Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo

(1)

MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO

TESIS

Oleh

MUHARRINA HARAHAP

077009017/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHARRINA HARAHAP

077009017/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO

Nama Mahasiswa : Muharrina Harahap Nomor Pokok : 077009017

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

(Prof. Syaifuddin, M.A., Ph. D.) (Dr. Drs. Eddy Setia, M. Ed. TESP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP

2. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. 3. Dr. Asmita Surbakti, M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Ketiga novel Kuntowijoyo yang dibahas dalam penelitian ini memiliki kesamaan tema atau gagasan, yakni menggambarkan realitas budaya Jawa. Ketiga novel itu adalah Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan Satinah

(WdS). Ketiga novel itu diciptakan oleh Kuntowijoyo.

Penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan menguraikan mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut. Untuk itu digunakan teori antropologi sastra dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode hermeneutika.

Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo terlihat melalui wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa dan pandangan hidup orang Jawa. Wujud sikap kosmologis itu tercermin melalui upacara tradisi seperti slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual

sowan dan ruwatan. Pandangan hidup orang Jawa diaktualisasikan pada empat hal yaitu raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut Selatan. Kemudian mitologi Jawa tersebut berkembang menjadi mitos-mitos masa kini yang telah bergeser maknanya seiring dengan perkembangan zaman.

Sementara itu, filsafat Jawa yang juga merupakan bagian dari mitos terungkap melalui tiga aspek yakni, metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Kemudian dijelaskan pula representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo melalui tokoh-tokohnya yang hidup dan berinteraksi dengan serangkaian mitos dan realitas.

Simpulan dari tesis ini menunjukkan bahwa unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pada akhirnya bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa (javanisme).


(6)

ABSTRACT

Three novels created by Kuntowijoyo which are analysed in this research

have the same themes or ideas, namely to depict Javanese cultural reality. There are Pasar (P), Mantra Pejinak Ular ( MPU), and also Wasripin dan Satinah ( Wds). Those are created by Kuntowijoyo.

This research aims to analyse and elaborates mythological, philosophical, and cultural Javanese representative values in the novels. Therefore, it is used anthropological and semiotics theories. The method used in this research is hermeneutics.

The results of the analyses find that mythology in the novels seen passing the presentation of cosmology attitude from Javanese society and way of life from the novels. The presentation of cosmology attitude are reflected in traditional ceremony such as slametan, sesajen, cult the people, naming of children, and also sowan and ruwatan ritual. The way of life from Javanese society is to actualize at four aspects, i.e. a king as concentration strength cosmic, a palace as empire numinous central, Gunung Merapi, and Laut Selatan. Furthermore, the mythology of Javanese expands become myths today which have shifted it’s meaning through the period of time.

Besides, the philosophy of Javanese is also part of the myth expresses of passing three aspects namely, metaphysics, epistemology, and axiology. In the next, the explained cultural of Javanese representative values in the novels through the actors with a series of mythology and reality.

The conclusion shows that mythological, philosophical, and cultural Javanese values cannot be separated each other because the ending is about a unity, i.e. Javanese culture (javanisme).


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul, Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat magister pada Program Studi Magister (S2) Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa mengucapkan salawat dan salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Selama proses pengerjaan tesis ini, penulis memeroleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Pembimbing Akademik dan juga pembimbing I. Selama penulis menjadi mahasiswa di Program Magister, Program Studi Linguistik beliau telah banyak memberikan pelajaran yang berharga. Kesabaran dan ketelatenan beliau dalam membimbing dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini juga menimbulkan semangat yang sangat berharga bagi penulis. Telah banyak arahan, masukan, dan motivasi yang diberikan beliau kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Drs. Eddy Setia M.Ed. TESP, yang telah bersedia menjadi pembimbing II. Beliau dengan penuh ketelitian dan perhatian memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi yang sangat berharga demi kebaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan dorongan semangat bagi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Sastra, serta Ketua dan Sekretaris Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan karyawan, yang telah memberikan peluang dan berbagai kemudahan kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.


(8)

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Beliau selalu bersedia membagi waktu untuk berbincang-bincang tentang banyak hal yang memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi penulis. Pengalaman dan keterbukaan beliau telah membuka wawasan penulis tentang hidup dan kehidupan. Sikap kebapakan dan pengayoman menjadi teladan yang baik bagi penulis.

Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda, ibunda, abang-abang, kakak-kakak, adik, ipar-ipar, dan orang-orang tersayang di keluarga penulis yang selalu memberikan dorongan dan bantuan selama penulis kuliah. Juga tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman satu stambuk di Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik USU, khususnya personil Komunitas Larukina Gusroma yang baru saja didirikan, yaitu Kak Lela, Kak Ruly, Kiki, Pak Gustaf, Bu Rosita, dan Bu Erma. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepala sekolah, rekan-rekan pengajar, dan siswa-siswi di SMA Swasta Bandung serta seluruh pihak yang turut membantu yang belum tersebut namanya pada kesempatan ini.

Medan, Juni 2009 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muharrina Harahap Tempat, Tanggal Lahir : Labuhan Batu, 11 Maret 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Perintis I No. 18 Komp. Veteran Purn. ABRI Medan Estate 20371

Pendidikan Formal :

1. SD Negeri No.101776 Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan (Tamat 03 Juni 1995)

2. SLTP Negeri 27 Medan (Tamat 01 Juni 1998) 3. SMU Negeri 11 Medan (Tamat 21 Juni 2001)

4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 25 Juni 2005) 5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007)

Pendidikan Nonformal :

1. Diklat Jurnalistik Suara USU di Medan (2003)

2. Diklat Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Medan (2004)

3. Workshop Finalis Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) dan Mengulas Karya Sastra (LMKS) di Cipayung Bogor (2008)

Pekerjaan :

1. Staf Pengajar di BT/BS Adzkia Medan (2003-2004)

2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Ta’dib Al-Syakirin, Titi Kuning, Medan (2004-2005)

3. Staf Pengajar di Yayasan Pendidikan Azkiaschool Langsa, NAD (2005-2006) 4. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Swasta Bandung, Medan


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 9

1.4.2 Manfaat Praktis ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ... 11

2.1 Kajian Pustaka... 11

2.2 Konsep ... 14

2.2.1 Nilai Budaya ... 14


(11)

2.2.3 Mitologi ... 19

2.2.4 Kosmologi ... 22

2.2.5 Filsafat Jawa ... 24

2.3 Landasan Teori ... 28

2.4 Model Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Rancangan Penelitian ... 38

3.2 Sumber Data ... 43

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 43

3.4 Teknik Analisis Data ... 44

BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRAN PENGARANG ... 47

4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo ... 47

4.1.1 Pasar ... 47

4.1.2 Mantra Pejinak Ular ... 48

4.1.3 Wasripin dan Satinah ... 51

4.2 Pemikiran Tentang Sastra ... 55

4.2.1 Sastra Profetik ... 61

4.2.2 Dialektika Dua Dunia ... 70

BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO ... 74

5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa ... 74

5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa ... 78

5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa ... 88


(12)

