KEMUNCULAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH

26

BAB III KEMUNCULAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH

1923 - 1927 3.1. Merintis Muhammadiyah di Kutaraja Lahirnya Muhammadiyah tidak terlepas dari misi dan srategi Muhammadiyah dalam upaya penegakan nilai-nilai ke-Islaman dan kemanusiaan. Penderitaan berkepanjangan yang telah dialami oleh bangsa Indonesia terlepas dari ajaran pemurnian Islam sendiri supaya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukan dan kembali ketatanan kehidupan Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadist. Pada mulanya Muhammadiyah lahir dipulau Jawa. Namun, dalam perkembangannya Muhammadiyah sebagai organisasi pemurnian Islam juga mengembangkan sayapnya kedaerah-daerah lain diluar pulau Jawa seperti Sumatera yang menjadi pusat perkembangannya adalah Sumatera Barat dan barulah kemudian Muhammadiyah sampai ke Aceh. Sebelum Muhammadiyah masuk, masyarakat Aceh telah menganut ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah yaitu mengikuti sunnah rasul dan sahabatnya. Muhammadiyah mulai masuk pada tahun 1923; dibawa oleh sekretaris Muhammadiyah cabang Betawi yang bernama S. Djaja Soekarta yang pindah ke Kutaraja Banda Aceh dan bekerja pada Jawatan Kereta Api Aceh. Namun pada waktu itu belum memungkinkan untuk mendirikan sebuah cabang disana, karena personalia pengurus belum ada. Baru pada tahun 1927 dengan mendapat bimbingan dari seorang utusan pengurus Pusat Muhammadiyah yang bernama A.R Soetan Mansoer, organisasi ini resmi berdiri di Kutaraja. Adapun pimpinannya dipilih R.O 27 Armadinata yaitu seorang dokter gigi yang pada waktu itu bertugas di Kutaraja. Selaku konsul pertama dijabat oleh Teuku Muhammad Glumpang Payoeng, pegawai kantor pusat kas-kas kenegerian di Kutaraja. 23 Menurut catatan,kantor Muhammadiyah terletak di jalan Meduati kini jalan K.H.A Dahlan, disekitar SD Muhammadiyah, kemudian baru tempat kegiatan Muhammadiyah meluas ke daerah Taman Siswa dan Punge Blang Cut II. Sesudah itu barulah Muhammadiyah mmbentangkan sayapnya di daerah-daerah lain di Aceh. Namun demikian, Muhammadiyah di setiap daerah tidaklah sama, bahkan di beberapa daerah, Organisasi Muhammadiyah didirikan sesudah zaman penjajahan Jepang. 24

