DISTRIBUTED HYDROLOGIC MODEL PADA DAS DI BANDAR LAMPUNG BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(1)

BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Oleh

EKA KURNIAWAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER TEKNIK

Pada

Program Pascasarjana Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

DISTRIBUTED HYDROLOGIC MODEL PADA DAS DI BANDAR LAMPUNG BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Oleh

EKA KURNIAWAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Bandar Lampung yang melewati Kota Bandar Lampung dilalui oleh 2 (dua) sungai besar (Sungai Way Kuripan dan Sungai Way Kuala Garuntang ) serta 19 sungai-sungai kecil lainnya. Keadaan ini memerlukan pengelolaan DAS yang terarah untuk mengontrol permasalahan yang mungkin muncul, misalnya banjir dan kekeringan. Kejadian banjir dan kekeringan bisa diprediksi dengan dilakukan pendekatan hidrologi, sistem hidrologi yang kompleks dapat dipresentasikan misalnya dalam model matematik dengan penyederhanaan-penyederhanaan sehingga didapat ramalan besaran dan kejadian hidrologi yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk pengendalian SDA dan dalam mengidentifikasi potensi hidrologi.

Dalam penelitian ini, sangat menarik untuk melakukan pemodelan hidrologi pada DAS Bandar Lampung untuk mengetahui potensi banjir di Kota Bandar Lampung. Pemodelan yang dilakukan adalah Distributed Hydrologic Model, dimana pendekatan yang dilakukan adalah dengan membagi DAS Kota Bandar Lampung menjadi bagian terkecil dengan batasan sungai dengan ordo 1 sungai. Metode pembuatan hidrograf banjir dengan menggunakan Hidrograf Satuan


(3)

Satuan Terukur (HST) pada Sub DAS Way Awi, Way Simpur dan Way Garuntang.

Hasil delinasi DAS Bandar Lampung dan sungai berdasarkan keadaan sebenarnya dilapangan didapat data ; DAS Bandar Lampung terbagi menjadi 14 (empat belas) yaitu Way Simpur, Way Garuntang, Way Simpang Kanan, Way Betung, Way Simpang Kiri, Way Kuripan, Way Kupang, Way Kunyit, Way Lunik 1, Way Lunik 2, Way Galih, Way Keteguhan, Way Sukamaju, Way Gebang dengan luas total sebesar 168,877 km2.

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan HSS Nakayasu diperoleh nilai debit puncak (Qp) antara sebesar ; DAS Way Simpur = 0,130 – 0,579 m3/detik ; DAS Way Garuntang = 0,181 – 0,999 m3/detik ; DAS Way Simpang Kanan = 0,106 – 0,420 m3/detik ; DAS Way Betung = 0,031 – 0,389 m3/detik ; DAS Way Simpang Kiri = 0,102 – 0,359 m3/detik ; DAS Way Kuripan = 0,526 m3/detik ; DAS Way Kupang = 0,443 – 0,448 m3/detik ; DAS Way Kunyit = 0,472 m3/detik ; DAS Way Lunik 1= 0,125 – 0,275 m3/detik ; DAS Way Lunik 2 = 0,385 m3/detik ; DAS Way Galih = 0,366 – 0,526 m3/detik ; DAS Way Keteguhan = 0,173 - 0,395 m3/detik ; DAS Way Sukamaju = 0,132 – 0,532 m3/detik ; DAS Way Gebang = 0,489 m3/detik.

Hasil dari validasi HSS Nakayasu pada DAS Way Simpur, Way Garuntang dan Way Awi menunjukkan model yang dibangun memiliki kecocokan dengan debit puncak namun kurang cocok dengan waktu puncak. Pada validasi debit puncak kesalahan <25%. Diperlukan modifikasi pada permukaan waktu puncak jika ingin menggunakan HSS Nakayasu di DAS Bandar Lampung, misalnya dengan menggunakan faktor koreksi.

Kata kunci : Daerah Aliran Sungai (DAS), Hidrograf Satuan Sintesis (HSS) Nakayasu, Sistem Informasi Geografis (SIG)


(4)

(5)

(6)

(7)

i

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Maksud dan Tujuan ... 4

C. Batasan Masalah ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Siklus Hidrologi ... 6

B. Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 7

C. Pemodelan Hidrologi ... 9

D. Sistem Dan Model... 9

1.Linear Vs Nonlinear... 10

2.Deterministic Vs Stochastic (probabilistic)... 11

3.Static Vs Dynamic... 11

4.Lumped Parameters Vs Distributed Parameters ... 12

E. Hidrograf ... 12

1. Bentuk Hidrograf ... 14

2. Hidrograf Satuan ... 15

F. Hidrograf Satuan Sintesis... 19

1. Hidrograf Satuan Sintesis Snyder ... 20

2. Hidrograf Satuan Sintesis US SCS ... 21

3. Hidrograf Satuan Sintesis Nakayasu... 23

3.1. Beberapa Penelitian di Indonesia Menggunakan HSS Nakayasu ... 28

4. Hidrograf Satuan Sintesis Gama I... 29

G. Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Model Hidrologi... 33

1. Tahap Proses SIG... 33

2. Jenis Data Dalam SIG ... 35

3. Format Dalam SIG ... 38

4. SIG Dalam Bidang Hidrologi ... 38

H. Profil Kota Bandar Lampung ... 39

1. Gambaran Umum wilayah ... 39

2. Kondisi Geografis ... 40


(8)

ii

III. METODE PENELITIAN ... 42

A. Lokasi Penelitian... 42

B. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 42

C. Analisa Data Spasial ... 44

D. Analisa Hidrologi ... 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Analisis Data Spasial... 47

1. Delinasi DAS Bandar Lampung... 47

B. Analisis Hidrologi ... 57

1. Perhitungan HSS Nakayasu ... 57

2. Analisis HSS Nakayasu Pada Cascade Watershed Di Bandar Lampung... 65

3. Analisis HSS Nakayasu Pada Neighbouring Watershed di Bandar Lampung... 77

C. Validasi Hasil Perhitungan HSS Nakayasu Terhadap Perhitungan HST Pada Sub DAS Way Awi, Way Simpur dan Way Garuntang 78 V. SIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Simpulan ... 85

B. Saran... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN

Lampiran A. Gambar dan Tabel

Lampiran B. Tabel rekap perhitungan HSS Nakayasu pada DAS di Bandar Lampung

Lampiran C. Gambar grafik perhitungan HSS Nakayasu Lampiran D. Tabel rekap perhitungan HSS Nakayasu


(9)

A. Latar Belakang

Provinsi Lampung terbagi menjadi 3 Wilayah Sungai (WS), yaitu : (1) WS Seputih-Sekampung, (2) WS Mesuji-Tulang Bawang, (3) WS Semangka, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 11a/PRT/M/2006. Luas WS Seputih - Sekampung sebesar 14.637 km2, dengan panjang seluruh sungai 1.975 km, serta jumlah cabang sungai sebanyak 31 buah, terbagi menjadi 4 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu : (1) DAS Seputih, (2) DAS Sekampung, (3) DAS Jepara-Kambas, (4) DAS Bandar Lampung-Kalianda.

Secara hidrologis Kota Bandar Lampung termasuk ke dalam WS Seputih - Sekampung, dengan salah satu DAS nya adalah DAS Bandar Lampung -Kalianda yang dilalui 2 sungai besar yaitu Sungai Way Kuripan dan Sungai Way Kuala, serta 19 sungai - sungai kecil lainnya. Daerah hulu sungai berada di bagian barat dan daerah hilir sungai berada di wilayah bagian selatan yaitu pada dataran pantai, sebagian besar sungai - sungai tersebut bermuara di Teluk Lampung.

Dengan kondisi hidrologis tersebut, diperlukan pengelolaan DAS yang tepat agar dapat mengetahui permasalahan - permasalahan yang mungkin akan terjadi. Permasalahan DAS yang mungkin terjadi seperti banjir dan


(10)

2

kekeringan dapat diprediksi dengan salah satu pemodelan hidrologi, untuk itu diperlukan data potensi sumber daya air pada DAS di Bandar Lampung. Data tersebut sangat penting untuk mengetahui potensi debit banjir pada sungai, sehingga dapat diketahui seberapa besar efeknya yang mungkin terjadi di Kota Bandar Lampung hingga mencapai debit banjir maksimum.

Model hidrologi merupakan representasi sistem hidrologi dimana model ini bertujuan untuk mendekati kondisi riil dari sistem hidrologi. Dalam model hidrologi, dilakukan penyederhanaan - penyederhanaan dari sistem hidrologi yang komplek sehingga lebih mudah dilakukan penelusuran sistem secara kuantitatif, dengan memanfaatkan karakteristik DAS sebagai input untuk memprediksi respon DAS.

Sebelumnya telah dilakukan penelitian pada beberapa Sub DAS di Bandar Lampung menggunakan Hidrograf Satuan Terukur (HST) yang dilakukan oleh Kusumastuti dkk. (2013). Penelitian ini dilakukan dengan mengembangkan Distributed Hydrologic Model menggunakan Hidrograf Satuan Sintesis (HSS) metode GAMA I dan HSS Nakayasu. Model yang dikembangkan dalam penelitian tersebut hanya dilakukan pada 2 DAS terbesar di Bandar Lampung dengan membandingkan model HSS dan HST yang dikembangkan berdasarkan data pengukuran dilapangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode HSS Nakayasu lebih cocok pada DAS dengan luas kurang dari 100 km2.

Dengan hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode HSS Nakayasu karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusumastuti, dkk.