BAB VI FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL

KUNTOWIJOYO ... 118

6.1 Metafisika ... 119

6.2 Epistemologi ... 123

6.3 Aksiologi ... 127

BAB VII REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVEL- NOVEL KUNTOWIJOYO ... 133

7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo ... 133

7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan ... 136

7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam ... 147

7.1.3 Hubungan Manusia dengan Masyarakat ... 155

7.1.4 Hubungan Manusia dengan Orang Lain ... 162

7.1.5 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri ... 164

7.2 Kontekstualisasi ... 174

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ... 176

8.1 Simpulan ... 176

8.2 Saran ... 179


(13)

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman 1. Model Penelitian ... 35


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 1. Foto dan Biografi Pengarang... 185 2. Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo... 188 3. Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo... 212


(15)

DAFTAR ISTILAH

Abstraksi : proses/perbuatan memisahkan. Adikodrati : alam gaib

Aksiologi : kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia ; kajian tentang nilai.

Akal : daya pikir untuk memahami sesuatu.

Animisme : kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb.)

Dialektik : seni berpikir secara teratur dan logis

Dialektika : hal berbahasa dan bernalar dengan dialog untuk menyelidiki suatu masalah.

Ekologi : ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).

Ekspansif : dapat/cenderung meluas.

Ekstase : keadaan di luar kesadaran diri (bersemadi).

Epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar/batas-batas pengetahuan. Epos : cerita kepahlawanan.

Filosofis : berdasarkan filsafat.

Filsafat : pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal-usul dan hukumnya.

Gaib : tidak kelihatan ; tersembunyi ; tidak nyata.

Intuisi : daya atau kemampuan mengetahui/memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari ; bisikan hati.


(16)

Kejawen : aliran kebatinan masyarakat Jawa ; berasal dari kata ke-jawa-an. Kosmologi : ilmu (cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan

hubungan ruang waktu dari alam semesta ; ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagad raya ; ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan.

Kosmos : jagat raya ; alam semesta.

Magi : sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib yang dapat menguasai alam semesta.

Magis : bersifat magi ; berkaitan dengan hal/perbuatan magi. Metafisika : ilmu tentang hal-hal yang tidak kelihatan (metafisik). Mistik : hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Mistis : bersifat mistik.

Mite : cerita sejarah, dipercaya benar-benar terjadi, suci, dan dewa. Mitologi : ilmu tentang sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci

mengenai kehidupan dewa/makhluk halus dalam suatu kebudayaan. Mitos : cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu,

mengandung penafsiran tentang asal-usul alam, manusia, bangsa, tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

Monisme : pandangan bahwa semesta itu merupakan satu kesatuan tunggal. Pandangan : konsep yang dimiliki seseorang/golongan dalam masyarakat yang

bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini.

Patrap : tata aturan yang mengatur kehidupan masyarakat Jawa.

Pedoman : kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan ; hal-hal pokok yang menjadi dasar.


(17)

Penalaran : pertimbangan tentang baik-buruk ; akal budi.

Priayi : orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat ; misal golongan pegawai negeri.

Profetik : konsep sastra yang digagas Kuntowijoyo yang memusatkan penciptaan karya sastra pada perilaku nabi.

Rasio : penalaran menurut akal sehat ; akal budi ; nalar. Ritual : berkenaan dengan ritus.

Ritus : tata cara dalam upacara keagamaan

Struktur : susunan yang memperlihatkan tata hubungan antarunsur pembentuk karya sastra ; rangkaian yang tersusun terpadu.

Strukturalisme : doktrin/metode yang menganggap objeknya bukan unsur yang terpisah-pisah, melainkan sebagai gabungan beberapa unsur. Totem : benda dan binatang yang dianggap suci dan dipuji.

Totemisme : sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilinial adalah keturunan dewa-dewa.

Transenden : di luar segala kesanggupan manusia ; luar biasa. Transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau sebaliknya tidaklah begitu sulit jika dilihat dari sudut pandang antropologi, terlebih setelah munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling hubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran kajian fenomena empiris, menjadi semakin jelas dan kuat. Sebagai sebuah disiplin yang perkembangannya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan dalam bentuk etnografi, tulisan atau karya tulis tentang kebudayaan satu atau beberapa suku bangsa tertentu, maka antropologi budaya memang tidak akan pernah terlepas dari sastra, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu, ataupun sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sedang dipelajari. Lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan mengembangkan antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin tidak cuma bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan masyarakat tertentu.


(19)

Memang, dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer seperti mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnya merupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable). Suatu hal yang lumrah apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para ahli antropologi beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan sebagai dokumen kultural. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persepsi-persepsi pengarang terhadap dunia terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.

Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Tradisi pertama, menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Ratna, 2004:354).

Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita


(20)

itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu sendiri.

Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat.

Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme, tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama, adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak penganut spiritual. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra.

Mitologi Jawa yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini hendaknya ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang dunia mite orang Jawa. Beberapa mite itu


(21)

menjadi mitos bagi kelayakan hidup perseorangan dalam masyarakat yang mewakili mite tesebut. Mite orang Jawa yang paling menonjol adalah cerita wayang yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Mungkin kalau dilacak lebih jauh dunia mite orang Jawa berasal dan boleh jadi berakar pada mitologi Hindu yang membawa tradisi cerita kedua epos tersebut.

Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra terjadi dalam konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi, konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120). Sastra yang ditulis pada suatu waktu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku warga masyarakat dan menyapa pembaca yang juga sama-sama dengannya merupakan warga masyarakat tersebut. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk. (1989:26) menyatakan bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam menganalisa sistem masyarakat.

Sumardjo (1982:39), pernah menyatakan tentang adanya kebangkitan kembali kebudayaan Jawa dalam kesusastraan Indonesia. Maksudnya, karya sastra dapat dipandang sebagai sumber informasi tentang manifestasi budaya Jawa. Menurut Suseno (2003:1), salah satu ciri khas kebudayaan Jawa tersebut terletak pada kemampuan luar biasanya mempertahankan keasliannya di tengah membanjirnya gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme


(22)

dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya akan menemukan identitasnya. Kebudayaan Jawa, termasuk filsafat Jawa, merupakan bagian dari kebudayaan luhur masyarakat dan bangsa yang harus tetap lestari dan berkembang.

Sebagai salah satu aspek kebudayaan, novel selalu hadir dan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu apa yang dikisahkan dan bagaimana pengarang menuturkan kisah. Lalu, Chatman (1978:19) membagi studi terhadap cerita (fiksi) ke dalam dua bagian pokok. Pertama, studi isi (content) dan kedua, studi wacana (discourse). Baik isi maupun cara pengarang menyampaikan isi dalam novelnya, secara serempak akan dilihat dalam satu kesatuan pembahasan.

