CAUSE FACTOR, IMPACT AND STRATEGIES OF CONFLICT RESOLUTION BETWEEN CITIZENS IN KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

CAUSE FACTOR, IMPACT AND STRATEGIES OF CONFLICT RESOLUTION BETWEEN CITIZENS INKECAMATAN WAY PANJI

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN By

DEDI KURNIAWAN

In the living in Indonesia, a friend of the cultural diversity which is always inherent in ourselves. The difference between the individual and the individual is a site on the destiny requires us to understand each other while living in the community. The existence of differences that caused this cultural diversity can give a crack against the onset of a latent conflict which would later develop into manifest conflict. The type of research used in this study is qualitative in-depth interview method. Based on the results of research and discussion that the author did then retrieved the conclusion that the conflict could arise manifest is sticking because there are several factors which are the cause, among them: modernization and globalization, the accumulation of hatred, violence and the political system. The prevalence of conflicts in this life would give an impact, be it in the form of a positive impact or a negative impact. These impacts include: impact on governance, physical, psychological, economic, social and cultural. In order to avoid the incidence of conflict, be it a new conflict or a conflict long accumulated in daily life, the public nature of private hope can rehabilitate a ethical improvement and increasing levels of intellect, because in this way is the most basic way to make a safe, peaceful life, peaceful and dignified manner. Conflicts between residents who fought in Way Panji, South Of Lampung is an example of conflict arising from small disputes that are present in the life of society but are not faced with the nature and attitude wise, finally creating a split in the form of war that makes life no longer can walk with harmony.


(2)

FAKTOR PENYEBAB, DAMPAK DAN STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK ANTAR WARGA DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN

LAMPUNG SELATAN Oleh

DEDI KURNIAWAN

Dalam menjalani kehidupan di Indonesia, kemajemukan merupakan sahabat yang selalu melekat dalam diri kita. Perbedaan antara individu dengan individu lainya merupakan sebuah takdir yang menuntut kita untuk saling memahami ketika menjalani kehidupan dalam masyarakat. Adanya perbedaan yang menyebabkan kemajemukan ini dapat memberikan celah terhadap timbulnya sebuah konflik laten yang kemudian akan berkembang menjadi konflik manifest. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa konflik manifest ini bisa timbul kepermukaan dikarenakan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, diantaranya: modernisasi dan globalisasi, akumulasi kebencian, budaya kekerasan dan sistem politik yang kurang baik. Hadirnya konflik dalam kehidupan ini tentunya memeberikan dampak, baik itu berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak tersebut berupa: dampak terhadap pemerintahan, fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya. Untuk menghindari timbulnya konflik, baik itu konflik baru atau konflik yang lama yang terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat diharpkan dapat memeperbaiki sifat pribadi berupa perbaikan etika dan meningkatkan kadar intelektualitas, karena dengan cara ini merupakan cara yang paling mendasar untuk menciptakan sebuah kehidupan yang aman, tentram, damai dan bermartabat. Konflik antar warga yang terjadi di kecamatan Way Panji kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu contoh konflik yang terjadi akibat perselisihan kecil yang hadir dalam kehidupan bermasyarakat tetapi tidak dihadapi dengan sifat dan sikap yang bijak, akhirnya menciptakan sebuah perpecahan berupa peperangan yang menjadikan kehidupan itu tidak lagi bisa berjalan dengan harmonis.


(3)

DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN

LAMPUNG SELATAN

(Skripsi)

Oleh

DEDI KURNIAWAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

DI KECAMATAN WAY PANJI KABUPATEN

LAMPUNG SELATAN

Oleh

DEDI KURNIAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

PANJI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Nama Mahasiswa : Dedi kurniawan Nomor Pokok Mahasiswa : 0916011029

Jurusan : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Drs. Abdul Syani, M. IP. NIP. 195707041985031025

2. Ketua Jurusan Sosiologi

Drs. Susetyo, M.Si. NIP 195810041989021001


(6)

1. Tim Penguji

Ketua : Drs. Abdul Syani, M. IP. (……….)

Penguji Utama: Dra. Anita Damayantie M.H (……….)

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. NIP 195801091986031002


(7)

Yang bertanda tangan di bawah ini adalah:

Nama : Dedi Kurniawan

NPM : 0916011029

Fakultas / Jurusan : ISIP / Sosiologi

Alamat : Sridadi, kec. Buay Madang kab. Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Bandarlampung, 30 Januari 2013

Dedi Kurniawan NPM. 0916011029


(8)

Oktober 1990, adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Hi. Sugiri, S.Pd. dan Hj. Mutmainah, S.E., M.M. dan juga cucu pertama dari kedua belah pihak keluarga besar kami.

Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis :

1. Sekolah Dasar Muhamadiah 51 di Buay Madang kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang diselesaikan pada tahun 2002.

2. SMP Negri 3 di Buay Madang kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang diselesaikan pada tahun 2005.

3. SMA Sentosa Bhakti di Baturaja kabupaten Ogan Komering Ulu yang diselesaikan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan pada tahun 2009 penulis mengikuti SNM-PTN dan ditrima kembali sebagai mahasiswa Universitas Lampung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi. Dalam perjalanan menempuh pendidikan ini penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Banjit Kabupaten Way Kanan dan Praktik Kerja Lapangan Hukum di BNN (Badan Narkotika Nasional) dan di Mahkamah Konstitusi.


(9)

Dengan mengucap Syukur Alhamdulilah

kupersembahkan karyaku ini untuk:

Kedua ornag tuaku

Ayahanda Hi. Sugiri, S.Pd & Ibunda Hj. Mutmainah, S.E., M.M.

Adek Devi Restu Rialita & Fatrka Prima Rialita (Dona)

Seluruh Keluarga Besarku

Hi. Abdul Majid & Hi. Sidiq (alm)

Sahabat dan teman-temanku serta semua pihak

yang membantu penulisan skripsi ini

Seorang Perempuan berhati lembut yang kelak mendampingi

hidupku

Mantan kekasih yang memacu hidupku untuk menjadi lebih baik

Almamater tercinta Universitas Lampung

Ya Allah, puji syukur alhamdulilah ku panjatkan atas segala

rahmat serta karunia-Mu, telah menciptakan orang-orang yang

selalu dekat denganku dan sangat mencintai dan menyayangiku.


(10)

“Bila cinta mendatangimu, ikuti diawalaupun jalanya sulit dan terjal” (Kahlil Gibran)

“Cintailah orang yang sekarang menjadi milikmu, masalah jodoh atau bukan itu bukan kuasamau”

2. Tentang keluarga

“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu. Kau boleh merumahkan tubuh mereka,

tetapi bukan jiwa mereka” (Kahlil Gibran)

3. Tentang Kehidupan

“Berikanlah yang bisa membuat hidup, karena apabila tidak ada yang diberi sama artinya dengan punah”

4. Tentang agama

“Semua yang baik itu belom tentu benar, namun semua yang benar itu pasti baik”

5. Tentang pengalaman

“Tak perlu mencari pengalaman sendiri apabila dengan melihat orang lain kita bisa menjadikan pengalamannya sebuah pelajaran”

6. Tentang kesuksesan

“Tidak ada orang kaya dan miskin, yang ada orang yang ingin memenuhi kebutuhanya. Orang miskin bukan tidak mau bekerja namun dia lebih bisa

menikmati hasilnya yang sedikit, sedangkan orang kaya bukan tidak mau berhenti bekerja namun karna keinginan untuk memenuhi kebutuhanya


(11)

Halaman

ABSTRAK………ii

HALAMAN JUDUL………..iv

HALAMAN PERSETUJUAN………v

HALAMAN PENGESAHAN………..vi

PERNYATAAN……….vii

RIWAYAT HIDUP………viii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….ix

MOTTO………..x

SANWACANA………..xi

DAFTAR ISI………xiv

DAFTAR GAMBAR………xviii

DAFTAR TABEL………..xix

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ………. 1

1.2.Rumusan Masalah ……… 13

1.3.Tujuan Penelitian ………. 13

1.4.Manfaat Penelitian ………..………... 14

1.4.1. Manfaat teoritis………. 14

1.4.2. Manfaat Praktis………..14

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PengertianMasyarakat ……….. 15

2.2. Pengertian SARA……….. 17

2.2.1. Sukubangsa (etnis) ……….... 18

2.2.2. Agama………...….20

2.2.3. Ras ……….…21

2.2.4. Antar Golongan (kelompok)………..…22 ii iv v vi vii viii ix x xi xiv xviii xix 1 13 13 14 14 14 15 17 18 20 21 22


(12)

2.3.2. Hakikat konflik………...……….25

2.3.3. Bentuk-bentuk Konflik……….. 26

2.3.4. Tahap Perkembangan konflik……….29

2.3.5. Dinamika konflik………31

2.4.Faktor Penyebab Konflik ……….………..32

2.5.Dampak Konflik Antar Warga……… …….35

2.5.1. Psikologis………... …35

2.5.2. Sosial………..…36

2.5.3. Ekonomi………. ….38

2.5.4. Budaya………... …39

2.6.Upaya Penyelesaian Konflik ………..40

2.7.Kerangka Pikir………42

2.8.Skema Kerangka Pikir ………44

III. METODE PENELITIAN 3.1.Pendekatan Penelitian……….….45

3.2.Fokus Penelitian ……….………...45

3.3.Teknik Pengumpulan Data………..46

3.4.Teknik Penentuan Informan………47

3.5.Lokasi Penelitian……….48

3.6.Teknik Analisis Data ………49

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.Kabupaten Lampung Selatan………51

4.1.1. Terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan………53

4.1.2. Pemindahan Ibu Kota……….56

4.1.3. Sosial Budaya dan Agama………..58

4.1.4. Daftar Nama Kecamatan dan desa di Lampung Selatan……….60

4.1.5. Lambang……….61 25 26 29 31 32 35 35 36 38 39 40 42 44 45 45 46 47 48 49 51 53 56 58 60 61


(13)

