KINERJA LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DI DAERAH OTONOMI KHUSUS ACEH DALAM MELAKSANAKAN FUNGSI LEGISLASI TAHUN 2007-2016
i
KINERJA LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DI DAERAH OTONOMI KHUSUS ACEH DALAM MELAKSANAKAN FUNGSI LEGISLASI
TAHUN 2007-2016
Dosen Pembimbing
Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si
Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
dalam Magister Ilmu Pemerintahan
TESIS
Oleh:
HERIZAL
20141040029
PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
(2)
ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING
KINERJA LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DI DAERAH OTONOMI KHUSUS ACEH DALAM MELAKSANAKAN FUNGSI LEGISLASI TAHUN
2007-2016
TESIS
Diajukan oleh:
Herizal 20141040029
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si
Yogyakarta, 05 Januari 2017
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK : 1971108201004 163 089
(3)
iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Judul : Kinerja Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Otonomi Khusus Aceh dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi Tahun 2007-2016
Ditulis oleh : Herizal
NPM : 20141040029
Pembimbing : Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si
Yogyakarta, 05 Januari 2017
Ketua Penguji
Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si
Tim Penguji Penguji I
Dr. Zuly Qodir
Penguji II
(4)
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Herizal
NPM : 20141040029 Jenjang : Strata dua (S2)
Menyatakan bahwa Tesis dengan judul “Kinerja Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Otonomi Khusus Aceh dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi Tahun 2007-2016” adalah benar hasil penelitian saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk dan disebutkan sumbernya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh kesadaran.
Yogyakarta, 05 Januari 2017 Pembuat pernyataan,
Herizal 20141040029
(5)
v
LEMBAR REVISI
Telah melaksanakan ujian tesis pada hari Senin tanggal 26 Desember 2016, Pukul 11.00 WIB bertempat di Gedung Pascasarjana Lantai 1 Ruang Tutorial 1 Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk diberikan persetujuan revisi tesis, oleh:
Nama : Herizal
NIM : 20141040029
Judul Tesis : Kinerja Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Otonomi Khusus Aceh dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi Tahun 2007-2016.
Pembimbing : Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si (……….………)
Penguji I : Dr. Zuly Qodir (……….………)
Penguji II : Dian Eka Rahmawati, M.Si (……….………) Yogyakarta, 05 Januari 2017 Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK : 1971108201004 163 089
(6)
vi
PENGESAHAN PROGRAM STUDI
Judul : Kinerja Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Otonomi Khusus Aceh dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi Tahun 2007-2016.
Ditulis oleh : Herizal
NPM : 20141040029
Pembimbing : Dr. Titin Purwaningsih, S.IP, M.Si
Telah dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar dalam
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta, 05 Januari 2017
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK : 1971108201004 163 089
(7)
(8)
x
ABSTRAK
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai salah satu lembaga perumus kebijakan Aceh (legislasi), semakin menemukan “ruang politik” yang luas paska berlakunya undang-undang otonomi khusus untuk Aceh. Undang-undang otonomi khusus tersebut, mendelegasikan pembentukan sekitar 64 qanun Aceh untuk memperkuat posisi pelaksanaan undang-undang tersebut di Aceh. Tetapi, sudah 10 tahun UU No. 11/2006 berjalan, belum semua instrumen pelaksanaannya tersebut telah dibentuk. Oleh karena itu, bagaimana kinerja DPRA dalam melaksanakan fungsi legislasi menjadi fokus dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan informan dari anggota DPRA, Sekretariat DPRA, Biro Hukum Pemerintah Aceh, dan 2 tokoh pemerhati DPRA.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa kinerja DPRA dalam melaksanakan fungsi legislasinya dalam rentang waktu dari tahun 2007-2016 masih belum optimal. Hal ini dilihat dari segi produktivitas DPRA yang selalu gagal mencapai target legislasi dalam program legislasi Aceh (prolega). DPRA hanya berhasil membentuk 104 qanun Aceh dari total 193 rancangan qanun dalam daftar prolega prioritas. Kualitas qanun Aceh yang telah disahkan, secara keseluruhan sudah bagus, walaupun masih ada beberapa qanun yang bermasalah karena tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya. Cycle time qanun Aceh secara rata-rata masih memakan waktu yang cukup lama, yaitu mencapai 13 bulan per-qanun. DPRA juga tidak pernah tepat waktu dalam menetapkan prolega prioritas, membahas rancangan qanun maupun mensahkan rancangan qanun Aceh. DPRA belum bisa memaksimalkan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang telah disediakan negara untuk menunjang pelaksanaan fungsi mereka. Realisasi penggunaan anggaran legislasi DPRA juga cenderung menurun, padahal alokasi anggaran legislasi mereka selalu meningkat setiap tahunnya. Dengan biaya pembentukan sebuah qanun Aceh diperkirakan sebesar 370 juta – 1,5 miliyar per-qanun.
Faktor yang mempengaruhi kinerja DPRA adalah kurangnya kapasitas teknis kelembagaan DPRA seperti anggota DPRA, struktur, dan unsur pendukung DPRA. Kurangnya independensi lembaga DPRA dan anggota DPRA dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Terakhir, kewenangan formal DPRA yang semakin besar, tetapi tidak didukung dengan kemauan politik anggota DPRA untuk menjalankan kewenangan tersebut dengan maksimal.
(9)
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merupakan salah satu unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang bertindak sebagai lembaga legislatif di Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan sumberdaya (budgeting) dan pengawasan (oversight). Pasca reformasi, lembaga legislatif semakin menjadi kekuatan penting dalam mengejawantahkan peran check and balances terhadap eksekutif sebagai konsenkuensi diadopsinya konsep trias politica dalam ketatanegaraan di Indonesia. Bahkan bila kita tilik lebih jauh,
pasca reformasi, kekuatan legislatif semakin menemukan “ruang” politik yang
semakin luas (Rahmawati dan Hanif dalam S2 Plod UGM, 2008:1-2).
Membesarnya kekuasaan lembaga legislatif di Indonesia- pusat maupun daerah- khususnya DPRA, disebabkan oleh tiga hal: pertama, amandemen UUD 1945 yang dilakukan melalui sidang umum dan sidang tahunan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) pada oktober 1999, 2000, 2001, dan 2002 (Budiardjo, 2012:203). Melaui Perubahan UUD 1945, kekuasaan lembaga legislatif yang dulu berada dibawah kekuasaan lembaga eksekutif yang sangat kuat (executive heavy) diperbesar untuk menciptakan mekanisme check and balances pada cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Pembagian kewenangan pengambilan keputusan antara cabang legislasif dan eksekutif tanpa berat pada satu cabang kekuasaanpun merupakan karakteristik demokrasi modern yang telah berlaku
(10)
2 pada banyak negara-negara demokratis di dunia. Barangkali konsep ini yang ingin diterapkan Indonesia dengan mengamandemen UUD 1945 (NDI, 2000:1).
Kedua, Pergeseran paradigma pola hubungan pusat dan daerah dari sentralistis menjadi desentaralisasi. Perubahan pola hubungan pusat dan daerah ini telah memberikan kewenangan yang besar pada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kemaslahatan hidup masyarakat. Kewenangan penyelenggaraan pemerintahan domesetik diserahkan sebanyak mungkin kepada daerah kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kewenangan pemerintahan yang bersifat strategis-nasional. Dalam menyangkut hubungan lembaga legislatif dan eksekutif di daerah, UUD 1945 pasca amandemen dan undang-undang otonomi daerah No. 22/1999, UU No. 32/2004, dan UU No. 23/2014 telah mendudukkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala daerah dalam posisi sejajar dengan tujuan menciptakan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif daerah tersebut, hal ini tentu berbeda pada masa sebelum reformasi yang mendudukan posisi gubernur, bupati dan walikota lebih tinggi dari DPRD karena mereka merupakan aparat Pemerintah pusat yang ada di daerah (Syaukani, dkk, 2012:191-192).
Dengan mekanisme check and balances yang ingin dibangun di daerah, semua kebijakan publik pada tingkat lokal harus melibatkan kedua belah pihak yaitu DPRD sebagai lembaga legislatif dan pemerintah daerah sebagai lembaga eksekutif. Prakarsa kebijakan yang datang dari pemerintah daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD sebelum menjadi peraturan daerah. Begitu juga
(11)
3 sebaliknya, rancangan peraturan daerah yang berasal dari inisiatif DPRD harus dibahas dan disetujui bersama dengan kepala daerah sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah. Kepala daerah juga berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD secara rutin agar tidak terjadi penyelewengan kewenangan, sehingga memunculkan raja-raja kecil di daerah.
Ketiga, kebijakan desentralisasi asimetris atau otonomi khusus. Konstitusi Indonesia dalam UUD 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Satuan-satuan khusus atau istimewa tersebut diakui dan dihormati berdasarkan pertimbangan tertentu seperti sejarah, politik, administrasi, ekonomi dan sosial budaya. Faktor-faktor semacam itu seringkali tidak berdiri sendiri, namun terkait satu sama lain sehingga membentuk keunikan dan pertimbangan dalam penentuan daerah khusus. Menurut hasil kajian PKP2A I LAN, kebijakan khusus di Indonesia diberikan kepada empat daerah yang meliputi Aceh, Papua, Yogyakarta dan DKI Jakarta. Jika dilihat dari pengaturan hubungan pusat‐daerah, keempat daerah pemegang otonomi khusus/istimewa ini memang memiliki keasimetrisan dibandingkan dengan daerah otonom lain. Keasimetrisan ini meliputi aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan dan pengawasan(Tasrin dkk, 2012:viii).
Aceh sebagai salah satu provinsi yang menyandang status daerah otonomi khusus di Indonesia dikarenakan pertimbangan sejarah, politik, dan sosial budaya rakyatnya. Hubungan Aceh dan Pemerintah Pusat yang dinamis telah menyajikan suatu gambaran yang unik dalam politik daerah Indonesia. Kekhasan sejarah dan kebudayaan masyarakatnya menjadikan Aceh daerah khusus yang harus dihadapi
(12)
4 secara khusus pula oleh Pemerintah Pusat (Syamsuddin, 1990:1-5). Kekhasan ini selanjutnya membentuk identitas Aceh yang berbeda dari Pemerintahan nasional dan daerah-daerah lain di Indonesia. Untuk mempertahankan identitas ini rakyat Aceh harus melalui konflik panjang selama setengah abad lebih dengan Pemerintah pusat Republik Indonesia sebelum diakhiri dengan kesepakatan untuk berdamai yang didokumentasikan dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding) pada 15 agustus 2005 antara Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia.
