ANALISIS PERAN AKTOR PADA PEMILU KEPALA DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE 2010 - 2015

(1)

ANALISIS PERAN AKTOR PADA PEMILU KEPALA DAERAH

KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE 2010 - 2015

Oleh,

ZULI AFRIANTO

(Tesis)

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG 2013


(2)

Analisis Peran Aktor Pada Pemilu Kepala Daerah Kota Bandar Lampung Periode 2010-2015

Analisis of the different actors in the election of the mayor of Bandar Lampung 2010-2015

ZULI AFRIANTO

Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, Bandar Lampung

ABSTRACT

For the actor who play a part in developing public consciousness as a form of democratic reconciliation and for the politican who respond energetically, there is starting to be a transition to local politic in Indonesia. In the political field, the role of different actors can be divided into four groups; political society, which includes the political parties, civil society, made of social organisations and associations which are concerned with social justice and are free from outside interference; the state as a public agency and which is represented by gevernment and bureaucratic structur; and the economic society, made of traders and busines ownwrs.

This study aim of this research is to clarify who the most important actor are in the election process as well as to discuss the role, the form and the actions of these actors in relation to the mayoral election for Bandar Lampung, 2010-2015.

The study is showed that analyse the roles of the vavious actors, who have already been divided into four groups. Firstly, the political society, are the elite politicians who represent the big political parties who can want to run in the election. Secondly, rhe economic society, is formed of local groups concerned with local development and local economic growth. Thirdly, the civil society organitations and associations youth organisations, LSM, local mass media and the academics. Lastly, the local state, is the mayor and the local government officials.

These actors have a role as cultural agent who influence the change or growth of values in the local political cultur in the process of democratisation. Apart from this role, these actor have a role in a wider field- that of public competition and development. Because of the dominant relationship between these roups, these actors have a very strong role in influencing public opinion and controlling mass social action for economic and political mobilisation. In the local political field, the actor (elite politicians) have a strong influence not only develop local democracy but also to influence the boundaries of the mayoral candidates, even deciding the outcomes of the mayoral elections.


(3)

ABSTRAK

Para aktor berperan dalam mengisi dan membangun ruang-ruang publik sebagai bentuk rekonsiliasi demokrasi dan dilakoni oleh sabjek-subjek politik yang saling bersinergi mengawal ketat berjalannya transisi politik lokal di Indonesia. Dalam ranah politik, peran aktor ini ditandai oleh kehadiran empat aktor utama yaitu, political society yang di dalamnya terdapat anggota partai politik, civil society merupakan kelompok/lembaga masyarakat yang memiliki kharakter keswadayaan dan bebas dari pengaruh kekuasaan, the state adalah public agency yang diwakili oleh pejabat pemeritahan dan struktur birokrasi, dan economic society sebagai pelaku pasar dan pemilik modal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui siapakah aktor-aktor paling berperan dalam proses pencalonan, serta menganalisa peran, bentuk dukungan, dan upaya-upaya yang dilakukan aktor lokal dalam memenangkan pemilu kepala daerah Kota Bandar Lampung Periode 2010-2015.

Penelitian ini menunjukkan analisa peran masing-masing aktor lokal yang terbagi menjadi empat aktor utama dalam upaya memenangkan pemilukada tersebut. Pertama, Aktor Political society, adalah aktor/elit politik lokal yang terdapat dalam unsur ketua/pimpinan partai-partai politik besar yang memenuhi syarat untuk mengusung calon kepala daerah. Kedua, Aktor Economic Society, adalah aktor lokal yang konsen terhadap pembangunan daerah dan pembangunan perekonomian daerah. Ketiga, aktor civil society, adalah organisasi/asosiasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, LSM, media massa lokal, maupun akademisi. Keempat, The Local State, adalah kepala daerah termasuk unsur-unsur pemerintahan daerah atau elite birokrasi, maupun pegawai pemda.

Aktor-aktor utama berperan sebagai agen budaya dalam mempengaruhi perubahan dan kesinambungan nilai-nilai budaya politik lokal dalam proses demokratisasi. Selain itu para aktor juga terlibat dan berperan dalam arena yang lebih luas yaitu kompetisi publik dan pembuatan kebijakan publik, oleh karenanya hubungan dominatif mucul karena aktor-aktor tersebut sangat berperan dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial masa demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Dalam percaturan politik lokal, peran aktor atau elite politik lokal sangat berpengaruh tidak hanya kepada perkembangan demokratisasi lokal, juga dapat mempengaruhi kebijakan bahkan pencalonan kepala daerah sampai menentukan kalah menangnya calon kepala daerah yang berlaga dalam pemilihan umum kepala daerah.


(4)

(5)

(6)

(7)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………iii

BAB I. PENDAHULUAN………..1

1.1. Latar Belakang………..1

1.2.Aktor Utama Dalam Demokratisasi Lokal………3

1.3.Perumusan Masalah……….11

1.4.Tujuan Penelitian...………..11

1.5.Manfaat Penelitian...………12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………..13

2.1.Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal……….13

2.2.Interaksi Aktor Dalam Arena Politik………...14

2.3.Peran Aktor dan Dominasi Elite Lokal………16

2.4.Pilkada Langsung dan Demokratisasi Lokal………18

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……….23

3.1.Jenis Penelitian……….23

3.2.Fokus Penelitian………...24

3.3.Sumber Data……….25

3.4.Metode Pengumpulan Data………..26

3.5.Teknik Analisis Data………29

BAB IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN………...31

4.1.Kota Bandar Lampung……….31


(8)

ii

BAB V. PEMBAHASAN……….41

5.1.Pilkada Langsung dan Politik Lokal Kota Bandar Lampung………..41

5.2.Para Aktor Yang Berperan Dalam Pilkada………..45

5.2.1. Masyarakat Politik (Political Society)…..……….45

5.2.2. Masyarakat Ekonomi (Economic Society)…………...………..50

5.2.3. Mayarakat Sipil (Civil Society)………..51

5.2.4. Negara (The State).………54

5.3.Peran dan Upaya Aktor Dalam Pilkada………..……….56

5.3.1. Masyarakat Politik (Political Society)..……….57 5.3.2. Masyarakat Ekonomi (Economic Society)……….66

5.3.3. Mayarakat Sipil (Civil Society)………..70

5.3.4. Negara (The State)……….77

5.3.5. Interaksi Keempat Aktor Dalam Pilkada Kota Bandar Lampung……….85

BAB VI. PENUTUP……….89

6.1.Kesimpulan………..89 6.2.Saran………90


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Paska reformasi, terjadi pergeseran-pergeseran dalam memaknai dan mengimplementasikan demokrasi pada tingkat lokal di Indonesia. Perubahan dan transisi terjadi di seluruh penjuru negeri, tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika demokrasi di tingkat lokal sangat dipengaruhi oleh efektifitas kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat. Keterbukaan politik yang dirasakan belakangan ini, pertumbuhan civil society, kebebasan media dan tuntutan akuntabilitas pemerintah telah memberikan faedah nyata dalam perkembangan demokrasi lokal di Indonesia.

Tantangan bagi penguatan demokrasi atau konsolidasi demokratisasi adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat lokal dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi. Di titik inilah desentralisasi melalui perwujudan otonomi daerah memiliki peran penting dalam konsolidasi demokrasi. Peran desentralisasi dalam konsolidasi demokrasi tersebut berasal dari adanya proses demokrasi yang memotivasi otoritas lokal dalam menjawab aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal.

Selain itu, salah satu pemikiran diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi adalah institusi demokrasi lokal akan lebih memahami dan merespon aspirasi lokal karena jika dilihat dari aspek jarak, institusi dan masyarakat lokal yang dekat, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi, pelayanan dan diharapkan aspiratif terhadap situasi dan kondisi lokal.


(10)

2 Otonomi daerah melalui Desentralisasi bukan hanya persoalan pengaturan hubungan antar berbagai tingkatan pemerintahan namun juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan rakyatnya. Kebijakan desentralisasi bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah semata namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat lokal sebagai subjek dan individu-individu yang memiliki hak utama dalam penyelenggaraan kehidupan lokal dan sistim politik lokal.

Secara prosedural, demokrasi di daerah ditandai oleh pemilihan umum lembaga perwakilan dan pemilihan umum kepala pemeritahan dalam periode lima tahunan. Pada tingkat lokal, Agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan terangkai dalam lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui proses pemilu legislatif daerah, dalam hal ini demokrasi perwakilan di perkuat dengan pemilu kepala daerah yang demokratis pula.

Wujud dari pemilu legislatif daerah adalah memilih partai politik dan calon anggota DPRD sesuai dengan perundang-undangan. Selanjutnya, partai politik tertentu melalui fraksi-fraksinya di DPRD dapat mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk berlaga dalam pilkada langsung. Sistim demokrasi lokal di Indonesia adalah jelas mengamanatkan partai politik sebagai pilihan politik.

Namun demikian, dalam praktiknya partai politik dalam sistim politik demokrasi perwakilan yang berlaku baik pusat ataupun dalam skala lokal (daerah-daerah) di Indonesia belum dapat melaksanakan fungsi infra-suprastruktur dengan semestinya. Partai politik hanya menjadi ajang bergaining action legitimasi oligarki elite menjelang pemilu ataupun pemilihan kepala daerah langsung. Untuk


(11)

3 itu, pendewasaan demokrasi tidak dapat lagi bertumpu semata pada institusi demokrasi perwakilan, tapi harus dibuka ruang-ruang alternatif untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan.

