Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo
Artikel no 7 ini dimuat di
Jurnal
Fenolingua
(terakreditasi), Universitas Widya Dharma, Klaten,
Februari 2006
(bersama Nurhadi).
Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel Pasar
Karya
Kuntowij oyo
Oleh Nurhadi dan Dian Sw andayani
Abstract
This research w as aim s to describe applicat io n of Suryom ent aram philosophy or psycho lo gy theo ry in Indonesian cont em porary lit erat ure, esp ecially in lit erature which has Javanese et hnic backgro und. This research was descr ibing th e struct ur e o f Pasar novels, describe fo rm s o f conflict int er-kram adangsa am ong t he charact ers in t his novel, and describe idealist psyche fo rm s from writers t o co nst ruct so ciety.
Subject of th is r esearch w as t ext of Pasar by Kuntow ijo yo that was published by Bent ang Int ervisi Utam a, Yogyakart a, 1994. This research was ref erence analysis. In terpret at ion t o t he no vel used t he t heo ry of Kaw ruh Jiwa o r “ knowledge of psyche” t hat fo unded by Suryom entaram . To collect ing dat a in t his research, we use data cards t o gro uping som e data by th e cat egory o f analysis. In t his research w e use validity sem ant ic and we use int er-rat er and int ra-rat er reliability to int erpret at ion dat a.
The conflict int er-kram adangsa t hat w as happen in Pasar no vel is a fight s bet w een semat type person and
drajat person. Semat t ype p erson in t his novel r epresent ed by Kasan Ngali and his fr iend in m arket faced t o Pak M ant ri, a priyayi per so n also as drajat t ype p erson w ho se have great orient at ion o n social st at us level. Till t he end of sto ry, Kasan Ngali st ill has a co nflict , bot h int er -personal conflict or co nflict t o ano ther perso n. In the ot her hand, Pak M ant ri have r eleased from his co nflict af ter r ealize his kramadangsa so t hat he can fr eedom him self from m any conflict , bot h int er-p er so nal conflict o r conflict t o anot her per son. In t he end of st ory, Pak M antri fo und a peace in h is t im e t o get h is pension. Kunto wijoyo in his novel, in generally, placed each their st ory charact ers who se have gr eat orient at ion o n social st at us level as person type of drajat or som et im es as kramat person type. But in th e o ther hand,
semat o r kramat t ype of per so n in Kunt ow ijo yo novel, t he essent ially no t yet really get their happiness, wit ho ut they realize t hem self o f kramadangsa t hat dem and every thing as popular as mulur-mungkret. Kunt owijoyo refuse Javanese peo ple t o be a semat per son. In novel Kunt owijoyo, indirect ly have been teach Suryo m ent aram philosophy, alt ho ugh just so m e of parts.
Key words: novel, conflict, Suryomentaram philosophy.
A. Pendahuluan
Dalam m enganalisis karya-karya sast ra Indonesia yang berlat ar belakang etnis Jaw a, t eori seperti yang dikemukakan Geert z (yang m engkategorikan m asyarakat Jawa m enjadi priyayi-sant ri-abangan) sering dit erapkan; mengingat paling tidak penelit ian tersebut m emang dilakukan oleh seorang antropolog Am erika yang lokasi penelit iannya di m asyarakat Jaw a, masyarakat kota Pare yang disamarkan m enjadi M ojokut o. Art inya, karya-karya sast ra Indonesia yang berlatar etnis Jawa yang m arak dihasilkan oleh sejum lah penulis Indonesia dari Jaw a sejak t ahun 1970-an t ersebut m erupakan m im esis dari masyarakatnya. Secara sosiologi sast ra, t eori Geert z t ersebut bisa dijadikan andalan dalam m embedah karya sastra yang berlatar Jawa t ersebut .
Lain halnya kalau, kajian t erhadap karya sast ra t ersebut dialihkan ke dalam bidang psikologi; m aka t eori yang sering dijadikan sebagai pirant i atau alat “ bedah” -nya yait u psikologi yang dikem ukan oleh Freud dan sejum lah variannya. Teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud yang t erkenal
(2)
dengan ist ilah id, ego dan superego (M ilner, 1992) it u hampir mem emuhi semua kajian sastra Indonesia dalam segi psikologis.
Di Indonesia, khususnya di Jaw a, sebetulnya ada t eori psikologi maupun filsafat yang dikemukakan oleh seorang Jaw a dengan corak yang t ipikal Jawa. Teori yang dimaksud yaitu Kaw ruh Jiw a
atau “ Pengetahuan Jiw a” yang dikemukakan oleh Suryom entaram (1892-1962). Ada beberapa pandangan Suryom entaram yang terkadang m em iliki kesamaan dengan psikoanalisis Freud dan sejum lah teori filsafat Barat lainnya. Akan t et api, t eori-t eori psikologi maupun filsafat yang dikemukakannya jarang diketahui oleh orang Indonesia sendiri. Bahkan t erkadang ada asum si bahw a apa-apa yang datang dari Barat diangap selalu lebih baik dari apa yang dim iliki oleh bangsa sendiri.
Kaw ruh Jiw a yang disampaikan oleh Suryom entaram sebetulnya sudah banyak dibukukan. Paling tidak ada tiga penerbit yang membukukan pem ikiran Suryomentaram t ersebut seperti Inti Idayu Press, CV Haji M asagung, dan yang terbaru Grasindo pada tahun 2002. Bahkan ada sejum lah peneliti yang mengkajinya untuk disertasi maupun t esis mereka sepert i Dr. J. Darm into, S.J (untuk disert asi di Universit as Gregoriana, Roma, 1980) dan Darmanto Jat m an S.U. (untuk t esis di UGM , Yogyakarta, 1985). Kini di internet t elah ada w ebsite-nya.
Alasan it ulah yang m endasari penelit ian konflik ant ar-t okoh yang t erdapat dalam sejum lah karya sast ra Indonesia m utakhir yang berlatar belakang etnis Jaw a dengan kerangka filsafat yang dikemukakan oleh orang Indonesia (dalam hal ini Jawa), yakni dari Suryoment aram . M elalui kajian dan analisis filsafat Suryomentaram atas karya sastra Indonesia m utakhir ini, diharapkan analisisnya akan lebih sesuai dan lebih mengena. Analisis karya sastra Indonesia mutakhir yang berlatar belakang et nis Jawa ini t erasa akan lebih natural dibandingkan dengan sejum lah analisis yang berangkat dari t eori-t eori Barat yang selama ini telah dilakukan, baik dalam sejum lah kajian ilm iah sepert i skripsi, tesis, dan disertasi maupun sejum lah kajian populer di m edia-media cetak.
Tulisan ini bertujuan unt uk m endeskripsikan penerapan t eori filsafat atau psikologi Suryomentaram dalam karya sastra Indonesia mutakhir, khususnya karya sast ra yang berlatar belakang et nis Jawa, yaitu novel Pasar karya Kuntow ijoyo. Selain untuk m endeskripsikan st ruktur novel Pasar, penelit ian ini juga bertujuan untuk m endeskripsikan bentuk-bent uk konflik antar tokoh-t okohnya, dan untuk m endeskripsikan wujud kejiwaan idealis pengarang dalam m elakukan konstruksi masyarakat .
Tulisan ini sebetulnya berasal dari hasil penelit ian yang berjudul “ Konflik Antar-Kram adangsa
dalam Novel-Novel Indonesia M utakhir Berlatar Et nis Jaw a: Kajian Filsafat Suryom entaram” . M engingat berbagai ket erbatasan dalam penulisannya dalam art ikel ilm iah, khususnya dari segi kuantit as t ulisan, art ikel ini m erupakan format lain dalam m engatasi kekurangan tersebut. Tulisan ini m erupakan salah satu bagian dari hasil penelit ian t ersebut yang sengaja difokuskan pada penerapan filsafat
Suryomentaram dalam salah satu novel Indonesia mut akhir, yakni pada novel Pasar. Dengan dem ikian, pem bahasannya m enjadi lebih det ail dan lebih terfokus.
B. Kajian Teori
Ada beberapa pengert ian khusus yang dikemukakan secara khusus oleh Suryom ent aram dalam
Kaw ruh Jiw a, sepert i: kram adangsa, m ulur-mungkret , m anusia sem at-kram at -drajat, zam an w indu-kencono, dan sejum lah istilah khusus lainnya. Suryom entaram m enyampaikan kaw ruh-nya atau penget ahuannya kepada sahabat -sahabatnya m encakup topik yang sangat luas dan menyeluruh, m eliputi semua aspek kehidupan manusia (Suryom entaram , 1984; 1985; 1986; 1989; 1990; 1991). Hal-hal ont ologis yang pernah dikemukakannya adalah sebagai berikut . Barang yang ada itu abadi. Art inya,
(3)
dulu ada, kini ada, dan kelak ada juga. Barang yang tidak ada kemudian m enjadi ada, dan yang ada m enjadi tidak ada m erupakan suat u hal itu tidak mungkin. Hal itu m irip seperti m em ikirkan dua kali dua sama dengan lim a. M em ikirkan barang yang ada m enjadi t idak ada, t entu m enimbulkan pertanyaan: ke m ana hilangnya? Jadi, barang yang ada it u abadi; dulu ada, kini ada, kelak juga ada.
Pertama
, menurut Suryomentaram, pada setiap diri manusia ada rasa yang identik
dengan namanya sendiri, yang termasuk barang jadi atau adonan. Jika ia bernama si Suta, ia
merasa aku si Suta. Jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa namanya sendiri ini, oleh
Suryomentaram diberi istilah “
Kramadangsa
” (Suryomentaram, 1985:52-64; 1990:106-131).
Kramadangsa
ini dibentuk dari kumpulan catatan-catatan pengalaman, yaitu
Kramadangsa
yang lahir di tempat tertentu, pada hari-bulan-tahun tertentu, dan mengalami
hal-hal tersendiri. Jumlah catatan-catatan itulah yang membentuk
Kramadangsa
, si ingat. Sebagai
barang jadi
Kramadangsa
bersifat tidak abadi, berbeda satu sama lain; bisa jadi, bisa rusak. Oleh
karenanya, ia mempunyai rasa iri hati, sombong, sesal, khawatir yang kesemuanya termasuk rasa
celaka.
Rasa “Aku” ialah barang asal yang bersifat sama. Rasa “Aku” inilah yang melahirkan
rasa tentram dan tabah yakni rasa bahagia. Tetapi bila rasa “Aku” ini lebur dengan
Kramadangsa
, orang selalu merasa “Aku
Kramadangsa
” dan lebur pula dengan watak
Kramadangsa
sehingga ia merasa “Aku
Kramadangsa
”, aku iri hati, aku sombong, aku
menyesal, aku khawatir, aku menderita, aku celaka.
Akan tetapi bila orang berdiri sendiri, bebas dari
Kramadangsa
, ia lalu merasa “Aku
bukanlah
Kramadangsa
”. Bebaslah pula ia dari watak
Kramadangsa
sehingga timbul rasa aku
tentram, aku tabah dan aku bahagia.
Keadaan barang jadi tergantung pada adonannya (bahannya). Bila adonannya diganti,
bergantilah keadaannya. Rumah bila salah satu tiangnya patah, ia akan reot.
Kramadangsa
bila
dompetnya diisi uang, ia segera girang, mukanya gembira, jalannya
pethenthang-pethentheng
,
lagaknya congkak. Hatinya berkata, “Hidup ini benar-benar senang, kalau ada yang tidak senang,
ia bodoh sendiri.” Tetapi bila uangnya diambil, ia lalu sedih, pucat mukanya, lunglai jalannya
dan putus asa, lalu katanya, “Bagaimanapun aku berdaya upaya, namun celaka juga.” Begitulah
ciri-ciri
Kramadangsa
(Suryomentaram, 1985:52-64; 1990:106-131).
