Wilayah Rawan Kekeringan HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1

Pada wilayah yang berpola hujan monsun, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus. Wilayah ini meliputi Kabupaten Tana Toraja, Barru,Pangkajene Kepulauan, Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Selayar dan Kota Makassar. Wilayah berpola hujan ekuatorial memiliki dua puncak curah hujan maksimum yaitu pada bulan Mei atau Juni dan Desember atau Januari. Berdasarkan Gambar 4, pola curah hujan di Sulawesi Selatan didominasi oleh tipe ekuatorial. Wilayah yang memiliki pola hujan ini meliputi Kabupaten Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, Pinrang, Enrekang, Sidenreng Rappang, Wajo, Soppeng, Bone, Kota Pare-Pare dan Kota Palopo. Sementara pola curah hujan lokal hanya terdapat di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Mei. Periode musim dibagi menjadi 3 periode yaitu MH, MK-1 dan MK-2 dengan curah hujan rata-rata yang berbeda. Pada periode MH curah hujan rata-rata sebesar 512 mmbulan dengan kisaran 67-958 mmbulan. Pada periode MK-1, curah hujan rata-rata sebesar 206 mmbulan dengan kisaran 67-544 mmbulan. Pada periode MK-2, curah hujan rata-rata sebesar 56 mmbulan dengan kisaran9-327 mmbulan.