Kebijakan khusus untuk Aceh diatur dengan Undang-Undang No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pasca perundingan Helsinki diganti dengan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Subtansi kekhususan Aceh yang dirumuskan dalam kedua undang-undang tersebut menurut Dwipayana (dalam Jaweng, 2011:169) adalah sebagai berikut: (1) Titik tekan desentralisasi pada level Provinsi dengan sejumlah klausul yang mengharuskan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA); (2) Penggunaan asas Islam dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran strategis ulama dalam tata pemerintahan dan kewenangan menjalankan syariat Islam; (3) Sistem rekrutmen khusus, dengan membuka ruang parpol lokal dan calon independen dalam pengisian jabatan-jabatan publik; (4) Pemberian peran yang besar dalam hubungan luar negeri; (5) Pengakuan pada susunan pemerintahan adat; (6) Kekhususan dalam perimbangan
(13)
5 keuangan pusat-daerah, khususnya tambahan DBH migas (55% minyak dan 40% gas bumi).
Ketiga hal yang disebutkan di atas, yaitu amandemen UUD 1945, pergeseran pola hubungan pusat dan daerah, dan kebijakan otonomi khusus telah memberikan kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar kepada DPRA dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh. Apalagi setelah Aceh menjadi daerah otonomi khusus, selain membesarnya kewenangan yang menyangkut pelaksanaan ketiga fungsinya sebagai lembaga perumus kebijakan (legislasi), mengalokasikan sumberdaya (budgeting) dan pengawasan (oversight), kewenangan DPRA ditambah menjadi lembaga konsultasi dan pemberi pertimbangan kepada Pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan langsung dengan Aceh.
Dalam menjalankan fungsi legislasinya, DPRA dituntut menjadi pelopor dalam membentuk berbagai instrumen hukum yang menjadi turunan undang-undang otonomi khusus. UU No. 11/2006 mengamanatkan pembentukan sejumlah Qanun Aceh (penyebutan Peraturan Daerah di Aceh) untuk memperkuat posisi pelaksanaan Undang-Undang tersebut di Aceh. Menurut Dwipayana (dalam Jaweng, 2011:174), setidaknya diperlukan 64 Qanun Aceh untuk menerjemahkan Undang-Undang otonomi khusus Aceh ke dalam kebijakan operasional, selain peraturan-peraturan lainnya. Instrumen hukum daerah ini dibentuk sesuai dengan aspirasi masyarakat dan perkembangan sosial dan politik Aceh. Dengan tujuan akhirnya untuk menghasilkan dampak positif bagi masyarakat Aceh. Qanun Aceh
(14)
6 yang harus dibentuk untuk mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Aceh sesuai hak otonomi khususnya adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Qanun Aceh yang Harus dibentuk sebagai Aturan Pelaksana Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang
Otonomi Khusus No. Qanun Aceh yang Harus Dibentuk Keterangan
Undang-Undang No. 11/2006
tentang Pemerintahan
Aceh
1 Qanun Aceh tentang Tata cara Pembentukan Qanun Aceh Sudah dibentuk 2 Qanun Aceh tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan Dan Anggota DPRA Sudah dibentuk
3 Qanun Aceh tentang Organisasi Sekretariat Daerah Aceh Sudah dibentuk 4 Qanun Aceh tentang Organisasi Sekretariat DPRA Sudah dibentuk 5 Qanun Aceh tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
dan Lembaga Daerah Sudah dibentuk
6 Qanun Aceh tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Sudah dibentuk 7 Qanun Aceh tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Sudah dibentuk
8 Qanun Aceh tentang Perkebunan Sudah dibentuk
9 Qanun Aceh tentang Pajak dan Retribusi Daerah Sudah dibentuk 10 Qanun Aceh tentang Baitul Mal Sudah dibentuk
11
Qanun Aceh tentang Tata Cara Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan, Perhitungan, Pertanggung jawaban dan Pengawasan APBA
Sudah dibentuk
12 Qanun Aceh tentang Alokasi Dana Tambahan Bagi Hasil Migas
dan Otonomi Khusus Sudah dibentuk
13
Qanun Aceh tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam antara Pemerintah Aceh dengan Kab/Kota
Sudah dibentuk
14 Qanun Aceh tentang Izin Investasi Sudah dibentuk 15 Qanun Aceh tentang Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang
Aceh Sudah dibentuk
16 Qanun Aceh tentang Ketenagakerjaan Sudah dibentuk 17 Qanun Aceh tentang Pendidikan Sudah dibentuk 18 Qanun Aceh tentang Dana Pinjaman dan Bantuan dari dalam/luar
Negeri Sudah dibentuk
19 Qanun Aceh tentang Pendelegasian Kewenangan Pemerintah Aceh
tentang Perizinan kepada BPKS Sudah dibentuk
20 Qanun Aceh tentang Kesehatan Sudah dibentuk
21 Qanun Aceh tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sudah dibentuk 22 Qanun Aceh tentang Pelaksanaan Hak-hak Partai Politik dan
Keuangan Partai Politik Sudah dibentuk
23 Qanun Aceh-Qanun Aceh tentang Pelaksanaan Syariat Islam Sudah dibentuk 24 Qanun Aceh tentang Mahkamah Syar’iyah Sudah dibentuk 25 Qanun Aceh tentang Hukum Acara pada Mahkamah Syar’iyah Sudah dibentuk 26 Qanun Aceh tentang Kependudukan Sudah dibentuk 27 Qanun Aceh tentang Penanggulangan Masalah Sosial Sudah dibentuk 28 Qanun Aceh tentang Lingkungan Hidup Sudah dibentuk 29 Qanun Aceh tentang Lembaga Adat Sudah dibentuk 30 Qanun Aceh tentang Tata Cara Pemilihan Imum Mukim dan
Keuchik atau Nama Lain Sudah dibentuk
31 Qanun Aceh tentang MPU Sudah dibentuk
32 Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe Sudah dibentuk
33 Qanun Aceh tentang Bendera Sudah dibentuk
34 Qanun Aceh tentang Lambang Sudah dibentuk
35 Qanun Aceh tentang Penyertaan Modal/Kerja Sama pada
(15)
7 Undang-Undang
Otonomi Khusus No. Qanun Aceh yang Harus Dibentuk Keterangan
Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
36 Qanun Aceh tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh Sudah dibentuk 37 Qanun Aceh tentang RPJM dan RPJP Sudah dibentuk
38 Qanun Aceh tentang Perikanan Sudah dibentuk
39 Qanun Aceh tentang Pariwisata Sudah dibentuk 40 Qanun Aceh tentang Dana Abadi Pendidikan Sudah dibentuk 41 Qanun Aceh tentang Pelayanan Publik Sudah dibentuk 42 Qanun Aceh tentang Pembentukan Lembaga, Badan dan Komisi
oleh Pemerintah Aceh Belum dibentuk
43 Qanun Aceh tentang Organisasi Pengusaha di Aceh Belum dibentuk 44 Qanun Aceh tentang Majelis Pendidikan Daerah Belum dibentuk 45 Qanun Aceh tentang Dana Cadangan Belum dibentuk
46 Qanun Aceh tentang Himne Aceh Belum dibentuk
47 Qanun Aceh tentang Kelautan Belum dibentuk
48 Qanun Aceh tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan oleh MPU Belum dibentuk
49 Qanun Aceh tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Aceh Belum dibentuk 50 Qanun Aceh tentang Pemberdayaan Masyarakat di bidang
Komunikasi dan Sistem Informasi Belum dibentuk 51 Qanun Aceh tentang Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan
Laut dan Bandar Udara Belum dibentuk
52 Qanun Aceh tentang Dana Pembangunan Masyarakat dalam
Kegiatan usaha Pertambangan dan Industri Belum dibentuk 53 Qanun Aceh tentang Hak Atas Tanah Belum dibentuk 54 Qanun Aceh tentang LKPJ Gubernur tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh Belum dibentuk
55
Qanun Aceh tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Wewenang Gubernur untuk Memberikan Penghargaan dan Sanksi kepada Bupati/Walikota
Belum dibentuk
56 Qanun Aceh tentang Pers dan Penyiaran Islami Belum dibentuk 57 Qanun Aceh tentang Kebudayaan dan Benda-benda Bersejarah
dan Situs Tsunami Belum dibentuk
58 Qanun Aceh tentang Kawasan Perkotaan Belum dibentuk 59 Qanun Aceh tentang Izin Rumah Ibadah Belum dibentuk 60 Qanun Aceh tentang Industri dan Perdagangan Belum dibentuk 61 Qanun Aceh tentang Tata dan Kualifikasi Bangunan Belum dibentuk
62 Qanun Aceh tentang Kehutanan Belum dibentuk
63 Qanun Aceh tentang Pertambangan Umum Belum dibentuk 64 Qanun Aceh tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan
dan Partisipasi Masyarakat Belum dibentuk
Sumber: diolah dari http://dpra.acehprov.go.id diakses tanggal 9 April 2016 Dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa masih banyak Qanun Aceh yang belum selesai dibentuk, padahal UU No. 11/2006 sudah berjalan 10 tahun sejak dijadikan instrumen baru kebijakan otonomi khusus Aceh pada agustus 2006. Tercatat masih ada 4 Peraturan Pemerintah dan sekitar 23 Qanun Aceh yang belum dibentuk. Khusus tentang aturan Qanun Aceh, seperti yang ditampilkan dalam tabel di atas, baru dapat diselesaikan sekitar 65 persen dari total 64 Qanun
(16)
8 Aceh. Hal ini tentu saja akan menghambat pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Aceh dengan sempurna.
Kewenangan untuk melakukan legislasi sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh DPRA tetapi juga Gubernur Aceh. Sesuai dengan temuan empiris bahwa pembagian kewenangan pengambilan keputusan yang sama antara legislasif dan eksekutif merupakan karakteristik demokrasi modern (NDI, 2000:1). Tetapi DPRA menempati posisi penting sebagai forum rakyat Aceh dalam mesin pemerintahan. Anggota legislatif Aceh akan memainkan peran untuk
“menjembatani” (bridging) antara warga Aceh dan proses pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa parlemen Aceh telah ditasbihkan menjadi lembaga perwakilan yang di beri amanat oleh rakyat Aceh untuk memperjuangkan segala aspirasi dan kepentingan politiknya (Rahmawati dan Hanif dalam S2 Plod UGM, 2008:1).
