Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi)

ANALISIS TATANIAGA BUAH JERNANG ROTAN (STUDI
KASUS: HUTAN DESA LAMBAN SIGATAL, KECAMATAN
PAUH, KABUPATEN SOROLANGUN, PROVINSI JAMBI)

BAGAS WICAKSONO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga
Buah Jernang Rotan (Studi Kasus : Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh,
Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi) benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Bagas Wicaksono
NIM H34100051

ABSTRAK
BAGAS WICAKSONO. Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus:
Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi
Jambi) Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI.
Jernang rotan merupakan buah rotan yang berasal dari genus rotan
Daemonorops. Daerah penghasil buah jernang rotan di provinsi Jambi adalah
Desa Lamban Sigatal Kecamatan Pauh Kabuapaten Sorolangun. Pencari jernang
berperan dalam memanen dan mengumpulkan buah jernang yang terdapat di
hutan desa Lamban Sigatal dan kawasan sekitar. Perolehan hasil panen akan dijual
kepada pedagang pengumpul (tauke), mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga
kabupaten. Permasalahan yang dihadapi dalam rantai tataniaga buah jernang rotan
adalah ketersediaan buah yang terbatas sehingga membuat fluktuasi harga yang
cukup tinggi. Hal ini tidak terlepas dari deforestasi hutan yang disebabkan
konversi lahan dan illegal loging. Harga jernang rotan yang tinggi tidak dirasakan

manfaatnya oleh pencari, namun sebaliknya dimana umumnya yang merasakan
penerimaan lebih besar adalah para pedagang. Penelitiaan ini bertujuan untuk
menganalisis tingkat efisiensi tataniaga buah jernang rotan berdasarkan analisis
margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Kata kunci: deforestasi hutan, efisiensi rantai tataniaga, jernang, farmer’s share

ABSTRACT
BAGAS WICAKSONO .Analysis of business administration Jernang Rattan Fruit
(Case Study: Lamban Sigatal Forest Village, District Pauh, Sorolangun District,
Province Jambi) Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI.
Jernang rattan cane is a fruit which comes from the rattan Daemonorops
genus. Jernang rattan fruit producing area in the Jambi province is Lamban Sigtal
village, Pauh district, Sorolangun regency. Jernang Searcher has role in harvesting
and collecting fruit jernang contained in Lamban Sigatal village forest and
surrounding area. The result of the crop will be sold to a collector (tauke), start
from the village level, district to regency. The Problem faced in trading system
chain of jernang rattan fruit is fruit availability which limited so make a high price
fluctuations. It has relation with deforestation which caused by illegal logging and
land conversion. High price of Jernang rattan does not give the benefit for
searcher, but instead where the general sense is a greater acceptance of the traders.

The purpose of this study is to analyze the efficiency trading system level of
jernang rattan fruit based on margin trading system analysis, the farmer's share
and the ratio of benefit to cost.
Keywords: deforestation, efficiency of trading system chain, farmer's share,
jernang

ANALISIS TATANIAGA BUAH JERNANG ROTAN (STUDI
KASUS: HUTAN DESA LAMBAN SIGATAL, KECAMATAN
PAUH, KABUPATEN SOROLANGUN, PROVINSI JAMBI)

BAGAS WICAKSONO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa
Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi
Jambi)
Nama
: Bagas Wicaksono
NIM
: H34100051

Disetujui oleh

Dr Ir Andriyono Kilat Adhi
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr Ir Dwi Rachmina. MSi

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah
pemasaran, dengan judul Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus:
Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolongun, Provinsi
Jambi).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Andriyono Kilat Adhi
selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis juga ditujukkan kepada
International Centre For Research in Agroforestry (ICRAF) atas kesempatan
yang diberikan berupa bantuan dana penelitian sehingga penelitian ini dapat
terlaksana. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr.
Suyanto dan Ibu Dr. Ratna Winandi Asmarantaka atas arahan dan bimbingannya.
Disamping itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak H. Luqman
Hakim selaku Kepada Desa Lamban Sigatal, Hamdi serta Yayasan Gita Buana
yang telah memberikan bantuan selama penulis berada di lokasi penelitian.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh
keluarga dan teman-teman Agribisnis 47 (Suhartini, Fairus Maulida, Novita
Permatasari, Andina Aditya, Resti Yanuar Akhir, Luqman addinirwan, Ivan Noor
Setyo, Yanuar Yoga Kartika, dan Miken Desvi), serta Novia Trisnawulan yang
senantiasa memberikan doa serta dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Bagas Wicaksono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian


4

Ruang Lingkup Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

5

Gambaran Umum Jernang Rotan

5

Deforestasi Hutan

7

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN

8
8
13
15

Lokasi dan Waktu Penelitian

15

Jenis dan Sumber Data

15

Metode Analisis

15


GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

17

Karakteristik Pencari Buah Jernang Rotan Responden

19

Karakteristik Pedagang Pengumpul (Tauke)

21

Gambaran Umum Usahatani Jernang

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

25


Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

25

Analisis Saluran dan Fungsi Tataniaga

28

Analisis Stuktur, Perilaku dan Keragaan Pasar

33

Analisis Margin dan Efisiensi Pemasaran

35

Farmer’s Share Antara Pencari Buah Jernang Rotan Dengan Tauke Kabupaten 37

Rasio Keuntungan terhadap biaya

37

Efisiensi Pemasaran

38

SIMPULAN DAN SARAN

39

Simpulan

39

Saran

40

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

44

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009
Karakteristik struktur pasar
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
Tingkat pendidikan penduduk
Jenis tanaman yang ditanam pada rumah tangga
Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan
Karakteristik pencari responden berdasarkan usia
Karakteristik pencari responden berdasarkan pendidikan
Karakteristik pencari responden berdasarkan pengalaman pencari
responden
Perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah ratarata buruh sadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013
Perbandingan return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan
tahun 2013
Jumlah Produksi Jernang Pada Panen Besar (Juli-Agustus) dan Panen
Sela (November-Desember) 2013
Fungsi yang dijalankan pada masing-masing lembaga tataniaga
Margin tataniaga jernang rotan
Farmer’s share
Rasio Keuntungan terhadap biaya
Efisiensi pemasaran