Kedua,
yaitu istilah
mulur-mungkret
. Perhatikan kasus berikut ini. Orang berpenghasilan
tiap bulan Rp 100.000 itu mempunyai keinginan berpenghasilan lebih tinggi, ia ingin
berpenghasilan Rp 200.000. Inilah yang namanya
mulur
. Bila keinginannya terpenuhi, dapat
berpenghasilan Rp 200.000, ia
mulur
lagi ingin berpenghasilan Rp 500.000. Bila telah terpenuhi,
ia akan
mulur
lagi ingin berpenghasilan Rp 1.000.000; dan bila telah terpenuhi lagi, ia akan
mulur
lagi, ingin berpenghasilan Rp 5.000.000. Begitulah keinginan manusia selalu
mulur
dan
tidak akan ada batasnya.
Sebaliknya bila keinginannya untuk berpenghasilan Rp 5.000.000 per bulan tidak
terpenuhi, tetapi hanya terpenuhi Rp 3.000.000 saja; ia pun akan menerimanya. Inilah yang
dinamakan
mungkret
. Bahkan ketika keinginannya itu hanya terkabul berpenghasilan Rp 500.000
saja ia pun menerimanya juga. Ia
mungkret
juga. Begitulah hidup manusia selalu
mulur
dan
mungkret
.
Setiap kali keinginannya
mulur
dan tercapai, maka senanglah orang itu. Akan tetapi, jika
tidak tercapai ia akan susah. Namun bila keinginannya kemudian
mungkret
dan menerima
seberapa pun penghasilannya, ia pun akan senang. Begitulah irama orang hidup itu pun penuh
dengan: senang, susah, senang, susah (Suryomentaram, 1989:7-14).
(4)
Keinginan ialah asal gerakan, melahirkan gerakan dan mengadakan gerakan. Gerakan
tidak mungkin tidak dari keinginan. Gerakan itu bercacah, dapat dilihat mata, bertempat dan
berwaktu sehingga dapat ditanyakan berapa, bagaimana, di mana dan kapan.
Hidup ialah gerakan, maka keinginan ialah asal kehidupan, mengadakan kehidupan,
melahirkan kehidupan. Hidup berupa gerak dan diam. Pohon kelapa seutuhnya itu diam, namun
di dalamnya bergerak; menumbuhkan daunnya, bunganya dan buahnya. Gerak dan diam itu
berasal dari keinginan, maka keinginan selalu melahirkan kehidupan. Hal inilah yang
mengabadikan hidup yang bersifat gerak dan diam, atau lahir dan mati.
Sebagai contoh, orang duduk lalu berdiri, artinya gerakan duduk mati, kemudian lahir
gerakan berdiri. Berdiri lalu berjalan, artinya gerakan berdiri mati, lahir gerakan jalan. Demikian
seterusnya gerak dan diam, atau hidup dan mati itu abadi. Sifat keinginan itu abadi, yakni
sebentar
mulur
, sebentar
mungkret
(menyusut), sebentar
mulur
sebentar
mungkret
. Rasanya pun
abadi, yakni sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah (Suryomentaram,
1989:1-32).
Selain ada keinginan, di mana
kramadangsa
berada di dalamnya, ada juga zat. Zat,
keinginan dan Aku ialah barang asal yang bersifat tanpa cacah, tak terlihat dengan mata, tanpa
tempat dan tanpa zaman (bebas waktu). Oleh karena itu, ia tidak dapat ditanyakan berapa,
bagaimana, di mana dan kapan. Zat itu ada, tidak terasa dan tidak dapat dapat dirasakan adanya.
Keinginaan itu ada, dapat dirasakan, tapi tidak terasa adanya. Aku itu ada, dapat dirasakan dan
terasa adanya.
Zat ialah asal barang jadi, mengadakan barang jadi, melahirkan barang jadi. Barang jadi
tidak bisa lain pasti berasal dari zat. Zat melahirkan segala barang jadi dengan bercacah, dapat
dilihat mata, bertempat, dan berzaman. Barang jadi dapat ditanyakan berapa jumlahnya,
bagaimana rupanya, di mana tempatnya, kapan zamannya. Zat selalu melahirkan barang jadi
sehingga selalu ada barang jadi, yang bersifat: jadi, rusak, jadi, rusak. Misalnya, ada cangkir
yang jatuh hingga pecah, lalu rusak menjadi beling. Beling itu ditumbuk hingga hancur, rusak,
lalu menjadi bubuk beling. Demikian seterusnya kejadian itu selalu ada.
Ketiga,
yaitu pembagian jenis-jenis manusia berdasarkan orientasi keinginannya.
Suryomentaram membedakan secara umum jenis-jenis manusia ke dalam tiga kategori yaitu
sebagai manusia,
semat, kramat,
dan
drajat.
Manusia
semat
yaitu manusia yang lebih
mementingkan orientasi hidupnya pada uang atau harta kekayaan. Menurut manusia jenis ini,
sumber kebahagiaan adalah uang atau kekayaan. Bagi mereka tidak memiliki kekayaan atau
miskin merupakan hidup yang paling celaka. Padahal, kalau dipahami secara benar, sumber
kebahagian atau kesusahan sebenarnya bukan pada uang atau kekayaan. Setiap manusia kalau
memahami
kramadangsa
-nya dia akan menemukan
aku
-nya sehingga menimbulkan kebahagiaan
sejati. Jadi, punya uang atau tidak bukanlah sumber bahagia atau celakanya seseorang.
Berbeda dengan manusia
semat
yang mengagungkan uang dan kekayaan, manusia
kramat
lebih mementingkan orientasi hidupnya pada kekuasaan. Mungkin dia tidak kaya, tetapi
memiliki kekuasaan tertentu terhadap orang-orang, tipe manusia ini akan merasa bahagia. Ia
bahagia dapat menguasai orang lain, dapat memerintah orang lain. Sebaliknya, orang-orang tipe
kramat
akan merasa celaka hidupnya jika ia tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan apa-apa.
Dia hidupnya merasa paling celaka.
Di pihak lain, manusia
drajat
yaitu manusia yang lebih mementingkan orientasi hidupnya
pada status sosial, gengsi atau prestise, bukan pada kekayaan maupun kekuasaan. Berbeda
dengan manusia
semat
atau
kramat,
manusia
drajat
merasa paling bahagia kalau memiliki status
sosial yang tinggi, memiliki prestise tertentu. Sebaliknya ia akan merasa paling celaka hidupnya
(5)
jika kehilangan status sosialnya atau prestisenya. Tidak setiap manusia dengan mudah dapat
dikategorikan ke dalam tiga jenis tersebut. Masing-masing memiliki unsur-unsur tersebut, hanya
bagian mana yang lebih menonjol. Tipe-tipe orientasi kehidupan inilah yang membimbing
manusia melakukan berbagai keinginan
kramadangsa
-nya sehingga melahirkan sejumlah
tindakan tertentu.
C. M etode Penelitian
Subjek penelit ian ini yaitu naskah novel Pasar karya Kuntow ijoyo yang dit erbitkan 1994 oleh Bentang Intervisi Utama, Yogyakarta. Pem ilihan novel t ersebut sebagai subjek penelit ian didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, dari sekian pengarang Indonesia mutakhir yang m em iliki lat ar belakang etnis Jawa dan banyak m engangkat permasalahan kejawaan Kuntow ijoyo merupakan pelopornya, selain ada penulis lain semacam Umar Kayam , Pramoedya Anant a Toer, Linus Suryadi AG, Ahmad Tohari, m aupun Arsw endo Atm ow iloto. Kunt ow ijoyo seringkali m engangkat permasalahan kelompok masyarakat Jaw a khususnya priyayi ke dalam karya-karyanya. Pilihan novel Pasar karya Kuntow ijoyo t idak terlepas karena banyaknya apresiasi dan penelit ian pada novel ini, selain karena latar ceritanya lebih m engedepankan kehidupan kelompok priyayi-sant ri-abangan (sebagaim ana dinyatakan oleh Geert z) dan m engangkat kehidupan masyarakat Jaw a kont emporer.
Penelit ian ini m erupakan penelit ian kepustakaan. Oleh karena it u, langkah-langkah yang dit empuh berhubungan dengan pust aka atau data-data dokum entasi yang berkait an dengan judul penelit ian. Sement ara analisis yang dipakai yaitu berupa kajian kualit at if t erhadap novel yang m enjadi subjek penelit ian dengan orient asi utamanya dari teori Kaw ruh Jiw a atau “ Pengetahuan Jiw a” yang dikemukakan oleh Suryom entaram .
Secara lebih terperinci, langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. m enet apkan subjek penelit ian yait u novel Pasar karya Kuntow ijoyo;
2. m elakukan studi pustaka guna mencari dan m engum pulkan dat a-data yang berkait an atau yang m endukung judul penelit ian;
3. m elakukan pembacaan dan analisis t erhadap novel Pasar karya Kuntow ijoyo dengan memakai kerangka t eori Kaw ruh Jiw a at au filsafat dan psikologi Suryomentaram;
4. m enarik kesim pulan dan m enyusun laporan penelit ian.
Instrumen penelitian dalam kajian yaitu penelit i sendiri. Alat pengumpul dat a yang dipergunakan dalam penelit ian ini yaitu berupa kart u data yang kemudian dipilah-pilah berdasarkan kelompok-kelompok t ert entu sesuai dengan kat egorisasi penelit ian yang t elah dit et apkan sebelum nya. Teknik analisis data yang dipakai dalam penelit ian ini yait u t eknik deskript if kualitatif. Data-data yang t elah dit emukan dalam penelit ian ini disajikan dalam suatu paparan. Validitas yang dipergunakan dalam penelit ian ini yait u validitas sem ant is. Reliabilit as yang dipergunakan berupa int erat er (m embaca berulang-ulang) dan intrarat er (berkonsult asi antara ketua peneliti dengan anggota penelit i).
(6)
D. Pembahasan
1. Tokoh-tokoh dalam Novel Pasar
Dem i keruntut an pembahasan, hasil penelit ian t ersebut dinyatakan dalam bentuk yang lebih fleksibel, yakni data-data disajikan dalam bentuk t abel-tabel yang mendukung deskripsi pembahasan penelit ian. Berikut ini dipaparkan hasil penelitian t ersebut.
St rukt ur novel dalam temuan hasil penelitian ini akan disajikan dengan m enam pilkan kat egori tokoh-tokohnya dan relasi masing-masing tokoh dalam jalinan cerit a at au plot cerita. Dengan m engetahui tokoh-t okoh dan jalinan relasinya dalam alur cerita inilah konflik-konflik ant ar-tokoh dalam novel dapat diketahui. Konflik-konflik antar-tokoh sendiri m erupakan inti dari permasalahan penelit ian ini, yakni dengan m enerapkan konsep-konsep Suryom entaram guna m endalam i karakt er-karakt er (baca: kram adangsa) t okoh-tokoh utama novel ini. Kat egori tokoh dan relasi masing-masing tokoh dalam novel penelit ian ini adalah sebagai berikut .
Tabel 1
Kategorisasi Tokoh-tokoh dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo
Utama Tambahan
yang utama yang tambahan yang utama yang tambahan Protagonis Bulat Pak M ant ri Paijo, Sit i Zait un M arsiyah (Ibu anak kecil),
Datar Pak Polisi Pim pinan Bank, Seo rang Anak
Kecil, Darmo Kendang, Sri Hest i, Daryadi Bagus, Jenal
Antagonis Bulat Kasan Ngali
Datar Pak Cam at
Kepala Po lisi
Para Pedagang Pasar, Juru Tulis Kecam at an, Anak-anak Sekolah, Pem bant u dan Sopir Kasan Ngali, So pir dan Kenek Bis, Per em puan Penjual Wa-rung Nasi, Ibu-ibu Kecam at an
Tokoh utama novel ini bernama Pak M antri, seorang priyayi Jawa yang bekerja sebagai mant ri di sebuah pasar di suat u w ilayah Jawa. Dengan begitu, pem bahasan tokoh-t okoh lainnya dikait kan relasinya dengan Pak M ant ri m aupun kaitannya dengan pasar yang menjadi latar utama novel ini. Relasi antar-t okoh dalam salah satu novel karya Kuntow ijoyo ini dapat dilihat dalam t abel 2 berikut.
