Sit i Zait un masih berdiri di t angga. Ia m enatap semua orang. Ada Pak M antri, Paijo, ibu-ibu, camat , kepala polisi. Dan Kasan Ngali Ah Terlalu banyak yang dikenangnya atau yang harus dilupakan. Ia
t elah m emaafkan semua. Pak M ant ri t erpaku. Ia berbisik: “ Saya cinta kepadamu, Nak.” Kasan Ngali m enerobos orang banyak, tangannya m elambai-lambai. Dan disebutnya nama Siti Zait un. Ia berteriak:
“ Tun, jangan lupa, ya” Tidak ada orang yang m endengar, suara-suara lenyap oleh peluit kereta yang t ajam . Kereta berangkat , Zaitun melambai sampai menghilang dalam kabur kejauhan.
.... Dan sebelum masuk pintu kantor, sekali lagi Pak M ant ri m enghent ikan Paijo, m em egang
pundaknya. M enggoyang-goyangkan. M ata tua it u berkaca-kaca. Dan juga Paijo, ah bisa juga ia m em basahi m atanya. M ereka bertatapan. Tersenyum Kuntow ijoyo, 1994: 270-271.
Plot atau alur novel Pasar adalah plot kronologis atau progresif. Kisahnya diawali dengan permasalahan di pasar it u hingga t erselesaikannya persoalan yang ditandai dengan rencana pensiunnya
Pak M antri. Dengan m emperhat ikan penjelasan perkem bangan ringkasan cerit a di atas, diketahui bahw a lat ar cerit anya terjadi di sebuah pasar kecamatan, Gem olong, suatu kecamatan di w ilayah Jawa,
kemungkinan di Jawa Tengah. Latar waktunya t idak secara jelas dideskripsikan, akan tetapi mengingat Kasan Ngali m em iliki m obil dapat diperkirakan kisah novel ini berlangsung sekitar tahun 1960-an atau
1970-an. Sem entara latar sosialnya t erjadi dalam masyarakat pasar yang berjiw a sebagai pedagang yang kont ras dengan pribadi Pak M ant ri, sosok yang mem iliki kepribadian sebagai priyayi yang menjujung
t inggi nilai-nilai Jawa.
3. Bentuk Konflik Antar-kramadangsa Novel Pa sa r
Konflik awal yang ditemui oleh tokoh utama novel ini, Pak M ant ri, yait u berupa pemboikotan para pedagang pasar. M ereka tidak mau m embayar kepada Paijo lagi, yang notabene m erupakan
pegaw ai Pak M ant ri, karena m ereka merasa dirugikan. Para pedagang it u m engeluhkan ulah para burung dara m ilik Pak M antri. Beberapa ekor burung dara t elah m emakan barang dagangan seperti
besar yang m ereka jajakan, ada yang masuk ke gulai yang t engah dijajakan, bahkan ada beberapa ekor burung dara yang t urut m enjatuhkan barang dagangan. Int inya burung-burung m ilik Pak M ant ri it u
telah kelewatan m engganggu para pedagang. Selain m emboikot tidak mau m embayar retribusi, beberapa pedagang malah ada yang m embunuh burung-burung dara Pak M antri. M elihat sit uasi seperti
ini m em buat Pak M ant ri m arah-marah.
“ Inilah yang disebut zaman edan. Orang berbuat nasar. Orang kecil tidak tahu kekerdilannya. Orang besar berbuat sem ena-m ena. Tidak punya tanggung jaw ab. Berjualan t idak mau bayar karcis.
M em bunuh burung dara Apalagi Lengkaplah kejahatan m ereka Benarlah Kalathida karya pujangga” Sit i Zait un m endengarkan dengan khidmat . Tidak ada cara yang lebih baik daripada m embiarkan
mulut tua it u bicara. Ah, Sit i Zaitun m erasa ket erlaluan dengan m enyebut ‘mulut tua’ untuk Pak M antri. M aaf, ya Pak. Setelah Pak M ant ri selesai bicara, ia pun m enyela.
