KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA

49

BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA

TANAMAN PERTANIAN DENGAN KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT Abstrak Kutukebul sering terbawa melalui material tanaman pada kegiatan perdagangan antar wilayah maupun antar negara sehingga menyebabkan penyebarannya semakin luas. Sejak tahun 1980-an, beberapa spesies kutukebul baru masuk ke indonesia dan menyebabkan gangguan pada tanaman pertanian. Penelitian ini bertujuan mempelajari keanekaragaman spesies kutukebul pada tanaman pertanian dengan kisaran ketinggian tempat yang berbeda. Kutukebul dikoleksi dari tanaman hortikultura, pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah di lima wilayah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah 0-500 m di atas permukaan laut dpl, sedang 501-1000 m dpl, dan tinggi 1001-1500 m dpl. Data jumlah spesies dan individu kutukebul dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shannon H’, Simpson 1D, dan Sorenson C. Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi juga terdapat di dataran rendah H’ = 2.14 dan 1D = 5.53. Sebaliknya, dominasi spesies kutukebul terjadi di dataran tinggi D = 0.54 meskipun nilainya relatif tidak berbeda jauh dengan di dataran sedang D = 0.48. Spesies kutukebul yang mendominasi di semua kelompok ketinggian tempat adalah Aleurodicus dispersus dan Aleurodicus dugesii. Analisis dengan indeks Sorenson menunjukkan bahwa terdapat kemiripan wilayah antara dataran rendah dengan sedang sebesar 64 berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan. Dua spesies kutukebul yang menjadi vektor virus penyebab penyakit tanaman adalah Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Musuh alami kutukebul yang ditemukan adalah Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae, Aphelinidae, dan Encyrtidae. A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci merupakan spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia. Kata kunci: ketinggian tempat, indeks keanekaragaman, serangga vektor, musuh alami, spesies invasif Pendahuluan Status serangga sebagai hama dipengaruhi oleh kelimpahan populasi dan gangguan pada tanaman akibat aktivitas makan serangga. Gangguan tersebut dapat mempengaruhi fisiologi tanaman sehingga menyebabkan terjadinya 50 kehilangan hasil tanaman, baik secara kualitas maupun kuantitas Gullan dan Cranston 2000. Kondisi cuaca saat ini yang semakin sulit diprediksi menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam dan pergeseran musim tanam. Hal ini mempengaruhi permasalahan hama di pertanaman. Suhu lingkungan yang relatif mengalami peningkatan saat ini dapat mempengaruhi populasi kutukebul di pertanaman. Siklus hidup kutukebul cenderung menjadi semakin pendek seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, sehingga dapat menghasilkan banyak generasi dalam satu tahun. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa siklus hidup kutukebul Bemisia tabaci berlangsung lebih cepat pada suhu 29°C dibandingkan pada suhu 23 dan 26°C Purbosari 2008. Dalam hal ini, kenaikan suhu memiliki pengaruh yang nyata terhadap siklus hidup B. tabaci. Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag. Pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inang sering pula dibedakan menjadi kelompok serangga spesialis mencakup serangga monofag dan oligofag dan generalis polifag. Secara umum, serangga dari subordo Sternorrhyncha dan Auchenorrhyncha memiliki kisaran inang yang cenderung bersifat spesialis, meskipun ada beberapa spesies yang generalis. Sebagai contoh, sebagian besar kutu daun bersifat spesialis dan hanya 6 yang bersifat generalis. Begitu juga halnya dengan wereng-werengan yang sebagian besar bersifat spesialis Schoonhoven et al. 1998. Serangga pradewasa kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator yang secara spesifik memakan mangsa yang memiliki tubuh lunak yang umumnya melekat pada daun. Serangga predator tersebut di antaranya larva dan imago kumbang Coccinellidae Coleoptera, larva