Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim Dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman

(1)

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN

KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

M A S R I P A TT U N N I S A N I M . 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 2

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Ilukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Masripattunnisa

N I M. 1612048000002

I

Di Bawah Bimbingan:

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGRBE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARII' HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini bedudul EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL DAI,AM MT]I{GAWASI

IIAKIM

DAN PIINGARI]IINYA

TERIIADAP

KEKUASAAN

I(EHAKIMAN, telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah F-akultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ihnu Ilukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Flidayatullah Jal<arta pada langgal 07 Mei

2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu llukurn.

Jakarta, 07 Mei2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Svariah dan Hukuln

Ketua

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

Penguji II

PANITIA UJIAN

Dr. Diawahir Hejazziev.S.H..M.A..M.H.

NIP. 1 9500306197603 1001

Drs. Abu Tamrin.S.H..M.Ifum.

NrP. 1 9650908 199503 l00t NurllaLibi,SJ:t.l-M=tL

NIP" 1 9760 817 2009 t2 1005 Dr. Al Fitra.S.H..M.I Iunr. NIP. I 97202032007 0t 103 4

Drs. Abu'l'amrin.S.H..M.Hum.

NIP. I 96509081 99503 1001

(

.II.

JM. Muslimin. M. IP. 196808121999903 r 01 4


(4)

TERIIADAP

KEKUASAAN

I(EHAKIMAN, telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah F-akultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ihnu Ilukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Flidayatullah Jal<arta pada langgal 07 Mei

2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu llukurn.

Jakarta, 07 Mei2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Svariah dan Hukuln

Ketua

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

Penguji II

PANITIA UJIAN

Dr. Diawahir Hejazziev.S.H..M.A..M.H.

NIP. 1 9500306197603 1001

Drs. Abu Tamrin.S.H..M.Ifum.

NrP. 1 9650908 199503 l00t NurllaLibi,SJ:t.l-M=tL

NIP" 1 9760 817 2009 t2 1005 Dr. Al Fitra.S.H..M.I Iunr. NIP. I 97202032007 0t 103 4

Drs. Abu'l'amrin.S.H..M.Hum.

NIP. I 96509081 99503 1001

(

.II.

JM. Muslimin. M. IP. 196808121999903 r 01 4


(5)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UlN) S yari f Hi dayatul lah J al<arta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dar karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri

(UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

v

KEHAKIMAN. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 86 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan, wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi Yudisial serta hubungan dan kerjasama Komisi Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan kehakiman dan bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library research yang mana melakukan pengkajian mendasarkan pendekatan pada aspek-aspek: norma-norma hukum, kerangka teori negara hukum, pemisahan kekuasaan, independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman serta efektifitas dari implementasi pengawasan hakim yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim belum cukup efektif karena masih terkendala beberapa faktor yaitu faktor pertama adalah faktor resistensi Mahkamah Agung yang seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Faktor berikutnya adalah regulasi. Dalam hal ini disebabkan karena terbatasnya wewenang pengawasan dan tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang terkait dengan teknis yudisial dan ranah perilaku. Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam hal ini meliputi tiga hal. Pertama, tidak massifnya fungsi pencegahan yang dilakukan Komisi Yudisal dalam mensosialisasikan dan menginternalisasi KE dan PPH. Kedua,

tidak adanya tenaga fungsional khusus investigasi dan pemeriksa yang membantu Anggota Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim. Ketiga, tidak adanya perwakilan di daerah juga turut berkontribusi.

Kata Kunci : Efektifitas, Pengawasan, Komisi Yudisial, Hakim, Kekuasaan Kehakiman.

Pembimbing : Nur Habibi,S.H.I., M.H. Daftar Pustaka : 1985 sampai dengan 2013


(7)

vi

KATA PENGANTAR









Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah

memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa tercurahkan kepada umat muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. H. J.M. Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu Hukum dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Nur Habibi, S.H.I.,M.H., Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang selalu memberikan saran serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.


(8)

vii

5. Ayahanda tercinta H.Hasan Ma’ruf (Alm) dan Ibunda tersayang Hj. Masto’ah, sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini,

allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”.

Nenekku tersayang Emak Jonah dan Anakku tercinta M.Taufiq Sahniyar Nur Yaasin, Saudara-saudariku Teh Lilis Hasanah,S.Pd., Laelatunnisa,S.Pd., Wardatunnisa,S.Pd.I., Mia Fitriatunnisa, dan keponakan Egi, Reza, Rafi, Septi,Nazwa, Naiyla, Walid keberadaan kalian selalu memberikan support. 6. Sahabat-sahabat terbaikku sekaligus rekan kerjaku di MTs Sirojul Falah, MTs

Asnawiyah, dan MA Sirojul Falah dan teman-teman Double Degree angkatan

Kedua; M.Ishar Helmi, M. Andriansyah, Uuf Rouf, Ihsan Badruni Nasution, dan Ahmad Farhan Subhi. Thank for all. Kalian selalu setia menemani dari awal masuk hingga saat ini dan telah memberikan canda dan tawa serta suka duka dalam berbagi ilmu yang penulis sama sekali belum tahu.

Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, April 2014 Penulis


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Studi Review ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB IIPengawasan Dalam Perspektif Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman A. Pengertian Pengawasan ... 17

B. UrgensiPengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman ... 23


(10)

ix

BAB III Hubungan dan KerjaSama Komisi Yudisial Dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim

A.Mekanisme Pelaksanaan Fungsi PengawasanKomisi Yudisial

dalam Mengawasi Hakim ... 41 B. Hubungan Kerjasama Komisi Yudisial dengan Kekuasaan

Kehakiman dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim ... 47 C.Teori Efektifitas Hukum ... 52

BAB IV Analisis Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam MengawasiHakim dan Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman

A.Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisialdalam Mengawasi Hakim danPengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman ... 58 B. Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam

Mengawasi Hakim danPengaruhnya terhadap

Kekuasaan Kehakiman ... 59

BAB V Penutup

A.Kesimpulan ... 81

B.Saran-saran ... 82


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Saat ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju mengembangkan lembaga komisi judisial (judicial commision).1 Latar belakang

pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara tersebut sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal berikut ini:2

Pertama, lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan

kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; Kedua, tidak

adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dari Kekuasaan

Kehakiman (judicial power); Ketiga, kekuasaan kehakiman dianggap tidak

mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non hukum;

Keempat, tidak adanya konsistensi lembaga peradilan, karena setiap putusan

kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga

1

Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum, yang berakar pada perkembangan historis, kultural dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena itu, setiap komisi yudisial bersifat unik dan kita tidak dapat melihat lembaga tersebut di luar konteks negaranya. Hingga saat ini setidaknya sudah ada 43 negara (termasuk Indonesia) yang mengatur

komisi yudisial dalam konstitusinya dengan sebutan yang beragam. Lihat A.Ahsin Thohari, Komisi

Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam, 2004), h, 106.

2Ni’matul Huda,

Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), h, 149.


(12)

khusus; dan Kelima pola rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan

masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial

corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan

dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan publik yang hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya

praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.3

Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrol pun dirasa masih lemah. Ada faktor-faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan rakyat itu sendiri. Di tengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang seolah-olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap

3

Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan

Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006.


(13)

3

norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia untuk patuh terhadap hukum.4

Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem

kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir

sebagai konsekwensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur

kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya pada sub-sistem kekuasaan kehakiman.5

Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan.

Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de

corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan

perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan

4

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h, 56.

5

Bambang Widjoyanto, Komisi Yudisial: Checks and Balances – Dan Urgensi

Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006, h, 111.


(14)

mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.6

Sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang mempunyai kewenangan dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Sebenarnya selama ini, terdapat pengawasan yang dilakukan secara internal oleh Mahkamah Agung. Namun demikian, pada prakteknya pengawasan internal oleh Mahkamah Agung ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: 7

1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas 2. Dugaan semangat membela korps

3. Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif

4. Kelemahan sumber daya manusia

5. Pelaksanaan pengawasan yang selama ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat.

6. Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku hakim yang menyimpang.

Dalam menjalankan perannya, Komisi Yudisial memanggul dua kewenangan konstitutional yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar

6

Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian

Kompas tanggal 2 Maret 2005, h, 5.

7

Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang


(15)

5

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

Perkembangan berikutnya, wewenang pengawasan Komisi Yudisial relatif mendapat penguatan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Melalui Undang-undang tersebut, terkait fungsi pengawasan hakim, Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi (Pasal 22A ayat (2). Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat meminta bantuan instansi penegak hukum untuk melakukan penyadapan (Pasal 20 ayat (3). Undang-Undang tersebut juga mengamanahkan bahwa rekomendasi sangsi yang diberikan Komisi Yudisial bersifat mengikat.

Kebutuhan adanya pengawasan terhadap lembaga peradilan termasuk pengawasan terhadap perilaku hakim mutlak dilakukan oleh semua pihak. Tidak hanya monopoli badan pengawas internal peradilan atau oleh Komisi Yudisial saja sebagai pemegang amanah dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Meskipun antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sepakat dalam pembentukan jejaring dan kerjasama.

Namun, pada kenyataannya jejaring dan kerjasama tersebut masih dirasakan belum efektif dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial tersebut, apabila sosialisasi yang dilakukan belum menjangkau


(16)

pada masyarakat pencari keadilan yang selama ini membutuhkan keadilan yang sebenar-benarnya keadilan, khususnya pada masyarakat awam yang belum memahami hukum dengan baik serta media online juga belumlah cukup

memfasilitasi sebagai salah satu alat dan cara untuk mensosialisasikan fungsi pengawasan tersebut, karena pengaruh dari sosialisasi, kerjasama, dan jejaring penghubung yang terbentuk itu akan berdampak pada hakim itu sendiri khususnya pada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Maka dari sinilah perlu adanya pengkajian kembali mengenai efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap hakim yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul:

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGAWASI HAKIM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN “.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas dan untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasinya pada bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.