“ Lalu untuk apa saya kem ari, Pak?” “ Untuk apa? Hm , ya. Begini,” agak lama Pak M ant ri diam .
“ Untuk apa, Pak?” “ Nah. Kit a kerja sama. Kit a sama-sama dirugikan. Kalau pasar m undur, Bank mundur. Tolong,
pergilah pada Pak Cam at dan Kepala Polisi m elapor. Supaya m ereka urus. Supaya m ereka t ahu keadilan
m est i jalan. Supaya m ereka tahu tugasnya sebagai bapak rakyat. Kalau t idak, ah, saya membayangkan yang tak baik untuk kita, Ning.”
Gadis it u terkejut dengan perm intaan yang tak terduga itu. Ini tak mungkin. “ Tetapi it u t ak ada hubungannya dengan Bank, Pak.”
“ Sudah kujelaskan, begitu. Pasar mundur, Bank hancur.” “ Tidak,” t ukas Zait un. Ini luar biasa bagi Pak M ant ri. Gadis it u untuk pertama kali berkeras
padanya. Dan bergerak untuk pergi. Pak M antri sadar Kuntow ijoyo, 1994:38.
Setelah gagal m em bujuk Zait un unt uk m elaporkan perkara krim inal pem bunuhan burung- burung dara dan pemboikotan para pedagang kepada Camat dan Kepala Polisi, akhirnya Pak M ant ri
sendiri yang m elakukan hal itu. M eski laporan Pak M ant ri t idak diperhat ikan oleh kedua pejabat kecamatan it u.
Dalam konflik ini sebet ulnya disebabkan oleh kram adangsa Pak M ant ri yang m erasa dirinya sebagai orang yang berkuasa sebagai kepala pasar, orang yang dit uakan, dan m erasa dirinya sebagai
priyayi; sehingga dia m enunt ut orang-orang yang berhubungan dengannya untuk m enghormatinya. Kram adangsa
Pak M antrilah yang m ulur, m enunt ut lebih dari apa yang selama ini didapat kannya. Karena m erasa sebagai kepala pasar, pem boikotan para pedagang dianggapnya sebagai
pem bangkangan; tidak hanya t erhadap dirinya tetapi juga terhadap negara yang seharusnya m endapat kan pemasukan pajak pasar. Kram adangsa-nya m enunt ut unt uk dihargai sebagai seorang
yang m engagungkan drajat. Sebagaimana dipaparkan oleh Suryom entaram , bahwa seseorang biasanya dapat digolongkan
ke dalam salah satu tipe manusia: sem at , kramat, ataukah drajat. M anusia semat adalah manusia yang lebih m ement ingkan dan m engut amakan akan hart a; manusia kram at adalah manusia yang lebih
m em ent ingkan dan mengutamakan akan kekuasaan; dan manusia drajat adalah manusia yang lebih m em ent ingkan dan m engutamakan akan status sosial. Dalam kat egori ini, Pak M ant ri m emang
cenderung pada t ipe manusia yang m engut amakan drajat. Sehingga mana kala stat us sosialnya t idak dihargai oleh orang lain para pedangang, Pak Camat , Kepala Polisi, Sit i Zaitun, bahkan oleh Juru Tulis
Kecamatan ia merasa sangat terhina. Sebaliknya, dia sangat m enjujung tinggi akan stat us sosial semacam ini. Sepert i umumnya priyayi Jawa, st atus sosial m erupakan standar kehidupan yang sangat
pent ing. Hal it u berbeda dengan Kasan Ngali, seorang pedagang kaya, yang m elihat segala sesuatunya berdasarkan kekayaan. Kasan Ngali m erupakan sosok m anusia tipe semat .
Perhat ikan peristiw a kecil yang sangat membekas dalam hat i Pak M ant ri, yakni ketika dia tidak diperhat ikan atau tidak “ diuwongke” oleh salah seorang pegawai kecamatan. Sebagai seorang priyayi,
t ipe manusia drajat direm ehkan oleh orang lain, apalagi yang m enurut pandangannya orang t ersebut lebih rendah derajat nya, sangatlah menyakit kan kramadangsanya. Perhatikan kutipan berikut ini.
