Analisis Substitusi Penggunaan Input Pada Industri Pengolahan Makanan Dan Minuman Indonesia

Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia
Mawardati

ANALISIS SUBSTITUSI PENGGUNAAN INPUT PADA INDUSTRI
PENGOLAHAN MAKANAN DAN MINUMAN INDONESIA
Mawardati
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui substitusi antara factor produksi modal dan tenaga
kerja pada industri makanan dan minuman di Indonesia, apakah relatif mudah atau relatif sukar. Hipotesis
diuji dengan menggunakan model fungsi produksi Constant Elasticity of substitution (CES). Penelitian ini
menggunakan teknik data panel dengan data cross section sebanyak 51 perusahaan dan data time series dari
tahun 1998 sampai dengan tahun 2002. Data diperoleh dari BPS dan diestimasi dengan metode General Least
Squares (GLS). Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai elastisitas substitusi pada industri makanan dan
minuman di Indonesia lebih besar dari satu atau bersifat elastis. Implikasi dari temuan ini adalah sbstitusi
antara factor produksi modal dengan tenaga kerja pada industri makanan dan minuman di Indonesia adalah
relatif mudah.
Kata Kunci: Tenaga Kerja, Modal, Substitusi dan Output

Abstract: The aim of this research is to examine whether the substitution between capital and laboar in food and
beverage industry in Indonesia is relatively easy or difficult. A Constant Elasticity of Substitution (CES)
production function was applied to test the hypothesis. This research used panel data techniques. The data
consist of cross section and time series data on 51 enterprises for the period from 1998 to 2002 obtained from

the Bureau of Statistics (BPS). Estimation was conducted by the method of General Least Squares (GLS). The
results show that the value of substituion elasticity in th Indonesia’s food and beverage industraie is greater than
one, i.e elastic. The implication of the research findings is that the substitution between capital and labor in the
food and beverage industries is relatively easy as measured by the elasticity.
Key word : Labor, Capital, Substitution and output.
PENDAHULUAN
Sasaran utuam pembagunan nasional di
bidang ekonomi adalah terciptanya struktur ekonomi
yang seimbang yaitu terdapat industri yang didukung
oleh sector pertanian yang mantap. Walaupun
pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri
(non pertanian) telah terjadi, namun bila dilihat dari
struktur kesempatan kerja maka jumlah tenaga kerja
yang bekerja pada sektor pertanian masih cukup
besar. Pada tahun 1995 penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian sebesar 43,98 persen dari total
tenaga kerja nasional dan sektor industri hanya
menyerap sebesar 0,80 persen dari total tenaga kerja
nasional. Tahun 2002 terjadi peningkatan penyerapan
tenaga kerja di sektor industri yaitu sebesar 14,05

persen dan pada thun yang sama penyerapan tenaga
kerja masih tetap didominasi oleh sektor pertanian
yaitu sebesar 46,28 persen dari total tenaga kerja
nasional.
Secara umum tenaga kerja di negara sedang
berkembang masih memiliki tingkat pendidikan dan
ketrampilan yang rendah, sehingga bagi industriindustri besar dan sedang terutama yang beorientasi
ekspor lebih banya menggunakan peralatan mesin
dari pada tenaga manusia. Keadaan ini menyebabkan
adalanya ketidakcocokan teknologi modern yang
diterapkan di negara berkembang bila dibandingkan
dengan kebutuhan negara tersebut.
Teknologi
modern yang cenderung padat modal telah tidak
memungkinkan substitusi yang tinggi antara factor

produksi modal dan tenaga kerja.
Bila dilihat dari jumlah perusahaan maka
jumlah industri nasional mengalami penurunan.
Tahun tahun 1997 dan 1998 jumlah perusahaan

