Posisi Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Disalurkan Oleh

Dalam menyalurkan kredit, bank wajib menganalisis keadaan dan potensi pasar, baik didalam maupun diluar negeri, sehingga prospek perkembangan usaha debitur dapat diketahui prospek usahanya dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: a. Pihak Yang terlibat Party Para pihak yang terlibat adalah titik sentral dalam pemberian kredit, maka dari itu bank wajib memperhatikan hal ini. b. Tujuan kredit Purpose Tujuan kredit merupakan hal harus diketahui debitur, apakah kredit ditujukan untuk hal yang diperbolehkan oleh undang- undang atau tidak, serta memastikan bahwa kredit benar-benar diperuntukkan untuk hal yang telah diperjanjikan. c. Pembayaran Payment Bank juga wajib memperhatikan pula apakah debitur memiliki ketersediaan dana untuk melunasi kredit. d. Perolehan laba Profitability Dalam pemberian kredit, bank juga wajib untuk memperkirakan dan memastikan potensi keuntungan yang akan didapatkan oleh debitur. e. Perlindungan Protection Dalam memberikan kredit bank wajib untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian dari adanya kemungkinan macetnya kredit yang diberikan oleh bank. Berdasarkan analisa dan penilaian yang dilakukan oleh bank dalam pemberian kredit, maka bank memerlukan suatu jaminan dalam memberikan kredit. hal ini bertujuan untuk melindungi bank sebagai kreditur apabila sewaktu-waktu kreditur melakukan wanprestasi yang menyababkan kerugian bagi bank. Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menjelaskan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan dalam prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Sedangkan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa “mengingat bahwa agunan merupakan salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan”. Berdasarkan hal yang telah disebutkan diatas, maka Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 telah membedakan antara jaminan kredit dengan agunan kredit, dimana jaminan kredit dalam Undang-undang tersebut berbeda dengan collateral yang dimaksud dalam prinsip 5 C’s. Yang dimaksud jaminan dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 adalah “keyakinan atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur dalam melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. 36 Sedangkan agunan merupakan istilah dari konsep jaminan didalam Undang-Undang nomor 14 Tahun 1967 yang berorientasi barang atau jaminan kebendaan collateral orientation. Pemberian agunan sebagai salah satu instrumen penyerahan kredit bukan merupakan faktor utama hal tersebut ditunjukkan dalam penjelasan pasal 8 Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 bahwa: “Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debiturmengembalikan utang-utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.” Berdasarkan penjelasan tersebut, maka agunan dapat dibagi kedalam dua jenis, yakni: 37 1. Agunan utama Agunan utama dalam pemberian kredit merupakan batrang yang dibiayai oleh dana pinjaman dari bank, misalnya dana kredit dari bank digunakan untuk membeli sebuah truk, maka yang menjadi suatu agunan utama adalah truk tersebut 2. Agunan tambahan 36 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 281. 37 Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 283. Agunan tambahan merupakan barang yang tidak dibiayai oleh bank dan tidak terkait dengan kegiatan operasional usaha yang dibiayai oleh bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 96PBI2007 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 722005 Tentang Penilaian Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dapat menjadi agunan tambahan meliputi, surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dalam bursa efek di indonesia atau memiliki peringkat investasi diikat dengan gadai; tanah, gedung dan rumah tinggal diikat dengan hak tanggungan; pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran diatas 20 meter kubik diikat dengan hipotek; serta kendaraan motor dan persediaan diikat dengan fidusia. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka agunan bukanlah hal yang esensial dalam pemberian kredit. Hal tersebut membuat bank dapat memberikan kredit selama jaminan yang berupa keyakinan terhadap kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman telah terpenuhi. Bahkan bank dapat memberikan kredit dengan menggunakan kredit yang seblumnya telah dibiayai sebelumnya dan dimungkinan untuk memberikan pinjaman tanpa agunan tambahan. Ditinjau dari sudut kontraknya, agunan merupakan perjanjian accesoir dari suatu kontrak pemberian kredit. Sedangkan yang menjadi perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang-piutang antara pihak bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Hal tersebut ditujukan untuk memastikan posisi kreditur secara hukum terkait pengembalian piutangnya manakala debitur pailit atau wanprestasi. Hal tersebut sejalan dengan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sedangkan perjanjian yang sah sendiri diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, dimana sayarat sahnya perjanjian meliputi: 38 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al- Qur’an Surat An-Nisa Ayat 29, yang berbunyi: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Qs. An Nisa: 29 Agunan yang diperjanjikan sebagai perjanjian accesoir dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata akan memberikan kepastian hukum bagi bank sebagai kreditur karena perjanjian ini bersifat baku dan memiliki asas eksekutorial, sehingga pihak kreditur dalam hal ini bank akan berkedudukan sebagai kreditur preferen yang pelunasan hutangnya akan diutamakan ketimbang kreditur konkuren 38 R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2003, h. 134. apabila debitur yang menyertakan agunan dalam pemberian kredit mengalaim pailit.

