Kajian Kerawanan Banjir Di Wilayah Das Padang Menggunakan Sistem Informasi Geografis

(1)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

TESIS

Oleh

MUHAMMAD IRSAN

087004007/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG

MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD IRSAN

087004007/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH

DAS PADANG MENGGUNAKAN SISTEM

INFORMASI GEOGRAFIS Nama Mahasiswa : Muhammad Irsan

Nomor Pokok : 087004007

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) Ketua

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Anggota

(Ir. O. K. Nazaruddin Hisyam, MS) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 20 Januari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

2. Ir. O. K. Nazaruddin Hisyam, MS 3. Prof. Dr. Abdul Rauf, MS


(5)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang tergolong sebagai DAS Prioritas I Nasional karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang paling kritis atau tidak sehat. Salah satu permasalahan DAS Padang adalah banjir. Penelitian ini mengkaji kondisi kekritisan daerah resapan, potensi yang dimiliki berbagai unit lahan sebagai pemasok air banjir dan persebaran daerah rawan banjir di wilayah DAS Padang. Kajian dilakukan secara deskriptif kuantitatif, melalui analisis tumpang susun (overlay) peta dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis dan kalibrasi melalui survei lapangan. Dari hasil kajian diketahui bahwa selama kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2010 terdapat peningkatan tingkat kekritisan peresapan pada berbagai unit lahan di wilayah DAS Padang yang keseluruhannya sebesar 2,31%. Berdasarkan hasil survei lapangan ditemukan bahwa pada penggunaan lahan perkebunan di wilayah DAS Padang terjadi perubahan ekstrim dalam cakupan wilayah yang luas (lebih dari 1 km2) pada masa peremajaan tanaman melalui praktek land clearing, dalam skala yang besar hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya nilai infiltrasi aktual lahan dibandingkan nilai infiltrasi potensialnya hingga mencapai tingkatan sangat kritis. Wilayah pemasok air banjir yang berada di wilayah hulu Sub DAS Padang perlu mendapat prioritas penanganan berupa rehabilitasi dan penegakan peraturan terkait penataan ruang, karena karakteristik biofisiknya yang mendukung aliran air permukaan untuk lebih cepat mencapai sungai dibandingkan Sub DAS lainnya. Peningkatan kekritisan dan tingginya potensi pasokan air banjir terjadi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak tepat. Wilayah rawan banjir tersebar dengan berbagai tingkat kerawanan di wilayah DAS Padang, dengan tingkat kerawanan banjir tertinggi berada di wilayah Kota Tebing Tinggi dan di bagian hilir DAS Padang yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.


(6)

STUDY OF PADANG WATERSHED FLOOD VULNERABILITY USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

ABSTRACT

Padang Watershed is categorized as one of the First Degree National Prioritized Watershed for its complexity of problems and rated of having most critical condition in its social and physical condition. Flood is one of the main problem in Padang Watershed. This research is presented in descriptive quantitative to show the current condition of Padang Watershed recharge area, the distribution of Padang Watershed land units potential as flood water supplier and the distribution of flood prone areas. Field survey and mapping overlay method was carried out to analyze the problems using Geographical Information System application. This research discovered that during 2004 to present there have been an increase of percentage in the extent of critical rated recharge areas by 2.31%. From field survey, it is discovered that there have been land clearing practice in Padang Watershed during

replanting by major plantation in massive extent (more than 1 km2), this will affect

the value of the land actual infiltration compared to its potential infiltration value to the very critical rate. For its biophysical characteristics that supports the surface water to enter the water body much faster compared to other Sub Watershed, this research conclude that the flood water supplier land unit of the Padang Sub Watershed upstream have more prominent role than in the other Sub Watershed, and for that reason it should be the prioritized for rehabilitation and land utilization management enforcement by regulations. The critical rate increase and the high value of flood water supply rate occur as results of an inappropriate land use and land utilization. Flood prone areas were distributed in different areas of Padang Watershed with various rate, which the highest prone rate were found in Tebing tinggi District and in Serdang Bedagai Regency shore, which located in the downstream of Padang Watershed.

Keywords: Padang Watershed, GIS, Recharge Are, Flood Water Supplier, Flood Prone.


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas selesainya penyusunan tesis ini. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah SWT melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, dan Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS yang telah memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan sangat simpatik, telaten, sabar dan bijaksana, tim dosen penguji, Prof. Dr. Abdul Rauf MS. dan Ir. Terunajaya Abdullah, M.Sc., terima kasih atas saran-saran dan masukan yang bermanfaat bagi penelitian ini.

Penulis juga merasa harus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi ini.

2. Sekretaris Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan yang memberikan ijin bagi penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2 dan segenap pimpinan Balai Pengelolaan DAS Wampu Sei Ular yang mendukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan S2.

3. Ibu, Bapak dan adik-adik yang senantiasa selalu mendoakan bagi kebaikan penulis. Istri dan anak-anakku tersayang, Julia Rahmawati, Athifa dan Shafiyya. Mereka telah memberikan dukungan dan pengorbanan untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan S2 ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(8)

Dengan harapan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat, penulis akan sangat berterima kasih apabila hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan baik dalam rangka mitigasi bencana banjir maupun bagi penelitian lebih lanjut melalui pendekatan yang lebih mutakhir.

Medan, Januari 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cimahi pada tanggal 6 Maret 1981. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara sebagai putra dari Ayahanda Supadi dan Ibunda Euis Sofiah. Penulis menikah pada tahun 2007 dengan Julia Rahmawati dan saat ini telah dikaruniai dua orang putri, Athifa dan Shafiyya.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1986 – 1993, menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Pengadilan IV, Kota Bogor.

2. Tahun 1993 – 1996, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri 4, Kota Bogor.

3. Tahun 1996 – 1999, menempuh pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1, Kota Bogor.

4. Tahun 1999 – 2004, menempuh pendidikan sarjana Strata 1 di Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

5. Tahun 2008, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan di Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular Medan dan telah bertugas terhitung mulai tahun 2005.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Kekritisan Daerah Resapan ... 5

2.2. Banjir ... 5

2.3. Sistem Informasi Geografis ... 8

2.4. Daerah Aliran Sungai ... 13

II. METODE PENELITIAN ... 15

3.1. Tempat dan Waktu ... 15

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Rancangan Penelitian ... 18

IV. DESKRIPSI WILAYAH DAS PADANG ... 41

4.1. Kedudukan Geografis dan Pembagian Wilayah Administrasi ... 41

4.2. Morfometri dan Pembagian Wilayah Sub DAS ... 45


(11)

4.4. Jenis Tanah ... 59

4.5. Iklim ... 63

4.6. Penggunaan Lahan ... 67

4.7. Bentuk Lahan ... 70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

5.1. Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang ... 74

5.2. Pasokan Air Banjir DAS Padang ... 87

5.3. Kerawanan Banjir DAS Padang ... 92

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

6.1. Kesimpulan ... 99

6.2. Saran ... 100


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Hubungan Kemiringan Lereng dengan Tingkat Infiltrasi ... 20

2. Hubungan Permeabilitas Tanah dan Nilai Infiltrasi ... 21

3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah ... 21

4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD ... 22

5. Nilai Tingkat Infiltrasi Aktual (Kualitatif) ... 23

6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi ... 24

7. Notasi Hasil Penjumlahan Skor Parameter Potensi Infiltrasi ... 24

8. Klasifikasi Skoring dan Bobot Hujan Harian Maksimum ... 28

9. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk DAS ... 30

10. Klasifikasi Skoring dan Bobot Gradien Sungai ... 30

11. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kerapatan Drainase ... 31

12. Klasifikasi Skoring dan Bobot Lereng Rata-Rata DAS ... 31

13. Klasifikasi Skoring dan Bobot Penggunaan Lahan ... 32

14. Skor Tertimbang Identifikasi Kerawanan Daerah Pemasok Air Banjir 33

15. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk Lahan ... 35

16. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kemiringan Lereng (Kiri–Kanan Sungai) ... 36

17. Klasifikasi Skoring dan Bobot Pembendungan Alami ... 36

18. Klasifikasi Skoring dan Bobot Sinusitas Meandering ... 37

19. Klasifikasi Skoring dan Bobot Keberadaan Bangunan Air ... 38

20. Skor Tertimbang Identifikasi Daerah Rawan Banjir ... 39

21. Wilayah Administrasi DAS Padang ... 44

22. Morfometri DAS Padang (Tingkat Sub DAS) ... 45

23. Wilayah Kemiringan Lereng DAS Padang ... 58


(13)

25. Penggunaan Lahan di Wilayah DAS Padang ... 69

26. Bentuk Lahan di Wilayah DAS Padang ... 73

27. Tingkat Kekritisan Daerah Resapan DAS Padang ... 86

28. Tingkat Pasokan Air Banjir DAS Padang ... 91


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Skema Penerapan Penggunaan Perangkat Lunak dalam Penelitian .... 17

2. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Daerah Resapan ... 26

3. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Pasokan Air Banjir ... 34

4. Parameter untuk Menggambarkan Meander ... 37

5. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Kerawanan Banjir ... 40

6. Peta Wilayah Administrasi DAS Padang ... 42

7. Peta Pembagian Wilayah Sub DAS Padang ... 51

8. Peta Bentuk Wilayah (Sub-Sub DAS) Daerah Aliran Sungai Padang . 52

9. Peta Gradien Sungai (Sub-Sub DAS) Daerah Aliran Sungai Padang... 53

10. Peta Kemiringan Lereng Lahan Daerah Aliran Sungai Padang... 55

11. Peta Kemiringan Lereng Kanan Kiri Sungai Daerah Aliran Sungai Padang ... 56

12. Peta Jenis Tanah Daerah Aliran Sungai Padang ... 60

13. Peta Faktor Hujan Infiltrasi Daerah Aliran Sungai Padang ... 65

14. Peta Maksimum Hujan Harian Rata-rata Daerah Aliran Sungai Padang ... 66

15. Peta Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai Padang ... 68

16. Peta Bentuk Lahan Daerah Aliran Sungai Padang ... 71

17. Peta Kekritisan Daerah Resapan Daerah Aliran Sungai Padang. ... 75

18. Kondisi Daerah Resapan dengan Kategori Kritis di DAS Padang ... 77

19. Lokasi Peremajaan Tanaman pada Perkebunan di Kecamatan Dolok Masihul ... 79


(15)

21. Okupasi Lahan Kawasan Hutan Menjadi Lahan Pertanian

(Kab. Sergai) ... 82 22. Okupasi Lahan Kawasan Hutan Menjadi Perkebunan (Kab. Sergai) ... 82 23. Peta Potensi Pasokan Air Banjir Daerah Aliran Sungai Padang... 88 24. Peta Kerawanan Banjir Daerah Aliran Sungai Padang ... 93


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Pembagian wilayah DAS Padang berdasarkan Wilayah Sub DAS

dan Wilayah Administrasi ... 105 2. Morfometri DAS Padang berdasarkan Wilayah Sub-sub DAS ... 107 3. Distribusi Tingkat Kerawanan Banjir DAS Padang ... 110 4. Pos-pos Hujan di dalam dan di sekitar DAS Padang Beserta Atribut


(17)

KAJIAN KERAWANAN BANJIR DI WILAYAH DAS PADANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang tergolong sebagai DAS Prioritas I Nasional karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang paling kritis atau tidak sehat. Salah satu permasalahan DAS Padang adalah banjir. Penelitian ini mengkaji kondisi kekritisan daerah resapan, potensi yang dimiliki berbagai unit lahan sebagai pemasok air banjir dan persebaran daerah rawan banjir di wilayah DAS Padang. Kajian dilakukan secara deskriptif kuantitatif, melalui analisis tumpang susun (overlay) peta dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis dan kalibrasi melalui survei lapangan. Dari hasil kajian diketahui bahwa selama kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2010 terdapat peningkatan tingkat kekritisan peresapan pada berbagai unit lahan di wilayah DAS Padang yang keseluruhannya sebesar 2,31%. Berdasarkan hasil survei lapangan ditemukan bahwa pada penggunaan lahan perkebunan di wilayah DAS Padang terjadi perubahan ekstrim dalam cakupan wilayah yang luas (lebih dari 1 km2) pada masa peremajaan tanaman melalui praktek land clearing, dalam skala yang besar hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya nilai infiltrasi aktual lahan dibandingkan nilai infiltrasi potensialnya hingga mencapai tingkatan sangat kritis. Wilayah pemasok air banjir yang berada di wilayah hulu Sub DAS Padang perlu mendapat prioritas penanganan berupa rehabilitasi dan penegakan peraturan terkait penataan ruang, karena karakteristik biofisiknya yang mendukung aliran air permukaan untuk lebih cepat mencapai sungai dibandingkan Sub DAS lainnya. Peningkatan kekritisan dan tingginya potensi pasokan air banjir terjadi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak tepat. Wilayah rawan banjir tersebar dengan berbagai tingkat kerawanan di wilayah DAS Padang, dengan tingkat kerawanan banjir tertinggi berada di wilayah Kota Tebing Tinggi dan di bagian hilir DAS Padang yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.


(18)

STUDY OF PADANG WATERSHED FLOOD VULNERABILITY USING GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

ABSTRACT

Padang Watershed is categorized as one of the First Degree National Prioritized Watershed for its complexity of problems and rated of having most critical condition in its social and physical condition. Flood is one of the main problem in Padang Watershed. This research is presented in descriptive quantitative to show the current condition of Padang Watershed recharge area, the distribution of Padang Watershed land units potential as flood water supplier and the distribution of flood prone areas. Field survey and mapping overlay method was carried out to analyze the problems using Geographical Information System application. This research discovered that during 2004 to present there have been an increase of percentage in the extent of critical rated recharge areas by 2.31%. From field survey, it is discovered that there have been land clearing practice in Padang Watershed during

replanting by major plantation in massive extent (more than 1 km2), this will affect

the value of the land actual infiltration compared to its potential infiltration value to the very critical rate. For its biophysical characteristics that supports the surface water to enter the water body much faster compared to other Sub Watershed, this research conclude that the flood water supplier land unit of the Padang Sub Watershed upstream have more prominent role than in the other Sub Watershed, and for that reason it should be the prioritized for rehabilitation and land utilization management enforcement by regulations. The critical rate increase and the high value of flood water supply rate occur as results of an inappropriate land use and land utilization. Flood prone areas were distributed in different areas of Padang Watershed with various rate, which the highest prone rate were found in Tebing tinggi District and in Serdang Bedagai Regency shore, which located in the downstream of Padang Watershed.

Keywords: Padang Watershed, GIS, Recharge Are, Flood Water Supplier, Flood Prone.


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

DAS Padang merupakan salah satu dari sembilan DAS di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan sebagai DAS Prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Hal tersebut dapat diartikan bahwa DAS Padang tergolong sebagai salah satu DAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang paling kritis atau tidak sehat (Dephut, 2008).

Salah satu permasalahan utama DAS Padang yang mendesak untuk ditangani adalah banjir akibat luapan Sungai Padang yang tiap tahun rutin terjadi. Berdasarkan data dari BMKG (2009) tercatat kejadian banjir yang cukup besar terjadi di bulan November tahun 2003, yang menggenangi 10 kelurahan di Kota Tebing Tinggi hingga ketinggian 120 cm dan kejadian banjir yang terjadi di bulan Oktober tahun 2008, yang merendam ratusan rumah warga di Kota Tebing Tinggi.

Meskipun banjir seolah telah menjadi rutinitas tahunan, yang dampaknya menimbulkan kerugian baik terhadap manusia, kerusakan materi dan lingkungan, namun upaya yang dilakukan oleh pemerintah selaku pihak yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab melindungi masyarakat, masih terbatas pada penanganan setelah bencana, yaitu pemberian bantuan berupa sandang, pangan dan tempat penampungan kepada para korban. Keterbatasan tersebut seringkali


(20)

diperparah oleh adanya waktu jeda pengiriman bantuan ke daerah bencana akibat keterlambatan informasi bahwa lokasi tersebut terkena banjir, sehingga menimbulkan kerugian lebih lanjut berupa gangguan kesehatan yang dialami oleh korban banjir. Kerugian akibat banjir dapat diminimalisir dengan adanya perencanaan yang baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perencanaan yang baik memerlukan data yang akurat, sehingga dari data tersebut dapat tersaji informasi/fakta sebagai dasar pengambilan kebijakan.

Perencanaan terkait pengelolaan banjir di wilayah DAS Padang masih sangat terbatas jika tidak ingin dikatakan tidak ada. Kalaupun ada, sifatnya parsial dan dibuat berdasarkan wilayah administratif. Hal ini tentunya akan menyulitkan sinergitas perencanaan terkait pengelolaan banjir, sebagaimana diketahui bahwa DAS Padang melintasi tiga wilayah administrasi kabupaten, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, dimana ketiga wilayah administratif tersebut tentunya mempunyai kepentingan masing-masing dalam mengelola sumberdaya air di wilayahnya.

Selain perencanaan yang bersifat parsial, data dan informasi yang selama ini dikumpulkan dan disajikan oleh instansi terkait mengenai bencana banjir di wilayah DAS Padang masih belum memadai untuk dijadikan dasar bagi perencanaan pengelolaan bencana banjir. Akibatnya perencanaan yang dilakukan oleh daerah selama ini hanya terbatas pada penanganan dampak setelah banjir.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini berupaya untuk menyajikan fakta terkait banjir secara secara keruangan dengan pendekatan wilayah ekosistem DAS


(21)

Padang sebagai sebuah kesatuan sistem tata air. Fakta terkait banjir tersebut meliputi pemetaan kondisi kekritisan daerah resapan, pemetaan daerah pemasok air banjir dan pemetaan daerah rawan banjir di wilayah DAS Padang. Hasil dari penelitian ini selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai dasar bagi perencanaan pengelolaan banjir yang bersifat antisipatif, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh banjir dapat direduksi.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana kondisi kekritisan daerah resapan di DAS Padang?

b. Di mana wilayah-wilayah yang menjadi pemasok air banjir di DAS Padang? c. Di mana wilayah-wilayah yang merupakan daerah rawan banjir di DAS Padang?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Terpetakannya kondisi kekritisan daerah resapan di DAS Padang. b. Terpetakannya wilayah pemasok air banjir di DAS Padang. c. Terpetakannya daerah rawan banjir di DAS Padang.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi praktisi, pengambil kebijakan dan organisasi-organisasi masyarakat, hasil


(22)

Padang yang terpadu dari hulu ke hilir, sehingga upaya penanganan banjir tidak melulu difokuskan pada penanganan dampak banjir, namun juga disertai dengan upaya-upaya penanganan daerah-daerah resapan di wilayah Sub DAS yang telah mengalami degradasi dan teridentifikasi berpengaruh terhadap pasokan air banjir ke sungai utama.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi mengenai wilayah-wilayah rawan banjir bagi perencanaan tata ruang di wilayah kabupaten yang berada di DAS Padang, dengan demikian perencanaan tata ruang yang ada dapat komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, karena berbasiskan wilayah DAS.

c. Bagi masyarakat yang terindikasi menempati daerah rawan banjir, pengetahuan tentang daerahnya yang berpotensi rawan banjir dapat bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan melakukan upaya antisipatif dalam menghadapi bencana banjir.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekritisan Daerah Resapan

Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang perlu untuk dilakukan penilaian tentang tingkat kekritisan peresapan daerah resapan terhadap air hujan. Paradigma yang digunakan adalah semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil tingkat air larian, sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar (base flow) dapat naik (Dephut, 1998). Teknik identifikasi daerah resapan dapat didekati dengan metode penumpang-tindihan peta atau overlay (McHard, 1971; Carpenter, 1979 dalam Dephut, 1998, Albrecht, 2007).