3.2. Tantangan-Tantangan yang di Hadapi Pro dan Kontra

Organisasi Muhammadiyah yang telah berkembang di Daerah Aceh sampai pada saat ini dalam perkembangannya banyak mengalami hambatan dan tantangan- tantangan, seperti halnya dengan Muhammadiyah pada saat pemulaan didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Kehadiran Muhammadiyah awalnya tidak berjalan dengan baik, dakwah amar makruf nahi munkar yang dilakukan Muhammadiyah tidak mudah diterima masyarakat dan mereka melemparkan tuduhan kepada Muhammadiyah sebagai kaum muda, kaum wahabi kaum tak bermazhab bahkan pernah dikatakan bahwa Muhammadiyah itu Kristen halus. Pada masa itu karena kaum penjajah ingin tetap 23 Rusdi Sufi. Op.cit, hal 121 24 Sri Waryanti dkk. Op.cit, hal 11 28 mempertahankan kedudukannya di Indonesia maka kehadiran Muhammadiyah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk memecah belah umat dengan cara menghasut golongan umat Islam lainnya agar membenci Muhammadiyah. Disamping itu juga banyak yang menganggap bahwa Muhammadiyah terlalu keras sehingga Muhammadiyah tidak mendapat simpati dari masyarakat. Akan tetapi para Muballiq Muhammadiyah dengan berpedoman pada sejarah dakwah Rasulullah tidak gentar menghadapi rintangan apapun dalam usaha menyebarkan gagasan-gagasan Muhammadiyah. Adapun tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah Aceh secara umum dapat digambarkan bahwa Muhammadiyah di Aceh yang lahir pada tahun 1923 di Banda Aceh dibawah pimpinan R.A. Kartadinata, seorang amtenar Belanda yang bekerja pada kantor Pegadaian Negara Banda Aceh. Sebagian masyarakat Aceh menganggap, bahwa Muhammadiyah di Daerah Aceh adalah hasil bawaan suku Minang yang datang ke Aceh, baik dia sebagai pedagang maupun sebagai pegawai negeri dan juga beranggapan bahwa Muhammadiyah hasil bawaan suku Minang ini akan merubah kepercayaan dan adat- istiadat masyarakat Aceh yang sudah turun-temurun dibina serta berkembang dikalangan masyarakat Aceh. Anggapan ini oleh masyarakat Aceh pada waktu itu disebarluaskan keseluruh pelosok daerah Aceh sehingga dapat mengakibatkan hambatan bagi perjuangan Muhammadiyah di daerah Aceh. 25 25 Skripsi, perkembangan muhammadiyah di aceh, hal 47 Tantangan yang disebabkan oleh perrbedaan suku yaitu suku Minang dengan suku Aceh, dimana 29 rakyat Aceh menganggap bahwa Muhammadiyah ini dibawa oleh orang-orang Minang yang datang ke Aceh baik dia sebagai pedagang maupun sebagai pegawai Belanda pada waktu itu. Pertentangan suku ini menyebabkan perubahan adat-istiadat yang menjurus ke arah ibadat, dimana Muhammadiyah dalam gerakannya merupakan gerakan pembaharuan baik dalam masalah ibadah maupun dalam pergaulan masyarakat. Masyarakat Aceh menganggap bahwa Muhammadiyah datang ke Aceh ini hendak merubah sikap dan pandangan hidup masyarakat Aceh yang sejak dari dulu telah menjadi adat dan membudaya dikalangan masyarakat Aceh. Dalam pergaulan sehari- hari tetap berpegang teguh pada tradisi-tradisi lama yang diperoleh dari orang-orang tua dahulu. Kendatipun mereka tidak meneliti secara mendalam apakah yang diwarisi dari orang tuanya itu benar-benar dari ajaran Islam yang murni ataupun sudah bercampur dengan ajaran Hindu yang juga pernah berkembang di daerah Aceh. Oleh karena tantangan tersebut, Muhammadiyah Aceh sukar sekali berkembang dengan baik dan sempurna ditengah-tengah masyarakat Aceh pada waktu itu. Tetapi seiring berjalannya waktu anggapan yang demikian berangsur-angsur menghilang dan Muhammadiyah dapat bergerak sebagaimana mestinya. Kerikil kecil ini sebenarnya masih saja berbenturan dikalangan umat dengan masing-masing pihak mempunyai dalilnya yang khas. Bahkan dikaitkan dengan adanya salah satu keistimewaan Aceh dibidang peradatan yang bersemboyan “gadoh aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” hilang anak ada kuburannya, hilang adat kemana hendak dicari. Namun sampai dimana sebenarnya adat yang bersumber daari budaya Islam dan dimana yang berasal dari budaya sebelum Islam adalah kurang 30 terdapat kesepakatan untuk dipertegas, karena ini merupakan hal yang agak sensitif. 