4.2 Wilayah Rawan Kekeringan

Berdasarkan Aspek Klimatologis Tingkat rawan kekeringan berdasarkan aspek klimatologis dilihat dari sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST Nino-3.4. Regresi antara curah hujan di stasiun pengamatan dengan anomali SST di zona nino 3.4 menghasilkan dua zona, signifikan dan tidak signifikan. Wilayah yang signifikan memiliki respon sensitivitas yang berbeda, sehingga diklasifikasi lagi menjadi wilayah yang sensitif dan sangat sensitif. Sementara wilayah yang tidak signifikan merupakan wilayah yang curah hujannya tidak memiliki korelasi terhadap anomali SST. Regresi dilakukan pada tiga periode musim yaitu MH November-Februari, MK-1 Maret-Juni dan MK-2 Juli-Oktober. Gambar 5 merupakan hasil regresi antara anomali curah hujan stasiun Tabo-Tabo terhadap anomali suhu permukaan laut di Nino-3.4. Gradien kemiringan yang agak curam menunjukkan bahwa semakin negatif nilai anomali curah hujan maka semakin positif nilai anomali SST. Artinya, anomali curah hujan mengalami penurunan ketika SST mengalami peningkatan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa anomali curah hujan di Tabo-Tabo memiliki korelasi yang signifikan terhadap anomali SST di Nino-3.4. Umumnya, wilayah yang dipengaruhi oleh perubahan anomali SST di Zona Nino-3.4, anomali curah hujan berbanding terbalik dengan perubahan anomali SST. Anomali SST yang bernilai negatif menandakan SST di Zona Nino-3.4 mendingin, sementara lautan di sekitar Indonesia menghangat sehingga konveksi di wilayah Sulawesi Selatan menguat dan menghasilkan intensitas hujan yang cukup tinggi. Sebaliknya pada musim kemarau, nilai anomali SST di zona Nino-3.4 memanas dibanding sekitarnya, sehingga konveksi menguat di wilayah ini dan menyebabkan curah hujan di Sulawesi Selatan menurun. Namun demikian, tidak semua anomali curah hujan di wilayah Sulawesi Selatan memiliki korelasi yang signifikan terhadap anomali SST. Gambar 7 merupakan contoh wilayah yang anomali curah hujannya tidak memiliki korelasi terhadap anomali SST di Nino-3.4 setiap periode. Garis gradien yang lurus pada Gambar 6 a menandakan bahwa anomali SST tidak berpengaruh terhadap perubahan curah hujan di wilayah tersebut. Gambar 6 b menunjukkan rata-rata kondisi anomali curah hujan yang meningkat diiringi dengan meningkatnya anomali SST di Nino- 3.4. Sementara pada Gambar 6 c, gradien yang sangat landai pada MK-2 yang umumnya cenderung lebih terjal menandakan bahwa pada periode tersebut anomali curah hujan tidak dipengaruhi oleh anomali SST di Nino-3.4. Berdasarkan hasil regresi seluruh stasiun hujan Sulawesi Selatan, pada MH dan MK-1 umumnya memiliki korelasi yang bervariasi yaitu positif dan negatif dengan gradien yang landai. Korelasi negatif menandakan bahwa peningkatan anomali SST akan mengakibatkan penurunan anomali curah hujan begitu pula sebaliknya, sedangkan korelasi posisitif menandakan bahwa peningkatanpenurunan SST mengakibatkan peningkatanpenurunan anomali curah hujan. Sementara pada MK-2 korelasi umumnya bersifat negatif dengan gradien yang lebih terjal. Informasi hasil regresi analasis anomali curah hujan dengan anomali SST di Nino-3.4 di wilayah yang memiliki korelasi yang signifikan selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan prediksi anomali curah hujan a b c Gambar 5 Hubungan antara anomali curah hujan dengan anomali SST di Nino-3.4 stasiun Tabo- Tabo; a MH, b MK-1 dan c MK-2 a b c Gambar 6 Hubungan antara anomali curah hujan dengan anomali SST di Nino-3.4 stasiun Mulyorejo; a MH, b MK-1 dan c MK-2 Tabel 6 Tingkat sensitivitas curah hujan terhadap perubahan anomali SST di Nino-3.4 No Tingkat Sensitivitas Perubahan CH terhadap anomali SST mm o C MH MK-1 MK-2 1 Tidak Signifikan Tidak Berkorelasi Tidak Berkorelasi Tidak Berkorelasi 2 Sensitivitas Rendah 0 -59 0 - 51 0 - 47 3 Sensitivitas Tinggi 59 51 47 Kisaran anomali CH 17 - 146 43 – 74 6 - 146 dengan masukkan data prediksi anomali SST di Nino-3.4 beberapa bulan sebelumnya. Tingkat sensitivitas anomali curah hujan terhadap perubahan anomali SST diperoleh dari analisis statistik uji t. Hasil analisis menggambarkan bahwa terdapat batas tingkat sensitivitas yang berbeda antara periode MH, MK-1 dan MK-2. Pada periode MH Tabel 6, wilayah yang termasuk dalam sensitivitas rendah akan mengalami perubahan curah hujan kurang dari 59 mmbulan untuk setiap perubahan 1 o C anomali SST di zona Nino-3.4, sedangkan untuk wilayah yang sensitivitasnya tinggi akan mengalami perubahan curah hujan lebih dari 59 mmbulan untuk setiap perubahan 1 o C anomali SST di Zona Nino- 3.4. Nilai kisaran anomali curah hujan yang berkorelasi terhadap anomali SST berbeda- beda tiap periode musim. Oleh karena itu, batas sensitivitas dibagi pula berdasarkan periode musim. Batas sensitivitas anomali curah hujan pada MK-2 lebih kecil dibanding periode MH dan MK-1. Walaupun demikian, pada MK-2 yang memiliki curah hujan di bawah normal akan mengalami penurunan yang ekstrim apabila dikurangi dengan nominal yang kecil saja. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada periode musim hujan hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan 81 anomali curah hujan tidak menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada saat anomali SST di Nino-3.4 bernilai positif. Bahkan, di beberapa wilayah menunjukkan adanya peningkatan anomali curah hujan ketika SST di Nino-3.4 mengalami pemanasan. Sementara wilayah yang termasuk kategori sensitif hanya terdapat di sebagian kecil kabupaten Sulawesi Selatan. Wilayah yang tergolong tidak rawan pada periode MH meliputi seluruh Kabupaten Bulukumba, Luwu Utara dan Luwu Timur, serta sebagian besar Kabupaten Selayar, Sinjai, Bantaeng, Jeneponto, Soppeng, Bone, Wajo, Sidrap, Enrekang, Luwu, Tana Toraja dan Pinrang. Wilayah yang agak rawan terhadap kekeringan memiliki luas 9 dari total seluruh Sulawesi Selatan yang meliputi sebagian besar 40 Kota Pare-Pare, Kabupaten Jeneponto, Gowa dan Takalar, Maros, Barru dan sebagian kecil 20 di Kabupaten Bantaeng, Barru, Wajo, Sidrap, Enrekang, Luwu, Soppeng dan