Untuk melestarikan simpanan air tanah, maka tingkat infiltrasi air hujan kedalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Tingkat peresapan atau infiltrasi tergantung pada: curah hujan, persentase air larian, jenis tanah, kemiringan lereng, tipe vegetasi dan penggunaan lahan (Dephut, 1998).

2.2. Banjir

2.2.1. Terminologi Banjir

Dalam istilah teknis, banjir adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai, dan dengan demikian aliran air sungai tersebut akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya (Asdak, 2004). Terdapat banyak jenis banjir, sebagai contoh banjir bandang, banjir sungai, banjir


(24)

estuari, banjir pantai, banjir dari danau, banjir dari kanal atau saluran air, dan banjir akibat luapan air tanah (De Bruijn, 2007 dalam De Bruijn, 2009).

Banjir, sebuah fenomena alami dan musiman di berbagai area delta dataran rendah, dapat dilihat sebagai manfaat, khususnya untuk meningkatkan kesuburan tanah di wilayah dataran banjir, namun juga sebagai sebuah bahaya, karena membahayakan keselamatan manusia, harta benda dan lingkungan, baik itu karena sebab alami ataupun akibat perbuatan manusia (Godschalk, 1991 dalam Sanyal, 2006)

Terkait dengan terminologi risiko, bahaya, kerentanan dan rawan banjir seringkali menimbulkan salah persepsi karena adanya perbedaan dalam pengertian. Risiko banjir didefinisikan sebagai kombinasi dari kemungkinan probabilitas banjir dan potensi akibat yang ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia, lingkungan, warisan budaya dan aktivitas ekonomi yang diasosiasikan dengan sebuah kejadian banjir (Flood Risk Directive, 2007 dalam De Bruijn, 2009). Selanjutnya, untuk menentukan risiko banjir, baik probabilitas banjir dan konsekuensinya harus dipertimbangkan, atau alternatifnya, perlu diperhitungkan bahaya banjir dan kerentanan dari area rawan banjir (Gouldby & Samuels, 2005 dalam De Bruijn, 2009). Bahaya banjir dicirikan dengan probabilitas banjir, kedalaman banjir, kecepatan aliran, kecepatan naiknya tinggi muka air dan sebagainya. (De Bruijn, 2009). Merujuk pada Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, ditetapkan bahwa kawasan rawan banjir adalah kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam banjir.


(25)

Dengan demikian, tempat-tempat yang berisiko adalah tempat-tempat yang diperkirakan akan banyak terjadi korban jiwa. Tempat-tempat berisiko adalah tempat yang berbahaya sekaligus rentan terhadap banjir. Area-area berbahaya adalah area di mana banjir dimungkinkan terjadi, dengan tinggi muka air naik dengan cepat dan kedalaman air tinggi. Tempat-tempat berbahaya selanjutnya diidentifikasikan dengan melihat pada parameter banjir saja. Area-area rentan adalah area di mana banyak terdapat manusia saat banjir terjadi (De Bruijn, 2009).

Banjir adalah fenomena yang tidak dengan mudah dapat dicegah, namun demikian, perlindungan dan upaya prakiraan kejadian banjir yang mutakhir dapat mengurangi dampak yang diakibatkan banjir (Falconer, 2005).

2.2.2. Identifikasi Banjir

Identifikasi kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok air banjir atau potensi air banjir. Hal ini penting untuk dipahami agar memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian banjir yang efektif dan efisien (Paimin, et.al, 2006).

Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir (kebanjiran) diidentifikasi dari karakter wilayahnya seperti bentuk lahan, lereng kiri kanan sungai, meandering dan pembendungan alami dan adanya bangunan pengendali banjir. Di lapangan, ciri-ciri daerah yang rentan kebanjiran adalah adanya bangunan tanggul di kiri-kanan sungai sebagai manifestasi bentuk manajemen pengurangan banjir (Paimin et al. 2008).


(26)

2.3. Sistem Informasi Geografis

2.3.1. Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)

Banyak definisi SIG telah diajukan dari waktu ke waktu, namun tidak ada satupun yang dapat sepenuhnya memuaskan. Meskipun banyak yang mendefinisikan sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah teknologi, saat ini label SIG disandingkan dengan berbagai macam hal, diantaranya yaitu sejenis perangkat lunak yang dapat dibeli dari sebuah vendor untuk menjalankan peralatan untuk mengolah fungsi-fungsi kompleks (perangkat lunak SIG); representasi dijital dari berbagai aspek dunia geografis dalam bentuk rangkaian data (data SIG); komunitas orang-orang yang menggunakan dan menyerukan penggunaan perangkat SIG untuk berbagai tujuan (komunitas SIG); dan aktivitas menggunakan SIG untuk memberikan solusi terhadap permasalahan atau ilmu pengetahuan lanjutan (melakukan SIG). Penamaan berlaku pada semua hal tersebut dan pengertiannya bergantung pada konteks di mana ia digunakan (Longley et al., 2005).

Banyak penulis mendefinisikan (SIG) dengan karakteristik yang sedikit berbeda, namun ada kesepakatan bersama bahwa kemampuan kunci dari SIG adalah kemampuannya membuat suatu basis data geografis dan data di dalamnya dapat dimanipulasi, diintegrasikan, dianalisis dan ditampilkan (Gregory & Ell, 2007).

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah basis data yang biasanya mempunyai komponen spasial dalam pengolahan dan penyimpanannya. Karenanya SIG mempunyai potensi untuk menyimpan dan menghasilkan produk-produk peta


(27)

dan sejenisnya. Ia juga menawarkan potensi untuk menjalankan analisis berganda ataupun mengevaluasi suatu skenario sebagaimana simulasi model (Lyon, 2003).

SIG dalam esensinya adalah sebuah pusat penyimpanan dan perangkat-perangkat analisis bagi data yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pengembang dapat menumpangtindihkan informasi dari berbagai sumber data tersebut melalui berbagai theme dan layer, melaksanakan analisis data secara menyeluruh dan menggambarkannya secara grafis bagi pengguna (Galati, 2006).

2.3.2. Kelebihan SIG

Hampir semua yang terjadi, terjadi di suatu tempat. Umumnya, aktivitas-aktivitas manusia terbatas pada ruang yang berada di dekat atau di permukaan bumi. Mengetahui di mana suatu hal terjadi adalah kepentingan yang mendesak, apabila kita hendak berangkat ke suatu lokasi atau menugaskan seseorang kesana, untuk mencari informasi lain terhadap sebuah tempat, atau menginformasikan kepada seseorang yang tinggal dekat tempat tersebut. Oleh karenanya, lokasi geografis merupakan atribut penting dari beragam aktivitas, kebijakan, strategi dan perencanaan. Sistem Informasi Geografis adalah sebuah kelas khusus sistem informasi yang merekam, bukan hanya kejadian, aktivitas dan sesuatu, tetapi juga di mana kejadian, aktivitas dan sesuatu tersebut terjadi atau berada (Longley et al., 2005).

Proses-proses ekonomi, sosial, dan lingkungan memiliki sifat spasial yang melekat, sehingga ia akan sulit untuk dapat dipahami sepenuhnya bila tidak memperhitungkan dimensi keruangannya. Hubungan antara manusia dan lingkungannya tidak dapat disajikan tanpa sebuah referensi terhadap suatu kedudukan


(28)

tertentu, karena lingkungan digambarkan dengan hubungan topologis antara objek-objek fisik (e.g. komposisi tanah atau udara pada suatu ruang dan waktu tertentu, radiasi matahari pada suatu bidang lahan tertentu) dan aktivitas manusia yang memberikan dampak secara keruangan kepada lingkungan (Campagna, 2006).

Setiap data dalam sebuah basis data SIG mengandung sebuah referensi berbasis koordinat yang menjelaskan kedudukannya di muka bumi. Hal ini memberikan kerangka kerja dalam menata sebuah basis data yang memiliki banyak manfaat. Manfaat yang paling jelas adalah, memungkinkannya peneliti untuk melakukan query pada basis data tersebut untuk menanyakan di mana kedudukan suatu obyek dan bagaimana kedudukannya terkait obyek lain. Koordinat adalah sebuah alat yang bermanfaat untuk mengintegrasikan data yang berasal dari sumber yang beragam. Keuntungan lain yang ditawarkan SIG adalah kemampuannya memvisualisasikan data, terutama melalui pemetaan. Dalam SIG, peta bukan lagi sebagai produk akhir, tapi saat ini menjadi sebuah alat penelitian. Segera setelah basis data SIG dibuat, ia dapat segera dipetakan. Hal ini berarti bahwa pola-pola keruangan dalam data tersebut dapat dieksplor secara berulang selama proses penelitian, meningkatkan kemampuan kita untuk menggali lebih dalam dan memahami pola-pola keruangan yang ada. SIG juga dapat digunakan untuk menghasilkan peta dan berbagai bentuk visualisasi ilmiah lain bagi kepentingan publikasi (Gregory & Ell, 2007).

