. Bogor.

Nickerson, J.T.R., dan L.J. Ronsivalli. 1980. Elementary Food Science. Second Edition. The AVI Publishing Company. Inc., Wesport Connecticut. USA. Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas

Pertanian. Depdiknas. Jakarta.

Satuhu, S. dan A. Supriadi. 1994. Budidaya Pisang. Pengolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sitinjak, K dan D.J. Saragih. 1995. Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan Hasil Pertanian. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. Bogor.

Soetoyo, R. dan Syafaruddin L., 1981. Laporan Diskusi Pascapanen Padi dan Palawija. LP3 Karawang.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Sukardi. 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Suismono. 2008. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Pangan Lokal Berbasis Umbi-Umbian. Pangan 52:38-50.

Susanto, T. dan B. Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu. Surabaya.

Taib, G., G, Said dan S. Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian, PT Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Vail, G. E., J.A. Phillips, L.O. Rust, R.M. Griswold, dan M.M. Justin. 1973. Foods 8th Edition. Houghton Mifflin Company. Indiana USA.

Widjonarko, S.B. 2008. Mutu Tepung Ubi Jalar. FEIN-Food and Energy Info [28 mei 2008].


(54)

Wikipedia. 2010. Ubi Jalar. Wikipedia. Maret 2010].

Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Sarana Perkasa. Jakarta.


(55)

Lampiran 4. Flow Chart ( Bagan Alir) Penelitian

Pengamatan Parameter 1. Kadar air

2. Rendemen

3. Organoleptik (warna)

Selesai Ubi jalar disortasi

Dikupas/Dibersihkan Mulai

Diiris

Perendaman

Ditiriskan

Dikeringkan sesuai dengan perlakuan Ditimbang

Penggilingan


(56)

Lampiran 5. Data Pengamatan Rendemen (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

T1L1 21.36 21.23 21.03 63.62 21.21

T2L1 17.47 20.07 16.67 54.21 18.07

T3L1 16.67 17.81 15.99 50.47 16.82

T1L2 27.87 27.08 28.52 83.47 27.82

T2L2 24.05 24.33 23.25 71.63 23.88

T3L2 21.46 21.59 20.57 63.62 21.21

T2L3 23.56 23.09 24.07 70.72 23.57

T3L3 19.12 18.84 18.17 56.13 18.71

Total 171.56 174.04 168.27 513.87

Rataan 21.45 21.76 21.03 21.41

Daftar Analisis Sidik Ragam Rendemen (%)

SK db JK KT Fhitung F0.05 F0.01

Perlakuan 8 1496.89 187.11 248.19 ** 2.64 4.00

L 2 470.38 235.19 311.96 ** 3.68 6.36

Linier 1 95.45 95.45 126.61 ** 4.54 8.68 Kuadratik 1 374.93 374.93 497.32 ** 4.54 8.68

T 2 136.15 68.08 90.30 ** 3.68 6.36

Linier 1 29.72 29.72 39.42 ** 4.54 8.68 Kuadratik 1 106.43 106.43 141.17 ** 4.54 8.68 L x T 4 890.36 222.59 295.25 ** 3.06 4.89

Galat 15 11.31 0.75

Total 23 1508.20

Keterangan:

** = sangat nyata * = nyata


(57)

Lampiran 6. Data Pengamatan Kadar Air (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

T1L1 4.167 6.383 6.383 16.933 5.644

T2L1 6.383 4.167 4.167 14.717 4.906

T3L1 4.167 2.041 4.167 10.375 3.458

T1L2 6.383 6.383 8.696 21.462 7.154

T2L2 6.383 6.383 4.167 16.933 5.644

T3L2 4.167 4.167 4.167 12.501 4.167

T2L3 8.696 8.696 6.383 23.775 7.925

T3L3 6.383 8.696 6.383 21.462 7.154

Total 46.729 46.916 44.513 138.158

Rataan 5.841 5.865 5.564 5.757

Daftar Analisis Sidik Ragam Kadar Air (%)