4.2.2. Visi dan Misi desa………..65

4.2.3. Demografi……….66

4.2.4. Potensi dan Masalah……….70

4.3.Desa Agom……….….75

4.3.1. Sejarah Desa………..75

4.3.2. Demografi……….75

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identitas Informan ………80

5.2. Kronologi Peristiwa Konflik Antar Warga……….84

5.2.1. Sasaran Konflik AntarWarga………..……88

5.2.2. Alat Yang Digunakan Dalam Konflik AntarWarga…………..….92

5.2.3. Das Sein Konflik AntarWarga……….95

5.3.Faktor Penyebab Konflik AntarWarga……….……..97

5.4.Dampak Konflik AntarWarga………106

5.4.1. Kondisi Pasca Konflik……….106

5.4.2. Dampak Fisik………...111

5.4.3. Dampak Psikologis……….114

5.4.4. Dampak Ekonomi………117

5.4.5. Dampak Sosial………..122

5.4.6. Dampak Budaya………..125

5.5.Alternaatif Penyelesaian Konflik Antar Warga………..….129

5.5.1. Das Sein Perjanjian Semu………..……129

5.5.2. Deklarasi Perjanjian Damai……….132

5.5.3. Harapan Kedua Belah Pihak………134

5.5.4. Strategi Perjanjian Damai yang Ideal……….…136 65 66 70 75 75 75 80 84 88 92 95 97 106 106 111 114 117 122 125 129 129 132 134 136


(14)

6.2.Saran……….142 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(15)

Tabel Halaman

4.1. Daftar Nama Kecamatandan desa di Lampung Selatan……….60

4.2. Nama kepala desa Balinuraga dan masa bakti………..65

4.3. Peruntuka lahan di desa Balinuraga………67

4.4. Jumlah Penduduk Balinuraga………67

4.5. Tingkat pendidikan warga Balinuraga………67

4.6. Daftar pemeluk agama di desa Balinuraga……….68

4.7. Data bangunan tempat ibadah di desa Balinuraga………..68

4.8. Luas pemanfaatan lahan pertaniandesa Balinuraga ……….68

4.9. Jumlah peliharaan ternakwarga desa Balinuraga ………..…………68

4.10. Struktur mata pencaharianwarga desa Balinuraga ………..69

4.11. Pemanfaatan lahan dan Luas lahan desa Agom………75

4.12. Jumlah Penduduk desa Agom………76

4.13. Jumlah warga desa Agom berdasarkan Tingkat Pendidikan………77

4.14. Jumlah bangunan gedung pendidikan di desa Agom………..77

4.15. Jumlah warga Agom berdasarkan pemeluk agama………..77

4.16. Jumlah bangunan rumah ibadah di desa Agom………78

4.17. Jumlah warga Agom berdasarkan pekerjaan……….78

5.1. Indentitas Informan ………80

5.2. Sasaran konflikantar warga dan jenis tindakannya ………90

5.3. Jenis persenjataan yang digunakan dalam konflik antar Warga…….93

5.4. Peristiwa kejadian konflik yang dilakukan warga Bali di Kab.Lampung Selatan terhadap masyarakat Lampung………..100

5.5. Faktor penyebab konflik ……….105

5.6. Dampak Konflik ……….128

5.7. Poin Perjanjian ………130 60 65 67 67 67 68 68 68 68 69 75 76 77 77 77 78 78 80 90 93 100 105 128 130


(16)

Halaman Gambar 1. Peta Lampung Selatan sebelum dipecah menjadi Pesawaran..…

Gambar 2. Peta Lampung Selatan setelah dipecah menjadi Pesawaran……. 53

Gambar 3. Lambang daerahLampung Selatan ………... 62

Gambar 4. Peta Desa Balinuraga………... 66

Gambar 5. PetaDesa Agom ……… 76

Gambar 6. Struktur kepengurusan pemerintahan desa Agom……… 78 52 53 62 66 76 78


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas, masyarakatnya terdiri beranekaragam suku, agama, budaya, ras. Namun keberaneka ragaman ini seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, karena persatuan nasional telah terikat dalam satu ikatan NKRI. Sebagaimana slogan lambang Negara Indonesia

“Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda tetaplah satu jua. Berdasarkan slogan ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya dalam diri setiap warga negara telah mengakui keberaneka ragaman dan perbedaan ini, di samping warga negaranya pun telah mengikrarkan diri untuk menjadi satu kesatuan. Artinya dari kesadaran yang tinggi akan rasa memiliki dan mengakui bahwa, warga negara Indonesia yang beraneka ragam itu adalah satu bangsa.

Sebagaimana seorang pujangga yang bernama Ernest Renan berkata Bangsa itu adalah satu jiwa bahwa suatu bangsa dapat tercipta karena adanya keinsyafan tentang kesamaan rasa senasib, satu riwayat tertentu dan adanya kebulatan kemauan yang sama untuk bersatu.


(18)

Sehingga seharusnya segala keberanekaman suku, agama, ras, antar golongan pun dapat lebur ketika kita telah berpedoman pada landasan dasar Negara kita tercinta ini.

Keadaan sejahtera, aman, tentram dan damai adalah idaman setiap warga Negara. Harapan banyak yang digantungkan oleh masyarakat kepada aparat penegak hukum dan para pemimpin yang ada di negeri ini sangatlah dinatikan akan kebijakan yang memihak kepada rakyat, sehingga untuk menciptakan dan mewujudkan perdamaian dunia yang merupakan tujuan dari pembukaan UUD 1945 bukanlah impian belaka, namun benar-benar bisa terealisasikan, karena bagaimanapun tujuan untuk senantiasa dalam perdamaian. Akan tetapi dengan keadaan warga negara yang multikultural selalu ada masalah, seperti konflik dan kerusuhan.

Dibalik kekokohan negara Indonesia dengan ketegaranya dalam menghadapi masalah, konflik dan kerusuhan itu akan tetap ada, karena tidak sedikit perbedaan akan menjadi sebuah celah timbulnya konflik laten yang bisa menyebabkan rasa kesatuan ini akan luntur sedikit demi sedikit yang kemudian akan menumpuk menjadi besar, sehingga bisa membawa kehancuran bagi bangsa ini, apabila pihak pemerintah tidak mampu bertanggung jawab dalam menciptakan ketentraman negara sebagaimana yang diharapkan.

Konflik laten merupakan pertikaian antara kedua belah pihak atau lebih yang tersembunyi, sehingga sulit untuk diditeksi akan perkembangan konflik itu, akibatnya ketika konflik ini memuncak menjadi konflik manifes maka sulit untuk ditanggulanginya.


(19)

K.J. Veeger (1993:211) dalam karyanya mengungkapkan bahwa keadaan yang dalam penampakanya satu dan tertib teratur, sebenarnya dihasilkan oleh struktur-struktur kuasa yang menutupi dan menyembunyikan keterbagian dan perpecahan yang ada dibawah permukaanya. Apa yang disangka keseimbangan sistem sosial akibat mekanisme-mekanisme fungsional mulai dilucuti kedoknya dan ditelanjangi menjadi tidak lain dari manipulasi pihak yang sedang berkuasa. Apa yang tadinya disebut “kestabilan masyarakat” (keadaan mantab) ternyata mengandung mesiu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menggoyahkan semua. Konflik laten yang tidak segera terselesaikan secara tepat, perlahan akan mejadi konflik manifes, yang dampaknya bisa berbahaya bukan bagi pemillik konflik saja namun juga bagi subyek lain diluar subyek yang sedang berkonflik. Contoh nyatannya adalah konflik antar warga di Lampung Selatan. Antara warga Balinuraga dan Agom. Dampaknya dapat meluas hingga mengenai warga lain, dimana warga lain tersebut tidak mengetahui konflik ini pun turut menerima dampaknya.

Perpecahan adalah titik awal dimana konflik itu dimulai. Konflik ini bisa timbul akibat dari konflik laten yang memuncak, sehingga keluar menjadi konflik manifes yang berbahaya. Ketika konflik itu timbul maka akan melibatkan banyak orang dan terjadilah kerusuhan.

Kerusuhan itu sendiri adalah suatu keadaan yang kacau, ribut, gaduh, dan huru-hara. Kerusuhan merujuk pada aksi kolektif yang spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, dan biasanya melibatkan penggunaan kekerasan atau lebih tepatnya anarkis, baik untuk menghancurkan, menjarah barang, atau menyerang orang lain. Aksi kolektif merupakan sebuah bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan banyak orang (crowd). Selo Soemardjan (1999:11)

Kerusuhan sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukanlah hal yang baru dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan kerusuhan ini sering terjadi.


(20)

Tindakan kerusuhan seperti aksi pembakaran sejumlah bangunan toko dan tempat-tempat peribadatan sebagai gerakan sosial yang melibatkan banyak massa sudah sering terjadi, hal ini dilakukan oleh masa dikarenakan banyak faktor yang diantaranya: adanya rasa ketidakpuasan akan menerima kenyataan dan keadaan yang ada pada diri dari personil tersebut, adanya rasa kecemburuan sosial yang begitu timpang, permasalahan pribadi yang dibesar besarkan, adanya luka lama yang terpendam (dendam), permasalahan harga diri, politik, ekonomi, budaya dan banyak lagi celah yang menjadi titik mula sebuah konflik itu timbul.

Menurut penjelasan Robin; Walton dan Duton (dalam Wijono 2012) menjelaskan tentang sumber konflik antarpribadi/kelompok melalui kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions)yang meliputi:

a) Persaingan terhadap sumber-sumber(competition resources) b) Ketergantungan terhadap tugas(task interdependence) c) Kekaburan deskripsi tugas(jurisdictional ambiguity) d) Masalah status(status problem)

e) Rintangan komunikasi(communication barriers) f) Sifat-sifat individu(individual traits)

Sedangkan menurut Franz Magnis-Suseno (2003:121) yang melatarbelakangi konflik itu timbul adalah:

a) Modernisasi dan globalisasi

b) Akumulasi kebencian dalam masyarakat c) Budaya kekerasan

d) Sistem politik

Pada dasarnya tidak ada sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dan tidak akan ada sebuah pertikaian yang melibatkan masa apabila salah satu kelompok masa tersebut tidak merasakan sebuah tekanan yang begitu berat.


(21)

Dimana mereka memandang kelompok lain sebagai kelompok beruntung yang kemudian menurut kelompok tersebut adalah sebagai musuh, akibatnya untuk meluapkan tekanan itu adalah pemberontakan berupa kekerasan yang dilakukan secara masa.

Sebagaimana yang diungkapkan Suseno di atas, adanya faktor akumulasi kebencian yang menyebabkan adanya pemberontakan dalam pribadi/kelompok tersebut, karena rasa tertindas dan selalu direndahkan oleh pribadi/kelompok lain dan kemudian adanya rasa benci serta ingin membuktikan akan kekuatan yang ada dalam diri tersebut maka terjadilah pemberontakan yang diungkapkan melalui kerusuhan itu.