Bone. Wilayah yang sangat rawan terhadap kekeringan memiliki persentase luas wilayah sekitar 10 dari total seluruh Sulawesi Selatan. Wilayah ini meliputi 50 Kabupaten Makassar, Maros, Takalar, Pangkajane Kepulauan dan Kota Palopo serta sebagian kecil Kabupaten Selayar, Bantaeng, Jeneponto, Gowa, Barru, Luwu, Tana Toraja dan Pinrang. Tabel 7 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST pada MH Kabupaten Persentase luas wilayah Tidak signifikan Sensitif Sangat sensitif Selayar 81 0 19 Sinjai 77 23 0 Bulukumba 99 1 Bantaeng 65 17 18 Jeneponto 43 45 13 Gowa 22 46 29 Takalar 11 33 56 Makassar 14 0 86 Maros 5 21 74 Pangkep 19 3 78 Barru 52 19 27 Soppeng 94 6 0 Bone 93 7 0 Wajo 87 13 0 Pare 0 100 Sidrap 83 17 0 Enrekang 93 7 0 Luwu 79 4 17 Palopo 4 0 96 Tana Toraja 90 10 Luwu Utara 100 Luwu Timur 100 Pinrang 71 20 4 Gambar 7 Distribusi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di Nino-3.4 pada periode MH Gambar 8 Distribusi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di Nino-3.4 pada periode MK-1 Gambar 9 Distribusi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di Nino-3.4 pada periode MK-2 Tabel 8 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST pada MK-1 Kabupaten Persentase luas wilayah Tidak signifikan Sensitif Sangat sensitif Selayar 0 34 66 Sinjai 100 0 0 Bulukumba 100 Bantaeng 100 0 Jeneponto 88 3 8 Gowa 68 18 14 Takalar 96 2 2 Makassar 100 0 Maros 72 0 28 Pangkep 38 0 62 Barru 90 0 10 Soppeng 90 7 3 Bone 95 0 5 Wajo 0 81 19 Pare 100 0 0 Sidrap 100 0 0 Enrekang 94 6 0 Luwu 93 0 7 Palopo 100 0 0 Tana Toraja 100 Luwu Utara 100 Luwu Timur 100 Pinrang 87 13 0 Hal serupa juga ditemukan pada periode MK-1 Gambar 8 dimana 87 wilayah merupakan wilayah yang termasuk kategori tidak signifikan, 7 wilayah termasuk kategori sensitif dan 6 merupakan wilayah yang sangat sensitif. Berdasarkan sebaran spasial tingkat sensitivitas curah hujan terhadap indikator iklim global, wilayah yang tidak rawan terhadap kekeringan pada periode MK-1 meliputi seluruh Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Sidrap, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur. Kota Makassar, Kota Palopo dan Kota Pare-Pare, serta sebagian besar Kabupaten Jeneponto,Gowa, Takalar, Maros, Barru, Soppeng, Bone, Enrekang, Luwu dan Pinrang. Wilayah yang rawan terhadap kekeringan meliputi Wajo 81, Selayar 34, Gowa 18 Pinrang 13 , dan Jeneponto, Takalar, Soppeng, Enrekang 10 . Wilayah yang sangat rawan terhadap kekeringan meliputi Selayar, Pangkajene Kepulauan 50 dan Gowa, Barru, Wajo, Jeneponto, Takalar, Soppeng, Bone, Luwu 20 . Hasil analisis pada MK-2 menunjukkan hampir seluruh Sulawesi Selatan termasuk dalam wilayah yang curah hujannya dipengaruhi oleh SST di Zona Nino-3.4 Gambar 9. Wilayah yang signifikan mencapai 94 dari jumlah stasiun hujan yang diamati dimana 51 termasuk dalam wilayah sensitif dan 43 termasuk dalam wilayah yang sangat sensitif. Sisanya, 6 merupakan wilayah tidak signifikan. Las 2008 menyatakan bahwa korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Pernyataan tersebut memperkuat hasil analisis yang juga menunjukkan anomali curah hujan pada musim kemarau cenderung lebih dipengaruhi oleh anomali SST di Nino-3.4 dibanding musim hujan. Menurut Hendon 2002, terjadinya korelasi yang lemah antara ENSO dengan curah hujan pada saat musim hujan diduga terkait dengan SST perairan Indonesia yang berubah tanda anomali positif selama peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Tabel 9 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST pada MK-2 Kabupaten Persentase luas wilayah tidak signifikan Sensitif Sangat sensitif Selayar 100 0 0 Sinjai 17 38 45 Bulukumba 0 50 50 Bantaeng 16 72 12 Jeneponto 31 65 3 Gowa 26 72 2 Takalar 5 92 3 Makassar 0 100 0 Maros 0 100 Pangkep 0 100 Barru 0 81 19 Soppeng 0 96 4 Bone 0 49 51 Wajo 0 24 76 Pare 18 82 Sidrap 3 29 68 Enrekang 0 22 78 Luwu 14 31 56 Palopo 66 21 13 Tana Toraja 8 26 65 Luwu Utara 25 75 Luwu Timur 100 Pinrang 11 10 79 Berdasarkan distribusi spasial tingkat sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST di Nino-3.4 diketahui bahwa wilayah yang cenderung selalu sensitif pada setiap periode musim adalah wilayah bagian barat dan selatan Sulawesi Selatan. Wilayah ini meliputi Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Maros Gowa, Takalar, Jeneponto, Barru, Pinrang, Selayar dan Kota Makassar. Apabila pengaruh El-Nino tersebut dikaitkan dengan pola hujan Sulawesi Selatan maka pengaruh El-Nino lebih kuat pada pola hujan monsunal. Hal ini kemungkinan terjadi karena wilayah yang bertipe monsunal, curah hujannya dipengaruhi oleh kondisi suhu permukaan laut di Samudera Pasifik. Sementara fenomena El-Nino dan monsun sendiri berlangsung di Samudera Pasifik. Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena El-Nino mempengaruhi pergerakan angin monsun. Pengaruh anomali iklim global di lahan pertanian dapat mengacaukan pola tanam tanaman padi. Hasil studi Apriyatna et al 2010 menyatakan bahwa awal tanam pada wilayah yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO umumnya lebih lambat dibandingkan dengan wilayah yang tidak dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Keterlambatan diakibatkan pasokan air yang terbatas karena penurunan curah hujan dibawah normal, sehingga awal tanam mengalami pergeseran dari waktu normalnya. Hal ini juga berdampak pada pergeseran waktu tanam berikutnya. Sementara, ketepatan pola tanam dan ketersediaan air sangat mempengaruhi kondisi tanaman pangan. karena ketidaktepatan pola tanam dapat mengakibatkan kekeringan tanaman pertanian. Wilayah yang harus diwaspadai terhadap ancaman kekeringan yaitu wilayah yang memiliki sesitivitas tinggi apabila terjadi peningkatan SST terutama pada periode MK- 2. Pada periode MK-2, curah hujan bulanan relatif lebih rendah dibandingkan dengan MH dan MK-1, sehingga apabila terjadi peningkatan SST di zona nino 3.4 maka curah hujan mengalami penurunan yang signifikan. Kemungkinan terjadinya kekeringan akan semakin besar jika tidak dilakukan tindakan pencegahan.