1.2. Aktor Utama Dalam Demokratisasi Lokal

Perluasan partisipasi publik mensyaratkan adanya ruang publik yang sehat dan bebas dari intervensi kekuasaan dan pemilik modal. Tidak hanya pada saat pemilihan umum, demokratisasi lokal merupakan wujud partisipasi masyarakat lokal dalam proses pemerintahan dan pembangunan di daerah. Oleh karena itu, demokratisasi lokal menghadirkan adanya peran aktor dan atau elite politik lokal yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi proses pemerintahan dan pembangunan di daerah, tak terkecuali dalam pemilihan anggota DPRD ataupun Kepala Daerah.

Para aktor berperan dalam mengisi dan membangun ruang-ruang publik sebagai bentuk rekonsiliasi demokrasi dan dilakoni oleh sabjek-subjek politik yang saling bersinergi mengawal ketat berjalannya transisi politik lokal di Indonesia. Dalam ranah politik, peran aktor ini ditandai oleh kehadiran empat aktor utama yaitu, political society yang di dalamnya terdapat anggota partai politik, civil society merupakan kelompok/lembaga masyarakat yang memiliki kharakter keswadayaan dan bebas dari pengaruh kekuasaan, the state adalah public agency yang diwakili oleh pejabat pemeritahan dan struktur birokrasi, dan economic society sebagai pelaku pasar dan pemilik modal.

Berangkat dari pemikiran tersebut, Laurence Whitehead (1989) dalam bukunya Siti Zuhro, merumuskan konsolidasi demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural atau lembaga-lembaga politik,


(12)

4 tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi terkonsolidasi bila aktor-aktor (political society, economic society, the state dan civil society) menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan tanpa ada yang memiliki hak veto atas pemilihan dan keputusan yang telah berlangsung secara demokratis. (RS. Zuhro,2009:19)

Pada prakteknya, orientasi para aktor pelaku politik sekarang ini cenderung mengalami pergeseran, dari yang semula didasari orientasi idiologis menjadi sekedar orietasi pragmatis yakni untuk meraih kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal inilah yang sekarang menjadi trend dalam perilaku aktor maupun elite politik lokal, dimana masing-masing aktor utama saling bersinergi untuk meraih kekuasaan dan memobilisasi sumber-sumber daya demi ke-berlangsungan dan kelanggengan tongkat estafet kekuasaan.

Preferensi di atas memunculkan adanya keinginan kuat para aktor utama untuk menduduki beberapa jabatan strategis, yaitu sebagai aktor utama juga sebagai elite politik. Seorang kepala daerah (the state), mantan kepala daerah, mantan elite birokrat daerah juga menjabat sebagai ketua partai politik (political society), sekaligus sebagai ketua organisasi kemasyarakatan (civil society), atau menjadi ketua organisasi pengusaha tertentu (economic society) begitu juga sebaliknya.

Otonomi daerah dan demokrasi lokal telah memberi kesempatan terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, termasuk para broker politik, elite politik, elite birokrat, bahkan para pemilik modal. Latar belakang mereka sangat bermacam-macam: bisa kyai, akademisi, mahasiswa, LSM, pengusaha, mantan birokrat, tokoh adat, tokoh masyarakat, preman, dan lainnya.


(13)

5 Demokratisasi lokal di Indonesia kemudian diperkuat dengan adanya pemilihan umum kepala daerah secara langsung atau yang lebih dikenal dengan Pilkada sejak tahun 2005. Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang penting karena dengan Pilkada, kepala daerah yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung.

Kepala daerah terpilih inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam pembangunan di daerah termasuk di dalamnya penguatan demokrasi lokal, penyediaan pendidikan dasar, layanan kesehatan, perbaikan kesejahteraan rakyat, penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good government) dan lain sebagainya. Bagi calon petahana/incumbent yang maju untuk kedua kalinya, Pilkada menjadi sarana masyarakat lokal untuk mengevaluasi kinerja calon selama yang bersangkutan menjabat sebagai kepala daerah.

Pilkada langsung sebagaimana diketahui bersama merupakan bentukan dari proses desentralisasi di Indonesia berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak 2001, Indonesia memulai kembali proses desentralisasi yang terhenti sejak digagas pertama kali tahun 1933 oleh Hatta dalam tulisannya “Autonomi dan Sentralisasi dalam Partai” dan selama sepuluh tahun ini, kebijakan desentralisasi memberikan banyak warna terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia.

Dalam perjalanan masa transisi, politik lokal tanpa melalui desentralisasi penguatan otonomi daerah, pendidikan politik dan partisipasi masyarakat bisa membawa dampak negatif bagi perkembangan demokrasi. Kegagalan demokrasi dimana demokrasi bisa memihak pada penguasa, uang dan kroni-kroninya dapat


(14)

6 dengan mudah mempengaruhi suara mayoritas, situasi transaksional dan irasional akan terus menyelimuti.

Pada praktiknya, sistim pemilihan kepala daerah langsung tidak secara otomatis membawa perubahan lebih baik dalam tatakelola pemerintahan daerah. Peluang money politic, manipulasi suara, politisasi adat dan ikatan promordial, mobilisasi masa tradisional atau irasional secara masif tetap berlangsung. Para aktor/elite yang dekat dengan kekuasaan memainkan peran penting dalam pilkada, minimal dalam menentukan calon yang akan berlaga dalam pilkada yang kemudian terefleksi dari prosedural demokrasi.

Walaupun terjadi perubahan format kelembagaan dan prosedur demokrasi, aktor-aktor tersebut akhirnya mampu dan berhasil menempatkan kroni dan keluarga mereka dalam posisi-posisi strategis guna memastikan bahwa alokasi sumberdaya berada di bawah arahan, kepentingan, dan genggaman orang-orang kuat lokal (local strongman), bahkan aktor lokal memiliki peran strategis dalam menempatkan, memuluskan dan memenangkan kandidat mereka dalam pemilihan kepada daerah.

Pelaksanaan Pilkada selama ini diramaikan dengan tampilnya kembali

petahana atau sering disebut incumbent kepala daerah (pejabat yang tengah

memerintah). Dari wilayah yang telah melang- sungkan Pilkada hingga Desember

2006, sebanyak 230 orang kepala daerah incumbent (78.77%) maju kembali

mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Hanya 62 orang (21.23%) yang

tidak maju sebagai calon. Dari 230 kepala sebanyak 143 orang (62.17%) menang

dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Sisa- nya, sebanyak 87 orang (37.83%)


(15)

7

Kepala daerah di Kutai Kertanegara, Bantul, Cilegon adalah contoh dari

kepala daerah yang bisa mempertahankan kursi kepala daerah. Sementara contoh dari

kepala daerah yang gagal terpilih kembali adalah kepala daerah di Bengkulu Utara,

Kutai Timur, Pacitan, dan sebagainya.

Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan

dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah yang tengah mejabat, baik

keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung, selain aspek

popularitas, penguasaan akan sumber-sumber daya lokal yang tidak dapat

dipisahkan dalam jabatannya merupakan modal utama, di dalamya juga terdapat

sumber daya manusia baik yang berada dalam sistem politik lokal, maupun di

dalam struktur birokrasi. Sumber daya manusia ini terbagi dalam dua kelompok,

kelompok pertama adalah elite atau aktor lokal, dan kelompok kedua adalah massa

pemilih yang sudah diprospek sebelumnya.

Yang kedua adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan

adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Popularitas adalah modal utama

bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung seperti Pilkada. Pemilih

pertama-tama akan memilih kandidat yang dikenal—paling tidak pernah didengar. Sebagus apapun kualitas dari kandidat tidak akan banyak membantu jikalau

kandidat tidak dikenal oleh pemilih. Aspek popularitas ini dengan mudah bisa

didapat oleh kepala daerah petahana/incumbent.

Geliat Pilkada akhir-akhir ini semakin dinamis menandai dimulainya pertarungan para calon kepala daerah di beberapa kabupaten/kota di Propinsi Lampung. Hal ini terlihat dari dinamika masyarakat Lampung menyambut Pilkada yang telah diselenggarakan pada tahun 2010 lalu. Pembicaraan mengenai pilkada


(16)

8 sudah menjadi bagian dari dinamika masyarakat Lampung, bahkan sudah menjadi bahan pembicaran atau debat umum berbagai kalangan masyarakat mulai dari gedung mewah, kampus, bahkan sampai ke warung pojok atau pinggir jalan.

Pilkada sepanjang 2010 lalu memberikan arti sendiri dalam realitas politik dan demokratisasi lokal di Provinsi Lampung. Ralitas politik yang terjadi di Provinsi Lampung relatif dinamis. Percaturan politik pada level grassroad diwarnai tarik menarik dukungan parpol dan peran penting aktor atau elite politik lokal dalam mengusung calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada.

Pilkada Kabupaten/kota di Provinsi Lampung telah dilaksanakan pada enam kabupaten/Kota secara serentak pada tanggal 30 Juni 2010 lalu, antara lain Kabupaten Pesawan, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Way Kanan, Kota Metro dan Kota Bandar Lampung.