Sebuah kejadian yang tentunya masih jelas tergambar didalam ingatan sebagian besar warga adalah, tragedi kerusuhan antar warga di Sidomulyo Lampung Selatan diawal tahun 2012 yang lalu. Dalam kasus kerusuhan ini pemicunya hanyalah permasalahan parkir yang sebenarnya hal tersebut tidak perlu dibesarkan dan cukup diselesaikan dengan musyawarah ataupun perdamaian ditempat. Namun fakta yang ada adalah, dari permasalahan tersebut dapat memicu kerusuhan yang sangat besar dan hebat, sehingga dampaknya sangatlah berpengaruh terhadap ketentraman dalam berkehidupan bagi warga yang memiliki kesamaan etnis ditempat lain yang juga hidup secara berdampingan.

Dari contoh kasus di atas, sebuah fenomena menarik untuk di teliti dan pahami, karena hanya dipicu dengan masalah yang ringan saja bisa menyebabkan sebuah kerusuhan yang begitu besar.


(22)

Dengan adanya kasus ini sungguh dipertanyakan akan keberadaan aparat penegak hokum, tokoh-tokoh adat dan peran pemerintah dalam menanggulangi konflik kerusuhan yang dilakuykan secara masa ini.

Seperti yang dikutip dalam mediamasa Rakyat Merdeka Online (http://www.rmol.co), Aboebakar mengingatkan bahwa “seharusnya konflik

seperti ini bisa diantisipasi dan diatasi dengan UU No 17/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sehingga insiden Lampung tidak perlu terjadi atau bahkan berulang. Sayang memang, sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan PP dari UU tersebut, padahal itu sangat dibutuhkan. Penyusunan PP tersebut, seharusnya diprioritaskan, karena banyak konflik yang terjadi di berbagai daerah. Dengan adanya PP berarti UU tersebut dapat dilaksanakan, pemerintah pusat ataupun daerah dapat mengeksekusinya dengan baik. Termasuk mekanisme komunikasi dan koordinasi dengan polri akan bisa terselenggara dengan baik.

Dari kutipan di atas menggambarkan betapa santainya dan kurangnya kesensitifan pemerintah dalam menanggapi masalah rakyatnya, sehingga permasalahan kecil yang terjadi dikalangan masyarakat bawah ini bisa berubah menjadi besar.

Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo dalam http://www.bisnis.com/articlesjuga mengungkapkan bentrok antarwarga di Lampung Selatan bermula dari masalah sepele, yaitu adanya gangguan terhadap remaja putri. Kasus ini kemudian meluas menjadi bentrokan antarwarga. Sejumlah korban tewas, dan luka serta beberapa rumah dibakar. Timur mengatakan kasus kerusuhan yang bermula dari masalah sepele ini sudah berulang kali terjadi di daerah lain. Menurutnya, upaya pencegahan lebih utama. Kapolri meminta tokoh-tokoh masyarakat Lampung, ulama setempat, dan pemerintah daerah, bisa ikut meredam bentrok antarwarga seperti itu. "Ini sudah terjadi berkali-kali. Artinya kita harus lebih keras lagi, terutama dalam membina dan mengelola wilayah itu. Peran masyarakat, tokoh, ulama, dan pemda harus bersinergi lagi."

Berdasarkan ungkapan Kapolri di atas, telah disadari bahwa kerusuhan yang bermula dari masalah sepele ini sudah berulang kali terjadi di Negara kita tercinta ini, artinya semakin kesini semakin sensitif warga Indonesia ini terhadap permasalahan yang ada.


(23)

Sebagaimana yang diungkapkan Suseno (2003:121) ada empat hal yang melatarbellakangi konflik itu timbul diantaranya: Modernisasi dan globalisasi, akumulasi kebencian dalam masyarakat, budaya kekerasan, dan sistem politik. Dari pernyataan yang diungkapkan Suseno tersebut, maka kita dapat diketahui bahwa keempat faktor itulah yang kemudian menjadikan kesensitifan warga semakin tipis, modernisasi dan globalisasi, akumulasi kebencian dalam masyarakat, budaya kekerasan, dan sistem politik merupakan celah kecil yang bisa menyebabkan sebuah konflik sosial berupa kerusuhan itu terjadi. Bukan hanya faktor dari masyarakat saja yang bisa memicu konflik, namun faktor dari aparatpun turut menyumbang betapa semakin sempitnya gesekan itu terjadi. Menurut penjelasan Robin (dalam Wijono 2012) menjelaskan tentang suber konflik yang meliputi:

a) Persaingan terhadap sumber-sumber(competition resources) b) Ketergantungan terhadap tugas(task interdependence) c) Kekaburan deskripsi tugas(jurisdictional ambiguity) d) Masalah status(status problem)

e) Rintangan komunikasi(communication barriers) f) Sifat-sifat individu(individual traits)

Dalam penjelasan di atas disebutkan ketergantungan terhadap tugas, kekaburan deskripsi tugas, masalah status, rintangan komunikasi, sifat-sifat individu yang melekat pada aparat pemerintah maupun penegak hukum, juga menjadikan celah bagi masyarakat untuk berkonflik. Tindakan aparat yang hanya bertugas sesuai perintah, atau kekaburan deskripsi tugas yang diterima juga rintangan komunikasi yang menyebabkan salah dalam menerima informasi(miscomunication).


(24)

Sifat-sifat individu para aparat penegak hukum dan pemerintah yang terlalu mementingkan individunya, mengakibatkan tugas utama untuk mencitakan ketentaman, kesejahteraan dan keamanan menjadi terkesampingkan.

Seharusnya konflik antar warga di Lampung Selatan tidak akan terjadi, apabila aparat yang ada cepat dan tanggap dalam menanggapi permasalahan warganya, baik itu masalah kecil ataupun bahkan masalah besar, sehingga dampak konflik secara masa ini tidak terjadi dan permasalahan bisa diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat tentunya dengan bantuan aparat dan pemerintah sebagai mediasinya.

Namun tindakan aparat yang sedikit terlambat dalam menangulangi konflik ini yang kemudian disusul oleh pembuatan perjanjian damai yang terlalu dini dideklarasikan, sehingga perjanjian yang dilakukan oleh para tokoh dari masing-masing belah pihak dan difasilitasi oleh pemerintah itu hanyalah semu. Karena faktanya perjanjian itu tidaklah menyentuh kepada masyarakat lapisan bawah, dimana merekalah yang mamahami atas permasalahan yang terjadi dibelakang konflik tersebut, sehingga perjanjian damai itu hanyalah sebuah formalitas sebagai kedok bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menutupi konflik yang pernah ada.

Akibatnya konflik antar warga di Lampung Selatan tidak berakir begitu saja, namun pada bulan Oktober ditahun yang sama terulang kembali kerusuhan yang juga melibatkan banyak masa antar warga dengan sumber masalah yang juga sangatlah ringan.


(25)

Diduga adanya perhatian yang berlebihan terhadap sekelompok warga yang ada di Lampung Selatan dan di samping kemungkinan adanya kepentingan politik pemerintah daerah, yang menyebabkan adanya konflik susulan ini dan mendorong timbulnya konflik laten lanjutan di daerah ini.

Kerusuhan yang terjadi di Lampung Selatan pada bulan Oktober 2012 lalu ternyata lebih anarkis dan parah dibandingkan akan kerusuhan yang terjadi pada awal tahun 2012. Pada kerusuhan yang kedua ini lebih banyak meniimbulkan korban, bukan hanya korban berupa kerusakan akan fasilitas umum dan perumahan saja, namun juga timbul korban jiwa.

Seperti diungkapkan oleh media masa, dalam kasus ini pertikaian hanya disebabkan oleh permasalahan antar pemuda dan pemudi dari desa Agom yang terjatuh dari kendaraan bermotor pada Sabtu sore (27/10), tetapi tidak mendapatkan pertolongan yang baik dari pemuda Bali nuraga, namun yang terjadi adalah prilaku pelecehan. Ada upaya damai dari pelaku kepada korban dan juga keluarga korban, namun karena keadaan kampung yang pada umumnya memiliki rasa tenggang rasa antar warga sangat kuat, sehingga bayak warga yang masih tidak terima akan perminta maafan pelaku, sehingga secara bersama-sama warga dari desa Agom mendatangi kampung Bali Nuraga pada Minggu dini hari (28/10) untuk menuntut pertanggung jawaban dari pelaku tersebut.

Ternyata ketika warga Agom mendatangi kampung Bali Nuraga, mereka sudah siap dengan sejumlah tombak yang langsung dihujamkan ke arah kelompok warga Agom tersebut, akibatnya ayunan tombak ini menewaskan tiga warga dari Desa Agom dan satu orang sekarat.


(26)

Posisi berbalik ketika warga Agom mempersiapkan penyerangan balik di hari berikutnya (Senin:29/10). Tindakan balas dendam ini dilakukan untuk membalas kematian saudara mereka yang meninggal pada penyerangan pertama. Keadaan yang semakin kacau dan tidak terkendali, yang menyebabkan prilaku anarkis warga semakin menjadi-jadi. Kerusakan fasilitas umum, pembakaran rumah hingga pembunuhan secara brutal sehingga menimbulkan korban nyawa. Menurut info dari media masa yang ada, korban berjatuhan pada penyerangan ini adalah dari dari kampung Balinuraga berjumlah 9 orang.

Untuk mengurangi korban berjatuhan berikutnya dan menanggulangin konflik yang berkepanjangan, maka digelarlah perjanjian perdamaian yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Lampung yang dilaksanakan di Balai Keratun Bandar Lampung. Dalam perjanjian ini pihak-pihak yang terlibat adalah dari tokoh adat Bali dan dari tokoh adat Lampung.