Chrysopidae Neuroptera, Dermaptera, beberapa jenis larva lalat Syrphidae, Cecidomyiidae, dan Chamaemyiidae. Imago kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator yang bersayap, seperti lalat Dolichopodidae dan Asilidae Watson 2007. Musuh alami yang penting bagi kutukebul adalah serangga parasitoid, terutama dari famili Aphelinidae, di antaranya dari genus Eretmocerus, Encarsia, dan Ablerus Begum et al. 2011. Selain itu, kutukebul juga sering terserang oleh cendawan patogen, di 51 antaranya Aschersonia aleyrodis, Paecilomyces fumosoroseus, dan Verticillium lecanii Watson 2007. Salah satu aspek untuk melihat adanya perbedaan suhu lingkungan adalah dari ketinggian tempat. Pada dataran rendah, suhu lingkungan relatif lebih tinggi daripada dataran tinggi. Salah satu representasi dari kondisi tersebut dapat dilihat dari keanekaragaman spesies organisme yang menghuni ketinggian tempat tertentu. Salah satu organisme yang menjadi objek penelitian ini adalah kutukebul. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman spesies kutukebul pada tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman kutukebul berdasarkan ketinggian tempat, sehingga dapat menjadi pengetahuan dasar dalam upaya pengendalian hama di pertanaman. Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan Pengumpulan sampel kutukebul dilakukan di lima wilayah di Jawa Barat, di antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cirebon, dan Garut sejak Juni 2011 sampai dengan April 2012. Tempat pengambilan sampel disajikan dalam bentuk peta dengan menggunakan program Quantum GIS 1.7.3-Wroclaw QGIS 2012 Gambar 4.1. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS global positioning system dari Pocket PC Mio P550. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah 0-500 m dpl, dataran sedang 501-1000 m dpl, dan dataran tinggi 1001-1500 m dpl. Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman hortikultura sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias, pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung purposive sampling. Pupa atau eksuvia kutukebul yang terdapat pada daun tanaman diambil, kemudian ditutupi dengan kertas tisu, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi label. Selanjutnya 52 sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Sebelum diidentifikasi, eksuvia kutukebul dibuat menjadi preparat mikroskop dengan menggunakan metode pada Watson 2007 yang dimodifikasi. Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga kelompok ketinggian dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon, Simpson dan Sorenson. Indeks Shannon digunakan untuk melihat kekayaan spesies species richness pada suatu wilayah; indeks Simpson digunakan untuk mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan dominasi spesies antar wilayah; sedangkan indeks Sorenson digunakan untuk mengetahui kemiripan wilayah berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh Magurran 1988. Rumus dari indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson adalah sebagai berikut: 1. Indeks Shannon H’ = - Σ p i ln p i , dimana p i = n i N 2. Indeks Simpson D = Σ Indeks keanekaragaman Simpson = 1 −D Simpson’s reciprocal index = 1D 3. Indeks Sorenson: C = 2ja+b n i n i -1 N N-1 53 Keterangan: p i = proporsi individu spesies ke-i n i = jumlah individu spesies ke-i N = total jumlah individu a = jumlah individu pada wilayah A b = jumlah individu pada wilayah B j = jumlah individu yang terendah yang terdapat pada perbandingan antara wilayah A dan B Identifikasi Musuh Alami kutukebul Musuh alami kutukebul yang ditemukan di lapangan di identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi, di antaranya Grissell dan Schauff 1990, Goulet dan Huber 1993, dan informasi dari media elektronik internet. Hasil Penelitian Analisis Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan hasil pengambilan sampel kutukebul pada kisaran ketinggian tempat yang berbeda, diperoleh sebanyak 38 spesies kutukebul dari berbagai jenis tanaman pertanian dan sebanyak 