Wajar apabila DPRA sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya dengan memperlihatkan kinerjanya yang optimal. Tetapi, walaupun kewenangan yang diperoleh DPRA pasca otonomi khusus sangat besar. Masih banyak yang menganggap kinerja DPRA belum optimal. Dengan kondisi sosial ekonomi Aceh sebagai salah satu daerah tertinggal di Indonesia, sudah seharusnya DPRA meningkatkan kinerjanya sebagai wujud pertanggungjawaban moral dan politis anggota-anggotanya terhadap rakyat yang diwakilinya.
(17)
9 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelskan pada latar belakang, maka dalam penelitian ini akan merumuskan masalah dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam melaksanakan fungsi legislasi pasca UU No. 11/2006?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam melaksanakan fungsi legislasi?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dan mengevaluasi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam melaksanakan fungsi legislasi pasca UU No. 11/2006.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam melaksanakan fungsi legislasi.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1. Berguna secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian teori-teori dalam bidang ilmu politik dan pemerintahan khususnya pengembangan teori-teori perwakilan dan desentaralisasi asimetris.
(18)
10 2. Berguna secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi DPRA, partai politik, masyarakat sipil, birokrasi dan Pemerintah Aceh tentang kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam melaksanakan fungsi legislasi pasca UU No. 11/2006 dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsinya, supaya dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan untuk meningkatkan kinerja, kesejahteraan rakyat, kualitas politik, dan demokrasi di Aceh.
3. Berguna secara akademis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kepustakaan dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian yang sejenis.
(19)
11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang secara khusus (spesifik) menelaah tentang kinerja lembaga perwakilan rakyat di daerah otonomi khusus Aceh dalam melaksanakan fungsi legislasi sejauh pengetahuan peneliti belum pernah dilakukan penelitian. Selama ini penelitian tentang kinerja lembaga perwakilan rakyat dalam melaksanakan fungsi legislasi banyak dilakukan pada tingkat kabupaten/kota yang ada di Indonesia dan Aceh seperti penelitian Saragih (2005) yang meneliti kinerja lembaga legislatif di Kabupaten Simalungun, Yarni (2010) yang meneliti fungsi legislasi DPRD Kota Jambi dan DPRD Kabupaten Muaro Jambi, Silaban (2010) yang meneliti kapasitas legislasi DPRD Kabupaten Mukomuko, Muazzinah (2014) yang meneliti DPRK Bireuen. Semua penelitian ini menggunakan dimensi produktivitas dalam penelitian mereka untuk mengukur kinerja DPRD dalam meleksanakan fungsi legislasi di daerah masing-masing. Hasil penelitian di daerah-daerah tersebut menunjukkan hasil yang sama yakni belum optimalnya kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD tersebut adalah sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana, peraturan formal dan unsur politis.
Penelitian tentang kinerja lembaga perwakilan juga pernah dilakukan pada tingkat nasional Indonesia yaitu di DPR RI seperti yang dilakukan oleh, Trimaya (2013), Firmansyah dkk (2013), dan Ginting dkk (2014). Dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa kinerja DPR RI juga belum optimal apabila diukur dari segi
(20)
12 jumlah Undang-Undang yang disahkan belum mencapai jumlah prolegnas. Belum optimalnya pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI disebabkan oleh berbagai kendala, yang diantaranya: kualitas perencanaan yang bermasalah, pembahasan RUU sangat lambat dan tidak efisien, pengaturan fungsi legislasi dalam tartib DPR RI belum rinci dan sistematis, kedudukan Baleg sebagai pusat harmonisasi UU di DPR belum optimal, keberadaan SDM pendukung dalam pelaksanaan fungsi legislasi yang masih kurang dan sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan fungsi legislasi DPR masih sangat minim.
Untuk melihat kesimpulan dari kajian literatur terdahulu yang lebih lengkap tentang kinerja lembaga perwakilan di daerah dan nasional, maka dapat diperhartikanpada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Tinjauan Pustaka
No Peneliti Judul Hasil Penelitian
1. Bob Presly Saragih
(2005)
Kinerja lembaga legislatif: studi tentang kinerja DPRD kabupaten Simalungun di era otonomisasi.
(Hasil Penelitian/Tesis)
1. Kinerja DPRD kabupaten Simalungun periode 1999-2004 masih rendah diukur dengan akuntabilitas, responsivitas, dan produktivitas
2. Rendahnya kinerja DPRD kabupaten Simalungun ini dipengaruhi oleh faktor kelembagaan yaitu sarana dan prasarana, sumber daya manusia yaitu pendidikan dan pengalaman, serta faktor informasi yaitu sumber informasi yang digunakan, keterbukaan menerima dan menyampaikan informasi, serta intensitas menyerap aspirasi masyarakat yang dimiliki oleh DPRD kabupaten Simalungun.
2. Meri yarni (2010)
Fungsi legislasi DPRD dalam kerangka otonomi: studi kasus DPRD kota Jambi dan DPRD kabupaten Muaro Jambi. (Hasil Penelitian/Jurnal)
1. Pelaksanaan hak inisiatif DPRD kota Jambi dapat dikatakan masih kurang apabila dibandingkan dengan hak inisiatif DPRD Kabupaten Muaro Jambi.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi DPRD dalam pelaksanaan fungsinya adalah factor (a) Sumber Daya Manusia, (b) Peraturan Tata Tertib DPRD, (c) Sarana dan Prasarana
(21)
13 No Peneliti Judul Hasil Penelitian
3. Henry P. Silaban
(2010)
Kapasitas DPRD dalam pelaksanaan fungsi legislasi: studi pada DPRD kabupaten Mukomuko masa keanggotaan tahun 2004-2009.
(Hasil Penelitian/Tesis)
1. Kapasitas legislasi anggota DPRD Kabupaten Mukomuko belum optimal dan masih rendah yang dilihat dari indikator respondivitas dan produktivitas
2. Faktor latar belakang pendidikan yang rendah tidak memberikan pengaruh terhadap rendahnya kapasitas legislatif 4. Siti Asiah
(2009)
Kinerja Badan Perwakilan Lokal Pada Era Reformasi (Jurnal)
1. Perda yang dihasilkan DPRD Kota Bogor dan Depok lebih berorientasi pada kepentingan eksekutif.
2. Pelaksanaan pilkada semakin menguatkan otoritas kepala daerah yang sebelumnya sudah kuat karena sebagai sumber otoritas birokrasi.
5. Muslim dan Zaili
Rusli (2013)
Kinerja Badan Legislasi DPRD
(Hasil Penelitian/Jurnal)
1. Kinerja DPRD Kabupaten Kuantan Singingi belum maksimal jika diukur dengan responsiveness, responsibility, dan accountability.
2. Faktor yang mempengaruhi adalah faktor individual DPRD yang SDMnya belum berkualitas.
6. Arrista Trimaya
(2013)
Kinerja Fungsi Legislasi DPR RI Masa Bakti 2009-2014.
(Hasil Penelitian/Jurnal)
1. Kinerja DPR RI dapat dikatakan belum cukup baik jika dilihat dari jumlah undan-undang yang disahkan yang belum tercapai jumlah prolegna.
2. Belum optimalnya pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI disebabkan oleh berbagai kendala, yang diantaranya: pembahasan RUU sangat lambat dan tidak efisien, pengaturan fungsi legislasi dalam tartib DPR RI belum rinci dan sistematis, kedudukan Baleg sebagai pusat harmonisasi UU di DPR belum optimal, keberadaan SDM pendukung dalam pelaksanaan fungsi legislasi yang masih kurang dan sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan fungsi legislasi DPR masih sangat minim.
7. Racmad Maulana Firmansya h dkk (2013)
Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012 (Hasil Penelitian/Buku)
1. Capaian Kuantitas Prolegnas tahun 2012 kembali menunjukkan kegagalan mencapai target yang sudah ditetapkan.
2. Faktor yang mempengaruhinya adalah kualitas perencanaan yang bermasalah dan lemahnya koordinasi internal DPR dan pemerintah.
8. Miko S. Ginting dkk (2014)
Catatan Kinerja Legislasi DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun Politik (Hasil Penelitian/Buku)
1. Capaian kuantitas DPR 2009-2013 mengalami naik-turun tapi tidak pernah mencapai target prolegnas yang sudah ditetapkan.
2. Faktor yang mempengaruhinya adalah proses perencanaan yang tidak realistis dan momentum pemilu.
(22)
14 No Peneliti Judul Hasil Penelitian
9. Harius Eko Saputra
(2014)
Kinerja Lembaga
Perwakilan Rakyat Daerah: Studi Deskriptif Kualitatif di DPRD Kota Bengkulu (Hasil Penelitian/Jurnal)
1.Masih lemahnya kinerja DPRD Kota Bengkulu dalam menjalankan fungsi legislasi.
2.Faktor yang mempengaruhinya adalah kurangnya kapasitas teknis DPRD dan masih ada individu-individu DPRD yang “malas” membahas perda.
10. Muazzinah (2014)
Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen dalam pelaksanaan fungsi legislasi.
(Hasil Penelitian/Tesis)
1.Kinerja DPRK Bireuen dalam melaksanakan fungsi legislasi masih rendah. Hal ini dilihat dari produktivitas dan kualitas produk legislasi yang rendah. 2.Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
tersebut adalah teknik manajerial, Sumber Daya Manusia dan unsur politis.
11. Yufrizal (2015)
Peranan kepemimpinan, pendidikan dan pelatihan (diklat), dan insentif dalam meningkatkan produktivitas kerja pegawai serta
dampaknya pada kinerja sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
(Hasil Penelitian/Tesis)
1. Variabel kepemimpinan, diklat, dan insentif berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap kinerja organisasi dan memiliki tingkat signifikansi tertinggi (paling dominan).