Tabel 2
Relasi Antar-tokoh dalam Pasar Karya Kuntowijoyo Nama Tokoh Relasi Tokoh dengan Tokoh Utama atau dengan Pasar
Pak M ant ri t okoh utama yang utama, seorang priyayi t erdidik yang bekerja
sebagai kepala pasar di Kecamatan Gemolong, sudah tua nam un m asih melajang, dan mendekati masa pensiun.
(7)
kalangan abangan yang bertugas m embantu Pak M ant ri m enarik uang karcis pasar dan mendapat tugas tam bahan m em elihara burung-burung Pak M ant ri. Di akhir cerit a dia diserahi mandat oleh Pak M ant ri untuk m engepalai pasar, sebagai penggant i Pak M ant ri karena dipandang t elah mum puni.
Sit i Zait un Pegawai bank pasar yang let aknya bersebelahan dengan kant or Pak
M ant ri, m asih muda, cant ik, lajang, t erdidik.
Kasan Ngali Seorang pedagang kaya, yang telah beberapa kali kaw in-cerai; punya
beberapa orang pegawai, bahkan sempat m endirikan pasar t andingan.
Pak Camat Orang yang juga turut berw enang atas regulasi pasar yang berada di
w ilayah kecamatannya.
Kepala Polisi Orang yang juga berw enang atas keamanan dan ket ert iban pasar
yang berada di dalam yuridiksinya.
Pak Polisi Baw ahan Kepala Polisi yang turun langsung dalam m enangani perkara
krim inal di pasar.
M arsiyah Seorang perem puan yang m enyalahkan Pak M ant ri ket ika anaknya
t erluka, dulu sempat mau m enjadi ist ri Pak M antri; namun akhirnya m alah jadi istri Kasan Ngali yang kemudian diceraikannya.
Sri Hest i Pemain teat er rakyat yang mau dipinang Kasan Ngali set elah cintanya
kepada Sit i Zaitun dit olaknya.
Darmo Kendang Perantara Kasan Ngali dengan Sri Hesti.
Daryadi Bagus Perantara Kasan Ngali dengan Sri Hesti
Jenal Tukang cukur pasar, yang kadang-kadang m em iliki berita-berita
t ert entu yang t idak diketahui sembarang orang.
Juru Tulis Kec. Pegawai Pak Cam at yang kurang m enghargai kedatangan Pak M antri
di kantor kecamatan.
Sopir dan Kenek Bis M ereka sering mampir di salah satu warung di pasar dan sering
berkata-kata jorok dan kasar.
Sopir Kasan Ngali Pegawai Kasan Ngali, khususnya setelah Kasan Ngali m embeli m obil
untuk pam er kekeyaan terhadap w arga pasar, khususnya t erhadap Zait un.
Pembantu Kasan Ngali
Pegawai yang bekerja di rumah Kasan Ngali.
Ibu-ibu Kec. Para istri pegawai kecamatan yang turut m engantarkan Zait un ke
st asiun kereta api, m eninggalkan pasar it u.
Para Pedagang Pasar Para pedagang yang sempat mogok t idak mau m embayar karcis pasar
gara-gara burung Pak M ant ri yang m engganggu mereka; setelah permasalahan utamanya diselesaikan, m ereka kembali m enempat i los pasar dan m embayar karcis kembali.
(8)
2. Rangkaian Peristiw a sebagai Pembangun Novel Pasar
Novel Pasar ini berkisah t entang kehidupan seorang kepala pasar di sebuah kecamatan (disebut nya dengan nama Gemolong), Jaw a Tengah. Pak M ant ri, dem ikian dia dipanggil, m em iliki seorang asisten, Paijo, yang sekaligus dikenal sebagai t ukang karcis karena pekerjaan utamanya m emungut karcis para pedagang di pasar itu. Selain it u, Paijo juga punya tugas sampingan mem elihara burung-burung Pak M antri, t ermasuk burung-burung daranya yang beranak pinak dan selalu m engganggu para pedagang. Burung-burung itu seringkali m engambil barang-barang yang t engah diperdagangkan. Hal itu m embuat para pedagang kesal. M ereka m emboikot , t idak mau membayar karcis lagi.
Ternyata, lebih banyak pedagang yang berjualan di jalanan muka pasar daripada masuk ke los-los. Pak M ant ri Pasar sudah berusaha m enggiring m ereka ke dalam , t etapi sia-sia. M akin hari los-los makin sepi. Dengan bermacam-macam alasan, sepert i: ‘lebih enak di jalan’, ‘lebih dekat dengan pm ebeli’ sampai ‘peruntungan saya di jalan, bukan di pasar’, it u m embuat jengkel Pak M ant ri saja. Akhirnya orang t ua it u m enyerah. Bahkan akhir-akhir ini orang telah m enjual kambing di jalanan juga dan bukannya di pasar hewan. Semakin hari sem akin parah dengan para pedagang itu. Dan sialan, Pak M ant ri Pasar pula yang disalahkan! Soalnya ialah karena burung-burung dara it u. Tunggulah duduk perkaranya
(Kuntow ijoyo, 1994:3)
Burung-burung itu m emang telah m eresahkan para pedagang. M ereka tidak hanya m engambil barang-barang dagangan sepert i beras atau kacang sebagai makanannya, t et api juga m enahi di mana-m ana sehingga mana-m emana-mbikin pasar kotor. Begit u juga dengan kantor M antri Pasar. Bank Pasar, temana-mpat Siti Zaitun bekerja, yang bersebelahan dengan kantor Pak M antri pun t urut kotor karena ular burung-burung kepunyaan Pak t ua yang masih m elajang it u.
Karena ulah burung-burung itu, banyak pedagang m em bawa t ongkat unt uk m emukul dan m enghalau burung-burung it u. Suatu hari didapatinya sejum lah burung m erpat i Pak M antri yang terluka dan mat i. Pak M antri m enganggap hal it u sebagai suat u tindak kejahatan. Ia m elaporkan hal it u kepada Pak Camat , juga kepada Kepala Polisi di kecamatan it u. Ia juga m engadukan para pedangang yang kini dianggapnya m emboikot negara karena t idak mau lagi m embayar utang dan banyak diantara m ereka t idak lagi m enempat i los-los pasar t etapi malah berjualan di jalanan. Hanya saja, laporan Pak M antri ini t idak dit anggapi oleh Pak Camat maupun Kepala Polisi seperti yang diharapkan. M ereka bert indak lambat dan malah lebih mengutamakan kegiatan sabung ayam .
Di seberang pasar, t erdapat seorang juragan yang kaya bernama Kasan Ngali. Terhadap para pedagang yang t idak mau m enempat i los-los pasar it u, dia sediakan t empat di pekarangan rumahnya. Dengan begitu, dia m endirikan pasar saingan yang t idak dikenai penarikan karcis. Duda yang t elah lima kaw in, salah satunya dengan M arsiyah yang dulu sem pat dit aksir Pak M ant ri it u, sebet ulnya t engah m endekat i pegawai Bank Pasar yang cantik, Zaitun. Bank Pasar it u sendiri t erancam bangkut karena para pedagang m erugi dan t idak bisa m enabung.
Untuk mendekati Zaitun, Kasan Ngali pura-pura mau m enabung. Dia dit olak karena bukan pedagang di pasar it u. Dia akhirnya menyuruh para pedagang untuk menyet orkan uangnya guna dit abung di Bank t empat Zaitun bekerja. Pernah dia m elamar Zait un unt uk menjadi ist rinya, t api m alah dit olak m entah-m entah oleh gadis yang pernah belajar di Akedem i Perawat it u. Ulah Kasan Ngali dalam
(9)
m enarik perhatian Zait un t idak hanya itu, akhirnya dia m endirikan bank perkreditan, dan m embeli m obil untuk pam er kepada Zait un.
Pihak kecamatan dan kepolisian sempat m engunjungi pasar itu guna m enindak lanjut i aduan Pak M antri sambil m engumpukan data-data di lapangan. Tetapi m ereka tidak m engambil t indakan apa-apa. M enghadapi situasi pasarnya yang tidak t erkendali, dan dalam rangka membangkit kan kembali bank pasar, Pak M ant ri berencana m engadakan pert em uan di pasar it u yang berupa pengarahan dari Pak Camat dan pengarahan darinya akan pent ingnya menabung. Rencana itu sebetulnya dimanfaat kan untuk m embalas kebaikan Zaitun yang pernah m emberinya makanan dalam besek, yang sebetulnya berupa daging burung dara goreng m ilik Pak M antri. Set elah tahu latar belakang itu, Pak M ant ri m enyukuri kegagalan pert emuan itu gara-gara Pak Camat t idak bisa datang; padahal segala persiapan t elah dilakukan Paijo dengan baik.
Setelah mengalam i proses panjang, Pak M ant ri akhirnya m enyadari bahw a sum ber kekacauan itu m emang burung-burung daranya. Dengan kesadaran dirinya, serta guna membalas budi atas kerugian para pedangan selama ini, Pak M antri akhirnya membebaskan para pedagang untuk m enangkap burung-burung daranya, baik untuk di makan, dipelihara at aupun dijual. Rupanya kebaikan hati Pak M ant ri ini diakali oleh Kasan Ngali, yang m em inta para pedagang guna m enjual merpat i-m erpati kepadanya. M erpati-m erpat i yang dibelinya itu, diberi t anda kemudian dilepas lagi.
Selain m enyadari akan burung-burung merpatinya sebagai penyebab t idak maunya para pedagang membayar karcis, rupanya Pak M ant ri juga menyadari kalau pekerjaannya sebagai mant ri pasar harus diakhiri dan diw ariskan kepada Paijo. M eskipun dirayu Paijo untuk mengurungkan niatnya untuk pensiun, Pak M ant ri t idak goyah dengan niatnya it u. Di pihak lain, t indakan Kasan Ngalai yang m embeli burung-burung m erpat i Pak M antri yang kem udian dilepas kem bali itu akhirnya dilarang oleh Pak Camat berkat pengaduan Zaitun. Paijo berhasil m engajak dua orang polisi di kecam atan (yang kebetulan teman main bolanya) itu untuk menertibkan burung-burung itu, juga m enert ibkan kondisi pasar. Paijo berhasil m enarik kembali para pedagang ke los-los pasar itu set elah sebelumnya diperbaiki dan tidak dipaksa untuk m embayar karcis. Usaha Paijo membuahkan hasil. Hal ini makin m emant apkan keyakinan Pak M ant ri untuk m enyerahkan kepem impinan pasar itu kepada Paijo, sang tukang karcis.
Di pihak lain, Kasan Ngali yang gagal m em inang Zait un, akhirnya berencana menikahi w anita lain, Sri Hest i rat u panggung ketoprak. Burung-burung dara yang awalnya dit angkapi untuk daging pest a perkaw inannya diganti dengan m embeli sejum lah ekor kambing. Set elah m enghitung-hit ung keuangannya, dia m erasa t ekor at as hal-hal yang t elah dilakukannya. Akhirnya pasar baru di pekarangan rumahnya dan bank perkredit annya dihancurkannya sendiri. Orang-orang pasar akhirnya tahu, ketidakt ulusan dan kekikiran Kasan Ngali. Tidak hanya it u, Kasan Ngali pun akhirnya gagal m enikahi Sri Hest i gara-gara tuntutannya agar ratu panggung ketoprak it u tidak bermain lagi set elah m enikah dengannya. Semua rencana Kasan Ngali gagal.
Di pihak lain, Zait un akhirnya benar-benar harus m eninggalkan kota kecamat an it u. Banknya dit utup karena t idak berkembang. Dalam perpisahannya terhadap warga kot a kecamatan itu, diantarlah w anita cantik ini di stasiun kereta api. Selain ibu-ibu kecamatan, datang juga Pak M ant ri dan Paijo turut m engantar. Kasan Ngali juga turut m endatangi stasiun it u guna m elihat Zait un pujaannya yang t erakhir kali. Pasar it u kini dit inggalkan Zait un, juga oleh Pak M antri yang sebentar lagi bakal pensiun.