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi Lampiran 3. Jumlah spesies kutukebul yang terbanyak ditemukan pada dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies, sedangkan pada dataran tinggi hanya ditemukan 9 spesies kutukebul Tabel 4.1. Sebanyak 14 spesies di antaranya relatif sering ditemukan, sedangkan 24 spesies lain umumnya hanya ditemukan sebanyak 1-2 kali pada saat pengambilan sampel. Dari 14 spesies kutukebul tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada tanaman sayuran Lampiran 4. Sebanyak 4 spesies di antaranya merupakan spesies kutukebul yang telah diketahui sering menimbulkan permasalahan di pertanaman, yaitu A. dispersus, A. dugesii, B. tabaci, dan T. vaporariorum. Jumlah individu A. dispersus dan A. dugesii ditemukan cukup banyak dan mendominasi di semua kisaran ketinggian tempat. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan dan memiliki kisaran tanaman inang yang luas. A. dispersus dapat ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman pangan; sedangkan A. dugesii ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias. 54 Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis dengan indeks Shannon dan Simpson No. Spesies kutukebul Kisaran ketinggian m dpl Dataran rendah −500 Dataran sedang 501 −1000 Dataran tinggi 1001-1500 Subfamili Aleurodicinae: 1. Aleuroctarthrus destructor 24 2. Aleurodicus dispersus 1803 1983 3994 3. Aleurodicus dugesii 2856 4490 11739 4. Paraleyrodes minei 109 18 Subfamili Aleyrodinae: 5. Aleurocanthus citriperdus 547 71 118 6. Aleurocanthus spiniferus 85 31 7. Aleurocanthus woglumi 24 8. Aleuroclava aucubae 4 9. Aleuroclava canangae 18 10. Aleuroclava jasmini 178 11. Aleuroclava psidii 14 12. Aleurolobus marlatti 25 13. Aleurotrachelus sp.1 52 14. Aleurotrachelus sp.2 2 15. Aleurotrachelus sp.3 10 16. Asiothrixus antidesmae 625 17. Bemisia tabaci 78 45 18. Cockerelliella psidii 62 31 7 19. Cockerelliella sp. 1 60 20. Cockerelliella sp. 2 31 11 21. Dialeurodes kirkaldyi 1 22. Dialeurodes sp. 8 47 23. Dialeuropora decempuncta 354 187 32 24. Lipaleyrodes sp. 325 25. Minutaleyrodes minuta 19 26. Orchamoplatus mammaeferus 171 67 27. Rusostigma sp. 1234 79 194 28. Trialeurodes vaporariorum 104 736 29. Spesies 1 1 30. Spesies 2 5 31. Spesies 3 2 32. Spesies 4 5 33. Spesies 5 2 34. Spesies 6 54 35. Spesies 7 3 36. Spesies 8 17 37. Spesies 9 4 38. Spesies 10 10 7 Jumlah individu N 8786 7109 16918 Jumlah spesies S 32 17 9 Indeks Shannon H’ 2.14 1.05 0.87 Indeks Simpson D 0.18 0.48 0.54 Indeks keanekaragaman Simpson 1-D 0.82 0.52 0.46 Simpson’s reciprocal index 1D 5.53 2.09 1.85 55 Hasil analisis keanekaragaman dengan menggunakan indeks Shannon H’ menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di daerah dataran rendah dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 2.14 Tabel 4.1. Hasil yang diperoleh pada indeks Shannon sejalan dengan hasil analisis dengan menggunakan indeks Simpson Tabel 4.1. Keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di dataran rendah dengan nilai indeks sebesar 0.82 dan nilai 1D = 5.53. Nilai indeks keanekaragaman Simpson berbanding terbalik dengan nilai indeks dominasinya, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman spesies di suatu wilayah, maka dominasi spesies akan semakin rendah Magurran 1988. Dalam hal ini, dominasi spesies terjadi di dataran tinggi dengan nilai indeks sebesar 0.54. Nilai indeks dominasi pada dataran tinggi sebenarnya relatif tidak berbeda jauh dengan nilai indeks pada dataran sedang D = 0.48. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada kedua kisaran ketinggian tersebut, jumlah individu kutukebul yang ditemukan didominasi oleh spesies A. dispersus dan A. dugesii. Berdasarkan hasil analisis kemiripan wilayah dengan menggunakan indeks Sorenson, nilai indeks tertinggi terdapat pada perbandingan antara dataran rendah dengan dataran sedang yaitu sebesar 0.64 Tabel 4.2. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemiripan wilayah sebesar 64 antara dataran rendah dengan dataran sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis tanaman yang dominan yang terdapat pada masing-masing ketinggian tempat Idris et al. 2002. Pada dataran tinggi, komoditas tanaman umumnya didominasi oleh tanaman sayuran, khususnya jenis sayuran dataran tinggi, seperti kubis-kubisan brokoli dan kembang kol, wortel, bawang daun, dan sebagainya yang sebagian besar bukan merupakan tanaman inang dari kutukebul. Pada dataran tinggi, kutukebul khususnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dari famili Solanaceae, seperti tomat, cabai, dan terung. Tanaman-tanaman tersebut dapat pula ditemukan pada dataran rendah maupun dataran sedang. Spesies-spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman sayuran dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada dataran rendah banyak ditemukan tanaman buah-buahan, baik berupa tanaman pekarangan rumah, tanaman pinggir, maupun dalam suatu areal pertanaman, sebagai contoh jambu biji, jambu bol, lengkeng, jeruk, dan 56 sebagainya. Hal serupa juga dapat dijumpai di dataran sedang. Pada dataran rendah dan sedang dapat dijumpai pula beberapa jenis komoditas sayuran, seperti tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. Hal inilah yang mendukung ditemukannya spesies kutukebul yang lebih banyak pada dataran rendah dan sedang daripada dataran tinggi. Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan indeks Sorenson Dataran rendah Dataran sedang Dataran tinggi Dataran rendah − 0.64 0.40 Dataran sedang − 0.56 Dataran tinggi − Keterangan: Dataran rendah 0 −500 m dpl, dataran sedang 500−1000 m dpl, dan dataran tinggi 1001-1500 m dpl. Tanaman Inang Kutukebul Spesies kutukebul banyak ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan, yaitu sebanyak 31 spesies Gambar 4.2. Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima jenis komoditas tanaman pertanian 10 20 30 40 sayuran buah-buahan tanaman hias pangan dan palawija obat dan rempah Ju m la h s p es ie s k u tu k eb u l Komoditas tanaman inang 57 Musuh Alami Kutukebul Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lapangan maupun pengamatan di laboratorium, terdapat musuh alami yang ditemukan berasosiasi dengan beberapa spesies kutukebul, di antaranya termasuk ke dalam kelompok serangga predator dan parasitoid. Serangga predator yang ditemukan antara lain kumbang Menochilus sexmaculatus, Harmonia axyridis, Coccinella transversalis, Verania lineata Coleoptera: Coccinellidae, belalang sembah Hierodula ovata Mantodea: Mantidae, dan lalat Acletoxenus indicus Diptera: Drosophilidae Gambar 4.3. Gambar 4.3 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni kutukebul di lapangan Selain serangga predator, ditemukan pula parasitoid yang memarasit kutukebul yang merupakan famili Aphelinidae Eretmocerus dan Encyrtidae Gambar 4.4. Gambar 4.4 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit kutukebul 58 Pembahasan Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat Keanekaragaman spesies kutukebul pada dataran rendah lebih tinggi daripada dataran tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Idris et al. 2002 yang menyatakan bahwa keanekaragaman serangga pada ketinggian 1100 m dpl lebih rendah daripada keanekaragaman serangga pada dataran kurang dari 1000 m dpl. Indeks Shannon menilai keanekaragaman spesies berdasarkan kekayaan spesies species richness, sehingga hasilnya secara langsung berkaitan dengan jumlah spesies kutukebul yang yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian tempat. Kekayaan spesies pada tumbuhan biasanya akan mengalami peningkatan dari dataran tinggi ke dataran rendah Magurran 1998. Berdasarkan analisis dengan menggunakan indeks Sorenson, diperoleh nilai terendah pada perbandingan antara dataran rendah dengan dataran tinggi. Faktor yang membedakan antara dataran rendah dengan dataran tinggi di antaranya adalah adanya perbedaan dalam hal suhu lingkungan, presipitasi, tekanan gas atmosfer, kecepatan angin, radiasi ultraviolet UV, dan sebagainya yang secara langsung dapat mempengaruhi keberadaan serangga pada