POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

WIRA KURNIAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRACT

POLITICIZATION CONFLICT IN DISTRICT VILLAGE WAY BALINURAGA PANJI SOUTH LAMPUNG REGENCY

by

Wira Kurniawan

Conflict is instability , disharmony and insecurity in certain people who make life uncomfortable. Conflict broke out in South Lampung regency. Conflict involving two village , between the village of Desa Balinuraga Agom. Conflict triggered by accident lalaulintas between village youth Balinuraga with two girls Agom village . In the event of an accident arises issue of sexual abuse committed Balinuraga village youth. With the onset of sexual harassment has been the politicization of utilization indicate conflict by irresponsible parties. Politicization is the mobilization of resource use conflicts that do interest groups to achieve goals. The purpose of this study was to determine the political actors who exploit the conflict, and the politicization of the conflict Balinuraga South Lampung regency . The method used is descriptive qualitative, with a set of government affairs chief informant Way Panji district, village government and village Balinuraga Agom, the customs officials, community leaders, two communities, political actors, practitioners and South Lampung regency political observer, journalist and the press.

Results of this study declare the politicization of the conflict. Politicization of conflicts occur in phases enlarged and expanded . Balinuraga conflict stems from a traffic accident and enlarged by the issue of sexual harassment. The main factors to be major conflict is revenge factor. There are also other factors that cause enlarged the factors of ethnic conflict, religious, economic and geographic segregation. Politicization in the conflict evidenced by the political actors emerge and take advantage of the conflict to personal and group interests . The actor who politicize conflict Balinuraga village youth are actors, the political elite, society actors, traditional leaders and community leaders, and the media. The actor can come from conflicting groups, or derived from the groups that are in conflict. Emerging and growing conflicts and conflicts resolved difficult or easy it is


(3)

antipathy toward other groups , and to post information that is not correct . In goal there politicization actors politicize Balinuraga conflict . The purpose of political actors and political elite fighting occurred in the realm of a notch, showing exsistensi, getting a recognition, demonstrate the superiority, up to gain power. Keywords : Politicization of the conflict , the politicization of the actor , the role of politicization actor , goal politicization.


(4)

ABSTRAK

POLITISASI DALAM KONFLIK DESA BALINURAGA KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

Wira Kurniawan

Konflik adalah ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan dibidang tertentu yang membuat masyarakat hidup tidak nyaman. Konflik kembali terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Konflik melibatkan dua Desa, antar Desa Balinuraga dengan Desa Agom. Konflik dipicu oleh kejadian kecelakaan lalaulintas antara pemuda Desa Balinuraga dengan dua gadis Desa Agom. Dalam kejadian kecelakaan timbullah isu pelecehan seksual yang dilakukan pemuda Desa Balinuraga. Dengan timbulnya pelecehan seksual menandakan telah terjadinya politisasi pemanfaatan konflik oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Politisasi adalah mobilisasi pemanfaatan sumberdaya konflik yang dilakukan kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktor politik yang memanfaatkan terjadinya konflik, serta politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan menetapkan informan adalah Kepala urusan pemerintahan Kecamatan Way Panji, Pemerintahan Desa Balinuraga dan Desa Agom, pihak petinggi adat, tokoh–tokoh masyarakat, Masyarakat kedua desa, aktor politik, praktisi dan pengamat politik Kabupaten Lampung Selatan, wartawan dan pers.

Hasil penelitian ini menyatakan adanya politisasi dalam konflik. Politisasi terjadi pada fase konflik membesar dan meluas. Konflik Balinuraga berawal dari sebuah kecelakaan lalulintas dan membesar karena adanya isu pelecehan seksual. Faktor penyebab utama konflik menjadi besar adalah faktor dendam. Terdapat juga faktor–faktor lain yang menyebabkan konflik membesar yaitu faktor etnik, agama, ekonomi dan segregasi geografis. Politisasi dalam konflik dibuktikan dengan adanya aktor politik yang muncul dan memanfaatkan konflik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Aktor yang mempolitisasi konflik Desa Balinuraga adalah aktor pemuda, elit politik, aktor masyarakat, para tokoh adat dan tokoh


(5)

dan berkembangnya konflik serta sulit atau mudahnya konflik diselesaikan dikarenakan ada yang mempengaruhi. Peran aktor-aktor yang terlibat dalam konflik adalah menciptakan dan menyebarkan isu pelecehan seksual, memobilisasi masa, memprovokasi masa, menanamkan sikap antipati terhadap kelompok lain, dan memberitakan informasi yang tidak benar. Dalam politisasi terdapat tujuan aktor-aktor yang mempolitisasi konflik Balinuraga. Tujuan aktor politik dan elit politik terjadi dalam ranah memperebutkan sebuah kedudukan, memperlihatkan exsistensi, mendapatkan sebuah pengakuan, menunjukkan superioritas, sampai untuk mendapatkan kekuasaan.

Kata Kunci : Politisasi konflik, aktor politisasi, peran aktor politisasi, tujuan politisasi.


(6)

(7)

(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... .. 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik ... 10

1. Pengertian Konflik ... 10

2. Latar Belakang Konflik ... 13

3. Tipe - tipe Konflik ... 15

4. Manajemen Konflik ... 18

5. Tahap Konflik ... 20

6. Akar Kekerasan Konflik ... 21

7. Kerangka Teori konflik ... 23

B. Politisasi dalam Konflik ... 25

C. Bagan Kerangka Pikir ... 31

BAB III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 32

B. Pendekatan Penelitian ... 34

C. Lokasi dan Waktu ... 35

D. Fokus Penelitian ... 36

E. Sumber Data ... 36

F. Teknik Pengumpulan Data ... 37

G. Teknik Pengolahan Data ... 38

H. Teknik Penyajian Data ... 39


(10)

BAB IV. KRONOLOGI KONFLIK DESA BALINURAGA

A. Kronologi Konflik versi Masyarakat Agom ... 42

B. Kronologi Konflik versi Masyarakat Balinuraga ... 45

C. Kronologi Konflik versi Pemerintah ... 50

D. Kronologi Konflik Balinuraga ... 54

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Konflik ... 60

1.Dendam sebagai Faktor Utama Penyebab Konflik ... 61

2.Faktor lain Penyebab Konflik ... 69

B. Politisasi Dalam Konflik Balinuraga ... 73

1.Pemuda, peran pemuda, dan tujuan pemuda dalam konflik ... 73

2.Elite Politik, peran elit politik, dan tujuan elit politik dalam politisasi ... 79

3.Masyarakat, peran masyarakat, dan tujuan masyarakat dalam konflik ... 89

4.Peran dan Tujuan Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat dalam Politisasi Konflik ... 98

5. Media, peran media, dan tujuan media dalam konflik ... 109

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 117

B. Saran ... 119 DAFTAR PUSTAKA


(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam masyarakat. Latar belakang konflik ialah awal mula penyebab sebuah gesekan–gesekan yang melahirkan sebuah ketidakesesuaian dan berkembang menjadi sebuah konflik. Latarbelakang sebuah konflik melahirkan intensitas konflik yang juga berbeda. Latar belakang konflik adalah suber seberapa besarkah konflik yang akan muncul, bisa kecil, sedang, dan besar. Dari prariset yang telah dilakukan dan atas dasar hasil wawancara yang telah dikumpulkan dari sumbar-sumber warga kedua Desa dan dari pihak pemerintahan Desa maka diketahui bahwa konflik di Desa Balinuraga ini dipicu dugaan pelecehan seks yang menimpa dua gadis remaja yang dilakukan oleh pemuda dari Desa Balinuraga. Akibat dari pelecehan yang dialami oleh dua gadis yang berasal dari Desa Agom tersebut terjadilah bentrok. Kronologi kejadian amuk massa itu berawal Sabtu malam saat dua gadis remaja dari Desa Agom yang melintas di Desa Balinuraga, jatuh dari motor. Kedua gadis ini diisukan mengalami pelecehan dengan cara dicolek-colek tubuhnya. Warga yang terdiri dari sejumlah Desa dan berasal dari seluruh Kecamatan yang ada di Lampung Selatan datang untuk menyerang Desa Balinuraga. Masa tidak hanya etnis Lampung namun terdiri dari etnis lain yang pernah berkonflik dengan warga Desa Balinuraga. Sekitar pukul 14.00 siang hari Senin, ribuan orang yang sudah berkumpul


(12)

sejak pagi melakukan serangan terhadap Desa Balinuraga. Sejumlah rumah warga hangus dibakar massa. Massa melampiaskan emosi dengan merusak dan membakar apa saja yang mereka temui. Desa balinuraga saat itu sudah ditinggalkan penghuninya menyelamatkan diri. Hampir semua rumah rata dengan tanah dilalap api. Massa yang membawa senjata tajam dari mulai parang, pedang, golok, clurit, bahkan senapan angin itu, tidak mampu dibendung anggota keamanan yang jumlahnya kalah banyak dibanding jumlah massa. Bahkan massa juga memblokir jalur lintas tengah Sumatera di antara dua Desa tersebut sehingga membuat lalu lintas macet total.

Munculnya berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan tingkat kekhawatiran bahwa potensi terjadinya konflik sangat besar. Kasus di Lampung Selatan, tepatnya di wilayah Kecamatan Way Panji Desa Balinuraga. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan korban jiwa dan menyebabkan perpecahan kedamaian masyarakat, sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es. Sebelum kasus konflik Balinuraga sudah banyak terjadi konflik– konflik di Lampung Selatan yang melibatkan warga etnis Bali dengan etnis–etnis lainnya pada Desa yang berbeda. Pada bulan Januari 2012 terjadi konflik di Kecamatan Sidomulyo, konflik tersebut dipicu hal sepele, yaitu perebutan lahan parkir yang melibatkan etnis Bali dari Desa Napal dan Etnis Lampung dari Desa Kotadalam. Sebelumnya juga terjadi konflik antara warga masyarakat Kabupaten Lampung Selatan dengan pihak pemerintah masalah pendirian patung Zainal Abidin Pagaralam yang menyebabkan patung yang telah berdiri dan diresmikan tersebut dihancurkan dan dirobohkan.