SK db JK KT Fhitun

g F0.05 F0.01

Perlakuan 8 139.84 17.48 11.16 ** 2.64 4.00

L 2 4.50 2.25 1.44 tn 3.68 6.36

Linier 1 0.58 0.58 0.37 tn 4.54 8.68

Kuadratik 1 3.92 3.92 2.50 tn 4.54 8.68

T 2 16.64 8.32 5.31 ** 3.68 6.36

Linier 1 1.98 1.98 1.26 tn 4.54 8.68

Kuadratik 1 14.66 14.66 9.36 ** 4.54 8.68

L x T 4 118.71 29.68 18.94 ** 3.06 4.89

Galat 15 23.51 1.57

Total 23 163.35

Keterangan:

** = sangat nyata * = nyata


(58)

Lampiran 7. Data Pengamatan Organoleptik Warna (Numerik)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

T1L1 2.6 3.0 2.8 8.4 2.80

T2L1 2.5 2.4 2.2 7.1 2.37

T3L1 2.2 2.1 1.8 6.1 2.03

T1L2 2.1 2.6 2.4 7.1 2.37

T2L2 2.6 2.6 2.6 7.8 2.60

T3L2 1.3 1.3 2.7 5.3 1.77

T2L3 1.4 1.5 1.8 4.7 1.57

T3L3 1.7 2.0 1.9 5.6 1.87

Total 16.40 17.50 18.20 52.10

Rataan 2.05 2.19 2.28 2.17

Daftar Analisis Sidik Ragam Organoleptik warna (Numerik)

SK db JK KT Fhitung F0.05 F0.01

Perlakuan 8 16.46 2.06 17.33 ** 2.64 4.00

L 2 8.43 4.22 35.53 ** 3.68 6.36

Linier 1 7.09 7.09 59.78 ** 4.54 8.68 Kuadratik 1 1.34 1.34 11.27 ** 4.54 8.68

T 2 0.96 0.48 4.03 * 3.68 6.36

Linier 1 0.13 0.13 1.03 tn 4.54 8.68

Kuadratik 1 0.83 0.83 7.01 * 4.54 8.68

L x T 4 7.07 1.77 14.89 ** 3.06 4.89

Galat 15 1.78 0.12

Total 23 18.24

Keterangan:

** = sangat nyata * = nyata


(59)

Lampiran 8. Data Hasil Penelitian (Pengeringan) 1. Perlakuan L3 (Tebal tumpukan = 1,5 cm)

• Ulangan I Pengamatan Suhu - 3 Mei 2010

Waktu Ruang Pengering (ºC) Lingkungan (ºC)

Pengamatan BK BB BK BB

10.00 39 27 34 27

11.00 40 29 35 28

12.00 40 31 34 28

13.00 43 30 37 29

14.00 44 30 37 29

15.00 44 31 37 28

16.00 40 28 35 27

- 4 Mei 2010

Waktu Ruang Pengering (ºC) Lingkungan (ºC)

Pengamatan BK BB BK BB

10.00 38 27 34 27

11.00 40 29 35 28

12.00 40 31 34 28

13.00 43 30 37 29

14.00 44 30 37 29

15.00 44 31 37 28

16.00 40 28 35 27

- 5 Mei 2010

Waktu Ruang Pengering (ºC) Lingkungan (ºC)

Pengamatan BK BB BK BB

10.00 40 30 35 27

11.00 40 29 35 26

12.00 42 30 37 27

13.00 41 30 36 25

14.00 44 31 37 28

15.00 44 30 37 26

16.00 42 28 36 25

- 6 Mei 2010

Waktu Ruang Pengering (ºC) Lingkungan (ºC)

Pengamatan BK BB BK BB

10.00 40 28 35 25

11.00 39 28 35 24

12.00 41 30 36 24

13.00 43 31 37 28

14.00 44 31 37 28

15.00 42 30 36 27


(1)

Lampiran 9. Data Hasil Penelitian (Analisa Laboratorium) 1. Rendemen

• Pengeringan dengan alat

Perlakuan Bobot Bahan (gr) Rendemen

Umbi Segar Umbi Iris Chips Kering Tepung (%)

