Sejarah Pembentukan Bangsa Sapi Madura Berdasarkan Gen Branched-Chain Α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (Bckdha)
SEJARAH PEMBENTUKAN BANGSA SAPI MADURA
BERDASARKAN GEN BRANCHED-CHAIN α-KETOACID
DEHYDROGENASE E1α (BCKDHA)
ASRI FEBRIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sejarah Pembentukan
Bangsa Sapi Madura Berdasarkan Gen Branched-Chain α-Ketoacid
Dehydrogenase E1α (BCKDHA) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Asri Febriana
G352130191
RINGKASAN
ASRI FEBRIANA. Sejarah Pembentukan Bangsa Sapi Madura berdasarkan Gen
Branched-Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA). Dibimbing oleh
ACHMAD FARAJALLAH dan RR DYAH PERWITASARI.
Sapi madura merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia yang berasal
dari persilangan sapi zebu (Bos indicus) dan banteng (Bos javanicus). Branchedchain α-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) adalah salah satu dari kompleks
enzim utama yang ada di membran dalam mitokondria yang memetabolisme
branched-chain amino acid (BCAA), yaitu valin, leusin, dan isoleusin. Penelitian
ini bertujuan mempelajari diferensiasi peruntukan sapi madura berdasarkan gen
BCKDHA. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga peruntukan sapi madura, yaitu
sapi karapan, sonok, dan pedaging. Analisis urutan gen BCKDHA dilakukan
dengan teknik sekuensing DNA.
Berdasarkan hasil pensejajaran urutan nukleotida menunjukkan panjang
urutan sembilan ekson gen BCKDHA sapi madura yang diperoleh yaitu 1347 pb.
Total 18 variasi ditemukan pada ruas ekson gen BCKDHA sapi madura. Selain
variasi pada ruas ekson, terdapat 32 variasi yang ditemukan pada ruas intron
berdasarkan tujuh pasang primer yang digunakan. Hasil pensejajaran urutan
nukleotida gen BCKDHA pada sapi madura menunjukkan tidak ada variasi
khusus yang ditemukan, baik pada ruas ekson maupun ruas intron, pada masingmasing peruntukan sapi madura. Diferensiasi yang ada tidak sampai mengarahkan
pada pembentukan bangsa sapi baru. Hal ini menunjukkan tidak ada diferensiasi
peruntukan sapi madura dari sisi tekanan seleksi terhadap gen BCKDHA.
Kata kunci: Gen BCKDHA, sapi Madura, variasi
SUMMARY
ASRI FEBRIANA. Natural History of Madura Cattle based on Branched-Chain
α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA). Supervised by ACHMAD
FARAJALLAH and RR DYAH PERWITASARI.
Madura cattle is one of the Indonesian local cattle breeds derived from
crossing between zebu cattle (Bos indicus) and banteng (Bos javanicus).
Branched-chain α-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) is one of the main enzyme
complexes in the inner mitochondrial membrane that metabolizes branched-chain
amino acid (BCAA), i.e., valine, leucine, and isoleucine. This study aimed to
analyze the differentiation on madura cattle based on BCKDHA gene. This study
was conducted on three madura cattle that used as karapan (bull race), sonok (art
contest), and beef cattle by DNA sequencing of BCKDHA gene.
Based on the sequence analysis it was revealed that nine exons of BCKDHA
gene in madura cattle consists of 1347 bp in length. A total of 18 variations found
in exon region. In addition, there are 32 variations found in intron region based on
seven pairs of primers used. The alignment results of BCKDHA gene sequence on
madura cattle showed that there was no specific variation found, neither in the
exon and intron, on karapan, sonok, and beef cattle. The differentiation was not
lead to the formation of a new breed. This indicated the absence of differentiation
madura cattle are used as karapan, sonok, and beef cattle of selection pressure of
BCKDHA gene.