Pada awal kasus di awal tahun 2012 sebenarnya masalah yang menyebabkan perpecahan sudah berhasil diatasi. Itupun setelah media masa menyoroti kasus ini. Ketika kasus


(13)

Balinuraga dan suku lampung ini redam, Bupati malah membuat emosi warganya dengan perkataannya. Namun masalah ini akhirnya dapat diatasi secara kekeluargaan setelah Bupati minta maaf kepada warga, masalah emosional sedikit terlupakan. Bentrok kembali pecah, kali ini terjadi antara desa Balinuraga dengan desa Agom Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan, terdapat 14 korban jiwa dari kedua pihak. Hingga ratusan jiwa harus mengungsi. Banyak anak-anak yang tak bisa sekolah karena masalah ini.

Konflik Lampung Selatan menyangkut sejarah sosiologis menyebabkan terjadinya proses traumatik konflik, sehingga memunculkan perubahan struktur sosial. Perubahan itu salah satunya kemudian menyebabkan gesekan antara warga asli dengan pendatang (transmigran). Konflik berupa bentrokan antarwarga di Lampung Selatan menyangkut faktor sejarah dan sosiologis terkait dengan politik pada zaman Hindia Belanda tentang program irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Menanggapi konflik antarwarga di Lampung Selatan belum lama ini, bentrokan antarwarga tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya, dan kembali terulang. Konflik itu tidak hanya melibatkan Desa-desa yang ada di Lampung Selatan, tetapi juga memiliki akar persoalan yang lebih dalam. Beberapa konflik yang sempat terjadi sebelumnya itu di antaranya terkait dengan persoalan transmigrasi. Konflik Balinuraga tersebut merupakan kasus yang berulang dan lebih dalam lagi akar-akar persoalannya. Dalam konflik Balinuraga faktor perbedaan etnis Bali sangatlah ditonjolkan, karena dari sejarah etnis Bali di Balinuraga memiliki permasalahan dengan etnis–etnis lain dan Desa–desa yang ada disekitarnya, kebetulan kasusnya dipicu persoalan perempuan kemudian membesar hingga muncul korban. (Oki Hajiansyah Wahab, 2012;71)


(14)

Bentrok pemuda meluas menjadi Bentrok warga antardesa yang menjadi memanas dan sampai memakan korban jiwa serta harta benda yang terjadi kembali. Awal sebab munculnya konflik sosial dilihat dari kategori aktor yang terlibat, juga dapat dimulai dari konflik antarindividu, selain karena perebutan sumberdaya juga karena tindakan kriminal dan ketersinggungan. Konflik antarindividu, tindakan kriminal, dan keributan antarpemuda dapat menjadi pemicu berkembangnya konflik antarkelompok. Dalam konflik antara warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom ada pihak–pihak yang hendak mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi. Dengan adanya isu pelecehan seksual yang terjadi, maka terdapat pihak–pihak yang menjadikan konflik sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pihak–pihak tersebut ingin menggunakan konflik Balinuraga untuk mencapai tujuan pribadi ataupun kelompok tertentu yang ingin dicapai.

Menurut pendapat Hartoyo dalam buku “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung” Muncul dan berkembangnya konflik serta sulit atau mudahnya konflik diselesaikan juga diduga ada yang dipengaruhi oleh campur tangan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dari konflik tersebut. Mereka ini biasa dikatakan pihak–pihak yang suka “memancing ikan di air keruh” (free riders), bahkan keberadaannya tidak terbatas. Artinya, bisa berasal dari anggota kelompok itu sendiri atau dari luar, bisa berada bersama pihak–pihak berkonflik dan bisa juga berada pada pihak yang ikut menyelesaikan konflik. (Budi Santoro Budiman, 2012;40)

Menurut H.S Tisnanta, dalam buku “Merajut Jurnalisme Damai di Lampung” peta konflik pertikaian warga antardesa di Lampung Selatan sangatlah besar, dari konflik di Kecamatan Sidomulyo Januari 2012, dan yang terbaru konflik terjadi di Balinuraga. Perdamaian yang dilakukan hanya bersifat elitis dan tidak pernah menyentuh akar rumput dan permasalahan yang sebenarnya. Eskalasi kekuatan massa orang Lampung


(15)

yang datang saat konflik berasal dari berbagai penjuru daerah di Provinsi Lampung. Puluhan truk dan alat transformasi yang membawa massa datang ke lokasi kerusuhan. Tercatat antara lain dari Way Kanan, Lampung Utara, Lampung Timur, Lampung Tengah, Tanggamus, Bandar lampung dan lain–lain. Datangnya bantuan tersebut dikarenakan ajakan bergabung melalui pesan singkat (SMS), melaluin BBM, dan melalui jejaring sosial, sehingga gerakan massa menjadi masif. Dari beberapa analogi di atas, timbul dasar logika yang paling sederhana, mengapa mobilisasi massa tersebut tidak dicegah? Siapa yang menggerakkan? Siapa yang memfasilitasi pergerakan massa tersebut? Hal ini patut dipertanyakan kerena masyarakat desa Agom dan sekitarnya jumlah massa tidak akan sebanyak massa tersebut. Disisi lain, Bupati Lampung Selatan Rycko Mendoza SZP juga berkonflik dengan masyarakat adat Lampung serta lawan– lawan politiknya. Konflik tersebut berpengaruh pada kewibawaan dan legitimasinya sebagai pemimpin. (Budi Santoro Budiman, 2012;63-64)

Siti Noor Laila, Komisioner Komnas HAM asal Lampung mengatakan konflik antar warga Desa Balinuraga dengan warga Desa Agom menjadi besar dan menyebabkan banyak korban karena kepemimpinan Bupati Lampung Selatan Rycko Mendoza yang lemah serta adanya provokasi dari pihak–pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut. “saat kejadian Bupati sedang berada di Jatinangor Jawa Barat bersama para Kepala Desa di Lampung Selatan untuk mengikuti bimbingan tekhnis pengelolaan pemerintahan. Ketika pulang ke Lampung Selatan, dia juga tidak bisa langsung meredam emosi warga karena banyak warga yang masih marah dengan Bupati”.

Menurut Siti Noor Laila “persoalan ini tidak sesederhana yang diperkirakan banyak orang, masalahnya kompleks. Ada banyak kepentingan di dalam konflik, banyak kejanggalan. Harus ada investigasi mendalam untuk bisa mengungkap kasus yang


(16)

sebenarnya.” Dari pengakuan seorang warga Ibu Made (ibukandung dari korban meninggal Gede Semarjaya) mengaku melihat dengan jelas pembunuhan anaknya karena anaknya telah dibunuh secara keji di depannya. “ia mengaku bukan warga Agom yang membunuh anaknya, warga Balinuraga dan warga Agom menurut Made sudah saling mengenal dan biasa untuk bekerjasama.” (Budi Santoso Budiman, 2012;9)

Dari kumpulan pendapat para praktisi konflik di atas dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa konflik Balinuraga sangatlah kompleks. Dari isu pelecehan seksual yang dilakukan pemuda, menjadi sebuah konflik besar yang memakan korban yang tidak sedikit. Dalam konflik yang terjadi banyak juga pihak–pihak yang ingin mengambil keuntungan dalam konflik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Konflik balinuraga yang melibatkan etnis Bali dan etnis Lampung membuat sentimen etnis di Lampung Selatan menjadi sangat kuat. Sentimen etnis dalam konflik tersebut dimanfaatkan oleh pihak–pihak untuk dijadikan alat mencapai tujuan dalam mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok.

Peneliti juga melihat beberapa riset–riset terdahulu. Riset–riset yang membahas tentang politisasi dan konflik.

Penelitian Pertama yang membahas tentang politisasi adalah penelitian dari “Ferryzar Afriatama Semidang tahun 2010. Judul penelitiannya adalah Politisasi Pada Perguruan Paku Banten dalam mendukung Drs. Sjachroedin Z.P pada pemilihan Gubernur 2008.” Universitas Lampung. Skipsi dalam Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi politisasi pada Organisasi Paku Banten dalam mendukung terpilihnya Drs. Sjachroedin Z.P pada pemilihan Gubernur 2008. Tujuan penelitian ini sesuai rumusan masalah adalah untuk mengatahui bagaimana Politisasi dalam Organisasi masa Paku Banten dalam


(17)

mendukung terpilahnya Drs. Sjachroedin Z.P sebagai Gubernur Lampung periode 2009-2014. Hasil dari penelitian ini ialah terjadinya politisasi perguruan paku banten dalam mendukung Drs. Sjachroedin Z.P menjadi Gubernur. Isu etnik dijadikan instrumen untuk memperoleh dan meningkatkan dukungan suara dalam Pilkada. Politisasi dalam perguruan Paku Banten pada Pigub 2008 terlihat dengan adanya hubungan antara Sjachroedin Z.P dan Perguruan Paku Banten yang sangat baik, hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai cara oleh Sjachroedin Z.P untuk mempolitisasi anggota Paku Banten dan etnik Banten yang ada di Lampung agar memilihnya dalam pilgub 2008.