Di kota kecil it u kantor kecam atan punya gaya t ersendiri. Tobat, hanya ada seorang juru tulis sedang m enghadapi m esin tulis besar. M uka orang it u t enggelam di belakang m esin tulis yang keras
bunyinya. Gaduhnya m esin it u. O, ya, ada pegawai-pegaw ai w anit a di ruangan lain. Ia m endekat dan juru t ulis itu berhent i bekerja. Pak M ant ri m enegur dengan santun.
“ M aaf, Nak. Apa Pak Camat ada?”
Tukang ket ik itu m engangkat muka dan m enjawab, “ Coba tulis di buku t amu,” m enunjuk ke m eja buku tam u.
Pak M ant ri m au m emukul muka orang it u. Ia yang sudah jadi m ant ri pasar di kota itu sejak sebelum bocah ingusan ini lahir Harus m enulis di buku tamu pula Apakah ia m enolak atau t idak? Bisa
saja ia langsung ke kamar camat dan camat it u akan menyambutnya dengan t ergesa-gesa. Eh, siapa namanya, berani m em erintah mant ri pasar. Camat pun tak akan berani m enyuruhnya m enulis di buku
t amu? Sejak kapan kau jadi orang Gemolong? Tak beradat . Tet api, bukan Pak M antri Pasar kalau t idak berpikir panjang. Eh, bagaimanapun pangkat mu, jangan sekalipun m enunjukkan sikap angkuh. Jangan
adigung , m entang-m entang orang besar. Sabarlah, mantri, sabar.
“ M ana buku itu, Nak?” Engkau akan dapat malu, kalau kau tahu bahwa Pak Camat pun m enghormat , juru tulis. Untuk adilnya, Pak M ant ri Pasar masih t ak mau m engambil sendiri buku itu. Juru
t ulis beranjak dan buku itu disodorkannya kepada Pak M antri Kuntow ijoyo, 1994:44.
Begitulah konflik-konflik yang dihadapi Pak M ant ri. Biasanya berkait an dengan harga dirinya yang t idak dihormati oleh orang lain. Orang-orang priyayi biasanya m emang m enekankan pent ing
drajat -nya. Dari kutipan di atas, jelaslah stat us sosialnya yang tinggi yakni sebagai priyayi, kepala pasar,
orang yang dituakan, m erasa terhina oleh t ingkah sang juru tulis yang m enyuruhnya m enulis di buku t amu. Hal semacam ini t idak akan t erjadi konflik jika orang yang disuruh m engisi buku tamu m isalnya
Paijo, Kasan Ngali, at au mungkin Siti Zait un. Pak M antri m emang t idak m engalam i konflik secara langsung dengan pegawai kecamatan it u.
Konflik itu t erjadi dalam bat in Pak M ant ri, konflik dengan hati nuraninya sendiri. Di sinilah t erjadi pertarungan antara kram adangsa dengan aku dalam diri Pak M ant ri. Dalam konsep Suryom entaram , ke-
aku- an Pak M ant rilah yang berhasil m engalahkan kramadangsa-nya sehingga akhirnya ia m engalah, mau
m engisi buku tam u tersebut. Dalam kejadian ini, kram adangsa Pak M antri yang t adinya m ulur, ingin dihormati oleh siapa pun, akhirnya m enemukan situasi yang m emaksanya m ungkret. Ia m engalah dan
m enerim a situasi sem acam it u. Konflik bat in sebagaimana diekspresikan dengan m onolog int erior, “ Eh, bagaimanapun
pangkatmu, jangan sekalipun menunjukkan sikap angkuh. Jangan adigung, m entang-mentang orang besar. Sabarlah, mantri, sabar.” m erupakan bentuk kem enangan aku atas kram adangsa-nya. Pak M ant ri
berhasil “ m embaca” kramadangsanya, sumber segala ketidakbahagiaan set iap manusia, termasuk dirinya, dan m enemukan aku-nya sumber segala kebahagiaan yang dim iliki oleh m asing-masing
m anusia sehingga t indakan yang diambilnya pun benar dan m endatangkan ket ent raman. Konflik yang bakal t im bul dengan sang juru t ulis akhirnya dihindari berkat “ diketahuinya” kemauan kram adangsa-
nya, dan m engikut i apa yang “ disarankan” oleh aku-nya. Hal semacam itu, m engenali “ kejahatan” kramadangsa dalam dirinya dan m engenali aku-nya,
m embuat Pak mant ri t erhindar dari konflik berkepanjangan dengan para pedagang, juga terhadap bawahannya Paijo dan juga rekanan kerjanya Sit i Zaitun. Dengan m engenali bahwa segala sumber
konflik selama ini dengan para pedagang adalah keberadaan burung-burung dara m iliknya yang telah m engganggu aktivit as para pedagang, Pak M ant ri m engambil t indakan dram at is. Ia m embebaskan
kepem ilikan burung-burung dara it u kepada siapa pun untuk m enangkapnya, m enjualnya, bahkan untuk m emakan dagingnya.