2
10
18
18
19
19
20
20
20
26
27
30
31
35
37
38
39

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Margin tataniaga
Kerangka Operasional
Tahap pembersihan benih
Tahap pemberian zat perangsang tumbuh
Perendaman biji
Bibit yang telah dipindahkan ke polybag
Pemeliharan bibit yang telah dipindahkan ke lahan tanam
Grafik perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan
penyadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013
9 Perbandingan Return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan
tahun 2013
10 Saluran tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal

11
14
21
22
22
22
22
26
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Produksi pencari jernang rotan Desa Lamban Sigatal
harga rata-rata hasil produksi jernang rotan tahun 2013
Kisaran kebutuhan pencari jernang
Dokumentasi
Kuesioner pencari jernang rotan
Kuesioner pedagang pengumpul

43
44
45
46
47
52

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kondisi kehutanan Indonesia hingga saat ini terus mengalami kerusakan.
Salah satu faktor yang yang mengakibatkan kondisi tersebut adalah penyusutan
tutupan hutan (deforestasi) akibat pembalakan liar (illegal logging), perambahan
dan berbagai alih fungsi hutan lainnya. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan
Kementrian Kehutanan mencatat bahwa deforestasi di Indonesia mencapai 1.17
juta hektar per tahun. Dari data laju tersebut, penebangan liar memberikan
kontribusi yang signifikan bagi terjadinya deforestasi secara nasional. Dalam
periode waktu 2004-2009, diperkirakan penebangan kayu secara ilegal mencapai
23.32 juta meter kubik per tahun dan kerugian negara mencapai 27 trilyun rupiah
per tahun.
Pada dasarnya deforestasi terjadi sebagai akibat pemenuhan kebutuhan
manusia. Sektor industri hasil hutan skala besar dalam memenuhi kebutuhan pasar
tidak bisa terlepas dari kegiatan penebangan hutan, karena kebutuhan bahan baku
yang diharapkan tersedia setiap saat dan dalam jumlah besar. Bagi pihak terkait
seperti pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan tersebut mendapatkan keuntungan
ekonomi yakni mendapatkan pajak dari kompensasi pemanfatan hasil hutan.
Namun disisi lain, bagi masyarakat pedalaman yang telah menempati kawasan
hutan secara turun-temurun memberikan dampak yang sangat besar bagi
kelangsungan hidup dan adat-istiadat setempat, ekonomi masyarakat, serta
terganggunya habitat flora dan fauna pada kawasan hutan tersebut.
Dalam upaya menekan laju deforestasi di Indonesia, Kemenhut menerbitkan
SK Menhut dalam Renstra tahun 2010 hingga 2014 yang memuat Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa (HD)
sebagai solusi dalam pengelolaan hutan negara secara lestari. Pendekatan Hutan
desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa tertuang dalam UU tahun 1999 pasal 5 ayat 41 tentang
Kehutanan. Penyelenggaraan hutan desa bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Produk hasil hutan terbagi
menjadi dua jenis, yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu
(HHBK). Hasil hutan bukan kayu diantaranya madu, tanaman obat, dammar,
hewan buruan, dan buah jernang rotan.
Salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HBBK) yang belum banyak
dimanfaatkan adalah buah jernang rotan. Buah jernang rotan berbeda dengan
rotan pada umumnya, baik dari segi bentuk tanaman dan pemanfaatannya. Pada
buah jernang rotan, hanya hasil getah pada kulit buah yang disebut lulun meson
atau getah (lulun) yang dapat dimanfaatkan sedangkan pada bagian batang
maupun akar hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan. Jernang rotan diketahui
terdapat di tiga negara dunia yaitu Indonesia, Malaysia dan India, tetapi penghasil
jernang terbesar berada di Indonesia, khususnya di daerah Jambi, Aceh dan
Kalimantan (Arifin 2005).
Indonesia merupakan negara pengekspor getah jernang terbesar di dunia.
Permintaan getah jernang dari Cina kepada Indonesia setiap tahunnya 400-500 ton
(Januminro 2000), akan tetapi Indonesia hanya mampu mengekspor getah jernang