(11)

(2012) menunjukan bahwa metode HSS Nakayasu mendekati hasil model HST.

Banyak macam / klasifikasi model hidrologi, diantaranya lumped modeldan distributed model. Harto (1993) menyatakan bahwa model hidrologi dibuat bertujuan untuk : (1) Meramal secara probabilitas atas besaran dan waktu kejadian hidrologi, (2) Meramal besaran dan kejadian hidrologi pada waktu yang akan datang, (3) Mendeteksi pengendalian sumber daya air, (4) Mengidentifikasi potensi hidrologi dalam perencanaan, (5) Mengekstrapolasi data / informasi, (6) Memperkirakan kondisi lingkungan akibat perubahan perilaku manusia, (7) Merupakan dasar dalam penelitian hidrologi.

Model lumped parameter digunakan untuk mentransformasi curah hujan (input) ke dalam runoff (output) dengan konsep bahwa semua proses dalam DAS terjadi pada satu titik spasial. Lumped parametermemperlakukan DAS sebagai himpunan parameter-parameter yang mempunyai perilaku yang seragam. Sebaliknya, model distributed parameterberusaha menggambarkan proses mekanisme fisik dan keruangan.

Penelitian ini menarik untuk dilakukan pada seluruh DAS di Bandar Lampung dengan tujuan dapat mengambarkan pola sebaran keruangan aliran pada DAS tersebut.

Pada penelitian ini digunakandistributed hyrologic model pada seluruh DAS di Bandar Lampung yang dibagi menjadi sub DAS – sub DAS kecil pada sungai ordo tingkat ke 1 untuk mendapatkan sebaran - sebaran aliran pada


(12)

4

DAS tersebut. Didalam pengembangan model ini, dilakukan dengan Metode HSS Nakayasu dan di validasi dengan model HST berdasarkan hasil penelitian Kusumastuti, dkk. (2012) dengan memperhatikan pola aliran DAS yang bertetangga (neighbouring watershed)dan cascade watershed.

Penelitian dibantu dengan software Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mempercepat proses hitungan dan mengolah peta khususnya dalam penentuan karakteristik pengaliran DAS yang dibutuhkan dan menjadi data dalam analisa HSS Nakayasu.

Hasil penelitian ini menjadi sangat penting untuk memprediksi banjir di Kota Bandar Lampung dengan cepat yaitu dengan mengalikan HSS yang ada dengan nilai curah hujan efektif yang terjadi sehingga diperoleh nilai debit banjir. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di Kota Bandar Lampung.

B. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian tesis ini untuk mendapatkan pola aliran pada DAS di Bandar Lampung sampai tahap pola aliran pada Sub DAS terkecil.

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik DAS diantaranya bentuk topografi DAS, tipologi sungai (panjang dan jumlah), luas DAS yang dibatasi pada setiap pertemuan ordo sungai.


(13)

2. Menghitung pola aliran DAS menggunakan metode HSS pada DAS Bandar Lampung dimana DAS dibagi kembali menjadi sub DAS terkecil sampai dengan ordo ke 1.

3. Mengetahui karakteristik aliran pada Sub DAS neighbouring dan Sub DAScascade.

4. Memvalidasi distributed hydrologic modelyang dikembangkan dari hasil penelitian dengan hasil pengukuran hidrograf satuan terukur di DAS Way Awi, DAS Way Simpur dan DAS Way Garuntang pada penelitian sebelumnya.

C. Batasan Masalah

Mengacu pada judul tesis tersebut, maka batasan masalah penelitian terdiri dari :

1. DAS yang menjadi fokus penelitian adalah seluruh DAS di Bandar Lampung.

2. Metode Hidrograf Satuan Sintesis yang dipakai adalah HSS Nakayasu. 3. Tidak digunakan data hujan efektif karena tidak dilakukan perhitungan

hidrograf banjir rancangan.

4. Dalam penelitian ini tidak membahas aliran air tanah (groundwater flow) dan aliran bawah tanah (sub surface flow, interflow) yang merupakan penyebab pengaliran didalam sungai.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi atau daur hidrologi adalah gerakan air laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan akhirnya kembali mengalir ke laut. Air laut menguap karena adanya radiasi matahari menjadi awan, kemudian awan yang terjadi bergerak ke atas daratan karena tertiup angin. Adanya tabrakan antara butir-butir uap air akibat desakan angin menyebabkan

presipitasi. Presipitasiyang terjadi berupa hujan, salju, hujan es dan embun.

Setelah jatuh ke permukaan tanah, presipitasi akan menimbulkan limpasan permukaan (surface runoff)yang mengalir kembali ke laut. Dalam perjalanan menuju ke laut beberapa bagian masuk ke dalam tanah (infiltrasi) dan bergerak terus ke bawah (perkolasi)ke dalam daerah jenuh (saturated zone)

yang terdapat di bawah permukaan air tanah. Air di dalam daerah ini bergerak perlahan-lahan melewati aquifermasuk ke sungai kemudian ke laut. Air yang masuk ke dalam tanah memberi hidup kepada tumbuhan dan ada di antaranya naik lewat aquifer diserap akar, batang dan daun sehingga terjadi transpirasi. Transpirasi adalah penguapan pada tumbuhan melalui bagian bawah daun yaitu stomata.


(15)

Pemukaan tanah, sungai dan danau juga mengalami penguapan yang disebut

evaporasi. Jika kedua proses penguapan di atas terjadi bersamaan maka disebut evapotranspirasi. Akhirnya air yang tidak menguap ataupun mengalami infiltrasi tiba kembali ke laut lewat sungai. Air tanah

(groundwater)yang bergerak jauh lebih lambat keluar lewat alur-alur masuk ke sungai atau langsung merembes ke pantai. Maka seluruh siklus telah dijalani, kemudian akan berulang kembali, (Kurniawan 2009).

Daur hidrologi dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Siklus hidrologi

B. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai yang diartikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh pembatas topografi (topography divide) yang menangkap, menampung dan


(16)

8

mengalirkan air hujan ke suatu titik putusan (outlet)telah secara luas diterima sebagai satuan (unit) pengolahan sumber daya alam yang ada di dalam DAS (Tim IPB 2002).

Secara umum DAS merepresentasikan suatu daerah dimana hujan yang jatuh atau aliran permukaan yang terjadi di dalam daerah tersebut akan mengalir menuju outlet DAS. Dengan kata lain, hujan atau aliran permukaan yang terjadi di luar DAS yang bersangkutan, tidak akan memberikan kontribusi debit terhadap outlet DAS yang ditinjau tersebut. Batas DAS dapat ditentukan berdasarkan peta topografi, dimana secara umum limpasan bergerak dari lahan dengan elevasi tinggi menuju lahan dengan elevasi rendah, dengan arah pergerakan tegak lurus garis kontur elevasi. Karakteristik dasar DAS yang memiliki pengaruh terhadap besarnya limpasan antara lain adalah luas DAS, bentuk, panjang saluran, kemiringan, jenis tanah, dan jenis tutupan lahan.

Cakupan luas suatu DAS bervariasi mulai dari beberapa puluh meter persegi sampai dengan ratusan ribu hektar yang memiliki komponen-komponen masukan yaitu curah hujan, komponen output yaitu debit aliran dan polusi/sedimen, dan komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim dan topografi, sehingga Asdak (2002), menyatakan bahwa pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya tanah dan air.


(17)

C. Pemodelan Hidrologi

Pemodelan hidrologi merupakan representasi matematik dari aliran air dan unsur-unsur pokok lainnya, baik air yang di atas ataupun di bawah permukaan tanah (Maidment, 1991). Penggunaan teknik pemodelan dalam penelitian hidrologi saat ini terlihat sudah sangat berkembang. Penelitian hidrologi menurut Pawitan (1998) dapat diartikan sebagai pendekatan dalam mempelajari hal-ihwal air dan sumber daya air berdasarkan konsep daur hidrologi dalam suatu sistem DAS dengan komponen-komponen penyusun berupa sistem lahan, sumber daya air dan tanah, tanaman dan sistem sosial kemasyarakatan.

Perkembangan teknik pemodelan hidrologi DAS tersebut didukung oleh kemajuan teknologi instrumentasi, informasi dan komunikasi, seperti instrumentasi pengukuran, komputasi digital, manajemen data geografis, pengindraan jauh, komunikasi audio dan visual. Dengan melakukan kajian terhadap pemodelan hidrologi DAS, diharapkan dapat menyusun model hidrologi yang rasional, efektif, efisien yang mampu mengevaluasi dengan cepat serta mampu menduga dampak hidrologi dari perubahan-perubahan yang terjadi, baik alami maupun buatan manusia.

D. Sistem dan Model

Sebuah sistem adalah sekumpulan obyek yang bekerja dan berinteraksi bersama yang saling mendukung dari setiap bagian yang ada di dalamnya menuju satu akhir yang logis. Definisi dari sistem ini berdampak pada


(18)

10

sesuatu antara penyebab dan dampak/akibat, lebih dari sekedar suatu bagian A mempengaruhi bagian B terdapat pula dampak/implikasi bahwa bagian B juga mempengaruhi bagian A.

Sistem dapat dipelajari dengan pengamatan langsung atau pengamatan pada model dari sistem tersebut. Dengan kata lain, model adalah suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu (yang disepakati) dari suatu sistem nyata. Adapun sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan, sistem yang dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Dengan demikian, pemodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu.