(17)

7

2. Perumusan Masalah

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pasal 13 sampai dengan 22 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 secara teori sudah jelas bahwa dalam fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial maupun oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi mempunyai tugas dan wewenang yang sama dalam hal pengawasan.

Namun, realita dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim tersebut masih terdapatnya benturan kewenangan antara dua lembaga yang sama-sama memiliki kewenangan dalam hal pengawasan para hakim, yang seharusnya kedua lembaga tersebut harus bekerja sama dalam menegakkan keadilan dan hukum di ranah pengadilan yang masih dianggap buram karena perilaku para hakim yang tidak melaksanakan fungsinya sebagai hakim dengan baik.

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan. wewenang, dan urgensi pengawasan Komisi Yudisial ?

2. Bagaimana mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan Hakim dengan Kekuasaan Kehakiman.


(18)

3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman?

C.Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui kedudukan, wewenang dan urgensi pengawasan Komisi Yudisial.

2. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan, hubungan dan kerjasama Komisi Yudisial dalam pelaksanaan fungsi pengawasan hakim dengan kekuasaan kehakiman

3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini dalam mengkaji efektivitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman diharapkan dapat bermanfaat.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga kekuasaan kehakiman dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan hakim pada umumnya, maupun dikalangan akademisi yang sedang bergulat di


(19)

9

dalam bidangnya, khususnya para hakim itu sendiri agar bisa menegakkan keadilan dan hukum sebagaimana mestinya.

2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.

3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

E.Studi Review

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan telaah pada hasil penelitian sebelumnya yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan diangkat oleh penulis, yaitu :

No Identitas Substansi Pembeda

1 Amir Syamsuddin,

Integritas Penegak

Hukum (Hakim, Jaksa,

dan Pengacara),

tentang MA Versus KY,

Kompas, Jakarta, Juni 2008

Hasil penelitian berupa buku ini membahas tentang MA versus KY dalam hal kewenangan

menjalankan fungsi

pengawasan yang masih

dianggap saling

berbenturan baik secara yuridis maupun akses

Disini penulis akan membahas

bagaimana efektifitas

pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam

hakim dan


(20)

2 IMAN KHILMAN, E0003196, ANALISIS

UNDANG-UNDANG

NOMOR 22 TAHUN

2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DITINJAU DARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 005/PUU-IV/2006 TENTANG PENCABUTAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN

publik atas informasi.

Berdasarkan penulisan ini diperoleh hasil bahwa setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor

005/PUU-IV/2006,

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1945 dan tidak

berkekuatan hukum

mengikat terutama pasal-pasal yang berkaitan

dengan fungsi

pengawasan terhadap

terhadap kekuasaan kehakiman, adakah kerjasama antara

dua lembaga

tersebut baik secara internal maupun eksternal dalam hal

ini khususnya

dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan efektifitasnya dalam mengawasi hakim pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.


(21)

11

TERHADAP HAKIM.

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (skripsi). 2007.

hakim.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode:

a. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah:

1. Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.8

2. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

8

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang :


(22)

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain :

1. Pendekatan perundang-undangan yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan

pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.9

2. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk

mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila

menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.10 Secara Vertikal: pendekatan dengan melihat apakah suatu peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki perundang-undangan yang ada.11

Secara Horizontal : pendekatan dengan meninjau peraturan

perundang-undangan yang kedudukannya sama atau sederajat.

9

Ibid, h. 295

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali

Press, 1985),h.85.

11

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,


(23)

13

b. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu :

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-undangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum primer tersebut yaitu UU Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 39 sampai dengan Pasal 44.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.12 Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang

ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal

hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992),


(24)

hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data digital.

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan dalam penelitian ini berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinterventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah,dan sebagainya.13

d. Teknis Analisis Bahan Hukum

Teknis analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali


(25)

15

bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain : 1. Memilih pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tentang Komisi

Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman yang berisi kaidah-kaidah hukum. 2. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang penulis angkat sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.

e. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :

Pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(26)

Kedua dalam bab ini membahas tentang pengawasan dalam perspektif Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman meliputi pengertian pengawasan, urgensi, kedudukan dan dan wewenang Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan hakim menurut perundang-undangan.

Ketiga dalam bab ini membahas mengenai mekanisme pelaksanaan pengawasan komisi yudisial, hubungan kerjasama Komisi Yudisial dalam pelaksanaan fungsi Pengawasan hakim dengan Kekuasaan Kehakiman

Keempat dalam bab ini mengenai analisis efektifitas pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman.

Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.


(27)

17

BAB II

PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF KOMISI YUDISIAL DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

A.Pengertian Pengawasan

Kata pengawasan berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”.1

Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu kegiatan pengelolaan.2

Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam bahasa Inggris disebut controlling.3 Dalam Bahasa Indonesia, menurut Sujamto

fungsi controlling itu mempunyai dua padanan yaitu pengawasan dan

pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian itu pengertiannya lebih “forceful” dari pada pengawasan, yaitu sebagai segala

1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta,

TP, 2008), h, 123. p

2 Ni’matul Huda,

Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6 (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 101

3

Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h, 53


(28)

usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya.4

Mengenai pengertian pengawasan, George R Terry menyatakan sebagai

berikut : “Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.”5

Menarik dari pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa fungsi pengawasan dalam perspektif hukum itu berbeda dengan pengawasan dalam perspektif administrasi atau manajemen. Dalam perspektif administrasi atau manajemen, pengawasan pelaksanaan tugas dan pekerjaan dalam suatu organisasi tertentu itu telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan apakah tujuan yang dicanangkan itu tercapai atau tidak. Berdasarkan perspektif hukum, pengawasan itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah dilakukan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang berlaku.

Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapa pun

4

Ibid, h, 53.

5

Dari pengertian ini nampak bahwa pengawasan dititik beratkan pada tindakan ealuasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian, tindakan pengawasan ini tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, justru pada akhir suatu kegiatan, setelah kegiatan itu menghasilkan sesuatu.

George R Terry, yang dikutip dalam bukunya Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan

Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), h, 36.


(29)

19

pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.6

Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian diambil langkah perbaikan.7

Agar fungsi pengawasan mendatangkan hasil yang diharapkan, pimpinan organisasi harus mengetahui ciri-ciri suatu proses pengawasan dan yang lebih penting lagi, berusaha untuk memenuhi sebanyak mungkin ciri-ciri dalam pelaksananya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:8

1. Pengawasan harus bersifat “fact finding” dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi

pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan dalam organisasi.

2. Pengawasan harus bersifat preventif yang berarti bahwa pengawasan itu dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang ditentukan.

6

Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi

Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial, TT), h, 207.

7

Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1996), h, 103.

8


(30)

3. Pengawasan diarahkan pada masa sekarang, yang berarti pengawasan hanya dapat ditunjukkan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan. 4. Pengawasan merupakan alat untuk meningkatkan efesiensi. Pengawasan tidak

boleh dipandang sebagai tujuan akhir.

5. Pengawasan hanyalah sekedar alat administrasi dan manajemen, maka pelaksanaan pengawasan harus memperhatikan tercapainya tujuan.

6. Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah tetapi untuk menemukan apa yang betul dan yang akan diperbaiki.

7. Pengawasan harus bersifat membimbing agar para pelaksana meningkatkan kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.

Berbicara tentang pelaksanaan pengawasan itu pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Jalur yang pertama yakni melalui pengawasan melekat. Pengawasan melekat merupakan kombinasi dari pengawasan atasan langsung dan sistem pengendalian manajemen.

Pengawasan melekat hakekatnya merupakan suatu kewajiban. Oleh karenanya memiliki sifat yang mutlak, yang berarti harus dilakukan. Meskipun seorang pemimpin atau manajer telah dibantu oleh suatu aparat yang khusus melaksanakan pengawasan, akan tetapi pimpinan tersebut pelaksanaan tugas anak buahnya. Pengawasan melekat ini sangat efektif untuk mengendalikan aparat pemerintah, sehingga akan terwujud pemerintah yang bersih dan berwibawa.


(31)

21

Efektifitas ini sehubungan dengan adanya 3 sifat yang dimiliki pengawasan melekat ini, yakni bersifat tepat, cepat, dan murah.

Jalur kedua pengawasan yakni melalui pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/aparat pengawasan yang dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan fungsional tersebut dilakukan lembaga/badan/ unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun jenis-jenis pengawasan menurut Fachrudin dalam buku W. Riawan Tjandra9 mengklasifikasikan pengawasan sebagai berikut:

1. Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan melaksanakan kontrol dapat diklasifikasikan:

a. Kontrol intern (internal control). Pengawasan yang dilakukan oleh suatu

badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah.

b. Kontrol ekstern. Pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ yang secara struktur organisasi berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif. 2. Pengawasan menurut sifatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

9


(32)

a. Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang sifatnya dalam rangka mencegah penyimpangan.

b. Pengawasan represif merupakan kelanjutan dari mata rantai pengawasan preventif yang sifatnya mengoreksi atau memulihkan tindakan-tindakan yang keliru.

3. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Kontrol a-priori. Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan

atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori

mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah dan menghindarkan terjadinya kekeliruan.

b. Kontrol a-posteriori. Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkannya

suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Pengawasan ini mengandung sifat pengawasan refresif yang bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru.

4. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi dapat diklasifikasikan atas: a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas). Pengawasan dimaksudkan untuk

menilai segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid). Kontrol peradilan atau

judicial control secara umum masih dipandang sebagai pengawasan segi

hukum (legalitas) walaupun terlihat adanya perkembangan baru yang mempersoalkan pembatasan itu.