masing-masing tempat tersebut Hodkinson 2005. Serangga sangat dipengaruhi oleh iklim mikro dari tempat hidupnya, dalam hal ini vegetasi tanaman. Suhu lingkungan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan ketinggian tempat. Secara umum hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan serangga di dataran tinggi berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan dataran rendah. Selain suhu lingkungan yang relatif rendah, kadar oksigen pada dataran tinggi juga lebih rendah daripada dataran rendah. Serangga-serangga yang ada di dataran tinggi harus meningkatkan kapasitas sistem pernafasannya melalui trakea. Dalam hal ini, terjadi kompensasi terhadap kondisi kadar oksigen yang rendah sehingga akan mempengaruhi alokasi energi yang digunakan untuk pertumbuhan Hodkinson 2005. 59 Gangguan Kutukebul pada Tanaman Gangguan kutukebul secara langsung pada tanaman umumnya sering disebabkan oleh kutukebul dari subfamli Aleurodicinae, di antaranya Aleurodicus dispersus dan Aleurodicus dugesii. Kedua spesies tersebut umumnya sering ditemukan dalam koloni yang dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun. Akibat aktivitas makan dari serangga tersebut, biasanya tanaman dapat kehilangan cairan nutrisi yang cukup berarti sehingga tanaman menjadi layu dan mengering. Selain itu, embun madu yang dihasilkan kutukebul dapat merangsang pertumbuhan cendawan jelaga yang dapat menutupi permukaan atas daun. Cendawan jelaga tersebut dapat mengganggu proses fotosintesis dan respirasi, serta menurunkan produksi tanaman Martin 2008. Spesies kutukebul lainnya, B. tabaci dan T. vaporariorum, dapat menyebabkan gangguan secara tidak langsung pada tanaman. Kedua spesies tersebut secara spesifik dapat ditemukan pada tanaman sayuran, di antaranya tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. B. tabaci dan T. vaporariorum bersifat spesifik dalam hal ketinggian tempat hidupnya. B. tabaci umumnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum dapat ditemukan pada tanaman sayuran di dataran sedang hingga tinggi. B. tabaci dan T. vaporariorum dapat berperan sebagai serangga vektor virus penyebab penyakit tanaman. Lapidot dan Polston 2010 menyatakan bahwa B. tabaci dapat menjadi vektor virus di antaranya genus Begomovirus dan Crinivirus, sedangkan T. vaporariorum di antaranya dapat menjadi vektor dari Crinivirus. Pada dataran sedang dapat ditemukan individu atau populasi B. tabaci dan T. vaporariorum pada satu tanaman maupun pertanaman yang sama. Adanya kekhususan dalam hal ketinggian tempat hidup ini kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut. Kutukebul dan Tanaman Inangnya Berdasarkan hasil pengambilan sampel, kutukebul lebih banyak ditemukan pada tanaman buah-buahan daripada kelompok tanaman lainnya. Hal ini disebabkan tanaman buah-buahan memiliki ukuran yang besar dan kompleks 60 sehingga dapat menyediakan ruang hidup yang luas bagi berbagai jenis organisme, termasuk kutukebul. Lawton 1983 menyatakan bahwa terdapat peningkatan jumlah spesies herbivora seiring dengan peningkatan ukuran dan kompleksitas tanaman. Selain itu, struktur tanaman yang kompleks dapat melindungi serangga dari musuh alaminya. Sebagian besar tanaman buah-buahan termasuk ke dalam tanaman dikotil. Dubey dan Ko 2006 melaporkan terdapat sebanyak 136 spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman dikotil, sedangkan sebanyak 17 spesies ditemukan pada tanaman monokotil. Kelompok tanaman buah-buahan juga umumnya merupakan jenis tanaman tahunan yang dapat menyediakan sumber makanan dan tempat hidup yang lebih lama bagi kutukebul. Oleh karena itu, kutukebul lebih banyak ditemukan pada tanaman berkayu pepohonan daripada tanaman sayuran, tanaman hias, dan tanaman-tanaman lain yang memiliki struktur yang sederhana. Tanaman yang memiliki struktur sederhana, seperti tanaman hias dan sayuran biasanya dihuni oleh 1 −β spesies kutukebul. Tanaman dengan struktur kompleks, seperti pohon buah-buahan atau jenis pohon berkayu lain biasanya merupakan kelompok tanaman tahunan yang