Pemanenan dan pengolahan buah Rotan Jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume dalam upaya peningkatan produksi serta mutu Jernang

(1)

DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI

SERTA MUTU JERNANG

LANA PUSPITASARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI

SERTA MUTU JERNANG

LANA PUSPITASARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

LANA PUSPITASARI. E14061399. Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang. Dibimbing oleh JUANG RATA MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI

Salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi adalah produk turunan dari buah rotan jernang. Jernang adalah resin yang berasal dari buah rotan jernang. Jernang memiliki manfaat antara lain sebagai bahan pewarna alami pada industri batik dan porselen, sebagai campuran obat-obatan seperti obat luka, pendarahan dan diare, serta digunakan sebagai dupa dan kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi jernang di Kabupaten Sarolangun, Jambi, menguraikan teknik pemanenan buah yang dilakukan masyarakat serta menganalisis rendemen dan mutu jernang yang dihasilkan dari pengolahan cara masyarakat dan cara perebusan.

Pusat produksi jernang di Kabupaten Sarolangun adalah di Hutan Alam (HA) Blok Bukit Bahar Tajau Pecah dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Desa Lamban Sigatal. Potensi jernang di kedua tempat tersebut berturut-turut sebesar 96,51 ton/th dan 130,16 ton/th, sehingga total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun sebesar 226,66 ton/th. Teknik pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat adalah dengan memperhatikan ciri kemasakan buah rotan jernang yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang baik dipanen adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah masak memerlukan waktu 11-13 bulan. Resin akan terbentuk optimal pada saat umur buah 9 bulan. Petani memanen buah rotan jernang dengan menggunakan galah dan alat pengait, jika rotan terlalu tinggi maka petani memanjat pohon inangnya.

Rendemen jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat sebesar 7,26%, sedangkan dari cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan 3,10%. Analisis sifat fisiko-kimia jernang dengan cara masyarakat menghasilkan kadar resin 63,30%, kadar air 3,48%, kadar kotoran 32,16%, kadar abu 1,83%, titik leleh 96,00°C dan warna merah tua, sedangkan jernang hasil perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut untuk kadar resin 81,83%, 81,21% dan 80,91%, kadar air 3,64%, 3,34% dan 3,48%, kadar kotoran 11,57%, 11,63% dan 12,03%, kadar abu 1,12%, 1,52% dan 1,59%, titik leleh 82,00°C, 83,00°C dan 83,33°C dan secara keseluruhan warna yang dihasilkan adalah merah tua. Berdasarkan SNI jernang (2010), jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat bermutu A, sedangkan dari cara perebusan bermutu super.

Kata kunci: Buah rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume, potensi, teknik pemanenan, sifat fisiko-kimia, mutu jernang.


(4)

LANA PUSPITASARI. E14061399. Harvesting and Processing Fruit of Rattan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) in Effort to Increase Production and Quality Dragon’s blood. Under Supervision of JUANG RATA MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI.

One kinds of Non-Timber Forest Products (NTFPs) which high economic value is a product derived from rattan jernang fruits. Dragon’s blood is a resin from rattan jernang fruits. Dragon’s blood have uses such as natural colloring for batik industry and porcelain industry, as a mixture of cure such as wounds medicinal, bleeding and diarrhea and used a incense and frankincense. The research about dragon’s blood is rarely, meanwhile the potential is big enough and still can developed. Improved harvesting and processing techniques to obtain maximum quality of dragon’s blood still need to be researched. The research was conducted to analyze the potential dragon’s blood Sarolangun District, Jambi, to describes the technique of harvesting fruit of the community and to analyze yield and quality resulted from the traditional process of the community and boiling treatment.

Dragon’s blood production center in the District Sarolangun is harvested from natural forests Tajau Pecah Block Bahar Hill and community based forest plantation in the village of Lamban Sigatal. Potential dragon’s blood at those places is 96.51 tons/year and 130.16 tons/year respectively, therefore the total potential of dragon’s blood in the District Sarolangun is about 226.66 tons/year. Harvesting technique of rattan fruits by the community is to observe the ripeness of the fruit characteristics of rattan such us the brownish red color. Good fruit which can be harvested is the old fruit but not too ripe. The fruit takes time about 11−13 months to be ripe. Resin will be formed at the optimal fruit maturity of 9 months. Farmers harvest the fruit by using a hook tool and a pole, then if the rattan is too high the farmer climbs its host tree.

Dragon’s blood yield from the traditional process of the community is 7.26%, meanwhile the boiling treatment in each 1, 2 and 3 hours has yield as 3.27%, 3.24% and 3.10% respectively. Analysis of physico-chemical properties of the dragon’s blood with the traditional process of the community results resin content is 63.30%, moisture content is 3.48%, impurity content 32.16%, ash content 1.83%, melting point 96.00 °C and ruby color, meanwhile the boiling treatment 1, 2 and 3 hours for results resin content 81.83%, 81.21% and 80.91%, moisture content 3.64%, 3.34% and 3.48%, impurity content 11.57%, 11.63% and 12.03%, ash content 1.12%, 1.52% and 1.59%, melting point 82.00 °C, 83.00 °C and 83.33 °C and overall results ruby color. Based on the SNI dragon’s blood (2010), dragon’s blood results from the traditional process of the community get A quality, meanwhile from the boiling treatment get super quality.

Key words: Rattan jernang fruits (Daemonorops draco (Willd.) Blume), potential, harvesting techniques, physico-chemical properties, quality dragon’s


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Lana Puspitasari


(6)

Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang Nama : Lana Puspitasari

NIM : E14061399

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS Ir. Rita Kartika Sari, M.Si NIP. 19631221 198803 1 001 NIP. 19681124 199512 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001


(7)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang” dengan sebaik-baiknya. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan program mayor minor Strata Satu di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi dan Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2010. Jernang memiliki manfaat yang cukup banyak yaitu pewarna alami bagi industri porselen, batik, bahan campuran obat-obatan, pembuatan dupa dan kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Untuk itu, pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang perlu diperhatikan lebih lanjut. Sejauh ini, proses menghasilkan jernang yang dilakukan masyarakat masih sederhana yaitu dengan cara penumbukan sehingga perlu dicari alternatif cara yang tepat guna yaitu melalui perebusan dalam air. Cara perebusan menghasilkan jernang bermutu super sedangkan cara masyarakat menghasilkan jernang bermutu A.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2011


(8)

Penulis dilahirkan pada tanggal 06 Januari 1989 di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Zamzami dan Nuraini. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Negeri Agung Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus, Lampung pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Talangpadang pada tahun 2000 sampai tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Talangpadang pada tahun 2003 sampai tahun 2006, selanjutnya pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota himpunan mahasiswa Lampung tahun 2006-2007, staf medikom FMSC (Forest Manajemen Student club) tahun 2007-2008 dan Bendahara AFSA tahun 2007-2008-2009.

Selama pendidikan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturraden, Jawa Tengah; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Jember, Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang” dibimbing oleh Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.


(9)

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang”. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Zamzami dan Ibunda Nuraini serta kakak dan adik yang telah memberikan inspirasi, dorongan moral dan material, rasa kasih sayang dan do’anya. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS selaku dosen pembimbing pertama atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing kedua atas

ketersediaannya memberi bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc, Ir. Iwan Hilwan, MS dan Arinana, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji atas saran yang telah diberikan.

4. Keluarga di Jambi, warga Desa Lamban Sigatal, LSM Gita Buana yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.

5. Staf Laboratorium Pemanenan dan Hasil Hutan yang telah membantu selama proses penelitian.

6. Bambang, Surya, Annisa, Devi, Yuni, Asri, Luffi, Fera, Andriani, Andre, Desi, Ida, Dira, teman-teman seperjuangan MNH angkatan 43 yang telah memberikan bantuan, semangat dan dukungannya.

7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Bogor, Maret 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Tabel ... iii

Daftar Gambar ... iv

Daftar Lampiran ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 2

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ... 4

2.2 Rotan ... 4

2.2.1 Rotan penghasil jernang ... 5

2.2.2 Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) ... 8

2.2.3 Fisiologi perkembangan tumbuh ... 10

2.3 Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang ... 10

2.4 Pengolahan Buah Rotan Jernang ... 11

2.5 Mutu Jernang ... 11

2.6 Pemanfaatan Jernang ... 12

2.7 Kandungan Senyawa kimia ... 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 14

3.1 Langkah Kerja Penelitian ... 14

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.3 Alat dan Bahan ... 15

3.4 Jenis Data ... 15

3.5 Pengolahan Data ... 20

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 22

4.1 Letak dan Luas Wilayah ... 22

4.2 Aksesibilitas ... 23

4.3 Topografi dan Iklim Wilayah ... 24

4.4 Penduduk ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1 Potensi Jernang ... 25

5.2 Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan Masyarakat ... 26

5.2.1 Pemetikan buah rotan jernang ... 28

5.2.2 Buah rotan jernang diangin-anginkan ... 29

5.3 Pengolahan Jernang Dengan Cara Masyarakat ... 29

5.3.1 Penumbukan buah rotan jernang ... 30

5.3.2 Pencetakan jernang ... 30

5.4 Pengolahan Jernang Cara Alternatif (Perebusan) ... 31

5.4.1 Rendemen jernang dengan cara perebusan ... 33


(11)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 41 6.1 Kesimpulan ... 41 6.1 Saran ... 41


(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang ... 12

2 Spesifikasi persyaratan mutu jernang ... 20

3 Analisis ragam ... 20

4 Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun ... 26

5 Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan ... 32

6 Analisis ragam rendemen jernang ... 33

7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang ... 33

8 Rata-rata kadar air jernang ... 34

9 Analisis ragam kadar air jernang ... 34

10 Analisis ragam kadar resin jernang ... 35

11 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar resin jernang ... 35

12 Analisis ragam kadar kotoran jernang ... 36

13 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar kotoran jernang ... 36