2. Variabel kepemimpinan, diklat, dan insentif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi. Hal ini terjadi karena kinerja organisasi terbangun dengan baik apabila kepemimpinan, diklat, dan insentif dapat dilaksanakan dengan baik.
Sumber: olahan data (2016)
Dengan menjadikan beberapa hasil penelitian di atas sebagai bahan perbandingan, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini lebih khusus menggambarkan dan menjelaskan kinerja lembaga perwakilan rakyat yang diukur dengan dimensi produktivitas, kualitas, ketepatan waktu, cycle time, pemanfaatan sumber daya, dan biaya.
Walaupun dalam penelitian Saragih (2005), Yarni (2010), Silaban (2010), Trimaya (2013) dan Muazzinah (2014) juga menempatkan dimensi produktivitas dan kualitas dalam penelitiannya, tetapi dalam penelitian ini akan menjelaskan kinerja lembaga perwakilan rakyat dengan menggunakan kedua dimensi tersebut lebih mendalam dari pada hanya menjelaskan output (peraturan daerah) yang
(23)
15 dihasilkan lembaga perwakilan rakyat setiap tahunnya, seperti yang dilakukan oleh Firmansyah dkk (2013) dan Ginting dkk (2014), dan dalam penelitian ini juga ada penambahan dimensi-dimensi lain seperti ketepatan waktu, cycle time, pemanfaatan sumber daya, dan biaya.
Selain itu, penelitian ini dilakukan dalam lingkup lembaga perwakilan rakyat tingkat Provinsi Aceh yang belum ada dalam penelitian di atas kecuali oleh Yufrizal (2015) yang menjadikan pegawai sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai objek penelitiannya, sedangkan penelitian ini akan meneliti tentang kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam melaksanakan fungsi legislasi. Penelitian ini juga akan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fungsi legislasi lembaga perwakilan rakyat dengan dimensi sistem politik dan pemilu, kewenangan formal, kemauan dan ruang politik dan kapasitas teknik lembaga perwakilan.
2.2 Kerangka Teoritik
2.2.1 Teori Perwakilan
2.2.1.1Pengertian Perwakilan
Menurut definisi Andrew Heywood (2014:346) pengertian perwakilan adalah sebagai berikut:
Perwakilan adalah, secara umum, sebuah hubungan melalui mana seseorang atau sebuah kelompok membela atau bertindak untuk kepentingan sekumpulan masyarakat yang lebih luas.
Pendapat lain berasal Alfred de Gracia (dalam Sanit, 1985:82) yang mendefinisikan perwakilan politik sebagai berikut:
Perwakilan politik adalah hubungan di antara duapihak, yaitu wakil dengan terwakil, di mana wakil memegang kewenangan untuk
(24)
16 melakukan berbagai tindakan yang berkenan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa seorang atau sekelompok wakil yang telah dipilih untuk memegang kewenangan harus bertindak menurut kepentingan yang diwakilkannya, baik yang bekenaan dengan kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat antara keduanya saat kampenye maupun tindakan demi kebaikan yang terwakili.
Perwakilan diperlukan karena tidak mungkin seluruh rakyat yang banyak dan luas dapat berpartisipasi secara langsung dalam pemerintahan seperti dalam teori demokrasi langsung (klasik). Oleh sebab itu, partisipasi rakyat diubah kedalam bentuk tindakan memberikan suara setiap beberapa tahun sekali untuk memilih perwakilan-perwakilan mereka dalam pemerintahan (Demokrasi perwakilan). Perwakilan ini selanjutnya yang akan bertindak sesuai dengan kepentingan yang diwakilinya dalam proses pemerintahan.
2.2.1.2Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan, dalam pengertian yang sederhana dapat disebut sebagai badan yang berisikan para politisi yang menyatakan diri mewakili rakyat. Secara tradisional, lembaga perwakilan dihormati dengan status mereka sebagai wajah publik, bahkan demokrasi, dari pemerintahan. Lembaga perwakilan dikenal juga sebagai lembaga legislatif, majelis dan parlemen. Dalam kontitusi-konstitusi tertulis, mereka biasanya mendapatkan kedudukan yang terhormat, dengan disebutkan sebelum lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.
Lembaga Perwakilan menempati sebuah posisi penting dalam proses pemerintahan yang mempunyai fungsi perwakilan, legislasi, pengawasan,
(25)
17 rekrutmen politik, dan legitimasi. Legislasi sering dipandang sebagai fungsi utama dari lembaga-lembaga perwakilan. Parlemen secara khas memiliki kekuasaan legislatif dengan maksud agar hukum yang dibuat akan dianggap otoritatif dan mengikat. Alasan ini berlaku karena dua hal, pertama, parlemen adalah sebuah forum yang di mana hukum-hukum yang diusulkan dapat secara terbuka dibahas dan diperdebatkan. Kedua, parlemen disusun sedemikian rupa sehingga memperlihatkan bahwa rakyat membuat hukum mereka sendiri (Heywood, 2014:546-554).
Jimly Asshiddiqie (2006) dalam bukunya “pengantar ilmu hukum tata negara” membagi fungsi legislasi kedalam empat bentuk kegiatan, yaitu pertama, prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); kedua, pembahasan rancangan undang-undang (law making process); ketiga, persetujuan atas pengesahan undang-undang (law enactment); dan keempat, pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international law agreement and treaties other legal binding documents) (Isra, 2010:77-79).
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) adalah lembaga perwakilan di Aceh yang mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan (UUPA pasal 22). DPRA ditasbihkan menjadi salah satu unsur penting penyelenggara Pemerintahan Aceh, selain Pemerintah Aceh, karena perannya sebagai lembaga pembentuk hukum yang otoritatif (legislasi) dan sebagai lembaga pengawas pemerintah Aceh. Angota DPRA dipilih dalam pemilihan umum (pemilu) yang
(26)
18 diselenggarakan setiap lima tahun untuk mewakili rakyat Aceh dalam proses pemerintahan. Wakil-wakil rakyat Aceh yang terpilih ini harus bertintak sesuai dengan kepentingan konstituen yang mereka wakili dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang mereka. Para wakil-wakil juga dituntut mampu mengartikulasikan dan mengagregasikan aspirasi-aspirasi rakyat Aceh kedalam intrumen-instrumen kebijakan sesuai fungsi, tugas dan wewenang lembaga yang mereka tempati. Dalam Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa tugas dan wewenang DPRA adalah sebagai berikut:
a. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional;
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. Memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur;
f. Memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;
h. Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh; i. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh;
j. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; k. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan; l. Mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas
(27)
19 m. Melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP Aceh dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
Dalam pasal 23 ayat (1) diatas telah disebutkan tugas dan wewenang DPRA sesuai dengan fungsi mereka dalam Pemerintahan, tetapi fungsi legislasi merupakan fungsi utama DPRA sebagai lembaga legislasi. Sehingga berdasarkan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 23 ayat (1) diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tugas dan wewenang DPRA yang menyangkut pelaksanaan fungsi legislasinya terdapat di butir-butir a, g, h, i, dan j. 2.2.1.3Faktor yang Mempengaruhi Lembaga Perwakilan
Menurut John K. Johnson (2005:7-10) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lembaga perwakilan dalam melaksanakan fungsinya. Faktor-faktor ini dilihat dari tingkat kekuatan dan independensi parlemen dalam pemerintahan. Tingkat kekuatan dan independensi parlemen ini akan menentukan tipe parlemen tersebut dalam pemerintahan. Apakah parlemen tersebut masuk kedalam klasifikasi sebagai parlemen stempel, arena parlemen, parlemen transformatif atau parlemen yang sedang berkembang (emerging legislatures). Faktor-faktor tersebut sebagai berikut:
2.2.1.4 Sistem Politik dan Pemilu
Derajat pemisahan atau penyatuan antara cabang legislatif dan eksekutif bisa jadi faktor utama dalam menentukan kekuatan dan independensi legislatif. Terutama, pemisahan yang lebih tegas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidesial mendorong badan legislatif untuk memainkan peran
(28)
20 yang lebih independen dalam menjalankan fungsi pembuatan undang-undang dan fungsi pengawasan dibandingkan dalam sistem parlementer.
Sistem pemilu dengan anggota tunggal (distrik) dimana konstituen di wilayah tertentu secara langsung memilih seorang calon. Calon dengan suara terbanyak yang akan menang, kemungkinan akan lebih independen dan responsif terhadap konstituen dibanding anggota parlemen yang dipilih dalam sistem proposional. Terutama jika wilayah pemilihan cukup kecil dan sering diadakan pemilihan, anggota parlemen mungkin akan lebih berhutang dan responsif terhadap kontituen dibanding terhadap partai politik mereka.
DPRA sebagai badan legislatif Aceh memiliki otonomi dalam hal penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Sehingga, DPRA dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan diberlakukan di Aceh. Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang dibentuk untuk mewujudkan demokrasi di daerah dan mekanisme check and balances. Walaupun dalam proses politik Aceh anggota-anggota DPRA belum bisa menyuarakan pendapat mereka secara independen karena keterikatan mereka kepada partai-partai politik yang mengusung mereka menjadi anggota legislatif.
2.2.1.5 Kekuasaan Formal Parlemen
Kekuasaan formal parlemen, biasanya ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan tetap (atau aturan prosedur), adalah faktor lain yang menentukan independensi dan kekuasaan parlemen. Beberapa parlemen menikmati kekuasaan formal yang luas, membiarkan anggota dan komite untuk mengusulkan undang-undang (bahkan undang-undang-undang-undang dengan dampak keuangan yang signifikan),
(29)
21 untuk secara dramatis merevisi perencanaan pendapatan dan pengeluaran pemerintah (eksekutif), dan menuntut eksekutif untuk memperoleh persetujuan legislatif dalam meminjam uang.
DPRA memiliki kekuasaan formal yang besar yang diatur dalam Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA bab VII (tujuh) tentang DPRA dan DPRK pasal 22 disebutkan bahwa:
(1) DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
(2) DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat kelengkapan DPRA/DPRK sesuai dengan kekhususan Aceh.
(3) Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan undang-undang.