memiliki struktur kompleks sehingga sering ditemukan 3 −4 spesies kutukebul, baik dalam satu pohon maupun satu daun. Adanya beberapa spesies kutukebul yang memanfaatkan tanaman yang sama sebagai tempat hidupnya menyebabkan terjadinya populasi campuran pada satu tanaman tersebut. Sebagai contoh, populasi kutukebul campuran yang terjadi pada tanaman jeruk, yaitu antara A. citriperdus dengan P. minei atau antara P. minei dengan A. dispersus, dan sebagainya. Kutukebul dan Musuh Alaminya Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutukebul merupakan salah satu kelompok serangga yang dapat menghasilkan embun madu. Embun madu terdiri dari komponen-komponen gula seperti fruktosa, glukosa, sukrosa, trehalose dan melezitose, serta beberapa senyawa asam amino. Pada dasarnya sekresi embun madu ditujukan bagi semut yang berada di sekitar tanaman untuk melindungi serangga dari musuh alaminya. Namun kadang-kadang embun madu tidak mengandung protein yang dibutuhkan oleh semut untuk makanannya terutama 61 bagi keturunannya sehingga pada akhirnya semut akan memangsa kutu tanaman penghasil embun madu tersebut. Selain itu, embun madu juga dapat menjadi salah satu sumber makanan bagi serangga lain, di antaranya serangga-serangga predator seperti Chrysopidae, Coccinellidae, Cantharidae, Tachinidae, Syrphidae, dan berbagai jenis Hymenoptera parasitoid Schoonhoven et al. 1998. Pernyataan- pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan tritrofik antara tanaman inang, serangga herbivora, dan musuh alaminya. Hal inilah yang dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan populasi kutukebul di lapangan. Coccinellidae merupakan serangga predator yang bersifat generalis dalam memilih mangsanya. Sebagai contoh, kumbang M. sexmaculatus yang pada kenyataannya memiliki preferensi yang lebih tinggi terhadap kutu daun daripada kutukebul. Preferensi makan M. sexmaculatus terhadap kutu daun adalah sebanyak 29.36 individudaun, diikuti oleh kutukebul 20.16 individudaun, dan trips 17.08 individudaun Mari dan Lohar 2012. Meskipun demikian, peranan kumbang Coccinellidae dinilai cukup penting sebagai agens pengendali hayati. Hal ini dikarenakan larva dan imago Coccinellidae berperan sebagai predator serangga, khususnya kelompok kutu tanaman. Selain Coccinellidae, ditemukan pula belalang sembah H. ovata di sekitar koloni kutukebul. Belalang sembah terutama memangsa imago kutukebul yang berterbangan disekitar koloninya. Ditemukan pula lalat A. indicus yang termasuk ke dalam famili Drosophilidae yang merupakan lalat berukuran kecil yang berwarna kekuningan dan memiliki mata berwarna merah. Beberapa spesies larva lalat Drosophilidae memakan bahan organik seperti buah-buahan yang membusuk dan cendawan. Ada pula yang menjadi pengorok daun, dan beberapa spesies lainnya menjadi predator serangga famili Coccidae kutu tempurung dan Aleyrodidae kutukebul. A. indicus terutama memangsa kutukebul Trialeurodes ricini, Siphoninus phyllireae, dan Aleurocanthus spiniferus Ananthakrishnan 2004. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yu et al. 2012 yang menyatakan bahwa larva A. indicus diketahui merupakan predator dari kutukebul A. dispersus dan Aleurocanthus sp. 62 Selain serangga predator, parasitoid kutukebul juga berperan penting dalam mengendalikan populasi kutukebul di lapangan. Parasitoid kutukebul yang sering ditemukan adalah Eretmocerus Aphelinidae. Kutukebul ini memang sering digunakan untuk mengendalikan kutukebul di tanaman pertanian Begum et al. 2011. Namun keberadaan populasi parasitoid di lapangan dapat dipengaruhi oleh adanya penggunaan insektisida yang intensif Gullan dan Cranston 2000. Spesies Kutukebul Invasif Kutukebul dapat berpindah tempat, baik secara aktif maupun pasif. Perpindahan secara aktif dilakukan dengan cara terbang dari satu tanaman ke tanaman lain atau dari satu pertanaman ke pertanaman lainnya. Saat ini perpindahan tempat kutukebul lebih sering terjadi secara pasif melalui perpindahan material tanaman yang terjadi pada kegiatan perdagangan produk- produk