Penelitian kedua yang dijadikan referensi bagi peneliti adalah Skripsi dari “Sukma Wulan, Tahun 2010, dengan judul Politisasi Etnis Dalam Pilkada (study pada Rekrutment Calon Wakil Kepala Daerah PDI Perjuangan Lampung Periode 2008-2013). Universitas Lampung: Skipsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.” Rumusan masalah dari penelitian ini berdasarkan judul yang ada yaitu apakah terjadi politisasi etnis dalam perekrutan calon wakil kepala daerah PDI Perjuangan Lampung. Dari rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya politisasi etnis di dalam perekrutan Joko Umar Said sebagai calon wakil kepala daerah PDI Perjuangan. Hasil dari penelitian ini ialah adanya politisasi dalam rekrutmen calon wakil kepala daerah yang terjadi di tubuh PDI Perjuangan. Pemanfaatan etnik Jawa terjadi dalam penjaringan calon wakil kepada daerah untuk mendampingi Drs. Sjachroedin Z.P dalam Pilgub 2008. Hal ini juga didasarkan oleh pernyataan Drs. Sjachroedin Z.P selaku Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung, bahwa dia menginginkan calon wakil kepala daerah dari PDI Perjuangan adalah beretnik Jawa.

Penelitian terakhir yang peneliti jadikan referensi ialah penelitian dari “Johan Albert Piche, tahun 2001. Judul dari penelitian tersebut adalah Resolusi Konflik antara Suku Pedalaman. Jurnal Sripsi : Universitas Cendrawasih.” Rumusan masalah dari penelitian


(18)

ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah resolusi konflik yang terjadi pada konflik antar suku pedalaman di Papua. Sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini, maka tujuan penelitian ini ialah ingin mengatahui bagaimana resulusi konflik yang terjadi dlam konflik antar suku di Papua. Hasil dari penelitian ini ialah menganalisis tata cara perdamaian dan resulusi konflik yang terjadi pada suku pedalaman Papua Barat. Resolusi konflik terjadi dengan adanya bantuan tokoh–tokoh adat keduabelah suku untuk mengadakan perdamaian yang disusul dengan upacara bakar batu.

Hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa penelitian–penelitian tersebut membahas tentang politisasi politik dan resolusi konflik. Yang ditulis dan diteliti oleh penulis saat ini adalah mengkaji sudut pandang masyarakat tentang politisasi konflik yang terjadi dalam konflik Desa Balinuraga Kecamatan Way panji Kabupaten Lampung Selatan. Persoalan yang menjadi objek penelitian penulis adalah meneliti apakah terjadi politisasi dalam konflik antar warga Desa Balinuraga dengan Desa Agom dan akhirnya meluas menjadi konflik berskala Nasional yang terjadi di Lampung Selatan, dan apakah terdapat aktor–aktor politik yang memanfaatkan konflik untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok. Apakah tujuan aktor politik dalam konflik yang terjadi di Desa Balinuraga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut “Apakah terdapat aktor politik yang memanfaatkan konflik yang terjadi, dan bagaimana politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan?“


(19)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui “adakah aktor politik yang memanfaatkan konflik yang terjadi, dan bagaimana politisasi dalam konflik Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan.”

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah

1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan khususnya pada Ilmu Pemerintahan dan tercapainya pengembangan kajian mengenai konflik.

2. Secara praktis, kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan referensi bagi pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan daerah lainnya dalam penyelesaian konflik yang terjadi.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Konflik 1. Pengertian Konflik

Menurut Ramlan Surbakti (1992:149) menyebutkan pengertian konflik yaitu “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, indivudu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Definisi konflik (dari kata confligere,

conflicium=saling berbenturan) ialah semua bentuk benturan, tabrakan,

ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi–interaksi yang antagonistis–bertentangan. (Kartini Kartono, 1983;245).

Menurut Eep Saeffullah Fatah (1994:46-47) konflik adalah Suatu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham atau kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini dapat berbentuk non fisik, bisa juga berkembang menjadi benturan fisik, bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent) ataupun berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).

Konflik dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau bertentangan, benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang. Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup


(21)

manusia yang bersosial dan berpolitik dan pendorong dalam dinamika dan perubahan Sosial politik (Kornblurn, 2003;294).

Konflik adalah ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan dibidang tertentu yang membuat masyarakat hidup tidak nyaman (Gaffar, 1999;147). Konflik berasal dari Bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan Manusia. Karena Konflik memeiliki fungsi positif (George Simmel, 1918; Lewis coser, 1957), konflik menjadi dinamika sejarah manusia (Karl marx,1880/2003; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik menjadi entitas Sosial (Max Weber, 1918/1947; Ralf Dehrendorf, 1959), dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954; Max Neef, 1987; Jhon Burton, 1990; Marshal Rosenberg, 2003).

Konflik adalah Aspek intrinsik dan tidak mungkin untuk dihindari dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang mucul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Cara menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflic), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Poerwadinata (1976), konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak bersebrangan. Francis


(22)

menambahkan unsur persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan sosialnya (2006:7). Sehingga secara sederhana konflik adalah pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.

Pengertian konflik di atas sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Pluit dan Rubin dengan mengutip Webster bahwa “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak–pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan” (Pluit dan Rubin, 2004;10)

Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan dari kedua pihak, baik secara potensial dan praktis. Sedangkan integrasi adalah proses mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuat masyarakat menjadi lebih baik atau harmonis. Di samping itu integrasi juga dipahami sebagai suatu pernyataan yang sudah dicapai, atau sudah dekat untuk dicapai.

Konflik–konflik sangatlah beragam, dan dilihat dalam ruang yang luas dan konpleks dapat dilihat dari berbagai dimensinya. Banyak basis kolektivitas sosial merupakan sumberdaya yang memungkinkan hubungan antarkelompok sosial. Perbedaan tersebut menunjukkan adanya sebuah konflik, yang sewaktu–waktu dapat berkembang menjadi sebuah konflik yang besar. Melihat formasi konflik muncul dari perubahan sosial, kemudian membawanya menuju proses tranformasi konflik kekerasan atau konflik tanpa kekerasan, dan melahirkan perubahan sosial yang lebih extrim dalam posisi tertekan suatu kelompok akan melakukan apapun untuk mempertahankan norma-norma yang mereka miliki.


(23)

Setiap skala memiliki latarbelakang dan arah perkembangannya, masyarakat manusia di dunia pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antara perorangan sampai antarnegara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruksi bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan.

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Konflik dari semenjak dulu telah ada dalam masyarakat. Konflik dapat diklasifakasikan dalam berbagai tingkatan dan skala yang berbeda. Jadi menurut penulis konflik adalah pertikaian sebagai gejala ketidaksesuaian yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan sosial masyarakat dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses yang tidak mungkin terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.

2. Latar Belakang Konflik

Latar belakang konflik ialah awal mula penyebab sebuah gesekan–gesekan yang melahirkan sebuah ketidakesesuaian dan berkembang menjadi sebuah konflik. Latarbelakang sebuah konflik melahirkan intensitas konflik yang juga berbeda. Latar belakang konflik adalah suber seberapa besarkah konflik yang akan muncul, bisa kecil, sedang, dan besar.

Konflik timbul karena adanya kesenjangan fakta dan realita dalam masyarakat. Konflik terjadi antarindividu atau antarkelompok yang memperebutkan hal yang sama, tetapi konflik akan slalu menuju kearah kesepakatan (consensus). Selain itu, masyarakat tak mungkin terintregrasi secara permanen dengan mngandalkan kekuasaan paksaan dari kelompok yang dominan. Sebaliknya, masyarakat yang terintregrasi atas dasar consensus sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen dengan tanpa adanya paksaan, konflik dan consensus merupakan gejala-gejala yang tak terelakkan dalam masyarakat.


(24)

Pada dasarnya konflik didasarkan oleh dua hal. Konflik mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal, yang dimaksud dengan kemajemukan Horizontal adalah Struktur masyarakat yang majemuk secara kultural seperti suku bangsa, daerah, agama, dan ras, dan juga majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan provesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama, cendikiawan, dan dalam arti perbadaan karakteristik tempat tinggal seperti kota dan desa.

Kemajemukan horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultur berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain dalam masyarakat yang berciri demikian ini, apabila belum ada suatu konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara, ataupun gerakan separatisme. Kemajemukan vertikal adalah struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik.

Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat dikemukakan konflik dapat terjadi jika ada pihak yang diperlakukan tidak adil manakala titik kemarahan sudah melampaui batas. Potensi Konflik terjadi manakala terjadi kontak antarmanusia. Sebagai individu yang terorganisasi dalam kelompok, individu ingin mencari jalan untuk memenuhi tujuannya. Peluang untuk memenuhi tujuan itu hanya melalui pilihan bersaing secara sehat untuk mendapatkan apa yang


(25)

dibutuhkan, atau terpaksa terlibat dalam konflik dengan pihak lain. Berarti, dalam setiap masyarakat, selalu ada peluang sangat besar bagi terjadinya kompetisi dan konflik. Karena acap kali hasil konflik itu buruk, maka persepsi kita tentang konflik cenderung negatif. Harus diingat, semua konflik tidak sama, kita berhadapan dengan konflik yang berbeda menurut level. Kita mungkin tidak sepakat dengan beberapa isu dalam keluarga, teman, dan rekan sekerja, disini konflik seperti itu lebih mudah dipecahkan (Prasangka dan Koflik; Alo Liliweri, M.S;256).