2
27 ton per tahun (Soemarna 2009). Menurut Soemarna (2009), getah jernang
memberikan devisa negara sebesar US$ 10 125 000 per tahun.
Penjualan getah (lulun) dalam perkembangannya mengalami perubahan
kualitas. Periode tahun 1990-1997 getah (lulun) yang dijual kualitasnya sangat
baik, karena hasil ekstrasi jernang menjadi getah (lulun) tidak menggunakan
bahan campuran seperti damar, serbuk kayu maupun biji buah jernang. Akan
tetapi sejak tahun 1997, terjadi kebakaran besar di provinsi Jambi termasuk
wilayah Lamban Sigatal sehingga jumlah tanaman jernang mengalami penurunan
jumlah populasi yang signifikan. Periode tahun 2000-2010, kualitas penjualan
mengalami perubahan yaitu kualitas 1 yang dianggap paling baik dan kualitas 2
yang dianggap kurang baik, dimana terdapat perbedaan dalam segi kemurnian
getah (lulun) (Ardi 2011).
Harga jernang di desa Sungai Telang Kecamatan Rantau Pandan di Provinsi
Jambi dapat mencapai sebesar Rp 70 000 -75 000/Kg. Tahun 2007 melalui
website Health Vision diperoleh informasi harga jual jernang mencapai Rp 1 200
000/Kg (Aliadi dan Djatmiko 1998).
Sejak tahun 2012 hingga kini penjualan buah jernang rotan terbagi kedalam
kualitas dan bentuk yaitu getah (lulun) meson, getah (lulun) campuran, dan buah
jernang, hal ini tidak terlepas dari segi permintaan yang semakin besar namun
jumlah ketersediaan getah (lulun) yang terbatas. Adapun di bawah ini disajikan
prediksi hasil produksi perkebunan getah (lulun) buah jernang rotan per hektar.
Tabel 1 Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009
Umur
(thn)

Batang

Jumlah
Rumpun
Cabang

Ke 611
Ke 1216
Diatas
17
tahun

300

Total

Jumlah
Tandan

Lulun/Getah (lulun)
(kg)
Panen
Panen
Total
Raya
Selang

Hasil Pertahun
Rp 2 000 000/kg

300

1 500

30

15

45

90 000 000

3

900

4 500

90

45

135

270 000 000

9

2700

13 000

270

135

405

810 000 000

Sumber : Yayasan Gita Buana (2009)

Dalam satu tahun, buah jernang rotan dipanen 2 kali yaitu panen raya pada
bulan Juli hingga Agustus dan panen selang pada bulan Desember. Pada panen
raya getah (lulun) yang diproduksi mencapai 30 kg saat umur tanaman 6 – 11
tahun dan terus meningkat tiga kali lipat seiring bertambahnya umur tanaman,
sedangkan panen selang hanya menghasilkan setengah jumlah dari panen raya
(YGB, 2009).
Seiring semakin berkurangnya tutupan hutan dan kelangkaan tanaman buah
jernang rotan, maka di masyarakat mulai muncul inisiasi untuk membudidayakan
dan menanam buah jernang rotan di dalam kebun-kebun karet masyarakat yang
biasa disebut dengan pola agroforestry, dimana umumnya telah dilakukan
masyarakat Desa Lamban Sigatal atas bimbingan Yayasan Gita Buana.
Agroforesty dilakukan dengan tujuan memperoleh hasil panen yang tetap dan
tidak hanya bergantung pada hasil buah jernang rotan di hutan.

3
Pada sisi lain, sistem tataniaga jernang sejak dahulu menimbulkan
permasalahan yang tak kunjung usai, yaitu sistem tataniaga yang masih tertutup.
Pedagang yang terlibat, enggan memberikan informasi berkaitan seputar alur
transaksi penjualan, harga, maupun jumlah produksi penjualan. Hal ini diduga
karena sistem tataniaga jernang belum sepenuhnya diatur oleh pemerintah
sedangkan jernang rotan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Disamping itu,
adanya oknum yang disinyalir mengeluarkan pernyataan bahwa perdagangan
jernang merupakan perbuatan ilegal yang dapat menimbulkan konsekuensi
kesalahan dimata hukum (YGB, 2008).
Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melihat bagaimana rantai tataniaga buah
jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
pendapatan yang diterima dari pemasaran buah jernang rotan. Dalam peranan
meningkatkan kesejahteraan pencari buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal,
diperlukan analisis efisiensi tataniaga buah jernang rotan, baik dimulai dari
tingkat pencari hingga pedagang besar.

Perumusan Masalah
Sistem tataniaga agribisnis yang efisien berpengaruh pada penerimaan
tingkat pendapatan yang lebih baik, begitu juga sebaliknya dimana sistem
tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan terciptanya margin tataniaga
yang cukup besar sehingga menimbulkan kesenjangan harga antar lembaga
tataniaga. Disamping itu, dalam pemanfaatan hasil hutan untuk memenuhi
kebutuhan manusia seringkali tidak diimbangi dengan menjaga kelestarian hutan
seperti pembukaan area hutan untuk perkebunan dengan melakukan penebangan
liar. Hutan Desa Lamban Sigatal berperan berperan penting dalam menunjang
perekonomian masyarakat desa dimana jernang rotan sebagai komoditi hasil
hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi sehingga memberikan
pendapatan bagi masyarakat desa. Untuk mendapatkan jernang rotan masyarakat
desa harus mencari di hutan desa ataupun wilayah sekitar yang saat ini sulit
ditemukan. Harga yang diterima pencari jernang rotan sangat penting untuk
keberlanjutan kegiatan pencarian. Selain harga, produksi berpengaruh pada
kegiatan pencarian jernang, dimana produksi akan mempengaruhi tingkat
pendapatan pencari. Semakin banyak produksi yang dihasilkan oleh pencari,
maka semakin banyak pendapatan yang diterima pencari.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi penyebab deforestasi hutan dan upaya pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu (HHBK) berupa jernang rotan serta mengetahui analisis
return to labor kegiatan pencarian jernang rotan di Desa Lamban Sigatal?
2. Bagaimana karakteristik, struktur, dan perilaku pasar buah jernang rotan
yang mempengaruhi pembentukan harga buah jernang rotan dan tingkat
efisiensi tataniga buah jernang rotan berdasarkan analasis farmer’s share?