Pasal 23 selanjutnya disebutkan bahwa tugas dan wewenang DPRA adalah sebagai berikut:
(1) DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional;
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. Memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur;
f. Memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;
h. Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh;
i. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh;
(30)
22 j. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
k. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan;
l. Mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan; dan
m. Melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP Aceh dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(2) DPRA melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
(3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dankewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan tata tertibDPRA dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
DPRA dan anggotanya juga mempunyai hak-hak yang diberikan oleh undang-undang untuk menunjang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang mereka sebagaimana terdapat dalam pasal 25 dan pasal 26 ayat (1) sebagai berikut:
Pasal 25 (1) DPRA/DPRK mempunyai hak:
a. interpelasi; b. angket;
c. mengajukan pernyataan pendapat; d. mengajukan rancangan qanun;
e. mengadakan perubahan atas rancangan qanun;
f. membahas dan menyetujui rancangan qanun tentang Anggaran Pendapatan danBelanja Aceh dan kabupaten/kota dengan Gubernur dan/atau bupati/walikota;
g. menyusun rencana anggaran belanja sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenangDPRA/DPRK sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh danAnggaran Pendapatan dan Belanja kabupaten/kota dengan menggunakan standarharga yang disepakati Gubernur dengan DPRA dan bupati/walikota dengan DPRK,yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan bupati/walikota;
(31)
23 h. menggunakan anggaran sebagaimana telah ditetapkan dalam APBA/APBK dandiadministrasikan oleh sekretaris dewan sesuai dengan peraturan perundangundangan;dan
i. menyusun dan menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik AnggotaDPRA/DPRK.
Pasal 26 (1) Anggota DPRA/DPRK mempunyai hak:
a. mengajukan usul rancangan qanun; b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat; d. protokoler;
e. keuangan dan administratif; f. memilih dan dipilih;
g. membela diri; dan h. imunitas.
Dengan melihat isi Undang-Undang Pemerintahan Aceh di atas, maka tidak disangsikan lagi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh memiliki kekuasaan formal yang besar dalam Pemerintahan Aceh.
2.2.1.6 Kemauan dan Ruang Politik
Memiliki kekuasaan formal tidak berarti bahwa legislatif akan menggunakannya. Pada kenyataannya, konstitusi dan aturan tetap (standing orders) umumnya memberikan parlemen kekuasaan yang lebih besar dari pada yang pernah mereka gunakan secara efektif. Dua faktor yang berdampak pada bagaimana parlemen menggunakan kekuasaannya yaitu kemauan politik dan ruang politik.
Kemauan politik adalah kekuatan dari keinginan pemimpin parlemen dan anggota berpengaruh untuk melaksanakan atau memperluas kekuasaan parlemen. Kekuasaan yang diperoleh dalam satu tempat umumnya hilang di tempat lain, dan karena alasan ini, upaya pemimpin parlemen untuk memperluas peran parlemen
(32)
24 harus membayar biaya politik yang timbul oleh mereka yang takut kehilangan kekuasaan mereka.
Ruang politik mengacu pada keinginan dari orang lain dalam lingkungan politik untuk menyerahkan atau berbagi kekuasaan politik dengan parlemen. Sistem politik otoriter menjamin kecilnya ruang politik untuk parlemen, sementara yang lebih pluralistik, akan menciptakan sistem yang lebih kompetitif. Di parlemen dimana disiplin partai kuat, banyak penggunaan ruang politik yang tersedia, dan setiap upaya untuk memperluas ruang politik, sebagian besar ditentukan oleh disposisi partai politik.
Kekuasaan formal DPRA yang besar dalam UU Pemerintahan Aceh belum tentu dapat digunakan secara efektif oleh DPRA. Bisa jadi, kekuasaan itu hanya seperti senjata kosong tanpa peluru yang tidak berguna apa-apa. Hal ini terjadi bisa karena kurangnya kemauan politik dari DPRA dan anggota-anggotanya yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Ataupun karena sedikitnya ruang politik yang diberikan kepada DPRA oleh aktor-aktor lain dalam lingkungan politik Aceh seperti Gubernur dan partai politik. Sebagai contoh, pembagian kekuasaan legislasi yang sama antara DPRA dan Gubernur dapat menyebabkan monopoli atau dominasi kekuasaan ini oleh Gubernur yang memiliki pengaruh besar dan otoriter.
2.2.3.4 Kapasitas Teknis Parlemen
Terakhir, kemampuan DPRA melaksanakan fungsi pembuatan undang-undang secara efektif bersandar pada berapa tingkat manajemen dan kapasitas tekniknya. Mendengarkan (aspirasi) rakyat dan mengolah masukan mereka,
(33)
25 mencari dan mempertimbangkan saran ahli dalam penyusunan anggaran dan kebijakan, menyusun secara teknis bunyi amandemen dan perundang-undangan yang sesuai peraturan, memerlukan sistem yang efektif dan keahlian untuk mengorganisir dan mengatur sistem itu.
Diperlukan upaya DPRA yang paling kuat untuk fokus pada membangun kapasitas parlemen – memeperkuat manajemen (struktur), infratruktur (sarana dan prasarana), dan staf (sumber daya manusia). Untuk membangun sebuah parlemen yang lebih menonjol (kekuasaan dan perannya lebih besar) membutuhkan lebih banyak staf ahli untuk mencukupi kebutuhan informasi mereka yang lebih besar, dan cepat, dan lebih efektif, dan sistem koordinasi administrasi yang lebih baik. 2.2.2 Teori Kinerja
2.2.2.1Pengertian Kinerja
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (dalam Zaenuri, 2015:221) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh individu atau organisasi dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Prawirosentono (1999) yang mendefinisikan kinerja sebagai berikut:
Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
(34)
26 Definisi lainnya berasal dari Amstrong dan Baron (dalam Wibowo, 2008:7) yang berpendapat bahwa kinerja adalah hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan trategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dalam pandangan Amstrong dan Baron, kinerja mempunyai makna yang lebih luas dari pada hanya sebagai hasil kerja tetapi juga menyangkut bagaimana proses kerja berlangsung.
Dengan melihat definisi diatas maka kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berhubungan erat dengan hasil kerja atau prestasi kerja yang telah dicapai DPRA sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya yang telah diamanahkan Undang-Undang. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti hanya akan mengukur hasil kerja yang telah dicapai DPRA dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang berhubungan dengan fungsi legislasi. Sehingga berdasarkan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 23 ayat (1), tugas dan wewenang DPRA yang menyangkut pelaksanaan fungsi legislasi adalah sebagai berikut:
a. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;
c. Memberikan pertimbanganterhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh; d. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh;
e. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
(35)
27 2.2.2.2Pengukuran Kinerja
Pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai jadwal waktu yang ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Jadi, intinya pengukuran kinerja terkait pada output, harapan atau misi organisasi (dalam hal ini DPRA). Sebenarnya banyak faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, namun ukuran kinerja harus relevan, signifikan, dan komprehensif. Wibowo (2008:325-327) mengklasifikasi faktor-faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja sebagai berikut:
2.2.2.2.1 Produktivitas
Salah satu ukuran keberhasilan kinerja individu, tim atau organisasi terletak pada produktivitasnya. Apabila produktivitasnya tinggi atau bertambah, dinyatakan berhasil. Apabila lebih rendah dari standar atau menurun, dikatakan tidak atau kurang sukses. Produktivitas biasanya dinyatakan sebagai hubungan input dan output fisik suatu proses. Hal ini berkaitan dengan kuantitas (jumlah) hasil pekerjaan yang mampu diselesaikan sejumlah orang (atau/dan sumberdaya lainnya) dalam waktu tertentu. Produktivitas sering dibandingkan dengan standar yang sudah ditentukan sebelumnya.
Dalam mengukur produktivitas legislasi DPRA, penelitian ini akan melihat hasil kerja anggota dan struktur-struktur DPRA yang dibentuk sebagai pelaksana fungsi legislasi DPRA seperti badan legislasi, komisi, panitia-panitia khusus, dan lain-lainnya yang ditugaskan DPRA untuk merancang, membahas
(1)
kumulatif terbuka adalah qanun yang raqannya tidak dimasukkan ke dalam prolega. Contohnya seperti qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), akibat putusan Mendagri atau Mahkamah Agung, dan raqan yang mendesak untuk dibentuk lainnya.
Produktivitas DPRA dalam menginisiasi raqan dalam proses legislasi selalu kalah dari eksekutif. Dari tahun 2006-2016, DPRA hanya dapat menginisiasi 42 raqan dalam prolega, masih kalah jauh dibandingkan eksekutif yang mampu memprakarsai hingga 94 raqan. Hal ini bertambah parah jika kita melihat bagaimanakah nasib raqan inisiatif tersebut dalam proses legislasi?. Ditemukan bahwa dari jumlah raqan inisiatif tersebut dapat direalisasikan menjadi qanun Aceh hanya sebanyak 10 qanun Aceh.
Alat kelengkapan DPRA yang paling produktif dalam sepuluh tahun terakhir adalah panitia khusus (pansus). Padahal pansus bukanlah alat kelengkapan tetap yang ada di DPRA. Tetapi pansus yang paling berjasa selama ini membantu DPRA dalam mendorong produtifitasnya dengan berhasil membentuk 29 qanun Aceh dalam sepuluh tahun. Dibandingkan alat kelengkapan lainnya seperti komisi I (8 qanun), komisi II (3 qanun), komisi III (10 qanun), komisi IV (1 qanun), komisi V (3 qanun), komisi VI (6 qanun), komisi VII (3 qanun), badan legislasi (17 qanun), dan badan anggaran (24 qanun).
2. Kualitas
Kesesuaian dengan Ketetapan Perundang-Undangan Pola pengawasan peraturan daerah dan qanun Aceh diatur dalam UU No. 32/2014 yang telah diganti dengan UU No. 23/2014 dan khusus untuk Aceh ditambah dengan UU No. 11/2006. Ketiga Undang-Undang tersebut mempunyai perbedaan dalam pola pengawasan peraturan daerah dan qanun Aceh, seperti dijabarkan dalam tabel berikut:
TABLE I. PERBANDINGAN POLA PENGAWASAN PERDA
UU Pemda 2004 UU Pemda 2014 UU Pemerintahan Aceh Perda disampaikan kepada
pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan.