Sebagian pasangan petahana atau incumbent gagal terpilih kembali dalam enam pilkada se-Provinsi Lampung lalu. Berdasarkan hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Bandar Lampung dan hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga survei disebutkan bahwa petahana yang gagal terpilih lagi antara lain di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Incumbent atau petahana adalah sebutan untuk pejabat yang masih memangku suatu jabatan (politik, publik, atau administratif). Kegagalan pertahana ini tidak terlepas dari peran aktor/elite lokal yang menjadi motor penggerak dalam memenangkan calonnya pada saat pilkada berlangsung.

Di Kota Bandar Lampug sendiri tidak terlepas dari kehadiran aktor lokal yang sangat berperan dalam proses pemilukada. Kekalahan yang dialami oleh Incumbent walikota dan Incumbent Wakil Walikota Bandar Lampung, serta


(17)

9 hadirnya tiga pasang kandidat melalui jalur Independent memberikan warna sendiri dalam dinamika politik lokal di Kota Bandar Lampung.

Partai Demokrat sebagai partai terbesar Pemilu legislatif 2009 tidak serta merta dapat mendudukkan ”jagonya“ dalam posisi kepala daerah, begitu juga dengan Partai Golkar sebagai runner up banyak gagalnya dalam memperjuangkan calon kepala daerahnya. Lain hal datang dari PDIP dimana pasangan calon yang diusung banyak menduduki posisi bupati dan walikota di Provisi Lampung.

Persaingan putra tokoh elite politik dan pejabat birokrat Kabupaten/Kota Provinsi Lampung kental mewarnai pergulatan demokratisasi lokal pada pemilukada 2010 lalu. Rycko Menoza SZP. misalnya, bertarung melawan incumbent Bupati Lampung Selatan Wendi Melfa untuk menjadi orang nomor satu di Kabupaten Lampung Selatan. Rycko Menoza SZP Bupati Lampung Selatan terpilih periode 2010-2015 adalah anak sulung Gubernur Lampung Sjachroedin ZP yang juga merupakan ketua DPD PDIP Lampung. Kemenangan ini juga tidak terlepas dari peran aktor politik Partai Demokrat, dimana Ketua DPD Partai Demokrat Zulkifli Anwar mantan Bupati Lampung Selatan yang juga mendukung Rycko sebagai calon bupati waktu itu.

Fenomena unik justru terjadi di Kota Bandar Lampung. Incumbent Walikota Bandar Lampung Edi Sutriso berdampingan dengan Hantoni Hasan yang diusung partai Demokrat, PKS PAN dan 5 partai koalisi lain gagal meneruskan kekuasaan politik untuk kedua kalinya. Hal sama juga terjadi pada incumbent Wakil Walikota Bandar Lampung, Kherlani berdampingan dengan Heru Sambodo yang diusung partai Golkar, PKB, PPP, Hanura, Gerindra. Heru Sembodo yang sebelumnya anggota DPRD Kota Bandar Lampung adalah Ketua


(18)

10 DPD Partai Golkar Bandar Lampung juga adalah anak Ketua DPD Golkar Lampung, Alzier Dianis Tabrani.

Yang justru mengejutkan adalah terpilihnya pasangan oleh Herman HN dan Thobronie Harun sebagai Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung terpilih periode 2010-2015 yang diusung oleh Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) dan koalisi 20 partai gurem lainnya. Di luar dugaan Herman-Thabroni meraup 34,85 % suara, diikuti oleh pasangan Kherlani-Heru 29,71% suara beda tipis dengan pasangan Incumbent walikota Edy-Hantoni yang hanya meraih posisi ketiga sebesar 27,77% suara. Hal ini berarti pasangan Herman-Thobronie menang pada satu putaran.

Herman HN sendiri berlatar belakang seorang birokrat, yakni mantan kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung yang sebelumnya menjabat Kepada Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Lampung merupakan pejabat karir di lingkungan Pemprov Lampung, Herman HN sebelumnya tidaklah populer dibanding calon kuat lainnya terutama dari para Incumbent. Selain itu, Herman HN juga menjabat sebagai Ketua organisasi kemasyarakatan Paku Banten Kota Bandar Lampung yang merupakan organisasi paguyuban cukup populer di Provinsi Lampung.

Peta politik dalam pemilukada di Bandar Lampung pada saat itu mengerucut kepada kemenangan incumbent, hal ini diperkuat oleh para pengamat politik dan survey-survey yang dilakukan sebelumnya yang meramalkan akan terjadi dua putaran pemilihan antara pasangan calon Edi Sutrisno-Hantoni Hasan melawan pasangan Kherlani-Heru Sambodo, namun pasangan Herman HN.-Thabroni dianggap “kuda hitam” justru berlari cepat mendahului lawan-lawannya


(19)

11 memenangkan pemilihan hanya dalam satu putaran dan terpilih sebagai Walikota dan Wakil Walikota Kota Bandar Lampung periode 2010-2015.

Persoalan dinamika politik lokal dalam pilkada dapat dilihat dari perilaku elit lokal. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran aktor masing-masing calon yang berlaga. Berbekal pasokan “amunisi”, popularitas, serta jaringan massa yang dapat diarahkan, menjadikan peran aktor lokal menjadi penting. Namun demikian, peran aktor juga dapat menyebabkan kekalahan bagi kandidat. Perilaku elite/aktor lokal, strategi yang tidak tepat sasaran, egoisme elite, keutungan pribadi serta kelemahan dalam berkomunikasi politik justru dapat menjadi bumerang bagi para kandidat.

Peran aktor lokal tentu dapat memberikan pengaruh signifikan dalam pemenangan kadidat pada pemilukada. Peran aktor dalam memberi dukungan tentu dalam bentuk dan proporsi yang berbeda tergatung tingkat kedekatan, kepercayaan, keahlian dan kapasitas aktor yang kemudian dijabarkan dalam tugas dan fungsi masing-masing aktor yang bertujuan untuk memenangkan pasangan kandidat tertentu yang akan berlaga dalam pilkada.

1.3. Perumusan Masalah

Melihat dari proses sebelum dan setelah berjalannya proses pemilukada di Kota Bandar Lampung, masalah utama yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah peran aktor lokal pada pemilukada Kota Bandar Lampung Periode 2010-2015?

1.4. Tujuan Penelitian


(20)

12 1. Untuk mengetahui siapakah aktor-aktor lokal yang berperan dalam mempengaruhi opini publik serta peran atau upaya-upaya yang dilakukan pada saat Pemilu Kepala Daerah Langsung di Kota Bandar Lampung periode 2010-2015.

2. Untuk mengetahui siapakah aktor-aktor yang mempengaruhi kebijakan pencalonan kepala daerah serta apa yang dilakukan oleh para aktor-aktor dalam Pemilu kepala daerah Kota Bandar Lampung periode 2010-2015.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap masalah yang diteliti sehubungan dengan peran aktor dalam Pemilukada di Kota Bandar Lampung.

2. Memperkaya khazanah dan wawasan (Akademis) bagi pengembangan Ilmu pengetahuan Politik Lokal dan Otonomi Daerah sehubungan dengan peran aktor lokal dalam pelaksanaan pemilukada daerah-daerah di Indonesia.

3. Memberikan rekomendasi/referensi sebagai pemikiran atau wacana yang dapat digunakan dalam peningkatan kualitas pemilukada dan desentralisasi di Indonesia.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Studi Aktor Dalam Perspektif Demokrasi Lokal

Kajian tentang peran aktor dalam proses demokrasi lokal menjadi penting untuk dilakukan mengingat dua hal : Pertama, dalam kaitannya dengan budaya politik lokal, aktor adalah agency budaya, disatu sisi aktor merupakan penerus nilai-nilai budaya politik yang tumbuh dan berkembang di ranah lokal. Namun, disisi lain aktor juga merupakan produsen (kreator) budaya, dimana perilaku politik aktor mempengaruhi perubahan dan kesinambungan nilai-ilai budaya politik lokal. Dengan kata lain, peran aktor merupakan salah satu kunci penting keberhasilan demokrasi karena tingkah laku aktor dan kebijakan yang dihasilkan mempunyai arti penting dan juga berpengaruh terhadap konsolidasi demokrasi.

Kedua, dalam kaitannya dengan demokrasi, proses transisi politik yang berlangsung di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah memberikan wadah, sekaligus menempatkan para aktor baik diaras nasional maupun lokal. (RS. Zuhro, 2009,2)

Dua mainstreem pendekatan yang mengemuka dalam studi transisi adalah pendekatan yang lebih mengedepankan peran elite dan pendekatan yang lebih mengedepankan perhatian pada dimensi struktural. Pada awalnya studi-studi transisi lebih menekankan pada faktor struktural, namun selanjutnya pusat perhatian bergeser ke faktor elite. Oleh karena itu, dalam perkembangan berikutnya, sejumlah studi mengenai transisi umumnya memusatkan perhatian pada peran aktor untuk memetakan dan menjelaskan proses demokrasi. Studi peran aktor dianggap penting karena


(22)

14 melalui studi ini dapat dilihat pertarungan antar aktor dalam menentukan apakah transisi akan berasal dari atas, bawah, atau tengah (RS. Zuhro; 2009,17).