(10)
Sit i Zait un masih berdiri di t angga. Ia m enatap semua orang. Ada Pak M antri, Paijo, ibu-ibu, camat , kepala polisi. Dan Kasan Ngali! Ah! Terlalu banyak yang dikenangnya atau yang harus dilupakan. Ia t elah m emaafkan semua. Pak M ant ri t erpaku. Ia berbisik: “ Saya cinta kepadamu, Nak.” Kasan Ngali m enerobos orang banyak, tangannya m elambai-lambai. Dan disebutnya nama Siti Zait un. Ia berteriak: “ Tun, jangan lupa, ya!” Tidak ada orang yang m endengar, suara-suara lenyap oleh peluit kereta yang t ajam . Kereta berangkat , Zaitun melambai sampai menghilang dalam kabur kejauhan.
....
Dan sebelum masuk pintu kantor, sekali lagi Pak M ant ri m enghent ikan Paijo, m em egang pundaknya. M enggoyang-goyangkan. M ata tua it u berkaca-kaca. Dan juga Paijo, ah bisa juga ia m em basahi m atanya. M ereka bertatapan. Tersenyum (Kuntow ijoyo, 1994: 270-271).
Plot atau alur novel Pasar adalah plot kronologis atau progresif. Kisahnya diawali dengan permasalahan di pasar it u hingga t erselesaikannya persoalan yang ditandai dengan rencana pensiunnya Pak M antri. Dengan m emperhat ikan penjelasan perkem bangan ringkasan cerit a di atas, diketahui bahw a lat ar cerit anya terjadi di sebuah pasar kecamatan, Gem olong, suatu kecamatan di w ilayah Jawa, kemungkinan di Jawa Tengah. Latar waktunya t idak secara jelas dideskripsikan, akan tetapi mengingat Kasan Ngali m em iliki m obil dapat diperkirakan kisah novel ini berlangsung sekitar tahun 1960-an atau 1970-an. Sem entara latar sosialnya t erjadi dalam masyarakat pasar yang berjiw a sebagai pedagang yang kont ras dengan pribadi Pak M ant ri, sosok yang mem iliki kepribadian sebagai priyayi yang menjujung t inggi nilai-nilai Jawa.
3. Bentuk Konflik Antar-kramadangsa Novel Pa sa r
Konflik awal yang ditemui oleh tokoh utama novel ini, Pak M ant ri, yait u berupa pemboikotan para pedagang pasar. M ereka tidak mau m embayar kepada Paijo lagi, yang notabene m erupakan pegaw ai Pak M ant ri, karena m ereka merasa dirugikan. Para pedagang it u m engeluhkan ulah para burung dara m ilik Pak M antri. Beberapa ekor burung dara t elah m emakan barang dagangan seperti besar yang m ereka jajakan, ada yang masuk ke gulai yang t engah dijajakan, bahkan ada beberapa ekor burung dara yang t urut m enjatuhkan barang dagangan. Int inya burung-burung m ilik Pak M ant ri it u telah kelewatan m engganggu para pedagang. Selain m emboikot tidak mau m embayar retribusi, beberapa pedagang malah ada yang m embunuh burung-burung dara Pak M antri. M elihat sit uasi seperti ini m em buat Pak M ant ri m arah-marah.
“ Inilah yang disebut zaman edan. Orang berbuat nasar. Orang kecil tidak tahu kekerdilannya. Orang besar berbuat sem ena-m ena. Tidak punya tanggung jaw ab. Berjualan t idak mau bayar karcis. M em bunuh burung dara! Apalagi! Lengkaplah kejahatan m ereka! Benarlah Kalathida karya pujangga!”
Sit i Zait un m endengarkan dengan khidmat . Tidak ada cara yang lebih baik daripada m embiarkan mulut tua it u bicara. Ah, Sit i Zaitun m erasa ket erlaluan dengan m enyebut ‘mulut tua’ untuk Pak M antri. M aaf, ya Pak. Setelah Pak M ant ri selesai bicara, ia pun m enyela.
“ Lalu untuk apa saya kem ari, Pak?”
“ Untuk apa? Hm , ya. Begini,” agak lama Pak M ant ri diam . “ Untuk apa, Pak?”
“ Nah. Kit a kerja sama. Kit a sama-sama dirugikan. Kalau pasar m undur, Bank mundur. Tolong, pergilah pada Pak Cam at dan Kepala Polisi m elapor. Supaya m ereka urus. Supaya m ereka t ahu keadilan
(11)
m est i jalan. Supaya m ereka tahu tugasnya sebagai bapak rakyat. Kalau t idak, ah, saya membayangkan yang tak baik untuk kita, Ning.”
Gadis it u terkejut dengan perm intaan yang tak terduga itu. Ini tak mungkin. “ Tetapi it u t ak ada hubungannya dengan Bank, Pak.”
“ Sudah kujelaskan, begitu. Pasar mundur, Bank hancur.”
“ Tidak,” t ukas Zait un. Ini luar biasa bagi Pak M ant ri. Gadis it u untuk pertama kali berkeras padanya. Dan bergerak untuk pergi. Pak M antri sadar (Kuntow ijoyo, 1994:38).
Setelah gagal m em bujuk Zait un unt uk m elaporkan perkara krim inal (pem bunuhan burung-burung dara) dan pemboikotan para pedagang kepada Camat dan Kepala Polisi, akhirnya Pak M ant ri sendiri yang m elakukan hal itu. M eski laporan Pak M ant ri t idak diperhat ikan oleh kedua pejabat kecamatan it u.
Dalam konflik ini sebet ulnya disebabkan oleh kram adangsa Pak M ant ri yang m erasa dirinya sebagai orang yang berkuasa (sebagai kepala pasar), orang yang dit uakan, dan m erasa dirinya sebagai priyayi; sehingga dia m enunt ut orang-orang yang berhubungan dengannya untuk m enghormatinya.
Kram adangsa Pak M antrilah yang m ulur, m enunt ut lebih dari apa yang selama ini didapat kannya. Karena m erasa sebagai kepala pasar, pem boikotan para pedagang dianggapnya sebagai pem bangkangan; tidak hanya t erhadap dirinya tetapi juga terhadap negara yang seharusnya m endapat kan pemasukan pajak pasar. Kram adangsa-nya m enunt ut unt uk dihargai sebagai seorang yang m engagungkan drajat.
Sebagaimana dipaparkan oleh Suryom entaram , bahwa seseorang biasanya dapat digolongkan ke dalam salah satu tipe manusia: sem at , kramat, ataukah drajat. M anusia semat adalah manusia yang lebih m ement ingkan dan m engut amakan akan hart a; manusia kram at adalah manusia yang lebih m em ent ingkan dan mengutamakan akan kekuasaan; dan manusia drajat adalah manusia yang lebih m em ent ingkan dan m engutamakan akan status sosial. Dalam kat egori ini, Pak M ant ri m emang cenderung pada t ipe manusia yang m engut amakan drajat. Sehingga mana kala stat us sosialnya t idak dihargai oleh orang lain (para pedangang, Pak Camat , Kepala Polisi, Sit i Zaitun, bahkan oleh Juru Tulis Kecamatan) ia merasa sangat terhina. Sebaliknya, dia sangat m enjujung tinggi akan stat us sosial semacam ini. Sepert i umumnya priyayi Jawa, st atus sosial m erupakan standar kehidupan yang sangat pent ing. Hal it u berbeda dengan Kasan Ngali, seorang pedagang kaya, yang m elihat segala sesuatunya berdasarkan kekayaan. Kasan Ngali m erupakan sosok m anusia tipe semat .
Perhat ikan peristiw a kecil yang sangat membekas dalam hat i Pak M ant ri, yakni ketika dia tidak diperhat ikan atau tidak “diuwongke” oleh salah seorang pegawai kecamatan. Sebagai seorang priyayi, t ipe manusia drajat direm ehkan oleh orang lain, apalagi yang m enurut pandangannya orang t ersebut lebih rendah derajat nya, sangatlah menyakit kan kramadangsanya. Perhatikan kutipan berikut ini.
Di kota kecil it u kantor kecam atan punya gaya t ersendiri. Tobat, hanya ada seorang juru tulis sedang m enghadapi m esin tulis besar. M uka orang it u t enggelam di belakang m esin tulis yang keras bunyinya. Gaduhnya m esin it u. O, ya, ada pegawai-pegaw ai w anit a di ruangan lain. Ia m endekat dan juru t ulis itu berhent i bekerja. Pak M ant ri m enegur dengan santun.
(12)
Tukang ket ik itu m engangkat muka dan m enjawab, “ Coba tulis di buku t amu,” m enunjuk ke m eja buku tam u.
Pak M ant ri m au m emukul muka orang it u. Ia yang sudah jadi m ant ri pasar di kota itu sejak sebelum bocah ingusan ini lahir! Harus m enulis di buku tamu pula! Apakah ia m enolak atau t idak? Bisa saja ia langsung ke kamar camat dan camat it u akan menyambutnya dengan t ergesa-gesa. Eh, siapa namanya, berani m em erintah mant ri pasar. Camat pun tak akan berani m enyuruhnya m enulis di buku t amu? Sejak kapan kau jadi orang Gemolong? Tak beradat . Tet api, bukan Pak M antri Pasar kalau t idak berpikir panjang. Eh, bagaimanapun pangkat mu, jangan sekalipun m enunjukkan sikap angkuh. Jangan
adigung, m entang-m entang orang besar. Sabarlah, mantri, sabar.
“ M ana buku itu, Nak?” Engkau akan dapat malu, kalau kau tahu bahwa Pak Camat pun
m enghormat , juru tulis. Untuk adilnya, Pak M ant ri Pasar masih t ak mau m engambil sendiri buku itu. Juru t ulis beranjak dan buku itu disodorkannya kepada Pak M antri (Kuntow ijoyo, 1994:44).
Begitulah konflik-konflik yang dihadapi Pak M ant ri. Biasanya berkait an dengan harga dirinya yang t idak dihormati oleh orang lain. Orang-orang priyayi biasanya m emang m enekankan pent ing
drajat-nya. Dari kutipan di atas, jelaslah stat us sosialnya yang tinggi yakni sebagai priyayi, kepala pasar, orang yang dituakan, m erasa terhina oleh t ingkah sang juru tulis yang m enyuruhnya m enulis di buku t amu. Hal semacam ini t idak akan t erjadi konflik jika orang yang disuruh m engisi buku tamu m isalnya Paijo, Kasan Ngali, at au mungkin Siti Zait un.
Pak M antri m emang t idak m engalam i konflik secara langsung dengan pegawai kecamatan it u. Konflik itu t erjadi dalam bat in Pak M ant ri, konflik dengan hati nuraninya sendiri. Di sinilah t erjadi pertarungan antara kram adangsa dengan aku dalam diri Pak M ant ri. Dalam konsep Suryom entaram ,
ke-aku-an Pak M ant rilah yang berhasil m engalahkan kramadangsa-nya sehingga akhirnya ia m engalah, mau m engisi buku tam u tersebut. Dalam kejadian ini, kram adangsa Pak M antri yang t adinya m ulur, ingin dihormati oleh siapa pun, akhirnya m enemukan situasi yang m emaksanya m ungkret. Ia m engalah dan m enerim a situasi sem acam it u.
Konflik bat in sebagaimana diekspresikan dengan m onolog int erior, “ Eh, bagaimanapun pangkatmu, jangan sekalipun menunjukkan sikap angkuh. Jangan adigung, m entang-mentang orang besar. Sabarlah, mantri, sabar.” m erupakan bentuk kem enangan aku atas kram adangsa-nya. Pak M ant ri berhasil “ m embaca” kramadangsanya, sumber segala ketidakbahagiaan set iap manusia, termasuk dirinya, dan m enemukan aku-nya (sumber segala kebahagiaan yang dim iliki oleh m asing-masing m anusia) sehingga t indakan yang diambilnya pun benar dan m endatangkan ket ent raman. Konflik yang bakal t im bul dengan sang juru t ulis akhirnya dihindari berkat “ diketahuinya” kemauan kram
adangsa-nya, dan m engikut i apa yang “ disarankan” oleh aku-nya.