14 Rata-rata kadar abu jernang ... 37

15 Analisis ragam kadar abu jernang ... 37

16 Analisis ragam titik leleh jernang ... 38

17 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap titik leleh jernang ... 39


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Penampang buah rotan jernang ... 9

2 Diagram alir penelitian ... 14

3 Sketsa lokasi penelitian ... 23

4 Tahapan pemanenan buah ... 27

5 Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat ... 29

6 Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara tradisional (masyarakat) ... 31


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Dokumen penelitian ... 45

2 Pengukuran kadar air buah ... 46

3 Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan ... 46

4 Pengukuran kadar abu ... 46

5 Pengukuran kadar air ... 47

6 Pengukuran titik leleh dan warna ... 47

7 Pengukuran kadar resin ... 48

8 Pengukuran kadar kotoran ... 48

9 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap rendemen ... 49

10 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar resin ... 50

11 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar air ... 51

12 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar kotoran ... 52

13 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar abu ... 53


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jernang merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang telah lama dikenal sebagai barang ekspor. Dunia perdagangan mengenalnya dengan sebutan “dragon’s blood”. Sumber penghasil utama jernang adalah buah rotan jernang dari kelompok Daemonorops, dengan nama lokal “jernang”. Kegunaan jernang adalah untuk bahan baku pewarna dalam industri keramik, marmer, alat-alat batu, kayu, kertas dan keperluan industri farmasi (Januminro 2000). Mengingat jernang sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati yang memiliki manfaat ekonomi dan ekologi, maka teknik pemanenan dan pengolahan yang tepat diperlukan untuk meningkatkan produksi jernang.

Menurut Januminro (2000), pemanenan buah dilakukan sebelum buah masak karena buah yang sudah masak resin jernangnya sudah keluar mencair dan jatuh ke tanah. Menurut Winarni et al. (2005), potensi produksi jernang semakin berkurang. Penyebaran jernang pada umumnya masih terdapat di hutan alam dan hutan lindung. Semakin banyak orang mengetahui manfaat jernang yang cukup banyak, maka banyak yang memanen tanpa memperhatikan kelestariannya. Menurut Kalima (1991), jika terpaksa pemanenan buah dilakukan dengan cara rotan di tarik dengan alat pengait atau ditebang dan dipanen batangnya, sehingga teknik pemanenan buah perlu diperhatikan lebih lanjut agar produksi jernang dapat meningkat.

Pada umumnya cara yang digunakan masyarakat dalam menghasilkan jernang adalah dengan cara menumbuk buah rotan dalam keranjang sampai mengeluarkan resin (Januminro 2000). Cara masyarakat tersebut menghasilkan jernang dengan kadar kotoran yang cukup besar yaitu 16% (Waluyo 2002). Berdasarkan SNI jernang (2010), kadar kotoran tersebut termasuk mutu A karena kurang dari 39%. Selain itu, menurut Suwardi et al. (2003), cara masyarakat menghasilkan rendemen sekitar 4 sampai dengan 6%.

Beberapa penelitian dilakukan untuk meningkatkan rendemen dan menurunkan kadar kotoran untuk meningkatkan mutu. Menurut Suwardi et al.


(16)

(2003), cara pengolahan buah yang menggunakan alkohol atau metanol mampu menghasilkan jernang dari sumber buah yang sama akan meningkat sekitar 4 sampai dengan 5 kali cara masyarakat. Bahkan bila ekstraksi hanya dilakukan terhadap daging buah saja, rendemen yang diperoleh mencapai 31,5% dengan pelarut metanol dan 29% dengan pelarut alkohol. Meskipun cara ekstraksi jernang dengan alkohol menghasilkan rendemen yang tinggi namun investasi alat, biaya operasional yang akan dikeluarkan jauh lebih besar dan sulit diterapkan oleh masyarakat setempat, sehingga perlu dicari alternatif teknologi pengolahan yang tepat guna.

Menurut Sumarna (2004), cara lain adalah cara basah yaitu dengan merendam buah dalam air selama 1 sampai dengan 2 hari pada suhu kamar (sekitar 25±3°C), selanjutnya dengan cara mengaduk-aduk buah di dalam bejana maka jernang akan mengendap di dasar bejana. Jernang tersebut dipisahkan dari air dan siap untuk dijemur hingga diperoleh jernang dalam keadaan kering. Cara basah pernah dikerjakan oleh masyarakat namun cara ini memerlukan waktu yang lama, sehingga tidak digunakan. Oleh karena itu data pengujian mutu belum ditemukan walaupun menurut masyarakat hasil yang diperoleh akan lebih banyak dibandingkan penumbukan.

Menurut Coppen (1995) dalam Winarni et al. (2005), titik cair resin jernang sekitar 120°C, sehingga alternatif pengolahan yang dapat diterapkan adalah proses perebusan dalam air. Proses perebusan diduga akan mencairkan jernang yang berada di bagian daging dan kulit buah, sehingga jernang lebih mudah diekstraksi. Jernang yang berada dipermukaan air diambil dan kemudian akan mengering. Oleh karena itu dibandingkan dengan cara masyarakat, proses perebusan diharapkan dapat menurunkan kadar kotoran jernang yang dihasilkan. Penelusuran pustaka belum menemukan pengaruh cara perebusan ini terhadap rendemen dan mutu.

Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Untuk itu, penelitian dilakukan dengan membandingkan cara masyarakat dan direbus dalam air.


(17)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menganalisis potensi rotan penghasil jernang di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

b. Menguraikan teknik pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat desa.

c. Menganalisis rendemen dan mutu jernang yang dihasilkan dari pengolahan cara masyarakat dan cara perebusan.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yaitu dapat menambah wawasan ilmu dan menunjang sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu kehutanan serta diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang teknik pemanenan buah rotan jernang yang benar dan pengolahan jernang yang mampu meningkatkan rendemen dan mutu jernang melalui cara tepat guna.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan HHBK adalah pemanfaatan HHBK melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, ulat sutera, gondorukem dan lain-lain. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri.

2.2 Rotan

Semua jenis bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari tanaman yang termasuk subdivisi Gymnospermae dan Angiospermae. Dari subdivisi gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal dari kelas

Coniferales (kayu konifer/softwood), sedangkan dari sub-divisi Angiospermae

terbagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae. Dari kelas dicotyledon dihasilkan kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Arecales, family

palmae (Arecaceae) (Uhl dan Dransfield 1987 dalam Rachman dan Jasni 2008). Rotan tergolong tumbuhan hutan dari anggota kelompok tumbuhan Palmae (Arecaceae) yang memanjat (liana). Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sumberdaya rotan tertinggi. Sebanyak 516 jenis rotan yang sudah tercatat dan diketahui diseluruh Asia Tenggara dan sebanyak ± 306 jenis telah teridentifikasi dan menyebar di Indonesia. Rotan telah dipungut, dipakai, diolah dan diperdagangkan oleh penduduk Indonesia yang tinggal disekitar hutan untuk memenuhi permintaan rotan lokal dan internasional (Januminro 2000). Hingga


(19)

saat ini rotan dikenal hanya bentuk produk berupa batang dengan ragam jenis dan sebagian besar memiliki peruntukan sebagai bahan baku industri tikar, berbagai jenis barang kerajinan serta perlengkapan rumah tangga dan berbagai produk mebeler (furnitur). Produk komoditas rotan yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia adalah produk turunan dari buah rotan jernang yang dapat menghasilkan produk berupa resin. Produk resin yang sejak masa penjajahan Belanda telah diketahui adalah resin jernang yang lebih dikenal dengan nama “darah naga“ dan dalam perdagangan internasional dikenal sebagai “dragon’s blood “ (Arifin 2007).

2.2.1 Rotan penghasil jernang

Jernang merupakan hasil ekstraksi buah beberapa jenis rotan dari kelompok

Daemonorops. Jernang adalah suatu padatan yang mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap (Sumadiwangsa 2000 dalam Winarni et al. 2005). Diakui bahwa potensi resin jernang tergolong semakin menurun disebabkan oleh pola produksi yang tidak lestari. Masyarakat Suku Kubu di Sumatera dan Suku Dayak di Kalimantan telah lama memanfaatkan resin jernang sebagai bahan pewarna pakaian. Namun, karena tidak disertai upaya penanaman kembali, serta pemanenan yang dilakukan dengan cara memotong batang sehingga dapat mengakibatkan kelestarian produksi tidak terjamin. Saat ini, masyarakat sudah mulai kesulitan memperoleh jernang di hutan alam (Arifin 2007).

Dragon’s blood merupakan resin yang dihasilkan dari genus Daemonorops

yang terdapat pada daging dan permukaan kulit buah rotan jernang dewasa. Berikut beberapa jenis Daemonorops penghasil jernang (Purwanto et al. 2005): a. D. acehensis Rustiami

Merupakan jenis endemik di Aceh Utara. Tergolong jenis rotan berukuran kecil, batang bisa mencapai 5 m, diameter batang tanpa pelepah 10 mm, diameter batang dengan pelepah 25 mm, panjang ruas batang mencapai 50 mm. Buahnya bulat berukuran 2,2x1,8 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan.

b. D. brachystacliys Furt.

Penyebaran jenis ini meliputi daerah Kelantan, Kedah, Perak, Selangor, Sumatera Utara dan Jambi. Diameter batang tanpa pelepah 4 cm, diameter


(20)

batang dengan pelepah 6 cm dan panjang batang ± 1 m. Buahnya berukuran 2,5x2 cm2. Kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan.

c. D. didymophyllus Becc.