industri di Indonesia mengalami penurunan sebesar
4,3 persen. Sedangkan di tahun 2002 jumlah tersebut
mengalami peningkatan yaitu sebesar 3,02 persen
jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Dilihat dari komposisinya industari makanan
dan minuman nasional termasuk industri yang paling
banyak jumlah perusahaannya (BPS, 2000 : 6). Hal
ini dapat dimengerti karena semakin tinggi
pertambahan jumlah penduduk maka semakin besar
kebutuhan terhadap bahan makanan dan minuman
termasuk makanan dan minuman olahan, sehingga
industri ini banyak bermunculan dalam berbagai
skala usaha.
Banyaknya industri pengolahan makanan
dan minuman ini tidak berarti tinggi pula tingkat
konsumsi penduduk Indonesia, karena harganya yang
relatif tinggi dan tidak terjangkau oleh daya beli
masyarakat terutama golongan menengah ke bawah.
Hal ini sejalan dengan pendapat Gunawan (1994 :
15) yang menyatakan bahwa permintaan makanan

olehan di Indonesia sangat rendah, bukan hanya
karena konsumen yang mengkonsumsi makanan
segar tetapi juga disebabkan oleh tingkat pendapatan
yang rendah dan harga produk olahan yang sangat
mahal untuk konsumen lokal.

203

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005

Kekurangan
makanan
bergizi
akan
menyebabkan gangguan kesehatan dan tingkat
kecerdasan manusia
yang akhirnya dapat
menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Keadaan
ini menyebabkan terbatasnya jumlah tenaga kerja
yang berkualitas sebagai input industri termasuk

industari makanan dan minuman, disamping faktor
produksi lain seperti bahan baku, bahan bakar dan
modal lainnya.
Dalam perkembangannya industri makanan
dan minuman mengalami pertumbuhan modal yang
sangat tidak stabil terutama pada saat terjadi krisis
ekonomi. Kondisi yang tidak stabil ini terutama
terjadi pada tahun 1991 dan tahun 1998.
Pertumbuhan modal pada tahun 1997 sebesar 9,16
persen sedangkan tahun 1998 meningkat dengan
sangat mencolok dengan pertumbuhan sebesar 80
persen. Keadaan ini disebabkan pada tahun-tahun
tersebut rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika
pada tingkat yang sangat rendah, sehingga untuk
memperoleh bahan baku dari luar negeri
membutuhkan modal yang sangat besar.
Menghadapi masalah ketenagakerjaan yang
cukup besar di negara berkembang dengan semakin
berkembangnya perekonomian ke arah perekonomian
yang bersifat industari, maka sektor industri,

terutama industri pengolahan, diharapkan mampu
menjadi sektor yang menciptakan banyak lapangan
kerja. Walaupun penyerapan tenaga kerja di sektor
industri pengolahan semakin meningkat, namun
masih dalam jumlah yang terbatas.
Terbatasnya kemampuan sektor modern
dalam menyerap sebagian besar tenaga kerja tidak
produktif yang berasal dari sektor tradisional
merupakan masalah yang dihadapi oleh negara
berkembang pada umumnya.
Sungguhpun
pertumbuhan produksi tinggi, kesempatan kerja
pertumbuhannya lamban. (Todaro 1993 : 320). Ini
mengindikasikan bahwa sektor industari pengolahan
lebih banyak menggunakan modal (Capital intensive)
dari pada menggunakan tenaga kerja (labor
intensive).
Industri-industri yang menggunakan
teknologi modern pada umumnya cenderung padat
modal sehingga akan sulit untuk terjadinya substitusi

antara modal dan tenaga kerja. Namun demikian
beberapa studi pada beberapa industri tertentu
menunjukkan kemungkinan potensial dilakukannya
substitusi antara modal dengan tenaga kerja pada
sektor industri di negara berkembang (Burton, 1972,
Morawetz, 1996). Oleh karena Indonesia merupakan
salah satu negara berkembang, maka penulis tertarik
untuk meneliti bagaimana substitusi input dalam hal
ini tenaga kerja dan modal apakah relatif mudah atau
relatif sukar pada industri makanan dan minuman
nasional.
Tenaga Kerja dan Modal dalam Proses Produksi.
Tenaga kerja dan modal dapat digunakan
sebagai ukuran untuk menganalisis ciri-ciri industri
204