Model matematika adalah sebuah model abstrak yang menggunakan bahasa matematis untuk menjelaskan perilaku dari sistem. Adapun yang dimaksud model abstrak atau sering disebut dengan istilah model konseptual adalah suatu bentuk teoritis yang mewakili sesuatu, yang diiringi oleh sekumpulan variabel serta sekumpulan hubungan logika dan hubungan kuantitatif diantara mereka. Ada beberapa pengelompokan dalam model matematika, yaitu : 1. Linear Vs Nonliniear

Model matematika biasanya terdiri dari variabel yang menjelaskan tentang hal-hal yang penting di dalam sebuah sistem, dan operator yang diberlakukan pada variabel-variabel tersebut, yang dapat saja berbentuk operator aljabar, fungsi, operator differensial, dan lain-lain. Sistem linear

biasanya menunjukkan sifat yang lebih sederhana, sedangkan sistem


(19)

superposisi. Sistem nonlinear berlaku sembarang dimana variabel yang disolusi tidak dapat ditulis sebagai jumlah linier komponen-komponen yang bebas (tidak gayut), merupakan sistem yang non homogen. Sistem

nonlinear sangat sedikit dipahami dibanding soal linear. Namun demikian sistem nonlinear dapat ditransformasi menuju sistem linear

sepanjang solusi khusus diketahui.

2. Deterministic Vs Stochastic (probabilistic)

Model deterministik adalah sebuah model yang setiap himpunan kondisi variabelnya ditentukan secara unik oleh parameter-parameter yang ada di dalam model dan dengan mengatur kondisi sebelumnya dari variabel-variabel tersebut, dengan kata lain variabel-variabelnya tidak acak atau sembarang. Dalam model tersebut, sebuah masukan yang diberikan akan selalu menghasilkan output yang sama. Sementara itu sebagai perbandingan, model stokastik menggunakan rentang nilai untuk variabel dalam bentuk distribusi probabilistic. Model probabilistic merupakan alat analisis statistik perkiraan, berdasarkan masa lalu (historis) data, probabilitas dari suatu peristiwa akan terjadi lagi.

3. Static Vs Dynamic

Model static tidak memperhitungkan faktor waktu, sedangkan model

dynamic sangat memperhitungkan waktu. Model dynamic biasanya diwakili oleh persamaan-persamaan diferensial. Dinamika merupakan isu utama dalam proses input output sebuah sistem. Dinamika telah digambarkan oleh persamaan diferensial.


(20)

12

4. Lumped Parameters Vs Distributed Parameters

Jika sebuah model adalah homogeneous (kondisinya tetap/konsisten di seluruh sistem) parameter-parameternya akan mengumpul. Model lumped parameter adalah penyederhanaan model matematika dari sistem fisik di mana variabel yang didistribusikan bidang spasial direpresentasikan sebagai tunggal bukan skalar. Sebaliknya, jika sebuah model

heterogeuneos(kondisinya bervariasi di seluruh sistem), maka parameter-parameternya akan tersebar dengan dimensi tak terbatas. Model distributed parameters ini biasanya diwakili oleh persamaan-persamaan differensial parsial atau dengan persamaan diferensial keterlambatan.

E. Hidrograf

Hidrograf dapat digambarkan sebagai penyajian grafis antara salah satu unsur aliran dengan waktu (Harto, 1993). Sedangkan hidrograf limpasan didefinisikan sebagai grafik yang kontinyu yang menunjukkan sifat-sifat dari aliran sungai berkaitan dengan waktu. Normalnya diperoleh dari garis pencatatan kontinyu yang mengindikasikan debit dengan waktu (Viessman et. al., 1989).

Hidrograf memberikan gambaran mengenai berbagai kondisi (karakteristik) yang ada di DAS secara bersama-sama, sehingga apabila karakteristik DAS berubah maka akan menyebabkan perubahan bentuk hidrograf (Sosrodarsono dan Takeda 1983). Hidrograf juga menunjukkan tanggapan menyeluruh DAS terhadap masukan tertentu. Sesuai dengan sifat dan perilaku DAS yang


(21)

bersangkutan, hidrograf aliran selalu berubah sesuai dengan besaran dan waktu terjadinya masukan (Harto 1993).

(Linsley et. al., 1982) menyatakan terdapat 3 komponen penyusun hidrograf, yaitu :

1. Aliran diatas tanah (overland flow/surface runoff), yaitu air yang dalam perjalanannya menuju saluran melalui permukaan tanah.

2. Aliran bawah permukaan (interflow/subsurface storm flow), ialah sebagian air yang memasuki permukaan tanah dan bergerak ke samping melauli lapisan atas tanah sampai saluran sungai. Kecepatan pergerakan aliran bawah permukaan ini lebih lambat dibandingkan dengan aliran permukaaan.

3. Aliran air tanah (groundwater flow)yang disebut sebagai aliran dasar.

Sedangkan Viessman et. al. (1989) menambahkan satu komponen lagi sebagai penyusun hidrograf. Sehingga menurutnya komponen hidrograf terdiri dari :

1. Aliran permukaan langsung 2. Aliran antara (inter flow)

3. Air tanah atau dasar aliran

4. Presipitasi di saluran air (channel precipitation)

Wilson (1990) mengemukakan bahwa mula-mula yang ada hanya aliran dasar yaitu aliran yang berasal dari tanah dan akuifer-akuifer yang berbatasan dengan sungai sang mengalir terus menerus secara perlahan-lahan sepanjang waktu. Segera setelah hujan mulai turun, terdapat suatu periode awal dari


(22)

14

intersepsi dan infiltrasi sebelum setiap limpasan terukur mencapai aliran sungai/anak sungai dan selama periode turunnya hujan kehilangan tersebut akan terus berlangsung tetapi dalam jumlah yang semakin kecil. Apabila kehilangan awal telah terpenuhi, maka limpasan permukaan akan terjadi dan akan berlanjut terus hingga suatu nilai puncak yang terjadi pada waktu puncak. Kemudian limpasan permukaan akan turun sepanjang sisi turun

(recession limb)sampai hilang sama sekali. 1. Bentuk Hidrograf

Bentuk hidrograf pada umumnya dapat sangat dipengaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sifat DAS yang lain (Harto 1993, Viessman et. al., 1989). Seyhan (1977) mengemukakan bahwa hidrograf periode pendek terdiri atas cabang naik, puncak (maksimum) dan cabang turun. Sedangkan untuk hidrograf jangka panjang dibedakan menjadi 3 yaitu hidrograf bergigi, hidrograf halus dan hidrograf yang ditunjukkan oleh sungai-sungai besar (Ward 1967, dalam Seyhan 1977). Perbedaan antara jangka pendek dan jangka panjang tersebut tergantung pada panjang waktu dari tujuan pengamatan yang dilakukan (Kobatake, 2000).

Seyhan (1977), Viessman et. al., (1989) dan Harto (1993) membagi hidrograf menjadi 3 bagian yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest)

dan sisi resesi (recession limb). Oleh sebab itu bentuk hidrograf dapat ditandai dari tiga sifat pokoknya, yaitu waktu naik (time of rise), debit puncak (peak discharge)dan waktu dasar (base time).Waktu naik adalah waktu yang diukur dari saat hidrograf mulai naik sampai terjadinya debit


(23)

puncak. Debit puncak (Qp) adalah debit maksimum yang terjadi dalam kejadian hujan tertentu. Waktu dasar (Tb) adalah waktu yang diukur saat hidrograf mulai naik sampai waktu dimana debit kembali pada suatu besaran yang ditetapkan (Harto, 1993).

Karakter kontribusi air tanah pada aliran banjir sangat berbeda dari limpasan permukaan, maka kontribusi air tanah harus dianalisis secara terpisah, dan oleh karenanya salah satu syarat utama dalam analisis hidrograf ialah memisahkan kedua hal tersebut (Wilson, 1990).

Gambar 2. Bentuk hidrograf

2. Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan merupakan hidrograf limpasan langsung (direct runoff hydrograph) yang dihasilkan oleh hujan efektif yang terjadi merata di seluruh DAS dan intensitas tetap dalam satuan waktu yang ditetapkan (Sherman, 1932, dalam Harto, 1993). Soemarto (1987) mengemukakan 4 dalil dalam teori klasik tentang hidrograf satuan, yang menganggap bahwa teori hidrograf satuan merupakan penerapan dari teori sistem


(24)

16

linier dalam bidang hidrologi. Keempat asumsi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Dalil I (prinsip merata), yaitu hidrograf satuan ditimbulkan oleh satu satuan hujan lebih yang terjadi merata di seluruh DAS, selama waktu yang ditetapkan.

b. Dalil II (prinsip waktu dasar konstan), yaitu dalam suatu DAS, hidrograf satuan dihasilkan oleh hujan-hujan efektif dalam waktu yang sama akan mempunyai waktu dasar yang sama, tanpa melihat intensitas hujannya (Gambar 3).

c. Dalil III (prinsip linearitas), yaitu besarnya limpasan langsung pada suatu DAS berbanding lurus terhadap tebal hujan efektif, yang berlaku bagi semua hujan dengan waktu yang sama (Gambar 3). d. Dalil IV (prinsip superposisi), yaitu total hidrograf limpasan

langsung yang disebabkan oleh beberapa kejadian hujan yang terpisah merupakan penjumlahan dari tiap-tiap hidrograf satuan (Gambar 4).