2.2. Interaksi Aktor Dalam Arena Politik

Selanjutnya, preferensi yang menghubungkan politik lokal tentu tidak terlepas dari elit lokal dalam mensikapi, menentukan dan mempengaruhi rekruitmen dan perjalanan politik di tingkat lokal. Varma SP. dalam “Teori Politik Modern” (2003,197) mengatakan bahwa, teori elit menegaskan bahwa ialah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 (dua) kategori yang luas mencakup :

1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan

2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.

Dengan konsep teori elit yang lahir di Eropa ini mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the rulling class) selain ada elit yang berkuasa (the rulling elite) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuan untuk memerintah.

Soelaeman Soemardi dalam bukunya Miriam Budiarjo (1991,34), Laswell menggunakan konsep elit, yaitu :

Kedudukan didominasi dalam masyarakat, dalam arti bahwa nilai-nilai (values) yang mereka bentuk (ciptakan-hasilkan) mendapat penilaian tinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai tersebut mungkin tanpa kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain. Mereka yang memilikinya yang paling banyak elite orang banyak selebihnya merupakan massa. Elite


(23)

15 berhasil memiliki sebagian terbanyak dari nilai-nilai, karena kecakapan-kecakapan serta sifat-sifat kepribadian mereka.

Linz dan Stephan (1996) menyebutkan bahwa arena politik ditandai oleh hadirnya empat aktor utama : pertama, the state yang dalam berbagai literatur ditempatkan sebagai public agency. Kedua, political society, yang di dalamnya terdapat partai politik. Ketiga, economic society, yang selalu bergerak dalam logika-logita kapital dan pasar. Keempat, civil society, yang memiliki karakteristik keswadayaan (voluntarisme) dan mandiri dari pengaruh negara”.(RS.Zuhro,2009:22)

Dengan meminjam kerangka Tornquist. Linz, Stephan, dan Diamond, studi ini memusatkan perhatian pada interaksi antar aktor dalam dua arena utama : pertama, interaksi di arenanya masing-masing (micro politic). Kedua, interaksi antar aktor dalam arena yang lebih luas (macro politic), salah satu arena penting yang bisa digunakan untuk melihat lebih jauh keterlibatan aktor-aktor dalam arena yang lebih luas adalah kompetisi publik dan pembuatan kebijakan publik.

Interaksi antar aktor juga berlangsung dalam arena kompetisi politik dimana aktor-aktor dalam masyarakat berkontestasi dalam merebut jabatan terpilih (elected official). Dalam kompetisi itu, aktor-aktor politik (politisi dan partai politik) bertemu, bersentuhan dan membangun jejaring dengan aktor lain, seperti masyarakat sipil dan ekonomi. Sebagai akibatnya, arena pilkada menjadi arena interaksi antar aktor ditingkat lokal.

Seperti yang terlihat dari hasil penelitian Siti Zuhro (2009). Adapun birokrasi (the state), dengan kekuasaannya sampai ketingkat desa (kelurahan) birokrasi relatif digunakan sacara efektif untuk menggalang


(24)

16 dukungan melalui program-program pembangunan yang populis dikenalkan incumbent. Jaringan birokrasi menjadi alat efektif bagi incumbent untuk menggalang kekuatan. Tak jarang pula aktifitasnya dilakukan dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya sehingga incumbent menjadi relatif populer ditengah-tengah masyarakat.

Sementara kelompok economic society, melalui dana yang dimilikinya, pengusaha atau “investor pilkada” berperan penting dan cenderung menentukan kemenangan calon, khususnya ketika para elite, tokoh-tokoh masyarakat dan semua stakeholder memiliki pragmatisme tinggi dan cenderung hanya berprientasi pada kekuasaan dan uang.

Selanjutnya peran organisasi kemasyarakatan (ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cenderung mencari keuntungan melalui pilkada, seperti menjadi tim sukses. Tidak sedikit ormas yang menjadi partisan dan menujukkan keberpihakannya pada pasangan calon tertentu.

2.3. Peran aktor dan Dominasi Elite Lokal

Lebih tajam mengupas dominasi elite dan oligarki elite, N.Susan (2008,72-73), Charles W. Mills dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di Amerika (The Power, 1956) yang sepakat dengan paparan Max Weber (1864-1920), Mills memiliki pengertian bahwa elite kekuasaan dikomposisikan dari orang-orang yang memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa, laki-laki atau perempuan; mereka ada diposisi pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi besar. Mereka menempati posisi pimpinan strategis dari struktur sosial, seperti pimpinan partai politik atau keagamaan yang memusatkan alat-alat efektif dari


(25)

17 kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran. Posisi penting mereka dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial massa merupakan keahlian yang dimiliki karena tingkat pengetahuan dan kepemilikan mereka tehadap alat-alat kekuasaan, seperti usaha ekonomi, politik dan militer. Dari riset tersebut diperoleh suatu hubungan dominatif atara elite dan rakyat, yaitu:

Struktur sosial dikuasai elite dan rakyat adalah pihak di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominasi itu muncul karena elite-elite berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Mills menemukan bahwa mereka para elite kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk kaya, baik diperoleh melaui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif.

Semangat reformasi dan demokratisasi secara prosedural terwadahi melalui perubahan sistim pemilu dan pilkada, meskipun pada praktiknya, dominasi elite masih kuat menentukan dinamika politik di level nasional dan lokal. Kondisi inilah yang mengindikadikan bahwa demokrasi tengah mengalami stagnasi bahkan memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi gagal mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Mariana dan Paskarina dalam bukunya “Demokrasi dan Politik Desentralisasi” (2007,13) membedah secara lugas tentang kegagalan demokrasi dan desentralisasi yang bergeser menjadi oligarki elite, dimana:

Praktik demokrasi yang dijalankan saat ini baru sebatas prosedural dan formal, masih jauh dari substansial. Indikasinya, institusi demokrasi yang ada hanya dikuasai segelintir elit politik sehingga praktik demokrasi bergeser menjadi oligarki elit-elit strategis. Politik desentralisasi yang dijalankan baru sebatas elit dan parpol, belum sampai ke massa atau rakyat/warga, sehingga otonomi daerah cenderung oligarkis dalam pelaksanaanya.


(26)

18 Sementara dari dominasi perilaku aktor politik, orientasi para pelaku politik sekarang ini cenderung mengalami pergeseran, dari yang semula didasari orientasi idiologis menjadi sekedar orientasi pragmatis yakni untuk memperoleh kekuasaan dan menggunakannya untuk kepentingan kelompoknya.

2.4. Pilkada Langsung Dan Demokratisasi Lokal

Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003,57) dalam “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung” menyatakan :

”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, sehingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”

Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung diyakini sebagai solusi ke arah penguatan demokrasi di tingkat lokal sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah yang berkuasa. Secara teoritis, terdapat relevansi antara partisipasi langsung dengan demokrasi. Namun demikian, asumsi ini tidak dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme pemilihan secara langsung berkorelasi langsung dengan demokratisasi di tingkat lokal.

Fenomena seperti ini terjadi sebagai akibat dari penerapan desentralisasi yang mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan dinamika politik lokal. Demokrasi tanpa desentralisasi


(27)

19 tampaknya cenderung menghasilkan otonomi pemerintah, dan bukan otonomi masyarakat di daerah (T.A. Legowo; 2003,102).

Menurut Joko J. Prihatmoko dalam bukunya “Mendemokratiskan Pemilu” (2007,172) mengatakan bahwa :

Pilkada langsung dipastikan membuka ruang partisipasi politik rakyat untuk mewujudkan kedaulatan dalam menentukan pemimpin di daerah. Tujuan ideal pilkada langsung antara lain terpilihnya kepala daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, kepribadian dan moral yang baik.

Sementara menurut Mariana dan Paskarina (2007,35) mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah langsung akan punya makna dan efektif dalam mengembalikan legitimasi politik jika didukung oleh prakondisi-prakondisi sebagai berikut :

a. Secara prosedural demokratis : mekanismenya demokratis (termasuk penetapan syarat-syarat calon, mekanisme pencalonan, dan penghitungan suara yang transparan dan adil); aturan main dalam bentuk perundang-undangan yang demokratis.

b. Secara substantif demokratis : ada ruang publik yang terbuka dan inklusif bagi partisipasi publik; ada penguatan institusi demokrasi lokal; ada dinamika politik lokal yang konkrit dan murni.

Adapun landasan normatif bagi penerapan pemilihan kepala daerah langsung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat (5) yang menyebutkan bahwa : Kepala daerah dan Wakil kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah bersangkutan.