Hal semacam itu, m engenali “ kejahatan” kramadangsa dalam dirinya dan m engenali aku-nya, m embuat Pak mant ri t erhindar dari konflik berkepanjangan dengan para pedagang, juga terhadap bawahannya (Paijo) dan juga rekanan kerjanya (Sit i Zaitun). Dengan m engenali bahwa segala sumber konflik selama ini dengan para pedagang adalah keberadaan burung-burung dara m iliknya yang telah m engganggu aktivit as para pedagang, Pak M ant ri m engambil t indakan dram at is. Ia m embebaskan kepem ilikan burung-burung dara it u kepada siapa pun untuk m enangkapnya, m enjualnya, bahkan untuk m emakan dagingnya.
(13)
Keputusan membebaskan kepem ilikan burung-burungnya inilah yang m embuat orang-orang (para pedagang, Paijo, Zaitun, Camat, Polisi dan lain-lain, kecuali Kasan Ngali) m engakui kebesaran jiw a Pak M ant ri. Dengan begitu, ia malah dihargai dan dihormat i, suat u perhargaan hidup yang tidak dit unt utnya, malah kini diperolehnya. Di sini Pak M ant ri t elah t erbebas dari keinginan kram adangsa-nya. Pak M antri m emasuki masa pensiunnya dengan damai dan tent ram , dia juga akhirnya percaya dengan kepiwaian Paijo untuk m enggant ikan posisinya sebagai m ant ri pasar.
Pak M ant ri Pasar berjalan pulang bersama paijo. Ia akan m asuk kantor, entah untuk hari-hari t erakhir barangkali. Jalannya terhuyung. Paijo m enggandengnya, seolah kalau tidak dem ikian laki-laki t ua itu akan t erjatuh. M ereka berjalan bergandengan. Dari stasiun, m ereka berjalan ke selatan, sedikit , kemudian m embelok ke timur. Jalan ini lurus m enuju ke pasar.
“ Inilah, Nak. Kit a m enang, t anpa m engalahkan. Kita sudah bert empur tanpa bala tentara. M engapa, musuh kit a adalah kita sendiri. Di sini. Nafsu kita. Dan kita sudah m enang!”
Paijo mengeratkan genggaman tanda setuju. M emandang sedikit ke muka Pak M ant ri. “ Kitalah orang Jaw a yang t erakhir, Nak.”
M ereka berjalan lagi.
“ Yang m em entingkan budi, lebih daripada ini.” Pak M antri m enggeserkan empu jarinya dengan t elunjuk, “ Yang mement ingkan martabat lebih dari pangkat .”
Pak M ant ri m enghentikan Paijo di muka kantor pasar. Belum banyak orang datang. Pak M ant ri m enunjuk pada los-los pasar.
“ Hari-hari t erakhir untukku, Nak. Hari-hari pertama untukmu. Sebentar lagi saya akan
m eninggalkannya. Tetapi saya percaya padamu.” Kem udian suara itu tidak jelas, serak, berakhir dengan isak. M ereka masuk ke lingkungan kantor (Kuntow ijoyo, 1994:270).
Berbeda dengan nasib Kasan Ngali. Sepert i sudah disinggung pada bagian awal, Kasan Ngali t erm asuk manusia bertipe semat, yang m engutamakan harta kekayaan. Kehidupan ini bagi Kasan Ngali diukur berdasarkan harta kekayaan. Dia pikir, orang akan bahagia selamanya jika m em iliki harta yang m elim pah, dan sebaliknya seseorang akan celaka selam anya jika t idak m em iliki harta. Tentu saja, dalam pandangan Suryom entaram , hal it u hanyalah pandangan sang kramadangsa manusia semat. Dem ikian juga bagi manusia kram at; orang akan bahagia selam anya jika m em iliki kekuasaan yang besar, dan sebaliknya seseorang akan celaka selamanya jika t idak m em iliki kekuasaan apa-apa. Bagi orang yang bert ipe drajat , m ereka m engira akan bahagia selamanya jika m em iliki status sosial yang t inggi, dan sebaliknya seseorang akan celaka selamanya jika tidak m em iliki status apa-apa.
Padahal m enurut Suryom entaram , orang yang punya harta, kekuasaan, ataupun status sosial t idak akan selam anya bahagia; dem ikian sebaliknya orang yang tidak punya harta, kekuasaan, ataupun status sosial t idak selamanya m erasa celaka. Pada dasarnya tidak ada orang yang bahagia t erus atau celaka t erus-m enerus. Pada hakikat nya, hidup manusia it u selalu: sebentar bahagia, sebent ar susah, sebentar bahagia lagi, lalu susah lagi. Bagit ulah manusia. Dia akan terperangkap oleh kramadangsa-nya yang m em iliki segala m acam keinginan yang m embuatnya m ulur-m ungkret.
Setiap manusia akan menemukan kebahagiaan seandainya ia dapat “ m embaca” kramadangsa -nya dan menemukan aku-nya. Ia akan m erasa cukup. Ia akan m erasa bahagia dengan kondisi “ seperti ini” , di sini” , dan “ pada saat ini” . Ia akan t erbebas dari segala macam keinginan. Inilah int i filsafat atau ajaran Suryom ent aram . Dalam kasus novel Pasar karya Kuntow ijoyo, t okoh Pak M antri di akhir cerit a
(14)
m endapat kan kebahagiaan karena ia terbebas dari nafsu atau keinginan kramadangsa-nya. Sebalikya, Kasan Ngali m asih terbebani dengan segala kekecew aan hidup karena masih t erbelenggu dengan
kram adangsa-nya dan belum m enemukan “aku” -nya.
Ketika para pedagang m emboikot Pak M antri salah satunya dengan t idak m enempat i los-los pasar yang disediakan untuk m ereka, Kasan Ngali m enangkap peluang itu dengan m endirikan pasar t andingan di pekarangan rumahnya. Rumah Kasan Ngali m emang berseberangan dengan pasar. Oleh karena it u, seolah-olah ia dapat menandingi kekuasaan Pak M ant ri. Secara tidak langsung kram
adangsa-nya, m enilai kalau dirinya lebih dihargai oleh para pedagang daripada Pak M ant ri. Inilah kem enangan dari aspek kram at dirinya atas Pak M antri. M eskipun dalam perjalanannya para pedangang t idak mau lagi m enempat i pekarangan Kasan Ngali karena suat u saat ia marah-marah, dan di pihak lain Pak M ant ri t elah menyadari kesalahannya, sehingga para pedagang itu akhirnya m enempati los-los pasar kembali.
Rasa kebrongot untuk “ m engungguli” lelaki saingan hidupnya di pasar it u, yakni Pak M ant ri, Kasan Ngali m enempuh berbagai cara. Selain m endirikan pasar t andingan di pekarangan rumahnya sepert i yang dijelaskan di atas, lelaki yang m ewakili konsep santri dalam pandangan Geert z ini juga m embeli burung dara m ilik Pak M antri. Setelah Pak M ant ri m em bebaskan kepem ilikan burung-burung daranya sehingga para penduduk bisa menangkapnya, m enyembelihkan, bahkan untuk m enjualnya; Kasan Ngali m alah m embeli burung-burung itu dari para penduduk yang berhasil m enangkapnya. Set elah dibelinya, dia m emerintahkan kepada para pekerjanya untuk m emberi tanda khusus (digunt ing ekornya) sehingga dapat dibedakan dari burung-burung eks-Pak M antri.
Tindakan Kasan Ngali bukan berarti dia penyayang burung, melainkan unt uk “ m engambil alih kekuasaan” Pak M ant ri atas burung-burung m iliknya. Hal ini kelihat annya sepele, nam un pembelian burung-burung itu m erupakan simbol rasa unggul dirinya terhadap lelaki t ua saingannya itu. Hal semacam itu t idak t erjadi sekali ini saja. Dulu, sew akt u Pak M ant ri mau m endekat i M arsiyah, Kasan Ngalilah yang m enggagalkannya. Dialah yang akhirnya m enikahi M arsiyah sehingga Pak M ant ri tetap m embujang. M emang M arsiyah bukan istri pertamanya, malah t idak seberapa lama dia diceraikan oleh Kasan Ngali. Kasan Ngali sebetulnya ingin mengungguli Pak M ant ri. Dan dalam hal ini, khususnya yang berkaitan dengan semat (ingat , M arsiyah mau menikah dengan Kasan Ngali karena dia lebih kaya), Kasan Ngali lebih unggul daripada Pak M antri.
Rasa unggul atas kepem ilikan harta m erupakan salah sat u bentuk mulur kram adangsa Kasan Ngali sebagai tipe manusia semat. Hampir semua t indakannya didasarkan pada pola semacam ini. Ia seakan-akan mampu m embeli apa saja. M anakala ia jatuh hat i kepada Sit i Zait un, pegawai bank pasar yang nyaris bangkrut it u, Kasan Ngali m endekat inya dengan sudut pandang khas seorang manusia yang m engagungkah harta atau kekayaan. Zaitun sendiri tidak m enaruh simpat i kepada lelaki hidung belang itu karena selain sudah tua, banyak istri, secara pribadi t idak bertolak belakang dengan pribadi Kasan Ngali.
Ketika para pedagang t idak bisa lagi m enabung, Kasan Ngali m emodali atau m emberi uang kepada para pedagang untuk menabung di t empat kerja Zaitun. Trik yang dilakukannya akhirnya diket ahui Zaitun, dia m enolak para penabung itu. Untuk m enarik sim pat i gadis cant ik it u, pernah suatu kali Kasan Ngali m emberi bingkisan lew at Paijo. Bingkisan it u dit olak m entah-m entah m anakali Zait u t ahu, barang yang dibungkus itu berasal dari Kasan Ngali. Aksinya beli mobil (suatu benda yang cukup luks unt uk kawasan pasar it u) dan m engendarainya sekedar unt uk pam er, t idak digubris oleh Zait un. Zaitun tidak bisa “ dibeli” oleh Kasan Ngali. Keinginan kram adangsa-nya unt uk m enjadikan gadis pegawai
(15)
bank yang lulusan sekolah bidan itu sebagai istrinya m engalam i “ kemungkretan” dan akhirnya ia malah m engalihkan niatnya it u dengan rencana hendak m enikahi Sri Hest i, pemain t eat er keliling.
Niat m enikahi Sri Hest i bukan didasari atas cinta m elainkan untuk menunjukkan kepada Zaitun kalau wanita sepert i Sri Hest i yang m enjadi ratu panggung, t idak kalah cant ik dengan Zaitun, mau m enikah dengannya. Inilah rasa “ kebrongot” kram adangsa-nya atas penolakan Zaitun. Tent u saja ini bukan kebahagiaan. Inilah rasa celaka karena Kasan Ngali m enuruti kem auan kram adangsa-nya dan t idak m enemukan aku-nya atau hat i nuraninya. Rasa kecewa it u akhirnya bertum puk manakala ia pun akhirnya gagal m enikah ratu panggung it u gara-gara dia harus memberi makan anggot a satu group t em pat Sri Hesti selama ini kerja. Kasan Ngali yang tipe manusia sem at, jelas-jelas t idak dapat mem enuhi t untutan ini. Berikut ini percakapan Kasan Ngali dengan Darmo Kendang t entang penolakan rencana pernikahannya dengan Sri Hest i.