Ketika mempelajari dan meneliti konflik, kita harus dapat membuat deskripsi yang jelas mengenai sumber atau sebab yang memicu terjadinya konflik. Ada 2 hal umum yang patut diperhatikan dalam membahas sumber atau sebab konflik, yakni (1)konteks terjadinya konflik dan (2)sumber–sumber konflik. Mengenai konteks terjadinya konflik dapat dikatakan bahwa konflik terjadi dalam beragam konteks, mulai dari konteks antarpribadi, komunitas, komunal, regional, dalam negara sendiri hingga antarnegara. Dari beragam konteks itulah bersumber konflik karena ketidaksetaraan atau perbedaan disposisi, persepsi, orientasi nilai, sikap, dan tindakan dalam merespon situasi sosial, historis, kesadaran sosial, ekonomi, idiologi, politik, bahkan situasi yang berkaitan dengan kejadian–kejadian mutakhir konflik.

3. Tipe – tipe Konflik. 1. Konflik Sederhana

Konflik tipe ini masih pada taraf emosi dan muncul dari perasaan berbeda yang dimiliki oleh individu. Ada empat tipe konflik sederhana:

(1) Konflik personal versus diri sendiri adalah konflik yang terjadi karena apa yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

(2) Konflik personal versus personal adalah konflik antarpersonal yang bersumber dari perbedaan karakter masing-masing personal.


(26)

(3) Konflik personal versus Masyarakat adalah konflik yang terjadi antara individu dan Masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu kelompok atau keyakinan Masyarakat atau perbedaan hukum.

(4) Konflik personal versus alam adalah konflik yang terjadi antara keberadaan personal dan tekanan alam.

2. Konflik berdasarkan Sifat

Tipologi konflik dapat dilihat dari sifat gerak-dinamika konflik. Dari segi dinamika , konflik berproses dari:

1). Adanya keyakinan bahwa setiap konflik mempunyai struktur tertentu, dan struktur itu umumnya bersifat laten yang mempunyai karakteristik, sifat, atau modus operandi yang relatif hampir sama dan berulang-ulang.

2). Konflik yang bersifat manifes, konflik laten yang menjadi konflik yang nyata (manifes).

3). Kadang–kadang sifat konflik itu tidak laten juga tidak manifes. Melainkan datang sebagai sebuah paristiwa yang luar biasa karena tidak ada catatan modus operandi sebelumnya.

Ketiga sifat tersebut mendorong prilaku konflik dan setiap prilaku konflik diselesaikan dengan manajemen konflik sesuai sifatnya. Hasil penyelesaian itu dapat menjadi sumber informasi kepada kita tentang struktur sebuah konflik.

3. Konflik Berdasarkan Jenis Peristiwa dan Proses

Kita dapat membedakan konflik berdasarkan jenis peristiwa dan proses. Sebagai jenis peristiwa dikenal beberapa tipe konflik:


(27)

1. Konflik biasa adalah konflik yang terjadi karena hanya karena adanya kesalahfahaman akibat distorsi informasi. Melibatkan hubungan antarpersonal yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi.

2. Konflik luar biasa adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operandinya.

3. Konflik Zero-Sum (game) adalah bentuk konflik yang hasilnya adalah satu pihak menang dan pihak lain kalah (win-lose)

4. Konflik merusak adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak sistem relasi sosial.

5. Konflik yang dapat dipecahkan adalah konflik subtantif karena dapat dipecahkan melalui sebuah keputusan bersama.

Kita juga dapat membedakan konflik dari segi proses yang terdiri atas:

a. Konflik yang sedang terjadi.

b. Konflik dengan sifat khusus, yang modus operandinya tidak berstruktur sehingga menampilkan proses yang berbeda dengan jenis konflik yang sama. c. Konflik Produktif, yakni jenis konflik yang dapat diselesaikan dan hasilnya

akan mendorong peningkatan relasi dari dua belah pihak yang terlibat konflik. d. Konflik yang dapat dikelola adalah konflik yang karena sifatnya dapat

dikelola bagi keuntungan dua belah pihak. 4. Konflik Berdasarkan Faktor Pendorong

Konflik terjadi karena berbagai faktor pendorong, yang secara psikologis dilakukan karena para pelaku konflik merubah respon terhadap perubahan stimulus. Misalkan, satu pihak merubah atau membuat klarifikasi baru berupa gagasan yang ditunjukkan kepada pihak lawan. Ada beberapa ketegori faktor


(28)

yang memungkinkan kita menentukan tipe konflik berdasarkan (1)Konflik Internal (2)konflik Eksternal (3)Konflik Realistik (4)Konflik Tidak Realistik.

4. Manajemen Konflik

John Burton dalam Conflict : Resolution and Provention (1990) menyebut konflik bersumber dari basic human needs (kebutuhan dasar manusia). Setiap kepentingan memiliki tujuan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar, baik yang tersedia secara sosial maupun lingkungan alam. Semakin sederhana dimensi kebutuhan dasar yang diperjuangkan oleh beberapa kepentingan berkonflik, proses pemecahan masalah bisa lebih sederhana dan cepat tercapai. Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan.

Strategi konflik pada prakteknya muncul dalam bentuk–bentuk prilaku tertentu. Pluit dan Rubin mengkategorikan lima strategi konflik kelompok–kelompok kepentingan, yaitu strategi contending (keras), withdrawing (menarik diri), yielding (menyerahkan keputusan), compromy , dan problem solving (pemecahan masalah). Kelima strategi tersebut digunakan oleh pihak–pihak yang berkonflik dalam kaitannya dengan usaha pencapaian tujuan. Setiap strategi akan diterjemahkan dalam bentuk tindakan– tindakan tertentu baik secara individual maupun kolektif.

Pertama strategi konflik contending dicirikan oleh penolakan terhadap aspirasi pihak lain, dan semua proses penyelesaian konflik harus menguntungkan tujuan dalam konflik. Akibat dari strategi konflik ini adalah munculnya komunitas dan praktek kekerasan sehingga menyebabkan hubungan–hubungan ketegangan, ancaman, dan saling meniadakan. Hubungan yang tercipta dalam konflik ini adalah zero-sum game atau hubungan menang kalah. Dampak strategis konflik contending adalah menang


(29)

satu pihak dan kalah dipihak lain, atau keduanya kalah dan hancur. Kedua adalah strategi konflik Withdrawing yang mana salah satu atau kedua belah pihak mengundurkan diri atau mencabut semua tuntutan, dan hubungan konflik berhenti tanpa resolusi apapun. Strategi ini bisa muncul ketika satu atau dua pihak merasa eksistensi atau keselamatannya terancam. Ketiga strategi konflik Yielding, yaitu tindakan menyerahkan apapun keputusan dan bentuk resolusi yang diberikan oleh pihak lawan. Keempat strategi konflik compromy yang berarti masing–masing pihak hanya mentargetkan memperoleh sebagian dari tuntutan mereka.

Proses mencapai pemecahan akar masalah dalam relasi konflik, menurut Johan Galtung (2007) secara ideal perlu menggunakan transcend approach atau pendekatan transidental yang berarti adanya kesadaran dan keahlian dalam pihak berkonflik untuk menemukan bentuk tujuan baru yang bisa menguntungkan seluruh pihak. Setiap strategi konflik akan muncul dalam bentuk tindakan individu maupun kolektif yang bervariasi dan memiliki konsekwansi masing–masing. Konflik dapat diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistik atau bertentangan, benturan antara macam–macam paham, perselisihan, kurang mufakat, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang. Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik dan pendorong dalam dinamika dan perubahan social politik (Kornblurn, 2003;294).

Secara pendekatan Psikososial atas konflik, ada pendekatan yang akan digunakan didalam penelitian ini yaitu pendekatan historis. Pendekatan Historis merupakan pendekatan yang lebih mengandalkan catatan sejarah warisan suatu kelompok. Setiap kelompok seolah–olah merasa bebas menginterpretasikan diri sebagai yang terbesar dan terhormat, sehingga mereka harus menjadi superior dan mendominasi


(30)

status dan peran dalam bidang sosial politik dan ekonomi. Akibatnya, kelompok superior menciptakan kondisi untuk mendominasi status dan peran dan menjadikan kelompok lain secara inferior. seperti ditunjukkan oleh penelitian Lohman dan Reitzes (1951).

5. Tahap Konflik

Analisis dasar tahapan konflik ada lima tahap, yang umumnya disajikan secara berurutan. Tahapan ini adalah:

1. Prakonflik

Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidak sesuaian sasaran diantara dua belah pihak atau lebih, sehingga timbullah sebuah konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.

2. Konfrotasi

Pada tahap ini konflik terjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah. Mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau prilaku konfrontatif. Pertikayan atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak. Masing–masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi antara para pendukung dimasing–masing pihak.


(31)

Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika kedua belah pihak jatuh korban dan saling membunuh. Komunikasi normal diantara kedua belah pihak kemungkinan terputus. Pernyataan–pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak–pihak lainnya.

4. Akibat

Suatu konflik pasti akan meninggalkan akibat. Satu pihak mungkin menakhlukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata. Satu pihak mungkin menyarah dengan sendirinya, atau menyerah atas desakan pihak lain. Keduabelah pihak mungkin setuju untuk bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang mungkin lebih berkuasa memaksa duabelah pihak untuk menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. 5. Pasca konflik

Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai macam konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah pada situasi normal diantara kedua belah pihak. Namun isu–isu dan masalah–masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

6. Akar Kekerasan konflik

Ada dua perspektif teoritis yang menjelaskan kekerasan dalam konflik. Pertama adalah prilaku kekerasan menjadi bagian dari pola hubungan–hubungan konflik dari masyarakat yang rentan konflik seperti masyarakat indonesia. Masyarakat rentan konflik bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti social cleavages yang membagi


(32)

masyarakat pada berbagai kelompok identitas. Kondisi social ini akan muncul dalam bentuk reciprocal antagonisem (permusuhan timbal balik), (Coser, 1957) dan coercive behavior (prilaku kekerasan), (Bartos dan Weher, 2003) takkala masing– masing kelompok harus saling bersaing untuk meraih sumberdaya yang terbatas. Kekerasan menjadi prilaku kolektif dengan mengikuti pola dan karakter modal sosial (social capital) (Putnam, 2000) atau sumber konflik (conflict resource) (Bartos dan Weher, 2003) yang menjadi mesin pergerakan sosial dan mobilisasi massa. Kedua adalah lemahnya pelembagaan tatakelola konflik dalam masyarakat yang berkompetisi memperebutkan sumber–sumber daya terbatas.