dan
menyusun
kebijaksanaan
pembangunan

(Kaneko, 1989 :118). Sedangkan peranan modal dan
tenaga kerja dalam proses produksi dapat dilihat dari
rasio masing-masing input terhadap produksi. Jika
proses produksi bersifat padat modal berarti secara
relatif modal memiliki peranan yang lebih penting
dari faktor produksi lain dalam menghasilkan
produksi. Keadaan ini berakibat balas jasa dari
masing-masing faktor produksi lebih besar diterima
oleh pemilik modal dari pada pemilik faktor produksi
lain.
Di negara-negara sedang berkembang, pada
umumnya tabungan unuk pemupukan modal lebih
kecil dari jumlah yang diperlukan dan sebagian besar
barang modal diimpor (Kaneko, 1989 :119). Oleh
karena itu pengembangan industri lebih tepat
diarahkan pada industri-industri yang lebih sedikit
memerlukan barang modal, apabila diukur dari
jumlah tabungan dan jumlah valuta asing yang
terbatas.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka

kebijaksanaan pengembangn industri padat karya
lebih tepat diterapkan pada negara-negara sedang
berkembang karena umumnya dihadapkan pada
masalah di bidang ketenagakerjaan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Djojohadikusumo (dalam Embang
dan Cahyono, 1990 : 592) menyatakan bahwa pada
azasnya ada suatu cara untuk meluaskan kesempatan
kerja, yaitu melalui pengembangan industri, terutama
jenis industari yang bersifat padat karya (labor
intensive) yang dapat menyerap relatif banyak tenaga
kerja dalam proses produksi (labor absorbtive).
Suatu industari dikatakan padat karya ditandai
dengan elastisitas kesempatan kerja lebih besar dari
elastisitas modal.
Skala Hasil
Kombinasi input yang menghasilkan output
optimal harus dapat ditemukan oleh suatu perusahaan
agar perusahaan tersebut berada pada proses produksi
dengan biaya terendah. Skala hasil (return to scale)
memperlihatkan dampak peningkatan proporsional

dari seluruh faktor produksi terhadap produksi.
Return to scale juga perlu untuk mengetahui apakah
suatu perusahaan berproduksi pada increasing return
to scale, constant return to scale atau decreasing
return to scale.
Distribusi Pendapatan dan Intensitas Faktor
Distribusi
pendapatan
adalah
bagian
pendapatan yang diterima masing-masing faktor
produksi dalam hal ini ditentukan oleh sifat teknis
yang terdapat dalam proses produksi, yaitu bagian
dari produksi total secara fisik yang dpat dihasilkan
masing-masing faktor produksi tersebut, dan ini tidak
lain adalah elastisitas produksi terhadap faktor.
Intensitas faktor produksi adalah kata lain dari
input mana yang lebih dominan dari pada input
lainnya, apakah input modal atau tenaga kerja jika


Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia
Mawardati

dua input ini yang digunakan proses produksi.
Informasi ini sangat penting untuk mengetahui proses
produksi yang sedang berlangsung, terutama
kaitannya dengan kebijakan perusahaan itu sendiri
atau kebijakan pemerintah.
Sebagaimana telah
dimaklumi bahwa di negara-negara sedang
berkembang diharapkan sektor industri dapat
menyediakan lapangan kerja lebih luas lagi.
Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa proses produksi
diharapkan lebih bersifat padat tenaga kerja daripada
padat modal.
Elastisitas Substitusi
Fungsi produksi dengan Q = f (K,L),
elastisitas substutusinya (σ) adalah mengukur
perubahan proporsional dalam K/L relatif terhadap
perubahan proporsional dalam tingkat substitusi
teknis di sepanjang kurva isoquant (Nicholson, 1995
: 363). Satu ciri penting dari fungsi produksi adalah
sampai seberapa mudahnya sebuah masukan
digantikan dengan masukan lainnya, apakah relatif
mudah untuk menggantikan tenaga kerja dengan
modal sambil tetap mempertahankan keluaran.
Disepanjang isoquant diasumsikan bahwa tingkat
substitusi teknis akan menurun sementara rasio (K/L)
menurun.
METODE ANALISIS
Penelitian ini menggunakan data skunder
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)
sedangkan yang digunakan untuk analisis adalah data
kerat silan (Cross-section) sebanyak 51 perusahaan
dan data runtun waktu (time series) sebanyak 5(lima)
tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan 2002.