Daerah penyebarannya meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand Selatan. Buahnya hanya sedikit menghasilkan jernang. Jenis rotan ini bisa tumbuh dari pantai hingga ketinggian 1000 mdpl. Karakteristik morfologi dari jenis rotan ini adalah tumbuh merumpun, batangnya berukuran sedang berdiameter sampai 12 mm tanpa pelepah daun dan 30 mm dengan pelepah daun dengan ruas batang berukuran 10 sampai dengan 12 cm2. Warna batangnya kusam kecokelat-cokelatan dan bagian dalam berwarna cokelat muda. Mutu batangnya tergolong rendah sehingga masyarakat menggunakannya sebagai bahan pembuatan peralatan rumah tangga seperti keranjang. Buahnya dapat dimakan digunakan sebagai obat sakit diare.

d. D. draco (Willd.) Blume

Daerah penyebaran jenis ini adalah Sumatera dan Kalimantan. Jenis rotan ini tumbuh merumpun di kawasan lembah dan banyak ditemukan di kawasan sekitar limpahan air Sungai. Panjang batang bisa mencapai 15 m dan panjang ruasnya 15 sampai dengan 35 cm2. Diameter batang tanpa pelepah 8 sampai dengan 14 mm, diameter batang dengan pelepah 30 mm. Warna batang cokelat kekuningan dan mengkilat. Jenis ini penghasil jernang terbanyak dibandingkan jenis lainnya. Pada umumnya buah yang dipanen untuk menghasilkan jernang terbanyak yaitu buah yang menjelang masak. Apabila buah terlalu masak maka resin yang diperoleh sedikit dan batangnya digunakan untuk membuat peralatan rumah tangga. Mutu rotannya termasuk mutu rendah.

e. D. dracuncula Ridl.

Merupakan jenis endemik Siberut, Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jenis ini merupakan jenis rotan yang tumbuhnya soliter, batang berukuran kecil berdiameter 30 mm dengan pelepah daun dan 20 mm tanpa pelepah daun. panjang batang hanya sekitar 2 m. Buah berukuran 2,2x0,9 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecoklatan tua. Buahnya dapat dimakan dan rasanya agak sepat.


(21)

f. D. dransfieldii Rustiami

Daerah penyebarannya meliputi daerah Sumatera Barat dan Batang Palupuh Bukit Tinggi. Jenis ini dikategorikan sebagai rotan berbatang kecil dengan panjang dapat mencapai 6 m. Diameter 25 mm dengan pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2,5x1 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Buahnya dapat dimakan dan rasanya agak manis serta batangnya dapat digunakan sebagai tali.

g. D. maculata J. Dransf.

Jenis ini merupakan endemik di Kalimantan dan Brunei. Jenis ini tumbuh soliter dan batang bisa mencapai 5 m. Diameter 20 mm dengan pelepah daun dan 12 mm tanpa pelepah daun. Buah menghasilkan jernang berwarna merah tua dan merupakan jenis rotan penghasil jernang cukup banyak.

h. D. micracantha (Griff.) Becc.

Penyebarannya meliputi wilayah Semenanjung Malaysia, Serawak, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Jenis ini tumbuh memanjat, soliter dan banyak ditemukan di hutan dataran rendah dekat Sungai atau dekat kawasan tergenang pada ketinggian 0 sampai dengan 500 mdpl. Panjang batang bisa mencapai 20 m, diameter 11 sampai dengan 20 mm dengan pelepah daun dan 6 sampai dengan 11 mm tanpa pelepah daun. Buah berukuran 1,5x1,5 cm2. Jernang yang dihasilkan memiliki mutu terbaik dengan warna merah tua yang mengkilap. Selain sebagai rotan penghasil jernang, batangnya mempunyai mutu cukup baik dan digunakan untuk bahan kerajinan rumah tangga seperti tikar, kursi dan tali.

i. D. rubra Blume

Daerah penyebarannya di Sumatera dan Jawa. Jenis ini tumbuh merumpun dengan ketinggian mencapai 10 m. Diameter 40 mm dengan pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x2 cm2. Buah menghasilkan jernang cukup banyak.

j. D. siberutensis Rustiami

Masyarakat Palembang menyebutnya sebagai rotan bugkus, Suku Kubu menyebutnya rotan kelemunting. Jenis ini termasuk rotan kecil dan tumbuh


(22)

merumpun dengan panjang batang bisa mencapai 5 m. Diameter 17 mm dengan pelepah daun dan 9 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x1,2 cm2 dapat dimakan dan rasanya agak manis dan sepat. Kulit buah dapat menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Batangnya tidak bisa digunakan sebagai bahan tali karena mudah putus.

k. D. sekundurensis Rustiami & Zumaidar

Penyebarannya di Sumatera Utara dan Aceh. Tumbuh di kawasan lereng perbukitan dan hutan-hutan terganggu pada ketinggian 800 mdpl. Jenis rotan ini dikategorikan sebagai rotan kecil dengan panjang batang mencapai 2 m. Diameter 9 mm dengan pelepah daun dan 5 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 1,5x1 cm2 dan menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan.

2.2.2 Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume)

a. Akar rotan

Menurut Januminro (2000), akar rotan merupakan bagian tanaman yang sangat penting karena memiliki beberapa fungsi yaitu memperkuat tanaman berdiri secara keseluruhan, menyerap air dan zat-zat makanan yang tersedia dari dalam tanah dan mengangkut air dan zat makanan yang sudah terserap kebagian tubuh lainnya. Seperti halnya tanaman lain dari suku Palmae (Arecaceae), akar rotan memiliki sifat yaitu sistem perakaran serabut dan akar rotan berwarna keputih-putihan atau kekuning-kuningan.

b. Batang rotan

Batang rotan jenis Daemonorops draco (Willd.) Blume bisa mencapai 15 m. Jenis ini tumbuh berumpun (Kalima 1991). Pada beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak daun yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun (Rachman dan Jasni 2008). c. Daun

Menurut Kalima (1991), pangkal tandan daun berlutut jelas, sepanjang tandan daun terdapat duri-duri panjang tersusun mengelompok, makin ke ujung dahan duri berukuran pendek. Kedudukan sirip daun berselang-seling. Panjang sirip daun mencapai 44 cm, lebar 2,5 cm dan jumlah sirip daun mencapai 50


(23)

pasang. Jarak pangkal tandan sampai sirip daun pertama 55 cm dan panjang daun sampai 3 m.

d. Bunga

Bunga rotan terbungkus oleh seludang. Jika seludang terbuka, maka bunga jantan siap membuahi, sedangkan bunga betina mulai masak pada hari ke-13 sampai hari ke-27 setelah seludangnya pecah. Ukuran bunga rotan relatif kecil, hanya beberapa jenis saja yang ukurannya mencapai 1 cm atau lebih. Warna bunga rotan bervariasi yaitu kecokelatan, kehijauan, atau krem. Masa berbunga sampai buah masak selama 7 sampai 13 bulan. Berdasarkan pengalaman, buah rotan akan masak berkisar bulan Agustus (Januminro 2000). e. Buah rotan jernang

Buah rotan jernang terdiri atas kulit luar berupa sisik (pericarp) yang berbentuk trapesium dan tersusun secara vertikal dari toksis buah. Ukuran sisik bervariasi, tergantung pada ukuran buah masing-masing, makin besar ukuran buah maka makin besar pula ukuran sisiknya. Bentuk permukaan buah rotan jernang halus (laevis) atau kasar berbulu (glaberous), sedangkan bentuk buah rotan jernang pada umumnya bulat, lonjong, atau bulat telur. Kulit buah rotan jernang yang sudah matang berwarna cokelat, cokelat merah dan kemerah-merahan yang terdapat produk turunan buah berupa resin berwarna merah dan dalam perdagangan internasional dikenal sebagai produk darah naga atau “dragon’s blood”. Bagian bawah kulit buah terdapat sejenis selaput tipis berwarna putih membungkus daging buah, setelah buah terdapat biji rotan (Gambar 1).

Gambar 1 Penampang buah rotan jernang (Arifin 2007).

Biji buah rotan jernang memiliki permukaan rata dan halus atau kasar berlekuk dangkal. Setiap biji rotan memiliki 1 sampai dengan 3 embrio yang tertutup oleh lapisan selaput keras sebagai pelindung embrio. Jenis buah rotan

Kulit buah rotan Daging buah

Biji


(24)

jernang dari marga Daemonorops, dibawah permukaan kulit buahnya mengandung banyak resin (Januminro 2000).

f. Alat perambat (Assesory)

Tanaman rotan dilengkapi sejenis alat perambat yang dikenal dengan nama sulur panjat. Sulur panjat ini tumbuh dari ruas batang dan panjangnya bervariasi antara 3 sampai 5 cm, tergantung pada jenis dan varietasnya. Sepanjang sulur dengan jarak tertentu ditumbuhi duri-duri pendek yang kuat. Fungsi sulur panjat ini, selain melapisi batang agar tumbuh kuat adalah sebagai alat perambat atau pengikat disekitar tempat tumbuh rotan (Januminro 2000).

2.2.3 Fisiologi perkembangan tumbuh

Berdasarkan pengamatan Sumarna (2009), jernang ditemukan di Taman Nasional (TN) Bukit 12 Jambi pada kondisi topografi relatif datar dan bergelombang. Jenis tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian tempat tumbuh 150 sampai dengan 200 mdpl. Secara ekologis, parameter suhu udara 22,3 sampai 32°C dengan kelembaban nisbi 81% dan intensitas cahaya 56,3%. Potensi populasi jenis rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) rata-rata berjumlah 3 rumpun dengan jumlah anakan 6 batang.

2.3 Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang

Menurut Januminro (2000), selain menghasilkan batang, rotan dari marga

Daemonorops juga menghasilkan resin dari buahnya. Pemungutan buah rotan jernang dilakukan sekitar bulan Agustus dan Oktober, karena pada bulan-bulan tersebut buah rotan jernang siap untuk dipanen. Panen buah rotan jernang dilakukan 2 kali dalam setahun. Adapun tata cara pemungutan buah rotan jernang adalah sebagai berikut:

1. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua tapi belum masak, karena buah yang sudah masak resin jernangnya sudah mencair dan jatuh ke tanah. 2. Buah yang dipanen dipotong tandannya dengan pisau atau dengan alat

pemotong lainnya.