(33)

23

b. Pengawasan dari segi kemanfaatan (opportunity). Pengawasan yang

dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya (doelmatigheid). Kontrol

internal secara hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian segi hukum (rechtmetigheid) dan sekaligus segi kemanfaatannya (opportunity).

5. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan dengan mengutip pendapat Hertogh dapat dibedakan atas:

a. Pengawasan unilateral (unilateral control). Pengawasan yang

penyelesaiannya dilakukan secara sepihak oleh pengawas.

b. Pengawasan refleksif (reflexive control). Pengawasan yang penyelesaiannya

dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negoisasi antara pengawas dan yang diawasi.

B.Urgensi Pengawasan Hakim Dalam Independensi Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Penjelasan setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan


(34)

mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.10

Peradilan harus bersifat independen serta impartial (tidak memihak).11 Peradilan yang bebas pada hakekatnya berkaitan dengan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan peradilan yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara sesama warga diproses melalui peradilan. Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mempengaruhi dan terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.

Berbagai persoalan yang membelit kekuasaan kehakiman menjadi salah satu agenda penting reformasi. Sehingga pada perubahan UUD 1945, pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan mengalami perubahan yang cukup signifikan

10

RE. Baringbang, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi

Hukum, (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001), h, 31.

11


(35)

25

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat 4 (empat) perubahan penting dalam UUD 1945 Pasca Amandemen;12

1. Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam pasal-pasal UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan UUD 1945. 2. Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi

satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak kalah penting untuk diperkuat pada masa yang akan datang adalah terwujudnya keterbukaan di pengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh pengadilan.

3. Berkaitan dengan persoalan keterbukaan pengadilan, Jeremy Bentham dua abad lalu pernah menyatakan: “In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in every shape hape full swing. Only in proportion as publicity has place can any

of the check applicable to judicial in justice operate. Where there is no publicity

there is no justice. Publicity is the very soul of justice. It is keenest spur to

exertion and the surest of all guard against improbity. It keeps the judge himself

while trying under trial”.13 Jika diterjemahkan kira-kira berbunyi: “ Dalam

12

Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember

2007, h, 11.

13


(36)

gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada dipuncak kekuatannya, hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala bentuk ketidakadilan dilembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili (perkara).

4. Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

5. Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga baru. Pengawasan terhadap hakim haruslah menjadi kewenangan Komisi Yudisial, karena sangatlah keliru kalau dikatakan secara universal Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi hakim agung. Seiring dengan keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap hakim harus terus diperkuat eksistensinya. Dengan memperkuat transparansi dan akuntabilitasnya terhadap publik seraya membangun sinergi dengan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.14

6. Adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review Undang-Undang terhadap UUD 1945, memutus

14


(37)

27

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu.

Jadi, landasan konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20,21,24, 24A, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan mengadili merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, sedangkan sistem peradilan di negara kita belum menganut integrated criminal

justice system. Sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem

penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh. Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam perkara pidana.

Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa;

Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan


(38)

eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial.15

Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat

bertindak “contra legem”. Selanjutnya harus disadari bahwa kebebasan dan

independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, dimana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).16

Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan

15

Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan

Presiden Secara Langsung, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h, 24.

16

Paulus E.Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah

disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “ Penegakan Hukum

dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), Denpasar, 14-18 Juli 2003, h, 7.


(39)

29

demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap inparsialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.17

C.Kedudukan Komisi Yudisial dalam Pengawasan

Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan refresif sebagai wewenang dan

tugas konstitusional yang muncul dari frasa”... mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B.

Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based

power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakim selain

17


(40)

berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung harus menerima kenyataan pahit bahwa wewenang pengawasan tidak dapat diimplementasikan sesuai amanat konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalitas payung hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.18

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).19 Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus

bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan pasal-pasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial,

sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, berdasarkan putusan tersebut, saat ini tidak lagi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bawah konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya,

18

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

19

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23 Agustus 2006.


(41)

31

saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal

hakim.

Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih menempatkan Komisi Yudisial sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain

untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparing

partner) yang selain mencari kesalahan juga bisa memberikan penghargaan

terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal oleh Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Ini berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, selain berwenang melakukan pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.20

Jadi, peran Komisi Yudisial sebenarnya tidak hanya di ranah preventif-refresif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara nomenklatur untuk Komisi Yudisial adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial

20

The Constitution of Italy, The Translation of the Later Amandements by Bernard E.


(42)

Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur

dalam konstitusi kita.

Meskipun demikian, dengan berpijak pada kenyataan bahwa mengubah konstitusi tidak mudah, kelemahan-kelemahan pengaturan pada tingkat konstitusi dapat diminimalisasi dampaknya apabila pengaturan pada tingkat undang-undang dapat menterjemahkan kedudukan, wewenang, dan tugas Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, beberapa pihak menginginkan agar Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan sekedar kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Perluasan kewenangan yang patut mendapat pertimbangan adalah mutasi dan promosi hakim. Di negara-negara yang memberikan kewenangan secara terbatas terhadap Komisi Yudisial pun mengenal adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini dimiliki oleh Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan semacam Prancis, Italia, Spanyol, dan Portugal.21

Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of law dapat

21

Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi

Nugroho dan M.Zaki Hussein, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002), h, 13.