Terdapat sejumlah kelebihan yang dibawa oleh teknologi SIG bagi penelitian sumberdaya air. SIG memungkinkan penataan dan penyimpanan data yang lebih baik.


(29)

Tujuan dari banyak studi DAS, termasuk diantaranya adalah pembagian DAS, identifikasi pembagian drainase dan jaringan alur sungai, karakterisasi lereng dan hadapan, konfigurasi daerah tangkapan air dan perilaku aliran air. Menghasilkan variabel-variabel tersebut sulit dilakukan dari peta-peta cetak dan foto udara. Metode-metode tradisional tersebut menjadi pokok terjadinya kesalahan akibat operasi manual dan terbukti membutuhkan waktu yang lama (Lyon, 2003).

SIG memungkinkan menyatukan beragam elemen fisik, biologis dan manusia dan untuk memperkirakan ukuran (luas, panjang, keliling), bentuk, skala dan dimensi dari bidang-bidang penggunaan lahan. Sebuah manfaat SIG yang terpenting adalah sebagai sebuah perangkat pemecahan masalah terletak pada kemampuannya untuk mengkombinasikan yang umum dengan yang spesifik. Sebagai contoh sebuah SIG yang dirancang untuk memecahkan permasalahan, di dalamnya terkandung pengetahuan tentang kemiringan lereng lahan dalam bentuk peta dijital. Selanjutnya program yang dijalankan oleh sebuah SIG akan menggambarkan pengetahuan yang umum mengenai bagaimana kemiringan lereng lahan memberikan efek terhadap erosi tanah. Perangkat lunak SIG merekam dan menjalankan pengetahuan umum, sementara basis data sebuah SIG mewakili informasi yang spesifik (Longley et al., 2005).

Penerapan di bidang lingkungan telah lama menjadi inti penggunaan SIG. Pada awal penggunaannya, SIG lebih memusatkan pada hal pengukuran dan inventarisasi materi, namun mulai pertengahan tahun 1980-an, penerapan SIG


(30)

cenderung lebih ditekankan pada analisis statistika dan pemodelan (Lovett & Appleton, 2008).

2.3.3. Data Spasial

Dalam bentuk yang sangat umum, data geografis dapat digambarkan sebagai suatu data yang mempunyai referensi spasial. Sebuah referensi spasial adalah sebuah penunjuk bagi semacam lokasi, baik itu dalam bentuk langsung yang ditunjukkan sebagai sebuah koordinat, sebuah alamat atau kedudukan relatif terhadap lokasi lain. Suatu lokasi dapat (1) berdiri sendiri atau (2) menjadi bagian dari sebuah objek keruangan, di mana dalam kasus ini lokasi menjadi definisi pembatas bagi objek tersebut. Atribut yang diasosiasikan dengan suatu data geografis harus valid bagi seluruh koordinat yang menjadi bagian dari objek geografis (Albrecht, 2007).

2.3.4. Penginderaan Jauh

Dewasa ini, foto udara skala kecil dan citra satelit telah digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan/penutup lahan bagi wilayah yang luas (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Data penginderaan jauh dan SIG saling melengkapi satu sama lain dengan saling menambahkan informasi. Data SIG membantu analisis citra dalam mengelompokkan pixel-pixel yang meragukan, sedangkan citra yang digunakan sebagai latar belakang bagi data vektor khusus menyediakan orientasi dan tata letak situasional (Albrecht, 2007).


(31)

2.3.5. Overlay

Overlay adalah inti dari operasi SIG yang seolah mendefinisikan SIG. Apabila

sebuah perangkat lunak dapat melakukan proses overlay, maka dapat dipastikan bahwa aplikasi tersebut adalah sebuah aplikasi SIG dan bukan hanya aplikasi

Computer Aided Design (CAD) atau kartografi saja (Albrecht, 2007).

Proses overlay memerlukan ketepatan dalam kesamaan lokasi. Dengan kata lain, pada suatu lokasi tertentu, suatu data yang terdapat dalam sebuah kelas fitur dan data yang terdapat dalam kelas fitur lain digabungkan menjadi sebuah set data hasil dan membentuk geometri yang sebelumnya tidak ada, sehingga menghasilkan data yang benar-benar baru (Albrecht, 2007).

2.4. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment

area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas

sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2004).

Berdasarkan indikator kunci dan indikator lainnya (lahan, sosek dan kelembagaan) yang sudah ditetapkan maka diketahui tingkat kerusakan DAS yang kemudian perlu ditetapkan prioritas penanganannya. DAS-DAS Prioritas I adalah


(32)

DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS paling “kritis” atau “tidak sehat”. Prioritas

II adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya sedang, sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang prioritas untuk ditangani karena kondisi biofisik dan soseknya masih relatif baik (tidak kritis) atau DAS tersebut dianggap masih “sehat” (Dephut,

2008).

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau (Dephut, 2008).

Hujan lebat, perubahan penggunaan lahan termasuk deforestasi di wilayah DAS dan berbagai aplikasi teknik sipil pada jaringan sungai, semuanya berkontribusi terhadap skala dan frekuensi kejadian banjir. Lebih lanjut, anak-anak sungai dan daerah aliran sungainya memainkan peranan penting dalam terjadinya banjir di hilir sungai. Masing-masing sub-DAS mempunyai pengaruh tersendiri terhadap aliran sungai utamanya dikarenakan adanya keragaman dalam morfometri DAS (Ozdemir & Bird, 2009).


(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Pelaksanaan penelitian bertempat di wilayah DAS Padang, yaitu pada kedudukan geografis 2o 57’25,56“– 3o 29’ 15,83“LU dan 98o 48’ 59,76“– 99o 17’

42,83“ BT. Secara administratif DAS Padang meliputi dua wilayah kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, terhitung mulai bulan Februari tahun 2010 sampai dengan bulan Juli tahun 2010.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak.

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Perangkat Global Positioning System (GPS) Garmin 276C digunakan untuk

memberikan referensi geografis lokasi pengamatan.

b. Perangkat Komputer digunakan untuk mengolah, menganalisis data dan menyajikan hasil analisis berupa peta.

c. Kamera Dijital digunakan untuk mendokumentasikan kondisi aktual penutupan lahan di lapangan.


(34)

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. DNR Garmin versi 5.4.1 dari Minesota Departement of Natural Resources,

digunakan untuk menginput dan mengkonversi data spasial dari perangkat GPS kedalam format shapefile, sehingga data yang dihasilkan kompatibel dan dapat diolah lebih lanjut dengan Arc View versi 3.x dan Arc GIS versi 9.x.

b. Global Mapper versi 11.x, digunakan untuk mengolah data Digital Elevation

Model (DEM)/Citra SRTM dan mengkonversinya kedalam format raster ASCII,

sehingga dapat dianalisis lebih lanjut oleh perangkat lunak Arc GIS 9.x menjadi data kemiringan lereng dan batas DAS.

c. Arc View versi 3.x dan Arc GIS versi 9.x dari ESRI, digunakan untuk menginput, menyunting (data spasial dan tabuler), melakukan analisis overlay dan menyajikan hasil analisis dalam bentuk tampilan peta (layout)

d. Ekstensi ArcGIS v.9.3.1, ArcSWAT versi 2009.93.3 Beta released 1/27/10 dari Stone Environmental Inc., Texas A&M Spatial Sciences Lab. & Blackland Research & Extension Center, digunakan untuk melakukan delineasi batas DAS hingga tingkat Sub-Sub DAS.

Skema penggunaan perangkat lunak dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.


(35)

Gambar 1. Skema Penerapan Penggunaan Perangkat Lunak dalam Penelitian Penelitian ini menggunakan bahan berupa Peta Dasar dan Peta Tematik dengan liputan keseluruhan wilayah DAS Padang sebagai berikut:

(1) Peta Dijital Rupabumi Sumatera skala 1 : 50.000, lembar peta: 0618-64 SONDI

0619-32 NEGERI DOLOK 0719-11 DOLOK MERAWAN 0719-13 TEBING TINGGI 0719-14 INDRAPURA

(2) Peta Landsystem - Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPProT), skala 1 : 250.000

(3) Peta Satuan Lahan dan Tanah skala 1 : 250.000 (4) Peta Geologi Sumatera skala 1 : 250.000


(36)

(5) Citra Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) 30 Arc Sec.

(6) Peta Penutupan Lahan tahun 2007 skala 1 : 250.000 (7) Peta Administrasi Kabupaten/Kota skala 1 : 50.000

(8) Peta Penafsiran Citra Landsat Thematic Mapper Tahun 2009, Path 128 Row 058 dan Path 129 Row.