Keywords: BCKDHA gene, Madura cattle, variation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SEJARAH PEMBENTUKAN BANGSA SAPI MADURA
BERDASARKAN GEN BRANCHED-CHAIN α-KETOACID
DEHYDROGENASE E1α (BCKDHA)
ASRI FEBRIANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah dengan judul Sejarah Pembentukan Bangsa Sapi Madura berdasarkan
Gen Branched-Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA) pada Sapi
Madura.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Farajallah, MSi
dan Ibu Dr Ir Rd. Roro Dyah Perwitasari, MSc selaku pembimbing, serta Bapak
Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc selaku penguji yang telah memberikan saran dan
masukan bagi perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Jakaria, MSi dari Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB atas sampel darah
sapi bali dan PO yang diberikan, Kepala dan staf Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) terpadu Kota Bogor atas izin pengambilan sampel yang diberikan, Bapak
Moh Romli dari Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan, yang telah
mendampingi selama pengambilan sampel sapi sonok, Ibu Tini Wahyuni dan
Bapak Adi Surachman, Wildan Najmul Muttaqin, MSi, beserta staf dan temanteman di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan IPA, IPB yang telah membantu selama pelaksanaan
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, kakak
dan adik tercinta serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2015
Asri Febriana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
1
1
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Lokal Indonesia
Sapi Madura
Sejarah Sapi Karapan (Balapan)
Sejarah Sapi Sonok (Pajangan)
Gen Branched Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA)
Desain Primer
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Perunutan DNA (Sekuensing)
2
2
5
7
8
9
12
15
15
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Sampel Darah dan Ekstraksi DNA
Amplifikasi DNA
DNA Sekuensing dan Analisis
16
16
16
17
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Daerah Penyandi Gen BCKDHA
Variasi Gen BCKDHA pada Sapi Madura
Hubungan antara Variasi Gen BCKDHA dengan Sejarah Sapi Madura
Indel Simultan pada Intron 7 Gen BCKDHA
Variasi pada Sapi Madura Pedaging
19
19
20
27
29
30
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
30
30
30
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL
1 Sampel darah sapi yang digunakan sebagai cetakan DNA berdasarkan
jenis sapi
2 Pooled samples darah sapi yang digunakan sebagai cetakan DNA
berdasarkan jenis sapi
3 Urutan primer untuk amplifikasi DNA
4 Panjang urutan ekson 1-9 gen BCKDHA sapi madura
5 Variasi yang ditemukan pada ruas ekson gen BCKDHA sapi madura
6 Variasi yang ditemukan pada ruas ekson gen BCKDHA pooled samples
7 Variasi yang ditemukan pada ruas intron gen BCKDHA
8 Variasi yang ditemukan pada ruas intron gen BCKDHA pooled samples
9 Variasi basa nukleotida (ruas ekson) yang hanya ditemukan pada sapi
madura
10 Variasi basa nukleotida (ruas ekson) yang hanya ditemukan pada sapi
madura (pooled samples)
11 Variasi basa nukleotida (ruas intron) yang hanya ditemukan pada sapi
madura
12 Variasi basa nukleotida (ruas intron) yang hanya ditemukan pada sapi
madura (pooled samples)
13 Variasi nukleotida pada intron 7 gen BCKDHA
17
17
18
20
23
23
24
26
28
28
28
29
29
DAFTAR GAMBAR
1 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa
(MacHugh 1996)
2 Komposisi genetik pada beberapa populasi sapi lokal Indonesia (Felius
1995; Mohamad et al. 2009)
3 Komponen genomik sapi indonesia berdasarkan penanda genetik
mtDNA, kromosom Y, dan mikrosatelit (Mohamad et al. 2009)
4 Sapi madura yang terdapat di Kecamatan Pakong, Kabupaten
Pamekasan (foto oleh: Achmad Farajallah)
5 Situs pembelahan pada bovin pre-E1α oleh protease yang terletak di
matriks (Hu et al. 1988)
6 Lokasi beberapa kompleks enzim di lintasan metabolisme intermediet
karbohidrat, lemak dan asam amino sejak di sitoplasma sampai matriks
mitokondria (Patel and Harris 1995)
7 Struktur gen BCKDHA berdasarkan urutan genom B. taurus (Elsik et
al. 2009; Zimin et al. 2009)
8 Posisi transit peptida pada gen BCKDHA
9 Tampilan menu awal program Primer3
10 Tampilan kondisi pemilihan primer secara umum
11 Skema posisi penempelan tujuh pasang primer pada ruas gen
BCKDHA
12 Urutan nukleotida dan asam amino subunit E1α gen BCKDHA
13 Pensejajaran urutan nukleotida dan asam amino pada daerah ujung 5’
ekson
3
4
6
7
10
10
11
12
13
14
18
21
22
14 Hasil kromatogram variasi alel 1 dan alel 2 pada ekson 1 gen
BCKDHA
22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Ringkasan posisi variasi nukleotida dan asam amino gen BCKDHA
35
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi madura merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia yang berasal
dari persilangan sapi zebu (Bos indicus) dan sapi bali atau banteng (Bos
javanicus). Sapi madura yang ada saat ini merupakan hasil seleksi secara terusmenerus oleh petani di Pulau Madura sehingga menghasilkan suatu populasi
bangsa yang seragam. Sapi madura memiliki nilai budaya penting bagi
masyarakat madura. Berdasarkan kearifan lokal Madura, sapi madura dapat
dikelompokkan menjadi tiga peruntukan, yaitu sapi karapan (balapan), sapi sonok
(pajangan), dan sapi sayur (pedaging). Sapi karapan membutuhkan metabolisme
energi yang tinggi untuk mendapatkan kekuatan fisik, kerja keras otot kerangka
dan emosional (aggressive). Sebaliknya, sapi sonok membutuhkan metabolisme
energi yang tinggi untuk menahan peregangan otot kerangka dan emosi terkendali
(tamed). Sapi yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut atau yang ‘pensiun’ dari sapi
karapan dan sonok termasuk dalam sapi pedaging.