Raperda yang setelah disetujui wajib disampaikan kepada menteri
paling lama 6 hari untuk mendapatkan nomor register.
Pengawasan pemerintah terhadap qanun dilaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan. Perda yang bertentangan
dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Raperda yang belum medapat nomor register belum dapat ditetapkan dan diundangkan.
Pemerintah dapat membatalkan qanun yang
bertentangan dengan kepentingan umum, antar
qanun, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam UU pemerintah
Aceh. Keputusan pembatalan
perda ditetapkan dengan peraturan presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya perda oleh
pemerintah.
Raperda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi Menteri
sebelum ditetapkan.
Qanun tentang pelaksanaan syariat islam
hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh mahkamah Agung. Raperda tentang APBD
yang telah disetujui disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi paling lambat 3 hari setelah
disetujui.
Perda Provinsi disampaikan kepada Menteri paling lama 7 hari setelah
ditetapkan.
Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan kesusilaan dapat dibatalkan oleh Menteri dengan
keputusan menteri. (sumber: Diolah dari Undang-Undang, 2016)
Undang-Undang di atas mengadopsi dua jenis pengawasan terhadap peraturan daerah termasuk di dalamnya qanun Aceh yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. I Gde Pantja Astawa berpendapat bahwa secara garis besar perbedaan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif adalah jika pengawasan preventif dilakukan sebelum perda disahkan, sedangkan pengawasan represif dilakukan dilakukan setelah perda disahkan (Nursyamsi, 2016:529).
Dalam prakteknya, pengawasan terhadap qanun Aceh selama ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan melakukan evaluasi terhadap qanun-qanun yang baru ditetapkan oleh Pemerintahan Aceh. Evaluasi ini dilakukan sebelum qanun diimplementasikan secara efektif. Waktu evaluasi ditentukan selama 60 hari. Apabila dalam waktu tersebut evaluasi Mendagri menuntut perubahan pada isi qanun, maka Pemerintahan Aceh harus merevisi qanun sesuai dengan arahan Mendagri agar qanun tersebut dapat dijalankan dengan efektif. Hal ini pernah terjadi pada Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Usaha, dan beberapa Qanun Aceh lainnya.
Setelah berlakunya undang-undang pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No. 23/2014, Kemendagri bergerak cepat dalam melakukan pengawasan represif terhadap perda-perda yang dianggap Pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kesusilaan. Pada bulan juni 2016 lalu, Mendagri mengeluarkan keputusan yang membatalkan 3.143 Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota yang termasuk di dalamnya pembatalan terhadap enam qanun Aceh. Tetapi, pencabutan peraturan daerah ini mendapat tanggapan berbeda dari mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Menurutnya pencabutan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah hanya dapat dilakukan lewat uji materi ke Mahkamah Agung atau melalui mekanisme di legislatif (Kompas.com diakses pada tanggal 13 November 2016).
Keterlibatan Publik
Suatu produk peraturan yang baik dan berkualitas adalah peraturan yang dibuat atas cermin dari aspirasi masyarakat, bukan atas paksaan kehendak elit yang duduk dikekuasaan. Sebagaimana pandangan dari Ahmad santosa mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan publik yang melibatkan masyarakat bermanfaat agar keputusan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan, kepentingan serta keinginan masyarakat luas (Isra, 2010:282).
Tata cara bagaimana pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan qanun hanya diatur sekilas dalam Qanun Aceh No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, bahkan dalam peraturan tata tertib DPRA tidak menyinggung bagaimana mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan qanun. Padahal partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan
(2)
tertulis dalam penyiapan dan pembahasan rancangan qanun merupakan hak masyarakat. Dalam prakteknya, terbuka atau tertutupnya partisipasi masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan qanun Aceh sepenuhnya berdasarkan pertimbangan DPRA.
Bentuk penyerapan aspirasi yang paling sering dilakukan DPRA adalah dalam bentuk rapat dengar pendapat umum (RDPU). Walaupun hal ini sering dilakukan hanya sebatas formalitas, karena saat rapat pembahasan rancangan qanun, apalagi dengan rapat bersifat tertutup, masukan masyarakat dalam RDPU sering diabaikan oleh anggota DPRA. Dalam tartib DPRA disebutkan bahwa rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan musyawarah, rapat badan anggaran, rapat panitia khusus, rapat badan legislasi, dan rapat badan kehormatan bersifat tertutup kecuali apabila pimpinan rapat menyatakan terbuka. Jadi dengan ketentuan yang otomatis rapat-rapat di DPRA bersifat tertutup, akan sangat kecil kemungkinannya rapat tersebut terbuka, kecuali ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari anggota DPRA. Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan semangat demokrasi dan semangat mendorong partisipasi masyarakat. Sehingga, ada beberapa qanun yang telah dibentuk DPRA dipertanyakan kualitasnya karena tidak mencerminkan aspirasi masyarakat bahkan cenderung merugikan masyarakat.
Implikasi Qanun
Qanun Aceh sebagai instumen kebijakan dan hukum Pemerintahan Aceh yang dibentuk oleh DPRA dan Gubernur Aceh tentu mempunyai implikasi yang ditimbulkan setelah pengesahannya. Implikasi ini akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Aceh secara khususnya dan terhadap masyarakat Aceh secara umumnya. Implikasi yang ditimbulkan diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, merevitalisasi lembaga ke-Acehan dan lembaga lainnya yang diperlukan. Kedua, formalisasi pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh di bumi Serambi Mekah Aceh. Ketiga, peningkatan perekonomian dan pendapatan daerah.
3. Ketepatan Waktu
Mengukur kinerja DPRA dalam membentuk qanun Aceh menggunakan dimensi ketepatan waktu dapat digunakan tolak ukur yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan penjadwalan atau rencana kegiatan tahunan yang berlaku di lingkungan DPRA seperti prolega prioritas dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) DPRA.
Dalam sepuluh tahun terakhir, DPRA tidak pernah tepat waktu menetapkan prolega prioritas sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan. Prolega prioritas paling lama harus ditetapkan sebelum pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) atau sebulan sebelum tahun berjalan.
Begitu juga dengan ketepatan waktu membahas dan mensahkan qanun Aceh. DPRA sering melewati tenggat waktu yang telah ditetapkan dalam prolega prioritas, RKT, dan keputusan lainnya. Molornya waktu membahas dan mensahkan qanun Aceh ini akan membuat beban DPRA
setiap tahunnya terus bertambah dan kejadian ini berulang setiap tahun yang mengakibatkan target legislasi DPRA tidak pernah tercapai
4. Cycle Time
Qanun Aceh dibentuk dengan melalui berbagai tahapan-tahapan yang telah diatur dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Qanun Aceh No. 5/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Proses tahapan ini dimulai dari perencanaan hingga tahapan evaluasi seperti yang ditampilkan tabel berikut:
Gambar I. Proses Pembentukan Qanun Aceh
Kinerja DPRA dapat dinilai efektif dan efisien jika tahapan-tahapan dalam pembentukan qanun di atas dapat diselesaikan dalam tenggat waktu setahun sesuai batas berlakunya prolega prioritas. Tetapi selama ini cycle time qanun Aceh masih membutuhkan waktu yang lama.
Waktu rata-rata yang dibutuhkan DPRA untuk membentuk qanun Aceh dari tahun 2007-2016 adalah sekitar 13 bulan per-qanun. Dengan waktu tercepat yang dibutuhkan adalah sekitar 4-5 bulan per-qanun dan waktu terlama yang dibutuhkan adalah selama 20 bulan hingga 3 tahun 7 bulan per-qanun.
Persoalan cepat atau lambat sebuah qanun dibentuk, sangat tergantung pada substansi yang akan diatur dalam qanun tersebut. Apabila substansi yang akan di muat dalam suatu qanun terkait dengan banyak pokok persoalan, banyak instansi/pihak yang terlibat, banyak kepentingan yang perlu diakomodir, maka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan qanun tersebut akan semakin lama. Sebaliknya, apabila suatu qanun akan mengatur sesuatu yang tidak melibatkan banyak pihak, pokok persoalannya ringan, dan kepentingan yang perlu diakomodir juga sedikit, maka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan qanun tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama.
5. Pemanfaatan Sumber Daya
Sumberdaya paling penting di DPRA dalam melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya adalah Anggota DPRA itu sendiri. Jumlah anggota DPRA setiap periodenya berbeda-beda dari 69 – 81 orang. Anggota DPRA ini terbagi kedalam beberapa alat kelengkapan untuk memfokuskan perkejaan anggota DPRA dalam melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawab lembaga DPRA. Tetapi, sumberdaya anggota DPRA ini tidak tergunakan dengan maksimal, karena masih banyak anggota DPRA yang tidak menunaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagaimana yang
PROSES TAHAPAN PEMBENTUKAN
(3)
telah ditetapkan dalam tartib dan rencana kerja tahunan DPRA. Alasan ketidakhadiran Anggota DPRA bisa bermacam-macam, baik itu karena sibuk dengan urusan pribadi ataupun karena resiko pekerjaan sebagai anggota dewan seperti kunjungan ke daerah pemilihan masing-masing diluar tugas resmi karena ada undangan dari konstituen.
Selain Anggota DPRA, SDM penunjang pelaksanaan fungsi, tugas dan tanggungjawab lembaga DPRA dikoordinasikan oleh Sekretariat DPRA. Sekretariat DPRA merupakan unsur penunjang DPRA, yang berkedudukan sebagai lembaga daerah yang dipimpin oleh seorang sekretaris dewan dan dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada pimpinan DPRA. Sekretariat DPRA memiliki peranan yang penting dalam memberikan dukungan bagi pelaksanaan fungsi legislasi DPRA. Peranan penting ini juga memberikan kontribusi yang cukup besar pada baik atau buruknya produk legislasi DPRA.
Jumlah sumberdaya manusia yang ada di sekretariat DPRA berjumlah 172 orang pegawai negeri sipil ditambah dengan 187 orang tenaga kontrak yang terbagi kedalam empat bagian yaitu: bagian umum, bagian persidangan dan risalah, bagian keuangan, dan bagian hukum dan hubungan masyarakat.