Keputusan membebaskan kepem ilikan burung-burungnya inilah yang m embuat orang-orang para pedagang, Paijo, Zaitun, Camat, Polisi dan lain-lain, kecuali Kasan Ngali m engakui kebesaran jiw a
Pak M ant ri. Dengan begitu, ia malah dihargai dan dihormat i, suat u perhargaan hidup yang tidak dit unt utnya, malah kini diperolehnya. Di sini Pak M ant ri t elah t erbebas dari keinginan kram adangsa-nya.
Pak M antri m emasuki masa pensiunnya dengan damai dan tent ram , dia juga akhirnya percaya dengan kepiwaian Paijo untuk m enggant ikan posisinya sebagai m ant ri pasar.
Pak M ant ri Pasar berjalan pulang bersama paijo. Ia akan m asuk kantor, entah untuk hari-hari t erakhir barangkali. Jalannya terhuyung. Paijo m enggandengnya, seolah kalau tidak dem ikian laki-laki t ua
itu akan t erjatuh. M ereka berjalan bergandengan. Dari stasiun, m ereka berjalan ke selatan, sedikit , kemudian m embelok ke timur. Jalan ini lurus m enuju ke pasar.
“ Inilah, Nak. Kit a m enang, t anpa m engalahkan. Kita sudah bert empur tanpa bala tentara. M engapa, musuh kit a adalah kita sendiri. Di sini. Nafsu kita. Dan kita sudah m enang”
Paijo mengeratkan genggaman tanda setuju. M emandang sedikit ke muka Pak M ant ri. “ Kitalah orang Jaw a yang t erakhir, Nak.”
M ereka berjalan lagi. “ Yang m em entingkan budi, lebih daripada ini.” Pak M antri m enggeserkan empu jarinya dengan
t elunjuk, “ Yang mement ingkan martabat lebih dari pangkat .” Pak M ant ri m enghentikan Paijo di muka kantor pasar. Belum banyak orang datang. Pak M ant ri
m enunjuk pada los-los pasar. “ Hari-hari t erakhir untukku, Nak. Hari-hari pertama untukmu. Sebentar lagi saya akan
m eninggalkannya. Tetapi saya percaya padamu.” Kem udian suara itu tidak jelas, serak, berakhir dengan isak. M ereka masuk ke lingkungan kantor Kuntow ijoyo, 1994:270.