4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efisiensi sistem
tataniaga buah jernang rotan yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat
melalui pengelolaan hutan desa. Disamping itu juga untuk mengetahui
pemanfaatan HHBK berupa jernang rotan di Desa Lamban Sigatal. Adapun tujuan
umum yang hendak dicapai yaitu :
1. Mengidentifikasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagai upaya
menanggulangi deforestasi hutan Desa Lamban Sigatal serta mengetahui
analasis return to labor kegiatan pencari jernang rotan.
2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi, struktur dan perilaku pasar serta mengkaji
efisiensi tataniaga buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan
pendekatan margin tataniaga, farmer’s share, rasio biaya dan keuntungan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholder yang berkepentingan.
2. Sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga bagi
masyarakat pembudidaya buah jernang rotan sehingga kesejahteraan
meningkat.
3. Bahan masukan dalam merumuskan kebijakan pasar yang mendukung
pengembangan buah jernang rotan bagi pemerintah daerah.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup wilayah Desa Lamban Sigatal,
Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun. Bidang penelitian ini adalah
menganalisis rantai tataniaga yang dilakukan oleh pencari buah jernang rotan
dengan melihat koefisien rantai tataniaga dan farmer’s share yang akan diterima
oleh pencari dan pedagang pengumpul dari semua rantai yang ada di Desa
Lamban Sigatal hingga tingkat Kabupaten Sorolangun. Disamping itu untuk
mengetahui patokan yang baik dalam menilai kegiatan pencarian jernang yang
dilakukan selama ini juga digunakan analisis return to labor. Dalam penelitian ini,
penulis hanya menganalisis rantai tataniaga dalam bentuk getah (lulun) meson,
getah (lulun) campuran dan buah serta tidak termasuk dalam pengolahan produk
turunan buah jernang rotan.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Jernang Rotan
Jernang rotan dimanfaatkan dari pengambilan resin yang merupakan hasil
sekresi buah jernang rotan (Daemonorops draco BL.). Resin tersebut menempel
dan menutupi bagian luar buah rotan, di mana untuk mendapatkannya diperlukan
proses ekstraksi. Menurut Risna (2006), getah (lulun) dari buah jernang rotan
berwarna merah bata dan berbentuk serbuk (seperti tepung) ketika diekstrasi
kemudian akan mengeras (membatu) sekitar 30 – 60 menit jika dimasukkan
kedalam plastik sehingga menjadi padatan. Komponen utama getah (lulun) adalah
draco getah (lulun) olanol (56 persen ), draoresen (11 persen ), drao-alban
(2.5persen ), asam benzoat dan asam bensolaktat. Kegunaan jernang rotan adalah
sebagai bahan pewarna vernis, keramik, marmer, alat dari batu, kayu, rotan,
bambu, kertas, cat dan sebagainya. Selain itu juga digunakan sebagai bahan obatobatan seperti obat diare, disentri, obat luka, serbuk untuk gigi, asma, sipilis,
berkhasiat aphrodisiac (meningkatkan libido) serta banyak kegunaan lainnya
(Sumadiwangsa, 1973). Masyarakat sekitar hutan memanen jernang dari hutan alam,
dengan cara berburu secara berkelompok maupun perorangan. Musim berburu
jernang dilakukan pada bulan September–Desember (Elvidayanty dan Erwin 2006).
Untuk mendapatkan resin jernang dilakukan ekstraksi buah rotan jernang.
Teknik ekstraksi buah jernang rotanmenurut Januminro (2000) dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu ekstraksi atau pengolahan basah dan kering. Ekstraksi
basah menggunakan media air sedangkan ekstraksi kering tanpa menggunakan air.
Ekstraksi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan
seperti suku Anak Dalam, Melayu Jambi, Talang Mamak dan Melayu Tua. Pada
mulanya jernang digunakan untuk keperluan mereka sendiri, tetapi akhir-akhir ini
banyak diperjualbelikan di pasaran dengan harga cukup mahal yaitu Rp 700 000
sampai Rp 1 000 000/kg (Waluyo 2008).
Menurut Yayasan Gita Buana (2008) membudidayakan jernang rotan dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pencangkokan dan biji jernang.
Tumbuhan rotan di Indonesia tumbuh di hutan dataran rendah sampai ke daerah
pegunungan yaitu antara 0 sampai 2 900 meter diatas permukaan laut.
Menyenangi habitat dengan curah hujan antara 2 000 sampai 4 000 mm per tahun,
untuk marga Daemonorops lebih banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian
antara 800 sampai 1 500 meter diatas permukaan laut (Kalima 1996 dalam
Sumarna 2004).
Menurut Ardi (2011) dapat dijelaskan bahwa lembaga tata niaga jernang di
Provinsi Jambi terdiri atas pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa,
pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten dan pedagang
besar di provinsi yang kemudian disalurkan ke pedagang ekspor, sedangkan
lembaga tata niaga jernang dari Desa Lamban Sigatal adalah kelompok
masyarakat pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa (tauke desa),
kabupaten (tauke kabupaten) dan pedagang besar di provinsi. Kelompok
masyarakat pengumpul Jernang merupakan produsen, sedangkan pedagang
pengumpul (tauke desa, kecamatan, kabupaten, provinsi) merupakan pedagang
(agen) perantara.