Lomba sapi karapan dan sapi sonok merupakan acara budaya penting di
Pulau Madura (De Jonge 1990). Sapi karapan dan sapi sonok yang diikutsertakan
dalam perlombaan merupakan sapi pilihan dengan performan dan kondisi yang
sangat baik. Performan dan kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik
dan lingkungan, termasuk lingkungan pakan dan kesehatan. Sapi madura termasuk
sapi potong lokal yang memiliki keunggulan antara lain, yaitu kemampuan
adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis, manajemen tradisional, kualitas
pakan yang kurang baik, tahan terhadap serangan caplak, dan kualitas karkas yang
tinggi.
Pemanfaatan sapi dalam tradisi budidaya masyarakat Madura mengarahkan
seleksi sapi berdasarkan peruntukannya yang memiliki performan yang sesuai
dengan selera masyarakat. Seleksi dengan cara tersebut kemungkinan
mempengaruhi variasi gen yang terlibat dalam metabolisme energi. Variasi yang
ditemukan kemungkinan terdiferensiasi mengikuti pola berdasarkan sapi karapan,
sapi sonok, dan sapi pedaging. Selain sapi madura, pada penelitian ini juga
digunakan sampel pembanding, yaitu sapi bali dan sapi Peranakan Ongole (PO)
untuk melihat sejarah pembentukan bangsa sapi madura berdasarkan gen yang
terlibat dalam metabolisme energi. Karakterisasi terhadap gen yang terlibat dalam
metabolisme energi perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas sapi madura
dalam skema pemuliaan ternak.
Branched-chain α-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) adalah salah satu dari
kompleks enzim utama yang ada di membran dalam mitokondria yang
memetabolisme branched-chain amino acid (BCAA), yaitu valin, leusin, dan
isoleusin. Kompleks BCKDH terdiri atas subunit α dan -ketoacid dehydrogenase
(E1α dan E1β) dan dua subunit lainnya (Patel and Harris 1995). Subunit E1α pada
sapi disandikan oleh gen branched-chain α-ketoacid dehydrogenase E1α
(BCKDHA) yang berada pada kromosom 18, dengan panjang gen sekitar 20575
pb, dan terdiri atas 9 ekson dan 8 intron (Elsik et al. 2009).
Variasi yang ditemukan pada gen BCKDHA kemungkinan dapat
mempengaruhi asam amino yang disandikan dan efisiensi enzim BCKDH dalam
1
2
proses metabolisme BCAA. Analisis variasi gen BCKDHA dilakukan dengan
menggunakan teknik DNA sekuensing. Teknik ini digunakan untuk menentukan
urutan nukleotida pada suatu molekul DNA. Tidak terdapat data mengenai urutan
nukleotida gen BCKDHA pada sapi madura, sehingga urutan yang diperoleh
diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut
mengenai gen BCKDHA pada sapi lokal Indonesia lainnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari diferensiasi peruntukan sapi madura
berdasarkan gen BCKDHA.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Lokal Indonesia
Sapi merupakan hewan ternak dengan keanekaragaman jenis yang tinggi
dan ditemukan hampir di semua negara termasuk Indonesia. Sapi (Bos sp.)
merupakan anggota famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos (Geraads 1992).