Pelacakan prilaku kekerasa dalam konflik–konflik secara teoritis bisa dilacak secara teoritis melalui teori akar kekerasan (Rule, 1988), tindakan konflik dari John Bartos dan Paul Wehr (2003), dan modal sosial (Putnam 2000; Bourdieu; 1991). Selanjutnya bagaimana kwalitas pelembagaan tatakelola konflik produktif melalui teori John Burton (1998), pendekatan transendental dari Johan Galtung (2004). Rule memilah akar prilaku kekerasan menjadi dua, yaitu kekerasan sebagai kalkulasi rasional dan kekerasan irasional. Menurutnya kekerasan sebagai kalkulasi rasional merupakan bagian dari upaya manusia mencapai tujuan. Dengan mengutib Thomas Hobbes, Rule menjelaskan bahwa manusia menyadari dunia adalah tempat yang penuh dengan persaingan dari berbagai manusia yang memperjuangkan tujuan masing–masing. Hobbes menggunakan istilah lain (homo homini lupus) (Rule,1988). Sedangkan kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya prilaku dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan. Situasi kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong para individu di dalamnya berprilaku liar tanpa terkendali, dan merebabnya isu–isu yang tidak jelas dalam kerumunan (Rule, 1998).


(33)

Menurut Bardos dan Wehr tindakan koersif adalah tindakan sosial yang memaksa pihak lawan untuk melakukan sesuatu. Terdapat dua dimensi tindakan koersif, yaitu actual coercion (koersi nyata) dan threat coercion (koersi ancaman). Koersi nyata adalah tindakan melukai ataupun menghancurkan lawan. Tindakan ini bisa muncul pula dalam bentuk kekerasan psikologis yang menghasilkan luka simbolis (symbolic injury). Tujuan utama dari koersi nyata adalah menghilangkan kapasitas pihak lawan untuk melanjutkan konflik. Sedangkan koersi ancaman bertujuan menekan agar lawan menurunkan keinginan mencapai tujuan pada tingkat tertentu. Bentuk koersi ini muncul dalam bentuk intimidasi dan negosiasi sekaligus. Non coercive action adalah upaya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah konflik, Bartos dan Wehr, 2003. (Susan Novri, 2012;24).

7. Kerangka Teori Konflik

Dahrendorf melihat konflik pada dasarnya memiliki dua makna. Pertama, konflik adalah konsekuensi atau akibat dari tidak tuntasnya proses integrasi di dalam suatu masyarakat. Dalam konteks kegagalan integrasi seperti ini, konflik menjadi sebuah gejala penyakit (syndrom) yang dapat merusak persatuan dan kesatuan suatu masyarakat dalam sebuah bangsa. Kedua, konflik dapat pula dipahami sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini konflik dilihat secara “fungsional” sebagai suatu strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegratif di dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna. Konflik dalam perspektif ini diyakini sebagai sebuah media yang bila terselesaikan dengan baik, justru akan memperkuat proses integrasi dalam masyarakat.


(34)

Melalui teori dari Dahrendorf dapat dipelajari bahwa konflik dapat dilihat dari dua kacamata berbeda positif dan negatif. Kedua tipe ini meliputi konflik positif dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan Konflik Positif ialah Konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud adalah lembaga–lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan–badan perwakilan rakwat, pengadilan, pemerintahan, pers, dan forum–forum terbuka yang lain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui lembaga–lembaga itu merupakan contoh konflik positif. Sebaliknya Konflik Negatif ialah Konflik yang mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara–cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi.

Menurut Taquiri, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris, terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993; Mengelola Konflik).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249. Manajemen Konflik). Konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, suku bangsa, ras, agama, golongan,


(35)

karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Sering kali konflik dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran– sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, perbuatan, yang tidak sejalan. Bentuk pertentangan alamiah dihasilkan oleh individu atau kelompok etnik, baik interaetnik maupun antaretnik, yang memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai–nilai atau kebutuhan (Alo Liliweri, 2005;146).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik bersifat positif ataukah negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang sedang terlibat dalam konflik. Dalam hal ini yang menjadi patokan positif atau negatif sebuah konflik adalah respon masyarakat terhadap sistem yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat terhadap salah satu kelompok yang berkonflik.

B. Politisasi dalam Konflik Balinuraga

Penulis menjelaskan konsepsi tentang politisasi. Praktek politis dalam konflik Balinuraga tidak ada urgensinya apabila dijadikan tujuan akhir untuk kekuasaan kepentingan yang tidak memihak rakyat. Politisasi adalah praktek politik yang menjadikan isu tertentu sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kasus Balinuraga, isu tersebut adalah sebuah konflik. Tujuan dari politisasi beranekaragam bentuknya, dari untuk mendapatkan kekuasaan, mendapatkan kedudukan, mendapatkan sipati masyarakat, sampai mendapatkan sebuah pengakuan. Dalam politisasi, sebuah fenomena bukanlah merupakan suatu tujuan, melainkan sebuah fenomena adalah alat untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah sebuah konflik yang terjadi di Desa Balinuraga.


(36)

Konflik seringkali dikaitkan dengan kegiatan politik. Politisasi adalah sebuah cara berfikir yang menjadikan peristiwa sebagai alat mencapai tujuan tertentu dan menjadikan sebuah tujuan adalah sebuah hasil akhir. Tiap-tiap kelompok kepentingan diasumsikan mempunyai tujuan yang berbeda-beda dan mempunyai cara untuk mendapatkan tujuan yang berbeda pula. Tiap kelompok berpikir bahwa cara fikir dan tindak kelompoknya adalah yang paling benar.

Politisasi juga dapat terjadi di dalam kelompok itu sendiri, pemimpin kelompok menanamkan sifat antipati terhadap kelompok lain (antipathy toward outgroups), kompensasi-kompensasi yang nyata (tangible rewards) dan manipulasi para pemimpin kelompok yang berkonflik “Leader manipulation” ditandai oleh adanya pemimpin yang seringkali melihat manfaat bagi diri sendiri atas sebuah konflik yang terjadi. Oleh karenanya ia berusaha meningkatkan provokasi melalui eksploitasi rasa takut dan benci terhadap kelompok lain (Pace & Faules, 1994:249. Manajemen Konflik).

Politisasi mengandung perilaku positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan perilaku atau penyikapan negatif terhadap kelompok lain (outgroups). Politisasi yang bersifat positif dalam sebuah peristiwa dimaknai sebagai cara untuk mendapatkan tujuan bersama, bukan hanya mencapai sebuah tujuan pribadi atau kelompok saja, melainkan tujuan semua stageholder yang ada didalam peristiwa tersebut. Politisasi ditandai dengan adanya suatu pemanfaatan oleh kelompok (ingroup) terhadap sebuah peristiwa.

Menurut Paul Wehr (2003) kompleksitas sumber konflik dapat mendorong kelompok– kelompok kepentingan melakukan mobilisasi pemanfaatan sumber daya konflik dengan kata lain mempolitisasi sebuah konflik. Sumber daya konflik merupakan modal–modal yang dimiliki oleh satu kelompok kepentingan untuk mencapai suatu tujuan dalam relasi konflik dengan kelompok lain. Mobilisasi pemanfaatan sumber daya konflik muncul


(37)

dalam bentuk startegi konflik (conflict strategy) untuk menciptakan proses–proses dan hasil yang menguntungkan satu kelompok kepentingan (Susan Novri, 2012;20).

Menurut Jacques Bertrand (2004), ada sekurangnya tiga pendekatan yang dapat menjelaskan mengapa konflik seringkali menjadi saluran bagi arus politik dan perjuangan kelompok atau individu dalam mencapai sebuah tujuan. Pendekatan

“konstruktivis” menekankan pada konteks historis dan sosial yang membentuk, mengubah dan menegaskan batasan-batasan konflik dan akar-akar konflik. Pendekatan

“instrumentalis” fokus pada peran elit dalam memobilisasi kpentingan-kepentingan di dalam kelompoknya. Pemimpin dan para aktor politik memakai kedekatan emosional dalam kelompok untuk memobilisasi dukungan massa dalam usahanya bersaing dalam memperebutkan kekuasaan, sumber daya dan kepentingan-kepentingan pribadi lainnya. Pendekatan “primordialis” menekankan pada warisan dalam keterikatan kelompok berupa ketentuan yang tidak bisa berubah, nasib, dalam batasan-batasan sosial. Kelompok-kelompok kepentingan menurut primordialis, secara inheren memang rawan terhadap beragam bentuk kekerasan terhadap kelompok yang berbeda, dan rawan menciptakan sebuah gesekan–gesekan yang berujung terjadinya konflik, hal itu sebagai sesuatu yang dapat dipolitisasi oleh segelintir orang ataupun kelompok. Politisasi dimaknai sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, bukan ditoleransi. Politisasi muncul ketika melihat sebuah peristiwa atau sebuah isu yang berpotensi menimbulkan keuntungan untuk individu atau kelompoknya.