Gambar 3. Hidrograf satuan bebas terhadap waktu dan limpasannya berbanding lurus dengan tebal hujan efektif (Soemarto 1987)


(25)

Gambar 4. Hidrograf satuan memenuhi prinsip superposisi (Soemarto 1987)

Maka DAS dipandang sebagai blok yang sistemnya ditandai oleh respon Qinputtertentu, sebagai berikut :

a. Inputnyata, yaitu hujan efektif

b. Proses merupakan kombinasi dari karakteristik hujan seperti : tipe, intensitas, durasi dan distribusi hujan, defisit kelembaban tanah, kondisi iklim serta karakteristik DAS seperti : ukuran DAS, bentuk DAS, Elevasi DAS, rerata kemiringan sungai, kerapatan sungai, kerapatan drainase, susunan sistem sungai, jenis tanah, jenis vegetasi penutup.

c. Response (out put)yaitu setiap DAS mempunyai karakteristik hujan dan kondisi fisik yang berbeda, sehingga setiap hidrograf di setiap DAS, mempunyai komponen hidrograf yang berbeda.


(26)

18

Gambar 5. Sistem hidrograf satuan

Komponen hidrograf itu sendiri terdiri dari :

1. Aliran dasar (base flow) merupakan debit minimum yang masih terjadi karena adanya aliran yang keluar (out flow).

2. Rissing Limbmerupakan hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan mengalami proses kehilangan air akibat intersepsi, infiltrasi, dan kemudian sisanya menjadi limpasan air permukaan (surface run-off). Limpasan air menuju ke sungai dan tinggi muka air mulai bergerak naik sampai debit puncak (Qp), disebut “Rissing Limb” atau kurva yang menggambarkan naiknya debit aliran permukaan sejak awal pengaruh hujan sampai dengan terjadinya debit puncak.

3. Recession Limbdilakukansetelah debit puncak tercapai, selanjutnya grafik debit mulai menurun, disebut “Recession Limb” atau kurva yang menggambarkan turunnya debit aliran permukaan sejak tercapainya puncak sampai dengan akhir pengaruh hujan.

4. Inflection Point dianalisis setelah debitnya menurun, mulailah penarikan tampungan dari tanah karena kontribusi “Surface run-off” ke kontribusi “Ground water run-off”.


(27)

5. Time Lag/Basin Lag adalah waktu yang diukur dari pusat

hyeterograf (pertengahan terjadinya hujan) sampai dengan puncak hidrograf.

F. Hidrograf Satuan Sintesis

Hidrograf Satuan Sintetis adalah hidrograf yang di dasarkan atas sintetis parameter-parameter daerah aliran sungai (Sutapa, 2005). Seyhan (1977) mengemukakan bahwa beberapa parameter fisik DAS berperan dalam menentukan bentuk hidrograf satuan selain karakteristik hujan. Parameter fisik DAS tersebut adalah luas DAS, kemiringan, panjang sungai. Parameter-parameter fisik DAS itulah yang akan dipergunakan untuk menetapkan besarnya hidrograf satuan dari DAS yang bersangkutan dengan metode hidrograf satuan sintesis.

Keuntungan dari penggunaan hidrograf sintesis adalah bisa mensintesasikan hidrograf dari DAS yang terukur dan menggunakannya untuk DAS yang tidak terukur (Seyhan, 1977). Kelemahan dari hidrograf satuan sintesis adalah karena persamaan hidrograf satuan sintesis dibuat secara empiris dengan data yang diperoleh pada tempat-tempat lokal, persamaan tersebut terbatas pada kawasan dengan kondisi geografis yang serupa dengan kawasan dimana persamaan tersebut diperoleh (Seyhan 1977, Harto 1993). Metode hidrograf satuan sintesis yang saat ini umum digunakan di Indonesia antara lain adalah metode Snyder-SCS, Nakayasu, GAMA-1.


(28)

20

1. Hidrograf Satuan Sintesis Snyder

Snyder beranggapan bahwa karkteristik DAS yang mempunyai pengaruh terhadap hidrograf satuan sintesis adalah luas DAS, bentuk DAS, topografi, kemiringan saluran, kerapatan sungai dan daya tampung saluran. Persamaan-persamaan yang diturunkan menggunakan metode Snyder (Seyhan 1977, et al. 1982, Veissman et al. 1982, Harto 1993), adalah :

0.3 1

t = Ct (L Lc) (2.1)

1 tr = 5.5 t (2.2)

1 640

Qp = Cp A

t

 

(2.3)

1 T = 3+

8 t

(2.4)

1 1 1

t

R

= t + 0.25 (t

R

t

)

(2.5)

Diketahui:

t1 = Time lagatau waktu capai puncak dari pusat hujan (jam) Ct = Tetapan yang berkisar antara 0.7 – 1.0

L = Panjang sungai utama (km)

Lc = Panjang sungai diukur sampai titik terdekat dengan titik berat DAS (km)

tr = Lama hujan lebih (jam)

Cp = Tetapan berkisar antara 0.35 – 0.5

t1R = Waktu capai puncak bila lama hujan tidak sama dengan tr A = Luas DAS (km2)


(29)

Qp = Debit puncak (m3/detik) 2. Hidrograf Satuan Sintesis US SCS

US SCS mengembangkan rumus dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik DAS. Hidrograf satuan model US SCS terdiri dari 4 variabel pokok yaitu tL (time lag),Qp (m3/detik), Tp (jam), dan Tb (jam).

Persamaan-persamaan yang dikembangkan dari model ini adalah sebagai berikut (Wanielista dkk,1997) :

a. Persamaan time lag(tL)

0.7 0.8

0.5 1 t =

1900

L

L S

Y

 

 (2.6)

Diketahui:

tL = Waktu tenggang (time lag) antara terjadinya hujan lebih sampai terjadinya aliran puncak (jam)

L = Panjang sungai utama (km)

S = Retensi maksimum (cm), S = 1000/CN – 10

CN = Bilangan kurva (curve number), yaitu suatu indeks yang menyatakan pengaruh bersama tanah, penggunaan tanah, perlakuan terhadap tanah pertanian, keadaan hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya


(30)

22

b. Persamaan time to peak (Tp)

= 2

P L

D

Tt (2.7)

Diketahui:

Tp = Waktu yang diperlukan untuk mencapai laju aliran puncak (jam)

tL = Waktu tenggang (time lag) antara terjadinya hujan lebih sampai terjadinya aliran puncak (jam)

c. Persamaan peak discharge(Qp) 484 = P P A Q T  (2.8) Diketahui:

Qp = Debit puncak/laju puncak aliran permukaan (m3/detik) Tp = Waktu yang diperlukan untuk mencapai laju aliran puncak

(jam)

A = Luas DAS (km2) d. Persamaan time base (Tb)

= 2,67 T

b p

T  (2.9)

Diketahui:

Tb = Waktu dasar (jam)

Tp = Waktu yang diperlukan untuk mencapai laju aliran puncak (jam)

Pada penggambaran kurva hidrograf satuan sintesis, sering pula DAS kecil diambil nilai Tb=3~5 Tp


(31)

Gambar 6. Bentuk hidrograf satuan sintesis US SCS

3. Hidrograf Satuan Sintesis Nakayasu

Nakayasu telah menyelidiki unit hidrograf pada beberapa sungai di Jepang. Hasil penelitian dirumuskan dengan persamaan dan tahapan perhitungan sebagai berikut :

a. Data yang ada untuk diproses R24 dalam mm, panjang sungai (L) dalam km dan catchment area(A) dalam km2.

b. Curah hujan efektif tiap jam (hourly of distribution of effective rainfall).

1) Rata-rata hujan dari awal hingga jam ke-T 3

/ 2 24 24 24 

    

T R

Rt (2.10)

Diketahui:

Rt = Rerata hujan dari awal sampai jam ke-t (mm/jam) T = Waktu hujan sampai jam ke-t

R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam

2) Distribusi hujan pada jam ke-T

 

1.  -1 .Rt t Rt

t


(32)

24

Diketahui:

Rt = Intensitas curah hujan pada jam t (mm/jam) R(t-1) = Rerata curah hujan dari awal sampai jam ke (t-1)

3) Hujan Efektif

Re = f . Rt (2.12)

Keterangan :

Re = Hujan efektif

F = Koefisien pengaliran sungai (limpasan langsung atau curah hujan)

Rt = intensitas curah hujan (mm/jam)

Nilai koefisien pengaliran dicantumkan pada Tabel 1 (Tabel Mononobe). Harga f yang berbeda-beda umumnya disebabkan oleh topografi DAS dan perbedaan penggunaan tanah.