Ya perempuan cantik dengan suara m erdu, dengan tubuh yang m enggairah, kulit kuning, mudah bergaul, dan masih muda. M uda? Yah, umur it u rahasia. Dan t idak seorang pun tahu riw ayat Sri Hest i dengan t epat . Kalau orang m elihat dari luar, dengan perawan likuran tahun samalah. Perempuan itu modal bagi rombongan ketopraknya. Kalau t idak ada perempuan itu t idak bisa kerja. Dan semua akan kehilangan pekerjaan tambahan yang hanya setahun sekali di kota kecamatan ini. Tidak mungkin lagi m enarik orang di kecamatan ini t anpa Sri Hest i. Di t em pat lain, bisa dibentuk orang lain. Di sini t idak mudah. Perempuan m esti dipertahankan.
Sebenarnya t idak sampai di rum ah Sri Hest i. Hanya berbicara sedikit dengan ketua perkumpulan, lalu diantar kem bali. Ada pikirannya, sudah.
“ Dia mau main juga,” katanya. “ Kalau sudah jadi biniku?”
“ Kalau Pak Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua rombongan, ia mau berhent i.” “ M at i! Wong ayu mahal harganya! M aksudnya bagaimana?”
“ Ya, itu perm intaannya, Pak!” “ Tidak mungkin!”
“ Lalu bagaimana?”
“ M empermainkan Kasan Ngali saja. Ini penolakan!” “ Bukan begitu, Pak.”
“ Jelas!”
Kasan Ngali tidak bisa m embayangkan bagaimana ia bisa m emberi kerja kepada semua orang rombongan it u. Tahun ini saja, berkat pengham buran it u ia akan kesulit an memelihara buruh-buruhnya yang sudah ada. Huh! Ia ingat kata-kata Jenal it u. Ada benarnya, m emang ada benarnya! Darmo Kendang sudah mem ojokkannya. Tidak mungkin kaw in dengan perem puan itu (Kuntow ijoyo, 1994:265-266).
Dalam novel ini, selain Pak M ant ri, Kasan Ngali m erupakan t okoh utama juga. Hanya ia t ergolong sebagai tokoh ant agonis. Dalam perjalanan hidupnya sebagaimana t ergambar dalam novel ini, ia m engalam i berbagai hal: m ulai dari m endirikan pasar t andingan, m embeli burung dara bekas m ilik Pak M antri, gagal m endekat i Zait un, gagal m enikahi Sri Hest i dan berbagai perist iw a kecil lainnya. Tokoh ini banyak digambarkan detailnya daripada t okoh lainnya, baik Paijo, Zaitun, maupun Pak M ant ri sendiri. Tokoh Kasan Ngali lebih banyak digambarkan bungah-susah-nya daripada t okoh lainnya.
Inilah salah satu ajaran Suryomentaram , bahwa setiap m anusia hidup itu akan selalu mengalam i peristiw a sebentar senang, sebent ar susah, sebentar senang lagi, lalu susah kem bali, dan seterusnya.
(16)
Tidak ada orang yang bahagia selamanya, juga tidak ada yang celaka selamanya. Orang m elihat orang lain bahagia, dan m elihat dirinya susah hanya karena dia m emakai kacamata kram adangsa-nya untuk m elihat orang lain dan m elihat dirinya. Hidup Kasan Ngali terbelenggu oleh keinginan (nafsu)
kram adangsa-nya sebagai manusia tipe semat. Ia belum terbebas. Berbeda dengan Pak M ant ri, yang berhasil m engalah dirinya (kram adangsa-nya) dan m enem ukan aku-nya atau dalam bahasa Pak M ant ri pada novel ini yait u cinta.
Paijo melihat pekerjaan it u. M enyiapkan sekrip di m eja. Ketika mau m enulis ia berkata. “ Asm aradana, Pak?”
“ Iya. M engapa?”
“ Ini kan untuk orang muda yang sedang jatuh cinta?”
“ Kita semua jatuh cint a, Nak. Kepada manusia. Bukankah kita harus m encintai tetangga-tetangga kita sepert i kita m encintai diri kit a?”
“ Jadi bukan kepada Zaitun?” Pak M ant ri tertaw a.
“ Ah, ada-ada saja, Nak (Kuntow ijoyo, 1994:259-260).
4. Kejiw aan Idealis Kuntow ijoyo dalam Formasi Sosial
Tokoh protagonis dalam Pasar m ewakili apa yang oleh Geertz dinam akan sebagai kaum priyayi. Kuntow ijoyo menampilkan sosok kepala pasar yang disebutnya Pak M ant ri. Inilah t okoh yang mewakili suara pengarang. Ingat , pengarang novel ini m erupakan seorang dosen, suatu profesi yang m ewakili kaum priyayi. Lewat t okoh inilah konstruksi sosial at au pesan pengarang disampaikan. Sebagai umumnya priyayi, m ereka bekerja sebagai pegawai, bukan pekerja kasar seperti para abangan. Pak M antri, yakni sebagai kepala pasar, yang berbeda dengan Paijo pembantunya yang masih dianggapkan pekerja kasar.
Tokoh-tokoh ant agonis dalam novel Pasar adalah orang yang bertipe sem at dalam kat egori Suryomentaram . Orang yang bertipe sem at yaitu orang m engutamakan pada aspek harta dan kekayaan. Kesusksesan seseorang, juga kebahagiaan diukur berdasarkan banyak tidaknya seseorang m em iliki kekayaan. Kasan Ngali dalam novel Pasar, m enunjukkan sikap eksent riknya sebagai orang kaya dengan m emamerkan m obilnya, m erayu perem puan dengan hart anya, dan mengukur segala aspek kehidupannya dengan konsep unt ung-rugi. Inilah konsep manusia pegadang yang dalam konsep Geert z sering digolongkan dalam masyarakat santri, yang t idak hanya hidup secara Islam i atau religius t et api juga bermata pencaharian sebagai pedagang yang berkiprah di pasar. Dalam konsep Eropa, masyarakat pedagang termasuk para kapit alis (selain ada masyarakat feodal, dan sosialis).
Secara karikat uris, Kuntow ijoyo menggambarkan berbagai kesialan yang diderit a oleh Kasan Ngali; m ulai dari gagal m embuat pasar saingan, gagal m embeli semua burung-burung dara Pak M ant ri, gagal m em inang Siti Zait un, bahkan gagal m enikahi Sri Hesti. Lewat suara bat in Pak M ant ri, Kuntow ijoyo m enggambarkan betapa negat ifnya hidup sebagai pedagang yang m endasarkan pola pikirnya pada uang.
Seumur hidup tak mau jadi pedagang. Kalau untuk m elariskan dagangan orang harus m eninggalkan kesopanan, t erkutuklah. Kemudian Pak M ant ri Pasar ingat pada Kasan Ngali, pedagang
(17)
kaya di seberang pasar it u. Ia m elirik ke rumah bercat kuning, dengan t imbunan gaplek it u. Ah, gagal matanya melihat rumah itu. Jadi pedagang? M impi pun tidak. Sesungguhnya, sekalipun sehari-hari ia hidup bersama pedangang di pasar, ia tak m enyukai cara hidup it u. It ulah yang membuatnya sedih. Lebih lagi, sejak beberapa m inggu ini, selalu ia m endengar caci m aki orang pasar yang kotor mulut it u pada burung-burung daranya. Orang tak beradat itu (Kuntow ijoyo, 1994:4)
Dari uraian di atas, Kuntow ijoyo tidak m engidealiskan kehidupan t okoh-tokohnya sebagai m anusia sem at, manusia yang pola pikirnya didasarkan pada harta kekayaan. Kuntow ijoyo m enyarankan pada kehidupan tokoh-t okoh yang m empunyai karakter m enjunjung budi pekerti, kehalusan t indak-t anduknya. Hal iindak-t u m enyaran pada kehidupan seorang priyayi Jawa yang pandangan dunianya dibedakan antara dunia halus dan dunia kasar. Dengan dem ikian, kedua pengarang ini m enyarankan idealism e kejiw aan t okoh-tokohnya sebagai manusia bert ipe drajat, yakni manusia yang m endasarkan penilaian kehidupannya bersandarkan pada stat us sosial.
Dengan dem ikian, sebenarnya Kuntow ijoyo belum mem aham i filsafat Suryom ent aram meski dia t erm asuk pengarang yang m ewakili pengarang Indonesia mutakhir beretnis Jawa. Dia masih menyisakan satu konsep bahw a manusia akan m enemukan kebahagiaan jika m em egang teguh stat us sosialnya. M eski Kuntow ijoyo mengkrit ik tokoh-t okohnya yang melakukan aksi-aksi tert entu sebagai sesuautu yang sok atau sekedar pam er, art inya m ereka t idak menyukai hal-hal kepalsuan. Pem ikiran Kunt ow ijoyo m asih sebatas pem ikiran normat if dan belum bersifat radikal.
Berbeda dengan ajaran Suryom entaram yang m enyatakan bahwa manusia-manusia yang masih t erbelenggu dengan semat, kram at , dan drajat, m erupakan manusia-manusia yang masih t erbelenggu oleh kramadangsa-nya. Oleh kerena itu, ia belum m enem ukan kebahagiaan sejat i karena masih dikendalikan oleh kramadangsa-nya yang dipenuhi dengan berbagai keinginannya yang bersifat mulur.
M ereka belum m enemukan aku-nya masing-masing. Dalam peristiw a-peristiw a t ertent u, t okoh-t okoh semacam Pak M ant ri, Paijo, dan Sit i Zaitun t elah m enem ukan aku-nya masing-masing yang seringkali m uncul dalam teks berupa paparan lew at naratornya dengan t eknik sudut pandang “ dia-mahatahu” .
Int i kebahagiaan hidup bagi seseorang apabila dia m engenali at au “ dapat m embaca”
kram adangsa-nya at au kram adangsa orang lain, m enemukan aku-nya dan m emberi kepada orang lain t anpa m engharap balasan. M emberi sesuatu kepada orang lain adalah sebuah kebahagiaan t ersendiri. Pemberian dalam kont eks ini bisa apa saja, termasuk m encint ai seseorang t anpa m enuntut balik orang yang dicintainya it u unt uk membalas cinta tersebut. Pak M ant ri pernah m elakukan hal ini ketika dia m elepaskan hak kepem ilikannya atas burung-burung dara m iliknya kepada orang-orang di pasar yang m erupakan tindakan ant iklim aksnya. Dan m engenai cinta, lelaki t ua yang masih m embujang it u, berkom ent ar dem ikian.
Paijo melihat pekerjaan it u. M enyiapkan sekrip di m eja. Ketika mau m enulis ia berkata. “ Asm aradana, Pak?”
“ Iya. M engapa?”
“ Ini kan untuk orang muda yang sedang jatuh cinta?”
“ Kita semua jatuh cint a, Nak. Kepada manusia. Bukankah kita harus m encintai tetangga-tetangga kita sepert i kita m encintai diri kit a?”
“ Jadi bukan kepada Zaitun?” Pak M ant ri tertaw a.
(18)
“ Ah, ada-ada saja, Nak (Kuntow ijoyo, 1994:259-260).
Dari uraian di atas, Kunt ow ijoyo dalam t eks novelnya, tidak m enyinggung ajaran maupun nama yang m erujuk pada ajaran Suryom entaram . M ungkin dia belum m engenal Suryom entaram atau mungkin lebih t epatnya, dia sengaja t idak memasukkan ajaran Suryom entaram dalam t eks novelnya. Akan t etapi, sebagai pengarang mut akhir beretnis Jawa yang kent al dengan dunia priyayi, pengarang kelahiran 18 Sept ember 1943 ini m enemukan sejum lah konsep yang sama dengan apa yang dipaparkan oleh Suryoment aram yang m eninggal setelah Indonesia m erdeka, 1962. Art inya, garis singgung rent ang kehidupan kedua tokoh ini (baik Suryom entaram maupun Kuntow ijoyo yang kini t elah wafat semua) pernah t erjadi, m ereka pernah bersinggungan paling tidak dalam tataran wacana.
Kutipan dialog antara Pak M antri dan Paijo berikut ini paling tidak menggambarkan adanya persinggungan kesamaan pem ikiran antara penulis m utakhir Indonesia berlat ar etnis Jawa dengan t okoh filsafat Jaw a put ra Sri Sultan Ham engkubuwono VII ini.