(28)

20 Demokratisasi membawa perubahan dalam relasi kekuasaan yang mengalihkan fokus kejadian pada masyarakat (society centric). Masyarakat dalam sistem politik merupakan subjek yang bebas atau subjek yang bebas dalam memilih (subject of choise). Politik emansipasi dan subjek radikal yang dikembangkan oleh Slavoj Zizek dalam ”Manusia Politik“ (Robertus Robet ; 2010, 35-36) justru menyatakan :

Kebebasan memutuskan yang dinikmati dalam ”masyarakat resiko“ bukanlah kebabasan seseorang yang bisa dengan bebas memilih jalan hidupnya, namun kebebasan menggundahkan dari seseorang yang diharuskan mengambil keputusan tanpa tahu apa konsekuensi-konsekuensinya...dengan demikian si subjek mendapatkan diri berada pada situasi mirip novel Kafka, bersalah bahkan tanpa tahu apa kesalahannya (kalau memang ada): saya selamanya dihantui oleh kemungkinan bahwa keputusan yang saya ambil akan membahayakan diri saya dan orang-orang yang saya cintai, tapi saya hanya akan tahu kebenarannya-kalaupun sempat tahu-manakala semuanya sudah terlambat“

Dengan demikian kita hidup dalam kebebasan yang nihilistik, kebebasan yang kita tahu akan berujung pada malapetaka. Kebebasan ini tidak lebih dari sisi lain kecemasan dan rasa salah yang nihilistik. Ditingkat lokal, demokratisasi seringkali dikaitkan dengan desentralisasi. Politik lokal tidak sama dengan desentralisasi meskipun keduanya terdapat hubungan erat. Pada intinya, dasar dari politik lokal adalah pemencaran kekuasaan. Prinsip yang sama juga menjadi ciri dari demokrasi. karena itu, berbicara mengenai politik lokal akan selalu berkaitan dengan demokrasi ditingkat lokal. B.C. Smith (1985) dalam ”Demokrasi dan Politik Desentralisasi“ (Mariana dan Paskarina, 2007,51) mengungkapkan keterkaitan demokratisasi dan desentralisasi, bahwa :


(29)

21 ”Demokratisasi sesugguhnya perwujudan dari desentralisasi kekuasaan. Desentralisasi kekuasaan juga mencakup pembentukan institusi-institusi supra maupun infrastruktur politik ditingkat lokal, termasuk rekrutmen untuk mengisi jabatan-jabatan politik di level lokal“.

Inilah yang mendasari lahirnya demokrasi perwakilan (refresentatif). Pemilihan umum dan juga pilkada langsung merupakan arena kompetisi untuk menentukan para pemimpin atau wakil rakyat melalui partai politik yang menjadi wadah artikulasi, agregasi, dan partisipasi rakyat. (Mariana &Paskarina, 2007,55).

Negara yang menyediakan ruang publik yang cukup luas dan masyarakat yang memanfaatkan ruang tersebut untuk berinteraksi dengan negara inilah yang akhirnya membentuk sebuah masyarakat sipil (civil society). Jadi, demokrasi memungkinkan terbentuknya masyarakat sipil, dan masyarakat sipil akan dapat berkembang apabila prinsip-prinsip dasar demokrasi diterapkan dalam negara.

Pada pelaksanaannya, demokrasi dapat dicermati melalui 2 (dua) sudut pandang berdasarkan waktu dan situasi terjadinya. Oleh karena itu demokrasi menurut D.G. Adian (2010,83) dapat dilihat sebagai 2 (dua) momen :

”Momen pertama adalah momen politik ketika kekuasaan rakyat membentuk politik dengan mendifinisikan isi dan tipe politik yang diinginkan. Disini rakyat berlaku sebagai kekuasaan yang menciptakan substansi atau rumpun nilai sebuah kesatuan politik. Momen kedua adalah legal yuridis yakni kekuasaan yang ”menciptakan“ menjadi ”yang diciptakan“ (constituent becomes constituted)...“Rakyatpun menjadi lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Ketika kekuasaan rakyat telah bermetamorfosa menjadi kekuasaan legal formal dirinyapun kasat mata. Kita menyaksikan dinamika politik di dalam atau antar lembaga negara, namun kita tidak melihat rakyat di dalamnya...rakyat hanya muncul lima tahun


(30)

22 sekali di bilik suara untuk memilih representasi politik dan kembali lagi ke kehidupan non-politis sesudahnya“.

Praktek demokrasi di Indonesia justru mewarnai bangkitnya politik identitas, bahkan seiring menguatnya otonomi daerah, etnosentrisme juga mewarnai relasi kekuatan di daerah. Antara demokrasi dan desentralisasi seolah ada missing link dengan reformasi tata kelola pemerintahan daerah. Keterputusan akibat desentralisasi yang terhenti di level elit (Dede dan Carolin; 2007,55).


(31)

23 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang dicapai, maka dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif (descriptive research) dengan desain penelitian Deskriptif Kualitatif, yaitu dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. (Masri Singarimbun, 1989). Penelitian ini dimaksudkan adalah mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa (Masri Singarimbun, 1989). Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah studi kasus (case study), yaitu suatu pendekatan penelitian yang penelaahannya diarahkan pada satu kasus secara intensif, mendetail dan mendalam.

Menurut M. Burhan Bungin (2008) bahwa :

“desain deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dimasyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagaisuatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu”.

Berdasarkan pendapat di atas, penelitian ini diajukan untuk mempelajari kasus atau fenomena pemilihan kepala daerah yang terjadi di Kota Bandar Lampung dengan objek penelitian pada aktor-aktor yang dianggap berperan dalam mempegaruhi proses dalam pemenangan kepala daerah di Kota Bandar Lampung.


(32)

24 3.2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dengan menganalisa peran masing-masing aktor lokal yang terbagi menjadi empat aktor utama dalam upaya memenangkan pemilukada tersebut. Pertama, Aktor Political society, adalah aktor/elit politik lokal yang terdapat dalam unsur ketua/pimpinan partai-partai politik besar yang memenuhi syarat untuk mengusung calon kepala daerah. Kedua, Aktor Economic Society, adalah aktor lokal yang konsen terhadap pembangunan daerah dan pembangunan perekonomian daerah. Ketiga, aktor civil society, adalah organisasi/asosiasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, LSM, media massa lokal, maupun akademisi. Keempat, The Local State, adalah kepala daerah termasuk unsur-unsur pemerintahan daerah atau elite birokrasi, maupun pegawai pemda.

Aktor-aktor utama berperan sebagai agen budaya dalam mempengaruhi perubahan dan kesinambungan nilai-nilai budaya politik lokal dalam proses demokratisasi. Selain itu para aktor juga terlibat dan berperan dalam arena yang lebih luas yaitu kompetisi publik dan pembuatan kebijakan publik, oleh karenanya hubungan dominatif mucul karena aktor-aktor tersebut sangat berperan dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial masa demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik.

Dalam percaturan politik lokal, peran aktor atau elite politik lokal sangat berpengaruh tidak hanya kepada perkembangan demokratisasi lokal, juga dapat mempengaruhi kebijakan bahkan pencalonan kepala


(33)

25 daerah sampai menentukan kalah menangnya calon kepala daerah yang berlaga dalam pemilihan umum kepala daerah.

3.3.Sumber Data

Dalam penelitian ini pihak yang dijadikan sumber data adalah tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai informasi kunci (key-person). Lebih jelasnya key person penelitian ini terbagi dalam 4 (empat) kelompok aktor menurut peran dan fungsinya masing-masing di wilayah Kota Bandar Lampung yang telah diwawancarai oleh peneliti sebagai berikut :

Tabel 3.1.

Informan/Narasumber Menurut Kelompok Aktor

Kel. Aktor Informan/Narasumber

I Political Society Pimpinan/Ketua Partai Politik DPRD : - Ketua DPRD Kota Bandar Lampung - Wakil Ketua DPRD Kota Bandar Lampung - Ketua DPC Partai Demokrat, PDIP, Golkar,

PKS

II Economic Society Ketua atau anggota asosiasi pengusaha konstruksi Ketua atau anggota pengusaha hasil bumi

Ketua atau anggota asosiasi Real Estate III Civil Society/

Asosiasi

Ketua/Angota Organisasi Asosiasional berbasis sektor/profesi

Ketua /anggota Organisasi Kepemudaan Ketua/anggota Jaringan/Forum LSM Redaksi Media Massa Lokal

IV The Local State Pejabat Dilingkungan Pemkot Bandar Lampung PNS/Birokrat/Pegawai Pemkot Bandar Lampung


(34)

26 1. Data Umum (Sekunder)

Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumbernya, melalui dokumen-dokumen atau catatan tertulis. Data yang tertulis yang bersumber pada dokumen, baik dokumen resmi ataupun dokumen pribadi yang sangat berguna dalam penelitian ini.

2. Data Khusus (Primer)

Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari sumbernya, melalui observasi dan wawancara dengan sumber informasi terpilih. Hasil observasi didukung dengan sumber data lain (data sekunder).

3.4. Metode Pengumpulkan Data

Menurut Lofland sumber data utama atau primer dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, dan lain-lain (Moleong, 2001). Data primer yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan analisis para aktor dan peran aktor lokal, demokratisasi lokal, plkada dan hasil pilkada sehubungan dengan kekalahan incumbent dan kemenagan nonincumbent yang terjadi pada pemilihan kepala daerah Kota Bandar Lampung periode 2010-2015. Data ini diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan hasil pengamatan peneliti.

Data sekunder yaitu data yang diperoleh untuk menelusuri data historis berupa gambaran tentang lokasi penelitian, yang meliputi : keadaan geografis, demografi, ekonomi dan sosial budaya, serta kondisi politik lokal dan Pemerintahan Daerah setempat.


(35)

27 Untuk memperoleh data yang represif, maka penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Wawancara Mendalam

Teknik wawancara dipergunakan untuk memperoleh data, keterangan ataupun penjelasan dari orang yang berkompeten dengan masalah yang diteliti, yaitu wawancara terhadap keempat kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Teknik ini merupakan komunikasi langsung antara peneliti dengan subyek penelitian untuk memperoleh data yang lebih banyak. Dengan teknik wawancara, peneliti akan memperoleh informasi yang memang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada responden.