6
Hasil Penelitian YGB (2008) menunjukkan harga transaksi jernang yang
terendah adalah Rp 320 000/Kg yakni harga yang dibayarkan oleh Pedagang
Antara I kepada pencari pengolah jernang pada saluran tataniaga 3 dan harga
tertinggi adalah Rp 490 000/Kg yakni harga jual jernang oleh petani pengolah
langsung kepada pedagang akhir jernang. Harga tertinggi yang diterima petani
pengolah jernang dibayarkan oleh pedagang besar/pedagang akhir produk pada
Saluran tataniaga 1 dimana pedagang besar/pedagang akhir jernang membeli
jernang kepada petani pengolah secara langsung. Rata-rata volume penjualan
jernang oleh pedagang antara I sebanyak 25 Kg/Bulan dan oleh pedagang antara
II sebanyak 50 Kg/Bulan. Sementara di sisi lain, rata-rata volume penjualan
jernang oleh pedagang besar sebesar 150 Kg/Bulan, bahkan ada salah seorang
pedagang akhir produk yang menjual jernang mencapai 1 200 Kg/Bulan.
Margin tataniaga jernang melalui dua saluran tataniaga yang melibatkan
pedagang perantara bervariasi dari Rp125 000 per kilogram pada saluran tataniaga
2 hingga Rp 160 000 per kilogram pada saluran tataniaga 3. Margin tataniaga
jernang pada saluran tataniaga 2 sebesar 26.32 persen dari harga pedagang akhir
dan 33.33 persen dari harga pedagang akhir pada saluran tataniaga 3. Total biaya
tataniaga jernang yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berkisar antara Rp
25 000 pada saluran 2 hingga Rp 30 000 per kilogram pada saluran 3 atau 0.20
persen hingga 0.18 persen dari total margin tataniaga pada masing masing
saluran. Perbandingan biaya dan margin tataniaga jernang hampir sama dengan
perbandingan biaya dan margin pada tataniaga karet di Provinsi Jambi sebesar
0.10 persen dan 0.25 persen (Napitupulu et al, 2006). Sistem tataniaga jernang di
Provinsi Jambi mampu memberikan keuntungan kepada pedagang perantara
berkisar antara 4 hingga 4.33 kali biaya yang dikeluarkannya. Margin keuntungan
pedagang perantara ini relatif kecil dibanding dengan tataniaga karet sebesar 38
hingga 52 kali biaya yang dikeluarkan (Napitupulu et a, 2006). Kondisi ini
berbeda karena dalam tataniaga karet karena harga karet di tingkat petani
produsen dapat dikatakan sepenuhnya berada dibawah kontrol pedagang perantara
karena keterikatan petani dengan pedagang.
Jernang merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu. Sebagai
komoditi hasil hutan bukan kayu, berdasarkan kondisi habitat, maka jernang dapat
dibagi kedalam dua kondisi. Pertama tanaman jernang yang tumbuh pada
kawasan hutan produksi dan kedua jernang yang tumbuh pada kawasan area
penggunaan lain atau milik masyarakat. Sesuai dengan peraturan pemerintah
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1999 tentang pengusahaan hutan dan
pemungutan hasil hutan pada hutan produksi, pemungutan jernang sebagai hasil
hutan bukan kayu harus mendapat izin dari bupati. Pasal 25, ayat 2 dalam PP No
6 Tahun 1999 tersebut juga menegaskan bahwa setiap pemegang hak pemungutan
hasil hutan untuk hasil hutan bukan kayu wajib membayar Provisi Sumber Daya
Hutan (PSDH). Di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 124/KptsIi/2003, tentang petunjuk teknis tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran
dan penyetoran provisi sumber daya hutan, pada BAB II Pasal 2 ayat 3,
dinyatakan bahwa provisi sumber daya hutan dikenakan pada pemegang izin
pemungutan hasil hutan kayu atau bukan kayu. Ditambahkan pada pasal 3 ayat 2
bahwa hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
terdiri dari antara lain rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obatobatan dan lain sebagainya (YGB, 2008).

7
Dari aturan-aturan di atas dapat disimpulkan bahwa aturan mengenai
pemanfaatan komoditi khususnya jernang rotan pada kawasan hutan belum
dinyatakan secara eksplisit. Kondisi ini dapat berakibat pada situasi perdagangan
jernang yang sampai saat ini masih sangat terselubung. Fakta lapangan juga
menunjukkan bahwa petani pengolah jernang merasa tidak leluasa membawa
komoditi jernang untuk dijual kepada pedagang antara karena adanya informasi
bahwa perdagangan jernang yang dilakukan saat ini adalah illegal. Di bidang
ekspor, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2005 tentang
Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor, juga tidak juga tidak mencantumkan
komoditi jernang secara eksplisit sebagai objek pajak. Dengan demikian dapat
dimaklumi bahwa perdagangan jernang sebagai komoditi ekspor yang diekspor ke
berbagai negara tujuan ekspor sering diindikasikan dengan perdagangan ilegal
(YGB, 2008).
Deforestasi Hutan
Peraturan perundang‑undangan mendefinisikan deforestasi sebagai
perubahan secara permanen dari kawasan berhutan menjadi tidak berhutan karena
kegiatan manusia (Menhut 2009). Menurut definisi tata guna lahan yang digunakan
oleh FAO dan diterima oleh pemerintah, lahan hutan yang telah ditebang, bahkan
ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada
prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali.
Deforestasi dilaporkan hanya setelah lahan dikonversi secara permanen untuk
kepentingan lain yang bukan hutan. Namun, citra penginderaan jauh digunakan
dalam laporan ini untuk menentukan tutupan lahan (ada atau tidak adanya hutan)
selama ini tidak memberikan perbedaan seperti ini dan lahan yang ditebang habis
telah dilaporkan sebagai kawasan bukan hutan atau kawasan yang dibalak (FAO,
1998).
Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada
penjelasan pasal 5, tentang pemanfaatan hutan desa. Hutan desa adalah hutan
negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa, untuk
kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, hutan desa didefinisikan
sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa
dan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Sebagaimana diketahui, tak sedikit
desa-desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sudah selayaknya desadesa semacam ini mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di
wilayahnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Kriteria kawasan hutan
yang dapat ditetapkan sebagai area kerja hutan desa adalah hutan lindung dan
hutan produksi yang :
 belum dibebani hak dan pengelolaan atau izin pemanfaatan
 berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan
 hak-hak pengelolaan secara permanen diberikan oleh Menteri
Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa dengan waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang. Perizinan hutan desa dapat diberikan di area
hutan lindung dan juga produksi yang berada di dalam wilayah
administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa
dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota.