Menurut Rosidi (1995:119) adalah wajar apabila dalam karya-karya seorang sastrawan ditemukan latar belakang kehidupan, pendidikan, dan kebudayaan penulisnya. Dan keragaman latar belakang budaya para penulis Indonesia telah memberikan warna-warni mozaik yang menyusun keindahan sastra Indonesia.

Dilihat dari segi budaya yang mengasuhnya, Kuntowijoyo hidup dalam dua budaya besar: Yogyakarta dan Surakarta. Sebagaimana yang dikatakan Wangsitalaja (Anwar, 2007:9), kedua budaya itu sama-sama berlatar kejawen, tetapi memiliki sejumlah perbedaan bahkan pertentangan. Budaya Yogyakarta bersifat “serba seadanya-gagah-maskulin-aktif”, sedangkan budaya Surakarta bersifat “kenes-penuh bunga-feminin-kontemplatif”. Kedua warna budaya yang kental ini merasuki karya-karya Kuntowijoyo, berdialektika dengan budaya Barat dan peradaban Islam yang intensif digeluti dan dihidupinya.


(23)

Sastra Indonesia sendiri, yang mula-mula memperlihatkan pengaruh sastra Belanda yang kuat, seperti nampak pada karya para pengarang Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, kemudian memperlihatkan kaki-langit yang lebih luas; sementara pengaruh sastra Islam melalui bahasa Arab meskipun tidak menonjol tetap merupakan nada dasar, kecuali pada beberapa orang pengarang seperti Hamka. Kehidupan, kepercayaan, cita-cita yang terdapat dalam Islam, dengan mudah akan dijumpai dalam berbagai karya sastra Balai Pustaka, bahkan juga karya sastra para sastrawan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45. Meskipun untuk waktu yang lama keislaman ini tidak muncul secara sadar dan menonjol, tetapi ia tetap jelas menjadi latar belakang hampir setiap karya sastra yang ditulis. Pada dua-tiga dasawarsa yang terakhir ini, nampak bahwa keislaman telah muncul secara lebih sadar dalam kehidupan sastra Indonesia seperti tampak dalam karya-karya Bahrum Rangkuti, A.A. Navis, dan Kuntowijoyo.

Keanekaragaman karya sastra nasional Indonesia tidaklah memperlihatkan mozaik yang berdasarkan agama saja, melainkan juga berdasarkan keanekaragaman budaya dan kesenian. Kehidupan masing-masing suku bangsa yang mempunyai adat-istiadat yang berlainan, jenis kesenian yang berbeda, memberi kemungkinan untuk memperkaya keindahan mozaik itu.

Keanekaragaman budaya tersebut ditemukan dalam novel-novel Kuntowijoyo. Novel-novel Kuntowijoyo ini bukan jenis karya sastra yang meremehkan gagasan atau pesan yang ingin disampaikan. Gagasan dan pesan bergulir dalam jalinan narasi realis yang berupaya menggali makna hidup dalam dinamika sejarah dan perubahan


(24)

sosial budaya masyarakat. Sebagai tambahan, Anwar (2007:53) mengemukakan bahwa karya Kuntowijoyo dikatakan sebagai karya di mana “visi menggelindingkan narasi”.

Kuntowijoyo merupakan figur yang menunjukkan realitas budaya Jawa. Dilihat dari latar belakang pendidikannya beliau adalah sejarawan. Akan tetapi, karya-karyanya menunjukkan bahwa beliau juga merupakan cendikiawan, agamawan, dan budayawan. Gelar tersebut melekat karena ia banyak sekali memberikan kontribusi pada bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial, dan pengintegrasian ilmu agama dan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Dalam membicarakan tentang alur pemikiran yang dilontarkan beliau, dapat dibahas dari sastra yang ia goreskan pada karya-karyanya. Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya tersebut melalui karya-karyanya yang bercorak transendental (religius) dan profetik

(mengutamakan kebebasan manusia). Sastra yang bercorak transendental dapat dilihat dalam novelnya Khotbah di Atas Bukit (1976), Impian Amerika, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, serta kumpulan puisinya yang berjudul Suluk Awang-Uwung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik yakni,

Pasar, Mantra Penjinak Ular, Makhrifat Daun Daun Makhrifat, dan yang terakhir

Wasripin dan Satinah. Novel Wasripin dan Satinah ( 2003 ) merupakan karya terakhir Kuntowijoyo sebelum virus meningo enchepalitis merenggut nyawanya pada tanggal 22 Februari 2005.

Novel-novel Kuntowijoyo yang akan dianalisis pada kesempatan ini adalah


(25)

dan Satinah (2003). Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Jawa dalam karya sastra tersebut, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti tentang mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo? 2. Bagaimanakah filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?

3. Bagaimanakah representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memperkaya khasanah pembicaraan atau kajian sastra dan budaya. 2. Memaparkan keterikatan atau hubungan kebudayaan dengan sastra.

3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan novel-novel Kuntowijoyo secara luas dan mendalam.


(26)

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 2. Menganalisis filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 3. Menguraikan nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk merangsang penelitian sastra Indonesia yang selama ini berfokus pada penelitian intrinsik dan struktural. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya Jawa dan novel-novel Kuntowijoyo.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia dan puitika sastra Indonesia.

3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitian-penelitian berikutnya, baik penelitian novel-novel Kuntowijoyo maupun penelitian karya sastra Indonesia lainnya.


(27)

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membantu masyarakat untuk memahami nilai budaya, mitos, dan filsafat Jawa.

2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan daerah masing-masing.

3. Memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku. Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sabagai berikut.

Tanggapan terhadap karya Kuntowijoyo melalui artikel, dimulai Prihatmi di

Kompas pada tanggal 13 Oktober 1971 lewat “Sorotan Selintas atas Khotbah di Atas Bukit” dan tahun 1988 beliau juga menulis makalah serupa yaitu, “Karya Kuntowijoyo: Menolak Ratu Adil dan Gagasan Nietsche Tentang Manusia Agung”. Kemudian, Mangunwijaya pun menulis artikel dalam Berita Buana pada tanggal 02 Desember 1986 yang berjudul “Roman Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo, Beberapa Catatan”. Lalu, Pinem menulis di koran yang sama pada tanggal 07 Februari 1989. Artikel itu bertajuk “Suluk Awang-Uwung, Renungan Sufistik Kuntowijoyo”. Tidak mau ketinggalan, Sumardjo juga menulis “Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo” di Pikiran Rakyat tanggal 2 Juli 1976. Terakhir,Wangsitalaja menulis artikel tentang Kuntowijoyo ini di majalah yang sama dan waktu yang bersamaan pula. Masing-masing dimuat di Horison dan pada Februari 2001, berjudul “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dan “Kuntowijoyo: Bermula dari Sebuah Surau”.