Berbeda dengan nasib Kasan Ngali. Sepert i sudah disinggung pada bagian awal, Kasan Ngali t erm asuk manusia bertipe semat, yang m engutamakan harta kekayaan. Kehidupan ini bagi Kasan Ngali
diukur berdasarkan harta kekayaan. Dia pikir, orang akan bahagia selamanya jika m em iliki harta yang m elim pah, dan sebaliknya seseorang akan celaka selam anya jika t idak m em iliki harta. Tentu saja, dalam
pandangan Suryom entaram , hal it u hanyalah pandangan sang kramadangsa manusia semat. Dem ikian juga bagi manusia kram at; orang akan bahagia selam anya jika m em iliki kekuasaan yang besar, dan
sebaliknya seseorang akan celaka selamanya jika t idak m em iliki kekuasaan apa-apa. Bagi orang yang bert ipe drajat , m ereka m engira akan bahagia selamanya jika m em iliki status sosial yang t inggi, dan
sebaliknya seseorang akan celaka selamanya jika tidak m em iliki status apa-apa. Padahal m enurut Suryom entaram , orang yang punya harta, kekuasaan, ataupun status sosial
t idak akan selam anya bahagia; dem ikian sebaliknya orang yang tidak punya harta, kekuasaan, ataupun status sosial t idak selamanya m erasa celaka. Pada dasarnya tidak ada orang yang bahagia t erus atau
celaka t erus-m enerus. Pada hakikat nya, hidup manusia it u selalu: sebentar bahagia, sebent ar susah, sebentar bahagia lagi, lalu susah lagi. Bagit ulah manusia. Dia akan terperangkap oleh kramadangsa-nya
yang m em iliki segala m acam keinginan yang m embuatnya m ulur-m ungkret . Setiap manusia akan menemukan kebahagiaan seandainya ia dapat “ m embaca” kramadangsa-
nya dan menemukan aku-nya. Ia akan m erasa cukup. Ia akan m erasa bahagia dengan kondisi “ seperti ini” , di sini” , dan “ pada saat ini” . Ia akan t erbebas dari segala macam keinginan. Inilah int i filsafat atau
ajaran Suryom ent aram . Dalam kasus novel Pasar karya Kuntow ijoyo, t okoh Pak M antri di akhir cerit a
m endapat kan kebahagiaan karena ia terbebas dari nafsu atau keinginan kramadangsa-nya. Sebalikya, Kasan Ngali m asih terbebani dengan segala kekecew aan hidup karena masih t erbelenggu dengan
kram adangsa- nya dan belum m enemukan “ aku” -nya.
Ketika para pedagang m emboikot Pak M antri salah satunya dengan t idak m enempat i los-los pasar yang disediakan untuk m ereka, Kasan Ngali m enangkap peluang itu dengan m endirikan pasar
t andingan di pekarangan rumahnya. Rumah Kasan Ngali m emang berseberangan dengan pasar. Oleh karena it u, seolah-olah ia dapat menandingi kekuasaan Pak M ant ri. Secara tidak langsung kram adangsa-
nya, m enilai kalau dirinya lebih dihargai oleh para pedagang daripada Pak M ant ri. Inilah kem enangan dari aspek kram at dirinya atas Pak M antri. M eskipun dalam perjalanannya para pedangang t idak mau
lagi m enempat i pekarangan Kasan Ngali karena suat u saat ia marah-marah, dan di pihak lain Pak M ant ri t elah menyadari kesalahannya, sehingga para pedagang itu akhirnya m enempati los-los pasar kembali.
Rasa kebrongot untuk “ m engungguli” lelaki saingan hidupnya di pasar it u, yakni Pak M ant ri, Kasan Ngali m enempuh berbagai cara. Selain m endirikan pasar t andingan di pekarangan rumahnya
sepert i yang dijelaskan di atas, lelaki yang m ewakili konsep santri dalam pandangan Geert z ini juga m embeli burung-burung dara m ilik Pak M antri. Setelah Pak M ant ri m em bebaskan kepem ilikan burung-
burung daranya sehingga para penduduk bisa menangkapnya, m enyembelihkan, bahkan untuk m enjualnya; Kasan Ngali m alah m embeli burung-burung itu dari para penduduk yang berhasil
m enangkapnya. Set elah dibelinya, dia m emerintahkan kepada para pekerjanya untuk m emberi tanda khusus digunt ing ekornya sehingga dapat dibedakan dari burung-burung eks-Pak M antri.