8
Dalam hal ini hak yang dapat diberikan adalah hak pemanfaatan Hutan
Desa bukan hak milik dengan status tetap di hutan negara.
Prinsip dasar dari Hutan Desa adalah untuk membuka akses bagi desa-desa
tertentu, tepatnya desa hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk dalam
wilayahnya.
Penelitian ini memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan yang dapat diketahui yaitu sama-sama menganalisis
sistem tataniaga seperti halnya YGB (2008). Persamaan lainnya terletak pada
pendekatan analaisis yang digunakan yaitu struktur pasar, perilaku pasar dan
keragaan pasar. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis
kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya terletak pada tujuan penelitian yang berhubungan dengan topik
kehutanan dimana menyangkut deforestasi hutan kaitannya terhadap sistem
tataniaga jernang rotan. Selain itu terdapat juga perbedaan dalam metode
penelitian yang digunakan.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep saluran dan lembaga tataniaga,
konsep fungsi tataniaga, konsep struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan
tataniaga serta konsep efisiensi tataniaga yang terdiri dari biaya dan margin
tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya, serta analisis
return to labor.
Pengertian Sistem Tataniaga
Tataniaga adalah suatu kegiatan mengalirkan produk dari produsen (petani)
sampai ke konsumen akhir. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) aktivitas
tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu
produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang
produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan
tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan.
Pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan
aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah:
1. Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua
aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen
(usahatani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga menjembatani jarak antara
petani produsen dengan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 1985).
2. Berdasarkan aspek manajemen, tataniaga merupakan suatu proses sosial dan
manajerial yang didalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan
mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Schaffner et al
(1998) dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan Manajemen
Tataniaga merupakan pendekatan dari aspek mikro merupakan proses dari

9
suatu perusahaan untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi
dari produk atau jasa untuk memuaskan konsumen.
Saluran dan Lembaga Tataniaga
Proses penyampaian produk pertanian dari produsen hingga ke konsumen
akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Menurut Adnany (2008),
Hermansyah (2008), dan Siregar (2010) lembaga tataniaga yang terlibat di dalam
proses tataniaga produk pertanian diantaranya pedagang pengumpul, pedagang
besar lokal dan luar daerah, pedagang pengecer lokal dan luar daerah. Sembiring
(2010) menyatakan bahwa terdapat juga lembaga tataniaga seperti pedagang
pengolah dalam saluran tataniaga produk pertanian. Saluran ini disesuaikan
dengan kegiatan pemasaran di lokasi penelitian. Saluran tataniaga yang terbentuk
bervariasi dan tentunya dipengaruhi oleh daerah tujuan pemasaran yang cukup
luas.
Fungsi Tataniaga
Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa serangkaian fungsi yang
dipergunakan dalam menggerakan input dari titik produsen sampai konsumen
akhir terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi
tataniaga tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk,
tempat, waktu dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut
dilakukan oleh kelompok perusahaan atau individu yang disebut sebagai lembaga
tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan fungsi-fungsi tataniaga yang
ada sebagai berikut:
1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan
hak milik dari barang/jasa yang dipasarkan, meliputi kegiatan pembelian
dan kegiatan penjualan.
2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan
barang dan jasa yang menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu,
meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan.
3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang berhubungan dengan kegiatan
pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen, meliputi fungsi
standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembayaran
dan fungsi informasi pasar.
Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987)
didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam
suatu pasar serta bentuk usahanya yaitu:
Berdasarkan fungsi yang dilakukan :
 Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,
grosir dan lembaga perantara lainnya.
 Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan,
pengangkutan dan penyimpanan.
 Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga seperti
informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain.
 Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang :
 Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan,
seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan lain-lain.

10







Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang
dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain.
Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang
dipasarkan seperti lembaga pengangkutan pengolahan dan perkreditan.
Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar :
Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras, pengecer
rokok dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolistis seperti pedagang bibit
dan benih.
Lembaga tataniaga oligopolis, sepeti importir cengkeh dan lain-lain.
Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan
pos dan giro, dan lain-lain.
Berdasarkan bentuk usahanya :
Berdasarkan hukum seperti perseroan terbatas, firma, dan koperasi.
Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang
pengecer, tengkulak dan sebagainya.

Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar
Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi
sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Dalam struktur pasar, pasar dikelompokkan
berdasarkan jenis yang berkorelasi dengan pembeli dan penjual yang mempengaruhi
penentuan harga dan pengorganisasian pasar menurut Asmarantaka (2009).
Tabel 2 Karakteristik struktur pasar
Karakteristik
Jumlah
Penjual

Struktur Pasar

Jumlah
Pembeli

Sifat produk

Pengetahuan
Informasi
Pasar

Hambatan
Keluar Masuk
Pasar

Banyak

Banyak

Homogen

Sedikit

Rendah

Banyak

Banyak

Diferensiasi

Sedikit

Tinggi

Sedikit

Sedikit

Homogen

Banyak

Tinggi

Sedikit

Sedikit

Diferensiasi

Banyak

Tinggi

Satu

Satu

Unik

Banyak

Tinggi

Sisi Penjual

Sisi Pembeli

Persaingan
Murni
Persaingan
Monopolistik
Oligopoli
Murni
Oligopoli
Diferensiasi
Monopoli

Persaingan
Murni
Persaingan
Monopolistik
Oligopsoni
Murni
Oligopsoni
Diferensiasi
Monopsoni

Sumber : Hammond dan Dahl (1977)

Perilaku pasar adalah tindakan atau strategi yang dilakukan penjual atau
pembeli untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan lembaga tataniaga biasanya
menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan
kegiatan pembelian dan penjualan. Menurut Kohls dan Uhl (2002) bahwa ada
empat hal yang perlu diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu
(1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan
mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan;
(2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas,
pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat
menentukan harga; (3) Communication system, menjelaskan bagaimana

11
mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and
external change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu
sistem tataniaga dan bertahan di pasar.
Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu
pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan
dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan
pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam
menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian,
penjualan penentuan harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Pelaku
tataniaga perlu mengetahui perilaku tataniaga sehingga mampu merencanakan
kegiatan tataniaga secara efisien. Hubungan yang terjadi pada SCP merupakan
pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan
pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga di
atas harga kompetitif.
Keragaan pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah nilai akhir yang
diperoleh sebagai akibat dari penyesuaian pasar yang dilakukan oleh lembaga
pemasaran. Keragaan pasar timbul akibat adanya perilaku pasar dan tindakan
yang tercermin dalam aktivitas pemasaran melalui beberapa variabel ekonomi,
mulai dari biaya, harga, dan kapasitas output.
Margin Tataniaga
Margin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen
(Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian margin
tataniaga adalah M = Pr - Pf. Rendahnya nilai margin tataniaga tidak selalu
mencerminkan bahwa suatu sistem tataniaga dinilai lebih efisien. Begitu juga
sebaliknya, ketika nilai margin tataniaga tinggi sebagai akibat adanya pengolahan
dan penanganan produk lebih lanjut dan berdampak pada peningkatan kepuasan
konsumen maka tingginya margin tataniaga mengindikasikan sistem tataniaga
tersebut berlangsung secara efisien. Semakin banyak lembaga tataniaga yang
terlibat semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat
konsumen. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Margin tataniaga
Sumber : Kohls dan Uhl (2002)

12
Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda
sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga
lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Tingginya margin dapat disebabkan
oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran antara
lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran meliputi pengangkutan, penyimpanan,
pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus 1985).
Menrurut Kohls dan Uhl (2002), terdapat dua hal penting dalam
memperbaiki efisiensi tataniaga yaitu transportasi dan pencegahan kehilangan
(Preventting loss). Transportasi memiliki peranan yang penting dalam
menyalurkan jernang ke tangan konsumen. Umumnya transportasi yang
digunakan untuk pengangkutan jernang rotan adalah sepeda motor dan mobil pick
up.
Famer’s Share
Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari
suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima
pencari jernang rotan (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat
konsumen akhir yang biasanya diukur dalam bentuk persentase. Farmer’s share
merupakan rasio antara harga di tingkat pencari terhadap harga di tingkat retail
(Hudson 2007). Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa besarnya nilai
farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi, keawetan
produk dan jumlah produk.
Farmer’s share merupakan alat analisis yang digunakan untuk menentukan
efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan pencari jernang rotan. Margin
atau biaya tataniaga biasanya dibebankan kepada pencari dan konsumen melalui
penetapan harga di tingkat petani yang rendah dan harga di tingkat konsumen
yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai margin
tataniaga. Semakin tinggi nilai margin tataniaga menunjukkan semakin kecil
bagian yang diterima pencari jernang rotan dalam melaksanakan suatu aktivitas
tataniaga. Farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga
berjalan efisisen. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang
ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga parantara atau
pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga
Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui
besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga.
Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang
diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Semakin
meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga
tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan
Sitorus 1985).
Efisiensi Tataniaga
Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen
maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari
produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan
pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen
mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan

13
produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen,
sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen
bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan
tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya
relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input.
Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis dalam Asmarantaka (2009) yaitu:
1. Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan
aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio
output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari
produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi atau
keuntungan dapat dilakukan melalui tiga kondisi menurut Kohls dan Uhl
(2002) yaitu:
a. Menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen
b. Meningkatkan kepuasan konsumen tan pa meningkatkan biaya
c. Meningkatkan kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya
dimana tambahan nilai output lebih besar dari tambahan nilai input.
2. Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem tataniaga dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi
pertanian dan proses tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan
konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi
sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan
konsumen serta memaksimumkan output ekonomi.
Konsep Return to Labor
Imbalan bagi tenaga kerja dihitung berdasarkan nilai total produksi atau
penerimaan dari kegiatan pencarian dikurangi dengan semua biaya produksi
kecuali biaya tenaga kerja (Hidayat, 2013).
Sebagai pemilik tenaga kerja yang telah dicurahkan dalam kegiatan
pencarian jernang rotan, pencari seyogyanya menerima upah sekurang-kurangnya
sama besarnya dengan upah seandainya pencari tadi bekerja sebagai buruh
perkebunan karet pada perusahaan setempat. Jika imbalan bagi tenaga kerja dan
modal lebih tinggi daripada biaya imbangannya, berarti kegiatan pencarian
jernang rotan secara ekonomis menguntungkan karena mampu memberikan
imbalan yang wajar bagi faktor-faktor produksi yang telah dipergunakan dalam
menyelenggarakan kegiatan pencarian tersebut. Sementara itu apabila imbalan
bagi faktor-faktor produksi tersebut lebih rendah dari biaya imbangannya, berarti
kegiatan pencarian tersebut secara ekonomis merugikan (Kamiliah W 2009).
Jika keuntungan merupakan keberhasilan dalam kegiatan pencarian jernang
rotan secara menyeluruh, maka untuk mengukur keberhasilan kegiatan pencarian
secara parsial (per bagian) perlu dihitung imbalan bagi faktor-faktor produksi
yaitu imbalan bagi tenaga kerja (return to labor) (Kamiliah W 2009).
Kerangka Pemikiran Operasional
Analisis tataniga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dilakukan dengan
menggunakan analisis pemasaran dengan cara snowball. Jernang rotan yang di

