Mekanisme Checks and Balances

22 menjadi anggota lebih dari satu cabang, sehingga masing-masing cabang mengawasi check cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu mengontrol mesin negara. 28

B. Mekanisme Checks and Balances

Dapat diketahui bahwa UUD NRI 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut paham trias politica Montesquieu secara mutlak, yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial, tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances. Jimly Asshiddiqie mengatakan, kalaupun istilah pemisahan kekuasaan tadinya hendak dihindari, namun kita dapat saja menggunakan istilah pemisahan kekuasaan division of power seperti yang dipakai oleh Athur Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal. 29 Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas, yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan 28 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, cet. I, Makassar: Pusat Studi Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial, 2008, h. 23. 29 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 292. 23 yudikatif. 30 Tugas kekuasaan legislatif adalah membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum, dan kekuasaan yudikatif bertugas menafsirkan hukum. Kemudian tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and balances yang mengatakan bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang lain dalam rangka membatasi tindakan-tindakannya. Kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada organ tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing saling bergantung satu sama lain. 31 Istilah checks and balances menurut Black ‟s Law Dictionary, diartikan sebagai : arrangement of governmental power whereby powers of one governmental branch check or balance those of other brance. 32 Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lainnya. Penerapan konsep pemisahan kekuasaan di zaman modern saling mengkombinasi antara konsep pemisahan ataupun pembagian dengan konsep checks and balances. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah secara 30 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 87. 31 Ibid. 32 Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, St. Paul Minn: West Publishing, page 238. 24 tegas tetapi hanya dibagi-bagi sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan. Dalam teori checks and balances, guna penyeimbangan kekuasaan, memang dimungkinkan terjadinya overlapping kekuasaan. 33 Operasionalisasi dari teori check and balance menurut Fuadi, dapat dilakukan melalui: 34 1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. 2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. 3. Upaya hukum dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang yang lainnya. 4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya. 5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir bila ada konflik kewenangan antara eksekutif dan legislatif. Hampir semua negara hukum yang demokratis dewasa ini memuat konsep checks and balances pada konstitusinya, melalui penerapan- penerapan yang variatif. Sebagai contoh, konstitusi Republik Indonesia menempatkan cabang kekuasaan eksekutif Presiden sebagai co-legislator yang powerful. Selain berhak mengusulkan, Presiden juga membahas dan menyetujui setiap rancangan undang-undang. 33 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 45. 34 Munir Fuadi, Teori Negara Hukum Modern, Bandung: Refika Aditama, 2009, h. 124. 25

C. Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi