Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengankatan Hakim Agung (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR)

(1)

DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG

(Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Diah Savitri NIM : 1110048000042

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(Implikasi Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : DIAH SAVITRI NIM : 1110048000042

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435H/2014M PEMBIMBING I

BURHANUDDIN, SH, M. HUM NIP : 197302151999031002

PEMBIMBING II

FITRIA, SH, MR NIP : 197908222011012007


(3)

Skripsi yang berjudul “KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 29 Desember 2014 Mengesahkan

Dekan,

H. JM. Muslimin, MA, Ph.D. NIP. 196808121999031014

PANITIA UJIAN

1. Ketua :Dr.Djawahir Hejazziey, SH, MA. (.………) NIP. 195510151979031002

2. Sekretaris : Arip Purkon, SH.I, MA (.………) NIP. 197904272003121002

3. Pembimbing 1 : Burhanuddin, SH, M.Hum. (.………) NIP.197302151999031002

4. Pembimbing II : Fitria, SH, MR. (.………) NIP. 197908222011012007

5. Penguji I : Nur Habibi, SH.I, MH. (.………) NIP. 197608172009121005

6. Penguji II : Nur Rohim Yunus, LLM. (.………) NIP. 197904162011011004


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya saya atau hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Desember 2014


(5)

Diah Savitri (1110048000042), KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR), di bawah bimbingan dan arahan Bapak Burhanuddin selaku Pembimbing I dan Ibu Fitria selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat pada pengangkatan hakim agung pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR dan apa yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut serta kendala apa saja yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam proses pengangkatan hakim agung secara keseluruhan.

Peneliti melakukan penelitian kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penulisan skripsi dan juga melakukan wawancara dengan pihak Komisi Yudisial dan DPR. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung seperti yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ternyata tidak sejalan dengan makna persetujuan yang disebutkan pada Pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini didasarkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 27/PUU-XI/2013 yang mengubah ketentuan memilih pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menjadi menyetujui. Begitu juga dengan ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung yang dalam praktiknya cukup menyulitkan, maka MK dalam putusannya mengubah kuota calon hakim agung yang diusulkan KY kepada DPR menjadi 1 (satu) calon hakim agung untuk setiap lowongan.

Kata Kunci : Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat , Kewenangan Daftar Pustaka : Tahun 2000 s.d Tahun 2013


(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT., atas segala kekuasaan dan kebenaran-Nya, telah membukakan pintu pengetahuan bagi penulis, sampai akhirnya penulis diperkenankan masuk dan menjelajahi ruang ilmu dengan berbagai deretan ujian dan pengalaman. Hal itu membuat penulis sadar bahwa ilmu adalah salah satu kendaraan yang dapat membuat kita sebagai manusia untuk bisa lebih dekat dengan-Nya.

Pada kesempatan ini pun, penulis ingin berbagi rasa gembira dan rasa syukur, serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung, mendoakan, dan membimbing, serta mendampingi penulis hingga terselesaikannya skripsi dan studi strata satu ini. Untuk itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada :

1. Ayahanda Alm. R. Sutarto, BBA yang semasa hidupnya selalu memberi semangat serta menjadi panutan bagi penulis dan Ibunda Martini, S.Pd atas dukungan dan pengorbanannya baik moral dan moril serta mencurahkan segala perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis serta tak pernah lelah dalam membimbing penulis, walaupun sampai saat ini penulis belum bisa membalasnya.

2. Bapak Burhanuddin, SH, M.Hum. dan Ibu Fitria, SH, MR selaku pembimbing I dan pembimbing II, Terima kasih atas arahannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.


(7)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA, MH selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Arip Purkon, SHI, MA selaku Sekretaris Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ibu Ipah Parihah S,Ag, MH, pembimbing akademik yang telah memberi

dukungan.

6. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ibu Lina Maryani, SH selaku Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial dan Bapak Tabah, SH, MH di Biro Rekrutmen KY, serta Bapak Bachrudin Nasori S.Si, MM Anggota Komisi III DPR RI, terima kasih atas segala doa dan bantuan kepada penulis karena sudah menjadi nara sumber yang baik.

8. Teman-teman seperjuangan di Kelas Ilmu Hukum B angkatan 2010 dan Kelas Ilmu Hukum Kelembagaan Negara yang telah berbagi suka dan duka selama perkuliahan Ekasari, Siti Rahmadianti, Galuh Hayu, Sarah Eka, Yulita Rosalina, Tanti Oktari, Mona Hasinah, M. Soma Karya Madari, Jentel Chairnosia, Siti Annisa Mahfudzoh, Azhary Arsyad dan yang lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Sahabat baik penulis Wildan Bahtiar, Dwi Suranti, Krisna Puspita dan Ina Siti Aminah, Siti Nuraini, Evianti, Maulizhar dan Andika Ifardi atas doa dan dukungannya.


(8)

memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah ikut berkontribusi terhadap penelitian ini.

Akhir kata dengan tidak melupakan keberadaan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan, penulis membuka diri untuk menerima segala bentuk saran dan kritikan yang konstruktif dalam rangka perubahan dan penyempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 11 Desember 2014


(9)

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR lAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah……….……1

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah………..8

1. Pembatasan Masalah………8

2. Rumusan Masalah………9

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..………..9

D.Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ………..………..………11

E.Metode Penelitian ………....………13

1. Tipe Penelitian ………13

2. Pendekatan Masalah ..………....15

3. Sumber Data………....15

4. Pengolahan dan Analisis bahan Hukum………18

F. Sistematika Penelitian ………..18

BAB II PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT A. Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power)……….20

B. Mekanisme Checks and Balances………22

C. Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi………...25

D. Teori Kewenangan………...29

E. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung……….…..33

F. Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung………..45

G. Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam………... 53 BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG SELEKSI CALON HAKIM AGUNG DI DPR A. Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR 1. Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan ………..56


(10)

B. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR

1. Kewenangan Mahkamah……….…66 2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon ..…………67 3. Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi tentang

Pokok Permohonan ………...71 BAB IV IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH HAKIM AGUNG

A. Praktek-Praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat

Negara………..79

B. Kendala yang Dihadapi dalam Proses Seleksi Hakim Agung

Secara Keseluruhan……….………..85 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….….. 98


(11)

Lampiran 1 Surat Permohonan Penelitian di KomisiYudisial

Lampiran 2 Surat Permohonan Penelitian di Dewan Perwakilan Rakyat Lampiran 3 Surat Keterangan Penelitian di Komisi Yudisial

Lampiran 4 Hasil Wawancara di Komisi Yudisial


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Amandemen UUD NRI 1945 yang terjadi pada tahun 1999 hingga tahun 2002 memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hasil amandemen ketiga UUD NRI 1945 menghasilkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi selain Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial.1 KY dibentuk sebagai lembaga pembantu (auxiliary institusion) di dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.2

KY merupakan lembaga yang mandiri berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY menyatakan “ Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.” Mandiri berarti tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau suatu pihak tidak bergantung kepada pihak lainnya yang dalam literatur disebut juga independen, berasal dari bahasa Inggris independence.3

1

Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, cet. I, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Juni 2008), h. 9. Lihat juga Hans Kelsen, Pure Theory of Law,

(1967), h. 8.

2

Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, cet. I, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 25.

3

Hari Murti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, cet.IX, (Jakarta: Nusa Indah Press, 2005), h. 89.


(13)

Secara struktural kedudukan KY diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.4 Meskipun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan kehakiman, KY tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman karena komisi ini bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of etic).5

Keberadaan KY sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman di lingkungan Mahkamah Agung. Sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk menjamin efektifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasannya.6

Pembentukan komisi ini juga merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung (MA). Penyatuan atap tersebut berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA. Dikhawatirkan MA tidak akan mampu melaksanakan kewenangan administrasi,

` 4 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, cet.I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 31.

5

Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Konpress, 2005), h. 153.

6

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 159.


(14)

personel, keuangan dan organisasi pengadilan yang selama ini dilakukan oleh departemen. Dibentuknya KY ini dengan harapan dapat mengubah struktur-struktur lama yang tertutup, sentralistik, otoriter dan tidak transparan tersentuh oleh nilai-nilai demokrasi dengan dilakukannya transformasi dan reformasi peradilan.7

Mengenai kewenangannya, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY merumuskan sebagai berikut:

Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim;

c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan

d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Menurut Jimly Asshiddiqie, karena tugas pertama dikaitkan dengan hakim agung dan tugas kedua dengan hakim saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu KY bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan represif) kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian, hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha, dan pengadilan militer serta termasuk hakim konstitusi.8

7

Indriaswati Dyah, ReformasiPeradilan dan Tanggung Jawab Negara, cet.V, (Komisi Yudisial, Jakarta 2010), h. 67.

8Ni‟matul Huda,


(15)

Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Dari keterangan pasal tersebut maka bisa dilihat adanya keterlibatan tiga lembaga negara, yaitu KY, DPR dan Presiden dalam proses pengangkatan hakim agung. Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung adalah dalam rangka mewujudkan fungsi checks and balances antar cabang kekuasaan negara dalam pemerintahan demokrasi.9

Berdasarkan Pasal 20A UUD NRI 1945, DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, yang mana fungsi pengawasan tersebut dilaksanakan melalui pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Kewenangan DPR yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang membutuhkan pertimbangan yang bersifat politik juga merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para hakim agung dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung dengan Keputusan Presiden. Tiga orang hakim konstitusi dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan presiden. Duta besar, diangkat oleh presiden dengan pertimbangan DPR, pimpinan atau dewan gubernur Bank Sentral dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Anggota Badan

9 Rifqi S Assegaf, 2004, “Urgensi Komisi Yudisial dalam Pembaruan Peradilan di Indonesia”


(16)

Pemeriksa Keuangan (BPK) dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Panglima TNI dan Kepala POLRI diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan sebagainya. 10

Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini dapat disebut juga hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Dengan adanya hak ini, lembaga perwakilan dapat ikut mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat publik dimaksud dalam menjalankan tugas dan kewenangannya masing-masing agar sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11

Namun dalam pelaksaan kewenangan tersebut kerap terjadi pertentangan antara DPR dan lembaga lain. Seperti yang terjadi pada tahun 2008, enam fraksi DPR menyatakan menolak Agus Martowardojo dan Raden Pardede sebagai calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan oleh Presiden untuk menggantikan Gubernur Bank Indonesia sebelumnya yaitu Burhanuddin Abdullah. Saat itu DPR menganggap dalam pengajuan dua nama tersebut terdapat kecenderungan Presiden mengarahkan untuk memilih salah satu calon yaitu Agus Martowardojo dari dua nama yang telah diajukan kepada DPR. Kecenderungan yang dinilai

10

Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, h. 36.

11

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h. 304.


(17)

terlalu mencolok tersebut menimbulkan penolakan dari beberapa anggota Komisi XI DPR.

Begitu pula yang terjadi pada proses pemilihan hakim agung tahun 2014, di mana Komisi III DPR menolak tiga (3) Calon Hakim Agung yang disodorkan KY Penolakan itu didasari hasil voting yang dilakukan Komisi III pada Selasa, 4 Februari 2014. Calon Hakim Agung Suhardjono, Maria dan Sunarto ditolak dengan alasan tidak mempunyai kualitas yang mumpuni dan kualitas ketiga calon tidak mengalami peningkatan setelah tahun 2012 gagal dalam uji kelayakan dan kepatutan seleksi Hakim Agung.12

Proses pengangkatan hakim agung yang melalui mekanisme politik tersebut dalam perkembangannya dinilai berpotensi menganggu independensi peradilan karena terintervensi oleh banyak kepentingan. Apabila DPR sebagai lembaga negara yang anggotanya berasal dari partai politik mempunyai kepentingan politik yang baik maka bisa diharapkan hasil hakim yang terpilih adalah yang baik juga, namun hal yang berbeda akan terjadi apabila kepentingan politik yang ada adalah tidak baik, maka hakim yang terpilih bisa saja terbelenggu dengan kepentingan-kepentingan yang buruk tersebut.

Mekanisme pengangkatan hakim agung yang melibatkan DPR berpotensi menghasilkan hakim-hakim yang tidak baik tergantung dari keadaan dan situasi

12

Diakses pada 9 September 2014 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/02/04/1835263/ Komisi-III-Tolak-Semua-Calon-Hakim-Agung.


(18)

politik yang ada.13 Padahal hakim merupakan suatu pekerjaan yang sangat memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum di suatu negara. Dalam artian, hakim merupakan benteng terakhir dari penegakan hukum di suatu negara. Oleh karena itu, apabila hakim di suatu negara memiliki moral yang sangat rapuh, maka wibawa hukum di negara tersebut akan lemah atau terperosok.14

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil dengan perkara Nomor 27/PUU-XI/201315 untuk mengembalikan kewenangan DPR yang awalnya memiliki kewenangan memilih calon hakim agung menjadi hanya menyetujui calon hakim agung dan mengubah jumlah kuota calon Hakim Agung yang diberikan KY kepada DPR untuk disetujui oleh DPR menjadi Hakim Agung dari tiga (3) calon setiap satu lowongan menjadi satu (1) calon setiap satu lowongan.

Uji materil tersebut diajukan karena mekanisme pengangkatan hakim agung oleh DPR dalamketentuan Undang-Undang KY dan Undang-Undang Mahkamah Agung berbeda dengan yang disebutkan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyebutkan kewenangan DPR adalah sebatas

13

Kewenangan DPR dalam Proses Seleksi Hakim Agung oleh Dio Ashar Wicaksana, peneliti MaPPI FH UI dalam Fiat Justitia Vol. 1/No.2/Juni 2013, h. 8.

14

Supriadi, Etikadan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 114.

15

Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(19)

memberikan “persetujuan” terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Dengan demikian DPR tidak dalam kapasitasnya melakukan seleksi, untuk

kemudian “memilih” calon hakim agung yang diusulkan oleh KY.

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis berpendapat bahwa berkaitan dengan hal tersebut maka penulis memilih judul sebagai berikut: KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR)

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan hal yang penting bagi penelitian, karena sebagai pembatas studi agar tidak melebar dan menjadi layak sehingga informasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menganalisa permasalahan utama tentang analisis yuridis terhadap kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung diperlukan data yang relevan dan akurat. Oleh karenanya, penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang hanya berkaitan dengan kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung saja, sehingga pengumpulan data akan lebih terarah.

2. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah di atas, permasalahan-permasalahan yang ingin dikaji pada penelitian ini antara lain:


(20)

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberi putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR tersebut?

2. Bagaimana kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam pengangkatan Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR?

3. Apa saja yang menjadi kendala Komisi Yudisial dan DPR dalam proses seleksi Hakim Agung secara keseluruhan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang penulis harapkan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Konstitusi dalam

memberi putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR.

2. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam pengangkatan Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR. 3. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi Komisi

Yudisial dan DPR terhadap proses seleksi Hakim Agung secara keseluruhan.


(21)

Manfaat Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa manfaat yang ingin diperoleh oleh penulis. Manfaat tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1) Manfaat Teoritis

a. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan baik di bidang hukum pada umumnya maupun di bidang Hukum Kelembagaan Negara pada khususnya.

b. Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung.

c. Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui dan mendalami tentang Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Pengangkatan Hakim Agung.

2) Manfaat Praktis

a. Penulis mengharapkan agar memberikan sumbangan pemikiran mengenai aspek Hukum Tata Negara khususnya mengenai Kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung.

b. Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun


(22)

semua pihak yang bekerja di bidang hukum, khususnya bidang Hukum Tata Negara.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Dalam sebuah penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang terdapat tema yang berkaitan dengan tema yang kita ambil meskipun arah dan tujuan penelitian tersebut berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih dahulu membahas terkait dengan Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pengangkatan Hakim Agung. Diantaranya adalah:

1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Disusun oleh Ariawan Zaki Fandira, dengan judul skripsi “Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam

Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung”. Skripsi tersebut hanya

membahas tentang kewenangan Komisi Yudisial dan sangat sedikit mrmbahas keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung, sedangkan penulis membahas lebih rinci sinergitas Komisi Yudisial dan DPR RI dalam proses pengangkatan Hakim Agung dan analisis putusan Mahkamah Agung terbaru tentang penghapusan kewenangan DPR RI dalam pengangkatan hakim agung.

2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, disusun oleh Muhamad Athoilah. Dengan judul “Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Terhadap


(23)

Pengangkatan Hakim Peradilan Agama (Analisis Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.” Skripsi

tersebut membahas pengangkatan hakim di lingkungan Peradilan Agama saja. Sedangkan penulis membahas pengangkatan hakim agung di lingkungan Mahkamah Agung.

3. Skripsi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, disusun oleh Dwi Wijonarko. Dengan judul “Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Mengenai Mekanisme

Perekrutan Hakim Agung Oleh Komisi Yudisial.” Skripsi tersebut

hanya membahas berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, sedangkan penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013.

4. Buku tentang Komisi Yudisial yang ditulis oleh A. Ahsin Thohari dengan judul “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan”. Perbedaannya dengan penulis, penulis buku tersebut mengkaji maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia, serta pentingnya menjaga kekuasaan kehakiman dari intervensi kekuasaan lain.

Kesimpulannya, penulis mencoba memberikan deskriptif analisis yang lebih komperhensif dan aktual pada kajian penelitian Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan dalam Pengangkatan Hakim


(24)

Agung dengan dikeluarkannya putusan mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013.

E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.16

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalahnya, tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan.17

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan system hukum yang berkaitan. Jenis penelitian ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.18 Spesifikasi penelitian ini menggunakan tipe

16

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. XIV, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003), h. 43.

17

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI, (Jakarta: Kencana: 2010), h. 142.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet.XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 52.


(25)

deskriptif analitis, yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran, menuliskan dan melaporkan suatu objek atau suatu peristiwa juga akan mengambil kesimpulan umum dari masalah yang akan dibahas.19

Dalam penelitian karya ilmiah dapat digunakan salah satu dari tiga bagian grand methode yaitu, library research, ialah karya ilmiah yang didasarkan pada literatur atau pustaka: field research, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian lapangan: dan bibliographic research, yaitu penelitian yang memfokuskan pada gagasan yang terkandung dalam teori. Berdasarkan pada subjek studi dan jenis masalah yang ada, maka dalam penelitian ini akan digunakan metode library research atau penelitian kepustakaan. Lazimnya disebut juga Legal Research atau Legal Research Instruction. Penelitian hukum semacam ini tidak mengenal penelitian lapangan, karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library research.20

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe masalah yang yang digunakan yaitu yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif untuk mengetahui

19

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), h. 11.

20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, h. 23.


(26)

lebih dalam mengenai kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung.21

Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep tentang kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung sehingga nanti akan diketahui dampak yang ditimbulkan dari kewenangan tersebut.

3. Sumber Data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu: a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data. Diperoleh dengan mengadakan wawancara secara langsung terhadap pihak yang dianggap perlu dan terkait oleh penulis. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan di mana dua orang atau lebih bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.22 Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial.

21

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 96. 22

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, h. 33.


(27)

b. Data Sekunder

Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dengan penjabaran sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundanng-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.23 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24A ayat (3)

b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

c) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

d) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

e) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

f) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD

g) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tantang Komisi Yudisial

h) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR

23


(28)

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum yang berkenaan dengan KY dan DPR, buku-buku hukum lainnya, skripsi hukum tata Negara, tesis hukum tata negara dan jurnal maupun materi-materi mengenai hukum yang berkaitan dengan tema Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD NRI 1945, peraturan perundang-undangan dan bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara mendalam tentang Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan yang digunakan.

F. Sistematika Penelitian

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terisi atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:


(29)

BAB I : PENDAHULUAN

Penulis akan mengemukakan mengenai : latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, metode penelitian serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II : PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Penulis akan menguraikan tinjauan umum mengenai : Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power), Mekanisme Checks and Balances, Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi, Teori Kewenangan, Tugas dan Wewenangan Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung, Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung serta Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam.

BAB III : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG SELEKSI HAKIM AGUNG DI DPR

Penulis akan menguraikan mengenai: Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013, Kewenangan DPR RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013.

BAB IV : IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA

TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH


(30)

PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH HAKIM AGUNG

Penulis akan menguraikan analisis terhadap pembahasan dari permasalahan yang ada, yaitu: Praktek-praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat Negara serta Kendala yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam proses seleksi hakim agung secara keseluruhan.

Penulis akan menguraikan tentang hasil analisis yang merupakan perumusan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, yang merupakan : Kesimpulan dan Saran dari penulis sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan dalam penelitian.


(31)

BAB II

PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

A. Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power)

Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya dan diterapkan pertama kali oleh The Framers of U.S. Constitution melalui proses penyaringan secara selektif dari teori Montesquieu dan dipadukan dengan visi dan pengalaman bernegara mereka yang berciri khas kebebasan politik dan supremasi hukum.24

Menurut Montesquieu, dalam bukunya L‟Espirit des Lois (1748), membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu : (1) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, (2) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan (3) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari kalsifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the yudicial function).25

24

Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, cet. I, (Yogyakarta: Genta Press, 2012), h. 29.

25

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 283.


(32)

Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi: a) Fungsi legislatif, b) Fungsi eksekutif dan c) Fungsi federatif.26

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif.

Trias politika dalam sistem kekuasaan pemerintahan menjadi bahan rujukan dan pilihan bagi negara-negara yang hendak membentuk pemerintahannya sesuai kondisi dan kultur di negara masing-masing. Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa setiap cabang kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.27

Doktrin yang murni pemisahan kekuasaan dirumuskan untuk menentukan dan menjaga kebebasan politik dengan membagi kekuasaan pemerintah ke dalam tiga cabang yakni, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang pemerintah dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain. Tidak ada individu yang diperbolehkan pada saat yang bersamaan

26

Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 117.

27

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. XXVIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.117.


(33)

menjadi anggota lebih dari satu cabang, sehingga masing-masing cabang mengawasi (check) cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu mengontrol mesin negara.28

B. Mekanisme Checks and Balances

Dapat diketahui bahwa UUD NRI 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut paham trias politica Montesquieu secara mutlak, yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial, tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain.

Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances. Jimly Asshiddiqie mengatakan, kalaupun istilah pemisahan kekuasaan tadinya hendak dihindari, namun kita dapat saja menggunakan istilah pemisahan kekuasaan (division of power) seperti yang dipakai oleh Athur Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal.29

Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas, yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

28

Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, cet. I, (Makassar: Pusat Studi Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial, 2008), h. 23.

29


(34)

yudikatif.30 Tugas kekuasaan legislatif adalah membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum, dan kekuasaan yudikatif bertugas menafsirkan hukum.

Kemudian tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and balances yang mengatakan bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang lain dalam rangka membatasi tindakan-tindakannya. Kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada organ tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing saling bergantung satu sama lain.31

Istilah checks and balances menurut Black‟s Law Dictionary, diartikan sebagai : arrangement of governmental power whereby powers of one governmental branch check or balance those of other brance.32 Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lainnya.

Penerapan konsep pemisahan kekuasaan di zaman modern saling mengkombinasi antara konsep pemisahan ataupun pembagian dengan konsep checks and balances. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara

30

Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 87.

31

Ibid.

32

Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing, page


(35)

tegas) tetapi hanya dibagi-bagi sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan. Dalam teori checks and balances, guna penyeimbangan kekuasaan, memang dimungkinkan terjadinya overlapping kekuasaan.33

Operasionalisasi dari teori check and balance menurut Fuadi, dapat dilakukan melalui:34

1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan.

2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan.

3. Upaya hukum dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang yang lainnya.

4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya.

5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir bila ada konflik kewenangan antara eksekutif dan

legislatif.

Hampir semua negara hukum yang demokratis dewasa ini memuat konsep checks and balances pada konstitusinya, melalui penerapan-penerapan yang variatif. Sebagai contoh, konstitusi Republik Indonesia menempatkan cabang kekuasaan eksekutif (Presiden) sebagai co-legislator yang powerful. Selain berhak mengusulkan, Presiden juga membahas dan menyetujui setiap rancangan undang-undang.

33

Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 45.

34


(36)

C. Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi

Doktrin trias politica Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara harus tercermin pada tiga (3) jenis organ negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan. Di sisi lain, perkembangan masyarakat baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya serta pengaruh globalisme, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap perubahan, serta efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.35

Perkembangan tersebut berpengaruh pada struktur organisasi negara, termasuk bentuk dan fungsi lembaga negara. Bermunculan lembaga-lembaga negara independen yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board) atau otoritas (authority). Lembaga-lembaga baru tersebut bisa disebut sebagai state auxiliary organs sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang.36 Salah satu kecenderungan bentuk ketatanegaraan Indonesia di masa transisi dan setelah perubahan UUD 1945 adalah munculnya Komisi Negara Independen (independen agencies) maupun lembaga struktural lainnya.

Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislaif maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi dari

35

Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 66.

36


(37)

ketiganya. Menurut Funk dan Seamon sebagaimana dikutip oleh Gunawan A. Tauda, sebuah komisi independen tidak jarang mempunyai kekuasaan quasi legislatif, quasi eksekutif dan quasi yudikatif.37

Pada tatanan praktik ketatanegaraan Indonesia, keseluruhan lembaga-lembaga negara yang dikategorikan sebagai komisi negara independen adalah yang memiliki karakteristik sebagaimana disebutkan berikut ini:38

1. Dasar hukum pembentukannya menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi dari komisi negara independen terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

2. Independen,dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak maupun kontrol dari cabang kekuasaan lain.

3. Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-mata kehendak Presiden.

4. Kepemimpinan komisi bersifat kolektif, jumlah anggota atau komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara.

5. Kepemimpinan komisi tidak dikuasai oleh partai politik tertentu. 6. Masa jabatan pemimpin komisi bersifat definitif, habis secara

bersamaan dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.

Komisi Yudisial sebagai komisi independen merupakan lembaga negara hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, tercantum dalam Pasal 24B UUD NRI 1945 di mana KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

37

Ibid., h.173.

38


(38)

keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai implementasi putusan tersebut diperlukan ketentuan turunan yang memuat lebih detail tentang Komisi Yudisial. Maka, pada tanggal 13 Agustus 2004 disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di era pemerintahan presiden RI Megawati Soekarnoputri.39

Merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat (4) UUD NRI 1945, maka keberadaan KY pada hakikatnya merupakan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pasal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY melalui Pasal 2 menyatakan:

Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.”

Membaca ketentuan pasal tersebut menunjukan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 menempatkan kedudukan KY sama dengan lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, MA dan MK. KY dikonstruksikan bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Tetapi lembaga ini dalam kewenangannya berkaitan erat dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam menjaga kredibilitas para hakim yaitu melalui

39

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Kiprah 7 Tahun Komisi Yudisial RI: Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2012) h. 14.