Tabel 1. Nilai koefisien limpasan (koefisien pengaliran)

c. Menetukan Tp, T0,3, dan Qp


(33)

Tr= 0,5 Tgs/d Tg (2.14)

Tg= 0,4 + 0,58 L , untuk L > 15 km (2.15)

Tg= 0,21 . L 0,7

, untuk L < 15 km (2.16)

T0,3= α . Tg, dimana α= 1,5 – 3 (2.17)

0,3 0,3

6 , 3 . . T T R A C Qp p   (2.18)

Tb= Tp+ T0,3+1,5 T0,3+ 2 T0,3 (2.19)

Diketahui:

Qp = Debit puncak banjir (m3/detik) C = Koefisien pengaliran

A = Luas daerah pengaliran sungai (km2) Ro = Hujan satuan, 1 mm

Tp = Waktu puncak (jam) α = Nilai Konstanta (1,5 – 3)

α= 2 untuk daerah pengaliran biasa

α= 1,5 bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat

α= 3 bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat

T0,3 = Waktu yang diperlukan untuk penurunan debit, dari debit puncak menjadi 30 % dari debit puncak (jam)


(34)

26

TP TO.3 1,5 TO.3

QP

0,3 QP 0,32 QP

0,8 tr tg

lengkung naik lengkung turun tr

i

t

Q

Tg = Waktu konsentrasi (time lag) dalam jam, ditentukan berdasarkan L

Tb = Time Base

d. Menetukan keadaan kurva sebagai berikut

Gambar 7. Sketsa perhitungan hidrograf satuan sintesis Nakayasu

1) Keadaan kurva naik, dengan 0 < t < Tp

2,4 t Qt Qp Tp   

  (2.20)

2) Keadaan kurva turun dengan Tp< t < Tp+ T0,3

0,3 .0, 3 t Tp T Qr Qp           (2.21)

3) Keadaan kurva turun dengan Tp+ T0,3 < t < Tp+ T0,3 + 1,5T0,3

0,3 0,3 0,5. 1,5. .0,3

t Tp T

T Qt Qp            (2.22)

4) Keadaan kurva turun dengan t > Tp+ T0,3+ 1,5T0,3

0 ,3 0,3 1,5. 2 .0,3

t Tp T

T Qt Qp           (2.23)


(35)

Selanjutnya hubungan antara t dan Q/Ro untuk setiap kondisi kurva dapat digambarkan melalui grafik.

e. Banjir Rencana (Flood Design)

Dihitung dengan prinsip superposisi ;

Q1= Re1.U1 (2.24)

Q2= Re1.U2+ Re2.U1 (2.25)

Q3= Re1.U3+ Re2.U2+ Re3.U1 (2.26)

Qn= Re1.Un+ Re2.U(n-1)+ Re3.U(n-2)…. + Re(n)U1 (2.27)

f. Aliran Dasar (Base Flow)

Aliran dasar dapat didekati sebagai fungsi luas DPS dan kerapatan jaringan sungai (Dd).

A L

Dd = (2.28)

Qb = 0,475 . A0,6444.D0,9435 (2.29)

Diketahui:

Dd = Kerapatan jaringan sungai (km/km2) L = Panjang tebal sungai (km)

A = Luas DAS (km2) Qb = Aliran dasar (m3/detik)

Rumusan tersebut di atas merupakan rumusan empiris sehingga sebelum menerapkan rumus tersebut pada suatu daerah sungai perlu dilakukan


(36)

28

agar didapatkan suatu pola hidrograf yang sesuai dengan hidrograf banjir pengamatan (observed hydrograph).

3.1 Beberapa Penelitian di Indonesia Menggunakan HSS Nakayasu Untuk memperkirakan besarnya debit banjir rancangan dalam suatu DAS di Indonesia sering digunakan HSS Nakayasu, berikut ini beberapa penelitian yang menggunakan HSS Nakayasu :

1. Kajian Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Untuk Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Daerah Aliran Sungai Kodina Provinsi Sulawesi Tengah oleh Sutapa (2007) dengan kesimpulan HSS Nakayasu kurang tepat digunakan pada DAS Kodina sehingga perlu modifikasi parameter dan melakukan validasi menggunakan data tinggi muka air sebagai acuan untuk melakukan pemodelan di DAS yang tidak mempunyai AWLR di Provinsi Sulawesi Tengah.

2. Modifikasi Persamaan Hidrograf Satuan Sintetis Metoda Nakayasu Terhadap Hidrograf Satuan Observasi DAS Ciliwung Hulu Provinsi Jawa Barat oleh Agus (2007) dengan kesimpulan persamaan HSS Nakayasu tidak dapat langsung digunakan antara satu DAS dengan DAS lain sehingga perlu modifikasi HSS untuk mendapat persamaan dari beberapa DAS.

3. Analisis Banjir Rancangan Dengan Metode HSS Nakayasu Pada Bendungan Gintung, oleh Sitohang, dkk. (2011) dengan kesimpulan perhitungan debit banjir dengan Metode Nakayasu untuk perencanaan bangunan air karena diagram HSS Nakayasu memberikan gambaran mengenai debit awal hujan, saat banjir dan berakhir banjir.


(37)

4. Hidrograf Satuan Sintesis Gama I

Untuk kasus di Indonesia, (Harto, 1993) menggunakan metode penentuan hidrograf satuan sintesis yang dikembangkan berdasarkan hasil penelitian terhadap 30 DAS di Pulau Jawa didapat parameter DAS.

Parameter DAS yang diperlukan dalam membuat hubungan antara pengalihragaman hujan menjadi debit adalah :

a. Faktor-sumber (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai-sungai semua tingkat.

Penetapan tingkat-tingkat sungai dilakukan dengan Metode Strahler yaitu :

1) Sungai-sungai paling ujung adalah sungai tingkat satu.

2) Apabila dua buah sungai dengan tingkat yang sama bertemu akan terbentuk sungai satu tingkat lebih tinggi.

3) Apabila sebuah sungai dengan suatu tingkat bertemu dengan sungai lain dengan tingkat yang lebih rendah maka tingkat sungai pertama tidak berubah.

Gambar 8. Penetapan tingkatan-tingkatan sungai menurut Strahler

b. Frekuensi sumber (SN) yaitu perbandingan antara jumlah orde sungai tingkat satu dengan jumlah orde sungai-sungai semua tingkat.


(38)

30

c. Faktor lebar (WF) yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur pada titik di sungai yang berjarak 0.75 L dengan lebar DAS yang diukur pada titik di sungai yang berjarak 0.25 L dari stasiun hidrometri (Gambar 9).

d. Rasio luas DAS bagian hulu atau Relatif Upper Area (RUA) adalah perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS di sungai, melewati titik tersebut (Au) dengan luas total DAS (A) (Gambar 10).

e. Faktor-simetri (SIM) yaitu hasil kali antara faktor-lebar (WF) dengan luas DAS bagianhulu (RUA).

Gambar 9. Penentuan faktor lebar DAS


(39)

f. Jumlah pertemuan sungai (JN) adalah jumlah semua pertemuan sungai di dalam DAS tersebut. Jumlah ini tidak lain adalah jumlah orde sungai tingkat satu dikurangi satu.

g. Kerapatan jaringan drainase (D) yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS.

h. Kemiringan rata-rata DAS/Slope (S) yaitu perbandingan selisih antara ketinggian titik tertinggi dan ketinggian titik keluaran (outlet)

pada sungai utama, dengan panjang sungai utama yang terletak pada kedua titik tersebut.

i. Panjang sungai utama (L) yaitu panjang sungai utama yang diukur mulai dari outlet sampai ke hulu.

j. Luas total DAS (A).

Komponen HSS Gama I terdiri dari 4(empat) variable pokok, yaitu: waktu naik atau time to rise (TR), debit-puncak/peak-discarge (Qp), waktu dasar atau time to base (TB), dan koefisien tampungan (K), dengan persamaan-persamaan (Sri Harto 1993) sebagai berikut :

3

0.43 1.0665 1.2775

100 L

TR SIM

SF

 

 

  (2.30)

0.5886 0.4008 0.2381

0.1836

Qp

A

TR

JN

(2.31)

0.1475 0.0986 0.7344 0.2754

27.4132


(40)

32

Sedangkan untuk koefisien tampungan dipergunakan untuk menetapkan kurva resesi hidrograf satuan sintesis yang didekati dengan persamaan berikut :

0.1798 0.1446 1.0897 0.0452

0.5617

KA SSFD (2.33)

Sesi resesi dinyatakan dalam bentuk persamaan eksponensial sebagai berikut :

t k

Qt Qpe

 (2.34)

Diketahui :

Qt = Debit dihitung pada waktu t jam setelah Qp (m3/detik)

Qp = Debit puncak (dengan waktu pada saat debit puncak dianggap t = 0 (m3/detik)

K = Koefisien tampungan

Harto (2000b) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian yang pernah dilakukan selama ini, model Nakayasu juga cukup baik untuk dipergunakan di Indonesia meskipun memerlukan koreksi. Apabila karena suatu alasan model HSS Gama I tidak dapat dipergunakan, maka disarankan untuk menggunakan model Nakayasu dengan koreksi untuk waktu capai puncak (time to peak) dikalikan dengan 0.75 dan debit puncak dikalikan dengan 1.25.


(41)

G. Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Model Hidrologi

Secara harfiah SIG dapat diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang diperlakukan untuk mengelola data dan menampilkannya dalam suatu sistem informasi. Pengertian mengelola disini didalamnya terdapat beberapa proses yaitu : mengambil, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, memanipulasi, mengintegarsikan dan menganalisa.

Perbedaan GIS dengan sistem informasi yang lain adalah kemampuannya dalam melakukan penggabungan data spasial dan menganalisis data/informasi dengan menggunakan sistem pengelola basis data. Kunci dari GIS adalah penanganan dan analisis data berdasarkan lokasi geografis. Secara umum, sistem kerja GIS berdasarkan integrasi 4 komponen, yaitu : hardware,

software, manajemen data dan pengguna atau user. 1. Tahap Proses SIG

Ruang ruang lingkup proses yang dilakukan pada GIS, yaitu : a. Input data

Merupakan tahap awal meliputi pengumpulan data dari berbagai sumber data geografis dan mengubahnya menjadi format digital. Sumber data geografis tersebut antara lain :

1) Peta analog (lembar peta cetak)

2) Citra penginderaan jauh (citra foto udara, citra satelit) 3) Data GPS


(42)

34

b. Proses analisis data spasial

Setelah data dikumpulkan, tahapan selanjutnya adalah data diolah dan dianalisis untuk memberikan pola dan hasil yang diharapkan. Analisis SIG merupakan salah satu hal yang membedakan SIG dengan sistim informasi lainnya. Proses analisis ini dapat menggunakan data spasial dan non-spasial.