3. Buah dipisahkan dari tandannya dan dimasukkan ke dalam tempat yang telah disiapkan.


(25)

Menurut Sumarna (1995), dalam proses pengumpulan buah rotan jernang hal yang penting adalah mengetahui aspek kondisi kemasakan buah optimal yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang menghasilkan jernang lebih banyak adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah dikumpulkan dengan cara dipanjat melalui pohon inang di dekatnya. Buah yang rontok atau masih dalam tandan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam keranjang, diusahakan tidak berjamur.

Menurut Winarni et al. (2005), pemanenan buah yang dilakukan oleh suku Anak Dalam (Jambi) adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat jernang tumbuh. Tandan buah diambil dengan bantuan galah. Buah yang dipungut adalah buah yang sudah tua dan belum masak. Hal ini disebabkan karena buah yang sudah tua banyak mengandung jernang dibandingkan dengan buah yang masih muda.

2.4 Pengolahan Buah Rotan Jernang

Menurut Kalima (1991), sampai saat ini pengolahan buah rotan jernang dilakukan secara tradisional dengan hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Cara pengolahan yang dilakukan di tingkat desa masih terbatas pada pengolahan awal yaitu mempersiapkan jernang sebelum dipasarkan. Pengolahan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat yaitu melalui penumbukan. Dari proses tersebut akan diperoleh serbuk jernang berwarna merah. Menurut Januminro (2000), cara menumbuk buah rotan jernang dapat mempengaruhi mutu jernang yang dihasilkan. Jika kulit buah tercampur dengan jernang maka mutu jernang yang dihasilkan akan menurun.

2.5 Mutu Jernang

Menurut Winarni et al. (2005), mutu terbaik berbentuk silindris panjang 30 sampai dengan 35 cm dengan tebal 2 sampai dengan 2,5 cm dan berbentuk bulat telur. Mutu nomor dua berbentuk lempeng, sedangkan mutu nomor tiga berbentuk lembaran kertas. Mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan diperoleh serbuk berwarna merah tembaga yang larut dalam spirtus dengan warna terang.


(26)

Bila dilarutkan dalam alkohol akan diperoleh 9% residu yang terdiri dari serat dan pasir. Mutu rendah menghasilkan 20% residu.

Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang

No Jenis uji Satuan Persyaratan

Mutu super Mutu A Mutu B

1 Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min.60 Min.25

2 Kadar air (b/b) % Maks.6 Maks.8 Maks.10

3 Kadar kotoran (b/b) % Maks.14 Maks.39 Maks.50

4 Kadar abu (b/b) % Maks.4 Maks.8 Maks.20

5 Titik leleh °C Min.80 Min.80 -

6 Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar

Sumber : SNI jernang (2010)

2.6 Pemanfaatan Jernang

Beberapa pemanfaatan jernang yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut (Purwanto et al. 2005):

a. Bahan pewarna

Jernang digunakan sebagai bahan pewarna yang memberikan warna merah kecokelatan. Misalnya pewarna industri batik, berbagai jenis kerajinan tangan seperti anyaman daun pandan, rotan dan bahan lainnya. Selain itu, jernang digunakan sebagai pewarna tubuh (ornamental body), pada umumnya digunakan sebagai pewarna merah pada bagian sekitar mata dan tato. Para pelukis menggunakan jernang sebagai bahan pewarna lukisannya yang memberikan warna merah ungu yang indah.

b. Bahan ramuan obat-obatan

Secara tradisional pemanfaatan jernang sebagai ramuan obat diare dan gangguan pencernaan lainnya. Di Eropa digunakan sebagai bahan baku obat-obatan seperti sakit disentri dan diare serta sebagai astringen pada pasta gigi. Jernang mengandung resin-alcohol, draco-resinotannol dan sekitar 56% bahan tersebut berasosiasi dengan benzoic dan benzoic acid. Di Malaysia, jernang digunakan sebagai bahan pengobatan gangguan pencernaan sedangkan masyarakat Benua menggunakannya sebagai bahan ramuan penyakit kencing darah, sariawan dan sakit perut. Di Yunani, pada masa lalu “dragon’s blood”

digunakan sebagai bahan obat sakit mata. Pada zamannya Rumphius, serbuk jernang digunakan sebagai bahan obat penyembuh luka. Sebagai bahan membuat obat-obatan, jernang berkhasiat menghentikan pendarahan, obat luka


(27)

memar, melindungi permukaan luka bernanah menjadi busuk dan menghilangkan rasa sakit pada luka yang kronis.

c. Dupa

Pada masa lalu, jernang digunakan sebagai dupa karena baunya yang wangi, maka jernang digunakan sebagai pengganti kemenyan sehingga dinamakan “kemenyan merah”. Namun penggunaan jernang sebagai pengganti kemenyan sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Sumatera, karena orang lebih suka menggunakan kemenyan asli yang harganya lebih murah.

d. Magis

Jernang dipercaya sebagai bahan penambah tenaga dalam ritual magis. Pembakaran jernang pada dupa menyebabkan meningkatnya tingkat magis pada mantra-mantra yang dibacakan, sebagai penambah minyak dan sabun mandi, dapat juga untuk mengusir setan di sekitar rumah yaitu dengan membakar jernang dan asapnya disebarkan di sekeliling rumah.

e. Jernang digunakan sebagai campuran pembuatan minyak wangi.

2.7 Kandungan Senyawa Kimia

Jernang dimasukkan dalam kelompok resin keras yaitu padatan yang mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau yang khas. Jernang berwarna merah berbentuk amorf, BJ 1,18 sampai dengan 1,20, bilangan asam rendah, bilangan ester sekitar 140, larut dalam alkohol dan titik cair sekitar 120°C, larut dalam alkohol eter, minyak lemak dan minyak atsiri, sebagian larut dalam kloroform, etil asetat, petroleum spiritus, karbon disulfida dan tidak larut dalam air (Coppen 1995

dalam Winarni et al. 2005).

Menurut Thorpe dan Whiteley (1944) dalam Suwardi et al. (2002), komponen utama jernang adalah resin alkohol yaitu 50 sampai dengan 60% draco resino-tanol terutama dalam bentuk benzoat dan ester benzoyl asetat, 2,5% draco alban dan 11% draco resen. Kadar mineral kurang dari 9%. Pada umumnya jernang dipalsukan dengan penambahan gondorukem yang menyebabkan bilangan asam naik dan bilangan ester turun. Bahan pigmen dari dragon’s blood Indian adalah draco rubin dengan titik leleh 315°C.


(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Langkah Kerja Penelitian

Studi literatur merupakan input dari penelitian ini. Langkah kerja peneliti yang akan dilakukan meliputi pengambilan data potensi, teknik pemanenan buah rotan jernang dan membandingkan cara masyarakat dengan cara perebusan disajikan pada Gambar 2. Dari langkah kerja peneliti tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mutu jernang.

Gambar 2 Diagram alir penelitian. Data penelitian

Pengolahan data potensi jernang di Kabupaten

Sarolangun (lapangan/data sekunder)

Cara pemanenan buah rotan jernang (lapangan/data primer)

Pengambilan data di Dinas Kehutanan provinsi Jambi

dan LSM

Pemetikan buah setelah itu buah rotan jernang diangin-anginkan

Cara alternatif (Cara perebusan) Cara masyarakat yaitu

dengan menumbuk buah rotan jernang

Penetapan rendemen dan Sifat fisiko-kimia jernang

Penetapan rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang

Membandingkan

Upaya peningkatan produksi dan mutu


(29)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Penelitian di lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 Juni sampai dengan 6 Juli 2010 dan dilanjutkan di Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB pada 19 Juli sampai dengan 25 Agustus 2010.

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah galah dan pengait, keranjang, kayu penumbuk buah rotan jernang, aluminium foil, gelas piala 1000 ml, saringan kawat nyamuk berukuran 15x15 cm2, cawan petri, timbangan, plastik, kertas saring, pipa kapiler, melting point, hotplate/penangas air, desikator, oven suhu ± 105°C, oven 1000°C (tanur), soklet, Microsoft Excel, software SPSS 12 dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah rotan jernang, air, toluena, dietil eter dan etanol.

3.4 Jenis Data

a. Potensi jernang

Cara pengumpulan data potensi jernang dilakukan melalui studi pustaka. Data potensi jernang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat membantu dalam pencarian informasi. Data yang diperlukan meliputi nama desa atau kecamatan, luas areal yang ditanam jernang dan jumlah panen buah per rumpun.

b. Teknik pemanenan buah rotan jernang

Cara yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai teknik pemanenan buah rotan jernang adalah melalui pengamatan langsung di lapangan yaitu mengamati teknik petani memanen buah rotan jernang dengan mengetahui ciri-ciri kemasakan buah yang siap untuk dipanen dan alat pemanenan yang digunakan.

c. Ekstraksi jernang cara masyarakat dan cara alternatif (perebusan dalam air) c.1 Cara masyarakat

Pengolahan jernang yang dilakukan oleh masyarakat yaitu: a) Buah rotan jernang yang terkumpul dilepas dari tandannya.


(30)

b) Sampel buah rotan jernang dibungkus dengan aluminium foil dan dibawa ke Bogor untuk ditimbang, yang digunakan untuk perhitungan kadar air. Kadar air dapat dihitung dengan cara sebagai berikut  (ASTM D2016-74 1981):

KA = Berat basahB buah -Berat kering tanur buah

erat kering tanur buah x %

c) Buah yang telah terkumpul diangin-anginkan.

d) Buah rotan jernang ditumbuk agar memperoleh serbuk. e) Serbuk jernang dimasukkan ke dalam plastik.

c.2 Cara perebusan

Cara alternatif yang diteliti adalah dengan cara perebusan yaitu: a) Buah rotan jernang yang dibawa ke Bogor dilakukan perhitungan kadar

air seperti cara masyarakat di atas.

b) Menimbang buah rotan jernang sebanyak 400 g.

c) Buah rotan jernang dipisahkan antara biji dengan kulit dan daging, yang digunakan dalam penelitian adalah kulit dan daging buahnya.

d) Kulit dan daging buah rotan jernang tersebut dimasukkan ke dalam gelas piala dan kemudian dibatasi dengan saringan kawat nyamuk setelah itu isi dengan air sekitar dua kali dari ketinggian buah rotan jernang kemudian direbus hingga mendidih dengan waktu yang telah ditetapkan. e) Jernang akan keluar dan berada di lapisan atas rebusan. Bagian jernang

dipisahkan selama proses perebusan, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven ± 105°C.