Banyak terdapat aktor–aktor politik yang berani untuk mempolitisasi sebuah kejadian agar dapat mengambil keuntungan dari hal tersebut. Dalam hal konflik balinuraga, politisasi dijadikan alat untuk menambah tingkat intensitas faktor akselerator konflik agar muncul dominasi kekerasan oleh sekelompok masyarakat karena ketidakpuasan


(38)

elite politik dalam sharing of power. Yang menjadi kursial untuk terus dipertanyakan apakah aktor politik tadi benar–benar dipihak rakyat, atau hanya sekedar berpura–pura untuk memenuhi kebutuhan politik untuk spekulasi dukungan saja, karena biasanya para elit politik akan mengambil keuntungan dari terjadinya konflik itu sendiri.

Dalam konteks kepentingan politis untuk kepentingan pribadi atau merebut kekuasaan, manufer–manufer memang sering dilakukan dengan memanfaatkan situasi yang sedang terjadi, dalam hal ini adalah sebuah konflik yang terjadi di Balinuraga. Dengan adanya konflik, aktor-aktor konflik termasuk para elit politik dapat mengambil keuntungan dengan mempolitisasi sebuah konflik adalah sebuah tranformasi perilaku yang dapat dijadikan penelitian, berawal dari konsepsi tadi maka akan memberikan nilai tersendiri bagi para politisi karena suasana pertarungan politik dibangun atas dasar politisasi. Pilihan yang diberikan kepada rakyat, tidak atas dasar sentimen dan diskriminasi simbol–simbol semata tetapi dukungan yang diberikan karena kemunculan sosok politisi yang diuntungkan yang dapat diterima oleh masyarakat manapun disebabkan oleh kehandalannya menyelesaikan konflik, sikap para elit politik dan komitmennya untuk terus membela rakyat dan bukan karena kepentingan yang melekat pada dirinya namun karena adanya politisasi untuk mengambil keuntungan semata.

Politisasi menjadi ajang bagi para aktor politik untuk menciptakan sebuah penilaian yang baik di dalam masyarakat. Proses politisasi didalam konflik tidak terlepas dari para aktor–aktor yang terdapat daidalam konflik. Aktor-aktor konflik yang terdapat dalam konflik dapat berasal dari kelompok yang berkonflik atau berasal dari luar kelompok yang berkonflik. Aktor-aktor konflik yang berasal dari luar kelompok yang berkonflik termasuk aktor politik yang ada didalamnya. Aktor–aktor politik tersebutlah yang dapat


(39)

menjalankan politisasi tersebut. Kepentingan–kepentingan itulah yang melatarbelakangi politisasi terjadi.

Politisasi dapat dilihat dari waktu terjadinya dalam sebuah konflik. Bilamana politisasi terjadi sebelum terjadi konflik dan mengkibatkan konflik tersebut terjadi maka konflik yang terjadi dapat dikatakan karena adanya politisasi atau dilatarbelakangi sebuah politisasi. Namun jika politisasi dilihat setelah konflik terjadi dan mengakibatkan konflik menjadi sedemikian besar maka politisasi bukan merupakan suatu latarbelakang dari konflik yang terjadi.

Pemanfaatkan konflik dapat beragam tujuan dari yang untuk mencari nama baik dan untuk pencitraan dalam kepentingan politiknya sampai dengan untuk mengambil sebuah kekuasaan. Dalam fenomena konflik, konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam bermasyarakat dan bernegara. Intensitas sebuah konflik didasarkan oleh faktor–faktor yang mempengaruhi sebuah konflik. Konflik dapat berkembang menjadi besar apabila sebuah konflik tidak dikelola dengan sebaik–baiknya dan ditunggangi oleh orang atau kelompok yang ingin mengambil keuntungan. Konflik akan berujung pada tindak kekerasan apabila terdapat aktor–aktor yang terlibat dalam konflik tersebut dan mengambil keuntungan dengan adanya konflik tersebut.

Salah satu dimensi penting proses politisasi ialah penyelesaian konflik yang melibatkan pemerintah. Dalam proses ini rentan adanya adu kepentingan antar aktor politik yang ada dibelakang konflik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Proses “penyelesaian” konflik yang tak bersifat kekerasan dibagi menjadi tiga tahap. Adapun ketiga tahapan ini meliputi tahap politisasi atau koalisi, tahap pembuatan keputusan, dan tahap pelaksanaan dan integrasi. Apabila dalam masyarakat terdapat konflik di antara dua kelompok komunitas etnik, ras, agama, ataupun politik dengan berbagai pihak, dengan segala


(40)

motifasi yang mendorong maka masing-masing pihak akan berupaya merumuskan dan mengajukan ide-ide dan pokok pemikirannya agar diketahui dan dibenarkan oleh pihak ketiga, yaitu masyarakat. Satu kebiasaan khas dalam suatu konflik adalah memberikan prioritas yang tinggi guna mempertahankan pihaknya sendiri terutama dalam kepentingan politik. Jika kepentingan lain bertentangan dengan kepentingan pihaknya, maka akan cenderung mengabaikan kepentingan pihak lain tersebut.

Dalam konflik yang terjadi di Balinuraga, etnis , kelompok kepentingan, dan konflik itu sendiri dijadikan oleh segelintir orang atau kelompok untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Hal ini terlihat dari konflik yang terjadi sangat cepat menyebar dan meluas, dan juga intensitas konflik cepat sekali membesar dan sampai memakan korban nyawa. Kemasan politik dengan masih menggunakan simbol–simbol kelompok tidak harus dipertahankan, karena kultur ini akan segera ditinggalkan seiring dengan peningkatan kapasitas masyarakat yang menjadi pintar. Propaganda kelompok sewajarnya ditinggalkan karena pada akhirnya dapat dijadikan politisasi oleh para aktor politik agar konflik tersebut memberikan keuntungan kepada dirinya pribadi. Para warga yang berasal dari kelompok sama merasa konflik sudah dipolitisasi. Konflik tidak akan secara langsung dapat ditunggangi oleh aktor politik yang akan mengambil keuntungan dengan terjadinya konflik tersebut. Konflik tentu saja tidak diperbolehkan ditunggangi oleh aktor politik atau para elit politik dalam merebut kekuasaan. Demikian juga seharusnya dengan para pemimpin yang sedang berkuasa manapun juga yang bertentangan dengan pemerintahan tidak dibenarkan untuk melakukan politisasi.


(41)

Bagan kerangka pikir :

Konflik Balinuraga

Politisasi dalam

Konflik

Kerangka Teori

Konflik

Aktor Konflik

Peran Aktor

Latar Belakang Konflik Proses Penyebab

Konflik

Faktor Konflik

Tujuan

Politisasi


(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Basrowi (2008:15), penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis artinya sesuai dengan metode tertentu, sistematis artinya berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak ada hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara terperinci bagaimana fenomena sosial tertentu.

Menurut Mohammad Nazir (2008:63) yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, tajam dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang sedang diteliti.

Menurut Suwandi (2008:17), tipe penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang digunakan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi pada masa sekarang, dilakukan dengan langkah-langkah pengumpulan data, membuat klasifikasi data dan analisa atau pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam suatu deskriptif situasi.


(43)

Hadari Nawawi (2011:63-64) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menjawab pertanyaan yang ada dilapangan dengan menggunakan teori-teori, konsep-konsep, dan data hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan. Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka tipe penelitian deskriptif adalah tipe penelitian untuk menggambarkan tentang suatu keadaan secara obyektif terhadap situasi dalam hal ini yaitu karakteristik dalam suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang akan diteliti.

Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan ciri-ciri dari penelitian deskriptif yang biasanya mempunyai dua tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu.

2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.

Penelitian deskripsi ini akan membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu dengan mengambil studi komparatif atau dengan mengukur suatu dimensi penelitian seperti dalam berbagai penelitian kualitatif, atau mengadakan penelitian ataupun standar (normatif), menentukan hubungan kedudukan (status) satu unsur dengan unsur lainnya.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif pasca prilaku. Penelitian jenis ini dimaksudkan sebagai suatu cara yang tidak menggunakan prosedur statistik atau dengan menggunakan alat kuantifikasi yang lain, melainkan melakukan pengamatan fenomena sosial yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis serta interpretasi berbagai


(44)

data dan informasi. Penelitian kualitatif menunjuk pada suatu penelitian tentang kehidupan seseorang, sejarah, perilaku aktor, proses dan juga tentang fungsi organisasi, gerakan sosial atau hubungan interaksi untuk mencari makna. Karenanya, penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran (deskripsi) tentang politisasi yang terjadi dalam konflik Balinuraga Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan.

Penelitian ini berbentuk studi kasus, karena peneliti berusaha mengumpulkan sejumlah informasi hanya pada kasus tertentu secara mendalam (insight) dan menyeluruh (whole) terhadap suatu lembaga atau fenomena tertentu. Penelitian jenis ini berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam, bukan banyaknya individu dan juga bukan rerata yang menjadi dasar penarikan kesimpulan, melainkan dimaksudkan untuk menemukan kecenderungan, pola, arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang memacu atau menghambat perubahan yang dapat digunakan untuk membuat perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan. Penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif ini karena sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu menuturkan dan mendefinisikan data tentang Konflik yang terjadi di Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji kabupaten Lampung Selatan.

Peneleti dalam menggali informasi menggunakan metode Teori Analisi Wacana Kritis. Analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini, adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari objek(informan) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi informan, dengan mengikuti struktur makna dari informasi yang diberikan informan, sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi.