(9) Data klimatologi periode 1970 – 2008 dari 46 pos hujan yang tersebar di dalam dan di sekitar wilayah DAS Padang. Pos-pos hujan yang digunakan datanya dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.3. Rancangan Penelitian 3.3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, di mana hasil penelitian memberikan gambaran keruangan mengenai kondisi kekritisan daerah resapan, wilayah pemasok air banjir dan wilayah rawan banjir di DAS Padang berdasarkan parameter komponen-komponen lingkungan yang terukur secara kuantitatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan wilayah ekologi Daerah Aliran Sungai (DAS yang proses analisis dan penyajiannya dilakukan secara spasial dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Hal tersebut diartikan bahwa hasil-hasil dalam penelitian ini memiliki referensi geografis dan penyajiannya menggunakan alat peraga berupa peta.


(37)

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer dengan penjelasan proses pengumpulannya sebagai berikut:

A. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta dasar, peta tematik dan data klimatologi yang diperoleh dari instansi-instansi pemerintah yang memiliki data atau yang menjadi wali data tersebut, sebagai berikut:

(1) Peta Dijital Rupabumi diperoleh dari Bakosurtanal.

(2) Peta Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPProT)/

Landsystem, diperoleh dari Ditjen RLPS, Kementerian Kehutanan.

(3) Peta Satuan Lahan dan Tanah diperoleh dari BBSDLP, Kementerian Pertanian. (4) Citra Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar Topographic Mission

(SRTM) 30 Arc Sec (NASA), diperoleh dari LAPAN.

(5) Peta Penutupan Lahan tahun 2006, Ditjen Planologi, Departemen Kehutanan. (6) Peta Administrasi Kabupaten/Kota diperoleh dari Bappeda Kabupaten/Kota. (7) Peta Penafsiran Citra Landsat Thematic Mapper Tahun 2009, Path 128 Row 058

dan Path 129 Row 059 diperoleh dari BIOTROP.

(8) Data klimatologi (curah hujan) diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) - Stasiun Klimatologi Sampali.

B. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data keberadaan dan kondisi bangunan/konstruksi pengendali banjir pada alur sungai yang wilayah sekitarnya


(38)

terindikasi sebagai daerah rawan banjir. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan plotting koordinat lokasi sebagai referensi bagi penilaian daerah rawan banjir secara spasial.

3.3.3. Analisis Data

A. Identifikasi Kekritisan Daerah Resapan

Untuk mengidentifikasi kekritisan daerah resapan komponen lingkungan yang dipakai terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, hujan dan penggunaan lahan. Keempat komponen ini ditransformasikan terlebih dahulu kedalam nilai-nilai tingkat infiltrasi potensial dan nilai tingkat infiltrasi aktualnya (Dephut, 1998).

(1) Kemiringan Lereng

Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.

Kelas kemiringan lereng tersebut selanjutnya ditransformasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat peresapan (infiltrasi) sebagaimana Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hubungan Kemiringan Lereng dan Tingkat Infiltrasi

Kelas Lereng (%) Deskripsi Transform nilai faktor

Infiltrasi (fc) Notasi

I < 8 Datar > 0,80 a

II 8 – 15 Landai 0,70 – 0,80 b

III 15 – 25 Bergelombang 0,50 – 0,70 c

IV 25 – 40 Curam 0,20 – 0,50 d

V > 40 Sangat Curam < 0,20 e


(39)

(2) Jenis Tanah

Berdasarkan pengujian, karateristik tanah dan geohidrologi selanjutnya ditransformasi berdasarkan hubungannya dengan infiltrasi (permeabilitas tanah) dengan klasifikasi sebagaimana Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hubungan Permeabilitas Tanah dan Nilai Infiltrasi

Kelas Deskripsi Permeabilitas

(cm/jam)

Transform nilai faktor

Infiltrasi (fc) Notasi

I Cepat > 12,7 > 0,45 a

II Agak cepat 6,3 – 12,7 0,20 – 0,45 b

III Sedang 2,0 – 6,3 0,10 – 0,20 c

IV Agak lambat 0,5 – 2.0 0,04 – 0,10 d

V Lambat < 0,5 < 0,04 e

Sumber: USDA, 1951; Hammer, 1978 dalam Dephut, 1998

Jika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan jenis tanah, maka dapat dikonversikan sebagaimana Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Potensi Infiltrasi untuk Setiap Jenis Tanah

Parameter Klasifikasi Jenis Tanah

Kelas Deskripsi Notasi FAO Soil Taxonomy

Infiltrasi I Besar a Andosol hitam Dystrandepts II Agak besar b Andosol coklat Hydrandepts

III Sedang c Regosol Tropopsamments, Tropaquepts IV Agak kecil d Latosol Dystropepts, Eutropepts

V Kecil e Aluvial Hydraquents, Sulfaquents, Tropaquents

Sumber: Dephut, 1998; Purwanto, 1997 (3) Curah Hujan (RD)

Secara potensial, infiltrasi akan lebih besar untuk hujan dengan periode waktu terjadinya lebih panjang. Sehubungan dengan kondisi yang demikian maka dalam kaitannya dengan infiltrasi ini, faktor hujan dikembangkan sebagai faktor “hujan infiltrasi” atau disingkat ”RD” yaitu jumlah hujan tahunan x jumlah hari hujan/100 (Dephut, 1998).


(40)

Hasil perhitungan RD dilakukan berdasarkan data curah hujan tahunan dan hari hujan dalam satu tahun dari 46 pos hujan yang berada di sekitar/wilayah DAS Padang. Rincian pos hujan dan atribut data iklim yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemetaan RD dilakukan dengan bantuan ekstensi

Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x. Metode interpolasi RD menggunakan Inverse Distance Weighted (IDW) dari nilai RD berdasarkan kedudukan geografis

stasiun hujannya. Nilai hujan infiltrasi dari proses interpolasi tersebut selanjutnya ditransformasi kedalam nilai potensi infiltrasinya. Hasil klasifikasi nilai RD dalam kaitannya dengan nilai potensial infiltrasinya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Klasifikasi Nilai “Hujan Infiltrasi” RD

Kelas Deskripsi Nilai

“hujan infiltrasi” RD Notasi

I Rendah < 2500 A

II Sedang 2500 – 3500 B

III Agak besar 3500 – 4500 C

IV Besar 4500 – 5500 D

V Sangat besar > 5500 E

Sumber: Wischemeier, 1958; Chow, 1968; Wiersum Ambar, 1980 dalam Dephut, 1998

(4) Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan, khususnya tipe vegetasi penutup berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu: perakaran dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan run-off dan vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi. Vegetasi juga mempengaruhi erosi melalui beberapa proses. Tajuk pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan ukuran butir tetes hujan. Faktor-faktor yang berperan antara lain tinggi tajuk,


(41)

tebal tajuk, kelebatan, serasah yang dihasilkan, rerumputan dan herba sebagai penutup tanah (Dephut, 1998).

Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008. Tipe penutupan lahan pada Peta Penutupan Lahan yang telah dikoreksi selanjutnya ditransformasikan kedalam nilai tingkat infiltrasi aktualnya secara kualitatif sebagaimana Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Nilai Tingkat Infiltrasi Aktual (Kualitatif)

Parameter Klasifikasi Tipe Penggunaan Lahan

Kelas Deskripsi Notasi

Infiltrasi I Besar A Hutan lebat

II Agak besar B Hutan produksi, perkebunan III Sedang C Semak, padang rumput IV Agak kecil D Hortikultura (landai)

V Kecil E Permukiman, sawah

Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998

(5) Klasifikasi Kekritisan Daerah Resapan

Kondisi kekritisan daerah resapan diperoleh dari hasil tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi dengan Peta Tingkat Infiltrasi Aktual, di mana kondisi kekritisan daerah resapan merupakan perbandingan antara kondisi potensi infiltrasi suatu wilayah dengan tingkat infiltrasi aktualnya.

Peta Potensi Infiltrasi tersusun atas parameter kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan. Parameter-parameter potensi infiltrasi yang telah ditransformasi kedalam notasi potensi infiltrasi pada proses sebelumnya, selanjutnya ditransformasikan kedalam skor potensi infiltrasinya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.


(42)

Tabel 6. Skoring Notasi Potensi Infiltrasi

Notasi Potensi Infiltrasi Skor

A 1

B 2

B 3

D 4

E 5

Sumber: Chow, 1968; Suwardjo, 1975, Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar, 1986 dalam Dephut, 1998

Parameter-parameter penyusun potensi infiltrasi yang telah diskoring selanjutnya ditumpang-susun untuk mendapatkan skor potensi infiltrasi. Proses tumpang susun ini menghasilkan unit-unit lahan baru yang merupakan gabungan dari parameter jenis tanah, curah hujan dan kemiringan lereng. Dengan demikian, dalam sebuah unit lahan yang baru, akan didapati skor-skor dari parameter-parameter awal yang menyusunnya.

Untuk dapat menilai suatu unit lahan yang baru sebagai sebuah potensi infiltrasi, maka skor awal dari tiap-tiap parameter yang terdapat pada masing-masing unit lahan dihitung dengan cara dijumlahkan. Hasil dari penjumlahan tersebut kemudian dikelompokkan kedalam lima kelas potensi infiltrasi dan membentuk notasi potensi infiltrasi baru, sehingga menggambarkan potensi infiltrasi dari masing-masing unit lahan yang terbentuk. Klasifikasi hasil penjumlahan parameter penyusun potensi infiltrasi terhadap notasi potensi infiltrasi dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Notasi Hasil Penjumlahan Skor Parameter Potensi Infiltrasi

Jumlah Skor Deskripsi Notasi Potensi

Infiltrasi

3 4 5 Sangat Kecil E

6 7 8 Kecil D

9 10 11 Sedang C

12 13 14 Besar B

15 Sangat Besar A


(43)

Peta Infiltrasi Aktual diperoleh dari parameter penggunaan lahan yang telah ditransformasikan kedalam notasi tingkat infiltrasi aktualnya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5 terdahulu.