(39)

pengusulan pengangkatan hakim dan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.40

Untuk mendorong reformasi peradilan maka perlu dilahirkan suatu lembaga mandiri yang mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim dan rekruitmen hakim. Oleh karena itu dibentuklah suatu komisi yang bernama Komisi Yudisial. Tujuan dibentuk Komisi Yudisial adalah sebagai auxiliary organ dimana Mahkamah Agung adalah sebagai main state organnya.41 Sehingga dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa Komisi Yudisial dibentuk bukanlah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman melainkan sebagai elemen pendukung dalam rangka mendukung Mahkamah Agung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih dan berwibawa.

Apabila kita perbandingkan dengan sistem hukum di Prancis, lembaga sejenis KY atau disebut Counseil Superiur de la Magistrature (CSM) memiliki kewenangan untuk pengangkatan hakim bahkan mereka juga mempunyai kewenangan hingga dalam memberikan pertimbangan terhadap promosi, mutasi terhadap para seluruh hakim di Prancis. Tujuan

40

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet. I, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007) h. 108.

41

J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, cet.I, (Bekasi: Kesaint Blanc, 2008), h. 122.


(40)

dari sistem ini adalah agar adanya keseimbangan dari pihak eksekutif dan yudikatif dalam melakukan pengangkatan hakim-hakim di Prancis.42

Selain itu, tujuan dari dibentuk KY juga sebagai sarana agar masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Sehingga diharapkan kekuasaan kehakiman juga terjaga dari segi akuntabilitas dan independensi di hadapan masyarakat. Oleh karena itu diharapkan melalui KY, aspirasi masyarakat dapat dilibatkan di dalam proses pengangkatan Hakim Agung.

Meskipun kewenangan pengusulan Calon Hakim Agung diberikan kepada KY, namun tetap saja KY tidak mempunyai kewenangan yang begitu absolut dalam menentukan Hakim Agung yang terpilih, karena hasil seleksi oleh KY nantinya akan diberikan kepada DPR untuk disetujui. Sehingga proses seleksi Calon Hakim Agung ini bukanlah sebagai bentuk monopoli dari KY saja, karena pada akhirnya KY tetap membutuhkan institusi-institusi lainnya termasuk peran masyarakat untuk memberikan masukan terkait calon-calon Hakim Agung yang akan diseleksi.

D. Teori Kewenangan

Sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering

42

Rifqi Sjarief Assegaf, Kata Pengantar dari Komisi Yudisial Di Beberapa Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002), h. vi.


(41)

dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian juga sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, dalam arti ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).43

Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai blote match,44 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.45

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.46 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan

43

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 36.

44

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, cet. XVII, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 30.

45

A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, cet. V, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 52

46

Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia, 2002), h. 39.


(42)

hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.47

Terdapat perbedaan antara pengertian kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid).48 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya suatu onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di mana dalam dalam kewenangan itu terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).49

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.50

47

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , h. 35.

48

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, ( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22.

49

Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. X, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 78.

50


(43)

Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.51

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Berdasarkan uraian tersebut penulis akan membahas tentang kewenangan dua lembaga negara yang di amanatkan oleh UUD NRI 1945

51

A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, h. 57.


(44)

dalam mekanisme pengangkatan hakim agung dalam hal ini adalah KY dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dan DPR dalam menyetujui pengusulan pengangkatan hakim agung yang telah diusulkan oleh oleh KY.

E. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung

Sebagai lembaga yang lahir dari amanat UUD NRI 1945, KY mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Kewenangan tersebut secara detail terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Kewenangan itu diperkuat dengan Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU Nomer 18 Tahun 2011) menyebutkan bahwa KY memiliki wewenang sebagai berikut:

1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; 2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim;

3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;

4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Ketentuan lain juga menyebutkan KY berwenang menganalisis putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar untuk melakukan mutasi hakim (Pasal 42 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan melakukan seleksi pengangkatan


(45)

hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara bersama MA (diatur dalam UU No. 49 Tahun 2009, UU No. 50 Tahun 2009 tentang PA, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN).52

Wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung adalah wewenang yang dimiliki oleh KY untuk melakukan seleksi terhadap calon hakim agung dan kemudian mengusulkannya kepada DPR. Seleksi calon hakim agung merupakan kewenangan KY yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan jabatan hakim agung yang ditinggalkan hakim agung karena memasuki masa pensiun dan meninggal dunia.

Sejak kehadiran KY, pengangkatan calon hakim agung di samping berasal dari hakim karir, juga berasal dari non karir, seperti praktisi hukum, akademisi hukum dan lain-lain selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.53 Dalam melaksanakan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc, KY mempunyai tugas yang tercantum dalam Pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2011, yaitu:

52

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, (Jakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, 2012), h. 24.

53

Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, cet. I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 80.


(46)

1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung; 2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung; 3. Menetapkan calon hakim agung;

4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Pelaksanaan proses seleksi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama enam (6) bulan sejak KY menerima pemberitahuan dari MA mengenai lowongan hakim agung. Calon hakim agung yang dapat mengikuti seleksi di KY dapat berasal dari MA, pemerintah dan masyarakat. Berikut uraian proses seleksi calon hakim agung oleh KY:

1. Pendaftaran Calon Hakim Agung

Pendaftaran seleksi dilakukan setelah mendapat pemberitahuan pengisian jabatan hakim agung dari MA. Maka sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan hakim agung, KY mengumumkan pendaftaran penerimaan calon hakim agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.

Untuk mendaftar, seseorang harus memenuhi persyaratan untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah


(47)

Agung dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:54

Tabel 1

Persyaratan Hakim Agung

Hakim Karier Non Karier

1 Warga Negara Indonesia 1 Warga Negara Indonesia

2 Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

2 Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

3

Berijazah megister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang yang mempunyai keahlian di bidang hukum

3

Berijazah doctor di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang yang mempunyai keahlian di bidang hukum

4 Berusia sekurang-kurangnya 45 tahun

4 Berusia sekurang-kurangnya 45 tahun

5 Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban

5 Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban

6 Berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 tahun menjadi hakim tinggi, dan

6 Berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 20 tahun, dan

7

Tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.

7

Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Setelah masa pendaftaran ditutup, KY melakukan seleksi persyaratan administrasi. Seleksi tahap ini dilakukan dengan cara penelitian terhadap persyaratan administrasi calon hakim agung.kemudian KY mengumumkan daftar nama calon hakim

54

Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013), h. 63.


(48)

agung yang lolos seleksi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari.

Sejak pengumuman kelulusan persyaratan administrasi dilakukan, masyarakat diberikan kesempatan memberi informasi ataupendapat terhadap calon hakim tersebut dalam jangka waktu selama 30 (tiga puluh) hari. Setelah jangka waktu habis, KY melakukan penelitian atas informasi atau pendapat tersebut juga dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari).