Tindakan Kasan Ngali bukan berarti dia penyayang burung, melainkan unt uk “ m engambil alih kekuasaan” Pak M ant ri atas burung-burung m iliknya. Hal ini kelihat annya sepele, nam un pembelian
burung-burung itu m erupakan simbol rasa unggul dirinya terhadap lelaki t ua saingannya itu. Hal semacam itu t idak t erjadi sekali ini saja. Dulu, sew akt u Pak M ant ri mau m endekat i M arsiyah, Kasan
Ngalilah yang m enggagalkannya. Dialah yang akhirnya m enikahi M arsiyah sehingga Pak M ant ri tetap m embujang. M emang M arsiyah bukan istri pertamanya, malah t idak seberapa lama dia diceraikan oleh
Kasan Ngali. Kasan Ngali sebetulnya ingin mengungguli Pak M ant ri. Dan dalam hal ini, khususnya yang berkaitan dengan semat ingat , M arsiyah mau menikah dengan Kasan Ngali karena dia lebih kaya, Kasan
Ngali lebih unggul daripada Pak M antri. Rasa unggul atas kepem ilikan harta m erupakan salah sat u bentuk mulur kram adangsa Kasan
Ngali sebagai tipe manusia semat . Hampir semua t indakannya didasarkan pada pola semacam ini. Ia seakan-akan mampu m embeli apa saja. M anakala ia jatuh hat i kepada Sit i Zait un, pegawai bank pasar
yang nyaris bangkrut it u, Kasan Ngali m endekat inya dengan sudut pandang khas seorang manusia yang m engagungkah harta atau kekayaan. Zaitun sendiri tidak m enaruh simpat i kepada lelaki hidung belang
itu karena selain sudah tua, banyak istri, secara pribadi t idak bertolak belakang dengan pribadi Kasan Ngali.
Ketika para pedagang t idak bisa lagi m enabung, Kasan Ngali m emodali atau m emberi uang kepada para pedagang untuk menabung di t empat kerja Zaitun. Trik yang dilakukannya akhirnya
diket ahui Zaitun, dia m enolak para penabung itu. Untuk m enarik sim pat i gadis cant ik it u, pernah suatu kali Kasan Ngali m emberi bingkisan lew at Paijo. Bingkisan it u dit olak m entah-m entah m anakali Zait u
t ahu, barang yang dibungkus itu berasal dari Kasan Ngali. Aksinya beli mobil suatu benda yang cukup luks unt uk kawasan pasar it u dan m engendarainya sekedar unt uk pam er, t idak digubris oleh Zait un.
Zaitun tidak bisa “ dibeli” oleh Kasan Ngali. Keinginan kram adangsa-nya unt uk m enjadikan gadis pegawai
bank yang lulusan sekolah bidan itu sebagai istrinya m engalam i “ kemungkretan” dan akhirnya ia malah m engalihkan niatnya it u dengan rencana hendak m enikahi Sri Hest i, pemain t eat er keliling.
Niat m enikahi Sri Hest i bukan didasari atas cinta m elainkan untuk menunjukkan kepada Zaitun kalau wanita sepert i Sri Hest i yang m enjadi ratu panggung, t idak kalah cant ik dengan Zaitun, mau
m enikah dengannya. Inilah rasa “ kebrongot” kram adangsa-nya atas penolakan Zaitun. Tent u saja ini bukan kebahagiaan. Inilah rasa celaka karena Kasan Ngali m enuruti kem auan kram adangsa-nya dan
t idak m enemukan aku-nya atau hat i nuraninya. Rasa kecewa it u akhirnya bertum puk manakala ia pun akhirnya gagal m enikah ratu panggung it u gara-gara dia harus memberi makan anggot a satu group
t em pat Sri Hesti selama ini kerja. Kasan Ngali yang tipe manusia sem at , jelas-jelas t idak dapat mem enuhi t untutan ini. Berikut ini percakapan Kasan Ngali dengan Darmo Kendang t entang penolakan rencana
pernikahannya dengan Sri Hest i.