Dari observasi di sekretariat DPRA, pegawai sekretariat DPRA mayoritasnya berada di bagian umum dan bagian persidangan dan risalah. Kedua bagaian ini hanya mengurusi masalah adminitratif, penjadwalan dan dokumentasi kegiatan DPRA. Tidak ada pegawai di dalam struktur sekretariat DPRA yang bertindak sebagai peneliti dan perancang untuk mendukung tugas legislasi DPRA. Tugas ini mungkin akan di bebankan pada staf ahli yang akan direkrut. Tetapi dengan kriteria perekrutan yang tidak jelas dan transparan, akan sangat tidak masuk akal jika berharap mereka dapat menyelesaikan semua tugas penelitian dan perancangan dengan maksimal.
Mekipun sumberdaya sekretariat DPRA yang mengurusi masalah administrasi dan penjadwalan sangat banyak. Tidak sepenuhnya berguna, karena banyak penjadwalan kegiatan-kegiatan DPRA yang sudah di susun dengan rinci dan sistematis oleh sekretariat DPRA dengan persetujuan DPRA, akan dilanggar sendiri oleh anggota DPRA.
Terkait permasalahan profesionalisme staf ahli yang direkrut DPRA, hasil penelitian menemukan bahwa proses rekrutmen tenaga ahli di lingkungan DPRA tidak berdasarkan kualitas calon, tidak berdasarkan analisis jabatan dan desain pekerjaan calon yang dibutuhkan, dan tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan. Melainkan lebih kepada kedekatan calon tenaga ahli dengan anggota DPRA, sehingga calon yang direkrut tidak profesional dengan kemampuan terbatas.
6. Biaya
Anggaran legislasi sangat menentukan bagaimana tata kelola proses legislasi di DPRA. Dukungan anggaran sangat penting, karena hal inilah yang utamanya akan mendorong semua aktivitas kongkret terkait dengan proses legislasi agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, alokasi anggaran legislasi Aceh setiap tahunnya
mengalami tren peningkatan. DPRA berhasil meningkatkan anggaran pembahasan qanun selama beberapa tahun belakangan ini secara signifikan. Berikut ditampilkan tren anggaran legislasi Aceh:
Gambar II. Anggaran Legislasi Aceh
Gambar di atas menunjukkan bahwa rendahnya penyerapan anggaran legislasi DPRA sebagaimana yang telah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dengan demikian, akan meninggalakan sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) yang begitu besar yang tidak tergunakan dengan maksimal.
Persoalan lainnya adalah sangat sulit bagi masyarakat untuk mengakses atau mengetahui secara rinci penggunaan dana legislasi oleh DPRA. Sehingga memunculkan kecurigaan bahwa selama ini DPRA mempraktekkan sikap pemborosan terhadap keuangan publik tanpa pertanggungjawaban terhadap kinerja mereka yang tidak optimal. Hal ini dikarenakan rendahnya produktivitas DPRA setiap tahunnya, tetapi anggaran legislasinya selalu meningkat.
B. Faktor yang Mempengaruhi DPRA dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi
1. Kapasitas Teknis Kelembagaan DPRA
Membesarnya kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menuntut DPRA yang lebih responsif dan berdaya dalam mengantisipasi bertambahnya fungsi tersebut disamping pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya. Tuntutan ini tentunya memerlukan peningkatan kemampuan DPRA dalam melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya yang sangat dipengaruhi oleh kapasitas teknis DPRA. Kapasitas teknis DPRA merupakan kunci atas capaian kinerja DPRA, baik optimal maupun buruk.
Kapasitas teknis anggota DPRA dapat dilihat dari segi kualifikasi pendidikan dan pengalaman anggota DPRA dalam pemerintahan. Pengalaman pekerjaan anggota DPRA, dapat membantu mereka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya sebagai anggota DPRA. Latar belakang pekerjaan anggota DPRA dapat dikelompokkan menjadi empat jenis pekerjaan, yaitu pertama; pekerjaan dalam pemerintahan seperti pegawai negeri sipil (PNS), anggota DPRA, anggota DPR Kabupaten/Kota, dan jabatan publik lainnya. Kedua; pekerjaan di sektor privat seperti pengusaha,
(4)
karyawan swasta, pedagang, wiraswasta, dan pekerjaan lepas lainnya. Ketiga; pekerjaan sebagai tenaga pendidik seperti guru, dosen, teungku/kiai, dan sebagainya. Keempat; pekerjaan di sektor organisai kemasyarakatan seperti LSM/NGO, pengacara/advokat, dan organisasi lainnya.
Gambar III. Tingkat Pendidikan Anggota DPRA
Faktor lain yang mempengaruhi kapasitas teknis DPRA adalah kompleksitas struktur dan koordinasi antar struktur di DPRA. Struktur DPRA dibentuk pada masa awal periode anggota DPRA dengan tujuan mempermudah pelaksanaan fungsi, tugas dan tanggungjawab DPRA. Struktur DPRA terbagi dalam berbagai unit-unit kerja dan bidang keahlian yang disebut alat kelengkapan dewan atau bukan, baik tetap maupun sementara, seperti Pimpinan, Komisi, Fraksi, Sekretariat Dewan, Baleg, Banmus, Banggar, BKD, Pansus, dan sebagainya.
Lemahnya koordinasi struktur di DPRA dalam pembahasan rancangan qanun menyebabkan pembahasan rancangan qanun tidak berjalan dengan lancar. Seringkali terjadi penumpukan beban kerja pembahasan raqan pada komisi tertentu karena tidak ada pembatasan yang tegas jumlah maksimal pembahasan raqan yang dibebankan pada suatu komisi. Sedangkan ada komisi lainnya yang tidak mempunyai beban kerja apapun. Dalam hal kedudukan badan legislasi sebagai pusat harmonisasi penyusunan raqan juga belum optimal. Ketika ada suatu raqan inisiatif Baleg yang sudah disetujui oleh Baleg dan selanjutnya akan dibahas lebih lanjut oleh komisi atau pansus seringkali mengalami perubahan yang tidak sesuai dengan substansi dan semangat awal raqan tersebut. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar anggota komisi atau pansus tidak mengikuti atau terlibat dalam pembahasan raqan tersebut ketika masih di Baleg.
Penguatan kapasitas lembaga DPRA tidak cukup hanya dengan mengoptimalkan anggota dewan dan alat perangkatnya, tetapi yang paling penting adalah mengorganisasikan dan mengoptimalkan kinerja unsur-unsur pendukung dewan seperti staf sekretariat dewan dan tenaga ahli. Anggota DPRA tidak akan bisa berkerja sendiri tanpa didukung oleh sekelompok orang/lembaga yang akan menfasilitasi atau membantu mereka mendapatkan informasi dan input dari masyarakat, melakukan fungsi penelitian dan penyimpanan data, menjalin kontak dengan orang/lembaga
di luar DPRA, sampai dengan berbagai keperluan teknis anggota DPRA.
Memaksimalkan unsur pendukung DPRA ini tidaklah mudah karena keterbatasan kapasitas teknis staf sekretariat DPRA. Dengan jumlah staf dan struktur yang begitu gemuk namun kurus secara fungsional telah menjadi sorotan atas tidak efektif dan efisiennya dukungan sekretariat DPRA kepada pelaksanaan fungsi legislasi DPRA. Dalam struktur DPRA tidak ada bagian yang bertindak sebagai peneliti dan perancang yang mendukung fungsi legislasi DPRA. Hal ini dikarenakan tidak ada pemisahan yang jelas antara dukungan yang sifatnya ilmiah dengan dukungan yang sifatnya administratif mengakibatkan tidak optimalnya dukungan yang diberikan sekretariat DPRA (PSHK, 2008:49).
Di luar struktrur sekretariat DPRA masih terdapat unsur pendukung legislasi lainnya, yaitu staf ahli/pakar. Staf ahli diangkat sesuai dengan kebutuhan DPRA yang dikoordinasikan oleh sekretariat DPRA. Kebutuhan tenaga ahli selama ini berjumlah mulai dari 30 orang hingga 208 orang per-tahun. Jumlah ini dialokasikan kepada alat-alat kelengkapan DPRA, mulai dari pimpinan, komisi-komisi, badan-badan, serta panitia yang ada.
Keberadaan staf ahli diharapkan menjadi ujung tombak unsur pendukung fungsi legislasi DPRA, karena banyaknya kekurangan-kekurangan yang ada pada staf sekretariat untuk mendukung fungsi legislasi DPRA. Tetapi melihat realitas yang terjadi selama ini, dengan sistem rekrutmen staf ahli yang tidak transparan dan dengan kriteria yang tidak jelas akan sangat sulit mengharapkan pada staf ahli yang sudah direkrut untuk menyelesaikan semua persoalan ini.
2. Sistem Politik dan Sistem Pemilu Sistem Politik
Salah satu ciri penting dari setiap sistem politik adalah hubungan antara parlemen (legislatif) dengan pemerintah (eksekutif). Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif seperti sistem presidensial yang dianut Indonesia dan juga diteruskan ke daerah, memungkinkan tercipta independensi DPRA dengan Gubernur Aceh. Tetapi untuk tujuan menciptakan mekanisme check and balances dan hubungan saling mengendalikan (koordinasi) satu sama lain dalam sistem pemerintahan Indonesia dan daerah, pemisahan kekuasaan ini berubah menjadi pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, sehingga kewenangan legislasi yang seharusnya menjadi monopoli DPRA sebagai lembaga legislatif harus berbagi kewenangan dengan Gubernur Aceh.
Hal ini menyebabkan tingkat independensi DPRA dalam membentuk qanun Aceh menjadi berkurang karena harus melibatkan Gubernur Aceh dalam setiap prosesnya. Dengan demikian, jika kinerja dalam bidang legislasi tidak optimal maka kesalahannya tidak bisa semata-mata ditimpakan pada lembaga DPRA saja.
Keterikatan keduanya ini dapat menjadi kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Kelebihannya adalah Gubernur Aceh dengan segala macam perangkat teknis yang ada di bawahnya dapat membantu DPRA yang kurang dalam hal teknis dan SDM. Sebaliknya, kekurangannya 0
10 20 30 40 50 60
S3 S2 S1/Diploma SMA/Pesantren Periode 2004-2009 Periode 2009-2014 Periode 2014-2019
(5)
adalah akan membuat DPRA menjadi lembaga yang tidak independen atau tidak mandiri dalam melaksanakan fungsi legislasinya dan DPRA juga akan selalu bergantung kepada pemerintah Aceh dalam hal teknis.