2. Seleksi Calon Hakim Agung

Setelah melewati proses seleksi administrasi, calon hakim agung akan menjalankan serangkaian seleksi meliputi: karya profesi, pembuatan karya tulis di tempat, penyelesaian kasus hukum, profile assessment, klarifikasi, pemeriksaan kesehatan, pembekalan dan wawancara terbuka.55

a. Karya Profesi

Setiap calon wajib menyerahkan karya profesinya kepada panitia, yang berupa: 1) bagi calon dari jalur hakim karier menyerahkan putusan pengadilan tingkat banding pada saat yang bersangkutan menjadi ketua atau majelis dalam menangani dan memutus perkara. 2) bagi

55

Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, h. 64.


(49)

calon dari jalur non karier berprofesi jaksa, menyerahkan tuntutan jaksa (dakwaan), profesi pengacara menyerahkan pembelaan (pledoi), profesi akademisi dan profesi hukum lainnya menyerahkan hasil karya/publikasi ilmiah.56

b. Pembuatan Karya Tulis di Tempat

Pada proses ini para peserta seleksi diwajibkan untuk membuat suatu karya tulis yang secara langsung dikerjakan di tempat pelaksanaan dengan tema dan judul yang telah ditentukan oleh panitia

c. Pendapat Hukum

Setiap calon wajib menjawab soal kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan kasus hukum dalam bentuk membuat putusan kasasi/peninjauan kembali (judicial review) yang telah disiapkan oleh panitia.57

d. Penilaian Kepribadian (Profile Assessment)

Dalam rangka mengukur dan menilai kelayakan kepribadian calon hakim untuk diangkat menjadi hakim agung, dalam proses ini dilakukan self assessment,

56

Ibid.

57


(50)

profile assessment, investigasi dan klarifikasi. Untuk mengetahui track record calon hakim agung.58

e. Pemeriksaan Kesehatan, Pembekalan dan Wawancara Terbuka

Calon yang telah lulus dari rangkaian seleksi kualitas dan kepribadian tadi, akan mengikuti wawancara terbuka yang meliputi: visi misi, komitmen dan program jika terpilih, pemahaman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), wawasan dan pengetahuan hukum serta klarifikasi LHKPN dan laporan dari masyarakat.59

3. Mengajukan Calon Hakim Agung ke DPR

Usai menjalani serangkaian seleksi, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi, KY berkewajiban untuk menetapkan dan mengajukan tiga calon hakim agung kepada DPR dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.60

58

Ibid., 65

59

Ibid.

60

Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, h. 85.


(51)

Selanjutnya DPR menetapkan calon hakim agung kepada Presiden dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, dan keputusan Presiden mengenai pengangkatan hakim agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR.61

KY sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan kehakiman diharapkan mampu menjamin terciptanya pengangkatan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas agar tetap teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme yang melekat padanya.62

Wewenang ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya politisasi pengangkatan hakim agung. Secara ilmiah, kekuasaan politik Presiden dan parlemen selalu ingin mendudukan orang-orangnya sebagai hakim agung. Jika bukan mengeliminasi, KY diharapkan mampu meminimalisasi terjadinya politisasi itu. Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya penentuan dan

61

Ibid.

62

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cet. IV, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), h. 52.


(52)

pengusulan pengangkatan hakim agung sebelumnya dilakukan oleh DPR yang merupakan lembaga politik.

Penentuan hakim agung yang demikian tidak akan bisa melepaskan diri dari kepentingan dan kekuatan politik di lembaga tersebut. Konsekuensi yang ditimbulkan sudah dapat diduga, bahwa hakim agung yang terpilih tersebut sedikit banyak akan membalas jasa-jasa pemilihnya.

Permasalahan pengangkatan hakim agung di belahan dunia manapun memang mengundang tarik ulur kekuasaan yang rumit. Perlu diketahui bahwa mekanisme yang digunakan Indonesia dengan pengusulan, persetujuan dan pengangkatan, sedikit banyak memang mirip dengan mekanisme pengangkatan hakim agung pada Supreme Court di Amerika Serikat. Di negeri tersebut, hakim agung (yang notabene hanya 9 saja jumlahnya) akan diusulkan oleh Presiden. Usulan presiden ini diperoleh melalui serangkaian proses seleksi yang sangat ketat dan teliti, kemudian diajukan kepada senat.63

Kandidat hakim agung yang diusulkan kepada senat, prinsipnya hanya memerlukan konfirmasi dari lembaga tersebut, dalam arti untuk disetujui atau tidak disetujui. Para kandidat akan

63

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 121.


(53)

diminta pendapatnya mengenai suatu permasalahan, melalui Komisi Kehakiman Senat (Senate Judiciary Committee). Dilihat dari sudut pandang politik, dengar pendapat ini merupakan bagian dari justifikasi senat kepada presiden sebagai pihak yang mengusulkan.

Komisi Kehakiman melakukan dengar pendapat dengan kandidat hakim agung yang diusulkan oleh presiden dalam tiga (3) tahapan yaitu investigasi, dengar pendapat publik dan tidak tertutup kemungkinan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat dan profesi secara terbuka dalam rangka menggali informasi tentang kandidat hakim agung termasuk untuk memberikan dukungan atau penolakan terhadap kandidat. Komisi akan menyampaikan rekomendasinya kepada seluruh anggota senat untuk menyetujui atau menolak.64

Senat kemudian membuka perdebatan atas rekomendasi Komisi Kehakiman untuk mengambil kesimpulan. Meskipun ideologi, pandangan hidup, filsafat hukum, visi politik atau pendapat kandidat tentang kasus-kasus hukum kontroversial yang diketahui melalui dengar pendapat tadi dapat menjadi bahan pertimbangan, pada kenyataannya terdapat faktor-faktor lain yang ikut dipertimbangkan oleh anggota senat, seperti pendapat anggota lain yang berpengaruh, pendapat konstituennya, atau bahkan pendapat

64


(54)

orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, hasil dengar pendapat Komisi Kehakiman tidak menjadi parameter utama, tetapi keputusan senat lah yang berpengaruh.