Rancangan percobaan untuk cara perebusan adalah: A. Perlakuan 1: cara masyarakat

B. Perlakuan 2: direbus selama 1 jam C. Perlakuan 3: direbus selama 2 jam D. Perlakuan 4: direbus selama 3 jam

Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan 4 perlakuan sehingga terdapat 12 unit percobaan. Masing-masing percobaan menggunakan buah rotan jernang sebanyak 400 g. Dari percobaan tersebut diperoleh rendemen yang akan digunakan dalam pengujian mutu. Jernang yang dibutuhkan untuk pengujian sebanyak ± 6 g per perlakuan.


(31)

d. Menghitung rendemen jernang hasil ekstraksi

Perhitungan rendemen bagi kedua cara pengolahan jernang dilakukan dengan cara menimbang buah rotan jernang sebelum diekstrak dan jernang hasil ekstraksi. Besarnya rendemen dihitung dengan rumus (ASTM D2016-74 1981):

Kadar air (%) = x %

Æ BKT (Berat Kering Tanur) =

Berat basah

1+KA x %

Rendemen (R) = Output

Input (BKT) x % (Waluyo 2008)

e. Analisis sifat fisiko-kimia jernang

Analisis mutu jernang mengacu pada SNI jernang (2010), parameter yang diuji adalah sifat fisiko-kimia jernang yang terdiri dari:

a. Kadar resin

Kadar resin ditentukan dengan cara mengekstrak jernang dengan suatu pelarut organik yang dinyatakan dengan persen berat per berat. Kadar resin dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:

a) Menimbang 1 g jernang yang telah dihaluskan di dalam timbel yang telah dibuat kemudian dimasukkan ke dalam soklet.

b) Soklet diisi dengan 150 ml dietil eter yang ditampung pada labu didih 250 ml.

c) Soklet dihubungkan dengan kondenser dan air pendingin untuk melakukan ekstrak jernang secara sempurna kemudian memisahkan dietil eter secara maksimal sehingga diperoleh resin.

d) Resin yang diperoleh dipisahkan dengan 50 ml air pada labu pemisah. e) Mengocok labu pemisah agar resin yang masih terikat dapat terekstrak. f) Resin dipisahkan dari air suling, kemudian menguapkan dietil eter di atas

penangas air/hotplate.

g) Ekstrak resin dikeringkan sampai diperoleh berat labu pemisah dan resin yang tetap di dalam desikator.

Kadar resin (%) = W – W


(32)

Keterangan : W adalah berat serbuk jernang (g) W1 adalah berat labu pemisah (g)

W2 adalah berat labu pemisah dan resin yang tersisa (g) b. Kadar air

Kadar air ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut (ASTM D2016-74 1981):

a) Menimbang cawan petri yang telah di oven selama ± 1 jam.

b) Jernang ditimbang sebanyak 1 g yang telah dihaluskan dan dimasukkan ke dalam cawan petri.

c) Cawan yang berisi jernang dioven selama 3 jam pada suhu ± 110ºC. d) Menimbang cawan tersebut, kemudian mengoven kembali selama 3 jam

untuk memperoleh hasil yang konstan kemudian menimbang. Kadar air (%) = W1 - W2

W2 x

Keterangan : W1 adalah berat jernang

W2 adalah berat jernang setelah di oven c. Kadar kotoran

Kadar kotoran ditentukan dengan cara melarutkan jernang dalam toluena. Bahan tak larut dalam toluena tertinggal di kertas saring. Kadar kotoran ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:

a) Jernang yang telah dihaluskan ditimbang ± 1 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml, kemudian dilarutkan dengan toluena sebanyak ± 8 ml. b) Jernang diaduk hingga terlarut seluruhnya.

c) Menuangkan sisa jernang yang tidak larut ke dalam kertas saring.

d) Gelas piala dibilas dengan toluena hingga bersih kemudian menyaringnya.

Kadar kotoran (%) = W1 - W2

W x

Keterangan : W adalah berat jernang (g) W1 adalah kertas saring (g)


(33)

d. Kadar abu

Kadar abu ditentukan dengan mengukur zat mineral bahan organik dalam jernang yang tidak habis terbakar setelah pemanasan 800°C sampai 1000°C. Kadar abu dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut: a) Memanaskan oven tanur pada suhu kurang lebih 800 sampai 1000°C. b) Cawan petri yang disimpan dalam desikator dari hasil pengukuran kadar

air, digunakan untuk pengukuran kadar abu.

c) Memasukkan cawan tersebut ke dalam tanur selama ± 8 jam.

d) Oven dibuka setelah ± 12 jam, kemudian mengambil cawan dan dimasukkan ke dalam desikator.

e) Menimbang berat cawan berisi abu. Kadar abu (%) = W ‐ WW x Keterangan :  W adalah berat jernang (g)

W1 adalah berat cawan (g) W2 adalah berat cawan + abu (g) e. Titik leleh

Titik leleh diukur dengan menggunakan alat melting point. Jernang yang dibuat serbuk halus dilelehkan pada suhu rendah. Titik leleh dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:

a) Memasukkan serbuk jernang ke dalam pipa kapiler hingga padat dan dorong serbuk jernang hingga berada pada posisi ditengah pipa kapiler b) Melting point dipanaskan pada suhu awal 40ºC.

c) Pipa kapiler yang berisi jernang diletakkan pada melting point.

d) Lalu mengamati terus sampai jernang dalam pipa kapiler meleleh seluruhnya, kemudian mencatat suhu tersebut.

f. Penentuan warna

Warna ditentukan dengan pengamatan secara visual setelah jernang dilarutkan dengan etanol dan dituangkan ke atas kertas putih. Warna dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut:


(34)

b) Jernang dilarutkan dalam etanol 20 ml di dalam gelas piala dan didiamkan beberapa saat.

c) Menuangkan secara perlahan-lahan ke atas kertas putih kemudian diangin-anginkan dan diamati.

Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu jernang

No Jenis uji Satuan Persyaratan

Mutu super Mutu A Mutu B

1 Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min.60 Min.25

2 Kadar air (b/b) % Maks.6 Maks.8 Maks.10

3 Kadar kotoran (b/b) % Maks.14 Maks.39 Maks.50

4 Kadar abu (b/b) % Maks.4 Maks.8 Maks.20

5 Titik leleh °C Min.80 Min.80 -

6 Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar

Sumber : SNI jernang(2010)

3.5 Pengolahan Data

Analisis data percobaan dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu sebagai berikut: Yij = μ + αi + εij

Keterangan:

Yij = Varian yang diamati (rendemen dan sifat fisiko-kimia)

Μ = Nilai rata-rata umum

αi = Pengaruh perlakuan dengan cara masyarakat, perebusan 1, 2 dan 3 jam

terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang.

ε ij = Pengaruh galat percobaan dari ke-i (1, 2 dan 3 jam) pada ulangan ke-j (3

kali ulangan)

Berdasarkan rancangan tersebut, maka disusun analisis ragam seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Analisis ragam

Sumber Keragaman DB JK KT Fhit F5%

Perlakuan Galat

t-1 (r-1)(t-1)

JKP JKG

KTP KTG

KTU/KTG KTP/KTG

Total (rt-1) JKT

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap rendemen dan mutu jernang yang dibuat maka dilakukan analisis ragam. Nilai hitung yang diperolah dari analisis ragam tersebut dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 95% dengan kaidah keputusan:

1. Hipotesis pertama: apabila F-hitung < F-tabel, maka terima H0 yaitu


(35)

tidak memberikan pengaruh nyata atau sangat tidak nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang pada selang kepercayaan 95% sehingga H1 ditolak.

2. Hipotesis kedua: apabila F-hitung > F-tabel, maka terima H1 yaitu

perlakuan antara cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata pada rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang pada selang kepercayaan 95% sehingga H0 ditolak.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 12. Apabila perlakuan memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan


(36)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas Wilayah

Berdasarkan data BPS (2001), Kabupaten Sarolangun terletak di Provinsi Jambi. Secara geografis, Kabupaten Sarolangun terletak pada titik koordinat antara 01°53’39’’ sampai 02°46’02’’ Lintang Selatan dan antara 102°03´39’’ sampai 103°13´17’’ Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai dengan 1000 mdpl, dengan pembagian wilayah dan batas sebagai berikut:

a) Utara : Kabupaten Batang Hari

b) Selatan : Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu  c) Barat : Kabupaten Merangin

d) Timur : Kabupaten Batang Hari dan Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi 6.174 km2, terdiri dari dataran rendah 5.248 km2 (85%) dan dataran tinggi 926 km2 (15%). Secara administratif Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 kecamatan, 6 kelurahan dan 124 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 214.036 jiwa dengan kepadatan penduduk 32 jiwa/ km2 dan jumlah penduduk pada tahun pada tahun 2010 sebanyak 245.848 jiwa.