Paijo mengeratkan genggaman tanda setuju. M emandang sedikit ke muka Pak M ant ri. “ Kitalah orang Jaw a yang t erakhir, Nak.”
M ereka berjalan lagi.
“ Yang m em entingkan budi, lebih dari pada ini.” Pak M antri m enggeserkan empu jarinya dengan t elunjuk [artinya: uang], “ Yang m em ent ingkan mart abat lebih dari pangkat (Kuntow ioyo, 1994:270).”
E. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di at as, dalam penelit ian ini dapat disim pulkan beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, tokoh utama protagonis novel Pasar yaitu Pak M antri, Paijo, dan Sit i Zaitun. Tokoh utama antagonisnya yaitu Kasan Ngali. Latar cerita novel ini terjadi di seputar pasar kecamatan di w ilayah Jawa yang disebutnya dengan Pasar Gemolong. Latar sosial yang m elandasi peristiw a-peristiw a dalam novel ini yait u kondisi m asyarakat kelas bawah, yakni para pedagang pasar.
Kedua, konflik antar-kram adangsa yang terjadi dalam novel Pasar juga m elibat kan pert entangan antara orang yang bert ipe semat (manusia yang mengagungkan hart a benda), yakni Kasan Ngali dengan orang-orang lain di pasar it u, khususnya dengan Pak M ant ri, seorang priyayi yang t ergolong sebagai manusia drajat , yakni orang yang lebih m engagungkan status sosial). Hingga akhir cerit a Kasan Ngali m asih berkonflik dengan dirinya sendiri at au dengan kram adangsa-nya, sem entara Pak M ant ri telah m enyadari kekeliruan dirinya (baca: kram adangsa-nya) sehingga dia terbebas dari berbagai konflik, baik konflik bat in maupun konflik dengan orang lain. Di akhir cerita Pak M ant ri m enemukan kedamaian dalam m emasuki masa-masa pensiunnya sebagai mant ri pasar.
Ketiga, Kunt ow ijoyo dalam novelnya yang berjudul Pasar ini menawarkan suatu nilai bahw a dalam t radisi Jawa, seseorang hendaknya jangan t erlalu m engagungkan pada pandangan gila harta. Pandangan tersebut m erupakan pert entangan t erhadap gaya hidup kaum sant ri (yang secara jelas m uncul dalam karakter nama Kasan Ngali) dan lebih m enganjurkan pada gaya hidup kaum priyayi (yang diwakili oleh Pak M ant ri) yang dianggap mew akili t radisi Jaw a.
Hal t ersebut m emang cukup berasalan, karena dalam kehidupan nyat a, Kuntow ijoyo berprofesi sebagai dosen yang notabene m ewakili kaum priyayi. Hanya secara um um , tokoh yang mengagungkan status sosial atau manusia kategori drajat (yang jelas-jalas tampak pada diri Pak M antri pada bagian
(19)
aw al cerit a) maupun manusia kramat, pada dasarnya t idak akan m enemukan kebahagiaan selama m ereka m asih terkungkung oleh kram adangsa-nya masing-masing yang m enuntut berbagai hal.
Kram adangsa itu bersifat m ulur-mungkret. Novel Kuntow ijoyo, secara tidak langsung, telah m engajarkan apa yang selam a ini disam paikan oleh Suryom entaram yang t erkenal dengan ist ilah
Kaw ruh Jiw a, m eski hanya sebagian.
Penelit ian ini masih sangat terbatas, baik dalam cakupan kuantit as subjek penelitian maupun aspek-aspek kejiw aan yang dicoba-gali untuk dipaparkan dalam kerangka filsafat Suryom entaram . Penelit ian sejenis, yakni berupa penerapan filsafat Suryomentaram t erhadap novel lain, khususnya pada novel-novel psikologis akan m enambah sem arak penelit ian sast ra dalam w ilayah ini, selain penelit ian sast ra dengan perspektif kajian-kajian filsafat maupun psikologis dari Barat yang selama ini t elah banyak dit erapkan oleh para penelit i akadem ik.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1989 (cet. III). Abangan Sant ri Priyayi, Dalam M asyarakt Jaw a. Jakarta: Pustaka Jaya. Kuntow ijoyo. 1994. Pasar. Yogyakart a: Bentang Int ervisi Ut ama.
M ilner, M ax. 1992. Freud dan Int erpret asi Sast ra. Jakarta: Int ermasa. M udhofir, Ali. 2001. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryomentaram , Grangsang (ed.). 1989. Kaw ruh Jiw a, Wejanganipun Ki Ageng Suryom ent aram 1.
Jakart a: CV Haji M asagung.
_________. 1990. Kaw ruh Jiw a, Wejanganipun Ki Ageng Suryom entaram 2. Jakarta: CV Haji M asagung. _________. 1991. Kaw ruh Jiw a, Wejanganipun Ki Ageng Suryom entaram 3. Jakarta: CV Haji M asagung. Suryomentaram , Grangsang dan Ki Oto Suast ika (ed.). 1984. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryom ent aram I.
Jakart a: Int i Idayu Press.
_________. 1985. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryom ent aram II. Jakart a: Int i Idayu Press. _________. 1986. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryom ent aram III. Jakarta: Int i Idayu Press.
(20)
(1)
bank yang lulusan sekolah bidan itu sebagai istrinya m engalam i “ kemungkretan” dan akhirnya ia malah m engalihkan niatnya it u dengan rencana hendak m enikahi Sri Hest i, pemain t eat er keliling.
Niat m enikahi Sri Hest i bukan didasari atas cinta m elainkan untuk menunjukkan kepada Zaitun kalau wanita sepert i Sri Hest i yang m enjadi ratu panggung, t idak kalah cant ik dengan Zaitun, mau m enikah dengannya. Inilah rasa “ kebrongot” kram adangsa-nya atas penolakan Zaitun. Tent u saja ini bukan kebahagiaan. Inilah rasa celaka karena Kasan Ngali m enuruti kem auan kram adangsa-nya dan t idak m enemukan aku-nya atau hat i nuraninya. Rasa kecewa it u akhirnya bertum puk manakala ia pun akhirnya gagal m enikah ratu panggung it u gara-gara dia harus memberi makan anggot a satu group t em pat Sri Hesti selama ini kerja. Kasan Ngali yang tipe manusia sem at, jelas-jelas t idak dapat mem enuhi t untutan ini. Berikut ini percakapan Kasan Ngali dengan Darmo Kendang t entang penolakan rencana pernikahannya dengan Sri Hest i.
Ya perempuan cantik dengan suara m erdu, dengan tubuh yang m enggairah, kulit kuning, mudah bergaul, dan masih muda. M uda? Yah, umur it u rahasia. Dan t idak seorang pun tahu riw ayat Sri Hest i dengan t epat . Kalau orang m elihat dari luar, dengan perawan likuran tahun samalah. Perempuan itu modal bagi rombongan ketopraknya. Kalau t idak ada perempuan itu t idak bisa kerja. Dan semua akan kehilangan pekerjaan tambahan yang hanya setahun sekali di kota kecamatan ini. Tidak mungkin lagi m enarik orang di kecamatan ini t anpa Sri Hest i. Di t em pat lain, bisa dibentuk orang lain. Di sini t idak mudah. Perempuan m esti dipertahankan.
Sebenarnya t idak sampai di rum ah Sri Hest i. Hanya berbicara sedikit dengan ketua perkumpulan, lalu diantar kem bali. Ada pikirannya, sudah.
“ Dia mau main juga,” katanya. “ Kalau sudah jadi biniku?”
“ Kalau Pak Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua rombongan, ia mau berhent i.” “ M at i! Wong ayu mahal harganya! M aksudnya bagaimana?”
“ Ya, itu perm intaannya, Pak!” “ Tidak mungkin!”
“ Lalu bagaimana?”
“ M empermainkan Kasan Ngali saja. Ini penolakan!” “ Bukan begitu, Pak.”
“ Jelas!”
Kasan Ngali tidak bisa m embayangkan bagaimana ia bisa m emberi kerja kepada semua orang rombongan it u. Tahun ini saja, berkat pengham buran it u ia akan kesulit an memelihara buruh-buruhnya yang sudah ada. Huh! Ia ingat kata-kata Jenal it u. Ada benarnya, m emang ada benarnya! Darmo Kendang sudah mem ojokkannya. Tidak mungkin kaw in dengan perem puan itu (Kuntow ijoyo, 1994:265-266).
Dalam novel ini, selain Pak M ant ri, Kasan Ngali m erupakan t okoh utama juga. Hanya ia t ergolong sebagai tokoh ant agonis. Dalam perjalanan hidupnya sebagaimana t ergambar dalam novel ini, ia m engalam i berbagai hal: m ulai dari m endirikan pasar t andingan, m embeli burung dara bekas m ilik Pak M antri, gagal m endekat i Zait un, gagal m enikahi Sri Hest i dan berbagai perist iw a kecil lainnya. Tokoh ini banyak digambarkan detailnya daripada t okoh lainnya, baik Paijo, Zaitun, maupun Pak M ant ri sendiri. Tokoh Kasan Ngali lebih banyak digambarkan bungah-susah-nya daripada t okoh lainnya.
Inilah salah satu ajaran Suryomentaram , bahwa setiap m anusia hidup itu akan selalu mengalam i peristiw a sebentar senang, sebent ar susah, sebentar senang lagi, lalu susah kem bali, dan seterusnya.
(2)
Tidak ada orang yang bahagia selamanya, juga tidak ada yang celaka selamanya. Orang m elihat orang lain bahagia, dan m elihat dirinya susah hanya karena dia m emakai kacamata kram adangsa-nya untuk m elihat orang lain dan m elihat dirinya. Hidup Kasan Ngali terbelenggu oleh keinginan (nafsu) kram adangsa-nya sebagai manusia tipe semat. Ia belum terbebas. Berbeda dengan Pak M ant ri, yang berhasil m engalah dirinya (kram adangsa-nya) dan m enem ukan aku-nya atau dalam bahasa Pak M ant ri pada novel ini yait u cinta.
Paijo melihat pekerjaan it u. M enyiapkan sekrip di m eja. Ketika mau m enulis ia berkata. “ Asm aradana, Pak?”
“ Iya. M engapa?”
“ Ini kan untuk orang muda yang sedang jatuh cinta?”
“ Kita semua jatuh cint a, Nak. Kepada manusia. Bukankah kita harus m encintai tetangga-tetangga kita sepert i kita m encintai diri kit a?”
“ Jadi bukan kepada Zaitun?” Pak M ant ri tertaw a.
“ Ah, ada-ada saja, Nak (Kuntow ijoyo, 1994:259-260).
4. Kejiw aan Idealis Kuntow ijoyo dalam Formasi Sosial
Tokoh protagonis dalam Pasar m ewakili apa yang oleh Geertz dinam akan sebagai kaum priyayi. Kuntow ijoyo menampilkan sosok kepala pasar yang disebutnya Pak M ant ri. Inilah t okoh yang mewakili suara pengarang. Ingat , pengarang novel ini m erupakan seorang dosen, suatu profesi yang m ewakili kaum priyayi. Lewat t okoh inilah konstruksi sosial at au pesan pengarang disampaikan. Sebagai umumnya priyayi, m ereka bekerja sebagai pegawai, bukan pekerja kasar seperti para abangan. Pak M antri, yakni sebagai kepala pasar, yang berbeda dengan Paijo pembantunya yang masih dianggapkan pekerja kasar.
Tokoh-tokoh ant agonis dalam novel Pasar adalah orang yang bertipe sem at dalam kat egori Suryomentaram . Orang yang bertipe sem at yaitu orang m engutamakan pada aspek harta dan kekayaan. Kesusksesan seseorang, juga kebahagiaan diukur berdasarkan banyak tidaknya seseorang m em iliki kekayaan. Kasan Ngali dalam novel Pasar, m enunjukkan sikap eksent riknya sebagai orang kaya dengan m emamerkan m obilnya, m erayu perem puan dengan hart anya, dan mengukur segala aspek kehidupannya dengan konsep unt ung-rugi. Inilah konsep manusia pegadang yang dalam konsep Geert z sering digolongkan dalam masyarakat santri, yang t idak hanya hidup secara Islam i atau religius t et api juga bermata pencaharian sebagai pedagang yang berkiprah di pasar. Dalam konsep Eropa, masyarakat pedagang termasuk para kapit alis (selain ada masyarakat feodal, dan sosialis).