(29)

Penulisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Jabrohim yang berjudul Pasar dalam Perspektif Greimas, terbit tahun 1996. Buku ini merupakan naskah laporan penelitian beliau yang diformat ulang oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Jabrohim menggunakan pendekatan struktural A.J. Greimas terhadap novel Pasar

karya Kuntowijoyo dengan menggunakan skema aktan dan struktur fungsionalnya. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami struktur fungsional novel

Pasar tersebut.

Wan Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten yang juga pengamat sastra, menulis buku yang berjudul Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya, terbit tahun 2007. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Kuntowijoyo:

Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999), Khotbah di Atas Bukit (1971), Pasar (1972), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin dan Satinah (2003). Juga dibahas tiga kumpulan puisi Kuntowijoyo : Suluk Awang-Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Buku yang ditulis Anwar ini sangat membantu penulis dalam memahami novel-novel Kuntowijoyo.

Selanjutnya, Maria A. Sardjono menganalisis paham Jawa lewat bukunya yang berjudul Menguak Falsafah Hidup Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia, terbit tahun 1995 di Jakarta. Metode pendekatan yang digunakan oleh Maria A. Sardjono adalah deskripsi fenomenologis dan analisis filosofis. Buku ini memberi kesimpulam bahwa para pengarang dalam karya-karya itu banyak menampilkan pribadi-pribadi manusia Jawa yang memandang ke dalam diri mereka


(30)

sendiri, yang lebih asyik mencari jalan keluar dalam menanggulangi kenyataan atau pengalaman yang dihadapinya daripada mengenai gambaran tentang masalah-masalah sosial yang lebih luas. Sedikit banyaknya penelitian ini akan mengacu pada buku tersebut, terutama untuk memahami budaya Jawa yang terdapat dalam novel-novel Kuntowijoyo.

Djoko Suryono, tahun 1998 pernah menulis tentang budaya Jawa dalam disertasinya yang berjudul Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia. Beliau menggunakan pendekatan sosiokultural dalam memahami nilai-nilai budaya Jawa. Tesis tersebut menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini, terutama mengenai sosiokultural masyarakat Jawa.

Sementara itu, pembicaraan tentang mitologi Jawa terhadap karya sastra sudah dilakukan oleh Zaidan A. Rozak dkk. yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta tahun 1997. Penelitian itu berjudul Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970. Penelitian ini memfokuskan mitologi pada wayang sebagai kerangka acuan dan arah orientasinya. Penelitian ini dapat membantu penulis memahami penerapan mitologi Jawa terhadap karya sastra.

Dengan demikian, diketahui bahwa pembicaraan tentang mitologi terhadap novel-novel Kuntowijoyo, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.


(31)

2.2 Konsep

2.2.1 Nilai Budaya

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil.

Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia, dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia. Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.


(32)

Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai budaya daerah tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.

Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut Kluckhohn, yaitu :

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, 2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia,

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, 5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya

(Koentjaraningrat, 2002:191).

Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.


(33)

2.2.2 Budaya Jawa

Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa kata budaya sebagai suatu perkenbangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’. Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama.

Jawa (Java), atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau yang terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa (Javanese) adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa (Suseno, 2003:15). Kemudian, Geertz (Sani, 2008:7) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu kaum abangan, priyayi, dan santri. Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Lalu, priyayi adalah kelompok yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi, sedangkan kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dan sinkretisme pada umumnya berhubungan dengan kaum pendatang dan


(34)

petani. Klasifikasi masyarakat Jawa ini menjelaskan budaya hierarkis masyarakat Jawa.

Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang Jawa tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat, di banyak kepulauan Indonesia kini sampai Irian Barat setelah transmigrasi, di semenanjung Malaysia, di Muangthai, Birma, dan Vietnam yang dibawa oleh Jepang sebagai romusha, di Suriname, Kurasao, Kaledonia Baru sejak zaman penjajahan sebagai tenaga perkebunan. Yang amat sedikit diketahui adalah orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka, dan Asia Tenggara.

Menurut Partokusumo (Setyodarmodjo, 2007:73), salah seorang pakar budaya dari Lembaga Javanologi, jumlah orang Jawa di berbagai tempat di penjuru dunia itu tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di seluruh kepulauan Indonesia ± 60% dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah lebih dari 160 juta.

Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak merupakan sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya keanekaragaman yang sifatnya regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994:25).

Oleh karena budaya yang tidak homogen tadi, maka sifat tablat


(35)

tidak ada yang khas ‘Jawa’. Ada yang polos, dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus, ada yang kasar, ada yang berterus terang, ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya, dan ada yang bekerja fanatik, serta ada yang tidak bertindak sendirian dan yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya (Suseno, 2003:31).

Mengingat kenyataan bahwa kebudayaan Jawa tidak homogen dan sifat orang Jawa berbeda satu sama lain, maka watak dan tingkah laku orang Jawa tidak dapat dipukul rata. Meskipun demikian, kiranya patut dikemukakan sifat-sifat orang Jawa hingga sekarang masih banyak dilestarikan, yakni sifat yang lebih umum namun tetap khas Jawa antara lain : rukun, damai, hormat, ramah, tenggang rasa (tepa selira), dan keselarasan (harmonis). Sifat-sifat ini membangkitkan kemampuan memahami perbedaan, tetapi tetap berpegang pada pendapat dan pendiriannya sendiri tanpa menimbulkan suatu ketegangan. Inilah yang disebut kebijaksanaan. Sifat-sifat itulah sebagai ‘kiblat’ manusia Jawa mengenal asal usulnya di mana pun mereka berada.

Hardjowirogo (1984:7) juga menambahkan bahwa semua orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam penghayatan hidup budaya mereka, baik yang tinggal di Pulau Jawa maupun yang di tempat lain, bahkan yang tinggal di Suriname, orientasi nilai mereka tetap terarah ke kota Solo dan Yogya. Oleh sebab itulah, kesatuan budaya yang dipegang oleh orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini, mau ataupun tidak, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia.


(36)

Bagi orang Jawa ‘budaya’ bukanlah konsep antropologi yang samar-samar, melainkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan itu disadari benar. Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, mengetahui dan memperlihatkan tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas, mempertahankan tatanan yang ada, manusia dan benda-benda berada di tempat masing-masing yang teratur, dapat diramalkan, dan tanpa gangguan (Mulder, 2005:42).

Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung serta disadari atau tidak. Dari pengalaman hidup ini, kemudian diperoleh citra lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah definisi yang dituliskan oleh Partokusumo tersebut bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum kemauan, cita-citanya, idenya, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.

2.2.3 Mitologi

Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie, yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang pokok ceritanya sama; studi tentang mitos.