C. Analisa Kontrak Franchise Sebagai Objek Jaminan Dalam Perjanjian

Kredit Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrak franchise bukanlah suatu surat berharga, hal ini berdampak kepada sulitnya mengalihkan penguasaan terhadap kontrak franchise kepada pihak ketiga. Salah satu sebabnya ialah karena kontrak franchise erat kaitannya dengan Hak Kekayaan Atas Intelektual HKI, khususnya merek dan rahasia dagang, sehingga dikhawatirkan apabila kontrak franchise dapat dengan mudah dialihkan akan menggugurkan aspek rahasia dagang yang merupakan bagian dari HAKI dalam kontrak franchise tersebut. Hal tersebut bukan berarti kontrak franchise tidak dapat diuangkan, meskipun tidak semudah surat berharga dalam hal pemindahan tangan, setidaknya HAKI masih berpotensi dijadikan sebagai agunan dalam suatu pemberian kredit. Dimana dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan telah dijelaskan bahwa pemberian suatu kredit yang dilakukan oleh bank tidak diwajibkan menggunakan agunan tambahan, melainkan dapat menggunakan objek yang dibiayai sebagai jaminan selama bank yakin akan itikad dan kemampuan debitur dalam melunasi pinjamannya. Agunan pokok tersebut antara lain dapat berupa barang, proyek ataupun hal tagih yang dibiayai, atau benda lain yang terkait dengan kegiatan operasional yang dibiayai oleh bank. Dalam hal ini pemberian kredit usaha waralaba oleh suatu bank BUMN di Indonesia tidak mensyaratkan adanya agunan tambahan seperti layaknya kredit lainnya. Salah satu faktor yang mendorong hal tersebut menurut pendapat penulis adalah karena bank telah berkeyakinan akan itikad dan kemampuan debitur dalam melunasi hutangnya. Keyakinan tersebut antara lain disebabkan dengan pembiayaan terhadap usaha franchise lebih menjamin dibanding usaha lain karena objek franchise merupakan suatu konsep dan sistem usaha yang telah terbangun dan terbukti berhasil dalam mendapatkan keuntungan berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Franchisor, maka dari itu kredit usaha waralaba seringkali mensyaratkan kontrak franchise dalam pengajuan kredit usaha waralaba, selain sebagai bukti otentik, hal tersebut ditujukan sebagai bahan analisis bagi bank untuk mendapatkan keyakinan penuh atas itikad dan kemampuan debitur dalam mengembalikan kredit sebagai bentuk jaminan. Pemberian kredit tersebut, lebih khususnya dalam hal pemberian kredit investasi, yang menjadi agunan pokok ialah usaha yang dibiayai dalam hal ini usaha franchise yang dibuktikan dengan kontrak Franchisor dengan franchisee. Sedangkan dalam hal pemberian kredit modal kerja, maka yang akan menjadi agunan pokoknya adalah persediaan barang dari usaha waralaba tersebut, dan dalam hal ini kontrak franchise akan menjadi syarat mutlak bagi pemberian kontrak ini. 39 Perkembangan hukum mengenai agunan ini mulai mengalami perkembangan setelah dikeluarkannya Undang-undang No 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang, yang tmemasukan Resi Gudang sebagai bagian dari konstruksi hukum agunan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Peraturan Bank Indonesia atau PBI Peraturan Bank Indonesia Nomor 96PBI2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No 72PBI2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum, pada pasal 46 meliputi : a. Surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dibursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; b. Tanah, gedung dan rumah tinggal yang diikat dengan Hak Tanggungan; c. Pesawat udara atau kapal lau dengan ukuran diatas 20 meter kubik yang diikat dengan Hipotek; d. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara Fidusia; dan atau e. Mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan iikat dengan Hak Tanggungan; f. Resi gudang yang diikat dengan hak Jaminan atas Resi Gudang. 39 www.advokatmuhammadjoni.com diakses pada tanggal 14 Desember 2014. Sangat jelas bahwa hingga saat ini kontrak franchise belum tercantum sebagai salah satu bentuk agunan kredit yang diakui di Indonesia, walaupun disatu sisi seluruh HKI yang diatur dalam undang-undang memuat syarat yang sangat memungkinkan HKI untuk dapat dijadikan sebagai agunan kredit perbankan. Oleh karenanya, menjadikan HKI sebagai bagian dari agunan di Indonesia akan sangat mungkin dilakukan, sebagaimana Resi Gudang yang pada akhirnya dapat dijadikan agunan collateral.