Teknik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi atau menggali data yang tidak didapatkan dari data tertulis sehingga dapat melengkapi data yang dibutuhkan. Dengan cara bertatap muka dengan responden secara langsung untuk mengadakan tanya jawab mengenai masalah-masalah yang diteliti.

2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah data yang relevan dengan masalah yang diteliti melalui dokumen-dokumen tertulis. Dokumentasi telah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan. Oleh karena itu penggunaan dokumen merupakan hal yang tidak terabaikan lagi. (Moleong, 2001 : 16). Dokumentasi dalam penelitian ini lebih diutamakan untuk memperoleh data skunder untuk mendukung data primer.


(36)

28 3. Pengamatan (Obsevasi).

Teknik pengamatan merupakan teknik pengumpulan data dimana penyidik mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki. Ada beberapa alasan untuk melakukan teknik pengamatan. Pertama, didasarkan atas pengalaman secara langsung; Kedua, kemungkinan melihat dan mengamati sendiri sehingga dapat mencatat prilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi; Ketiga, peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat, mencegah terjadinya “bias” pada data lapangan; Kelima, memungkinkan peneliti mampu memahami situasi yang rumit; Keenam, dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lain tidak memungkinkan sehingga peneliti hanya bisa mengamati.

Singkatnya teknik observasi memungkinkan peneliti mengamati dari dekat gejala penyelidikan. Peneliti hanya mencatat apa yang sesungguhnya tampak sebagai gejala dan menghindari pendapat pribadi terhadap peristiwa atau gejala tersebut. Jenis observasi langsung yang dipakai adalah observasi non systematic, yaitu dilakukan dengan tidak menggunkan instrumen pengamatan (seperti Kamera, Video Rekam).

Melalui teknik observasi ini peneliti langsung turun ke lokasi penelitian untuk mengidentifikasi sifat dan keadaan daerah penelitain. Tujuannya untuk mengamati faktor-faktor kekalahan incumbent dan kemenangan nonincumbent, serta peran aktor dalam pemilukada di Kota Bandar Lampung.


(37)

29 3.5.Teknik Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada agar sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif ini digunakan dengan pertimbangan:

Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden dan Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola dan nilai-nilai yang dihadapi. (Moleong, 2001: 5).

Analisa dilakukan dengan melihat kondisi yang sebenarnya terhadap Peran aktor lokal pada pemilukada Kota Bandar Lampung periode 2010-2015. Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa tidak ada satu cara tertentu yang dapat dijadikan pegangan bagi penyusun dan menganalisa data yang terkumpul. Hal ini disebabkan karena data kualitatif terdiri dari kata-kata bukan angka-angka.


(38)

30 Panduan Wawancara

Judul Penelitian : Analisis Peran Aktor Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung Periode 2010-2015

I. Para aktor terlibat dan berperan dalam kompetisi publik, oleh karenanya aktor-aktor tersebut sangat berperan dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial masa demi kepentingan mobilitas mereka secara ekonomi dan politik. a. Siapakah aktor-aktor yang terlibatan dan berperan dalam

mempengaruhi opini publik dan tindakan sosial massa pada pemilihan kepala daerah Kota Bandar Lampung periode 2010-2015?

b. Apa yang dilakukan para aktor dalam mempengaruhi opini publik dan tindakan sosial massa pada pemilihan kepala daerah Kota Bandar Lampung periode 2010-2015?

II. Peran aktor atau elite politik lokal sangat berpengaruh terhadap kebijakan pencalonan kepala daerah sampai menentukan kalah menangnya calon kepala daerah yang berlaga dalam pemilihan umum kepala daerah.

a. Siapakah aktor-aktor yang mempengaruhi kebijakan pencalonan kepala daerah ?

b. Apakah yang dilakukan para aktor dalam kebijakan pencalonan kepala daerah, serta bagaimana prosesnya dilakukan?


(39)

31 BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kota Bandar Lampung

Kota Bandar Lampung selain sebagai ibukota Provinsi Lampung. Oleh karena itu, selain merupakan pusat keiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan, kota ini juga merupakan urat nadi perekonomian Provinsi Lampung, dan menjadi daerah yang terus terbuka dan semakin meluas. Hal ini tak terlepas dari Provinsi Lampung sebagai hinterland, yang merupakan akses pintu masuk dan keluar pulau jawa dan Sumatera Hingga tahun 1977 – 1978 Provinsi Lampung menjadi tujuan program transmigrasi umum, Lampung menjadi "Indonesia Mini". Letaknya yang strategis, sebagai gerbang Jawa-Sumatera, menjadikan Lampung lintas berbagai aktivitas ekonomi, budaya, dan politik. Keterbukaan geografis Lampung memungkinkan bertumbuh dan masuknya pengaruh budaya luar melalui pintu masuk yang dilewati pelaku ekonomi, budaya, dan politik.

Secara georafis Kota Bandar Lampung terletak 5°20’ sampai dengan 5°30’ Lintang Selatan dan 105°28’ sampai dengan 105°37’ bujur timur. Ibu Kota Provinsi Lampung ini berada di Teluk Lampung yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera.

Meski Lampung berada di Pulau Sumatera, Provinsi Lampung mayoritas orang Jawa. Tak kurang dari 70% penduduknya berasal dari tanah Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat (Banten), penduduk asli sekitar 25%, dan


(40)

32 sisanya berasal dari suku-suku lain terutama dari Sumatera. Secara ideologis-politis, heterogenitas penduduk di Provinsi Lampung memang amat dekat dengan identitas nasionalis yang direpresentasikan lewat partai politik yang beridiologi nasionalis demokratis.

Menurut Situs web resmi : http://www.bandarlampungkota.go.id/ (2008), Kota Bandar Lampung memiliki luas 207,50 km² dengan populasi penduduk sebanyak 912.087 jiwa, dari jumlah tersebut penduduk asli Lampung hanya sekitar 25%; kepadatan penduduk 4.597 jiwa/km² dan tingkat pertumbuhan penduduk 3,79 % per tahun.

Secara geografis, ibukota Provinsi Lampung ini berada di pintu gerbang utama pulau Sumatera, tepatnya kurang lebih 165 km sebelah barat laut DKI Jakarta. Didukung oleh posisi yang strategis, menyebabkan mobilitas penduduk serta lalu lintas di setiap ruas jalan protokol di Bandar Lampung cenderung padat dan semerawut. Bandar Lampung memiliki andil penting dalam jalur transportasi darat dan aktivitas pendistribusian logistik dari Jawa menuju Sumatera maupun sebaliknya, namun pembangunan infrastruktur di Kota Bandar Lampung tidak berbanding lurus dengan tuntutan perkembangan perkotaan.

Sebelum tanggal 18 Maret 1964 Provinsi Lampung merupakan keresidenan, dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Provinsi Lampung dengan ibukotanya Tanjungkarang-Telukbetung. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1983 Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjungkarang-Telukbetung diganti menjadi


(41)

33 Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung terhitung sejak tanggal 17 Juni 1983, dan tahun 1999 berubah menjadi Kota Bandar Lampung.

Sejak tahun 1965 sampai tahun 2010 Kota Bandar Lampung telah dijabat oleh beberapa walikota/KDH Tingkat II, berturut-turut tabel di bawah memperlihatkan nama-nama Walikota Bandar Lampung dalam periode tertentu :

Tabel 4.1.

Daftar Nama Walikota Bandar Lampung Periode 1956 s/d 2010

No. Nama Walikota/KDH Tingkat II Periode

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SUMARSONO

H. ZAINAL ABIDIN PA. ALIMUDIN UMAR

Drs. H.M. THABRANI DAUD Drs. H. FAUZI SALEH

Drs. H. ZULKARNAIN SUBING Drs. H. A. NURDIN MUHAYAT Drs. H. SUHARTO

EDY SUTRISNO, S.Pd, M.Pd. Drs. H. HERMAN HN, MM.

1956-1957 1957-1963 1963-1969 1969-1976 1976-1981 1981-1986 1986-1995 1996-2006 2006-2010 2010 s/d Sekarang Sumber : BPS, Bandar Lampung Dalam Angka 2011

Dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1982 tentang perubahan wilayah, maka Kota Bandar Lampung diperluas


(42)

34 dengan pemekaran dari 4 kecamatan 30 kelurahan menjadi 9 kecamatan 58 kelurahan. Kemudian berdasarkan Sk Gubernur No. G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988 serta surat persetujuan MENDAGRI nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang pemekaran kelurahan di Wilayah Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari 9 kecamatan dan 84 kelurahan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 04, Kota Bandar Lampung menjadi 13 kecamatan dengan 98 kelurahan. (Sumber : BPS, Bandar Lampung Dalam Angka 2011).

Berikut tabel 2.2 di bawah memperlihatkan banyaknya jumlah kelurahan, Lingkungan, dan Rukun Tetangga (RT) menurut kecamatan di Kota Bandar Lampung :

Tabel 4.2.