Adapun isi perjanjian damai antara kedua belah pihak yang dilaksanakan pada Minggu malam (4/11) adalah sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sepakat menjaga keamanan, ketertiban, kerukunan, keharmonisan, kebersamaan, dan perdamaian antarsuku di Lampung Selatan;

2. Sepakat tidak mengulangi tindakan-tindakan anarkisme yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA);

3. Perselisihan atau pertikaian dan perkelahian yang disebabkan permasasalah pribadi, kelompok, atau golongan agar diselesaikan secara langsung oleh orang tua, ketua kelompok, atau pimpinan golongan;

4. Apabila proses itu tidak berjalan semestinya, akan diselesaikan secara musyawarah, mufakat, dan kekeluargaan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, serta aparat pemerintahan desa setempat;

5. Jika langkah itu tidak selesai, diserahkan ke pihak berwajib untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;


(27)

6. Kedua belah pihak bersedia melakukan pembinaan apabila ditemukan warga yang melakukan tindakan yang berpotensi menimbulkan permusuhan dan kerusuhan, dengan ancaman sanksi dikeluarkan dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan;

7. Sanksi pengusiran juga berlaku bagi suku Lampung dan seluruh suku di wilayah Kabupaten Lampung Selatan;

8. Kedua belah pihak berjanji tidak akan menuntut dan melakukan tindakan hukum atas akibat bentrokan 27-29 Oktober 2012. Aparat kepolisian menghentikan seluruh proses hukum terkait dengan bentrokan itu;

9. Warga suku Bali, khususnya yang berada di Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, harus mampu hidup bersosialisasi dan hidup berdampingan dengan seluruh suku yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, terutama dengan masyarakat yang ada di perbatasan dengan Desa Balinuraga; 10. Kedua belah pihak berkewajiban mensosialisasikan isi perjanjian

perdamaian ke lingkungan masing-masing.

(sumber : http://lampung.tribunnews.com/2012/11/04/inilah-10-kesepakatan-perdamaian-konflik-lamsel).

Dalam perjanjian di atas diduga pihak yg terlibat dalam perjanjian tersebut dianggap tidak mewakili warga masyarakat Lampung Selatan, hal ini dikarenakan adanya kejanggalan-kejanggalan dari deklarasi perjanjian damai tersebut, diantaranya: pertama, perjanjian damai ini dilaksanakan di Bandar Lampung, padahal tempat dan pihak yang berkonflik adalah warga Lampung Selatan;kedua, pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian perdamaian ini bukan tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili daerah Lampung Selatan yang sedang berkonflik, ketiga, waktu perjanjian damai yang terbilang terlalu dini diduga adanya kepentingan politik yang terselip dari perjanjian ini.

Perjanjian semacam itu akan sulit untuk dapat menyelesaikan masalah, karena sarat dengan muatan politik, sepihak, dan tidak didasarkan pada hasil kesepakatan musyawarah adat Lampung Selatan. Akibatnya meskipun telah ada perjanjian damai di Bandar Lampung tetapi sesungguhnya masih terjadi konflik di Lampung Selatan.karena perdamaian yang dibuat belum menyentuh akar permasalahnya.


(28)

Menurut beberapa media masa yang ada, pada rabu (21/11) telah digelar deklarasi damai antar kedua belah pihak, tindakan ini dianggap tidak signifikan, terlalu dini dan memaksakan kehendak, seakan-akan konflik yang ada dianggap selesai yang pada kenyataanya hingga saat ini (26/11) belum ada kejelasan akan perdamaian konflik ini. Di samping itu, pada kenyataanya deklarasi ini banyak menuai kritik dan penolakan dari masyarakat serta respon negatif tokoh-tokoh adat yang berada di tempat konflik, karena deklarasil ini disamakan dengan sosialisasi, karena masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang lain merasa tidak terlibat dalam musyawarah pembentukan perjanjian damai ini.

Jika pemerintah yang ada beserta jajaranya menganggap konflik Lampung Selatan ini telah selesai dan telah mencapai puncak damai, namun dipihak masyarakat yang berkonflik tetap menganggap belum terjadi perdamaian, karena perjanjian damai tersebut sesungguhnya dilakukan secara sepihak dan belum menyentuh akar permasalahanya.

Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk meneliti kasus konflik antar warga di kecamatan Way Panji kabupaten Lampung Selatan dengan judul skripsi “Faktor Penyebab dan Dampak Konflik Antar Warga di Kecamatan Way


(29)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kronologis terjadinya konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan?

3. Apa sajakah dampak yang timbul dari konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan?

4. Strategi apakah yang tepat untuk menyelesaikian konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kronologis terjadinya konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.

2. Mengetahui Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.

3. Mengetahui dampak yang diakibatkan dari konflik antar warga yang terjadi di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.

4. Menemukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan konflik antar warga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.


(30)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:

a. Sebagai bahan referensi bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat Lampung, dalam mengetahui sejarah Indonesia kontemporer terutama ketika Indonesia memasuki babak baru dalam transisi kekuasaan.

b. Untuk mengungkap bagaimana sebuah gerakan aksi yang murni untuk menggulingkan sebuah rezim, harus ternodai oleh aksi anarkisme massa yang sengaja dimanfaatkan untuk memperburuk kondisi dalam negeri. c. Sebagai pengetahuan bagi akademisi khususnya dan disiplin ilmu sosial

lainnya dalam mengetahui kerusuhan yang terjadi. 1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai cerminan bagi aparatur negara dalam rangka menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan isi pembukaan UUD 1945 yakni bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Manfaat bagi masyarakat adalah sebagai acuan untuk menciptakan sebuah kehidupan bersama yang selaras, seimbang, aman, tentram dan damai.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat adalah golongan masyarakat kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. (Hasan Shadily 1984:47).

Menurut Mayor Polak dalam Abu Ahmadi (2003:96), menyebutkan bahwa masyarakat adalah wadah segenap antar hubungan sosial terdiri atas banyak sekali kolektiva-kolektiva serta kelompok dalam tiap-tiap kelompok terdiri atas kelompok-kelompok lebih baik atau sub kelompok.

Sedangkan menurut Djojodiguno tentang masyarakat adalah suatu kebulatan dari pada segala perkembangan dalam hidup bersama antar manusia dengan manusia (dalam Abu Ahmadi 2003:97).

Pendapat lain mengenai masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya.


(32)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat menurut Abu Ahmadi (2003):

a. Harus ada pengumpulan manusia, dan harus banyak, bukan poengumpulan binatang.

b. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama dalam suatu daerah tertentu.

c. Adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama.

Dari penjelasan dan ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia majemuk yang tinggal dalam satu teritorial tertentu dan terdiri dari beraneka ragam kelompok yang memiliki kesepakatan bersama berupa aturan-aturan ataupun adat istiadat yang timbul dan tercipta karena kebersamaan tersebut. Adanya aturan atau adat ini sangat bergantung dengan masyarakat itu sendiri dan juga kesepekatan bersama yang timbul setelah kehidupan itu berlangsung dalam waktu yang lama.

Konsep Masyarakat menurut Edi Suharto (2006:11) adalah arena dimaa praktek pekerjaan sosial makro beroprasi. Berbagai definisi mengenai masyarakat biasanya diterapkan berdasarkan konsep ruang, orang, interaksi dan identitas. Dalam arti sempit istilah masyarakat merujuk pada sekelompok orang yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu seperti desa, kelurahan, kampung atau rukun tetangga. Dalam arti luas, masyarakat menunjuk pada interaksi kompleks sejumlah orang yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu. Masyarakat seperti ini bisa disebut sebagai societas atau society. Misalnya, masyarakat ilmuwan, masyarakat bisnin, masyarakat global dan masyarakat dunia. Kemasyarakatan atau keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain disisi kita, kehadiran itu bisa nyata kita lihat dan kita rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap kita bertemu orang meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika kita sedang menelfon, atau chatting, bahkan setiap kali kita membayangkan adanya orang lain.


(33)

Misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman, membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang, semuanya itu termasuk sosial. Sekarang, coba kita ingat-ingat situasi dimana kita betul-betul sendirian. Pada saat itu kita tidak sedang dalam pengaruh siapapun. Bisa dipastikan kita akan mengalami kesulitan menemukan situasinya. Jadi, memang benar kata Aristoteles, sangfilsuf Yunani, tatkala mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir semua aspek kehidupan manusia berada dalam situasi sosial.

2.2. Pengertian SARA

Suku, Agama, Ras dan Antar golongan atau biasa disebut dengan kata SARA. Akronim ini sering kali disebutkan dalam berbagai kesempatan yang menyangkut akan kepentingan bersama, sub-sub sara ini merupakan salah satu jenis kelompok sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Kelompok sosial yang telah terkotak-kotakan ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya pengelompokan-pengelompokan ini diharapkan distribusi pemerintahan akan lebih mudah terlaksana.

Kelompok sosial itu sendiri menurut Abdul Syani (2007:98) mempunyai pengertian sebagai suatu kumpulan dari orang-orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, di mana dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama. Sedangkan menurut Polak (dalam Abdul Syani 2007) menyatakan bahwa kelompok sosial adalah suatu grup, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan antar hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.


(34)

Anti Sara adalah suatu tindakan sistimatis untuk memerangi masalah Sara dalam segala macam bentuknya, termasuk sistim dan kebijakan diskriminatif serta sentimen-sentimen Sara yang telah ditanamkan secara tidak sadar sejak usia kanak-kanak. Oleh karena persoalan Sara sering melibatkan persoalan kekuatan ekonomi dan politik, dimana suatu kelompok berhasil menguasai kekuatan ekonomi atau politik dan tidak bersedia mendistribusikannya kepada kelompok lainnya, maka gerakan moral Anti Sara juga berupaya untuk mengikis ketimpangan-ketimpangan tersebut dan mengkoreksi sistim yang mengakomodir ketidakadilan sosial ini. Sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut suku, agama, ras dan antar golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan Sara. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.

Sara dapat digolongkan dalam tiga katagori :

• Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.

• Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.

• Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.

(sumber : http://insearching.tripod.com/sara.html)

2.2.1. Suku bangsa (etnis)

Menurut Anthony Smith (dalam Brown, 1997:81), komunitas etnis adalah:

Suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama, dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas.

Sebuah kelompok suku bangsa akan sangat mudah dibedakan dengan kelompok suku bangsa lainya, hal ini dikarenakan adanya keidentikan dari sebuah suku yang ada dan hal ini juga menjadi identitas pribadi bagi pemilik suku tersebut.


(35)

Rasa kebanggaan tersendiri ketika seseorang tersebut memiliki suku bangsa itu, hal ini merupakan fitrah yang tidak bisa dirubah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada Umatnya.

Berbicara mengena suku bangsa yang kemudian akan penulis sebut sebagai etnis, Smith (1997) menjelaskan ada enam hal yang harus dipenuhi oleh sebuah kelompok agar mejadi sebuah komunitas etnis yaitu:

1) Kelompok tersebut harus memiliki nama tersendiri yang lain daripada yang lain, sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan atas kesamaan nama tersebut.