Berdasarkan Gita Buana (2009), Desa Lamban Sigatal merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pauh, Kabuapten Sarolangun, Provinsi Jambi. Wilayah Desa Lamban Sigatal dibagi dalam dua bagian yaitu: Dusun Lamo dan Kampung Kelapa. Wilayah Desa Lamban Sigatal berbatasan langsung dengan empat desa yaitu:

a) Sebelah Utara : Desa Baru/Pamusiran Kecamatan Mandiangin

b) Sebelah Selatan : Desa Seko Besar (Trans Lubuk Napal) Kecamatan Pauh c) Sebelah Barat : Desa Lubuk Napal Kecamatan Pauh


(37)

 

4.2 Aksesibilitas

BedasarkanBursa Transmigrasi (2010), akses menuju Desa Lamban Sigatal adalah sebagai berikut:

a) Dari Ibu Kota Provinsi (Jambi) ke Ibukota Kabupaten (Sarolangun) dengan jarak 179 km2 melalui jalan darat, ditempuh selama 4 jam dengan mobil. b) Dari Ibukota Kabupaten (Sarolangun) ke Kecamatan (Pauh) dengan jarak 25

km2 melalui jalan darat, ditempuh selama 1 jam dengan mobil.

c) Dari Kecamatan (Pauh) ke Lokasi (Lamban Sigatal) dengan jarak 38 km2 melalui jalan darat waktu tempuh 1,5 jam dengan mobil/motor.


(38)

4.3 Topografi dan Iklim Wilayah

Topografi wilayah antara lain datar (0 sampai dengan 3%) sebesar 436,88 ha (70,58%), berombak (3 sampai dengan 8%) sebesar 158,27 ha (25,57%), agak bergelombang (8 sampai dengan 15%) sebesar 23,81 ha (3,85%). Jenis tanah podsolik merah kuning, aluvial. Curah hujan terdiri dari bulan basah (Agustus sampai dengan Desember) dan bulan kering (Januari sampai dengan Juli) dengan suhu rata-rata berkisar 29 sampai dengan 30,39 0C (Bursa Transmigrasi 2010).

4.4 Penduduk

Desa Lamban Sigatal memiliki penduduk sebanyak 843 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 435 jiwa dan perempuan sebanyak 408 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 180 KK atau rata-rata setiap keluarga beranggotakan 4 sampai dengan 5 jiwa. Sebagian keluarga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pencari jernang (Gita Buana 2009).


(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Potensi Jernang

Kabupaten Sarolangun memiliki sumber daya hutan yang cukup berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikelola sehingga mewujudkan kehidupan masyarakatnya yang baik secara berkelanjutan. Tercatat di kabupaten tersebut seluas 252.377 ha wilayah atau 40% dari luas total wilayah daerah merupakan kawasan hutan yang terdiri atas: hutan produksi (99.851 ha), hutan produksi terbatas (89.357,87 ha), hutan lindung (54.285 ha), kawasan taman nasional (8.810 ha) dan cagar alam (73.740 ha) (Disbunhut Kab. Sarolangun 2009).

Berdasarkan wawancara masyarakat desa, pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam 1 ha terdapat 500 rumpun jernang dengan jarak tanam 4 m x 5 m. Dalam satu rumpun terdapat lima batang, diperoleh 2.500 batang/ha. Menurut masyarakat 60% batang betina, sehingga 1.500 batang siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga dapat menghasilkan 4.500 tandan buah. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang dan dari 4.500 tandan buah dapat menghasilkan jernang sebanyak 90 kg/ha. Panen dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga menghasilkan jernang sebanyak 180 kg/ha/th.

Hasil inventarisasi Siswanto dan Wahjono (1996) di hutan Sarolangun-Bangko, dalam 1 ha ditemukan jernang sebanyak tiga rumpun. Namun, pencari jernang menyatakan bahwa dalam 1 ha hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah paling sedikit ditemukan tiga rumpun jernang. Berdasarkan wawancara masyarakat, dalam satu rumpun terdapat lima batang, sehingga terdapat 15 batang/ha. Menurut masyarakat 60% betina sehingga sembilan batang/ha siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga menghasilkan 27 tandan buah/ha. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang sehingga dari 27 tandan menghasilkan 0,54 kg/ha. Panen dilakukan dua kali dalam


(40)

satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga dapat menghasilkan 1,08 kg/ha/th.

Menurut masyarakat, pencarian jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di dua tempat yaitu Kecamatan Air Hitam dan Pauh. Potensi jernang di Hutan Alam blok Bukit Bahar Tajau Pecah sebesar 96,51 ton/ha dan di HTR Lamban Sigatal sebesar 130,16 ton/ha. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun dapat dihitung sebesar 226,66 ton/ha (Tabel 4). Jernang dijual dengan harga Rp 400.000/kg sampai dengan Rp 700.000/kg.

Tabel 4 Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun

No Kecamatan Lokasi Jenis hutan

Luas Jernang Potensi

(ha) (kg/ha/th) (kg/th) (ton/th)

1. Air Hitam Hutan blok Bukit Bahar tajau pecah

Hutan Alam

89.357,87 1,08 96.506,50 96,51

2. Pauh Lamban Sigatal HTR 723,09 180 130.156,20 130,16

226.662,70 226,66

Sumber: Disbunhut (2009)dan Gita Buana (2008)

Berdasarkan data BPS (2010), produksi jernang semakin menurun. Produksi terakhir pada tahun 1995 tercatat sebanyak 15 ton jernang yang dihasilkan di Provinsi Jambi. Setelah tahun 1995 sampai 2010, produksi jernang tidak tercatat lagi. Produk jernang di Kabupaten Sarolangun sampai tahun 2010 juga tidak tercatat. Menurut Sumarna (2009), secara keseluruhan populasi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) di TN Bukit 12 Jambi relatif semakin menurun, selain karena tidak berlangsungnya sistem regenerasi alami secara optimal, juga lebih disebabkan oleh pola panen produksi buah yang dilakukan masyarakat terkadang dengan cara menebang batang rotan. Menurut masyarakat, mereka menghindari memotong batang rotan walaupun sulit mengambil buah. Pencari jernang menyatakan bahwa tidak ada pemeliharaan rotan di dalam hutan. Apabila dilihat dari kondisi di lapangan tergambar bahwa proses pengambilan buah rotan jernang bersifat hanya mengambil apa yang disediakan alam.

5.2 Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan Masyarakat Daemonorops draco (Willd.) Blume atau yang dikenal dengan nama rotan jernang ditanam disekitar Desa Lamban Sigatal.Para pencari jernang yang berasal


(41)

dari Desa Lamban Sigatal sudah mulai kesulitan dalam mencari buah rotan jernang, karena rotan jernang yang berada disekitar desa sudah sulit diperoleh. Petani berlomba-lomba mencari buah rotan jernang ke kawasan hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah karena jernang dianggap bernilai jual yang tinggi. Pencarian buah rotan jernang dilakukan secara berkelompok dan mengolahnya langsung di dalam hutan. Petani hanya membawa pulang biji dan serbuk jernang yang diperoleh dari proses penumbukan.

Apabila dilihat dari daur dan masa produksi, rotan jernang mulai berbuah pada umur empat tahun. Tandan buah akan keluar dari pangkal ruas bagian atas setelah itu tandan buah akan keluar terdiri dari sejumlah calon buah dalam jumlah yang dipengaruhi oleh umur pohon. Masa proses pembuahan hingga buah dalam satuan tandan akan masak memerlukan waktu antara 11 sampai 13 bulan. Secara umum antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak, potensi resin yang terbentuk sangat optimal. Waktu panen jernang dalam satu tahun adalah dua kali yaitu pada bulan April dan September (Winarni et al. 2005).

Berdasarkan hasil wawancara masyarakat, jernang tumbuh merambat ke atas apabila menemukan pohon inang sedangkan akan merambat ke kanan kiri bila tidak menemukan pohon inang. Pohon inang pada umumnya jenis gaharu, ulin, karet dan sungkai. Teknik pemanenan buah dilakukan dengan memperhatikan kondisi optimal terbentuknya resin pada kulit buah. Tahapan pemanenan buah rotan jernang dijelaskan pada Gambar 4.

Pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan petani masih bersifat memanfaatkan yang disediakan oleh alam. Petani mengambil buah dengan cara memanjat pohon disebelahnya dan menggunakan galah dan alat pengait. Terdapat hukum adat di Desa Lamban Sigatal, apabila terdapat pencari jernang yang memotong batang rotan maka sangsinya adalah dikeluarkan dari desa atau

Ciri buah masak berwarna merah kecokelatan

Petani mengambil buah dengan cara memanjat pohon dengan bantuan galah dan alat pengait

Buah dikumpulkan dalam keranjang dan diangin-anginkan Buah siap ditumbuk


(42)

diasingkan sehingga petani menghindari memotong batang rotan walaupun kondisi tidak memungkinkan untuk mengambil buah. Berdasarkan Winarni et al.

(2005), pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan oleh Suku Kubu adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat rotan jernang dengan bantuan galah untuk dapat menjangkau tandan buah. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua namun belum terlalu masak.

5.2.1 Pemetikan buah rotan jernang

Pengumpulan buah didasarkan kepada masaknya buah dengan ciri kemasakan sesuai dengan warna. Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna cokelat kemerahan. Buah yang menghasilkan banyak jernang adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Apabila buah yang dipetik sudah masak maka resin yang terkandung dalam buah rotan jernang telah berkurang karena resin dapat mencair dengan sendirinya dan membusuk.

Buah rotan jernang dipanen dengan cara memanjat pohon terdekatnya. Masyarakat mengambil buah rotan jernang dengan menggunakan galah panjang dan alat pengait yang terbuat dari kayu untuk melilitkan tandan buah. Tandan buah rotan jernang tersebut akan tersangkut pada alat pengait. Kesulitan dalam memanen buah rotan jernang adalah apabila rotan terlalu tinggi maka masyarakat harus memanjat pohon inang dengan kondisi licin dan terhalang oleh duri rotan dan ranting pohon, terkadang buah rotan jernang yang terkait beberapa terlepas dari tandannya karena terlalu kuat menarik tandan buah rotan jernang. Buah rotan jernang dikumpulkan dalam keranjang. Cara mengatasi kesulitan dalam memanjat pohon yaitu saat memanjat pohon inang kaki disarungi dengan karung plastik yang dibuat melingkar (masyarakat Desa Lamban Sigatal menyebutnya “semprat”). Petani menghindari memotong batang rotan walaupun sulit memperoleh buah rotan jernang, karena rotan sudah sulit diperoleh disekitar desa. Namun jika terpaksa, batang rotan dipotong untuk memperoleh buah rotan. Mengingat saat ini buah rotan jernang sudah sulit diperoleh, maka masyarakat desa melakukan upaya penanaman rotan di lahan milik melalui pembibitan dari biji.