(43)

33

sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. tegaknya rule of law itu justru

merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang sehatnya sistem demokrasi yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945. Demokrasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan

kehormatan, kewibawaan, dan keterpercayaannya.22

Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perlu dicatat bahwa, meskipun secara struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi , tetapi secara fungsional, peranannya bersifat menunjang (auxiliary)

terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik

(code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan,

keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.23

Keberadaannya pun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman dan di lingkugan Mahkamah Agung. Artinya, sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih

22

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h, 158.

23


(44)

menjamin efektivitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik keluar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat

sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasnya.

Oleh karena itu, meskipun secara struktural kedudukannya memang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun karena sifat fungsinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan

protokolernya tidak perlu difahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR,MPR, DPD,dan BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sendiri bukanlah lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan negara secara langsung.

Komisi Yudisial bukan lembaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif. Komisi Yudisial ini hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary).24

Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Komisi Yudisial juga bekerja berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat. Dalam bekerja, Komisi Yudisial harus lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan parlemen. Lebih tegasnya, Komisi Yudisial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat

24


(45)

35

politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif, pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman.

D.Wewenang Pengawasan Hakim dalam Perspektif Perundang-undangan Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Agung, ketentuannya diatur dalam Pasal 24 A yang terdiri atas lima ayat. Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal Undang-Undang (the guardian of Indonesian law).

Menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945,

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “ Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai


(46)

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” Dengan perkataan lain, oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas diamanati dengan dua kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii) menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan tambahan yang secara konstitusional didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya sendiri.

Artinya, kewenangan tambahan ini tidak termasuk kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, melainkan diadakan atau ditiadakan oleh Undang-Undang.25

Menurut ketentuan Bab III Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang (a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Selanjutnya ditentukan oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas :

a. Melaksanakan pendaftaran calon Hakim Agung. b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung c. Menetapkan calon Hakim Agung, dan

25

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


(47)

37

d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

Pasal 20 Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial itu menyatakan, “ Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku

hakim”. Selanjutnya, Pasal 21 menyatakan, “ untuk kepentingan pelaksanaan

kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan

Mahkamah Agung dan /atau Mahkamah Konstitusi”.

Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial :

a. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim

b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim.

c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim

d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, dan

e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Oleh karena itu untuk menciptakan institusi pengadilan yang terkontrol dari virus-virus mafia, maka fungsi pengawasanlah yang bekerja ekstra keras.


(48)

Dalam pasal Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, pasal 39 ayat (1) menjelaskan bahwa,” Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung”.

Pasal 39 Ayat (2) menegaskan bahwa,” Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sebagai bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara internal cenderung tertutup sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun tak akan sampai diketahui oleh masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan moral ataukah penjagaan citra dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu dibentuknya sebuah lembaga pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi Yudisial. Salah satu alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang baik.

Tugas utama dari Komisi Yudisial ialah menjaga dan mempertahankan kebebasan hakim (judicial Independent) agar supaya selalu obyektif dalam

memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam bentuk pengaduan-pengaduan tentang perilaku hakim. Maka tanpa sebuah


(49)

39

lembaga yang mampu menyaring (filter) pengaduan tersebut maka akan sangat

mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial hadir sebagai pengawas eksternal dan media penerima pengaduan-pengaduan tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan tersebut.

Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.

Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika masuk rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak diindahkan sama sekali. Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak ditindak lanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan bersama.

Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun akan sangat susah untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih dan


(50)

beretika jika masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing, akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan merekonstruksi sistem pengawasan terletak pada pembahasan Rancangan Undang Komisi Yudisial. Mari kita berharap pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.26

26

Muhammad Fhadil, Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada tanggal 15 Januari 2014 dari

http://muhammadfadhilpermahi.blogspot.com/2012/12/menjelajahisistempengawasan -hakim.html.


(51)

41

BAB III

HUBUNGAN DAN KERJASAMA KOMISI YUDISIAL DALAM PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM DENGAN

KEKUASAAN KEHAKIMAN

A.Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim

Pengawasan perilaku hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial sebagaiman diamanahkan oleh konstitusi yang tertuang dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Ketentuan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam lima pasal yaitu pasal 13 huruf (b), pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Beberapa pasal tersebut diatur mengenai fungsi kontrol ekstern dalam menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan menjaga perilaku hakim.1

Adanya kewenangan pengawasan Komisi Yudisial merupakan fungsi penting dalam menunjang independensi peradilan dengan menguatkan kinerja pengawasan fungsional intern yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 21 Undang-Undang Komisi Yudisial secara terminologis hakim yang dimaksud adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan

1

Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”,


(52)

peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi . untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf (b), Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.2

Mekanisme pengawasan Komisi Yudisial dalam melaksanakan kontrol ekstern diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yaitu sebagai berikut:

1. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

2. Komisi Yudisial meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim.

3. Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.

4. Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim.

5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Dalam hal pengawasan perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai berbagai hambatan setelah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan

2


(53)

43

kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan memberikan rekomendasi. Apalagi setelah permohonan sebanyak 31 orang hakim agung untuk menghapuskan beberapa pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.3

Beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang Revisi4 ini:

1. Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim5

a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim

b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.

c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.

d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.

e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang dan atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluruhan martabat hakim.

3

Ibid. h. 106-107.

4

Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

5

Lihat pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.


(54)

Perbandingan dengan ketentuan yang lain, bahwa dalam revisi Undang-Undang Komisi Yudisial sudah dijabarkan dalam beberapa turunan kegiatan yang menegaskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini dapat dimaknai sebagai jawaban atas ketidakpastian hukum yang dijadikan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk menganulir beberapa ketentuan dalam Undang-Undang sebelumnya.

2. Penyadapan6

Untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas yang bersifat

refresif7 dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan

penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Penyadapan ini merupakan kewenangan baru bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Revisi Undang-Undang ini, Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan menyadap telepon hakim secara langsung. Komisi Yudisial hanya dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK, Kepolisian dan kejaksaan yang memiliki kewenangan tersebut karena mengingat Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum dalam kapasitas yang pro-justicia.8

6

Lihat pasal 20 ayat 1 huruf (d) sampai dengan huruf (e) dan ayat 3 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.

7

Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menetukan dan menilai hakim yang melakukan pelanggaran terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat mencedrai kehormatan, keluhuran dan martabat hakim.

8

Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, h.


(55)

45

3. Rekomendasi Sanksi

Pelaksanaan sanksi sering terjadi kontroversi, sekarang ditegaskan dalam Undang-Undang. Jika putusan Komisi Yudisial di diamkan saja dalam waktu 60 hari, hal itu otomatis berlaku dan wajib dilaksanakan Mahkamah Agung. Dahulu memang harus ditentukan oleh Mahkamah Agung, sekarang tidak lagi. Jadi, ketika Komisi Yudisial menjatuhkan rekomendasi sanksi bagi hakim, Mahkamah Agung harus mengikuti. Jika rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam waktu 60 hari, maka rekomendasi tersebut otomatis berlaku. 9

4. Sanksi Terperinci

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial mengatur sanksi lebih variatif yaitu:

a) Sanksi ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis.

b) Sanksi sedang, yaitu penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penurunan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama enam bulan., dan,

c) Sanski berat, yaitu pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun, pemberhentian sementara,

9

Ibid, h. 111.


(56)

pemberhentian tetap dengan hak pensiun, dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Ketentuan ini dikecualikan bagi rekomendasi Komisi Yudisial berupa pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Untuk sanksi ini sudah diatur melalui proses Majelis Kehormatan Hakim.

5. Bidang Seleksi Hakim

Komisi Yudisial kini bukan lagi hanya menyeleksi hakim agung, tetapi juga hakim ad hoc di Mahkamah Agug karena itulah Komisi Yudisial kini

bertanggung jawab untuk menghasilkan hakim ad hoc yang berkualitas (Lihat

Pasal 13 huruf (a) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial).

6. Peningkatan Kapasitas Hakim dan Kesejahteraan Hakim

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dalam Pasal 20 ayat (2) lebih memperhatikan aspek-aspek kebutuhan dan kepentingan hakim sehingga dalam melaksanakan tugasnnya, hakim dapat menjaga wibawa dan kehormatannya demi menghindari tindakan atau sikap yang dapat melanggar etika, perilaku hakim, sampai dengan penyalahgunaan wewenang. 7. Penghubung di Daerah

Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan, dimana dalam penjelasannya, lembaga penghubung ini betugas untuk membantu melaksanakan tugas Komisi Yudisial. (Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011).


(57)

47

Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dibentuk untuk meningkatkan fungsi tugas dan kinerja Komisi Yudisial. Demi menyongsong pembaharuan pengawasan di badan peradilan tentunya bukan Komisi Yudisial saja yang mempunyai tugas akan tetapi control intern Mahkamah Agung harus terus dioptimalkan fungsi pengawasannya sehingga dapat mewujudkan peradilan yang transparan dan akuntabel.10

B. Hubungan dan Kerjasama Komisi Yudisial dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim dengan Kekuasaan Kehakiman

Menurut Jimly Asshiddiqie,11 maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus

10

Ibid, h. 123-124.

11Jimly Asshiddiqie, “

Kata Pengantar” dalam buku A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), h, 13-14.


(1)

81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis serta didukung data dan fakta yang ada mengenai kedudukan dan pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dapat ditarik kesimpulan:

1. Kedudukan Komisi Yudisial bila dilacak dalam proses pembahasan UUD 1945, adalah sebagai lembaga negara mandiri yang terlepas dari intervensi kekuasaan manapun dalam menjalankan tugasnya.