26 Disamping pertentangan yang bersumber pada adat dan suku tersebut, juga sangat menonjol pertentangan antara sesama suku Aceh sendiri yaitu antara keturunan Ulei Balang dengan rakyat biasa. Masyarakat Aceh ada yang beranggapan bahwa Muhammadiyah yang berkembang di Daerah Aceh tersebut adalah milik kaum bangsawan Ulei Balang. Anggapan ini dapat dilihat bahwa banyak dari pimpinan Muhammadiyah terdiri dari kaum Ulei Balang, seperti Teuku Cut Hasan, Teuku Hasan Dik Gelumpang Payoeng dan lain-lain. Mereka dari keturunan Ulei Balang ini banyak menjadi amtenar Belanda, sehingga rakyat menganggap bahwa Muhammadiyah ada hubungan dengan Belanda. Padahal anggapan yang demikian itu pada hakikatnya tidak benar, namun demikian pernyataan tersebut disampaikan keseluruh daerah Aceh sampai ke kampung-kampung agar Muhammadiyah tidak berkembang dengan baik di daerah Aceh, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tgk. Mohd. Amin Teupin Raya bahwa “Persyarikatan Muhammadiyah Aceh lebih menonjol dalam lapangan pendidikan semata-mata dan bersifat Padang Sentris”. Seperti kita ketahui, adat dan agama Islam pada masyarakat Aceh sulit dipisahkan karena sudah begitu berakar dan merupakan pegangan hidup masyarakat Aceh umumnya. 27 Hal ini sangat menonjol dikalangan masyarakat Aceh, karena pada umumnya para Ulei Balang bekerja sebagai amtenar Belanda. Para pimpinan Muhammadiyah dulu banyak diantaranya berasal dari keturunan Ulei Balang. Anggapan masyarakat 26 Zamroni Masuda. Dkk, Op.cit,.hal.154 27 Skripsi, perkembangan muhammadiyah, hal 48 31 terhadap Ulei Balang bahwa mereka bersekutu dengan Belanda. Sedangkan masyarakat Aceh telah tertanam dalam jiwanya, bahwa Belanda itu menjadi musuh utama yang perlu dikikiskan dimuka bumi Aceh. Oleh karena anggapan ini telah ditanamkan rakyat keseluruh kampung- kampung dalam daerah Aceh, maka para Ulei Balang yang menjadi pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu agak sukar memberikan pandangan dan keyakinan pada masyarakat Aceh terutama di kampung-kampung tentang wujud dan hakekat dari Muhammadiyah. Menurut penelitian ternyata pihak Belanda dengan halus menyuruh para Ulei Balang untuk memimpin Muhammadiyah, dengan demikian gerak majunya Muhammadiyah di Aceh menjadi lambat atau tertahan-tahan seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kesulitan lain yang dihadapi Muhammadiyah Aceh adalah karena perpindahan tugas dari pimpinan, sebab para pimpinan Muhammadiyah Aceh dahulu kebanyakan bekerja pada Pemerintah Belanda dan ada juga yang bukan pegawai negeri.Dengan berpindahnya para pimpinan ini kegiatan persyarikatan sedikit banyaknya akan mengalami kemacetan, mereka berusaha mencoba semaksimal mungkin agar lajunya perkembangan persyarikatan ini tetap berjalan dengan lancar, namun secara kenyataan tetap mengalami hambatan. Tantangan ini memang sukar sekali dihadapi, baik oleh Muhammadiyah maupun organisasi lainnya, terlebih lagi Muhammadiyah pada waktu itu banyak para pimpinannya terdiri dari unsur-unsur pegawai Belanda. Jika pemerintah menghendaki pegawainya pindah ketempat lain yang kebetulan ia menjadi pimpinan Muhammadiyah tentu saja ia akan menuruti perintah tersebut. Sedangkan jabatannya 32 sebagai pimpinan Muhammadiyah di daerah tersebut harus diserahkan kepada orang lain. Dalam proses peralihan ini sedikit banyaknya akan mempengaruhi kelancaran roda organisasi. Disamping kesulitan-kesulitan diatas, masalah pendanaan juga merupakan suatu hambatan yang sangat besar dalam suatu organisasi, lebih lagi organisasi Muhammadiyah ini yang merupakan organisasi sosial yang bergerak dibidang dakwah amar makruf nahi munkar.Persyarikatan ini selalu mengalami keterbatasan dalam bidang dana. Karena persyarikatan pada umumnya memperoleh dana-dana secara sukarela disamping bantuan pemerintah. Kadang kala hal-hal yang menjadi program persyarikatan untuk dilaksanankan sering terbentur ditengah jalan disebabkan tidak tersedianya dana yang mencukupi.Dengan adanya dana yang mencukupi dan memadai diharapkan akan lebih mudah menggerakkan roda organisasi sesuai dengan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Apalagi dengan Persyarikatan Muhammadiyah setiap saat membutuhkan dana yang sangat besar. Kebutuhan ini adalah untuk menggerakkan perjuangan persyarikatan dengan melaksanakan usaha di lapangan sosial dan pendidikan seperti pendirian rumah- rumah panti asuhan, rumah sakit atau poliklinik dan sekolah-sekolah. 28 28 Skripsi, perkembangan muhammadiyah di aceh, hal 50 Pengadaan dana yang memadai merupakan unsur penting dalam suatu organisasi, oleh karena itu persyarikatan Muhammadiyah Aceh mengajak masyarakat agar dapat menyumbang baik moral maupun material guna menambah kekayaan persyarikatan sehingga cita- cta yang akan dicapai menjadi lebih mudah terwujud sesuai dengan apa yang diharapkan. 33