Pengangkatan hakim melalui lembaga khusus (umumnya disebut judicial councils) terjadi di beberapa negara. Tom Ginsburg sebagaimana dikutip Saldi Isra dalam keterangannya sebagai saksi ahli permohonan uji materil dengan perkara nomor 27/PUU-XI/2013, menjelaskan bahwa keberadaan judicial councils bertujuan untuk menjauhkan kekuasaan kehakiman dari intervensi politik. Demi terciptanya peradilan yang mandiri dan akuntabel. Ruang kekuasaan kehakiman yang perlu dijauhkan dari kepentingan politik adalah: (1) fungsi pengangkatan; (2) promosi; dan (3) penindakan hakim.65

Contoh yang menarik adalah Iraq. Syarat seorang hakim adalah sebagai berikut: (1) lulus sarjana hukum dari sekolah hukum yang terdaftar; (2) lulus dari Institut Kehakiman (judicial institute) di Baghdad berupa pelatihan selama dua tahun; (3) Tiga tahun pengalaman dalam praktik hukum, baik sebagai advokat atau petugas peradilan yang telah terdaftar di judicial institute. Selain itu terdapat syarat alternatif, yaitu: telah berpengalaman selama 10

65

Saldi Isra, dalam keterangannya sebagai saksi ahli permohonan uji materil dengan perkara nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR, h. 21.


(55)

tahun dalam bidang hukum meskipun di bawah umur 45 tahun dapat pula mencalonkan diri menjadi hakim.

Di Iraq, seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial Councils (HJC, Dewan Yudisial Tertinggi). HJC bertugas menominasikan kandidat hakim untuk kemudian dilantik oleh lembaga politik yang telah ditentukan. Jumlah hakim yang akan diseleksi oleh HJC berdasarkan kebutuhan dari pengadilan, baik berdasarkan permintaan dari Ketua Pengadilan maupun dugaan kebutuhan pengadilan oleh HJC itu sendiri. HJC akan bergerak apabila anggaran seleksi hakim telah disetujui oleh parlemen. Pemenuhan kebutuhan hakim berkaitan dengan kondisi ekonomi pada saat itu. HJC, selain berwenang menyeleksi juga memiliki kewenangan untuk memindahkan hakim ke peradilan-peradilan yang mereka tentukan.66

Berdasarkan dua contoh di atas, menurut penulis pengangkatan hakim agung di Amerika Serikat dan Iraq tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia, masing-masing negara memiliki komisi yang serupa dengan KY di Indonesia. Hanya saja dalam proses pengajuannya, untuk di Amerika Serikat calon hakim agung diusulkan oleh Presiden kemudian diajukan kepada senat, kemudian Komisi Kehakiman Senat (Senate Judiciary

66


(56)

Committee) yang akan melakukan dengar pendapat dengan kandidat hakim agung, meskipun nantinya pendapat Komisi Kehakiman Senat tidak dijadikan pertimbangan utama. sedangkan di Iraq, seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial Councils (HJC, Dewan Yudisial Tertinggi) dan tugas parlemen hanya melantik hakim agung terpilih.

F. Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung

Proses pengangkatan hakim agung merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas. Proses perekrutan hakim agung secara tegas dinyatakan dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden”

Dengan ketentuan itu, DPR selaku lembaga penampung aspirasi rakyat mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang tepat menjadi hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Kewenangan DPR dalam pengangkatan hakim agung ini berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya, Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009


(1)

1. Bagaimana tanggapan Komisi Yudisial atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR? - Pada dasarnya KY menyambut baik putusan tersebut, tanggapan Pak

Taufiqurrahman selaku Ketua Bidang Rekrutmen Hakim menyambut baik, terutama beliau merasakan betul sulitnya memenuhi 3 kali lipat itu (kuota calon hakim agung).

2. Apakah kuota 1:1 akan memudahkan Komisi Yudisial dalam menyeleksi Calon Hakim Agung?

- Bagi kami jadi lebih mudah, karena dengan kuota 3:1 itu kami banyak

hutang hakim ke MA, tetapi dengan 1:1 sekarang semoga bisa lebih cepat seleksinya sehingga setiap lowongan hakim dari MA bisa kami penuhi.

3. Apabila terjadi penolakan dari DPR terhadap Calon Hakim Agung yang diusulkan KY seperti yang terjadi pada Februari 2014, bagaimana mekanisme selanjutnya yang dilakukan Komisi Yudisial?

- Tentu kami ulang dari awal, kami lakukan seleksi lagi untuk memenuhi permintaan hakim dari MA.

4. Menurut KY, apa kelebihan dan kekurangan dari kuota 3:1 dan 1:1 dalam lowongan Calon Hakim Agung?

- Dengan 3:1 yang dulu, kami mengirim 3 calon hakim dan mereka dipilih 1, mereka harus pilih salah satu dari 3 calon itu meskipun semuanya tidak mereka sukai tapi mereka terpaksa harus pilih salah satunya, jadimereka ada beban. tapi sekarang kami mengirim 1 dan mereka pilihannya hanya setuju atau tidak. Ini membuat mereka seperti tidak punya beban, kalau mereka tidak suka ya tolak saja. Kuota 1:1 ini bagi CHA lebih sulit. Dan dari sisi anggaran, penolakan Narasumber : Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan

Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial)


(2)

itu sangat membuang anggaran, padahal karena rentang waktu seleksi cukup panjang, otomatis anggaran juga besar.

5. Menurut pemberitaan media, selama ini terjadi penurunan jumlah pendaftar. Apa yang menjadi penyebab penurunan jumlah pendaftar tersebut?

- Ke depannya kami akan melakukan survey, mengapa calon-calon

potensial, maksutnya calon hakim yang sudah 40 tahun, hakim karir dan bergelar tinggi tidak mau menjadi hakim agung. Disinyalir contohnya seperti hakim pengadilan tinggi gajinya lebih tinggi dari hakim agung atau mungkin karena takut dengan proses di DPR, hal ini butuh survey lebih lanjut, tidak bisa diklaim ju

6. Apakah yang menjadi kendala bagi Komisi Yudisial dalam proses seleksi Calon Hakim Agung secara keseluruhan?

- Tentang kualitas calon yang mendaftar, integritasnya, pengetahuannya kurang memadai ,dalam wawancara kan terlihat.. Aspek pengetahuan tentang hukum secara umum, teknis yuridis termasuk pengetahuan tentang perundang-undangan dan hukum acara dari para calon terkadang tidak cukup memuaskan. Para hakim dari karier terlihat cukup menguasai tentang teknis yuridis dan pengetahuan tentang hukum cara. Sementara para calon non karier masih jauh dari pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya hukum acara. Tetapi kalau bicara kenapa mereka tidak tertarik mendaftar hal itu butuh diteliti lebih lanjut, mungkin saja tidak yakin dengan proses di DPR.

- Dari internal yang dihadapi KY adalah alokasi anggaran yang

dialirkan pada kami, harusnya tahun ini ada 2 periode seleksi, tetapi pemerintah mementingkan pemilu sehingga ada pemotongan anggaran. Dengan pemotongan anggaran, sosialisasi lowongan juga tidak bisa maksimal karena memasang iklan di media membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tetapi meskipun ada keterbatasan dana, proses harus tetap berjalan, meskipun efeknya cukup banyak, kami jadi kurang sosialisasi, untuk menggerakkan penghubung di daerah juga membutuhkan biaya. Anggaran juga pengaruh pada jumlah SDM di KY, bagian rekrutmen hakim misalnya masih banyak kekurangan orang. Jadi setiap ada rekrutmen, biro lain juga ikut membantu.