(37)

Mitos juga berasal dari kata myth (Inggris), mythe (Prancis), dan mythos

(Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai cerita yang mempunyai struktur berarti mitos dibangun oleh satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri mengandung makna.

Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat berlaku hanya karena penganutnya memercayai sebuah mitos. Dan ketakutan manusia akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang sebenarnya.

Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang

ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali ditinggalkan masa itu, ia tak akan berlaku lagi.


(38)

Mitos bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini. Namun, mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama atau dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan dengan aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna, serta menjadi pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan tempat tinggalnya.

Antropolog sosial, seperti Malinowski dalam buku William A. Lessa dan Evon Z. Vogt yang berjudul Reader In Comparative Religion (1979:101) berpendapat bahwa mitos sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukanlah semata-mata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos merupakan daya aktif dalam kehidupan masyarakat primitif. Atas dasar ‘realitas’ mitos menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada (Minsarwati, 2002:27).

Senada dengan Malinowski, Anderson (2008:10) mendefinisikan mitologi sebagai seperangkat simbol-simbol nasional atau kultural yang membangkitkan kesetiaan yang boleh dikatakan seragam pada masyarakat, baik secara horizontal lintas wilayah maupun secara vertikal lintas kelas.

Simbol-simbol nasional dan kultural tersebut tercermin dalam sebuah karya sastra. Karya sastra yang merupakan produk kebudayaan menyimpan berbagai mitos kedaerahan masing-masing. Kebudayaan Jawa, misalnya penuh dengan mitologisasi


(39)

sesuatu sebagai misteri). Kesemuanya itu merupakan mitologi yang dapat ditemukan pada orang, tempat, waktu, dan peristiwa. Hal tersebut terlihat menonjol dalam nama, kelahiran, waktu, keberuntungan, angka, dan huruf.

Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan manusia melalui bentuk upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi masyarakat Jawa, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos tidak hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan mengulangi kembali apa yang telah Tuhan dan alam supranatural kerjakan pada waktu permulaan. Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Jawa bukan merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang Illahi.

2.2.4 Kosmologi

Secara etimologi kosmologi berasal dari istilah Yunani, yaitu kosmos yang berarti susunan, atau ketersusunan yang baik. Menurut Bakker (1995:27) kosmologi adalah ilmu pengetahuan tentang alam ataupun dunia. Titik tolak konkret kosmologi adalah kesatuan manusia dan dunia. Pemahaman antara manusia dan dunia dalam antropologi ini selanjutnya dikatakan kosmologi yang bersifat metafisik.

Hal itu sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari Antropologi karena setiap struktur metafisik dalam substansi-substansi duniawi, pertama-tama


(40)

direalisasikan dalam manusia dengan cara paling jelas dan sadar sejauh substansi lainnya (dalam rangka dunia) merupakan bayangan dan pemikiran manusia yang berkurang. Namun, kosmologi juga berbeda karena secara implisit terkandung kesimpulan-kesimpulan tentang substansi-substansi dunia lainnya, tetapi dalam kosmologi substansi-substansi dunia lain itu termasuk obyek penyelidikan secara langsung (Bakker, 1995:38).

Kosmologi selalu berhubungan dengan lingkungan, salah satunya adalah ekologi. Ekologi yang diartikan sebagai ilmu tentang lingkungan hidup, merupakan ilmu majemuk atau disiplin lintas semu (an inter diciplinary study). Ekologi memiliki keistimewaan di antara ilmu-ilmu spesifik, terutama yang eksakta, sebab dengan jelas berciri normatif. Ekologi bukan hanya mempelajari struktur alam dunia, tetapi juga menentukan norma-norma untuk memelihara dan mengembangkan.

Pemahaman antara kosmologi dan ekologi menambah pengertian bahwa gagasan pengalaman-pengalaman hidup manusia merupakan fungsi dari kualitas alam lingkungan yang terlihat dari perjuangan antara manusia dengan alam. Melalui sudut ini akan terlihat bahwa sekalipun kosmologi bukan ilmu praktis yang dapat menyajikan pemecahan untuk persoalan ekologi, tetapi kosmologi dapat menyediakan dasar tempat suatu filsafat lingkungan dapat dibangun. Kosmologi menjadi ruang dialog ekologi dan keduanya bersama-sama memberi pengertian skala besar dan skala kecil tentang oikos.

Berdasarkan uraian di atas, kerjasama antara kosmologi dengan ekologi, maupun antropologi ternyata mampu memahami keberadaan alam semesta konkret,


(41)

baik itu asal mula, gejala-gejala, substansi-substansi, serta sebab-akibat yang ditimbulkannya, maka sangat relevan sekali apabila kosmologi ini sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam yang berusaha tampil untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tetap mengacu pada manusia makhluk dengan kecerdasan dan kesadaran diri.

Sehubungan dengan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung ataupun tidak, dan disadari ataupun tidak ia akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya. Dari pengalaman hidup ini kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya. Keberadaan kosmos dengan keteraturannya mengantarkan pada pemahaman yang lebih realistis, bahkan alam dengan gejala-gejala yang muncul pasti ada yang mengatur dan mengendalikan.

2.2.5 Filsafat Jawa

Brown dalam bukunya yang berjudul Psycolinguistics (1980:11) berpendapat bahwa salah satu hakikat bahasa adalah dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kemampuan berbahasa manusia dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke


(42)

generasi berikutnya. Dengan bahasa pula, manusia dapat berpikir secara sistematis dan teratur.

Anderson (2008:10) juga menambahkan bahwa bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada. Kelahiran bahasa itu bergandengan dengan kelahiran budaya. Melalui budaya segala cipta kognisi seseorang dapat dimiliki oleh orang lain dan dapat juga diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sejak adanya manusia, ada dua evolusi yang bersamaan, yaitu evolusi fisiologi (berkenaan dengan tubuh) dan evolusi budaya. Keduanya diikuti pembesaran otak manusia dan perluasan pemakaian bahasa. Jadi, dapat dipastikan bahwa manusia, bahasa, dan budaya lahir dan tumbuh secara bersama-sama.

Pada kenyataannya, tidak semua manusia berbahasa secara lugas. Adakalanya dalam menyampaikan maksudnya, manusia menggunakan perbandingan-perbandingan atau simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, manusia memerlukan proses berpikir dan perenungan yang cukup panjang untuk memahami maksud tersebut. Di sinilah, muncul filsafat budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarah kebudayaan tertentu. Salah satu pengemban kebudayaan yang cukup besar di Indonesia adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa itu telah mengejawantahkan pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kehidupannya. Pemikiran filosofis itu disebut Ciptoprawiro sebagai filsafat Jawa.

Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157), memberikan pengertian tentang filsafat Jawa. Menurutnya filsafat Jawa adalah ‘filsafat Sangkan Paraning Dumadi’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka dapat dialihbahasakan menjadi


(43)

‘filsafat asal dan arahnya yang ada’. Bila disebut pandangan hidup orang Jawa itu dengan kata-kata filsafat, maka kita perlu berhati-hati dalam mengartikannya. Hal ini karena arti kata filsafat itu sendiri bermacam-macam.

Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157) juga mengartikan filsafat atas tiga pengertian. Pertama, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan hidup, atau yang dalam bahasa Jerman dinamakan ‘Weltanschauung’. Kedua, filsafat diartikan sebagai pemikiran yang logis, radikal sistematis tentang apa yang ada dalam kerangka kesemestaan atau universalitas. Sebagai contoh, bagaimana filsafat kebenaran itu menurut seorang pemikir. Demikian pula filsafat tentang susila, hukum, kekuasaan, dan seterusnya. Ketiga, filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang filsafat yang disebutkan dalam arti pertama dan/atau arti yang kedua.

Di pihak lain, Ciptoprawiro (2000:11) mendefinisikan filsafat sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar. Berfilsafat dalam arti luas, dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu.

Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan tiga komponen pokok yang memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan

cipta, rasa, dan karsa, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘trisakti jiwa’. Kemudian oleh Bung Karno dalam sambutannya pada upacara menerima gelar


(44)

dijadikan trilogi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu : nationale geest, nationale will,

nationale doad (jiwa nasional, kemauan nasional, dan perilaku nasional).

Pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dan keutuhan itu secara konsekuen dipegang teguh oleh orang Jawa dalam berolah filsafat. Inilah yang memberi ciri khas pandangan hidup (filsafat) dan ilmu (kawruh) Kejawen yang secara diametral berlawanan dengan filsafat serta penerapan ilmu pengetahuan manusia Barat yang cenderung memisahkan jiwa dan materi dan menjurus ke suatu dualisme.

Jadi, perbandingan antara filsafat Barat dan filsafat Jawa dapat dirumuskan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ciptoprawiro (2000:16) bahwa filsafat Barat mengidentifikasikan aku (ego) manusia dengan ciptanya (rasio, akal). Dengan demikian, cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya hingga terlepasnya dari hubungan dengan lingkungannya hingga terjadi jarak (distansi) antara manusia dengan lingkungannya. Bagi filsafat Barat, manusia adalah manusia lepas hubungan. Filsafat Barat beranggapan bahwa manusia adalah animal rationale (binatang yang bernalar, Socrates).

Sebaliknya, menurut filsafat Jawa manusia itu selalu dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan serta Alam Semesta, dan menyadari kesatuannya. Maka bagi filsafat Jawa manusia adalah manusia dalam hubungan. Saat mempergunakan kodrat kemampuannya, manusia Jawa senantiasa mengusahakan kesatuan cipta-rasa-karsa. Filsafat Jawa (Filsafat Timur umumnya) beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Ciptoprawiro, 2000:15).


(45)

Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan. Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia.

Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthoropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti : bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas,


(46)

dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide.

Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat penting.

Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat, sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional (1908), yang kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda (1928), karya sastra Indonesia modern diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu


(47)

diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-mainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra (Ratna, 2004:352).

Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.

Menurut Kleden (2004:356), refleksi kebudayaan harus selalu diadakan karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi, bukan tidak mungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan bukannya juga produk-produk bersama yang telah dihasilkan dan diciptakan, dan karena itu dapat selalu berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Wallace (1966:70) bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks.


(48)

Hoed (2007:122) menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung prinsip-prinsip supraindividual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai meninggalkan sebagian prinsip-prinsip supraindividual dalam kebudayaan internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru.

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai

animal rationale. Cassirer (1990:65) menyatakan bahwa sistem simbol mendahului sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh Eliade (2002:12) bahwa pemikiran simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalah awal dari bahasa dan pemikiran deskriptif.

Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.

Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch (Ratna, 2004:351), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling memengaruhi, yaitu : a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan


(49)

institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.

Menurut Forde (Minsarwati, 2002:48), hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan.

Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (Endraswara, 2008:109) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia/orang, (b) artikel tentang sastra, (c) bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.

Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan ini ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images yang terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut menguasai sistem dan budaya masyarakat.


(50)

Scott (Sikana, 2008:137), dalam buku teori klasiknya Five Approaches of Literary Criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual, dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dari tindakan-tindakan yang berbentuk budaya dan kesenian.

Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih lanjut, Jung (Sikana, 2008:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya.

Sangat beralasan jika Sikana mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan pada karya-karya yang kaya dengan unsur-unsur mitos. Hal itu sejalan dengan pendapat Frye, yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat dihubungkan dengan mitologisme dan arkaisme ini ialah yang bercorak keagamaan, yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi; seperti animisme, totemisme, berhala, dan agama Kristiani sendiri. Menurutnya, setiap kepercayaan itu kaya dengan unsur-unsur mitos; malah kelahiran kepercayaan itu sendiri dibina oleh mitos-mitos (Sikana,


(51)

2008:134). Mitos ini pula dalam interpretasi yang luas dapat dikaitkan dengan teori psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi sastra dapat mengkajinya dalam bentuk paparan etnografi.


(52)

2.4 Model Penelitian

s

t

w

t

.

u u t

t t

u u

t t t

u u

r

Bagan 1 : Model Penelitian

q

Budaya Jawa

Peneliti/Pengamat Pengarang Novel-Novel Kuntowijoyo

Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, Wasripin

Mitologi Filsafat Representasi Nilai Budaya

- Hubungan manusia dengan Tuhan - Hubungan manusia dengan alam -Hubungan manusia dengan masyarakat - Hubungan manusia dengan orang lain - Hubungan manusia dengan diri sendiri - Sikap kosmologis

- Pandangan hidup - Mitos-mitos masa kini

- Metafisika - Epistemologi - Aksiologi


(53)

Keterangan:

s : Hubungan langsung : Hubungan tidak langsung

Model penelitian merupakan kerangka berpikir dari suatu penelitian. Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan paradigma budaya yang dikaitkan dengan budaya Jawa, khususnya mitologi.

Pengarang yang menggunakan budaya Jawa yang berpusat di Solo dan Yogyakarta sebagai inspirasi untuk menciptakan novel-novel P, MPU, dan WdS

memadukannya dengan keadaan dan situasi soaial, budaya, dan politik.

Peneliti atau pengamat menginterpretasikan novel-novel Kuntowijoyo dalam bentuk mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya sebagai suatu kajian yang berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena hubungan realitas budaya Jawa dengan novel-novel Kuntowijoyo bukanlah hubungan langsung, maka untuk memahami mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya tersebut dipergunakan teori antropologi sastra dan semiotika.