(45)

Wacana menurut pandangan Foucoult tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks , tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Dalam sebuah wacana terdapat pernyataan (proposisi) yang bertujuan untuk menyatakan sesuatu (arti atau makna), akan tetapi juga mengatakan sesuatu tentang sesuatu (referensi). Referensi inilah yang memperluas dimensi makna bahasa dan memengaruhi sistem sosial budaya sampai pikiran manusia. Oleh sebab itulah, maka wacana harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh.

Dalam menentukan kebenaran, bagi Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang begitu saja (konsep yang abstrak). Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh setiap kekuasaan. “ Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya” (Michel Foucault, 1979;27).

C. Lokasi dan Waktu

Peneliti menetapkan lokasi penelitian pada Desa Balinuraga dan Desa Agom, penulis juga akan melakukan penelitian pada kecamatan Way Panji. Waktu penelitian akan dilakukan pada hari dan jam kerja warga kedua desa agar dapat memperoleh data dan informasi yang tepat dan akurat.

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu apa yang menjadi sasaran penelitian dalam penelitiannya. Fokus penelitian merupakan hal yang penting jika kita melakukan sebuah penelitian yang bersifat kualitatif. Melalui fokus penelitian, diharapkan dapat membatasi studi yang akan dilaksanakan dan dapat memandu penelitian untuk


(46)

mengarahkan suatu penelitian. Tanpa adanya fokus penelitian, maka seorang peneliti akan mudah terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan.

Sesuai dengan teori di atas fokus penelitian pada penelitian ini adalah:

1. Penulis ingin mengetahui adakah politisasi dalam konflik Balinuraga Kecamata Way Panji Kabupaten Lampung Selatan,

2. Mengetahui adakah aktor–aktor politik dalam konflik yang memanfaatkan konflik dan bagaimana peran aktor–aktor politik dalam konflik yang terjadi di Desa Balinuraga

E. Sumber Data

Proses pengumpulan data atau informasi dilakukan secara purposive sampling, dimana informan yang dipilih adalah yang memiliki data dan informasi guna memahami secara utuh tentang Konflik yang terjadi. Klasifikasi jenis informan terdiri dari:

1. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Pemerintahan Desa Balinuraga dan Desa Agom, dan Pemerintah Kecamatan Way Panji.

a. Kepala Desa Balinuraga, Bapak Ketut Wardane. b. Kepala Desa Agom, Bapak Muchsin Syukur.

c. Pemerintah Kecamatan Way Panji, Kepala Urusan Pemerintahan Kecamatan Way Panji Bapak Mujiharto yang sekarang menjabat PJS Kepala Desa Balinuraga. 2. Pihak petinggi adat, tokoh–tokoh masyarakat dan tokoh–tokoh adat yang beresal dari

kedua Desa.

a. Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga, Bapak Wayan Sudiartana. b. Tokoh pemuda Desa Balinuraga, Bli Gede Wydiastike.

c. Tokoh Adat Desa Balinuraga, Bapak Wayan Gambar.

d. Tokoh Adat Lampung, Raden Permata. Beliau adalah pengurus MPAL Kabupaten Lampung Selatan


(47)

e. Tokoh Kewanitaan, Siti Maryam.

3. Masyarakat sebagai saksi mata saat konflik terjadi antara kedua Desa.

a. Rokhaimi, adalah ayah dari Diana, gadis yang mengalami kecelakaan dengan pemuda Desa Balinuraga sehingga memicu konflik.

b. Wayan Dastra, salah seorang korban yang kehilangan harta, benda dan juga salah seorang anggota keluarganya.

c. Wayan Rauh, saksi mata konflik yang terjadi di Desa Balinuraga.

4. Aktor Politik, elit politik, praktisi dan pengamat Politik Kabupaten Lampung Selatan. a. Bapak Sunyoto, kader partai politik dan anggota DPRD Kabupaten Lampung

Selatan.

b. Bapak Jasudin Jadi, seorang kader partai politik, praktisi politik, pengamat politik Kabupaten Lampung Selatan dan mantan anggota DPRD Kabupaten Lampung Selatan.

5. Pihak wartawan yang meliput terjadinya konflik Balinuraga. a. Wartawan Harian Radar Lamsel, Ricky Oktori Wikoko. b. Kartono salah seorang wartawan Radar Lampung.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang relevan dengan penelitian ini, maka data yang didapat dari lapangan harus dikumpulkan dengan teknik tertentu yang disebut teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data ini disusun melalui alat bantu yang disebut instrumen penelitian. Adapun yang dimaksud dengan instrumen penelitian menurut Sugiyono (2011: 115) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam atau sosial yang diamati.


(48)

Sutrisno Hadi (2007:136) berpendapat bahwa instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara Mendalam

Cara mengumpulkan data melalui wawancara mendalam (in depth interview) dengan para informan yang dipilih secara purposive sampling, berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara ini dilakukan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian yang dalam hal ini adalah tokoh adat keduabelah desa, Kepala desa dan aparatur desa, dan Masyarakat keduabelah desa.

2. Dokumentasi, yaitu melakukan pelacakan dan mengkaji informasi, fakta-fakta, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan konflik yang terjadi.

3. Obserfasi, yaitu pengamatan langsung di lapangan yang dilakukan oleh peneliti dalam fenomena yang terjadi pada konflik Balinuraga.

G. Teknik Pengolahan Data

Data primer dan data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya diolah melelui tahapan berikut ini:

1. Tahap Editing, merupakan kegiatan dalam menentukan kembali data yang berhasil diperoleh dalam rangka menjamin validitasnya serta dapat segera diproses lebih lanjut.

2. Tahapan Interprestasi, data yang telah dideskpsikan baik melalui narasi atau tabel, selanjutnya diinterprestasikan sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai hasil penelitian (Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, 2005).


(49)

H. Teknik Penyajian Data

Penyajian data dibatasi sebagai kumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan penyajian tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan pemahaman yang didapat dari penyaji-penyaji tersebut.

I. Teknik Analisis Data

Menurut Sofyan Effendi (2009:263) mengatakan bahwa analisis data adalah sebagai proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data yang dipakai adalah kualitatif yaitu dengan menggambarkan fenomena atau gejala-gejala yang terdapat dilapangan dikaitkan dengan teori yang digunakan untuk kemudian diiterpretasikan ke dalam suatu kalimat yang bermakna.

Menurut Mathew B Miles (2007:16), hal-hal yang terdapat dalam analisis kualitatif yaitu data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka dan biasanya diproses sebelum siap dipergunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan atau alih tulis). Analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas.

Adapun langkah-langkah analisis data yang dikembangkan oleh Mathew B Miles dan A. Michael Huberman (2007:16-21) adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan pada data primer, hasil wawancara. Data


(50)

informan diediting, dirangkum, difokuskan dan dibuat kategori-kategori yang berhubungan dengan konflik dalam bentuk draf hasil wawancara.

2. Penyajian Data

Penyajian data disebutkan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang lebih baik adalah merupakan suatu cara utama bagi analisis kualitatif yang valid. Untuk melihat gambaran keseluruhan dari penelitian ini, maka akan diusahakan membuat berbagai matrik jaringan dan bagan atau dimungkinkan bisa dalam matrik naratif saja. Dalam penyajian data ini sangat membutuhkan kemampuan interpretatitve yang baik pada si peneliti, sehingga dapat menyajikan data secara lebih baik.

3 Menarik kesimpulan

Menarik kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan yang utuh, kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenaran, kekokohan dan kecocokannya yang merupakan validitasnya, sehingga akan diperoleh kesimpulan yang jelas kebenaran dan kegunaannya.

Peneliti melakukan reduksi data dimulai dari hasil wawancara dengan informan yang faham atas konflik yang terjadi di Desa Balinuraga dan memahami tentang fokus masalah yang ingin peneliti ketahui. Selanjutnya peneliti melakukan reduksi data kembali pada saat pembahasan dan hasil. Reduksi data dilakukan dengan pertimbangan bahwa data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dipilah sesuai dengan kebutuhan dalam pemecahan masalah peneliti ini. Mereduksi data dalam penelitian ini peneliti memilih data yang dianggap penting dari hasil wawancara dan dokumentasi dengan informan yang faham dengan permasalahan yang ingin diteliti.


(51)

Sedangkan data lain yang dianggap kurang penting dan tidak menunjang dalam menjawab permasalahan peneliti telah dibuang, dengan proses tersebut telah memudahkan peneliti memaknai makna yang terkandung pada tahap analisis selanjutnya. Penyajian data dalam penelitian ini dengan cara menampilkan dan membuat hubungan antara fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi pada konflik.

Peneliti melakukan penarikan kesimpulan dengan mengumpulkan data mengenai konflik yang terjadi di Desa Balinuraga. Pada pelaksanaanya peneliti telah menyajikan data yang masih belum jelas dan melakukan penarikan kesimpulan setelah melakukan proses reduksi dan penyajian data, maka didapatlah suatu kesimpulan bagaimana konflik yang terjadi di Desa Balinuraga dan apakah terdapat aktor–aktor politik yang mempolitisasi dan mengambil keuntungan dengan terjadinya konflik tersebut.