14
dijual kepada pedagang pengumpul desa atau kecamatan diikuti alur
pemasarannya hingga tingkat pedagang kabupaten. Tentunya, terdapat perbedaan
saluran pemasaran jernang rotan hingga tingkat pedagang kabupaten. Perbedaan
tersebut dapat dianalisis menggunakan analisis pemasaran yang mengidentifikasi
saluran, fungsi, margin, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Untuk menghitung efisiensi pemasaran yang telah dilakukan oleh masing-masing
saluran, perlu diidentifikasi terlebih dahulu lembaga-lembaga yang terlibat dalam
setiap saluran, fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran tersebut dan
biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran terkait untuk melakukan fungsi
pemasaran. Efisiensi pemasaran dapat dihitung menggunakan perhitungan margin
pemasaran dan rasio profit terhadap biaya. Untuk memperoleh hubungan
pemanfataan hutan desa dengan sistem tataniaga jernang, digunakan analisis
return to labor yang mengidentifikasi tingkat pendapatan upah pencari dalam
kegiatan pencarian selama ini telah telah dirasa sudah cukup baik atau belum.
Deforestasi Hutan

Promosi Hasil Hutan Bukan Kayu

Pemanfaatan Hutan Desa Lamban Sigatal

 Bagaimana sistem tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal?
 Apakah sistem tataniaga atau pemasaran tersebut sudah efisien?
 Bagaimana korelasi antara peningkatan pendapatan pencarian dengan upaya
melestarikan hutan desa?

Gambaran tataniaga getah jernang

1.
2.
3.

Analisis Kuantitatif
Margin Tataniaga
Farmer’s Share
Risiko keuntungan dan biaya

Analisis Kualitatif
1. Saluran tataniaga dan lembaga
tataniaga
2. Fungsi-fungsi tataniaga
3. Struktur Pasar
4. Perilaku Pasar

Rekomendasi solusi kepada pembudidaya serta lembaga-lembaga tataniaga yang
terlibat pada sistem tataniaga getah jernang di Desa Lamban Sigatal, Kecamatan
Pauh, Kabupaten Soolangun, Provinsi Jambi

Gambar 2 Kerangka Operasional

15

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2014 di Desa
Lamban Sigatal, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Pemilihan Desa Lamban
Sigatal sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
mempertimbangkan bahwa desa tersebut merupakan salah satu sentra produksi
buah jernang rotan di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun. Pemilihan
responden dilokasi penelitian dengan megikuti alur tataniaga berdasarkan
informasi dari pencari buah jenang otan dan lembaga tataniaga menggunakan
metode snowball sampling.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui pengamatan secara langsung serta melakukan wawancara
kepada pencari buah jernang rotan dan lembaga-lembaga tataniaga buah jernang
rotan yang terlibat dengan menggunakan kuesioner.
Data sekunder diperoleh melalui literatur studi pustaka yang mendukung
penelitian ini. Data-data tersebut bersumber dari laporan penelitian, buku teks,
jurnal, dan data-data yang berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Provinsi Jambi
serta Perpustakaan LSI IPB.
Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan dua kelompok responden, yaitu pencari dan
pembudidaya (produsen) serta pedagang (lembaga pemasaran). Penarikan
responden untuk pencari dan pembudidaya dilakukan dengan teknik purposive
sampling. Hal ini dilakukan dengan cara memilih pencari dan pembudidaya yang
menggunakan saluran tataniaga yang berbeda. Metode pengumpulan data primer
dilakukan melalui wawancara dengan panduan kuesioner kepada para responden.
Pencari buah jernang rotan yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian
ditentukan dengan sengaja (purposive) sebanyak 15 orang pencari aktif dimana
termasuk 1 orang juga merupakan pembudidaya jernang. Wawancara dilakukan
dengan cara mendatangi pencari dan petani langsung ke tempat tinggal mereka
hingga ke ladang, karena pada saat penelitian dilakukan sebagian besar responden
sedang menjaga hasil panen padi di ladang. Data yang digunakan merupakan data
dari aktivitas penjualan buah jernang rotan selama bulan agustus hingga
desember 2013. Selain aktivitas pengambilan data melalui wawancara, juga
dilakukan pengamatan terhadap aktivitas budidaya, panen dan pascapanen yang
dilakukan oleh pencari.
Selain responden pencari dan petani, lembaga-lembaga tataniaga yang
terlibat dalam kegiatan pemasaran buah jernang rotan dari wilayah Desa Lamban
Sigatal juga dijadikan responden dalam penelitian ini. Penarikan sample
dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling yakni diambil

16
berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya yaitu pencari
buah