Secara karikat uris, Kuntow ijoyo menggambarkan berbagai kesialan yang diderit a oleh Kasan Ngali; m ulai dari gagal m embuat pasar saingan, gagal m embeli semua burung-burung dara Pak M ant ri, gagal m em inang Siti Zait un, bahkan gagal m enikahi Sri Hesti. Lewat suara bat in Pak M ant ri, Kuntow ijoyo m enggambarkan betapa negat ifnya hidup sebagai pedagang yang m endasarkan pola pikirnya pada uang.
Seumur hidup tak mau jadi pedagang. Kalau untuk m elariskan dagangan orang harus m eninggalkan kesopanan, t erkutuklah. Kemudian Pak M ant ri Pasar ingat pada Kasan Ngali, pedagang
(3)
kaya di seberang pasar it u. Ia m elirik ke rumah bercat kuning, dengan t imbunan gaplek it u. Ah, gagal matanya melihat rumah itu. Jadi pedagang? M impi pun tidak. Sesungguhnya, sekalipun sehari-hari ia hidup bersama pedangang di pasar, ia tak m enyukai cara hidup it u. It ulah yang membuatnya sedih. Lebih lagi, sejak beberapa m inggu ini, selalu ia m endengar caci m aki orang pasar yang kotor mulut it u pada burung-burung daranya. Orang tak beradat itu (Kuntow ijoyo, 1994:4)
Dari uraian di atas, Kuntow ijoyo tidak m engidealiskan kehidupan t okoh-tokohnya sebagai m anusia sem at, manusia yang pola pikirnya didasarkan pada harta kekayaan. Kuntow ijoyo m enyarankan pada kehidupan tokoh-t okoh yang m empunyai karakter m enjunjung budi pekerti, kehalusan t indak-t anduknya. Hal iindak-t u m enyaran pada kehidupan seorang priyayi Jawa yang pandangan dunianya dibedakan antara dunia halus dan dunia kasar. Dengan dem ikian, kedua pengarang ini m enyarankan idealism e kejiw aan t okoh-tokohnya sebagai manusia bert ipe drajat, yakni manusia yang m endasarkan penilaian kehidupannya bersandarkan pada stat us sosial.
Dengan dem ikian, sebenarnya Kuntow ijoyo belum mem aham i filsafat Suryom ent aram meski dia t erm asuk pengarang yang m ewakili pengarang Indonesia mutakhir beretnis Jawa. Dia masih menyisakan satu konsep bahw a manusia akan m enemukan kebahagiaan jika m em egang teguh stat us sosialnya. M eski Kuntow ijoyo mengkrit ik tokoh-t okohnya yang melakukan aksi-aksi tert entu sebagai sesuautu yang sok atau sekedar pam er, art inya m ereka t idak menyukai hal-hal kepalsuan. Pem ikiran Kunt ow ijoyo m asih sebatas pem ikiran normat if dan belum bersifat radikal.
Berbeda dengan ajaran Suryom entaram yang m enyatakan bahwa manusia-manusia yang masih t erbelenggu dengan semat, kram at , dan drajat, m erupakan manusia-manusia yang masih t erbelenggu oleh kramadangsa-nya. Oleh kerena itu, ia belum m enem ukan kebahagiaan sejat i karena masih dikendalikan oleh kramadangsa-nya yang dipenuhi dengan berbagai keinginannya yang bersifat mulur. M ereka belum m enemukan aku-nya masing-masing. Dalam peristiw a-peristiw a t ertent u, t okoh-t okoh semacam Pak M ant ri, Paijo, dan Sit i Zaitun t elah m enem ukan aku-nya masing-masing yang seringkali m uncul dalam teks berupa paparan lew at naratornya dengan t eknik sudut pandang “ dia-mahatahu” .
Int i kebahagiaan hidup bagi seseorang apabila dia m engenali at au “ dapat m embaca” kram adangsa-nya at au kram adangsa orang lain, m enemukan aku-nya dan m emberi kepada orang lain t anpa m engharap balasan. M emberi sesuatu kepada orang lain adalah sebuah kebahagiaan t ersendiri. Pemberian dalam kont eks ini bisa apa saja, termasuk m encint ai seseorang t anpa m enuntut balik orang yang dicintainya it u unt uk membalas cinta tersebut. Pak M ant ri pernah m elakukan hal ini ketika dia m elepaskan hak kepem ilikannya atas burung-burung dara m iliknya kepada orang-orang di pasar yang m erupakan tindakan ant iklim aksnya. Dan m engenai cinta, lelaki t ua yang masih m embujang it u, berkom ent ar dem ikian.
Paijo melihat pekerjaan it u. M enyiapkan sekrip di m eja. Ketika mau m enulis ia berkata. “ Asm aradana, Pak?”
“ Iya. M engapa?”
“ Ini kan untuk orang muda yang sedang jatuh cinta?”
“ Kita semua jatuh cint a, Nak. Kepada manusia. Bukankah kita harus m encintai tetangga-tetangga kita sepert i kita m encintai diri kit a?”
“ Jadi bukan kepada Zaitun?” Pak M ant ri tertaw a.
(4)
“ Ah, ada-ada saja, Nak (Kuntow ijoyo, 1994:259-260).
Dari uraian di atas, Kunt ow ijoyo dalam t eks novelnya, tidak m enyinggung ajaran maupun nama yang m erujuk pada ajaran Suryom entaram . M ungkin dia belum m engenal Suryom entaram atau mungkin lebih t epatnya, dia sengaja t idak memasukkan ajaran Suryom entaram dalam t eks novelnya. Akan t etapi, sebagai pengarang mut akhir beretnis Jawa yang kent al dengan dunia priyayi, pengarang kelahiran 18 Sept ember 1943 ini m enemukan sejum lah konsep yang sama dengan apa yang dipaparkan oleh Suryoment aram yang m eninggal setelah Indonesia m erdeka, 1962. Art inya, garis singgung rent ang kehidupan kedua tokoh ini (baik Suryom entaram maupun Kuntow ijoyo yang kini t elah wafat semua) pernah t erjadi, m ereka pernah bersinggungan paling tidak dalam tataran wacana.
Kutipan dialog antara Pak M antri dan Paijo berikut ini paling tidak menggambarkan adanya persinggungan kesamaan pem ikiran antara penulis m utakhir Indonesia berlat ar etnis Jawa dengan t okoh filsafat Jaw a put ra Sri Sultan Ham engkubuwono VII ini.
Paijo mengeratkan genggaman tanda setuju. M emandang sedikit ke muka Pak M ant ri. “ Kitalah orang Jaw a yang t erakhir, Nak.”
M ereka berjalan lagi.
“ Yang m em entingkan budi, lebih dari pada ini.” Pak M antri m enggeserkan empu jarinya dengan t elunjuk [artinya: uang], “ Yang m em ent ingkan mart abat lebih dari pangkat (Kuntow ioyo, 1994:270).”
E. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di at as, dalam penelit ian ini dapat disim pulkan beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, tokoh utama protagonis novel Pasar yaitu Pak M antri, Paijo, dan Sit i Zaitun. Tokoh utama antagonisnya yaitu Kasan Ngali. Latar cerita novel ini terjadi di seputar pasar kecamatan di w ilayah Jawa yang disebutnya dengan Pasar Gemolong. Latar sosial yang m elandasi peristiw a-peristiw a dalam novel ini yait u kondisi m asyarakat kelas bawah, yakni para pedagang pasar.
Kedua, konflik antar-kram adangsa yang terjadi dalam novel Pasar juga m elibat kan
pert entangan antara orang yang bert ipe semat (manusia yang mengagungkan hart a benda), yakni Kasan Ngali dengan orang-orang lain di pasar it u, khususnya dengan Pak M ant ri, seorang priyayi yang t ergolong sebagai manusia drajat , yakni orang yang lebih m engagungkan status sosial). Hingga akhir cerit a Kasan Ngali m asih berkonflik dengan dirinya sendiri at au dengan kram adangsa-nya, sem entara Pak M ant ri telah m enyadari kekeliruan dirinya (baca: kram adangsa-nya) sehingga dia terbebas dari berbagai konflik, baik konflik bat in maupun konflik dengan orang lain. Di akhir cerita Pak M ant ri m enemukan kedamaian dalam m emasuki masa-masa pensiunnya sebagai mant ri pasar.
Ketiga, Kunt ow ijoyo dalam novelnya yang berjudul Pasar ini menawarkan suatu nilai bahw a dalam t radisi Jawa, seseorang hendaknya jangan t erlalu m engagungkan pada pandangan gila harta. Pandangan tersebut m erupakan pert entangan t erhadap gaya hidup kaum sant ri (yang secara jelas m uncul dalam karakter nama Kasan Ngali) dan lebih m enganjurkan pada gaya hidup kaum priyayi (yang diwakili oleh Pak M ant ri) yang dianggap mew akili t radisi Jaw a.
Hal t ersebut m emang cukup berasalan, karena dalam kehidupan nyat a, Kuntow ijoyo berprofesi sebagai dosen yang notabene m ewakili kaum priyayi. Hanya secara um um , tokoh yang mengagungkan status sosial atau manusia kategori drajat (yang jelas-jalas tampak pada diri Pak M antri pada bagian
(5)
aw al cerit a) maupun manusia kramat, pada dasarnya t idak akan m enemukan kebahagiaan selama m ereka m asih terkungkung oleh kram adangsa-nya masing-masing yang m enuntut berbagai hal. Kram adangsa itu bersifat m ulur-mungkret. Novel Kuntow ijoyo, secara tidak langsung, telah m engajarkan apa yang selam a ini disam paikan oleh Suryom entaram yang t erkenal dengan ist ilah Kaw ruh Jiw a, m eski hanya sebagian.
Penelit ian ini masih sangat terbatas, baik dalam cakupan kuantit as subjek penelitian maupun aspek-aspek kejiw aan yang dicoba-gali untuk dipaparkan dalam kerangka filsafat Suryom entaram . Penelit ian sejenis, yakni berupa penerapan filsafat Suryomentaram t erhadap novel lain, khususnya pada novel-novel psikologis akan m enambah sem arak penelit ian sast ra dalam w ilayah ini, selain penelit ian sast ra dengan perspektif kajian-kajian filsafat maupun psikologis dari Barat yang selama ini t elah banyak dit erapkan oleh para penelit i akadem ik.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1989 (cet. III). Abangan Sant ri Priyayi, Dalam M asyarakt Jaw a. Jakarta: Pustaka Jaya. Kuntow ijoyo. 1994. Pasar. Yogyakart a: Bentang Int ervisi Ut ama.
M ilner, M ax. 1992. Freud dan Int erpret asi Sast ra. Jakarta: Int ermasa. M udhofir, Ali. 2001. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryomentaram , Grangsang (ed.). 1989. Kaw ruh Jiw a, Wejanganipun Ki Ageng Suryom ent aram 1. Jakart a: CV Haji M asagung.
_________. 1990. Kaw ruh Jiw a, Wejanganipun Ki Ageng Suryom entaram 2. Jakarta: CV Haji M asagung. _________. 1991. Kaw ruh Jiw a, Wejanganipun Ki Ageng Suryom entaram 3. Jakarta: CV Haji M asagung. Suryomentaram , Grangsang dan Ki Oto Suast ika (ed.). 1984. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryom ent aram I.
Jakart a: Int i Idayu Press.
_________. 1985. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryom ent aram II. Jakart a: Int i Idayu Press. _________. 1986. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryom ent aram III. Jakarta: Int i Idayu Press.
(6)