Banyaknya Kelurahan, Lingkungan, dan RT Menurut Kecamatan di Kota Bandar Lampung, 2010

Kecamatan

J U M L A H

Kelurahan Lingkungan RT

Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang

Tanjung Karang Timur Teluk Betung Utara Tanjung Karang Pusat Tanjung Karang Barat Kemiling 8 11 7 11 10 11 6 7 23 26 18 25 21 26 15 20 173 302 204 271 238 253 157 267


(43)

35 Kedaton Rajabasa Tanjung Seneng Sukarame Sukabumi 8 4 4 5 6 23 8 10 14 16 256 94 100 173 163

J U M L A H 98 245 2651

Sumber : BPS, Bandar Lampung Dalam Angka, 2011

Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung upaya peningkatan potensi-potensi yang ada terus dilakukan dengan upaya peningkatan pembangunan daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang lebih terpadu dan terarah agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Perkembangan pembangunan yang digerakkan pemerintah, swasta dan masyarakat, sebagian dilakukan dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi sebagai terobosan terhadap tatanan yang ada untuk mempercepat tercapainya pertumbuhan dan pemerataan pembangunan serta persiapan menghadapi era globalisasi.

4.2. Pemilukada Kota Bandar Lampung

Pemilukada Kota bandar Lampung telah digelar pada 30 Juni 2012 lalu. Keenam pasangan calon yang bertarung memperebutkan kursi walikota dan wakil walikota itu masing-masing Sauki Shobier-Syamsul Rizal, Herman HN-Thabroni Harun, Kherlani-Heru Sambodo, kemudian, Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan, Dhomiril Hakim-Sugiyanto dan Nurdiono-Dian Kurnia Laratte.


(44)

36 Berdasarkan peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 15 tahun 2008 tentang pedoman teknis tata cara pencalonan pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala diantaranya menyatakan, pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik secara berpasangan sebagai satu kesatuan dan pasangan calon perseorangan (independen) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didukung oleh sejumlah orang yang telah memenuhi persyaratan secara berpasangan sebagai satu kesatuan.

Untuk pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh kursi pada Pemilu Anggota DPRD sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD Kota Bandar Lampung.

Berikut tabel di bawah menunjukkan banyaknya anggota DPRD Kota Bandar Lampung menurut fraksi partai politik atas hasil pemilu legislatif 2009 :


(45)

37 Tabel 4.3

Banyaknya Anggota DPRD Kota Bandar Lampung Menurut Fraksi Tahun 2010

Fraksi Jumlah Anggota

DPRD Fraksi Demokrat

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Fraksi Golongan Karya Fraksi Keadilan Sejahtera Fraksi Partai Amanat Nasional Fraksi Gerindra

Fraksi PPP

Fraksi Hati Nurani Rakyat

10 5 8 5 5 4 4 4

J U M L A H 45

Sumber : BPS, Bandar Lampung Dalam Angka 2011

Untuk pasangan calon independen, jika jumlah penduduk Provinsi lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 jiwa maka, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 4 persen. Dan Jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di Kabupaten/Kota.

Provinsi Lampung masuk dalam kategori tersebut dengan jumlah jiwanya sekitar 7.529.718 orang, sehingga Kota Bandar Lampung yang berpenduduk sekitar 822.253 jiwa, calon independen harus mempunyai dukungan sekitar 32.890 jiwa. Untuk Kota Bandar Lampung yang memiliki 13 Kecamatan, maka dukungan calon independen harus tersebar minimal di 7 Kecamatan


(46)

38 Bukti dukungan untuk calon independen tidak hanya berupa fotocopy KTP, melainkan harus membuat surat pernyataan dukungan yang terdapat dalam formulir model B-1PKWK-KPU yang dibagikan oleh KPUD Kabupaten/Kota dan dilengkapi tandatangan dan cap jempol.

Ketentuan lainnya yaitu, Anggota TNI dan Polri, KPPS, PPS, PPK, KPU, KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Pangawas Pemilu Lapangan dan jajaran kesekretariatan penyelenggara Pemilu dan Pengawas Pemilu tidak dapat memberikan dukungan.

Proses perekrutan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dilaksanakan setelah seluruh perangkat penyelenggara Pilkada (PPS, PPK dan Panwas) 2010 mulai terbentuk. Direncanakan pembentukan perangkat penyelenggara Pilkada 2010 sekitar November 2009 dan paling lambat sekitar Januari 2010.

Berikut tabel 4.1 di bawah menunjukkan nomor urut dan partai pengusung dari masing-masing calon walikota dan wakilwalikota :


(47)

39 Tabel : 4.4

Daftar Nama Calon Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Serta Partai Politik Pengusung

No Nama calon walikota dan wakilwalikota

Partai Pengusung

1 Sauki Shobier-Syamsul Rizal Non Kepartaian (Independen) 2 Herman HN-Thabroni Harun PDIP dan koalisi 20 partai kecil 3 Kherlani-Heru Sambodo Golkar, PKB, dan Hanura

4 Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan Partai Demokrat, PKS, Gerindra, PPP, PAN, dan 5 koalisi partai kecil

5 Dhomiril Hakim-Sugiyanto Non Kepartaian (Independen) 6 Nurdiono-Dian Kurnia Laratte Non Kepartaian (Independen)

Sumber : KPU Kota Bandar Lampung

Pilkada Kota Bandar Lampung yang diiukuti enam pasangan calon tersebut memperebutkan 643.653 suara yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang terbagi dalam 13 Kecamatan dan 98 Kelurahan.

Berdasarkan hasil rapat pleno rekapitulasi perolehan suara pilkada 30 Juni lalu. Meski sempat tertunda satu hari, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menetapkan pasangan Herman HN-Tobroni Harun (atau julukan Mantab) terpilih sebagai wali kota Bandar Lampung periode 2010-2015. Berdasarkan hasil pleno KPUD, pasangan Mantab (diusung PDIP dan 20 koalisi partai kecil) memperoleh suara mutlak 34,67 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 643.653 pemilih. Berikut adalah tabel 4.2 menunjukkan hasil pemilukada Kota Bandar Lampung 30 Juni 2010.


(48)

40 Tabel : 4.5

Daftar Nama Calon Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Serta Hasil Perolehan Suara

No Nama calon walikota dan wakilwalikota

Perolehan suara (%)

1 Sauki Shobier-Syamsul Rizal 2,62 %

2 Herman HN-Thabroni Harun 34,67 %

3 Kherlani-Heru Sambodo 29,71 %

4 Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan 27,77 %

5 Dhomiril Hakim-Sugiyanto 2,62 %

6 Nurdiono-Dian Kurnia Laratte 2,55 % Sumber : KPU Kota Bandar Lampung 2010

Ironisnya, incumbent Walikota Eddy Sutrisno yang berpasangan dengan Hantoni Hasan yang berasal dari kader Partai Keadilan Sosial (PKS), dan icumbent Wakil Walikota Kherlani yang berpasangan dengan Heru Sembodo yang merupakan anggota DPRD Kota Bandar Lampung Fraksi Golkar yang juga anak kadung dari ketua DPD Partai Golkar Lampung mengalami nasib sama. Hanya saja pasangan Khado justru lebih unggul dengan perolehan suara 29,71% dibandingkan dengan pasangan Esha yang hanya memperoleh suara sebesar 27,77%.


(49)

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan dilapangan melalui metode penelitian deskriftip kualitatif yang terungkap dalam temuan dilapangan dan terangkum dalam ringkasan wawancara peneliti dengan para narasunber yang telah dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu : (I). Kelompok Political Society, (2). Kelompok Economic Society, (3). Kelompok Cicil Society, dan (4). Kelompok The State, maka hasil analisis dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

Studi terhadap peran aktor dalam pilkada Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa proses konsolidasi politik lokal di Kota Bandar Lampung telah mengedepankan peran aktor dalam menentukan kalah menangnya calon walikota dan wakil walikota yang berkompetisi.

Peran aktor dapat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan pilkada Kota Bandar Lampung ditandai dengan terpilihnya walikota dan wakil walikota yang berkualitas dan bertanggungjawab. Peran aktor hendaknya dapat ditingkatkan dalam upaya mendorong proses demokrasi di Kota Bandar Lampung, dan tidak menghambat proses pemilihan kepala daerah yang bebas, adil serta dapat menciptakan kepemimpinan politik yang berkualitas dan dapat dipertangggungjawabkan.

Interaksi aktor dalam proses pilkada di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa para aktor saling berhubungan, bersentuhan dengan membentuk jaringan saling berkolaborasi dalam perannya masing-masing dalam rangka


(50)

90 memenangkan calon yang mereka usung. Ditemukan bahwa dominasi aktor dalam interaksi ke-empat kelompok aktor tersebut, bahwa kelompok the state merupakan kelompok aktor yang paling sering berinteraksi dan berkolaborasi dengan sejumlah aktor pada ketiga kelompok lainnya. Hal tersebut menujukkan bahwa kelompok aktor the state adalah kelompok aktor yang perannya mendominasi dalam pilkada Kota Bandar Lampung.

6.2. Saran

Sebagai penutup dari tesis Analisis Peran Aktor Pada Pemilukada Kota Bandar Lampung Periode 2010-2015, dalam hal ini peneliti memberikan saran sebagai berikut :

Proses transisi politik dalam konsolidasi demokratisasi lokal mengharuskan peran aktor lebih dominan dalam memberikan pendidikan politik dalam proses pemilihan kepala daerah kepada masyarakat lokal khususnya di Kota Bandar Lampung, sehingga kualitas demokrasi lokal dapat ditingkatkan yang juga menghasilkan kepala daerah berkualitas sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Peran aktor pada kelompok political society, economic society, civil society dan the state hendaknya lebih mengedepankan demokratisasi substansial dari pada demokratisasi prosedural semata, sehingga demokratisasi lokal yang berlangsung dalam pemilukada dapat berjalan secara efektif.