2) Orang-orang dalam anggota kelompok tersebut haruslah meyakini bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting karena perasaan memiliki nenek moyang yang sama dapat menjadi pemersatu yang kuat daripada kesamaan dari keturunan ikatan biologis. 3) Anggota kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama

dengan cara menyamakan persepsi terhadap mitos-mitos maupun legenda-legenda yang ada dan disampaikan pada generasi penerus berikutnya agar tetap memiliki persepsi yang sama dengan generasi yang telah lewat. 4) Dalam sebuah kelompok kesamaan kultur haruslah sama, mulai dari cara

berpakaian, tutur bahasa, norma-norma adat, musik, karya seni, arsitektur dan bahkan dari segi makanan pun harus memiliki ciri khas yang sama. 5) Orang-orang tersebut haruslah terikat dalam satu teritori tertentu yang

kemudian kelak akan dijadikan sebuah kampung halaman ketika salah seorang anggota kelompok tersebut berpindah ke tempat lain.

6) Adanya kesamaan fram berfikir atas rasa memiliki dan rasa satu kelompok haruslah tertanam dalah-dalam didalam diri anggota kelompok tersebut. Hanya dengan begitulah sebuah kelompok bisa disebut sebagai komunitas etnis.

Keidentikan dari setiap etnis inilah yang menjadikan Negara kita ini adalah sebuah Negara yang kaya akan kelompok etnisnya. Terdapat 1.128 kelompok etnis yang ada di Indonesia ini. Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. (sumber :http://www.jpnn.com).


(36)

Kekayaan akan keberaneka ragaman ini merupakan sebuah kebanggaan sekaligus tantangan bagi Pemerintah Republik Indosesia pada khususnya dan seluruh warga Negara pada umumnya untuk selalu menjaga keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam berkehidupan sehari-hari agar tidak terjadi perselisihan atar etnis satu denagn etnis lainya.

Suku bangsa merupakan sesuatu cirikhas yang melekat kepada setiap individu manusia, yang tidak dapat diganti, memilih dan atau mengaku-aku. Suku bangsa ini bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya, hal ini dikarenakan kebiasaan adat yang berbeda dengan suku lainya, namun rasa bangga ini dapat menimbulkan sikap etnsentrisme. Dalam KBBI disebutkan Etnosentrisme merupakan sikap atau pandangan yg berpangkal pads masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain, sehingga sikap etnsentrisme ini bisa menjakan setiap pemilik suku menganggap bahwa sukunya adalah suku terbaik daripada suku lainya. Anggapan seperti ini yang kemudian menjadi sebuah celah kearogansian pemilik suku yang bisa menjadi penyebab timbulnya konflik antar suku.

2.2.2. Agama

Rolan Robertson dalam Stephen K. Sanderson (1995:518) mendefinisikan agama menjadi dua jenis, inklusif dan ekslusif. Defininsi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandang sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorentasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Definisi eksklusif membatasi istilah agama

itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulakan eksistensi mahluk, kekuasaan, atau kekuatan supranatural.


(37)

Artinya sebuah agama itu adalah prinsipil setiap individu, tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa bisa dipaksakan, bahkan tidak boleh dibahas atau disangkut pautkan dengan permasalahan-permasalahan lainya. Karena permasalahan agama ini adalah permasalahan kepercayaan yang menyangkut hati. Hadirnya sebuah agama dalam kehidupan bukanlah menjadi batasan dalam bermasyarakat atau bahkan menjadi celah perselisihan.

Sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh Durkheim dalam Stephen (1995:518) mendefinisikan agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni, hal-hal yang dibolehkan dan dilarang. Sedangkan menurut Thomas F. O’dea (1995:22) menyebutkan bahwa agama adalah pensucian tradisi, yang menyatukan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam perilaku manusia atas tumpuan akhir masyarakat itu.

2.2.3. RAS

Menurut ensiklopedia bebas (wikipedia) Ras berasal dari bahasa Prancis race, yang artinya sendirinya, sedangkan dari bahasa Latinradix, yang berarti akar. Sedangkan Templeton (1998) mendefinisikan Ras adalah :

A subspecies (race) is a distinct evolutionary lineage within a species. This definition requires that a subspecies be genetically differentiated due to barriers to genetic exchange that have persisted for long periods of time; that is, the subspecies must have historical continuity in addition to current genetic differentiation.

Suatu subspesies (ras) adalah suatu garis evolusi yang berbeda dalam suatu spesies. Definisi ini menentukan bahwa suatu subspesies berbeda secara genetis karena kendala dalam pertukaran genetis yang sudah bertahan selama jangka waktu yang panjang. Artinya, subspesies tersebut harus memiliki kesinambungan sejarah di samping pembedaan genetis masa kini".


(38)

Sehingga disimpulkan Ras adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam kelompok besar dan berbeda melalui ciri-ciri fisik, tampang jasmani, asal-usul geografis, dan kesukuan yang terwarisi secara turun menurun. Ras ini termasuk identitas diri yang sangat mudah diketahui dan dibedakan, karena sifatnya yang bisa langsung dilihat oleh panca indra mata sehingga akan semakin terlihat perbedaanya ketika individu tersebut bercampur dengan individu lainya dalam masyarakat.

2.2.4. Antar Golongan (kelompok)

Roucek dan Warren (dalam Abdul syani (2007:98) menyatakan bahwa satu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang di antara mereka terdapat beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggota kelompoknya atau orang lain secara keseluruhan.

Dalam buku yang sama, Mayor Polak (1978) berpendapat bahwa kelompok adalah suatu grup, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan antar hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.

Dari teori diatas, dapat diketahui bahwa pengertian antar golongan adalah adanya hubungan dalam lingkungan atau hubungan golongan yang satu dengan golongan yang lain. Artinya adanya sebuah interaksi yang saling dapat dipahami antara kedua golongan itu atau lebih. Dengan kata lain golongan itu merupakan sub kecil dari sebuah golongan yang lebih besar yang terbentuk dalam sebuah struktur.


(39)

Menurut Abdul Syani (2007:102), bahwa adanya sejumlah rangkaian atau system yang dapat menyebabkan kelompok dikatakan berstruktur, yaitu:

1) Adanya system dari status-status para anggotanya, seperti sebuah organisasi pemuda misalnya. Ia memiliki susunan pengurus yang merupakan suatu rangkaian yang bersifat hierarkis.

2) Terdapat atau berlakunya nilai-nilai, norma-norma (keebudayaan) dalam mempertahankan kehidupan kelompoknya, artinya struktur selalu ditanamkan kstabilanya.

3) Terdapat peranan-peranan sosial (sosial role) yang merupakan aspek dinamis dari struktur.

Sebuah keselarasan dalam berkehidupan sehari hari akan tercipta apabila struktur yang ada merupakan hasil dari kesepakatan bersama antar golongan yang tinggal bersama dalam teritori tertentu. Lahirnya kelompok ini dapat menggambarkan bahwa individu itu tidak mampu untuk hidup sendiri, artinya rasa lemah ketika sendiri ini akan hilang menjadi sebuah kekauatan ketika berkelompok, karena rasa saling melindungi antar anggota kelompok ini yang menciptakan kekuatan kebersamaan itu. Rasa memiliki ini yang kemudian akan menjadikan benteng untuk menjaga gangguan yang timbul dari luar kelompok, sehingga ketika terjadi gangguan, kelompok itu akan berusaha mebela diri dan membuktikan akan kekuatan kelompok tersebut.

2.3. Tinjauan Tentang Konflik

2.3.1. Pengertian Konflik

Ada berbagai definisi konflik yang diungkapkan oleh para ahli, diantaranya diungkapkan oleh Putman dan Pool (dalam Sutarto wijono, 2012:203) mengenai konflik bahwa:


(40)

Konflik didefinisikan sebagai interaksi antar individu, kelompok dan organisasi yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.

Pendapat lain sebagaimana dikemukakan Simmel (dalam Poloma 2003:107) bahwa, konflik merupakan bentuk interaksi dimana tempat, waktu serta intensitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan, sebagaimana dengan isi segitiga yang dapat berubah.

Sedangkan menurut Coser (dalam Zeitlin 1998:156) bahwa konflik sosial adalah suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuanya terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisisr atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-sainganya.

Selanjutnya Mulins (dalam Sutarto wijono, 2012:203) mendefinisikan konflik sebagai kondisi terjadinya ketidak sesuaian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan prilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok maupun organisasi.

Dalam penjelasan K.J. Veeger (1993:211) bahwa :

keadaan yang dalam penampakanya satu dan tertib teratur, sebenarnya dihasilkan oleh struktur-struktur kuasa yang menutupi dan menyembunyikan keterbagian dan perpecahan yang ada dibawah permukaanya. Apa yang disangka keseimbangan sistem sosial akibat mekanisme-mekanisme fungsional mulai dilucuti kedoknya dan ditelanjangi menjadi tidak lain dari manipulasi pihak yang sedang berkuasa. Apa yang tadinya disebut “kestabilan masyarakat” (keadaan mantab) ternyata mengandung mesiu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menggoyahkan semua.


(41)

Konflik merupakan hal yang sulit dihidari ketika kita hidup di Negara yang sangat kompleks seperti Negara Indonesia tercinta ini, karena keberanekaragaman yang begitu banyaknya sehingga perbedaan itu menjadi sangat sensitif dan rentan untuk terjadi perselisihan.

Konflik sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukan hal yang baru dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Konflik sangat erat kaitanya dengan kerusuhan. Dalam kerusuhan ini objek yang paling sering menjadi sasaran adalah benda-benda yang mudah dilihat dan ada di mana-mana, misalnya, fasilitas umum kota. Berikutnya, objek yang menjadi sasaran kerusuhan, adalah benda-benda yang mewakili atribut atau simbol kemapanan dan kemakmuran, seperti : kios, toko swalayan, bangunan megah, dan sebagainya. Benda lainnya adalah yang mewakili simbol kekuasaan dan otoritas, seperti : pos keamanan, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Objek kerusuhan tidak hanya berupa material tetapi juga objek fisik yang lebih sering memakan korban jiwa.

2.3.2. Hakikat konflik

Menurut KLBI halaman (1998:234), hakikat adalah kebenaran, kenyataan yang sebenar-benarnya, sedangkan menurut KBBI adalah intisari atau dasar. Jadi hakikat itu adalah sebagai suatu hal yang mendasar, menurut fitrahnya yang melekat pada sesuatu hal tertentu. Sehingga hakikat konflik dapat diartikan sebagai sesuatu intisari dan dasar yang melekat dalam konflik itu, identik dan menjadi sebuah ciri tersendiri sehingga intisari tersebut dapat dikatakan dasar penyebab terjadinya konflik.