T1L1 (I) 1475 1000 320 315 21.36

T1L1 (II) 1460 1000 320 310 21.23

T1L1 (III) 1450 1000 315 305 21.03

T2L1 (I) 1460 1000 270 255 17.47

T2L1 (II) 1470 1000 300 295 20.07

T2L1 (III) 1440 1000 265 240 16.67

T3L1 (I) 1470 1000 250 245 16.67

T3L1 (II) 1460 1000 270 260 17.81

T3L1 (III) 1470 1000 240 235 15.99

T1L2 (I) 2655 2000 750 740 27.87

T1L2 (II) 2640 2000 725 715 27.08

T1L2 (III) 2630 2000 765 750 28.52

T2L2 (I) 2640 2000 640 635 24.05

T2L2 (II) 2630 2000 650 640 24.33

T2L2 (III) 2645 2000 620 615 23.25

T3L2 (I) 2610 2000 570 560 21.46

T3L2 (II) 2640 2000 575 570 21.59

T3L2 (III) 2625 3000 550 540 20.57

T1L3 (I) 3810 3000 - - -

T1L3 (II) 3815 3000 - - -

T1L3 (III) 3800 3000 - - -

T2L3 (I) 3820 3000 910 900 23.56

T2L3 (II) 3790 3000 890 875 23.09

T2L3 (III) 3780 3000 915 910 24.07

T3L3 (I) 3870 3000 750 740 19.12

T3L3 (II) 3795 3000 720 715 18.84

T3L3 (III) 3770 3000 700 685 18.17

• Pengeringan Konvensional

Perlakuan Bobot Bahan (gr) Rendemen

Umbi Segar Umbi Iris Chips Kering Tepung (%)

T1L1 1480 1000 330 310 20.95

T2L1 1470 1000 300 275 18.71

T3L1 1465 1000 265 240 16.38

T1L2 2660 2000 770 740 27.82

T2L2 2630 2000 615 600 22.81

T3L2 2630 2000 530 520 19.77

T1L3 3825 3000

T2L3 3825 3000 870 860 22.48


(2)

Contoh perhitungan:

Rendemen 100%

) (

) (

× =

gr Segar Umbi Berat

gr Tepung Berat

% 100 1475

315 × =

gr gr

% 36 , 21 = 2. Kadar Air

• Pengeringan dengan alat

Perlakuan Berat Cawan Berat Tepung Berat Kering Berat Tepung Berat Air Kadar Air

(gr) Awal (gr) Oven (gr) Kering (gr) (gr) (%)

T1L1 (I) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T1L1 (II) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T1L1 (III) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T2L1 (I) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T2L1 (II) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T2L1 (III) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T3L1 (I) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T3L1 (II) 3.5 5 8.4 4.9 0.1 2.041

T3L1 (III) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T1L2 (I) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T1L2 (II) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T1L2 (III) 3.5 5 8.1 4.6 0.4 8.696

T2L2 (I) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T2L2 (II) 3.5 5 8.2 4.7 0.3 6.383

T2L2 (III) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T3L2 (I) 3.4 5 8.2 4.8 0.2 4.167

T3L2 (II) 3.4 5 8.2 4.8 0.2 4.167

T3L2 (III) 3.5 5 8.3 4.8 0.2 4.167

T1L3 (I) - - - -

T1L3 (II) - - - -

T1L3 (III) - - - -

T2L3 (I) 3.5 5 8.1 4.6 0.4 8.696

T2L3 (II) 4.3 5 8.9 4.6 0.4 8.696

T2L3 (III) 4.3 5 9.0 4.7 0.3 6.383

T3L3 (I) 4.3 5 9.0 4.7 0.3 6.383

T3L3 (II) 4.6 5 9.2 4.6 0.4 8.696


(3)

• Pengeringan Konvensional

Perlakuan Berat Cawan Berat Tepung Berat Kering Berat Tepung Berat Air Kadar Air

(gr) Awal (gr) Oven (gr) Kering (gr) (gr) (%)