Tahap akhir dalam proses identifikasi kekritisan daerah resapan adalah dengan melakukan tumpang susun Peta Potensi Infiltrasi (curah hujan, kemiringan lereng dan tanah) dengan Peta Infiltrasi Aktual (penggunaan lahan). Proses tumpang susun tersebut menghasilkan unit-unit lahan telah mempunyai kombinasi nilai potensi infiltrasi dan nilai tingkat infiltrasi aktual, sehingga tingkat kekritisan daerah resapan pada tiap-tiap unit lahan dapat teridentifikasi. Adapun kriteria yang dipakai untuk menilai kondisi kekritisan daerah resapan adalah sebagai-berikut (Dephut, 1998): I Kondisi Baik, yaitu jika nilai infiltrasi aktual lebih besar dibanding nilai

infiltrasi potensial, misalnya dari e menjadi A, atau dari d menjadi B dan seterusnya.

II Kondisi Normal Alami, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sama atau tetap seperti nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari b menjadi B, atau dari c menjadi C dan seterusnya.

III Kondisi Mulai Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun setingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi B, atau dari c menjadi D dan seterusnya.

IV Kondisi Agak Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun dua tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi C, atau dari b menjadi D dan seterusnya.


(44)

V Kondisi Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun tiga tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi D, atau dari b menjadi E. VI Kondisi sangat Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual berubah dari sangat

besar menjadi sangat kecil, misalnya dari a menjadi E.

Metode identifikasi karakteristik hingga penentuan kelas kondisi daerah resapan ini secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Daerah Resapan


(45)

B. Identifikasi Daerah Pemasok Air Banjir

Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan dan karakteristik daerah tangkapan air. Tingkat ancaman hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dipilah antara faktor alami (relatif sulit dikelola) dan faktor manajemen (mudah dikelola). Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase dan lereng rata-rata DAS, sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan (Paimin, et al. 2009).

(1) Hujan Harian Maksimum (rata-rata bulan basah)

Hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah diperoleh berdasarkan data curah hujan dari 31 stasiun hujan yang berada di sekitar/wilayah DAS Padang (Lampiran 4). Pemetaan hujan harian maksimum rata-rata bulan basah dilakukan dengan bantuan ekstensi Spatial Analyst Tools dari ArcGIS v.9.x menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) dari nilai hujan harian maksimum berdasarkan kedudukan geografis stasiun hujannya.

Parameter hujan harian maksimum yang dihasilkan selanjutnya ditransformasikan kedalam bobot dan skor berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat sebagaimana Tabel 8 berikut:


(46)

Tabel 8. Klasifikasi Skoring dan Bobot Hujan Harian Maksimum

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Hujan harian max. rata-rata pada bulan basah (mm/hr) (35%)

< 20 21 – 40 41 – 75 76 – 150

>150 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009

(2) Bentuk DAS

Bentuk DAS diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut dikonversi kedalam format raster grid. Dengan menggunakan ekstensi ArcSWAT, data raster grid tersebut didelineasi sehingga membentuk daerah-daerah tangkapan air/DAS. Daerah tangkapan air yang terbentuk tersebut selanjutnya dikategorikan kedalam Sub DAS dan Sub-Sub DAS berdasarkan daerah tangkapan air sungai utamanya.

Mengingat pentingnya bentuk DAS, sejumlah peneliti telah mencoba, mengandalkan pada prinsip kemiripan geometrik untuk menggantikan sejumlah deskripsi seperti oval, persegi atau membujur dengan indeks yang lebih tepat yang dapat digunakan dalam formulasi matematis (Zavoianu, 1985).

Miller (1953) (dalam Zavoianu, 1985) memperkenalkan Circularity Ratio (RC) yang mewakili hasil pembagian antara luas (Ab) sebuah DAS dan luas (Ac) sebuah lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling DAS.

Ac Ab


(47)

Untuk mendapatkan rasio ini, luas dan keliling DAS harus dihitung. Ketika nilai rasio sama dengan satu maka DAS membentuk lingkaran sempurna, menurun pada rasio 0,785 DAS berbentuk persegi dan semakin menurun nilainya hingga pada akhirnya berbentuk memanjang. Circularity Ratio dapat diturunkan menjadi formula sebagai berikut, di mana P adalah keliling DAS.

2 4

P A

RC  

Dalam kenyataan, nilai rasio tersebut tidak pernah sama dengan satu, dikarenakan faktor fisiografis dan lereng selalu berperan sehingga sebuah DAS mempunyai bentuk memanjang. Berdasarkan persamaan di atas, maka bentuk DAS dihitung berdasarkan rasio antara luas dengan keliling DAS.

Bobot dan skor bentuk DAS berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk DAS

Parameter/Bobot Circularity Ratio Klasifikasi Kategori Skor Bentuk DAS

(5%)

< 0,256 0,257 - 0,436 0,436 - 0,695 0.696 - 0,785

1,000 Lonjong Agak lonjong Sedang Agak bulat Bulat Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009 dan Miller 1953 dalam Zavoianu, 1995

(3) Gradien Sungai

Gradien Sungai diperoleh dari hasil pengolahan Peta Pola Aliran Sungai, Peta DAS dan Peta Wilayah Ketinggian (elevasi). Parameter gradien sungai (á) dihitung


(48)

% 100 75 , 0 10 85    Lb h h

Di mana Lb adalah panjang sungai utama pada wilayah Sub-Sub DAS, sedangkan h85 dan h10 adalah elevasi sungai utama pada (0,85)Lb dan (0,1)Lb yang dihitung dari outlet sungai utama.

Bobot dan skor parameter gradien sungai berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Klasifikasi Skoring dan Bobot Gradien Sungai

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Gradien sungai (%) (10%)

< 0,5 0,5 – 1,0 1,1 – 1,5 1,6 – 2,0 > 2,0 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009 (4) Kerapatan Drainase

Kerapatan Drainase diperoleh dari hasil analisis Peta Pola Aliran Sungai dan Peta Bentuk DAS.

Chebotarev (1953) (dalam Zavoianu, 1985) menunjukkan bahwa kerapatan drainase dapat dijelaskan sebagai rasio dari rata-rata panjang alur sungai (l) berbanding dengan rata-rata area yang dilaluinya (a). Apabila dalam sebuah area DAS (A) terdapat sejumlah n alur sungai atau segmen sungai dengan total panjang

ÓL, maka l = ÓL/n dan a = A/n. Maka atas dasar persamaan tersebut, parameter

kerapatan drainase (Dd) dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

A L Dd atau

a l Dd


(49)

Terkait dengan nilai kerapatan drainase, Lynsley (1949) (dalam Dephut,1996) menyatakan bahwa jika nilai kerapatan drainase lebih kecil dari 1 mil/mil2 (0,62 km/km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kepadatan aliran lebih besar dari 5 mil/mil2 (3,10 km/km2), DAS sering mengalami kekeringan.

Bobot dan skor parameter kerapatan drainase berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

Tabel 11. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kerapatan Drainase

Parameter/Bobot Kerapatan Drainase Klasifikasi Kategori Skor Kerapatan drainase

(5%)

< 0,50 km/km2 0,51 – 0,99 km/km2 1,00 – 1,49 km/km2 1,50 – 2,00 km/km2

> 2,00 km/km2

Jarang Agak Jarang Sedang Rapat Sangat Rapat Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009

(5) Kemiringan Lereng Rata-rata DAS

Data Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi peta kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi lima kelas lereng.

Bobot dan skor kemiringan lereng rata-rata DAS berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:

Tabel 12. Klasifikasi Skoring dan Bobot Lereng Rata-rata DAS

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Lereng rata-rata DAS (%) (5%)

< 8 % 8 – 15 % 16 – 25 % 26 – 40 % > 40 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5


(50)

(6) Penggunaan Lahan

Kondisi penggunaan lahan DAS Padang didekati dengan Peta Penutupan Lahan tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Untuk mendekati kondisi aktual di lapangan, maka Peta Penutupan Lahan dikoreksi secara visual menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2008.

Bobot dan skor penggunaan lahan berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat pasokan air hujan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:

Tabel 13. Klasifikasi Skoring dan Bobot Penggunaan Lahan

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Penggunaan lahan (40%) Hutan Lindung/Konservasi Hutan Produksi/Perkebunan Semak/Belukar/ Sawah/Tegalan+teras Tegalan/Permukiman Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009

(7) Analisis Daerah Pemasok Air Banjir

Parameter hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah, bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, lereng rata-rata DAS dan penggunaan lahan yang telah ditransformasi kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap tingkat pasokan air hujan, selanjutnya dilakukan overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah Pemasok Air banjir.

Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat pasokan air suatu wilayah.