Proses analisis yang dapat dilakukan antara lain :

1) Queryspasial atau non-spasial. merupakan cara pemilihan obyek secara spasial maupun secara non-spasial menggunakan kondisi logika.

2) Klasifikasi merupakan proses mengklasifikasikan kembali suatu data spasial atau non-spasial menjadi data spasial baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Contoh dari fungsi klasifikasi adalah dissolve, yaitu penyederhanaan klasifikasi.

3) Overlay. Mempunyai fungsi menggabungan dua atau lebih informasi (layer)yang biasanya menghasilkan informasi (layer)

baru. Prinsip dari overlayadalah menggabungkan dua atau lebih layer dalam area yang sama.

4) Output atau visualisasi data. Setelah data diolah dan di analisia, tahap selanjutnya adalah membuat tampilan data. Tampilan GIS berupa peta, tabel atau deskripsi. Peta merupakan cara komunikasi grafis dari pembuat peta mengenai aspek spasial permukaan bumi, baik dalam ukuran kecil atau pun seluruh permukaan bumi.


(43)

Persyaratan peta, yaitu mempunyai georeference, mempunyai skala, mempunyai orientasi, terdapat informasi sumber data, mengikuti desain kartografi dan mempunyai simbol peta.

SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya didalam satuan-satuan yang disebut dengan layer. Kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basis data SIG. Dengan demikian, dalam perancangan basis data merupakan hal yang esensial didalam SIG.

2. Jenis Data Dalam SIG

Format data yang diolah dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan topologi featurenya, dapat berupa data spasial dan data non spasial dalam bentuk digital. Dengan demikian analisis yang dapat dilakukan adalah analisis data spasial dan analisis data atribut.

a. Data Spasial

Data spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian

(georeference). Setiap bagian dari data tersebut selain memberikan gambaran tentang fenomena alam, juga selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga penyebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang. Data spasial sering di visualisasikan dalam bentuk peta dengan mengikuti kaidah-kaidah kartografis antara lain dalam penyusunan tata letak (layout) suatu peta.

Data spasial mempunyai dua komponen penting yang membuatnya beda dengan data dari sistem informasi lainnya, yaitu :


(44)

36

1) Informasi lokasi atau informasi spasial, seperti data koordinat (lintang, bujur atau nerth, east), informasi datum dan informasi sistem proyeksi.

2) Informasi atribut atau informasi non-spasial.

Dalam SIG, struktur data spasial suatu obyek dapat direpresentasikan dalam 2 format data, yaitu :

1) Format Vektor data. dalam data vektor, obyek yang ada dimuka bumi direpresentasikan sebagai titik, garis dan polygon.

2) Format Raster data atau disebut juga sebagai “sel-grid”. yaitu data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh (remote sensing). Pada data raster, sebuah obyek dimuka bumi direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut juga sebagai pixel (picture element). Pada data raster, resolusi tergantung pada ukuran pixel nya. Dengan kata lain, resolusi

pixel menggambarkan ukuran sebenarnya dimuka bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada citra. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file, artinya semakin tinggi resolusi gridnya, semakin besar pula ukuran filenya.

Masing-masing format data spasial mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga pemilihan format data yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuannya, ketersediaan datanya, ketelitian informasi yang diinginkan serta kemudahan dalam melakukan analisa data. Penggunaan data vector relativelebih ekonomis dalam ukuran (volume) file dan lebih presisi dalam informasi, sebaliknya


(45)

data raster biasanya membutuhkan ruang penyimpanan file (hard disk) yang lebih besar dan presesi lokasinya lebih rendah.

b. Data Non Spasial

Bagian penting dari SIG adalah pengetahuan tentang data base atau dalam SIG disebut sebagai data atribut tabel. Dalam SIG, data non spasial biasa disebut sebagai data atribut atau data deskriptif adalah data yang berisi keterangan atau penjelasan terhadap data spasialnya. Atribut digunakan sebagai identitas dari keseluruhan fitur geografi. Secara umum atribut data mempunyai aspek deskripsi kuantitatif maupun kualitatif.

Data atribut berbentuk table, sehingga lazim pula disebut table atribut. Tabee atribut memiliki kolom (field) dan baris (record),

dengan format data yang digunakan adalah dbase file (dbf) dan atau txt. Database relasional sering digunakan dalam SIG untuk mengatur

file tabular yang terdiri dari beberapa table ini. Sehingga dua atau lebih table dihubungkan oleh element yang sama bisa digabung menjadi tableyang baru.

c. Hubungan Antara Data Spasial dan Data Non Spasial

Salah satu keunggulan SIG ini adalah mengintegrasikan data spasial dengan data atribut. Terdapat hubungan antara data spasial dan data atribut mealui beberapa fitur obyek, baik sebagai point (titik), garis

(line)maupun area (polygon).Sehingga apabila kita membuat suatu obyek spasial dalam software GIS, maka obyek tersebut pasti mempunyai data atributnya.


(46)

38

Definisi table atribut adalah kumpulan data yang berhubungan dengan topik atau tema tertentu. Tabel mengorganisasikan data ke dalam kolom-kolom (field) data baris-baris (record). Field

merupakan tempat dimana data atau informasi dalam kelompok yang sama atau sejenis dimasukkan. Field pada umumnya tersimpan dalam bentuk kolom secara vertikal pada tabel. Record merupakan data lengkap dalam jumlah tunggal yang biasanya tersimpan dalam bentuk baris secara horizontalpada tabel.

3. Format Data Dalam SIG

Perangkat lunak yang sering atau umum digunakan, mempunyai dua format data, yaitu format esri shapefile (.shp) dan format map info file

(.tab)

4. SIG Dalam Bidang Hidrologi

Salah satu ekstensi dalam SIG yang sering digunakan dalam mengolah data dan informasi spasial untuk bidang hidrologi dan geomorfologi yaitu

Hydrology Model. Dapat menggunakan tools hydrology model yang terdapat pada salah satu ektensi Spatial Analyst di dalam SIG.

Kemampuan model hydrologi SIG, yaitu: membuat DEM, pembuatan DAS, pembuat informasi spasial aliran air, menghitung akumulasi aliran, membuat jaringan sungai beserta informasi ordonya secara otomatis. Data yang dibutuhkan untuk membuat model hidrologi ini hanya data ketinggian yang kemudian diolah menjadi DEM. Data raster DEM tersebutlah yang menjadi data dasar dalam mengolah model hidrologi tersebut. Yang paling mengesankan dari model hidrologi ini adalah pada


(47)

saat menggunakan interactive tools,dimana saat usermenggunakan rain drop atau menu untuk menentukan lokasi jatuhnya hujan, maka secara otomatis SIG akan menginformasikan ke mana aliran dari air hujan tersebut akan mengalir.

H. Profil Kota Bandar Lampung

Kota Bandar Lampung merupakan sebuah kota sekaligus ibu kota Provinsi Lampung. Secara geografis, kota ini menjadi pintu gerbang utama pulau Sumatera, karena letaknya yaitu kurang lebih 165 km sebelah barat laut Jakarta, yang memiliki andil penting dalam jalur transportasi darat dan aktivitas pendistribusian logistik dari Pulau Jawa menuju Pulau Sumatera maupun sebaliknya.

1. Gambaran Umum Wilayah

Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197,22 km² yang terbagi ke dalam 20 Kecamatan dan 126 Kelurahan dengan populasi penduduk 879.651 jiwa (berdasarkan sensus 2010), kepadatan penduduk sekitar 8.142 jiwa/km² dan diproyeksikan pertumbuhan penduduk mencapai 1,8 juta jiwa pada tahun 2030. Saat ini kota Bandar Lampung merupakan pusat pendidikan dan kebudayaan serta perekonomian di Provinsi Lampung. Kota Bandar Lampung memiliki letak yang strategis karena merupakan daerah transit kegiatan perekonomian antar Pulau Sumatra dan Pulau Jawa sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan Kota Bandar Lampung.


(48)

40

2. Kondisi Geografis

Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada 50 20’ sampai dengan 50 30’ Lintang Selatan dan 1050 28’ sampai dengan 1050 37’ Bujur Timur. Bandar Lampung terletak pada Teluk Lampung di ujung selatan Pulau Sumatera.

3. Kondisi Topografi dan Kelerengan

Topografi Kota Bandar Lampung sangatlah beragam, mulai dari dataran pantai sampai kawasan bukit hingga gunung, dengan ketinggian permukaan antara 0 - 500 m. Daerah dengan topografi perbukitan hingga bergunung membentang dari arah Barat ke Timur dengan puncak tertinggi pada Gunung Betung sebelah Barat dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok disebelah Timur.

Topografi tiap-tiap wilayah di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut :

a. Wilayah pantai terdapat di sekitar Teluk Betung, Panjang dan pulau di bagian Selatan.

b. Wilayah landai/dataran terdapat di sekitar Kedaton dan Sukarame di bagian Utara.

c. Wilayah perbukitan terdapat di sekitar Teluk Betung bagian Utara. d. Wilayah dataran tinggi dan sedikit bergunung terdapat di sekitar

Tanjung Karang bagian Barat yaitu wilayah Gunung Betung, dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok dibagian Timur. Kondisi kelerengan Kota Bandar Lampung juga sangat beragam, kondisi geografis wilayah yang berbukit serta berada di kaki Gunung Betung


(49)

merupakan faktor pembentuk kelerengan di Kota Bandar Lampung. Tingkat kemiringan lereng rata-rata wilayah di Kota Bandar Lampung berada pada kisaran 0 – 20% dan secara umum kelerengan wilayah Kota Bandar Lampung berada pada 0 – 40%, wilayah yang memiliki kemiringan lereng 0% di antaranya berada di wilayah Kecamatan Sukarame, Tanjung Karang Pusat, Tanjung Seneng, Panjang, Teluk Betung Selatan dan Kecamatan Kedaton. Adapun wilayah yang memiliki tingkat kemiringan lereng mencapai 40% di antaranya adalah Kecamatan Panjang, Teluk Betung Barat, Kemiling, dan Tanjung Karang Timur.