(52)

IV. KRONOLOGI KONFLIK BALINURAGA

A. Kronologi Konflik Versi Masyarakat Agom

Kejadian bermula pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2012 pukul 17.30 WIB. Saat itu dua gadis berboncengan sepeda motor melintas jalan raya patok sidoharjo, kedua gadis tersebut adalah Nurdiyana Dewi umur 18 tahun, warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda, dan Emiliya Elisa umur 17 tahun warga Desa Negeri Pandan, Kecamatan Kalianda. Sabtu 27 Oktober 2012 sekitar pukul 17.00 WIB, keduanya hendak pulang ke rumahnya usai membeli peralatan makeup di sebuah minimarket di Desa Patok Sidoharjo Kecamatan Way Panji. Laju sepeda motor yang dinaiki Diana dan Emi itu melaju perlahan. Saat melintas di perempatan jalan terdapat para pemuda Balinuraga yang mengendarai sepeda yang berjumlah sekitar 10 orang tersebut, berusaha mengganggu Diana dan Emi. Karena pemudanya lebih banyak, konsentrasi Diana mengendarai sepeda motor pun buyar sehingga sepeda motorpun terjatuh. Warga Desa sekitar tempat kejadian datang dan berusaha menolong. Para pemuda yang mengendarai sepeda itu juga mencoba menolong dengan mengangkat kedua gadis kepinggir jalan. Dalam peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan terhadap Nurdiana Dewi dan Eni. Namun entah darimana kabar dan berita yang menyebar kepada warga suku Lampung bahwa warga suku Bali telah melakukan pelecehan kepada Nurdiana Dewi dan Emi. Saat kejadian Diana menelepon keluarganya, tak lama kemudian kakak Diana datang dan membawanya pulang. Sesampai di rumah, gadis yang mengalami luka memar di siku dan lutut, kedua orang tua gadis itu membawanya untuk diobati oleh bidan setempat.


(1)

118

terlepas dari para aktor–aktor konflik yang ada di dalamnya. Aktor–aktor konflik tersebutlah yang menjalankan politisasi tersebut. Aktor-aktor konflik tersebut ada yang berasal dari kelompok yang berkonflik, dan dari luar kolompok yang berkonflik termasuk aktor-aktor politik.

Para aktor politik dengan beranekaragam kepentingan yang tersurat maupun yang tersirat memanfaatkan konflik Balinuraga. Kepentingan–kepentingan politik itulah yang melatarbelakangi politisasi terjadi. dilihat dari kategori aktor yang terlibat konflik, terdapat aktor-aktor konflik yang mempunyai peran yang beragam dalam konflik.adapun aktor-aktor tersebut adalah aktor pemuda, masyarakat keduabelah desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat, Para elit politik dan aktor politik dalam konflik, Aktor media dalam konflik.

Peran aktor-aktor yang terlibat dalam konflik adalah menciptakan dan menyebarkan isu pelecehan seksual, memobilisasi masa untuk menyerang Desa Balinuraga, memprovokasi masa agar konflik semakin memanas, menanamkan sikap antipati terhadap kelompok musuh, dan memberitakan informasi yang tidak benar kepada masyarakat.

Dalam politisasi terdapat tujuan aktor-aktor yang mempolitisasi konflik Balinuraga. Tujuan aktor politik dan elit politik terjadi dalam ranah memperebutkan sebuah kedudukan, memperlihatkan exsistensi, mendapatkan sebuah pengakuan, menunjukkan superioritas, sampai untuk mendapatkan kekuasaan.

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa politisasi yang terjadi dalam konflik Balinuraga terjadi pada fase konflik membesar dan meluas. Konflik Balinuraga timbul akibat permasalahan sosial yang melibatkan aktor-aktor konflik yang mempolitisasi konflik tersebut untuk mencapai tujuan.


(2)

119

B. Saran

Saran-saran yang dapat diajukan berkaitan dengan hasil penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan upaya penanganan konflik yang dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat, pihak pemerintah, dan awak media. Konflik yang terjadi seharusnya dilakukan penanganan agar terjadi kesepakatan damai. Aktor-aktor konflik seharusnya saling menahan diri agar tidak termakan isu-isu yang dapat membesarkan konflik dan memperkeruh masalah. Masyarakat sudah seharusnya memahami konflik yang terjadi agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sudah seharusnya konflik yang terjadi tidak menjadi alat untuk mencapai sebuah tujuan pribadi dari aktor individu atau kelompok yang ingin memanfaatkan konflik yang terjadi untuk mendapatkan keuntungan.

2. Perlu dilakukan upaya pencegahan dini konflik sosial. Pemerintah Lampung Selatan harus lebih tanggap dalam upaya pengelolaan konflik yang belum terjadi ataupun yang sudah terjadi. Pemerintahan di daerah harus lebih memperhatikan peluang konflik yang ada di daerah. Pemerintah juga harus dapat memetakan daerah–daerah rawan konflik antarkampung yang ada di Kabupaten Lampung Selatan.

3. Perlu dirumuskan sistem pengawasan terhadap Desa–desa dan masyarakat yang ada didalamnya, yang rawan terjadi konflik secara terus menerus sehingga dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak terjadi penyimpangan dan gesekan– gesekan antarwarga yang mengakibatkan konflik. Ketidakseriusan dalam penanganan, lemahnya dedikasi dan inovasi serta penyalahgunaan wewenang yang dapat menghambat jalannya penyelenggaraan pemerintahan yang telah dirumuskan dalam rencana strategis daerah, baik dalam jangka pendek, menengah naupun dalam jangka


(3)

120

panjang. Masyarakat harus lebih cerdas dalam mencerna informasi-informasi dan isu-isu yang memprovokasi yang dapat memicu sebuah konflik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jawwad, M. Ahmad. 2005. Manajemen Konflik (strategi menghadapi perbedaan). PT Syamil Cipta Media. Bandung

Abdullah, Amin, 2005.Pendidikan Multikultural. Nuansa Aksara. Yogyakarta Arivia , Gadis. 2004. Perempuan dan Pemulihan Konflik. Yayasan jurnal

perempuan. Jakarta

Budiaman, Budisantoso. Merajut Jurnalisme Damai di Lampung. AJI Bandar Lampung . Lampung

Budiman, Hikmad. 2007. Hak Minoritas delima Multikulturalisme di Indonesia. The Interaction Fondation. Jakarta

Cahyono , Heru. 2005. Konflik Elit Politik di Pedesaan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Carver, Terrell. 1997. Interpreting the political. ISBN. London and New York Dr. J. Supranto, M.A., APU. 2003. METODE RISET aplikasinya dalam

pemasaran. PT Reneka Cipta. Jakarta

Duverger, Maurice. SOSIOLOGI POLITIK. PT Raja Rafindo Persada. Jakarta Habib MA, Dr. Achmad. 2004. Konflik antarEtnik di Pedesaan .LKis. Yogyakarta Harrison, Lissa. 2007. METODOLOGI PENELITIAN POLITIK. Kencana

Prenanda Media Grup. Jakarta

Hertanto. 2006. Teori-teori politik dan pemikiran politik di indonesia. Universitas lampung. Bandar lampung.

Jamun, Maarif. 1999. Resulusi Konflik Antar Etnik dan Agama. Ciskore Ofset. surakarta

Kartono , Kartini. 1983. Pemimpin dan Kepemimpinan.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta


(5)

Liliweri, Alo.2005. Prasangka dan Konflik (komunikasi lintas budaya masyarakat multikultural). LKIS. Yogyakarta

Lopulalan, Dicky. 2001. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.LSPP. Jakarta

Miall, Hudh, 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Santosa, Slamet. 2009. DINAMIKA KELOMPOK. PT Bumu Aksara. Jakarta Saptomo, S.H., M.A , Prof. Dr. Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal revitalisasi

hukum adat nusantara. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3S. Jakarta

Susan MA, Novri. Cetakan ke-2 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana Prenanda media grop. Jakarta

Surbakti , Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. PT Gasindo Pustaka jaya. Jakarta.

Suryadinata, Leo. 2003. Penduduk Indonesia : Etnisitas dan Agama dalam era perubahan politik. Pustala LP3ES Indonesia. Jakarta

Susan MA, Novri. Cetakan Pertama 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana Prenanda media grop. Jakarta

Tholkhah, Imam. 2001. Anatomi Konflik Politik Di indonesia : balajar dari varian di modokoro. PT Grafindo Persada. Jakarta

Widianto, Bambang. 2011. Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat : pandangan antropologis dan sosiologis. Salemba Humanika. Jakarta Wilnsem, Edwin. 1996. The Politics of Diferrence. Library of congress

Catalogue. Amarica

Zartman, William. 1997. Publications of the Brookings institutions conflict resolotion in africa project. Brokings institusion press. Wasingthon, DC

Skripsi – skripsi terdahulu

Febrian Perdana, Andre. 2012. Konflik dan konsensus internal PDIP dalam pengajuan calon bupati dan wakil bupati kabupaten mesuji. Universitas Lampung, Bandar Lampung.


(6)

Afriantama Semindang, Ferrizar. 2010. Politisasi pada perguruan tinggi paku banten dalam mendukung Drs. Sjachroedin Z.P pada pemilihan Gubernur 2008. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Dewa, Bara. 2007. Sentimen primordial dalam pemilihan kepala daerah langsung (study pilkada kota bandar lampung putaran ke II tahun 2005).

Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Wulan, Sukma. 2010. Politisasi etnis dalam pilkada (study pada rekrutment calon wakil kepala daerah PDIP lampung periode 2008-2013). Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Dokumen:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Peta Potensi Konflik di Provinsi Lampung

Media:

http://radarlampung.co.id, 20.00 WIB, 27 oktober 2012. http://Detik.com.konflikbalinuraga.

Jekethek-:-Blog Berita Indonesia Terbaru Hari ini

http://jekethek.blogspot.com/2012/11/Bentrok-Lampung-Latar-Belakang.html#ixzz2UYrhtQJM

video tentang kerusuhan antar suku dilampung dapat dilihat pada link berikut http://goo.gl/gbP1j