(42)

Menurut Wijono (2012:231-232), konflik itu dapat dipahami dan dipelajari sebagai suatu proses yang dinamis. Sebaliknya, konflik tidak dapat dipahami, jika konflik tersebut dipandang sebagai suatu yang sifatnya statis dan kaku. Pada umumnya, konflik sering kali melibatkan intervensi di antara berbagai pihak yang saling betentangan, baik konflik dalam diri individu, konflik antar pribadi/kelompok, maupun konflik organisasi.

Adapun ciri-ciri konflik adalah sebagai berikut:

1. Paling tidak ada dua pihak secara pribadi maupun kelompok terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan satu sama lain.

2. Timbul ertentangan antara dua pihak secara pribadi maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memaikan peran, ambigus, dan adanya nilai-nilai atau norma-norma yang saling bertentangan satu sama lain.

3. Munculnya interaksi yang sering kali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling mengadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain. Tujuanya adalah untuk memperoleh keuntungan di antaranya untuk pemenuhan kebutuhan fisik, seperti materi, tatus dan jabatan. Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan sosial psikologis, seperti rasa aman, relasi, kepercayaan diri, kasih, penghargaan, dan alkulturasi diri.

4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertentangan yang berlarut-larut.

5. Adanya ketidak seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan misalnya kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan prestasi.

2.3.3. Bentuk-bentuk Konflik

1. Konflik dalam Diri Individu(Intraindividual Conflict)

Wijono (2012:206) mengungkapkan munculnya konflik yang ada dalam diri individu mempunyai kecenderungan berkaitan dengan: (1) tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), (2) pertentangan dalam peran yang dimainkan (role conflict).

Unruk lebih jelasnya dapat dipaparkan sebagai berikut:

1) Konflik yang Berkaitan dengan Tujuan yang Hendak Dicapai (Goal Conflict) a. Konflik mendekat-mendekat(approach-aproach conflict).


(43)

Konflik ini muncul ketika individu didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih. Tetapi tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.

b. Konflik mendekat-menghindar(approach-avoidance conflict)

Individu yang mengalami konflik in didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan dan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan penghindaran terhadap persoalan-persoalan tersebut. Jadi, ada tujuan yang hendak dicapai tersebut mengandung nilai positif dan negative bagi individu yang mengalami konflik.

c. Konflik menghindar-menghindar(avoidance- avoidance conflict)

Dalam konflik ini, individu didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negative tetapi tujuan-tujuan yang dicapainya saling terpisah satu sama lain.

2) Konflik yang berkaitan dengan Peran dan Ambiguitas

a. Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran (awareness of role conflict)

Konflik ini terjadi pada saat individu mengalami ketidak cocokan atas peran yang dimainkan, maka individu perlu mempunyai kesadaran melalui introspeksi bahwa peran yang dimainkanya akan membuat dirinya mengalami konflik peran yang dapat mengganggu darinya dan kelompoknya.

b. Menerima kondisi dan situasi jika muncul konflik yang dapat membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan(acceptance of conflict job pressures) Ada baiknya ketika individu mengalami pertentangan dalam dirinya, individu menerima kondisi dan situasi yang dapat membuat dirinya tertekan.

c. Memiliki kemampuan untuk menoleransi stress (ability to tolerance stress),

Setiap individu mempunyai kemampuan dan cara untuk menghadapi stress dalam kehidupanya. Namun demikian, ada juga individu yang menoleransi stress tetapi ada juga yang tidak dapat menoleransinya, sehingga dia mengalami konflik dalam dirinya.

d. Memperkuat sikap/sifat pribadi yang lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi(general personality make up). Pada dasarnya, setiap individu mempunyai sikap/sifat pribadi yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan sikap/sifat ini, akan menentukan bagaimana individu menghadapi konflik yang muncul dalamm dirinya, sehingga bermanfaat untuk menghadapi konflik dalam kehidupan.


(44)

2. Konflik Antarpribadi(Interpersonal Conflict)

Wijono (2012:213). Konflik antarpribadi adalah suatu konflik yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitanya antar individu dengan individu lain yang ada dalam satu organisasi atau kelompok. Labih lanjut dijelaskan: Faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya konflik antar pribadi ini meliputi: adanya kesalahan dalam persepsi (misperseption), kesalahan berpendapat (misopinion), kesalahan dalam memahami (misunderstanding), kesalahan dalam berkomunikasi (miscommunication), perbedaan tujuan (goal different), perbedaan nilai-nilai (values different), latar belakang budaya (culture background), sosial-ekonomi (sosial-economic), dan sifat-sifat peribadi (personality traits)

3. Konflik Organisasi(Organizational Conflict)

Menurut Wijono (2012: 224) dalam konflik organisasi ini dapat muncul karena adanya kemungkinan-kemungkinan, yaitu situasi-situasi yang tidak sesuai dalam mencapai tujuan, sasaran, dan alokasi yang tidak sesuai dengan tujuan, munculnya ketidakpastian dalam stataus pekerjaan dan perbedaan persepsi.

Selain itu, dijelaskan bahwa konflik organisasi dapat dibagi menjadi konflik hierarki, konflik fungsional dan disfungsional, konflik atar staf lini dan konflik kelompok formal dan non formal. Berikut ini penjelasanya:

2.4.Konflik Hierarki(hieraechical conflict)

Konflik hierarki ini dapat muncul ketika adanya benturan di hierarki struktural semakin komplek hierarki strukturalnya, maka makin sering terjadinya konflik. Adanya tekanan psikologis dari lingkungan skitar yang membuat konflik ini muncul.

2.5.Konflik Fungsional dan disfungsional(fungctional and disfungcional conflict) Timbulnya konflik fungsional konflik ini dikarenakan adalah konfrontasi antar kelompok-kelompok yang menginginkan keuntungan dan peningkatan prestasi.


(45)

Konflik fungsional dapat diarahkan untuk menambah perubahan adanya kesadaran terhadap masalah atau kebutuhan yang ditunjukan tersebut, hasil yang lebih luas dan produktif mengkaji untuk solusi dan secara umum memfasilitasi perubahan positif, adaptasi, dan inivasi.

Konflik disfungsional adalah berbagai konfrontasi atau interaksi di antara kelompok-kelompok yang merugikan dan menghalangi tercapainya tujuan bersama.

Pada tingkatan yang sama, stress dan konflik dapat memengaruhi kesehatan dan bergerak untuk mencapai tujuan kelompok yang dapat merusak secara ekstrem dan disfungsional dalam kelmpok yang lainya.

2.6.Konflik staf-line(line-staff conflict)

Konflik antar staf lini ini dapat muncul ketikia hubungan antara garis wewenang dan tanggung jawab keduanya saling tumpang-tindih dan tidak jelas.

2.7.Konflik kelompok formal dan informal(formal non formal conflict)

Terjadinya konflik ini ketika ada dua kelompok, yaitu formal dan informal mempunyai perbedaan kepentingan dalam mencapai tujuanya.

Dari ketiga bentuk konflik diatas dapat kita ketahui, bahwa konflik Antarpribadi (Interpersonal Conflict) adalah bentuk konflik yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Faktor-faktor yang menjadi penyebab dalam konflik ini merupakan acuan untuk dijadikan sebuah landasan dasar teori dalam menjalankan penelitian tentang konflik antar warga di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan ini.

2.3.4. Tahap Perkembangan konflik

Menurut Sutarto Wijono (2012:232-234) atas dasar pemahaman bahwa konflik tersebut adalah proses yang dinamis dan bukan statis atau kaku yang berarti konflik itu dapat berubah ubah smengikuti perkembangan hal-hal yang terjadi ketika konflik. Maka konsekuensi terjadinya konflik ddapat digambarkan melalui proses perkembanganya.


(46)

Adapun tahapan perkembangan konflik itu adalah: a) Konflik masih tersembunyi(laten)

Berbagai macam kondisi emosi negative seperti takut, cemas, khawatir, rasa bersalah, curiga, iri, benci, dan dendam yang silih berganti didalam diri individu, kelompok ataupun organisasi yang kesemuanya itu dirasakan sebagai suatu yang biasa dan tidak terlalu dipersoalkan (tersembunyi), dianggap bukan sebagai suatu masalah yang mengganggu dirinya.

b) Kondisi yang mendahului(antecedent condition)

Tahapan kedua ini adalah tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi dan belum dirasakan sebagai suatu yang mengganggu individu, kelompok, atau organisasi secara keseluruhan. Kondisi yang mendahului tersebut di antaranya timbulnya tujuan berbagai system nilai yang berbeda, berbagai hambatan komunikasi, perbedaan peran (underload/overload), dan tugas-tugas yang ambigus, manusia dan prilakunya, struktur organisasi, kebijakan organisasi, analisis tugas danperformance appraisals.Jika kondisi-kondisi yang mendahului tersebut mulai dirasakan mengganggu atau merintangi tujuan individu, kelomok, maupun organisasi, maka akan muncul konflik.

Ketika konflik yang tidak diselesaikan dengan tepat yang dapat menimbulkan dua macam sifat konflik yaitu konflik yang dapat diamati dan konflik yang dapat dirasakan.

c) Konflik yang dapat diamati(perceived conflict)

Konflik ini muncul ketika dalam situasi telah terjadi adanya serangan gejala seperti yang tercermin dalam tahap kedua diatas. Pada tahap kedua t\diatas dapat memeberikan gambaran suatu kondisi yang mengancam secara individu, interpersonal/kelompok, dan organisasi. Selain itu juga dapat menimbulkan suasana yang tidak diharapkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.

Konflik yang dapat dirasakan(felt conflict)

Dalam proses perkembangan berikutnya, individu, interpersonal/kelompok atau organisasi bukan hanya mengamati terjadinya konflik, melainkan juga merasakan serta menghayati apa yang dirasakan sebagai konflik yang dapat mengganggu, merintangi, mengancam, dan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan serta ketegangan-ketegangan dalam dirinya secara individu, interpersonal/kelompok, dan organisasi. Akibat dari penghayatanya terhadap konflik tersebut secara emosional, maka muncullah beberapa emosi negative seperti yang dijelaskan pada tahap pertama diatas.

d) Konflik terlihat secara terbuka(manifesr behavior)

Sebagai usaha untuk memenuhi rasa frustasi, mengantisipasi timbulnya konflik, baik yang dialami oleh individu, interpersonal/kelompok, dan organisasi akan terjadi mekanisme pertahanan diri. Beberapa mekanisme pertahanan dari akibat frustasi seperti agresi, regresi, fikasi, kompromi dan penarikan.