2. Wewenang pengawasan Komisi Yudisial masih belum cukup kuat karena produknya bersifat rekomendasi yang tidak mengikat. Meskipun dalam UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial terdapat klausul yang menyatakan bahwa rekomendasi terkait usul penjatuhan sanksi Komisi Yudisial dapat berlaku otomatis, namun tidak ada sanksi bagi Mahkamah Agung apabila tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut.

3. Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim belum cukup efektif karena masih

terkendala beberapa faktor yang berakibat tidak maksimalnya pelaksanaan fungsi pengawasan. Faktor pertama adalah faktor resistensi Mahkamah Agung yang seringkali tidak menindaklanjuti rekomendasi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH) yang disampaikan Komisi Yudisial. Faktor berikutnya adalah regulasi. Dalam hal ini disebabkan karena terbatasnya wewenang pengawasan


(2)

dan tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang terkait dengan teknis yudisial dan ranah perilaku. Keduanya berakibat pada fungsi pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berjalan kurang efektif. Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam hal ini meliputi tiga hal.

Pertama, tidak massifnya fungsi pencegahan yang dilakukan Komisi Yudisal

dalam mensosialisasikan dan menginternalisasi KE dan PPH. Kedua, tidak adanya tenaga fungsional khusus investigasi dan pemeriksa yang membantu Anggota Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan hakim. Ketiga,

tidak adanya perwakilan di daerah juga turut berkontribusi bagi lemahnya efektifitas kinerja pengawasan Komisi Yudisial,

B. Saran

1. Diperlukan pengaturan secara jelas dalam bentuk Undang-Undang untuk memperkuat wewenang pengawasan Komisi Yudisial dan mengatur secara tegas pembedaan antara ranah perilaku, ranah teknis yudisial dan ranah administrasi. Selain itu, diperlukan pula tanggungjawab negara melalui fungsi legislasi yang dalam hal ini harus diperankan DPR dan Pemerintah.

2. Dalam mensikapi keterbatasan wewenang, Komisi Yudisial perlu melakukan penguatan internal dengan membangun sistem pengawasan dan penguatan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. “Kata Pengantar” dalam buku Thohari, A.Ahsin, Komisi Yudisial

& Reformasi Peradilan, ELSAM: Jakarta, 2004.

---, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. Ke-2, Konstitusi Perss: Jakarta, 2011.

---, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-2, Sinar Grafika: Jakarta, 2012.

---, Manan, Bagir. et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden

Secara Langsung, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia: Jakarta, 2006.

Baringbang, RE. Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi

Hukum, Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001.

Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6, Bandung: Nusa Media, 2012.

---, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007.

Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Pubblishing: Malang, 2008.

Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

MD, Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, cet. Ke 2, LP3ES, Jakarta, 2011

Muqoddas, Busyro. Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan

Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di

Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 2006.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, TP, 2008.


(4)

Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, Genta Press: Jakarta, 2013.

Siagian, P. Sondang . Filsafat Administrasi, Jakarta: CV. Gunung Agung, 1985. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2007.

---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992.

--- dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985. Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung:

Alumni, 1974.

Suggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Sunindhia, Y.W. Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Syamsudin, Amir.Integritas Penegak Hukum (Hakim,Jaksa, Polisi, dan Pengacara), Kompas: Jakarta, 2008.

Thohari, A. Ahsin.Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM:Jakarta, 2004. Tjandra, W. Riawan. Hukum Keuangan Negara, Jakarta: PT.Grasindo, 2006.

Usfunan, Yohanes. Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi

Yudisial, Jakarta: Komisi Yudisial, TT.

Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M.Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.


(5)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.

Mahkamah Agung RI, 2005, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang

tentang Komisi Yudisial.

Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23 Agustus 2006.

Artikel

Falakh, Muhammad Fajrul. MA-MK-KY, “Kekaburan Konstitusi”, Artikel di Kompas, 11 Juli 2006.

Fhadil, Muhammad. Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada tanggal 15 Januari 2014 dari

http://muhammadfadhilpermahi.blogspot.com/2012/12/menjelajahisistempen gawasan-hakim.html.

Santosa, Mas Achmad. artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas, 02 Maret 2005.

Widjoyanto, Bambang. Komisi Yudisial: Checks and Balances – Dan Urgensi

Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu

Tahun Komisi Yudisial, 2006. Makalah dan Jurnal

E.Lotulung, Paulus. Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan

tema “ Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”,

diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Fariha, Tesis "Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang

Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, Program


(6)

Rauf, Maswadi. Komisi Yudisial sebagai Agent of Change dalam Mendorong

Reformasi Peradilan di Indonesia, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun

Komisi Yudisial, Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2006.

Thohari, A. Ahsin. Mengembalikan Khittah Komisi Yudisial Sebagai Pengawas

Eksternal Hakim, dalam Jurnal Hukum Panta Rei, Vol 1, No. 3, Februari

2009.

Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007.