(51)

Formulasi yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah pemasok air banjir adalah sebagai berikut:

Skor Tertimbang = ((30% × HH) + (10% × BD) + (10% × GS) + (5% × KD) + (45% × LD) ) + (45% × PL)) : 100

HH = Skor hujan harian max. KD = Skor kerapatan drainase BD = Skor bentuk DAS LD = Skor lereng DAS GS = Skor gradien sungai PL = Skor penggunaan lahan

Klasifikasi skor tertimbang daerah pemasok air banjir dapat dilihat pada Tabel 14 berikut:

Tabel 14. Skor Tertimbang Identifikasi Kerawanan Daerah Pemasok Air Banjir

No. Skor Tertimbang Kategori

1. > 4,3 Tinggi

2. 3,5 – 4,3 Agak Tinggi

3. 2,6 – 3,4 Sedang

4. 1,7 – 2,5 Agak Rendah

5. < 1,7 Rendah

Sumber: Paimin et al. 2009

Metode identifikasi tingkat pasokan air banjir secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 3 berikut.


(52)

Gambar 3. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Pasokan Air Banjir

C. Identifikasi Daerah Rawan Banjir

Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir diidentifikasi dari karakter wilayahnya, seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering, pembendungan alami dan adanya bangunan pengendali banjir.


(53)

(1) Bentuk Lahan

Data bentuk lahan diperoleh dari Peta Landsystem. Data bentuk lahan dari Peta Landsystem dikalibrasikan dengan Citra SRTM melalui proses dijitasi menggunakan ArcView v.3.x. Proses kalibrasi tersebut diperlukan untuk memperoleh keakurasian bentuk lahan yang lebih baik data, di mana bentuk lahan yang dihasilkan memiliki akurasi setara peta Skala 1 : 50.000.

Kelas bentuk lahan dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai dan rawa-rawa, merupakan daerah yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng < 2% (Paimin, 2009).

Kelas bentuk lahan yang telah dikalibrasi selanjutnya ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 15 berikut:

Tabel 15. Klasifikasi Skoring dan Bobot Bentuk Lahan

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Bentuk lahan (30%)

Pegunungan, perbukitan Kipas aluvial Dataran, teras Dataran aluvial, lembah

Aluvial, jalur kelokan

Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2008 (2) Kemiringan Lereng

Parameter kemiringan lereng pada daerah rawan banjir diasumsikan sebagai lereng di kiri dan kanan sungai, di mana lereng yang lebih landai akan memungkinkan terjadinya limpasan air ketika sungai melampaui daya tampungnya dibandingkan lereng yang lebih curam.


(54)

Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan citra SRTM. Citra SRTM dikonversi kedalam format ASCII raster (*.asc) menggunakan Global Mapper v.11.x, selanjutnya menggunakan ArcGIS v.9.x data ASCII raster tersebut diolah menjadi Peta Kemiringan Lereng. Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dibagi kedalam tiga kelas lereng untuk kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 16 berikut:

Tabel 16. Klasifikasi Skoring dan Bobot Kemiringan Lereng (KiriKanan Sungai)

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Lereng lahan kiri-kanan sungai (%)

(10%)

> 8 (Sangat lancar) 2 – 8 (Agak lancar) <2 (Terhambat) Rendah Sedang Tinggi 1 3 5

Sumber: Paimin et al. 2009

(3) Pembendungan Alami

Pembendungan alami adalah keberadaan percabangan sungai, penyempitan sungai, dan atau daerah di sekitar muara di mana aliran sungai tertahan oleh air laut pasang.

Pembendungan alami diidentifikasi dari Peta Aliran Sungai. kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 17 berikut:

Tabel 17. Klasifikasi Skoring dan Bobot Pembendungan Alami

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Pembendungan oleh percabangan sungai/

air pasang (10%)

Tidak ada Anak cabang s. induk

Cabang s. induk S. induk/bottle neck

Pasang air laut

Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5


(55)

(4) Sinusitas Meandering

Tingkat kebanjiran diukur dengan nilai sinusitas (P), yaitu panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta (Paimin et al. 2009). Sinusitas meandering diidentifikasi dari Peta Pola Aliran Sungai dan dibatasi pada lereng-lereng ≤ 5% yang berada di kanan-kiri sungai.

Gambar 4. Parameter untuk Menggambarkan Meander (Hugget, j. R., 2007 dengan Modifikasi)

Berdasarkan parameter untuk menggambarkan meander seperti Gambar 4, maka penghitungan sinusitas (P) adalah nisbah antara panjang sungai yang berkelok (digambarkan dengan garis putus-putus berwarna merah) dengan total panjang gelombang meander (meander length) yang terbentuk pada alur sungai tersebut. Sinusitas meandering yang dihasilkan kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 18 berikut:


(56)

Tabel 18. Klasifikasi Skoring dan Bobot Sinusitas Meandering

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Sinusitas meandering (5%)

1 – 1,1 1,2 – 1,4 1,5 – 1,6 1,7 – 2,0 >2,0 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009

(5) Keberadaan Bangunan Air

Keberadaan Bangunan Air diperoleh berdasarkan pengumpulan data primer lokasi bangunan air dengan bantuan GPS pada daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir.

Parameter keberadaan bangunan air tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi penilaian parameter manajemen terhadap daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir. Parameter keberadaan bangunan air pada daerah yang secara alami terindikasi rawan banjir kemudian ditransformasikan kedalam skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir sebagaimana Tabel 19 berikut:

Tabel 19. Klasifikasi Skoring dan Bobot Keberadaan Bangunan Air

Parameter/Bobot Klasifikasi Kategori Skor

Bangunan air (45%)

Waduk+tanggul tinggi & baik Waduk

Tanggul/sodetan/banjir kanal Tanggul tidak terawat Tanpa bangunan Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 1 2 3 4 5

Sumber: Paimin et al. 2009

(6) Analisis Daerah Rawan Banjir

Parameter bentuk lahan, lereng lahan kiri-kanan sungai, pembendungan alami, sinusitas meandering dan keberadaan bangunan air yang telah ditransformasi kedalam


(57)

skor dan bobot berdasarkan perannya terhadap proses banjir, selanjutnya dilakukan

overlay terhadap kelima parameter tersebut untuk dapat menghasilkan Peta Daerah

Rawan Banjir.

Penghitungan skor dan bobot perlu dilakukan setelan proses overlay selesai untuk memperoleh skor tertimbang yang menjadi dasar bagi penilaian tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap banjir.

Formulai yang digunakan untuk memperoleh skor tertimbang daerah rawan banjir adalah sebagai berikut:

Skor Tertimbang = ((30% × BL) + (10% × KL) + (10% × PA) + (5% × SM) + (45% × BA)) : 100

BL = Skor bentuk lahan SM = Skor sinusitas meandering Kl = Skor kemiringan lereng BA = Skor bangunan air PA = Skor pembendungan alami

Klasifikasi skor tertimbang daerah rawan terkena banjir dapat dilihat pada Tabel 20 berikut:

Tabel 20. Skor Tertimbang Identifikasi Daerah Rawan Banjir

No. Skor Tertimbang Kategori

1. > 4,3 Sangat Rawan

2. 3,5 – 4,3 Rawan

3. 2,6 – 3,4 Agak Rawan

4. 1,7 – 2,5 Sedikit Rawan

5. < 1,7 Tidak Rawan

Sumber: Paimin et al. 2009

Metode identifikasi tingkat kerawanan banjir secara skematis ditunjukkan oleh Gambar 5 berikut.


(58)

Gambar 5. Skema Garis Besar Pendekatan Penyusunan Model Pengkajian Tingkat Kerawanan Banjir


(59)

IV. DESKRIPSI WILAYAH DAS PADANG

3.1. Kedudukan Geografis dan Pembagian Wilayah Administrasi

Secara geografis kedudukan DAS Padang berada pada lintang bujur 2o 57’

25,56“ – 3o 29’ 15,83“LU dan 98o 48’ 59,76“ – 99o 17’ 42,83“ BT dan meliputi wilayah seluas 110.671,85 hektar (1.106,71 km2). Secara administrasi, wilayah DAS Padang meliputi dua wilayah kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun dan Kota Tebing Tinggi. Dengan demikian DAS Padang dapat dikategorikan sebagai DAS lintas kabupaten/kota. Gambaran spasial wilayah kabupaten/kota yang berada di DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 6 Peta Wilayah Administrasi DAS Padang.

Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta, diketahui bahwa Kabupaten Serdang Bedagai mencakup 56,2% wilayah DAS Padang seluas 62.197,49 hektar. Dengan cakupan wilayah tersebut, Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten dengan proporsi wilayah terluas di DAS Padang, dengan tujuh wilayah kecamatannya berada di wilayah DAS Padang, yaitu Kecamatan Bandar Khalifah, Kecamatan Dolok Masihul, Kecamatan Dolok Merawan, Kecamatan Sipispis, Kecamatan Tanjung Beringin, Kecamatan Tebing Syah Bandar dan Kecamatan Tebing Tinggi.


(60)

(61)

Kabupaten Simalungun mencakup 40,3% wilayah DAS Padang seluas 44,570,97 hektar. Kabupaten Simalungun menempati posisi kedua wilayah administrasi terluas di wilayah DAS Padang dengan lima wilayah kecamatannya berada di wilayah DAS Padang, yaitu Kecamatan Dolok Batunanggar, Kecamatan Raya, Kecamatan Raya Kahean, Kecamatan Silau Kahean dan Kecamatan Tapian Dolok.

Kota Tebing Tinggi mencakup 3,5% wilayah DAS Padang seluas 3.903,39 hektar. Meskipun memiliki proporsi luas wilayah yang paling kecil dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya, namun tidak seperti kedua wilayah administrasi lainnya di mana hanya sebagian wilayahnya saja yang berada di DAS Padang, seluruh wilayah Kota Tebing Tinggi berada di wilayah DAS Padang. Dengan demikian seluruh kecamatan di wilayah Kota Tebing Tinggi berada di wilayah DAS Padang, yaitu Kecamatan Bajenis, Kecamatan Padang Hilir, Kecamatan Padang Hulu, Kecamatan Rambutan dan Kecamatan Tebing Tinggi Kota.