(43)

5.2.2 Buah rotan jernang diangin-anginkan

Masyarakat yang mengambil buah rotan jernang di hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah pada umumnya langsung mengerjakannya di dalam hutan. Petani membawa peralatan ke dalam hutan alam seperti ambung (keranjang), kayu penyanggah, kayu penumbuk buah dan plastik penampung jernang. Buah yang diambil dikumpulkan kemudian diangin-anginkan semalam. Namun ada pula yang hanya menunggu waktu malam atau subuh untuk menumbuknya. Buah diangin-anginkan dengan tujuan agar lebih mudah dalam memisahkan buah dari tandannya. Buah yang sudah diangin-anginkan akan lebih mudah ditumbuk dan resin tidak lengket di buah.

Menurut Kalima (1991), buah rotan jernang yang dipanen disimpan dalam keranjang terlebih dahulu agar kadar air dalam buah berkurang kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama tiga sampai empat hari atau sampai kering dan mengkerut, setelah itu baru dapat ditumbuk agar resin yang keluar lebih banyak. Penjemuran buah rotan jernang yang dilakukan oleh petani hanya sebatas diangin-anginkan saja dan tidak melibatkan sinar matahari. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu yang cukup lama dan keadaan cuaca yang tidak menentu untuk menjemur selama tiga sampai empat hari, sedangkan petani menumbuk buah rotan jernang langsung di dalam hutan.

5.3 Jernang yang Dihasilkan dari Cara masyarakat

Jernang yang dihasilkan oleh masyarakat melalui cara penumbukan merupakan cara yang sederhana karena tidak memerlukan teknologi. Jernang yang dihasilkan dengan cara masyarakat memiliki tahapan sebagai berikut:

Buah dalam keranjang ditumbuk Serbuk jernang

Campur damar mata kucing/ gondorukem kemudian panaskan Serbuk jernang

Masukkan dalam plastik

± 1 jam akan mengeras

Gambar 5 Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat.

Pencetakan ± 1 jam dimasukkan ke dalam plastik


(44)

5.3.1 Penumbukan buah rotan jernang

Buah rotan jernang yang kering dapat dengan mudah ditumbuk. Untuk memperoleh jernang yang maksimal, penumbukan tidak dilakukan di area terbuka dan pada saat angin kencang karena serbuk jernang mudah sekali terbawa angin. Penumbukan buah rotan jernang dilakukan agar resin yang menempel pada kulit buah terlepas. Menumbuk buah tidak terlalu kuat agar biji tidak pecah. Lapisan resin pada kulit luar buah akan lepas seluruhnya akibat bertumbukan, sehingga serbuk jernang bercampur dengan kulit buah. Jernang yang mengandung kulit buah terlihat tidak bersih dan dapat menurunkan mutu jernang tersebut.

5.3.2 Pencetakan jernang

Berdasarkan wawancara kepada masyarakat, jernang yang dihasilkan masyarakat terbagi menjadi dua tipe yaitu jernang murni dan jernang campuran. Jernang murni artinya jernang yang dihasilkan dari proses penumbukan, sedangkan jernang campuran artinya jernang dicampur dengan damar. Damar dipilih menjadi bahan campuran karena memiliki daya rekat yang baik. Bahan campuran yang lain pada umumnya ditambahkan secara bersama-sama dengan damar yaitu biji dan daging buah rotan jernang itu sendiri yang sudah dihaluskan. Menurut Suwardi et al. (2003), masyarakat terkadang menambahkan gondorukem di dalam jernang. Serbuk jernang hasil tumbukan mudah sekali menggumpal, sehingga dalam proses pencetakan mudah dilakukan. Serbuk jernang yang murni langsung dimasukkan dalam plastik, dalam waktu ± 1 jam serbuk jernang akan mengeras.

Proses pencampuran jernang dengan damar dilakukan dengan dipanaskan di atas tungku. Damar dicampur dengan serbuk jernang yang murni sampai menyatu. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pencampuran tidak menentu, tergantung banyaknya serbuk jernang. Namun, pada umumnya waktu yang diperlukan selama 10 sampai dengan 15 menit. Jernang yang sudah tercampur didinginkan dan dimasukkan ke dalam plastik dan dalam waktu ± 1 jam jernang akan mengeras. Menurut Waluyo (2008), serbuk jernang yang dimasukkan dalam wadah plastik dan dalam waktu ± 30 menit akan menggumpal/mengeras. Cara lain untuk mempercepat penggumpalan dengan mengukus serbuk jernang dalam plastik selama ± 5 menit.


(45)

Jernang yang sudah mengeras di dalam plastik kemudian dijual. Penjualan dilakukan secara sederhana. Petani menjual jernang ke pedagang pengumpul yang ada di desa dengan harga Rp 400.000/kg. Harga tersebut dipengaruhi oleh mutu jernang. Jernang yang murni akan memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan jernang campuran. Namun, kebanyakan petani menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul di kecamatan karena belum terbukanya penjualan keluar kecamatan dan akses untuk ke Jambi cukup jauh sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya. Gambar 6 menggambarkan tahapan teknik pemanenan buah sampai menghasilkan jernang oleh masyarakat.

`

Gambar 6 Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara tradisional (masyarakat).

5.4 Jernang yang Dihasilkan dari Cara Alternatif (Perebusan)

Cara perebusan merupakan cara alternatif yang dapat dikerjakan oleh masyarakat. Perebusan merupakan salah satu cara yang tepat guna, dimana tidak

Pemetikan buah rotan jernang

Buah rotan jernang yang dianginkan

Penumbukan buah rotan jernang

Hasil penumbukan buah rotan jernang Pencampuran jernang

dengan damar Jernang dikemas dalam


(46)

memerlukan teknologi yang tinggi dan masyarakat dapat mengerjakannya. Perebusan yang dilakukan bertujuan untuk mencairkan resin yang terdapat di buah rotan jernang. Menurut Suwardi et al. (2003), seluruh bagian buah menghasilkan jernang kecuali biji. Persentase resin yang dihasilkan dari bagian kulit sebesar 50,6% dan daging buah 49,4%. Cara perebusan dilakukan dengan menggunakan seluruh bagian buah kecuali biji. Cara perebusan menghasilkan resin tanpa kulit. Selama proses perebusan, jernang akan naik ke permukaan air rebusan. jernang dikumpulkan dalam cawan petri. Jernang tersebut dikeringkan kemudian dihaluskan dan digunakan dalam analisis sifat fisiko-kimia.

5.4.1 Rendemen jernang dengan cara perebusan

Sebelum menghitung rendemen resin yang dihasilkan dari pengolahan buah rotan jernang maka dilakukan pengukuran kadar air buah dahulu. Dalam penelitian ini, rendemen yang dihitung berdasarkan berat buah rotan jernang dalam keadaan Berat Kering Tanur (BKT) karena kadar air buah rotan jernang berbeda-beda. BKT diperoleh dari perhitungan setelah mengetahui kadar air buah rotan jernang yang digunakan untuk penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen jernang yang diekstraksi dari buah rotan jernang dengan cara masyarakat lebih besar dibandingkan dengan cara perebusan (Tabel 5). Rendemen rata-rata cara masyarakat sebesar 7,26%, sedangkan cara perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan 3,10%. Rendemen jernang cara masyarakat yang dilakukan dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Waluyo (2008) yang mengekstrak jernang dengan cara penumbukan yaitu 7,42%.

Tabel 5 Rendemen jernang hasil ekstraksi dengan cara masyarakat dan perebusan

Ulangan Rendemen (%)

Masyarakat Perebusan 1 jam Perebusan 2 jam Perebusan 3 jam

1 7,95 3,94 2,86 3,14

2 7,47 2,88 3,05 3,07

3 6,36 3,00 3,82 3,09

Rata-rata 7,26 3,27 3,24 3,10

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ekstraksi jernang dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata rendemen jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (34,72) > F tabel (4,76) yang berarti


(47)

H1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara

nyata rendemen yang dihasilkan sehingga H0 ditolak (Tabel 6).

Tabel 6 Analisis ragam rendemen jernang

Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%)

Perlakuan 3 37,04 12,35 34,72 *) 4,76

Galat 6 2,13 0,36

Total 11 39,56

Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5%

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan rendemen yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi rendemennya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan rendemen yang berbeda nyata (Tabel 7). Rendemen jernang cara masyarakat lebih besar dibandingkan cara perebusan. Hal ini diduga karena jernang dari cara masyarakat mengandung kotoran yang lebih banyak. Hal ini dibuktikan dari kadar kotorannya, dimana kadar kotoran jernang yang diekstrak dengan cara masyarakat adalah 32,16%, sedangkan jernang yang dihasilkan dari cara perebusan adalah 11,57 − 12,03% (Tabel 13). Menurut Waluyo (2008), ekstraksi jernang cara masyarakat kemungkinan besar bagian kulit buah ikut serta, bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur.

Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang

Perlakuan Rata-rata rendemen BKT

Masyarakat 7,26 b

Perebusan 1 jam 3,27 a

Perebusan 2 jam 3,24 a

Perebusan 3 jam 3,10 a

Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap rendemen pada taraf α 5%.