Ya perempuan cantik dengan suara m erdu, dengan tubuh yang m enggairah, kulit kuning, mudah bergaul, dan masih muda. M uda? Yah, umur it u rahasia. Dan t idak seorang pun tahu riw ayat Sri Hest i
dengan t epat . Kalau orang m elihat dari luar, dengan perawan likuran tahun samalah. Perempuan itu modal bagi rombongan ketopraknya. Kalau t idak ada perempuan itu t idak bisa kerja. Dan semua akan
kehilangan pekerjaan tambahan yang hanya setahun sekali di kota kecamatan ini. Tidak mungkin lagi m enarik orang di kecamatan ini t anpa Sri Hest i. Di t em pat lain, bisa dibentuk orang lain. Di sini t idak
mudah. Perempuan m esti dipertahankan. Sebenarnya t idak sampai di rum ah Sri Hest i. Hanya berbicara sedikit dengan ketua perkumpulan,
lalu diantar kem bali. Ada pikirannya, sudah. “ Dia mau main juga,” katanya.
“ Kalau sudah jadi biniku?” “ Kalau Pak Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua rombongan, ia mau berhent i.”
“ M at i Wong ayu mahal harganya M aksudnya bagaimana?” “ Ya, itu perm intaannya, Pak”
“ Tidak mungkin” “ Lalu bagaimana?”
“ M empermainkan Kasan Ngali saja. Ini penolakan” “ Bukan begitu, Pak.”
“ Jelas” Kasan Ngali tidak bisa m embayangkan bagaimana ia bisa m emberi kerja kepada semua orang
rombongan it u. Tahun ini saja, berkat pengham buran it u ia akan kesulit an memelihara buruh-buruhnya yang sudah ada. Huh Ia ingat kata-kata Jenal it u. Ada benarnya, m emang ada benarnya Darmo Kendang
sudah mem ojokkannya. Tidak mungkin kaw in dengan perem puan itu Kuntow ijoyo, 1994:265-266.
Dalam novel ini, selain Pak M ant ri, Kasan Ngali m erupakan t okoh utama juga. Hanya ia t ergolong sebagai tokoh ant agonis. Dalam perjalanan hidupnya sebagaimana t ergambar dalam novel ini,
ia m engalam i berbagai hal: m ulai dari m endirikan pasar t andingan, m embeli burung dara bekas m ilik Pak M antri, gagal m endekat i Zait un, gagal m enikahi Sri Hest i dan berbagai perist iw a kecil lainnya. Tokoh ini
banyak digambarkan detailnya daripada t okoh lainnya, baik Paijo, Zaitun, maupun Pak M ant ri sendiri. Tokoh Kasan Ngali lebih banyak digambarkan bungah-susah-nya daripada t okoh lainnya.
Inilah salah satu ajaran Suryomentaram , bahwa setiap m anusia hidup itu akan selalu mengalam i peristiw a sebentar senang, sebent ar susah, sebentar senang lagi, lalu susah kem bali, dan seterusnya.
Tidak ada orang yang bahagia selamanya, juga tidak ada yang celaka selamanya. Orang m elihat orang lain bahagia, dan m elihat dirinya susah hanya karena dia m emakai kacamata kram adangsa-nya untuk
m elihat orang lain dan m elihat dirinya. Hidup Kasan Ngali terbelenggu oleh keinginan nafsu kram adangsa-
nya sebagai manusia tipe semat. Ia belum terbebas. Berbeda dengan Pak M ant ri, yang berhasil m engalah dirinya kram adangsa-nya dan m enem ukan aku-nya atau dalam bahasa Pak M ant ri
pada novel ini yait u cinta.
Paijo melihat pekerjaan it u. M enyiapkan sekrip di m eja. Ketika mau m enulis ia berkata. “ Asm aradana, Pak?”
“ Iya. M engapa?” “ Ini kan untuk orang muda yang sedang jatuh cinta?”
“ Kita semua jatuh cint a, Nak. Kepada manusia. Bukankah kita harus m encintai tetangga-tetangga kita sepert i kita m encintai diri kit a?”
“ Jadi bukan kepada Zaitun?” Pak M ant ri tertaw a.
“ Ah, ada-ada saja, Nak Kuntow ijoyo, 1994:259-260.
4. Kejiw aan Idealis Kuntow ijoyo dalam Formasi Sosial