(50)

42

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di DAS Bandar Lampung, secara hidrologis DAS Bandar Lampung terdiri dari 14 buah DAS yaitu ; DAS Way Simpur, DAS Way Garuntang, DAS Way Simpang Kanan, DAS Way Simpang Kiri, DAS Way Kuripan, DAS Way Kupang, DAS Way Kunyit, DAS Way Lunik 1, DAS Way Lunik 2, DAS Way Galih, DAS Way Betung, DAS Way Keteguhan, DAS Way Sukamaju, Das Way Gebang dapat dilihat pada Gambar 11.

B. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Tahapan dalam pelaksanaan penelitian Distributed Hydrologic Model pada DAS di Bandar Lampung terdiri dalam 2 bagian yaitu :

I. Analisis Data Spasial II. Analisis Hidrologi


(51)

(52)

44

C. Analisis Data Spasial

Analisis data spasial bertujuan untuk mengolah peta-peta dasar yang dimiliki untuk membentuk Sub DAS terkecil di Kota Bandar Lampung dan karakter -karakternya. Analisis spasial ini di bantu dengan beberapa perangkat lunak serta software.Adapun tahapan analisis data spasial adalah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data spasial

a. Pada penelitian ini untuk memperoleh data DEM Bandar Lampung bisa di download/ unduh secara gratis di internet melalui situs : http://srtm.csi.cgiar.org/SELECTION/inputCoord.asp.

Website tersebut menyediakan data DEM yang disebut GDEM

(Global Digital Elevation Model) mempunyai resolusi spasial yang cukup bagus sebesar 30 m.

b. Peta analog RTRW tutupan lahan kota Bandar Lampung (2010 -2030).

2. Mengenerate DEM Bandar Lampung menggunakan Software Global Mapper V.13.

3. Editing hasil generate DAS Bandar Lampung menggunakan Software AutoCad MAP.

4. Mengedit hasil generateDAS Bandar Lampung kemudian di exportdan disimpan kedalam format .*shp menggunakan Software Sistem Informasi Geografis.

5. Menyempurnakan peta DAS melalui proses digitasi on screen


(53)

6. Mendapatkan hasil digitasi neighbour, cascadedan overlay Layerpada DAS Bandar Lampung sampai dengan DAS terkecil menggunakan

SoftwareSistem Informasi Geografis.

7. Mendapatkan hasil karakter DAS berupa data luas setiap Sub DAS Bandar Lampung, panjang setiap sungai, jumlah sungai, koefisien pengaliran DAS. Data ini digunakan untuk menghitung HSS Nakayasu.

D. Analisa Hidrologi

Analisa hidrologi menggunakan metode HSS Nakayasu berdasarkan parameter fisik DAS yaitu luas DAS, panjang sungai, kemiringan lereng dan lain-lain. Parameter-parameter fisik DAS itulah yang akan dipergunakan untuk menetapkan besarnya hidrograf satuan sintesis.

Metodologi penelitian untuk setiap proses kegiatan diatas diperlihatkan pada bagan alir pada Gambar 12.


(54)

46

Mulai

Kesimpulan Analisis

Data Spasial

Data Spasial :

1. Download Data DEM Bandar Lampung 2. Peta Analog RTRW Tutupan Lahan Kota Bandar Lampung (2010-2030) GenerateDEM Bandar Lampung Software Global Mapper V.13 Editing Hasil GenerateDAS Bandar Lampung Software AutoCad MAP Editing Hasil GenerateDAS Bandar Lampung

Di Export& Di Simpan Kedalam

Format *. shp

Software Sistem Informasi Geografis Penyempurnaan Peta DAS Melalui Proses

Digitasi On

Screen Google Earth A Analisa Hidrologi Perhitungan HSS Nakayasu Pada DAS Bandar Lampung (Neighbour dan Cascade) Hasil Digitasi neighbour, cascade & Overlay Layer

Pada DAS Bandar Lampung A Software Sistem Informasi Geografis

Didapat Data : 1. Luas Setiap Sub DAS Bandar Lampung 2. Panjang Setiap Sungai, Jumlah Sungai

Analisa Debit Sintesis


(55)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian, hasil analisis dan perhitungan yang telah dijelaskan dalam tesis ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Karakteristik DAS di dapat dari hasil delinasi DAS di Bandar Lampung dan sungai berdasarkan keadaan sebenarnya dilapangan didapat data jumlah dan luas masing - masing sub DAS, serta panjang sungai. DAS Bandar Lampung terbagi menjadi 14 (empat belas) yaitu Way Simpur, Way Garuntang, Way Simpang Kanan, Way Betung, Way Simpang Kiri, Way Kuripan, Way Kupang, Way Kunyit, Way Lunik 1, Way Lunik 2, Way Galih, Way Keteguhan, Way Sukamaju, Way Gebang.

Kota Bandar Lampung memiliki 2 (dua) DAS terbesar yaitu DAS Way Garuntang dan DAS Way Kuripan kedua DAS tersebut terbagi menjadi Sub DAS kecil, dengan 11 (sebelas) sungai berada di DAS Way Garuntang dan 4 (empat) sungai berada di DAS Way Kuripan, dengan luas total sebesar 168,877 km2dan panjang sungai keseluruhan 368,709 km.

2. Hasil perhitungan HSS Nakayasu pada DAS Bandar Lampung di dapat nilai debit puncak (Qp) antara sebesar ; DAS Way Simpur = 0,130 – 0,579 m3/detik ; DAS Way Garuntang = 0,181 – 0,999 m3/detik ; DAS Way Simpang Kanan = 0,106 – 0,420 m3/detik ; DAS Way Betung = 0,031 – 0,389 m3/detik ; DAS Way Simpang Kiri = 0,102 – 0,359 m3/detik ; DAS Way Kuripan = 0,526 m3/detik ;


(56)

86

DAS Way Kupang = 0,443 – 0,448 m3/detik ; DAS Way Kunyit = 0,472 m3/detik ; DAS Way Lunik 1= 0,125 – 0,275 m3/detik ; DAS Way Lunik 2 = 0,385 m3/detik ; DAS Way Galih = 0,366 – 0,526 m3/detik ; DAS Way Keteguhan = 0,173 - 0,395 m3/detik ; DAS Way Sukamaju = 0,132 – 0,532 m3/detik ; DAS Way Gebang = 0,489 m3/detik.

3. Dalam pemodelan distributed hydrologic model, cascade watershed mempengaruhi debit puncak dan waktu puncak yang semakin membesar pada sub DAS bagian hilir. Sedangkan neigbour watershed faktor luas DAS, bentuk DAS dan panjang sungai mempengaruhi debit puncak dan waktu puncak.

4. Hasil dari validasi debit puncak HSS Nakayasu dan HST pada sub DAS Way Simpur, Way Garuntang dan Way Awi meliki nilai persentase error < 25% bisa dianggap mewakili kondisi lapangan yang sebenarnya.

B. Saran

Hasil perhitungan hidrologi menggunakan HSS Nakayasu pada DAS di Bandar Lampung di dapat nilai penyimpangan debit puncak yang sangat kecil dari Hidrograf Satuan Terukur (HST) tetapi perlu dilakukan tinjauan kembali parameter - parameternya karena waktu puncak HSS Nakayasu berbeda dengan waktu puncak HST.


(57)

Agus, I. 2007. Modifikasi Persamaan Hidrograf Satuan Sintesis Metoda Nakayasu Terhadap Hidrograf Satuan Observasi DAS Ciliwung Hulu. Rekayasa Sipil Volume III, No. 2, Oktober 2007. ISSN : 1858 – 3695.

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada university Press.Yogyakarta.

Harto, S. 1993 Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I, Departemen Pekerjaan Umum. Yogyakarta.

Harto, S. 2000. Some Typical Cathment Parameter and Flow Component of Rivers on The Island of Java.Forum Teknik jilid 24 3:358-370.

Harto, S. 2000. Hidrologi : Teori, Masalah, Penyelesaian.Yogyakarta : Nafiri Offset.

Kurniawan, E. 2009, Analisis Debit Dan Muka Air Banjir Sungai Simpang Aur-Lemau Dengan Adanya PLTA Musi Kabupaten Bengkulu Utara.Universitas Indonesia. Skripsi. DKI Jakarta.

Kusumastuti, DI, Jowowinarno, D. 2012. Time Step Issue in Unit Hydrograph for Improving Runoff Prediction in Small Catchments. Journal of Water Resources and Protection, 2012, 4, 686 – 693.

Kusumastuti, DI, Dewi, C, Khotimah, SN. 2013. Pengembangan Metode Prakiraan Banjir Dan Sistem Peringatan Dini Melalui Distributed Hydrology Model Berbasis Sistem Informasi Geografis. Laporan Penelitian. Universitas Lampung


(58)

Pawitan, H, 1998. Tinjauan Penelitian dan Pemodelan Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Bahan Diskusi Program Penelitian pada Baiai Teknologi Pengelolaan DAS Solo, 22 Januari, 21 hlm.