Lama perebusan 1 jam menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 dan 3 jam. Untuk itu, bila mempertimbangkan waktu dan biaya perebusan, maka perebusan yang dipilih adalah perebusan selama 1 jam. Namun, cara perebusan ini menghasilkan rendemen jernang yang lebih rendah dari yang diharapkan. Hal ini diduga karena dalam proses perebusan resin banyak yang menempel di dinding gelas piala dan pembatas yang terbuat dari saringan kawat nyamuk sehingga resin yang diambil tidak optimal walaupun sebagian besar resin naik ke permukaan air rebusan. Untuk itu perlu dikembangkan alat perebusan yang dapat meningkatkan rendemen jernang.


(1)

Lampiran 11 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar air

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

N

Perlakuan A 3

B 3

C 3

D 3

ULANGAN 1 4

2 4

3 4

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadar air

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model ,442(a) 5 ,088 ,533 ,747

Intercept 145,771 1 145,771 879,622 ,000

PERLAKUAN ,134 3 ,045 ,270 ,845

ULANGAN ,308 2 ,154 ,928 ,445

Error ,994 6 ,166

Total 147,207 12

Corrected Total 1,436 11

a R Squared = ,308 (Adjusted R Squared = -,269) Post Hoc Tests

PERLAKUAN Homogeneous Subsets

Kadar air

Duncan

PERLAKUAN N Subset

1

C 3 3,3390

A 3 3,4800

D 3 3,4843

B 3 3,6380

Sig. ,421

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,166.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

ULANGAN

Homogeneous Subsets

Kadar air

Duncan

ULANGAN N Subset

1

3 4 3,2590

1 4 3,5928

2 4 3,6043

Sig. ,290

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,166.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b Alpha = ,05.


(2)

52

Lampiran 12 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar kotoran

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

N

PERLAKUAN A 3

B 3

C 3

D 3

ULANGAN 1 4

2 4

3 4

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar kotoran

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig. Corrected Model 939,023(a) 5 187,805 319,814 ,000

Intercept 3406,396 1 3406,396 5800,781 ,000

PERLAKUAN 938,171 3 312,724 532,540 ,000

ULANGAN ,852 2 ,426 ,725 ,522

Error 3,523 6 ,587

Total 4348,942 12

Corrected Total 942,546 11

a R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,993) Post Hoc Tests

PERLAKUAN Homogeneous Subsets

Kadar kotoran

Duncan

PERLAKUAN N Subset

1 2

B 3 11,5667

C 3 11,6333

D 3 12,0333

A 3 32,1600

Sig. ,497 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,587.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

ULANGAN

Homogeneous Subsets

Kadar kotoran

Duncan

ULANGAN N Subset

1

2 4 16,6225

3 4 16,7000

1 4 17,2225

Sig. ,325

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,587.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b Alpha = ,05.


(3)

Lampiran 13 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar abu

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

N

Perlakuan A 3

B 3

C 3

D 3

ULANGAN 1 4

2 4

3 4

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar abu

Source Type III Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Corrected Model ,839(a) 5 ,168 1,944 ,221

Intercept 27,540 1 27,540 319,053 ,000

PERLAKUAN ,797 3 ,266 3,076 ,112

ULANGAN ,042 2 ,021 ,245 ,791

Error ,518 6 ,086

Total 28,896 12

Corrected Total 1,357 11 a R Squared = ,618 (Adjusted R Squared = ,300) Post Hoc Tests

PERLAKUAN Homogeneous Subsets

Kadar abu

Duncan

PERLAKUAN N Subset

1 2

B 3 1,1150

C 3 1,5203 1,5203

D 3 1,5943 1,5943

A 3 1,8300

Sig. ,102 ,258

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,086.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

ULANGAN

Homogeneous Subsets

Kadar abu

Duncan

ULANGAN N Subset

1

1 4 1,4450

2 4 1,5098

3 4 1,5900

Sig. ,524

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,086.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b Alpha = ,05.


(4)

54

Lampiran 14 Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap titik leleh

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

N

PERLAKUAN A 3

B 3

C 3

D 3

ULANGAN 1 4

2 4

3 4

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Titik leleh

Source Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 413,417(a) 5 82,683 12,559 ,004 Intercept 88924,083 1 88924,083 13507,456 ,000

PERLAKUAN 396,250 3 132,083 20,063 ,002

ULANGAN 17,167 2 8,583 1,304 ,339

Error 39,500 6 6,583

Total 89377,000 12

Corrected Total 452,917 11 a R Squared = ,913 (Adjusted R Squared = ,840) Post Hoc Tests

PERLAKUAN Homogeneous Subsets

Titik leleh

Duncan

PERLAKUAN N Subset

1 2

B 3 82,0000

C 3 83,0000

D 3 83,3333

A 3 96,0000

Sig. ,560 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6,583.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

ULANGAN

Homogeneous Subsets

Titik leleh

Duncan

ULANGAN N Subset

1

1 4 85,0000

2 4 85,5000

3 4 87,7500

Sig. ,193

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6,583.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b Alpha = ,05.


(5)

LANA PUSPITASARI. E14061399. Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang. Dibimbing oleh JUANG RATA MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI

Salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi adalah produk turunan dari buah rotan jernang. Jernang adalah resin yang berasal dari buah rotan jernang. Jernang memiliki manfaat antara lain sebagai bahan pewarna alami pada industri batik dan porselen, sebagai campuran obat-obatan seperti obat luka, pendarahan dan diare, serta digunakan sebagai dupa dan kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi jernang di Kabupaten Sarolangun, Jambi, menguraikan teknik pemanenan buah yang dilakukan masyarakat serta menganalisis rendemen dan mutu jernang yang dihasilkan dari pengolahan cara masyarakat dan cara perebusan.

Pusat produksi jernang di Kabupaten Sarolangun adalah di Hutan Alam (HA) Blok Bukit Bahar Tajau Pecah dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Desa Lamban Sigatal. Potensi jernang di kedua tempat tersebut berturut-turut sebesar 96,51 ton/th dan 130,16 ton/th, sehingga total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun sebesar 226,66 ton/th. Teknik pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat adalah dengan memperhatikan ciri kemasakan buah rotan jernang yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang baik dipanen adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah masak memerlukan waktu 11-13 bulan. Resin akan terbentuk optimal pada saat umur buah 9 bulan. Petani memanen buah rotan jernang dengan menggunakan galah dan alat pengait, jika rotan terlalu tinggi maka petani memanjat pohon inangnya.

Rendemen jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat sebesar 7,26%, sedangkan dari cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan 3,10%. Analisis sifat fisiko-kimia jernang dengan cara masyarakat menghasilkan kadar resin 63,30%, kadar air 3,48%, kadar kotoran 32,16%, kadar abu 1,83%, titik leleh 96,00°C dan warna merah tua, sedangkan jernang hasil perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut untuk kadar resin 81,83%, 81,21% dan 80,91%, kadar air 3,64%, 3,34% dan 3,48%, kadar kotoran 11,57%, 11,63% dan 12,03%, kadar abu 1,12%, 1,52% dan 1,59%, titik leleh 82,00°C, 83,00°C dan 83,33°C dan secara keseluruhan warna yang dihasilkan adalah merah tua. Berdasarkan SNI jernang (2010), jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat bermutu A, sedangkan dari cara perebusan bermutu super.

Kata kunci: Buah rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume, potensi, teknik pemanenan, sifat fisiko-kimia, mutu jernang.


(6)

SUMMARY

LANA PUSPITASARI. E14061399. Harvesting and Processing Fruit of Rattan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) in Effort to Increase Production and Quality Dragon’s blood. Under Supervision of JUANG RATA MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI.

One kinds of Non-Timber Forest Products (NTFPs) which high economic value is a product derived from rattan jernang fruits. Dragon’s blood is a resin from rattan jernang fruits. Dragon’s blood have uses such as natural colloring for batik industry and porcelain industry, as a mixture of cure such as wounds medicinal, bleeding and diarrhea and used a incense and frankincense. The research about dragon’s blood is rarely, meanwhile the potential is big enough and still can developed. Improved harvesting and processing techniques to obtain maximum quality of dragon’s blood still need to be researched. The research was conducted to analyze the potential dragon’s blood Sarolangun District, Jambi, to describes the technique of harvesting fruit of the community and to analyze yield and quality resulted from the traditional process of the community and boiling treatment.

Dragon’s blood production center in the District Sarolangun is harvested from natural forests Tajau Pecah Block Bahar Hill and community based forest plantation in the village of Lamban Sigatal. Potential dragon’s blood at those places is 96.51 tons/year and 130.16 tons/year respectively, therefore the total potential of dragon’s blood in the District Sarolangun is about 226.66 tons/year. Harvesting technique of rattan fruits by the community is to observe the ripeness of the fruit characteristics of rattan such us the brownish red color. Good fruit which can be harvested is the old fruit but not too ripe. The fruit takes time about 11−13 months to be ripe. Resin will be formed at the optimal fruit maturity of 9 months. Farmers harvest the fruit by using a hook tool and a pole, then if the rattan is too high the farmer climbs its host tree.

Dragon’s blood yield from the traditional process of the community is 7.26%, meanwhile the boiling treatment in each 1, 2 and 3 hours has yield as 3.27%, 3.24% and 3.10% respectively. Analysis of physico-chemical properties of the dragon’s blood with the traditional process of the community results resin content is 63.30%, moisture content is 3.48%, impurity content 32.16%, ash content 1.83%, melting point 96.00 °C and ruby color, meanwhile the boiling treatment 1, 2 and 3 hours for results resin content 81.83%, 81.21% and 80.91%, moisture content 3.64%, 3.34% and 3.48%, impurity content 11.57%, 11.63% and 12.03%, ash content 1.12%, 1.52% and 1.59%, melting point 82.00 °C, 83.00 °C and 83.33 °C and overall results ruby color. Based on the SNI dragon’s blood (2010), dragon’s blood results from the traditional process of the community get A quality, meanwhile from the boiling treatment get super quality.

Key words: Rattan jernang fruits (Daemonorops draco (Willd.) Blume), potential, harvesting techniques, physico-chemical properties, quality dragon’s