(47)

2.3.5. Dinamika konflik

Dinamika konflik adalah suatu pergerakan secara terus-menerus yg menimbulkan perubahan dalam diri konflik itu mengikuti alur perkembangan yang terjadi ketika konflik itu terjadi. Sebuah konflik manifest diawali dari konflik laten yang tertumpuk lama dan terpendam dalam diri individu, interpersonal/kelompok. Nanang martono (2011:228) menyebutkan bahwa akar tumbuhnya sebuah pergerakan itu timbul berawal dari faktor kepribadian dari pengikut gerakan sosial (red: konflik warga) tersebut. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan akar pergerakan tersebut, yaitu:

Pertama, teori ketidakpuasan (discontent theory). Teori ini menyatakan bahwa akar munculnya gerakan sosial terletak pada perasaan ketidak puasan.orang yang merasakan hidupnya nyaman dan puas, cenderung kurang menaruh perhatian pada gerakan sosial ini. Sedangkan orang atau kelompok akan melakukan sebuah tindakan apabila ia merasa dalam dirinya mendapatkan rasa yang tidak puas dan tertekan. Sebuah konflik antaar warga itu terjadi karena adanya ketimpangan yang menyebabkan kelompok lainya merasa tertekan sehingga rasa yang bisa untuk memuasakan diri darai lawan kelompoknya adalah melakukan perlawanan.

Kedua, teori ketidakmampuan penyesuaian diri pribadi (personal maladjustment theory). Teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan tempat untuk menyalurkan kegagalan pribadi. Orang yang kecewa dan gagal lebih tertarik untuk ikut serta dalam gerakan sosial daripada orang yang sudah merasakan puas dan senang. Dalam konflik warga juga terjadi demikian, warga yang tidak mampu untuk menyeseuaikan diri denagan lingkunganya akan turut serta dalam sebuah konflik demi untuk membalas sebuah kegagalan pribadi dan kekecewaan.

Ketiga,teori Proses-Politik. Teori ini berkaitan dengan Teori Mobilitas Sumber Daya. Pendekatan teori proses-politik menekankan pada peluang-peluang bagi gerakan, yang diciptakan oleh proses politik dan sosial yang lebih besar. Pada tingkatan ini sangatlah berbahaya ketika konflik antar warga itu telah terjadi. Adanya muatan-muatan politik dalam sebuah konflik akan menjadikan konflik itu semakin kompleks, tidak terarah seehingga isu-isu yang berkembang dalam konflik akan selalu berubah-ubah sesuai dengan sponsor politik tersebut.


(48)

2.4. Faktor Penyebab Konflik

Adalah faktor yang menyebabkan sebuah konflik itu bisa ada dan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Wijono (2012:227) ada empat yang dapat menyebabkan munculnya konflik, yaitu:

a) Situasi-situasi yang tidak sesuai

b) Rencana kegiatan dan alokasi waktu yang tidak sesuai c) Masalah status pekerjaan yang tidak pasti

d) Perbedaan persepsi.

Menurut Dahrendorf (dalam K.J. Veeger, 1993:214) ada tiga celah yang bisa mengantarkan seseorang itu kedalam konflik, yakni:

Pertama, kekuasaan, adalah setiap kemampuan untuk memenangkan kemauan sendiri, juga kalau kemampuan itu bertentangan dengan kemauan orang lain. Kedua, kepentingan, pembedaan penting yang dibuat Dahrendorf sehubugan dengan konsep “kepentingan” adalah pembedaan antara kepentinganlatentdengan kepentinganmanifestt.

Ketiga, kelompok konflik, Dahrendof membagi menjadi: kelompok konflik potensial, adalah sekelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama, baik kepentingan itu disadari, ataupun tidak.

Menurut Sosiolog, Dr Imam B. Prasodjo (dalamhttp://bpsntbandung.com) bahwa yang menjadi penyebab timbulnya konflik itu dikarenakan:

Lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah penegakkan hukum ini ditanggapi secara keliru oleh para pelaku tindak kejahatan. Kesan tersebut seolah menjadi message (tanda) yang diterjemahkan bahwa hal yang terjadi akhir-akhir ini, lebih membolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Sementara itu pada saat kontrol sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan dan ketentraman, justru melakukan tindak pelanggaran.


(49)

Sedangkan Sardjono Djatiman (dalam http://bpsntbandung.com) memperkirakan konflik itu hadir karena:

Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum, sistem, dan aparatnya. Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama, karena ketidakadilan telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari. Mereka yang selama ini diam, tiba-tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat sudah tidak dipercaya lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alih kendali hukum. Keadaan masyarakat yang beranekaragam inilah yang membuat masyarakat itu mengambil kesimpulan dan memutuskan apa yang harus mereka lakukan sendiri, walaupun itu bertentangan dengan hukum yang ada. Tindakan yang terjadi di Way Panji adalah salah satu contoh dimana tidak adanya lagi kepercayaan terhadap aparat penegak hukum, sehingga masyarakat bertindak dengan sendirinya dan dengan cara masyarakat itu sendiri. Keberadaan aparat dan tokoh-tokoh hanyalah sebagai symbol yang kini tidak ada lagi fungsinya karena runtuhnya moral para petinggi yang ada dinegri ini.

Menurut penjelasan Robin; Walton dan Duton (dalam Wijono 2012:220) menjelaskan tentang suber konflik antarpribadi/Kelompok melalui kondisi-kondisi pemula(antecedent conditions)yang meliputi:

a) Persaingan terhadap sumber-sumber(competition resources)

Semakin langkanya sumber yang diinginkan, maka semakin besar terjadinya persaingan atau kompetisi yang semakin tajam pula di antara pribadi/kelompok yang saling membutuhkan sumber tersebut.

Misalnya sumber dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, semakin sempitnya lahan pertanian maka semakin banyak pula orang yang meninginkan lahan tersebut, akibatnya persengketaanlah yang terjadi.

b) Ketergantungan terhadap tugas(task interdependence)

Konflik ini muncul ketika seseorang/kelompok mempunyai tujuan dan prioritas yang berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan mengalami ketergantungan tugas.


(50)

Munculnya konflik ini dapat disebabkan oleh adanya arus komunikasi yang satu arah, atau timbal balik yang mencakup pembagian persediaan, informasi, bantuan, atau pengarahan termasuk juga tuntutan melakukan kordinasi terhadap tugas-tugas yang perlu diprioritaskan oleh keduabelah pihak, sehingga seseorang/kelompok itu hanya menjalankan sesuatu atas berdasarkan perintah dari pihak lain.

c) Kekaburan deskripsi tugas(jurisdictional ambiguity)

Ketika deskripsi tugas yang digagas oleh masing-masing anggota yang ada diberbagai departemen tersebut tugas-tugasnya mulai timpang tindih, tidak jelas (kabur), demikian juga tanggung jawab, kewenangan, dan hak serta kewajiban masih kabur, maka hal tersenut akan memicu konflik diantara mereka.

d) Masalah status(status problem)

Adanya persepsi atas ketidakseimbangan atau ketidakadilan dalam meberi ganjaran (reward), penghargaan , penugasan kerja, kondisi-kondisi masyarakat serta status symbol dapat mengalami frustasi.

e) Rintangan komunikasi(communication barriers)

Komunikasi yang kurang memadai dapat menimbulkan berbagai konflik semu (pseudo conflict) yang merintangi persetujuan antara dua individu/kelompok yang posisinya saling melengkapi. Sarana komunikasi yang kurang memadai dapat menghambat upaya-upaya untuk mencapai koordinasi dua kelompok atau lebih akibatnya yang terjadi adalah kesalahan komunikasi (miscommunication).

f) Sifat-sifat individu(individual traits)

Sifat pribadi yang dimiliki oleh individu masing-masing dapat menjadi pemicu timbulnya konflik atarpribadi/kelompok. Sifat pribadi tersebut di antaranya kurang matang (immature) atau kekanak-kanakan, kecerdasan emosinya rendah, sulit mengendalikan diri, tidak fleksibel, cenderung menutup diri dari masukan orang lain, dan egois.

Pendapat yang sesuai dengan fokus penelitian adalah pendapat Franz Magnis-Suseno (2003:121). Ia mengungkapkan hal yang melatarbellakangi konflik itu timbul adalah :

a) Modernisasi dan globalisasi.

b) Akumulasi kebencian dalam masyarakat. c) Budaya kekerasan.


(51)

2.5. Dampak Konflik

Dalam sebuah konflik akan menimbulkan berbagai macam dampak. Dampak konflik antar warga yang paling berbahaya adalah dampak terhadap psikologis, dampak terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan dampak terhadap budaya. Dari berbagai macam dampak tersebut tidak selamanya bernilai negatif, namun juga ada dampak yang bernilai positif, dampak-dampak tersebut adalah sebgai berikut:

2.5.1. Psikologis

Dari sisi psikologis, dampak dari konflik antar warga ini akan menimbulkan rasa trauma, selalu merasa tidak aman, bahkan berkurang/hilangnya rasa kepercayaan diri dari individu dalam masyarakat tersebut. Hal ini karena pada dasarnya setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda dengan yang lainya, dan kebutuhan itu harus terpenuhi sesuai dengan kadarnya msing-masing.

Maslow (dalam Wijono, 2012) mengungkapkan tingkat kebutuhan individu yang kaitanya dengan kebutuhan hidup untuk mencapai sebuah ketenangan yang harus terpenuhi padda setiap individunya adalah:

1. Kebutuhan fisiologis(physiologycal needs)

Kebutuhan fisiologis ini merupakan kebutuhan tingkat pertama yang paling rendah dan paing mendasar. Kebutuhan ini terdiri atas makan, minum, pernapasan, dan kebutuhan yang bersifat biologis lainya.

2. Kebutuhan akan rasa aman(safety needs)

Kebutuhan-kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan rasa aman ini adalah kestabilan, ketergantungan, perlindungan,bebas dari rasa takut, dan ancaman.

3. Kebutuhan sosial dan kasih sayang(sosial and belongingness nedds) Adalah kebutuhan untuk bersosialisasi, berkomunikasi, dan merasa diterima serta dibutuhkan oleh orang lain.


(52)

4. Kebutuhan harga diri(self esteem needs)

Dalam kebutuhan harga diri ini dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, kebutuhan terhadap kekuasaan, berprestasi, pemenuhan diri, kekuatan dan kemampuan untuk memberikan keyakinan dan kehidupan serta kebebasan. Kedua, adalah kebutuhan terhadap nama baik (reputation) atau prestise, status, keberhasilan, pengakuan, perhatian, dan penghargaan.