Peran aktor dalam pemilukada merupakan upaya yang dilakukan para aktor untuk mempengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan masyarakat


(51)

91 dalam pemilihan umum kepala daerah, untuk itu para aktor yang berperan hendaknya tidak melakukan politik transaksional dan kepentingan pragmatisme semata.

Perlunya mensinergikan peran aktor lokal secara demokratis dan terus menerus. Untuk itu diperlukan upaya-upaya institusionalisasi demokrasi, sehingga pola fikir dan perilaku aktor tidak senantiasa terdistorsi karena lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus yang terjadi.

Perlunya independensi Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam proses pemilihan kepala daerah dengan tidak memihak kepada salah satu pasangan calon. Untuk itu diperlukan proses atau metode seleksi anggota KPUD yang lebih ketat, pelaksanaan yang lebih transparan dan pengawasan efektif dari seluruh masyarakat atau aktor lainnya.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Ramses, 2003, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 19 Tahun 2003, Jakarta, MIPI.

Budiarjo Miriam, 1991, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Donny Gahral Adian, 2010, Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Koekoesan, Depok.

Firmanzah, 2010, Persaingan, Legitimasi, Kekuasaan, dan Marketing Politik, Obor, Jakarta.

Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, PAU UGM, Yogyakarta.

Joko J. Prihatmoko, 2007, Mendemokratiskan Pemilu, Pustaka Pelajar, Semarang. Kompas, ,2009, Kamis, 3 Desember 2009, Dinasti Keluarga dalam Politik Lokal,

Gregorius Sahdan Yogyakarta.

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Managemen Keuangan Daerah, Andi Yogyakarta.

Maskun, H. Sumitro, 2004, Otonomi dan Masa Depan Integrasi Bangsa (Regional Autonomy and the Future of Indonesian Unity). Orasi Ilmiyah pada Acara Peluncuran Jurnal OTONOMI, Jakarta.

M. Burhan Bungin, 2008, Penelitian Kualitatif, Jakarta, Kencana.

Muktar Masoed, Mac Andrews, Colin, 1978 , Perbandingan Sistim Politik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Novri Susan, 2009, Sosiologi Konflik, Isu-Isu Konflik Kontemporer, Kencana, Jakarta.

Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

Robert A. Dahl, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit Rajawali Pers, Jakarta.


(53)

93 Taliziduhu Ndraha, 2002, Sekilas Ilmu Pemerintahan (Kybernology) Sebuah

Apologia, Widyapraja Vol. XXVIII No. 1 Tahun 2002, Jakarta, LPM-IIP. T.A. Legowo, Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten Sebagai

Wujud Demokrasi Lokal, Makalah Semiar Nasional Demokrasi Lokal, Jakarta, 2003

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999

Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, 1999

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 2004

Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, 2004


(1)

40 Tabel : 4.5

Daftar Nama Calon Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Serta Hasil Perolehan Suara

No Nama calon walikota dan wakilwalikota

Perolehan suara (%)

1 Sauki Shobier-Syamsul Rizal 2,62 %

2 Herman HN-Thabroni Harun 34,67 %

3 Kherlani-Heru Sambodo 29,71 %

4 Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan 27,77 %

5 Dhomiril Hakim-Sugiyanto 2,62 %

6 Nurdiono-Dian Kurnia Laratte 2,55 % Sumber : KPU Kota Bandar Lampung 2010

Ironisnya, incumbent Walikota Eddy Sutrisno yang berpasangan dengan Hantoni Hasan yang berasal dari kader Partai Keadilan Sosial (PKS), dan icumbent Wakil Walikota Kherlani yang berpasangan dengan Heru Sembodo yang merupakan anggota DPRD Kota Bandar Lampung Fraksi Golkar yang juga anak kadung dari ketua DPD Partai Golkar Lampung mengalami nasib sama. Hanya saja pasangan Khado justru lebih unggul dengan perolehan suara 29,71% dibandingkan dengan pasangan Esha yang hanya memperoleh suara sebesar 27,77%.


(2)

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan dilapangan melalui metode penelitian deskriftip kualitatif yang terungkap dalam temuan dilapangan dan terangkum dalam ringkasan wawancara peneliti dengan para narasunber yang telah dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu : (I). Kelompok Political Society, (2). Kelompok Economic Society, (3). Kelompok Cicil Society, dan (4). Kelompok The State, maka hasil analisis dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

Studi terhadap peran aktor dalam pilkada Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa proses konsolidasi politik lokal di Kota Bandar Lampung telah mengedepankan peran aktor dalam menentukan kalah menangnya calon walikota dan wakil walikota yang berkompetisi.

Peran aktor dapat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan pilkada Kota Bandar Lampung ditandai dengan terpilihnya walikota dan wakil walikota yang berkualitas dan bertanggungjawab. Peran aktor hendaknya dapat ditingkatkan dalam upaya mendorong proses demokrasi di Kota Bandar Lampung, dan tidak menghambat proses pemilihan kepala daerah yang bebas, adil serta dapat menciptakan kepemimpinan politik yang berkualitas dan dapat dipertangggungjawabkan.

Interaksi aktor dalam proses pilkada di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa para aktor saling berhubungan, bersentuhan dengan membentuk jaringan saling berkolaborasi dalam perannya masing-masing dalam rangka


(3)

90 memenangkan calon yang mereka usung. Ditemukan bahwa dominasi aktor dalam interaksi ke-empat kelompok aktor tersebut, bahwa kelompok the state merupakan kelompok aktor yang paling sering berinteraksi dan berkolaborasi dengan sejumlah aktor pada ketiga kelompok lainnya. Hal tersebut menujukkan bahwa kelompok aktor the state adalah kelompok aktor yang perannya mendominasi dalam pilkada Kota Bandar Lampung.

6.2. Saran

Sebagai penutup dari tesis Analisis Peran Aktor Pada Pemilukada Kota Bandar Lampung Periode 2010-2015, dalam hal ini peneliti memberikan saran sebagai berikut :

Proses transisi politik dalam konsolidasi demokratisasi lokal mengharuskan peran aktor lebih dominan dalam memberikan pendidikan politik dalam proses pemilihan kepala daerah kepada masyarakat lokal khususnya di Kota Bandar Lampung, sehingga kualitas demokrasi lokal dapat ditingkatkan yang juga menghasilkan kepala daerah berkualitas sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Peran aktor pada kelompok political society, economic society, civil society dan the state hendaknya lebih mengedepankan demokratisasi substansial dari pada demokratisasi prosedural semata, sehingga demokratisasi lokal yang berlangsung dalam pemilukada dapat berjalan secara efektif.

Peran aktor dalam pemilukada merupakan upaya yang dilakukan para aktor untuk mempengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan masyarakat


(4)

91 dalam pemilihan umum kepala daerah, untuk itu para aktor yang berperan hendaknya tidak melakukan politik transaksional dan kepentingan pragmatisme semata.

Perlunya mensinergikan peran aktor lokal secara demokratis dan terus menerus. Untuk itu diperlukan upaya-upaya institusionalisasi demokrasi, sehingga pola fikir dan perilaku aktor tidak senantiasa terdistorsi karena lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus yang terjadi.

Perlunya independensi Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam proses pemilihan kepala daerah dengan tidak memihak kepada salah satu pasangan calon. Untuk itu diperlukan proses atau metode seleksi anggota KPUD yang lebih ketat, pelaksanaan yang lebih transparan dan pengawasan efektif dari seluruh masyarakat atau aktor lainnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Ramses, 2003, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 19 Tahun 2003, Jakarta, MIPI.

Budiarjo Miriam, 1991, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Donny Gahral Adian, 2010, Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Koekoesan, Depok.

Firmanzah, 2010, Persaingan, Legitimasi, Kekuasaan, dan Marketing Politik, Obor, Jakarta.

Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, PAU UGM, Yogyakarta.

Joko J. Prihatmoko, 2007, Mendemokratiskan Pemilu, Pustaka Pelajar, Semarang. Kompas, ,2009, Kamis, 3 Desember 2009, Dinasti Keluarga dalam Politik Lokal,

Gregorius Sahdan Yogyakarta.

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Managemen Keuangan Daerah, Andi Yogyakarta.

Maskun, H. Sumitro, 2004, Otonomi dan Masa Depan Integrasi Bangsa (Regional Autonomy and the Future of Indonesian Unity). Orasi Ilmiyah pada Acara Peluncuran Jurnal OTONOMI, Jakarta.

M. Burhan Bungin, 2008, Penelitian Kualitatif, Jakarta, Kencana.

Muktar Masoed, Mac Andrews, Colin, 1978 , Perbandingan Sistim Politik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Novri Susan, 2009, Sosiologi Konflik, Isu-Isu Konflik Kontemporer, Kencana, Jakarta.

Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan Partnership Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

Robert A. Dahl, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit Rajawali Pers, Jakarta.


(6)

93 Taliziduhu Ndraha, 2002, Sekilas Ilmu Pemerintahan (Kybernology) Sebuah

Apologia, Widyapraja Vol. XXVIII No. 1 Tahun 2002, Jakarta, LPM-IIP. T.A. Legowo, Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten Sebagai

Wujud Demokrasi Lokal, Makalah Semiar Nasional Demokrasi Lokal, Jakarta, 2003

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999

Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, 1999

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 2004

Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, 2004