(3)

Makanya kami mengembangkan Penghubung-penghubung di daerah yang memantau rekam jejak hakim di daerahnya masing-masing. - Keterbatasan waktu juga menjadi kendala, sering telatnya surat dari

MA, menurut peraturan harusnya surat lowongan sudah diberikan kepada KY 6 bulan sebelum hakim pensiun, tetapi prakteknya sering ada keterlambatan.

7. Bagaimana harapan Komisi Yudisial untuk seleksi Calon Hakim Agung kedepannya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi?

- Harapannya putusan ini bisa menambah jumlah pendaftar calon hakim agung dan DPR bisa membuat aturan yang lebih jelas mengenai proses fit and proper test calon hakim agung di DPR ,tidak seperti yang sekarang karena sebenarnya banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anggota DPR adalah pertanyaan yang sama yang sudah diajukan KY dalam proses seleksi. Jadi harapan kami kedepannya mereka harus punya aturan jelas, jangan berdasarkan feeling mereka saja dalam memilih hakim agung.


(4)

1. Bagaimana tanggapan Bapak selaku anggota Komisi III DPR terkait putusan MK Nomor 27/PUU XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR?

- Tentunya kami menghormati putusan tersebut, bagaimanapun kan hak para pemohon ya, kalau merasa dirugikan dengan undang-undang tertentu ya silakan saja uji di MK. Apapun hasilnya tentu kami menghormati itu. Tapi resikonya kan karena hanya satu calon di setiap satu lowongan dan DPR hanya menyetujui atau tidak menyetujui jadi ada resikonya ya. Kalau kami tidak setuju, ya kami katakana tidak. Tidak bisa kami pilih yang terbaik seperti sebelum putusan.

2. Ketika melakukan fit and proper test, apa yang menjadi acuan DPR dalam menentukan layak atau tidaknya calon hakim agung untuk menjadi hakim agung? - Mekanisme itu (fit and proper test) kan diatur di UU MD3 dan di tata tertib

DPR juga ada. Tentu kami acuannya dari sana. Wawancara dalam fit and proper test selama ini cukup efektif. Tujuan dari wawancara itu kan supaya memperlihatkan kepada masyarakat umum tentang integritas dan kualitas para calon hakim agung dan diharapkan masyarakat juga bisa aktif bertanya kepada para calon dan dapat mendengar sendiri jawabannya. Semua proses sudah cukup transparan dan dapat diliput oleh media.

3. Apakah DPR tetap akan melakukan fit and proper test untuk menyetujui hakim agung yang diusulkan KY selanjutnya?

Narasumber : Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM (Anggota DPR Komisi III Fraksi PKB ).


(5)

- putusan MK itu hanya merubah dari memilih menjadi menyetujui, tidak ada ketentuan yang menyatakan DPR tidak boleh melakukan fit and proper test. Kan ketentuannya sudah ada di tata tertib DPR dan MD3, ya kami pakai itu. 4. Selama ini proses fit and proper test di DPR dikatakan penyebab para calon hakim

pesimis bisa lolos seleksi, bagaimana pendapat bapak?

- Saya kira asal mempersiapkan diri dengan baik untuk apa takut sama DPR, kan prosesnya sudah terbuka, diliput media juga. Jadi bisa dilihatlah bagaimana kami ini mewawancarai mereka. Sudah bisa dilihat itu. Sudah cukup transparan. Kalau yang ditolak-ditolak itu memang kurang apik saat fit and proper test.

5. Kurang apik itu seperti apa maksudnya, Pak?

- Misalnya yang semuanya ditolak oleh DPR. mereka kualitasnya tidak ada perubahan sejak ditolak pada tahun 2012, jawaban yang diberikan tidak jauh berbeda. Makanya hampir semua menolak. Ditanya pernah tidak putusan mereka dibatalkan MA, ada yang mengatakan pernah.. lalu ditanya, yang benar keputusan mereka atau keputusan MA yang benar, mereka jawab keputusan MA yang lebih benar. Berarti kan dia pernah salah dalam buat putusan, mereka akui itu.

6. Apakah yang menjadi kendala bagi DPR dalam melaksanakan kewenangannya untuk memilih hakim agung?

- Kendala yang dihadapi ya dari para calon hakim sendiri, seperti yang 3 calon kemarin ditolak, hal itu kan tidak perlu terjadi kalau seandainya KY mampu menyeleksi calon hakim agung yang berintegritas untuk diajukan kepada DPR. Pada saat penolakan tiga calon hakim Suhardjono, Maria Anna dan Sunarto, mereka kan calon yang pernah diajukan kepada Komisi III DPR dan ditolak. Ya masa harus itu itu lagi orangnya? Kami mengharapkan KY lakukanlah perbaikan dalam rekrutmen calon hakim agung yang akan datang. Dimaksimalkan lagi mencari yang potensial. Kebanyakan pengetahuan perundang-undangan para calon juga tidak ada yang menonjol, khususnya UU yang masih baru. Kadang ada calon yang lupa sampai tidak tahu tentang UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman, padahal kan itu bidangnya mereka ya. Tapi ya latar belakang calon juga berpengaruh pada pengetahuannya. Kepercayaan kepada DPR untuk menjalankan kewenangan kami dalam proses pengangkatan hakim agung ini juga mungkin kendala ya, ko kesannya kalau


(6)

dipilih DPR calon hakim agung yang berkualitas tidak lolos, sebaliknya yang tidak berkualitas bisa diloloskan, lalu dicurigai ada praktek suap antara DPR dan calon hakim agung yang tidak berkualitas. Itu tidak cukup beralasan ya, kan itu saya bilang tadi, prosesnya sudah transparan. Kami ini tidak mau dianggap lembaga yang sekedar memberi cap stempel persetujuan, nanti kalau hasilnya buruk kami juga yang dihujat. Jadi biarlah kami ikut menilai juga. Kan seleksi hakim agung berpindah tangan dari Presiden ke DPR itu karena maksud reformasi yang mengurangi kekuasaan presiden. menurut saya ini sudah jadi legal policy pembentuk Undang-Undang untuk mengatur hal tersebut di dalam Undang-Undanh.

7. Bagaimana harapan bapak sebagai anggota Komisi III untuk seleksi calon hakim agung kedepannya setelah keluarnya putusan MK?

- Ya kedepannya harus benar-benar memperhatikan kualitas calon-calon yang akan diajukan kepada DPR, hakim berintegritas dan punya pemahaman hukum yang bagus. Resiko putusan MK kan begitu, tidak ya katakan tidak. Kita terus rapat dengan KY untuk kedepannya seperti apa, supaya tidak terjadi lagi seperti yang sebelumnya.