pertanian secara internasional sehingga penyebarannya semakin meluas. Pada akhirnya kutukebul dapat menyebabkan permasalahan pada pertanaman di tempat yang baru. Hal ini biasanya terjadi pada spesies-spesies kutukebul yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan, terutama iklim, di tempat yang baru yang kemungkinan mirip dengan kondisi di daerah asalnya. A. dipersus dan A. dugesii merupakan contoh spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia. Kedua spesies tersebut merupakan serangga asli dari kawasan Amerika Selatan, Amerika bagian tengah, dan kepulauan Karibia Gullan dan Martin 2003. Keberadaan A. dispersus di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1991 Kajita et al. 1991. A. dugesii juga merupakan spesies kutukebul yang relatif baru diketahui di Indonesia. Spesies ini pertama kali diketahui di Bogor pada tahun 2007 Hidayat dan Watson 2008. Hingga saat ini, A. dugesii sudah menyebar luas di beberapa daerah di Jawa Barat. Selain A. dugesii, spesies kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara adalah Paraleyrodes minei Iaccarino. Spesies ini baru diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 adalah P. minei Nurulalia et al. 2012. Spesies ini memiliki kisaran tanaman inang yang relatif spesifik. Berdasarkan hasil pengambilan sampel, P. minei ditemukan pada tanaman jeruk, alpukat, dan jambu air. P. minei merupakan serangga asli di kawasan Amerika bagian tengah yang 63 menyerang tanaman jeruk dan menyebabkan kerugian secara ekonomi. Selanjutnya kutukebul ini dilaporkan menjadi spesies invasif di pertanaman jeruk di Syria CDFA 1991. Pada tahun 2009, IITA juga menetapkan status kutukebul ini sebagai spesies invasif di Afrika. Menurut Martin 2011, komunikasi pribadi, saat ini P. minei menyebar dengan cepat di berbagai wilayah di Asia, di antaranya Hongkong dan Malaysia. Menyikapi hal tersebut, diperlukan kewaspadaan dan upaya identifikasi yang akurat untuk mencegah masuknya spesies-spesies serangga baru ke Indonesia. Seringkali data-data yang ada di pihak karantina tidak diperbaharui secara terjadwal, sehingga spesies-spesies baru yang masuk ke suatu negara dapat luput dari pengawasan. Sebagai contoh, kutukebul Bemisia argentifolii tidak termasuk ke dalam daftar hama karantina sehingga dapat lolos dalam proses karantina, sedangkan spesies ini sebenarnya adalah Bemisia tabaci biotipe-B yang dapat menularkan penyakit tanaman Watson 2007. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai deskripsi dan identifikasi yang akurat sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya spesies-spesies hama baru ke suatu negara Martin 2008. Kesimpulan Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah yang berbanding lurus dengan indeks keanekaragamannya. Keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi terdapat pada dataran rendah, sebaliknya dominasi spesies kutukebul terjadi pada dataran tinggi. Spesies kutukebul yang mendominasi adalah A. dispersus dan A. dugesii yang dapat ditemukan pada semua kisaran ketinggian tempat. Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan, ternyata wilayah pengambilan sampel pada dataran rendah mirip dengan dataran sedang sebesar 64. Pada tanaman buah-buahan yang memiliki struktur tanaman yang kompleks ditemukan lebih banyak spesies kutukebul dibandingkan dengan tanaman yang memiliki struktur sederhana. Musuh alami kutukebul yang ditemukan diantaranya berasal dari famili Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae, Aphelinidae, dan Encyrtidae. 64 Daftar Pustaka Ananthakrishnan TN. 2004. General Applied Entomology. 2 nd ed. New Delhi IN: Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd. Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids Hymenoptera: Aphelinidae od whiteflies Homoptera: Aleyrodidae from India. Biology and Medicine 32:222-231. [CDFA] California Department of Food and Agriculture. 