Untuk menganalisis substitusi antara faktor
produksi modal dan tenaga kerja pada industri
makanan dan minuman Indonesia digunakan model
fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution
(CES) sebagai berikut :
Q = γ [δM

−ρ

+ ( 1- δ) TK

−ρ

]

−v / ρ

.................... (1)

( γ>0, 1>δ>0, v>0, ρ≥-1)
dimana :
Q
= Jumlah produksi makanan dan minuman
M = Jumlah modal
TK = Jumlah tenaga kerja
v
= Parameter skala hasil
γ
= Parameter efisiensi
δ
= Parameter distribusi ≥
ρ
= parameter substitusi

Estimasi model tersebut adalah sebagai berikut :
Ln Q = Ln β 1 + β 2 LnM + β 3 LnTK +

β 4 (lnM-lnTK)2 + εi .................................... (3)
Parameter persamaan tersebut berkaitan
dengan koefisiennya, sehingga diperoleh :

β
(4)
v = β + β ..................................... (5)
β2
δ =
................................ . (6)
β2 + β3
− 2β 4 (β 2 + β 3 )
ρ=
....................................... (7)
β2 β3
γ = antilog
2

1 ............................................................
3

Sehingga elastisitas substitusi menurut Greene dan
Henderson dan Quandt dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :

σ=

1
.................................... (8)
1+ ρ

Model
persamaan
(3)
diestimasi
dengan
menggunakan program shazame komputer yaitu
dengan metode Ordinary Leas Squares (OLS).
Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikansi
variabel independen terhadap variabel dependen yang
dianalisis dapat dilihat pada nilai p-valui variabel
tersebut baik secara individual (t-test) maupun secara
bersama-sama atau serentak (F-test).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Ekonometrik
Dalam mengestimasi suatu fungsi
produksi dengan menggunakan Ordinary Least
Square (OLS) maka hasil estimasinya harus
memenuhi asumsi-asumsi klasik. Hasil estimasi
industri makanan dan minuman nasional dengan
menggunakan
OLS
menunjukkan
terjadinya
pelanggaran asumsi klasik berupa multikolinearitas
dan serial korelasi positif.
Untuk mengobati
pelanggaran asumsi klasik ini maka data tersebut
dianalisis kembali dengan menggunakan General
Least Squares (GLS).
Adapun hasil estimasi dengan General Least Squares
(GLS) adalah sebagai berikut:

Dalam bentuk logaritma (ln) dapat dinyatakan :
Ln Q = ln γ – v/ ρ ln [δM

−ρ

+ ( 1- δ) TK

−ρ

] + εi ................ (2)

(Kmenta 1971: 463; Greene 2000:331)

205

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005

Hasil Estimasi Fungsi Produksi Industri Makanan
Dan Minuman Nasional
Variabel

Koefisien Estimasi

p-Value

Ln M

0,48022

0,000

Ln TK

0,48517

0,000

Ln MTK

0,04818

0,004

Konstanta

1,9696

0,000

R2 = 0,9602

D-W = 1,9692

2

R Adjusted = 0,9594

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa
semua variabel yang diteliti adalah signifikan pada
taraf kepercayaan 99% (α=1%) yang ditunjukkan
oleh nilai p-valuenya masing-masing.
Analisis Ekonomi
Hasil
estimasi
model
penelitian
sebagaimana diperlihatkan pada tabel estimasi
menunjukkan bahwa koefisien parameter modal
(LM) bertanda positif yaitu sebesar 0,48. Hal ini
memberi arti bahwa peningkatan modal sebesar 1%
akan dapat meningkatkan produksi makanan dan
minuman sebesar 0,48%. Ini sesuai dengan teori
produksi yang menyatakan bahwa semakin
meningkatnya modal yang digunakan dalam suatu
proses produksi maka akan dapat meningkatkan
produksi.
Koefisien regresi varibel tenaga kerja (LTK)
juga bertanda positif yaitu 0,49, artinya penambahan
tenaga kerja sebesar 1% akan dapat meningkatkan
produksi makanan dan minuman nasional sebesar
0,49%.

Dari koefisien yang diperoleh dapat dihitung
nilai parameter distribusi (δ) sebesar 0,49 yaitu lebih
kecil dari 0,5 tetapi lebih besar dari 1 (0< δ