5. Kebutuhan alkulturasi diri(self actualization needs)

Pada tingkat kebutuhan ini, masing-masing ingin mewujudkan diri sebagai individu yang mempunyai kemampuan unik, seperti tanggung jawab, kebutuhan pertumbuhan dan pengembangan diri, kemajuan, berprestasi, dan alkulturasi.

Adanya konflik antar warga ini merupakan suatu guncangan bagi warga yang berkonflik maupun bagi warga lain yang terkena imbasnya dari konflik ini. Sehingga rasa trauma, selalu merasa tidak aman, bahkan berkurang/hilangnya rasa kepercayaan diri itu akan sulit untuk dipulihkan kembali seperti semula.

2.5.2. Sosial

Dalam konflik antar warga ini, pasti akan sangan mudah terlihat dampaknyan dalam berkehidupan sosial. Karena pola kehidupan sosial inilah yang kelak akan menentukan dan akan terlihat keberadaan konflik itu. Diteksi bahwa konflik itu masih ada atau tidak akan mudah kita ketahui hanya dengan cara mengamati kehidupan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu.

Sebagaimana yang dinyatakan Wood dan Jacson (dalam Martono 2011:223) bahwa:

Perubahan sosial merupakan basis yang menentukan cirri-ciri gerakan sosial, dan gerakan sosial berkaitan berkaitan erat dengan perubahan sosial. Gerakan sosial memiliki berbagai cara menurut mereka paling tepat dalam rangka mewujudkan cita-citanya. Gerakan sosial sering diwujudkan dalam bentuk gerakan protes, pemberontakan, kudeta, sampai prilaku anarkis.


(53)

Menurut Wijono (2012:235), pola kehidupan sosial itulah yang dapat dengan mudah kita ketahui akan keberadaan konflik itu. Karena hal ini bisa kita lihat dampaknya dalam kehidupan, baik itu berupa dampak positif atau dampak negatif dari konflik bagi kehidupan sosial, adapun dampak-dampaknya adalah sebagai berikut:

Dampak Positif Konflik

1) Membawa masalah-masalah yang diabaikan sebelumnya secara terbuka, 2) Memotovasi orang lain untuk memahami setiap posisi orang lain, 3) Mendorong ide-ide baru, memfasilitasi perbaikan dan perubahan,

4) Dapat meningkatkan kualitas keputusan dengan cara mendorong orang untuk membuat asumsi melakukan perbuatan.

Dampak Negatif Konflik

1) Dapat menimbulkan emosi dan stress negatif,

2) Berkurangya komunikasi yang digunakan sebagai persyaratan untuk kordinasi,

3) Munculnya pertukaran gaya partisipasi menjadi gaya otoritatif, 4) Dapat menimbulkan prasangka-prasangka negatif,

5) Memberikan tekanan loyalitas terhadap sebuah kelompok.

Pendapat lain menyatakan, dampak konflik yang terjad adalah tergantung dari jenis konflik itu sendiri dan bagaimana alur konflik itu berlangsung (Brown, 1997:89). Setidaknya ada tiga kemungkinan yang terjadi sebagai akibat perpecahan konflik etnis yakni:

1) Terjadinya rekonsiliasi secara damai; 2) Perpisahan etnis secara damai; 3) Perang saudara.

Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berkonflik bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisan, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.


(54)

2.5.3. Ekonomi

Dalam sebuah konflik antar warga yang melibatkan banyak masa. Pada umunya prilaku masa yang membuat kerusuhan akan menyebabkan banyaknya kerugian dibidang ekonomi. Contohnya perusakan fasilitas umum, pembakaran rumah, perusakan tanaman pertanian, perusakan barang-barang produksi, penjarahan barang, dan lain sebagainya.

Sebagaimana menurut Selo Soemardjan (1999:11) yang menerangkan bahwa kerusuhan itu merujuk pada aksi kolektif yang spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, dan biasanya melibatkan penggunaan kekerasan, baik untuk menghancurkan, menjarah barang, atau menyerang orang lain.

Artinya begitu besarnya dampak dibidang perekonomian yang akan ditimbulkan dari sebuah konflik antar warga ini, diantaranya:

Pertama, kemiskinan, adalah dimana korban dari sebuah konflik tersebut menderita kerugian rusaknya fasilitas, penjarahan, bahkan ketika ada anggota keluarga yang terluka maka pengobatan secara pribadi.

Kedua,turunya aktifitas perekonomian, dalam hal jual beli akan menurut, dimana adanya rasa trauma akan kepemilikan barang-barang yang telah dijarah, ataupun juga karena keadaan keuangan yang tidak memungkinkan.

Ketiga,melonjaknya kebutuhan pokok, keadaan yang belum stabil dimanfaatkan para pedagang untuk menaikan harga kebutuhan pokok.


(55)

2.5.4. Budaya

Budaya dalam KLBI (1998:107) adalah pikiran manusia atau seseuatu hal yang mempunyai peradaban. Sedangkan Koentjaraningrat (2002:180) menjelaskan kebudayaan itu merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Dari pendapat Koentjaraningrat diatas dapat diketahui bahwa seseungguhnya kebudayaan itu merupakan sebuah hasil karya pemikiran manusia dalam rangka mencipkatan sebuah kehidupan yang mempunyai peradaban.

Runtuhnya nilai budaya dan hilangya kewibawaan sebuah budaya adalah dampak dari konflik antar warga, hal ini bisa neyebabkan tidak lagi adanya rasa bangga, kepercayaan diri kepada warga yang memiliki sebuah kebudayaan itu. Akibatnya kemodernisasian akan menghapuskan sebuah budaya yang ada.

Nanang Martono (2011:86), menyatakan bahwa keadaan manusia modern akan mengubah cara pandang terhadap seorang individu, ketika individu tidak lagi dihargai dari sisi usia. Manusia modern lebih melihat dan menghargai individu dari sisi keahlian serta ketrampilan yang dimilikinya. Berbeda dengan masyarakat tradisional yang lebih melihat individu dari sisi usia, senioritas dan yunioritas.

Dari ungkapan Nanang di atas menunjukan keruntuhan sebuah nilai budaa itu akan menjadikan berkurangnya nilai moral seseorang. Kaitanya dengan kelompok budaya adalah ketika rasa etnosentris melekat pada masing-masing pemilik kebudayaan tersebut, maka kelak ketika mereka hidup bersama dengan kelompok beda etnis, yang akan terjadi adalah tidak lagi adnaya penghormatan kepada kelompok budaya lain.


(1)

E. Lokasi Penelitian

Kedua,

karena kasus kerusuhan yang terjadi

belum terlalu lama sehingga masih jarang

yang mengambil sebagai bahan penelitian,

sehingga penelitian ini bisa lebih bermanfaat

bagi kepentingan pemerintah kabupaten

Lampung Selatan dan warga masyarakatnya

yang mendambakan kehidupan yang aman,

tentram dan damai,


(2)

E. Lokasi Penelitian

ketiga

karena lokasi penelitian adalah daerah

transmigran dan bersifat menerima tamu yang

ingin masuk ke daerah itu, maka penulis bisa

berinteraksi secara kekeluargaan sehingga bisa

lebih dekat dengan informan ataupun warga

masyarakat setempat


(3)

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menganalisis data

secara

deskriptif kualitatif

, yang menjelaskan,

menggambarkan, dan menafsirkan hasil

penelitian dengan susunan kata dan kalimat

sebagai jawaban terhadap permasalahan yang

diteliti sehingga data yang diperoleh dapat

dipahami dan tergambar secara jelas oleh

pembaca.


(4)

F. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut H. Miles dan

A, Michael Huberman (1997:16-19) akan

melalui beberapa proses sebagai berikut;

Reduksi Data

Penyajian Data

(display)


(5)

Daftar Pustaka

Abdulsyani. 2007Sosiologi skematika, teori, dan terapan.Bumi Aksara.

Jakarta

Bungin, Burhan, 2001.Metodologi Penelitian Kualiitatif. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Depdiknas. 2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Balai Pustaka, Jakarta.

G. Kartasapoetra, dkk. 1987. Sosiologi Umum. PT. Bina Aksara, Jakarta. Hugh Miall, dkk. 2000.Resolusi damai konflik kontemporer.PT. Raja

Grasindo Persada, Jakarta.

Irving M. Zeitlin. 1998.Memahami Kembali Sosiologi.Gajah Mada University Press, Yogyakarta

K.J. Veger. 1993.Realitas Sosial.Gramedia, Jakarta.

Koentjaraningrat. 2002.Penghantar Ilmu Antropologi.PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Nanang Martono. 2011.Sosiologi Perubahan Sosial.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Nazirt, M. 1998.Metode Penelitian.Galih Indonesia, Jakarta.

Ritzer,George. 1992.Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda.Rajawali Press, Jakarta.

Selo Soemardjan. 1999.Kisah Perjuangan Reformasi.Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Stephen K. Sanderson. 1995.Sosiologi Makro.Raja Garafindo Persada, Jakarta.

Sutarto Wijono. 2012.Psikologi Industri dan Organisasi.Kencana, Jakarta. Suwarno, dkk. 2011.Sistem Sosial Budaya Indonesia.Univeresitas

Lampung, Bandar Lampung

Thomas F. O Dea. 1995.Sosiologi Agama. Raja Garafindo Persada, Jakarta.

Referensi Lain :

Teknokra, 2012.Majalah Teknokra.Bandar Lampung: Unila.

Katalog dalam terbitan. 2003.Konflik Komunal di Indonesia saat ini.INIS. Jakarta

Edi Suharto. 2003.Pengembangan Masyarakat Dalam Praktek Pekerjaan Sosial.Artikel

Internet :

www.taukah-anda.com/sosial-budaya/julmah-suku-bangsa-di-ndonesia/index.html(diakses pada tanggal 26 September 2012, pukul 22.45)

id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998(diakses pada Senin, 29 Oktober 2012, pukul 23.00)

id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit(diakses pada Senin 29 Oktober 2012 Pukul 23.55)

biacksambas.blogspot.com/2011/04/benturan-budaya-dan-rasa-keadilan.html

biantri.blogspot.com/2012/04/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html

(diakses pada mingggu 4 November 2012 pukul 16:38)

www.taukah-anda.com/sosial-budaya/julmah-suku-bangsa-di-indonesia/index.html(diakses tanggal 26 September 2012 : 22.45)

www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455 (diakses 28 November 2012: 09.16)


(6)