T1L1 4.3 5 9.0 4.7 0.3 6.383

T2L1 4.1 5 8.9 4.8 0.2 4.167

T3L1 4.2 5 9.0 4.8 0.2 4.167

T1L2 3.3 5 7.9 4.6 0.4 8.696

T2L2 3.2 5 7.9 4.7 0.3 6.383

T3L2 3.2 5 8.0 4.8 0.2 4.167

T1L3

T2L3 3.3 5 7.9 4.6 0.4 8.696

T3L3 3.1 5 7.7 4.6 0.4 8.696

Contoh Perhitungan: Cawan Berat Oven Kering Berat Kering Tepung

Berat = −

=9,0gr −4,3gr = 4,7 gr

Kering Tepung Berat Awal Tepung Berat Air

Berat = −

gr gr 4,7 0

,

5 −

=

= 0,3 gr

% 100 × − = Akhir Tepung Berat Akhir Tepung Berat Awal Tepung Berat Kering Tepung Berat 100% 7 , 4 7 , 4 0 , 5 × − = gr gr gr 100% 7 , 4 3 , 0 × = gr gr = 6,383 %


(4)

3. Warna (Organoleptik) • Pengeringan dengan alat

Perlakuan Skala Numerik (Panelis) Rataan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T1L1 (I) 3 3 3 2 3 3 2 3 2 2 2.6

T1L1 (II) 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3.0

T1L1 (III) 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 2.8

T2L1 (I) 2 2 2 2 3 2 3 3 3 3 2.5

T2L1 (II) 2 2 2 2 3 2 3 3 2 3 2.4

T2L1 (III) 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 2.2

T3L1 (I) 3 1 1 2 3 1 2 3 3 3 2.2

T3L1 (II) 3 1 1 3 3 1 2 3 2 2 2.1

T3L1 (III) 3 1 2 1 1 1 2 3 2 2 1.8

T1L2 (I) 2 2 2 1 2 1 3 3 3 2 2.1

T1L2 (II) 3 2 2 3 3 2 3 3 2 3 2.6

T1L2 (III) 3 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2.4

T2L2 (I) 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 2.6

T2L2 (II) 2 2 2 3 3 3 3 3 3 2 2.6

T2L2 (III) 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 2.6

T3L2 (I) 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1.3

T3L2 (II) 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1.3

T3L2 (III) 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 2.7

T1L3 (I) - - - - - - - - - - - T1L3 (II) - - - - - - - - T1L3 (III) - - - - - - - - -

T2L3 (I) 1 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1.4

T2L3 (II) 1 1 2 2 1 1 1 2 2 2 1.5

T2L3 (III) 3 1 1 2 1 2 1 3 2 2 1.8

T3L3 (I) 1 1 1 2 1 3 1 3 2 2 1.7

T3L3 (II) 3 1 1 2 1 2 2 3 3 2 2.0

T3L3 (III) 3 1 1 2 1 3 3 2 1 2 1.9

• Pengeringan Konvensional

Perlakuan Skala Numerik (Panelis) Rataan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T1L1 2 2 2 2 2 3 1 2 2 3 2.1

T2L1 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 2.6

T3L1 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 2.7

T1L2 2 2 3 3 1 2 2 2 2 2 2.1

T2L2 2 2 3 3 2 3 3 3 2 3 2.6

T3L2 2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 2.7

T1L3 - - - - - - - - - - -

T2L3 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2 1.6


(5)

Lampiran 10. Dokumentasi

Gambar pengeringan ubi jalar dengan alat pengering surya tipe rak


(6)

Lampiran 11. Kriteria Mutu Tepung Ubi Jalar

Kriteria Nilai

Kadar air (maksimal) Keasaman (maksimal) Kadar pati (minimal) Kadar serat (maksimal) Kadar abu

15 %

4 ml 0,1 N NaOH/100gram 55 %

3 % 2 %

Pengolahan ubi jalar menjadi tepung harus memenuhi kriteria tersebut. Sumber : Food and Energy Info