Mitologi Jawa yang merupakan struktur dari novel-novel Kuntowijoyo diamati secara totalitas dan dipadukan pada tokoh Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin, sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Kemudian, tokoh-tokoh tersebut dihubungkan dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga tergambar sikap kosmologis masyarakat, pandangan hidup, dan mitos-mitos masa kini. Sementara itu, filsafat Jawa akan diuraikan pada tingkatan metafisika,


(54)

epistemologi, dan aksiologi. Melalui tahapan-tahapan tersebut akan terlihat keutuhan filsafat Jawa.

Representasi nilai budaya dikaitkan pada lima buah hubungan manusia yang paling mendasar yakni : hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika. Metode hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yamg muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, tari-tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80).

Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman dan interpretasi. Prinsip hermeneutika menurut Schleimacher (Kaelan, 2005:80), adalah untuk menangkap objective geist, yang terkandung dalam objek penelitian. Objective geist dapat pula diartikan sebagai makna yang terdalam, hakikat nilai yang terkandung dalam objek penelitian.

Pada ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan karena tanpa interpretasi pembaca mungkin sulit mengerti dan memahami jiwa zaman pada saat kesusastraan itu diciptakan (Nasution, 2007:60). Gadamer (Selden, 1991:122), mengemukakan bahwa semua tafsiran kesusastraan masa lampau


(56)

timbul dari sebuah dialog antara masa lampau dan masa sekarang. Usaha tersebut untuk memahami sebuah karya akan bergantung pada pertanyaan yang ditimbulkan oleh lingkungan kebudayaan itu sendiri.

Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Tidak semua buah pikiran dapat terungkapkan dengan bahasa secara jelas karena bahasa harus sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Untuk itu diperlukan hermeneutik. Hermeneutik mencoba membahas, menganalisis, serta mengevaluasi bahasa melalui media tulis dan karya-karya sastra.

Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja

hermeneuein ‘menafsirkan’, dan kata benda hermeneia ‘interpretasi’. Hermeneutik dapat diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti. Hermeneutik dalam pandangan klasik Aristoteles, yaitu bahwa bahasa yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol-simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.

Menurut Palmer (2003:38), hermeneutik dapat didefinisikan menjadi enam bentuk yang berbeda, sebagai berikut :

Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun

iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.


(57)

Masing-masing definisi ini sekadar merupakan tahapan-tahapan historis, menunujuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi. Secara esensial, masing-masing definisi ini merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat. Muatan hermeneutika itu sendiri cenderung dibentuk kembali melalui perubahan sudut pandang ini.

Kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat “triadic” (mempunyai segi yang saling berhubungan). Pada proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dalam pikiran penafsir itu sendiri. Orang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya “lain” kini menjadi “aku” penafsir itu sendiri.

Wolf (Djojosuroto, 2007:242) menyatakan bahwa hermeneutik merupakan seni menemukan makna sebuah teks. Ada tiga jenis hermeneutik atau interpretasi, yaitu :

(1) Interpretasi gramatikal, yang berhubungan dengan bahasa. (2) Interpretasi historis, yang berhubungan dengan fakta dan waktu.

(3) Interpretasi retorik, yang mengontrol kedua jenis interpretasi yang terdahulu, ditambah kefasihan gaya dan seni.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode “tafsir sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan kedua metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural.


(58)

Dengan demikian, ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu: pertama, hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas kultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep masa lalu dengan masa kininya.

Hermeneutik sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks sastra (Djojosuroto, 2007:243).

Sehubungan dengan itu, Ricoeur (Bleicher, 2003:335) mengemukakan pendapatnya bahwa simbol-simbol dan mitos-mitos mengundang pemikiran tertentu. Simbol dan mitos memberikan makna sehingga harus diinterpretasikan di ranah mereka sendiri melalui serangkaian aturan spesifik. Pada tahap ini, Ricoeur


(59)

membatasi konsep interpretasi menjadi investigasi atas makna yang tersembunyi dalam makna literal yang tampak.

Menurut Ricoeur (Djojosuroto, 2007:239) juga, salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut

vorhabe (apa yang dimiliki), voorischt (apa yang dilihat), dan vorgriff (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian).

Di bidang filsafat sendiri, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”dan “pembahasan” seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia (Djojosuroto, 2007:241).

Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermeneutik merupakan metode yang dilakukan secara dialektik, artinya peneliti harus bolak-balik dari bagian ke keseluruhan, dari keseluruhan ke bagian, kemudian dari unsur intrinsik ke ekstrinsik dan dari ekstrinsik ke intrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran yang berupa spiral, sehingga menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis. Pemahaman dan interpretasi terhadap objek merupakan ciri khas metode ini dan lebih dipentingkan daripada mengambil jarak dari objeknya. Pemahaman dan interpretasi


(60)

objek dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknnya. Dengan demikian, metode hermeneutik tersebut sangat dibutuhkan dalam penelitian ini.

3.2 Sumber Data

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tiga novel karya Kuntowijoyo, yaitu Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan Satinah (WdS). Dipilih ketiga novel tersebut karena bersifat tematis, yakni menonjolkan realitas budaya Jawa dalam penceritaannya.

Di samping itu, sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah-majalah, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan lain, juga dari diskusi-diskusi, dan seminar-seminar yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka (library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan terhadap semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau kejadian (Moeliono, 1990:713).

Metode pengumpulan data secara hermeneutik dimulai dengan membaca novel-novel Kuntowijoyo tersebut, karena sumber data yang dominan ada pada karya


(61)

sastra itu. Untuk itu, peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan :

1. Dengan bekal pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang dimiliki, peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan seteliti-telitinya seluruh sumber data.

2. Membaca sumber data secara berkesinambunganan berulang-ulang sesuai dengan prinsip dialektik sehingga diperoleh pengertian antara bagian dan keseluruhan dari objek yang diteliti.

3. Setelah langkah kedua, peneliti membaca sekali lagi sumber data untuk memberi tanda bagian-bagian yang diangkat menjadi data yang akan dianalisis lebih lanjut.

Dengan langkah-langkah tersebut, dapat diperoleh data penghayatan dan pemahaman arti dan makna tentang karya sastra yang diteliti secara mendalam dan mencukupi.

Sehubungan dengan itu, peneliti akan mengadakan analisis terhadap data utama, yaitu novel-novel Kuntowijoyo. Untuk membantu dan melengkapi data utama tersebut maka dikumpulkan juga buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis konten (content analysis). Analisis konten digunakan peneliti untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan


(62)

tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun konsep yang akan diungkap, baru memasuki karya sastra. Aspek penting dari analisis konten adalah bagaimana hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan pada siapa saja (Endraswara, 2008:161).

Pada proses pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Peneliti membaca novel-novel Kuntowijoyo yang menjadi objek penelitian

secara

berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Membaca hermeneutik berlangsung dalam dua tataran (tingkat). Pertama, membaca

heuristik, yaitu membaca dengan dasar pemahaman pada konvensi bahasa. Kedua, membaca hermeneutik, yaitu dicari makna tersirat. Penafsiran ini memerlukan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Jadi, membaca hermeneutik memungkinkan pemberian makna yang khas, bervariasi, dan mendalam.

2. Peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikasi seluruh data serta memfokuskan interpretasi pada objek yang berkaitan dengan mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa. Analisis data tidak dikerjakan per sumber data, tetapi per butir masalah yang telah dirumuskan. Jadi, analisis data dikerjakan secara utuh-bulat (holistik) dan menyeluruh (komprehensif).

3. Kemudian peneliti menafsirkan kembali seluruh data yang teridentifikasi dan terklsifikasi untuk menemukan kepaduan, kesatuan, dan hubungan antardata


(63)

sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh-bulat dan menyeluruh tentang hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.


(64)

BAB IV

GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRAN PENGARANG

4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo 4.1.1 Pasar

Novel P bertemakan perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Tokoh utama novel ini adalah Pak Mantri yang diceritakan sebagai pemimpin pasar kecamatan di sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan sosial dan kebudayaan. Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama Jawa. Karakter Pak Mantri dijelaskan sebagai orang Jawa yang tahu betul sopan santun dan tata krama Jawa, khususnya tata krama priayi.

Orang-orang mengakui hal ini, termasuk tokoh Pak Camat dan para pegawai kecamatan lainnya. Perhatikan kutipan berikut.

Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri pasar. Sebab tidak seorangpun – kecuali Kasan Ngali – yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat dan Pak Kepala Polisi dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup yang jujur, setia, sopan-santun, tahu diri menumpuk pada dirinya (P:1).

Dengan menggunakan alur maju, novel ini dikisahkan dengan hangat dan lincah yang melibatkan pembaca sehingga sudut pandang “dia”-an berpadu dengan sudut pandang “aku”-an yang membuat tokoh cerita atau pencerita dapat langsung bicara pada para pembaca. Penuturan yang hangat dan lincah itu menggambarkan


(65)

kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar.

Kasan Ngali merupakan tokoh protagonis dalam cerita yang ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa.

Jabrohim benar ketika mengatakan bahwa novel Pasar kuntowijoyo mengisahkan proses pewarisan nilai-nilai budaya Jawa dalam perubahan sosial di sebuah kota kecamatan (1996:5). Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi (Pak Mantri), nilai-nilai profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank), progresivitas usaha (Kasan Ngali, wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.

4.1.2 Mantra Pejinak Ular

Dua masalah pokok yang menonjol dalam novel MPU adalah perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan


(1)

golput, tetapi tidak dapat dibuktikan. Wasripin dituduh PKI karena tidak punya KTP, tetapi masih dapat dielakkan.

Berbagai cara terus dilakukan Partai Randu (penguasa) untuk meringkus Wasripin dan pak Modin. Sementara Wasripin dan Pak Modin semakin populer di masyarakat, strategi pun diubah. Partai Randu mencoba merayu Wasripin agar mau jadi pengurus atau calon anggota DPR, tetapi Wasripin menolaknya. Hingga pada suatu hari, Wasripin dikabarkan akan mendapat Anugerah “Adhikarta” dari Mabes di Jakarta. Pemimpin Partai Randu gerah. Segala persiapan dilakukan. Namun, menjelang hari-H, tiba-tiba ada berita pemberian anugerah dibatalkan. Semua itu atas usaha keras Partai Randu Kabupaten yang menelepon Ketua Umum Pusat agar minta petunjuk Ketua Dewan Pembina Partai Randu.

Partai Randu memang lihai memanipulasi dan memaksakan keinginan. Berbagai lobi dan upaya selalu dilakukan demi kemajuan Partai Randu, termasuk memolitisasi agama. Ketika DPRD sepakat aklamasi untuk menetapkan K.H. Rifa’i Kalisasak sebagai Pahlawan Nasional, Partai Randu kelabakan. Mereka beranggapan para pengikut tarekat aliran Rifaiyah kebanyakan golput, jadi penobatan K.H. Rifa’i sebagai Pahlawan Nasional akan merepotkan Partai Randu. Partai Randu berupaya dengan berbagai cara. Akan tetapi, karena masyarakat terus mendesak, akhirnya K.H.Rifa’i dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Di sini tampak bagaimana politisasi agama berlangsung, termasuk di tubuh Badan Pengawas Agama yang menjadi antek Partai Randu.


(2)

Akan tetapi, seperti telah dikemukakan, Partai Randu terus-menerus bekerja keras menyingkirkan orang-orang yang akan menghalangi langkahnya dalam mempertahankan kekuasaan. Maka inilah rekayasa yang berhasil melumpuhkan Wasripin hingga ia ditahan dan kemudian dilenyapkan. Wasripin ditangkap dengan tuduhan menyimpan seonggok senapan dengan granat di bawah dipan tempat tidurnya. Senjata dan granat itu sengaja disimpan intel di kamar Wasripin. Penangkapan Wasripin sudah diatur sedemikian rupa, termasuk mengajak kru televisi dan wartawan koran. Maka tamatlah riwayat Wasripin.

Hal yang menimpa Wasripin, menimpa Pak Modin pula. Dengan alasan yang tidak masuk akal, Pak Modin dipaksa mengakui bahwa ia adalah Presiden NII. Bagaimana keras dan kejamnya intimidasi itu hingga pada suatu hari Pak Modin dipulangkan secara liar ke kampung nelayan dalam kondisi menyedihkan. Perhatikan kutipan berikut.

Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu...

“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.”

“Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap.

“Tidak, Pak.” (WdS:255).

Pak Modin dipapah memasuki kampung dalam keadaan trauma di tengah penduduk kampung yang amat mencintainya.

Sepeninggal Wasripin, kampung nelayan terus-menerus mengalami keributan. Penduduk memasang bendera setengah tiang atas hilangnya Wasripin. Polisi dan


(3)

tentara mengintimidasi dan menegaskan bahwa itu merupakan pembangkangan. Para nelayan tidak mau melaut, tetapi polisi dan tentara memaksa. Kerusuhan tidak terhindarkan hingga pada suatu hari Ketua Partai Randu di desa nelayan itu mengundurkan diri dan membubarkan partai. Oleh karena nelayan tetap mogok, penguasa dengan sewenang-wenang menaikkan pajak sehingga terpaksalah para nelayan melaut seraya memanggil-manggil nama Wasripin.

Adapun Satinah kembali ke desanya setelah pamannya meninggal dunia dan Wasripin menghilang tidak tahu rimbanya. Pada suatu hari, emak angkat Wasripin tiba di kampung nelayan itu, bermaksud meminta maaf kepada Wasripin dan kepada Paman Satinah yang tidak lain suami emak angkat Wasripin.

Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen (1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan. Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.


(4)

Lampiran 3

Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo a. Pasar


(5)

(6)