Sistem Pemilu
Sistem proporsional yang dipraktekkan dalam pemilu di Indonesia termasuk Aceh, mengakibatkan anggota DPRA yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik dari pada konstituennya (pemilihnya). Hal ini dikarenakan dalam pemilu memakai sistem proporsional peran partai lebih menonjol daripada kepribadian calon anggota DPRA. Saat pemilu, daftar calon anggota DPRA ditetapkan oleh partai. Sehingga ketika terpilih anggota DPRA lebih memilih membela kepentingan partainya dari pada memperjuangkan aspirasi masyarakat.
3. Kekuasaan Formal DPRA
Kekuasaan formal dewan perwakilan, biasanya ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan baku (atau aturan prosedur). Kekuasaan formal merupakan faktor lain yang menentukan tingkat independensi (kemandirian) dan kekuasaan dewan perwakilan. Jika tingkat independensi dan kekuasaan lembaga dan anggota lembaga perwakilan besar, maka diharapkan dengan kekuasaan atau kewenangan yang diperoleh, mereka dapat melaksanakan fungsinya sebagai lembaga legislatif dengan optimal tanpa ada tekanan dari pihak lain yang lebih berkuasa.
Memperbesar kekuasaan formal lembaga legislatif ini penting dilakukan untuk menghindari sebuah lembaga legislatif hanya menjadi lembaga tukang stempel dari setiap kebijakan eksekutif atau pemerintah. Kondisi seperti ini pernah dialami lembaga legislatif di Indonesia –pusat maupun daerah- sebelum masa reformasi. Pada masa itu, konstitusi Indonesia memberikan kekuasaan formal yang sangat besar kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahan negara (executive heavy). Kekuasaan formal Presiden sangat tidak terbatas bukan saja dalam hal kekuasaan eksekutif tapi juga kekuasaan lainnya seperti membentuk Undang-Undang. Dengan kekuasaan yang begitu besar, Presiden dapat mengontrol lembaga negara lain seperti DPR. Sehingga saat itu, DPR sebagai lembaga legislatif negara hanya menjadi lembaga stempel yang mengikuti dan menyetujui semua keputusan pemerintah.
Pada level daerah, sistem pemerintahan sentralistik telah menjadikan daerah juga berada dalam kontrol Presiden. Undang-Undang tentang pemerintahan daerah saat itu yaitu UU No. 5/1974 menyatukan kedudukan DPRD dan kepala daerah sebagai bagian pemerintah daerah. Tetapi secara praktek kedudukan eksekutif lebih tinggi karena merupakan aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Peran yang dijalankan DPRD lebih banyak sebagai juru bicara eksekutif dan menjadi lembaga stempel dari keputusan pemerintah.
Kekuasaan yang diberikan kepada DPRA di atas, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah mempengaruhi kinerja DPRA dalam melaksanakan fungsi, tugas dan
tanggungjawabnya sebagai lembaga legislatif. Dahulunya DPRA hanya sebuah lembaga pemberi pertimbangan kepada pemerintah Aceh, tetapi sekarang DPRA dapat berkontribusi langsung dalam merumuskan kebijakan-kebijakan Aceh. Peraturan yang berlaku juga memberi kesempatan kepada DPRA untuk memperkuat kelembagaannya dalam melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya. DPRA dapat membentuk struktur-struktur yang dapat mempermudah dan mengefektifkan pekerjaan mereka seperti membentuk berbagai bidang komisi, badan legislasi, badan anggaran dan lain sebagainya. DPRA juga diberikan sumberdaya manusia, anggaran, sarana dan prasarana yang besar dalam melaksanakan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya.. DPRA juga dapat meminta siapapun – Universitas, akademisi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan sebagainya- untuk membantu mereka apabila diperlukan.
4. Kemauan Politik Anggota DPRA
Pembagian kewenangan antara legislatif dan eksekutif seharusnya tidak menjadi hambatan bagi DPRA dalam melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga legislatif Aceh sebagaimana yang telah di amanatkan peraturan perundang-undangan. DPRA sebagai lembaga legislatif Aceh harus dapat mengambil porsi peran yang lebih besar dari pada Gubernur Aceh dalam proses pembentukan qanun Aceh.
Besar atau kecil peran yang akan di mainkan DPRA dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh khususnya dalam proses legislasi Aceh sangat dipengaruhi oleh kemauan politik para anggota DPRA, paling tidak dari para anggota yang berpengaruh di DPRA. Walaupun dalam melakukan hal ini tidaklah mudah bagi DPRA karena kurangnya kapasitas kelembagaan yang dimiliki DPRA dalam menunjang pelaksanaan fungsi legislasinya.
Tetapi jika ada kemauan politik dari DPRA, maka dari sinilah yang harus dimulai, yaitu kemauan memperkuat kapasitas kelembagaan DPRA terutama dalam melaksanakan fungsi legislasi, dan selanjutnya kemauan memanajemen sumberdaya yang sudah ada seperti anggota, struktur, sekretariat DPRA, dan tenaga ahli agar diperdayakan dengan efektif dan efisien.
Realita yang terjadi selama kajian ini adalah DPRA belum punya kemauan untuk menuju kearah itu. Rendahnya tingkat kehadiran anggota DPRA yang hanya 30-70 persen saat proses pembahasan qanun dan rendahnya pemanfaatan sumberdaya lainnya di DPRA membuktikan realita tersebut. Dalam proses rekrutmen tenaga ahli, DPRA tidaklah melihat berdasarkan kualitas calon, tidak berdasarkan analisis jabatan dan desain pekerjaan calon yang dibutuhkan, dan tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan. Melainkan lebih kepada kedekatan calon tenaga ahli dengan anggota DPRA, sehingga calon yang direkrut tidak profesional dengan kemampuan terbatas. Padahal keberadaan staf ahli diharapkan menjadi ujung tombak unsur pendukung fungsi legislasi DPRA, karena banyaknya kekurangan-kekurangan yang ada pada staf sekretariat untuk mendukung fungsi
(6)
legislasi DPRA. Apalah lagi mengharapkan DPRA punya kemauan politik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan intitusi mereka dengan menyiapkan calon-calon peneliti dan perancang peraturan perundang undangan.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil kajian ini menemukan bahwa kinerja DPRA dalam melaksanakan fungsi legislasinya dalam rentang waktu dari tahun 2007-2016 belum optimal. Hal ini dilihat dari produktivitas DPRA yang selalu gagal mencapai target legislasi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam program legislasi Aceh. Lamanya waktu rata-rata cycle time Qanun Aceh tetapi kualitasnya juga masih kurang. Tidak pernah tepat waktu dalam menetapkan program legislasi Aceh, membahas maupun mensahkan Qanun Aceh. DPRA juga tidak bisa memaksimalkan sumberdaya dan anggaran yang telah disediakan negara untuk menunjang pelaksanaan fungsi mereka.
Belum optimalnya kinerja legislasi DPRA dalam kajian ini dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu, kurangnya kapasitas teknis kelembagaan DPRA yang sebenarnya menjadi kunci atas baik atau buruknya kinerja DPRA. Kurangnya idependensi lembaga DPRA dan anggotanya karena ada aktor-aktor lain dalam lingkungan politik Aceh yang mempunyai kewenangan, pengaruh, dan kapasitas yang sama atau lebih besar dari DPRA. Kurangnya kemauan politik yang dimiliki anggota DPRA atau paling tidak anggotanya yang berpengaruh untuk memaksimalkan kewenangan yang telah di amanatkan peraturan perundang-undangan pada lembaga DPRA.
DAFTARPUSTAKA
[1] Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
[2] Syaukani, dkk., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
[3] Tasrin, Krismiyati dkk., Kajian Pengembangan Desentralisasi Asimetris, Bandung: PKP2A I LAN, 2012.
[4] Syamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, Pustaka Jakarta: Utama Grafiti, 1990.
[5] Jaweng, Robert Endi, Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 40, No. 2, hal. 160-176, 2011.
[6] Yarni, Meri, Fungsi legislasi DPRD dalam kerangka otonomi: studi kasus DPRD kota Jambi dan DPRD kabupaten Muaro Jambi, Jurnal Ilmiah Hukum LEGALITY, 2010.
[7] Trimaya, Arrista, Kinerja Fungsi Legislasi DPR RI Masa Bakti 2009-2014, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 10, No. 3, hal. 245-258, 2013.
[8] Firmansyah, Racmad Maulana dkk., Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012, Jakarta: PSHK, 2013.
[9] Ginting, Miko S dkk., Catatan Kinerja Legislasi DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun Politik, Jakarta: PSHK, 2014.
[10] Muazzinah, Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen dalam pelaksanaan fungsi legislasi, Yogyakarta: UGM, 2014.
[11] Heywood, Andrew, Politik edisi ke-4, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
[12] Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
[13] Johnson, John K., The Role of Parliament in Government, Washington, D.C: World Bank Institute, 2005.
[14] Zaenuri, Muchamad, Managemen SDM di Pemerintahan, Yogyakarta: LP3M UMY, 2015.
[15] Wibowo, Manajemen Kinerja, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
[16] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2012.
[17] Tim Peneliti PSHK, Studi Tata Kelola Proses Legislasi, Jakarta: PSHK, 2008.
[18] Nasional Demokratic Institute for International Affairs, Paper #6: Strengthening Legislative Capacity in Legislative-Executive Relations, Washington, D.C: NDI, 2000.
[19] Manan, Bagir, Membedah UUD 1945, Malang: UB Press, 2012.
[20] Sirajuddin dkk., Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang: In-Trans Publishing Malang, 2008.
[21] Nursyamsi, F., Pengawasan Peraturan Daerah pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 2(3), 523-540, 2016.
[22] Undang - Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[23] Undang – Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
[24] Undang – Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[25] Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[26] Qanun Aceh No. 5 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.
[27] Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh No. 1 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Bewan Perwakilan Rakyat Aceh.