Cakupan luas wilayah administrasi sampai dengan tingkat kecamatan yang ada di wilayah DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 21.


(1)

11 Bah Kulistik Sihelmut 0.37 Agak Lonjong 175 192 3113 0.73 0.96 Agak Jarang 384.76

12 Bah Kulistik Tondang 0.31 Agak Lonjong 407 953 11945.6 6.09 1.17 Sedang 1881.35

13 Bah Silahua 0.32 Agak Lonjong 44 103 8479.9 0.93 1.91 Rapat 1137.36

14 Bah Simalas 0.35 Agak Lonjong 204 772 11084 6.83 0.98 Agak Jarang 1880.73

15 Sei Padang Benteng 0.26 Lonjong (Memanjang) 20 41 15976.3 0.18 0.70 Agak Jarang 2286.84

16 Sei Padang Marjanji 0.27 Agak Lonjong 68 95 6155.9 0.58 1.53 Rapat 750.83

17 Sei Padang Sibual 0.38 Agak Lonjong 110 138 3224.3 1.16 1.26 Sedang 373.88

30276.28

6 Sei Padang Hilir 1 Sei Padang Brohol 0.47 Sedang (Oval) 16 19 3295.2 0.12 0.99 Agak Jarang 419.35

2 Sei Padang Hilir 0.24 Lonjong (Memanjang) 5 18 25807 0.07 0.34 Jarang 10403.49

3 Sei Parit Belanda 0.24 Lonjong (Memanjang) 4 21 20546.4 0.11 0.54 Agak Jarang 6854.44

17677.27

7 Sei Sibarau 1 Bah Apung 0.29 Agak Lonjong 105 213 11899.4 1.21 1.17 Sedang 1784.11

2 Bah Bala 0.29 Agak Lonjong 860 991 9081.5 1.92 2.00 Rapat 1852.22

3 Bah Bulian Bandarraya 0.33 Agak Lonjong 141 186 4784.6 1.25 0.97 Agak Jarang 913.09

4 Bah Bulian Buluhraya 0.22 Lonjong (Memanjang) 864 1043 11277.4 2.12 1.37 Sedang 1539.37

5 Bah Bulian Raya 0.20 Lonjong (Memanjang) 255 624 22574.1 2.18 0.81 Agak Jarang 3840.81

6 Bah Bulian Rayakahean 0.39 Agak Lonjong 99 132 8765.9 0.50 0.62 Agak Jarang 1411.27

7 Bah Hampis 0.34 Agak Lonjong 169 246 6563.3 1.56 1.41 Sedang 876.43

8 Bah Hilang Dagandokan 0.25 Lonjong (Memanjang) 65 103 7811.9 0.65 1.40 Sedang 1508.71

9 Bah Lopatan 0.30 Agak Lonjong 223 477 17096.8 1.98 0.90 Agak Jarang 3884.33

10 Sei Sibarau 0.24 Lonjong (Memanjang) 24 49 26464.5 0.13 0.50 Jarang 6350.13

11 Sei Sibarau Pondok Coklat 0.28 Agak Lonjong 61 90 8168.1 0.47 1.10 Sedang 1043.61


(2)

Lampiran 3. Distribusi Tingkat Kerawanan Banjir DAS Padang No.

Sub DAS/Kabupaten/Kecamatan

Tingkat Kerawanan Banjir (luas dalam hektar)

Tidak Rawan Agak Rawan Rawan Sangat Rawan

1 3 4 5

I BAH HILANG

1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Dolok Merawan 4,438.07 6.82 - - b. Kecamatan Tebing Syah Bandar 2,283.08 91.91 - - 2 Kabupaten Simalungun

a. Kecamatan Dolok Batunanggar 1,077.22 - - - b. Kecamatan Tapian Dolok 1,233.06 - - - 3 Kota Tebing Tinggi

a. Kecamatan Bajenis 36.32 - 0.21 - b. Kecamatan Padang Hilir 32.78 - - - c. Kecamatan Padang Hulu 205.58 19.97 19.07 - d. Kecamatan Tebing Tinggi Kota 74.14 - 22.90 - Total Sub DAS 9,380.24 118.71 42.17 -

II BAH KALIAT

1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Dolok Merawan 2,258.54 - - - b. Kecamatan Sipispis 2,204.37 - - - 2 Kabupaten Simalungun

a. Kecamatan Raya 371.03 - - - b. Kecamatan Tapian Dolok 7,927.26 - 41.90 -


(3)

III BAH SUMBU 1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Sipispis 6,869.71 - 70.44 - b. Kecamatan Tebing Tinggi 852.25 - 21.69 - 2 Kabupaten Simalungun

a. Kecamatan Sipispis 3,195.47 - - - Total Sub DAS 10,917.44 - 92.13 -

IV SEI KALEMBAH

1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Dolok Merawan 1,645.17 - - - b. Kecamatan Tebing Syah Bandar 765.03 - - - c. Kecamatan Tebing Tinggi 1,281.09 - - - 2 Kota Tebing Tinggi

a. Kecamatan Bajenis 168.95 - 15.71 - b. Kecamatan Padang Hulu 484.50 - - -

Total Sub DAS 4,344.74

V SEI PADANG

1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Dolok Merawan 2,996.46 42.62 - - b. Kecamatan Sipispis 9,694.79 34.24 109.16 - c. Kecamatan Tebing Tinggi 2,000.58 94.36 36.03 - 2 Kabupaten Simalungun

a. Kecamatan Raya 4,908.23 - - - 110


(4)

b. Kecamatan Raya Kahean 9,274.42 - - - c. Kecamatan Tapian Dolok 740.95 - - - 3 Kota Tebing Tinggi

a. Kecamatan Bajenis 213.99 - 0.04 - b. Kecamatan Padang Hulu 113.61 16.78 - - Total Sub DAS 29,943.04 188.01 145.23 -

VI SEI PADANG HILIR

1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Bandar Khalifah 3,836.84 - 1,441.69 451.98 b. Kecamatan Tanjung Beringin 58.65 - 583.50 374.94 c. Kecamatan Tebing Syah Bandar 2,778.57 65.32 203.41 - d. Kecamatan Tebing Tinggi 5,368.41 1.91 378.12 - 2 Kota Tebing Tinggi

a. Kecamatan Bajenis 152.11 - - 28.95 b. Kecamatan Padang Hilir 969.09 - 71.06 - c. Kecamatan Rambutan 532.16 - 186.75 39.22 d. Kecamatan Tebing Tinggi Kota 148.54 - 5.66 0.38 Total Sub DAS 13,844.36 67.23 2,870.20 895.48

VII SEI SIBARAU

1 Kabupaten Serdang Bedagai

a. Kecamatan Dolok Masihul 3,630.73 68.07 70.24 - b. Kecamatan Sipispis 2,885.72 121.05 32.45 - c. Kecamatan Tebing Tinggi 1,939.50 27.98 81.98 - 2 Kabupaten Simalungun


(5)

c. Kecamatan Silau Kahean 1,689.86 - - - 3 Kota Tebing Tinggi

a. Kecamatan Bajenis 319.02 - 24.59 - b. Kecamatan Rambutan 1.31 - - - Total Sub DAS 24,577.63 217.10 209.34 -


(6)

Lampiran 4. Pos-pos Hujan Di Dalam dan Di Sekitar DAS Padang Beserta Atribut Data Iklimnya

No. Nama Pos Curah Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan

Rata-rata Tahunan Harian Maks.

1. Gunung Pamela 2.090 - 139

2. Bangun Purba 2.025 36 130

3. Jaharum B 1.028 48 104

4. Sei Semayang EMPL 1.986 60 89

5. Rambutan 1.541 54 92

6. Berohol 1.472 62 112

7. Sei Rejo 1.177 47 95

8. Bandar Khalipa 1.555 53 84

9. Biru-Biru 3.178 64 164

10. Kotarih 2.306 - 98

11. Bangun Bandar 1.898 58 122

12. Tanah Raja 1.561 - 90

13. Sibulan 1.713 - 89

14. Sei Rampah 1.320 - 79

15. Gunung Para 2.258 - 121

16. Mata Pao 1.848 51 101

17. Silau Dunia 2.294 - 88

18. Rambung Sialang 1.480 - 116

19. Gunung Monako 1.745 67 113

20. Sidamanik 2.720 45 161

21. Marihat 3.108 61 173

22. Sinder Raya 2.708 55 135

23. Bandar Betsy 1.786 52 117

24. Laras 2.149 37 89

25. Dolok ilir I 2.085 31 95

26. Bah Jambi 2.998 55 102

27. Muara Mulia 2.401 43 131

28. Dolok Sinumbah 1.843 45 87

29. Bah Kapul 2.509 65 167

30. Panai Tongah 2.364 60 140

31. Bahal Gajah 3.370 61 171

32. Pematang Kerasaan 1.899 66 122

33. Balimbingan 2.557 42 112

34. Tonduhan 2.592 78 106

35. Marihat Ulu II 2.827 - 113

36. Pagar Jawa 2.718 40 109

37. Tiga Runggu 1.782 42 138

38. Maligas 1.987 - 126

39. Dolok Merangir D 2.031 - 89

40. Dolok Merangir HO 2.368 - 112