1991. California Pest Plant and Disease Report [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 101-2:1-29. Tersedia pada: http:www.cdfa.ca.govplantppdPDFCPPDR_1991_10_1- 2.pdf. Dubey AK, Ko CC. 2006. Toward an understanding of host plant associations of whiteflies Hemiptera: Aleyrodidae: an evolutionary approach. Formosan Entomol. [internet], [diunduh 2012 Ags 29]; 26: 197-201. Tersedia pada: http:140.112.100.38chinesepublicationjournalpdft260226-2-09.pdf. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identification Guide to Families. Canada: Canada Communication Group. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. 2 nd Ed. London UK: Blackwell Science Ltd. Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha Jumping Plant Lice, Whiteflies, Aphids, and Scale Insects. Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of Insect. US: Elsevier Inc. Grissell EE, Schauff ME. 1990. A Handbook of The Families of Nearctic Chalcidoidea Hymenoptera. Washington US: The Entomological Society of Washington. Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus dugesii Cockerell Hemiptera: Aleyrodidae, a Potential Pest Newly Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia PEI, Cabang Bogor: Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008. Hodkinson ID. 2005. Terrestrial insects along elevation gradients: species and community responses to altitude. Biol. Rev. 80:489-513. Doi: .... Idris AB, Nor SM, Rohaida R. 2002. Study on diversity of insect communities at different altitudes of Gunung Nuang in Selangor, Malaysia. J of Biological Sciences [internet], [diunduh 2012 Jul 10]; 27:505-507. Tersedia pada: http:docsdrive.compdfsansinetjbs2002505-507.pdf. Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly Aleurodicus dispersus Russell Homoptera: Aleyrodidae from Indonesia, with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397- 400. Tersedia pada: http:ci.nii.ac.jpels110001105211.pdf?id=ART0001 268496type=pdflang=enhost=ciniiorder_no=ppv_type=0lang_s w=no=1308798020cp= Lapidot M, Polston JE. 2010. Biology and Epidemiology of Bemisia-Vectored Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and Management of a Global Pest. New York US: Springer. hlm 227-231. 65 Lawton JH. 1983. Plant architecture and the diversity of phytophagous insects. Annual Review of Entomology 28:23-39. DOI: 10.1146annurev.en. 28.010183.000323. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey US: Princeton University Press. Mari JM, Lohar MK. 2012. Interrelationship between zigzag beetle Menochilus sexmaculatus with sucking insect pests in chili ecosystem. Minia International Conference for Agriculture and Irrigation in the Nile Basin Countries, 26th -29th March 2012, El-Minia, Egypt. Martin JH. 2008. A revision of Aleurodicus Douglas Sternorrhyncha, Aleyrodidae, with two new genera proposed for palaeotropical natives and an identification guide to world genera of Aleurodicinae. Zootaxa 1835:1- 100. Martin JH. 2011. Komunikasi Pribadi [15 Desember 2011]. Nurulalia L, Hidayat P, Buchori D. 2012. Hama baru kutukebul Paraleyrodes minei Iaccarino Hemiptera: Aleyrodidae di Jawa. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia PEI; 2012 Jan 24-25; Bogor. Bogor ID: PEI. hlm 110. Purbosari S. 2008. Neraca Kehidupan Kutukebul Bemisia tabaci Genn. Hemiptera: Aleyrodidae pada Suhu 23, Ruang, dan 29°C [skripsi]. Bogor ID: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [QGIS] Quantum Geographic Information Systems. 2012. Versi: 1.7.3-Wroclaw. Tersedia pada: http:qgis.org. Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. London UK: Chapman and Hall. Watson GW. 2007. Identification of whiteflies Hemiptera: Aleyrodidae. APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia, 2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya. Yu G, Wu L, Lu J, Chen H. 2012. Discovery of a predaceous drosophilid Acletoxenus indicus Malloch in South China, with descriptions of the taxonomic, ecological and molecular characters Diptera: Drosophilidae [abstrak]. Journal of Natural History [internet]; 465-6. Tersedia pada: http:www.tandfonline.comdoiabs10.108000222933.2011.639466. 66 67

BAB V PEMBAHASAN UMUM