4.3 Wilayah Rawan Kekeringan

Dokumen yang terkait

Analisis wilayah rawan kekeringan untuk pengembangan sistem usaha pertanian padigogo di Propinsi Sulawesi Tenggara

0 13 97

Identifikasi lahan pertanian rawan kekeringan dengan metode sistem informasi geografis

1 5 116

Analisis wilayah rawan kekeringan untuk pengembangan sistem usaha pertanian padigogo di Propinsi Sulawesi Tenggara

0 3 87

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Lahan Sawah dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Sragen Tahun 2014.

0 5 20

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Lahan Sawah dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Sragen Tahun 2014.

2 7 16

ANALISIS RAWAN KEKERINGAN LAHAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN DENGAN MEMANFAATKAN CITRA Analisis Rawan Kekeringan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Dengan Memanfaatkan Citra Quickbird Dan Sistem Informasi Geografis Kabupaten Bantul Tahun 2012.

0 3 14

ANALISIS RAWAN KEKERINGAN LAHAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN DENGAN MEMANFAATKAN CITRA Analisis Rawan Kekeringan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Dengan Memanfaatkan Citra Quickbird Dan Sistem Informasi Geografis Kabupaten Bantul Tahun 2012.

0 1 18

analisis kekeringan pertanian berdasarkan neraca air harian di lahan tadah hujan.

0 0 17

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKSI PERTANIAN DAN STRATEGI ADAPTASI PADA LAHAN RAWAN KEKERINGAN | Hidayati | JESP: Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan 1217 3448 1 SM

1 2 11

Evaluasi Kemampuan Lahan di Wilayah Rawan Longsor Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar

0 0 73