3.3. Diterimanya Muhammadiyah Sebagai Ajaran Baru

Kiprah Muhammadiyah di Aceh dihadapkan dengan berbagai masalah internal maupun eksternal. Sebagai contoh masalah internal misalnya pada waktu itu tingkat kepercayaan anggota Muhammadiyah terhadap pendidikan yang dilahirkan Muhammadiyah Menurun dimana banyak anggota Muhammadiyah sendiri tidak menyekolahkan anaknya pada sekolah Muhammadiyah sehingga banyak sekolah- sekolah Muhammadiyah terpaksa tutup karena kekurangan murid. Masalah eksternal yang dihadapi Muhammadiyah adalah masalah yang berjalan dengan misi pembaharuan Islam yang dibawanya kadang-kadang berbenturan dengan nilai adat yang telah berbaur dengan nilai ritual keagamaan yang menyatu dengan kebiasaan masyarakat Islam yang telah lebih dahulu ada. Dalam rentang waktu yang cukup lama ini telah banyak kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah sehingga sampai akhirnya organisasi Muhammadiyah ini dapat dikatakan merupakan suatu organisasi yang dapat hidup dan berkembang di Aceh, yang mana amal usaha Muhammadiyah yang dahulunya dicemoohkan dan dihalangi akhirnya telah merupakan amal usaha yang dikerjakan oleh sebagian masyarakat, walaupun awal perkembangannya organisasi ini hanya berkembang diperkotaan dan tidak berkembang di sampai pedesaan. Ada beberapa hal yangmenyebabkan organisasi ini tidak berkembang di pedesaan yaitu pertama, politik di zaman Belanda. Pada masa ini organisasi Muhammadiyah dianggap sebagai suatu gerakan yang dapat menggiring masyarakat sehingga diaturlah bahwa yang menjadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dari 34 golongan feodal, oleh karena yang memimpin Muhammadiyah dari golongan feodal menyebabkan masyarakat tidak tertarik karena adanya perbedaan yang kontras sekali antara rakyat dengan kaum feodal. Kedua, dari segi ubudiyah yang bertolak belakang dengan ubudiyah yang dianut masyrakat di pedesaan dimana pada waktu itu masyarakat tidak lagi melakukan ubudiyah seperti sunnah, banyak terjadinya kurabang, takhayul di kampung-kampung yang semuanya itu sudah bercampur baur dengan akidah. Bebagai macam kenduri seperti kenduri sawah, kenduri laut, kenduri seratus hari, kenduri dirumah orang kematian, pembacaan Qunut pada sholat subuh dan zikir- zikir maulid dan sebagainya merupakan objek kritikan Muhammadiyah dan Muhammadiyah berbenturan terus dengan paham-paham seperti itu. Benturan- benturan ini menjadi tugas bagi Muhammadiyah dan ini tidak terlepas dari cita-cita Muhammadiyah supaya umat Islam diseluruh Indonesia dan khususnya di Aceh dapat melaksanakan ajaran Islam dengan semurni-murninya. Sejalan dengan itu perkembangan Muhammadiyah berjalan dengan pesat dan merakyat dimana lapisan- lapisan masyarakat sekarang ini banyak yang masuk ke Muhammadiyah tidak hanya dari golongan pegawai tetapi juga petani baik dari Desa maupun dari Kota. 35

BAB IV PENGARUHMUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PEMBAHARUAN