Seyhan E. 1977. Dasar - Dasar Hidrologi. Subagyo S, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Gajah Mada University. Terjemahan dari : Fundamentals of Hydrology.Yogyakarta.

Singh, VP., Woolhiser,DA. 2002. Mathematical Modelling of Watershed Hydrology dalam Journal of Hydrologyc Engineer (July/Agust). Hlm 270-279.

Sitohang, R, Hazmi, M, Rahmawati, D, 2011. Analisis Banjir Rancangan Dengan Metode HSS Nakayasu Pada Bendungan Gintung. Proceeding PESAT Universitas Gunadarma – Depok, 18 – 19 Oktober 2011. Vol. 4 Oktober 2011. ISSN :1858 – 2559.

Sutapa, W. I. 2005. Kajian Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Untuk Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Daerah Aliran Sungai Kodia. Majalah MEKTEK Tahun VII No. 1, Januari 2005.

[Tim IPB] Tim Institut Pertanian Bogor. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Das Ciliwung Untuk Pengendalian Banjir Di Ibukota Jakarta.Makalah Sintesa untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu Di Era Otonomi Daerah : Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta. 8 Mei 2002. Jakarta : IPB.

Viessman. W., Lewis, GL, Knapp, JW. 1989. Introduction to Hidrology, New York.


(1)

6. Mendapatkan hasil digitasi neighbour, cascadedan overlay Layerpada DAS Bandar Lampung sampai dengan DAS terkecil menggunakan SoftwareSistem Informasi Geografis.

7. Mendapatkan hasil karakter DAS berupa data luas setiap Sub DAS Bandar Lampung, panjang setiap sungai, jumlah sungai, koefisien pengaliran DAS. Data ini digunakan untuk menghitung HSS Nakayasu.

D. Analisa Hidrologi

Analisa hidrologi menggunakan metode HSS Nakayasu berdasarkan parameter fisik DAS yaitu luas DAS, panjang sungai, kemiringan lereng dan lain-lain. Parameter-parameter fisik DAS itulah yang akan dipergunakan untuk menetapkan besarnya hidrograf satuan sintesis.

Metodologi penelitian untuk setiap proses kegiatan diatas diperlihatkan pada bagan alir pada Gambar 12.


(2)

46

Mulai

Kesimpulan Analisis

Data Spasial

Data Spasial :

1. Download Data DEM Bandar Lampung 2. Peta Analog RTRW Tutupan Lahan Kota Bandar Lampung (2010-2030) GenerateDEM Bandar Lampung Software Global Mapper V.13 Editing Hasil GenerateDAS Bandar Lampung Software AutoCad MAP Editing Hasil GenerateDAS Bandar Lampung

Di Export& Di Simpan Kedalam

Format *. shp

Software Sistem Informasi Geografis Penyempurnaan Peta DAS Melalui Proses

Digitasi On Screen Google Earth A Analisa Hidrologi Perhitungan HSS Nakayasu Pada DAS Bandar Lampung (Neighbour dan Cascade) Hasil Digitasi neighbour, cascade

& Overlay Layer Pada DAS Bandar

Lampung A Software Sistem Informasi Geografis

Didapat Data : 1. Luas Setiap Sub DAS Bandar Lampung 2. Panjang Setiap Sungai, Jumlah Sungai

Analisa Debit Sintesis


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian, hasil analisis dan perhitungan yang telah dijelaskan dalam tesis ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Karakteristik DAS di dapat dari hasil delinasi DAS di Bandar Lampung dan sungai berdasarkan keadaan sebenarnya dilapangan didapat data jumlah dan luas masing - masing sub DAS, serta panjang sungai. DAS Bandar Lampung terbagi menjadi 14 (empat belas) yaitu Way Simpur, Way Garuntang, Way Simpang Kanan, Way Betung, Way Simpang Kiri, Way Kuripan, Way Kupang, Way Kunyit, Way Lunik 1, Way Lunik 2, Way Galih, Way Keteguhan, Way Sukamaju, Way Gebang.

Kota Bandar Lampung memiliki 2 (dua) DAS terbesar yaitu DAS Way Garuntang dan DAS Way Kuripan kedua DAS tersebut terbagi menjadi Sub DAS kecil, dengan 11 (sebelas) sungai berada di DAS Way Garuntang dan 4 (empat) sungai berada di DAS Way Kuripan, dengan luas total sebesar 168,877 km2dan panjang sungai keseluruhan 368,709 km.

2. Hasil perhitungan HSS Nakayasu pada DAS Bandar Lampung di dapat nilai debit puncak (Qp) antara sebesar ; DAS Way Simpur = 0,130 – 0,579 m3/detik ; DAS Way Garuntang = 0,181 – 0,999 m3/detik ; DAS Way Simpang Kanan = 0,106 – 0,420 m3/detik ; DAS Way Betung = 0,031 – 0,389 m3/detik ; DAS Way Simpang Kiri = 0,102 – 0,359 m3/detik ; DAS Way Kuripan = 0,526 m3/detik ;


(4)

86

DAS Way Kupang = 0,443 – 0,448 m3/detik ; DAS Way Kunyit = 0,472 m3/detik ; DAS Way Lunik 1= 0,125 – 0,275 m3/detik ; DAS Way Lunik 2 = 0,385 m3/detik ; DAS Way Galih = 0,366 – 0,526 m3/detik ; DAS Way Keteguhan = 0,173 - 0,395 m3/detik ; DAS Way Sukamaju = 0,132 – 0,532 m3/detik ; DAS Way Gebang = 0,489 m3/detik.

3. Dalam pemodelan distributed hydrologic model, cascade watershed

mempengaruhi debit puncak dan waktu puncak yang semakin membesar pada sub DAS bagian hilir. Sedangkan neigbour watershed faktor luas DAS, bentuk DAS dan panjang sungai mempengaruhi debit puncak dan waktu puncak.

4. Hasil dari validasi debit puncak HSS Nakayasu dan HST pada sub DAS Way Simpur, Way Garuntang dan Way Awi meliki nilai persentase error < 25% bisa dianggap mewakili kondisi lapangan yang sebenarnya.

B. Saran

Hasil perhitungan hidrologi menggunakan HSS Nakayasu pada DAS di Bandar Lampung di dapat nilai penyimpangan debit puncak yang sangat kecil dari Hidrograf Satuan Terukur (HST) tetapi perlu dilakukan tinjauan kembali parameter - parameternya karena waktu puncak HSS Nakayasu berbeda dengan waktu puncak HST.


(5)

Agus, I. 2007. Modifikasi Persamaan Hidrograf Satuan Sintesis Metoda Nakayasu Terhadap Hidrograf Satuan Observasi DAS Ciliwung Hulu.

Rekayasa Sipil Volume III, No. 2, Oktober 2007. ISSN : 1858 – 3695.

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada university Press.Yogyakarta.

Harto, S. 1993 Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I, Departemen Pekerjaan Umum. Yogyakarta.

Harto, S. 2000. Some Typical Cathment Parameter and Flow Component of Rivers on The Island of Java.Forum Teknik jilid 24 3:358-370.

Harto, S. 2000. Hidrologi : Teori, Masalah, Penyelesaian.Yogyakarta : Nafiri Offset.

Kurniawan, E. 2009, Analisis Debit Dan Muka Air Banjir Sungai Simpang Aur-Lemau Dengan Adanya PLTA Musi Kabupaten Bengkulu Utara.Universitas Indonesia. Skripsi. DKI Jakarta.

Kusumastuti, DI, Jowowinarno, D. 2012. Time Step Issue in Unit Hydrograph for Improving Runoff Prediction in Small Catchments. Journal of Water Resources and Protection, 2012, 4, 686 – 693.

Kusumastuti, DI, Dewi, C, Khotimah, SN. 2013. Pengembangan Metode Prakiraan Banjir Dan Sistem Peringatan Dini Melalui Distributed Hydrology Model Berbasis Sistem Informasi Geografis. Laporan Penelitian. Universitas Lampung


(6)

Pawitan, H, 1998. Tinjauan Penelitian dan Pemodelan Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Bahan Diskusi Program Penelitian pada Baiai Teknologi Pengelolaan DAS Solo, 22 Januari, 21 hlm.

Seyhan E. 1977. Dasar - Dasar Hidrologi. Subagyo S, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Gajah Mada University. Terjemahan dari : Fundamentals of Hydrology.Yogyakarta.

Singh, VP., Woolhiser,DA. 2002. Mathematical Modelling of Watershed Hydrology dalam Journal of Hydrologyc Engineer (July/Agust). Hlm 270-279.

Sitohang, R, Hazmi, M, Rahmawati, D, 2011. Analisis Banjir Rancangan Dengan Metode HSS Nakayasu Pada Bendungan Gintung. Proceeding PESAT Universitas Gunadarma – Depok, 18 – 19 Oktober 2011. Vol. 4 Oktober 2011. ISSN :1858 – 2559.

Sutapa, W. I. 2005. Kajian Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Untuk Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Daerah Aliran Sungai Kodia.

Majalah MEKTEK Tahun VII No. 1, Januari 2005.

[Tim IPB] Tim Institut Pertanian Bogor. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Das Ciliwung Untuk Pengendalian Banjir Di Ibukota Jakarta.Makalah Sintesa untuk Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu Di Era Otonomi Daerah : Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta. 8 Mei 2002. Jakarta : IPB.

Viessman. W., Lewis, GL, Knapp, JW. 1989. Introduction to Hidrology, New York.