Menurut Perkins (1969), domestikasi sapi pertama kali ditemukan di Turki
dengan dua tipe sapi, yaitu tipe berpunuk (zebu) dan tidak berpunuk (taurin).
Sebagian besar sapi di wilayah Asia merupakan keturunan tipe B. indicus atau
dikenal sebagai sapi zebu, sedangkan sapi yang tersebar di wilayah Eropa
termasuk dalam spesies B. taurus atau sapi taurin (Bradley and Cunningham
1999). Tipe sapi domestikasi yang terdapat di Indonesia, berbeda dari tipe B.
indicus (sapi zebu) dan B. taurus (sapi taurin), dan berasal dari domestikasi yang
terpisah (Gambar 1).
Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang diduga berasal dari hasil
domestikasi banteng liar, dan mempunyai ciri-ciri fisik yang hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (Handiwirawan dan
Subandriyo 2004). Proses domestikasi sapi bali ini terjadi sebelum 3500 SM di
Indonesia (Rollinson 1984). Mereka diklasifikasikan sebagai B. javanicus
(Bradley and Cunningham 1999). Menurut Payne and Rollinson (1973), sapi bali
memiliki karakteristik berukuran sedang, tidak berpunuk (humpless), memiliki
warna putih pada bagian belakang paha, bagian perut, dan keempat kaki bawah
sampai di atas kuku (white stocking).
Bangsa sapi memiliki karakteristik tertentu yang sama, berdasarkan
karakteristik tersebut mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih
dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke
generasi berikutnya. Menurut Martojo (2003), perkembangan bangsa sapi di
Indonesia berasal dari sapi asli seperti sapi bali dan juga sapi hasil silangan sapi
asli Indonesia dengan sapi eksotik seperti sapi zebu, yang telah menjadi sapi lokal,
seperti sapi pesisir, sapi madura, sapi aceh, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi
Peranakan Ongole (PO). Hibridisasi dari banteng atau sapi bali dan sapi zebu
3
Gambar 1 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika,
dan Eropa (MacHugh 1996)
diduga terjadi pada bangsa-bangsa sapi lokal Indonesia baik secara spontan
maupun melalui pemuliaan (Felius 1995).
Gambar 2 menunjukkan bahwa berdasarkan penanda molekuler genetik
DNA mitokondria, kromosom Y (analisis paternal), dan mikrosatelit (analisis
autosomal) menunjukkan sapi bali memiliki komposisi genetik yang sama dengan
banteng. Berdasarkan penanda genetik molekuler DNA mitokondria (analisis
maternal) terdapat komposisi genetik sapi zebu pada sapi aceh dan pesisir,
sedangkan pada sapi PO dan madura terdapat komposisi genetik sapi zebu dan
sapi bali atau banteng, hal ini menunjukkan bahwa sapi PO dan madura berasal
dari dua moyang betina yang berbeda. Pada sapi aceh, pesisir, dan madura
komposisi genetik berdasarkan penanda molekuler kromosom Y (analisis
paternal) menunjukkan ketiga bangsa tersebut berasal dari pejantan zebu.
Berdasarkan penanda genetik mikrosatelit (analisis autosomal) sapi aceh, pesisir,
PO, dan madura memiliki komposisi genetik sapi zebu dan sapi bali atau banteng
(Felius 1995; Mohamad et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa komposisi
spesies bangsa sapi zebu Indonesia unik dan bervariasi dari sebagian besar zebu
hingga sepenuhnya banteng. Sejarah dan pembiakan sapi Indonesia telah
menghasilkan sumberdaya genetik yang unik yang mengombinasikan karakter
toleran terhadap iklim tropis dari zebu dan iklim yang kering dari banteng pada
kondisi peternakan di Indonesia.
Persilangan sapi-sapi di Indonesia dengan sapi zebu berhubungan dengan
masuknya agama Hindu ke Indonesia. Tidak terdapat catatan yang pasti kapan
masuknya sapi zebu ke Indonesia. Sapi zebu kemungkinan dibawa masuk ke
Indonesia oleh imigran Singalese sekitar 1500 tahun yang lalu. Selain itu, terdapat
patung sapi berpunuk pada candi-candi Hindu di Jawa bukti adanya sapi zebu
pada abad ke-10. Foto-foto sapi asli jawa dari awal abad ke-20 juga menunjukkan
4
Gambar 2 Komposisi genetik pada beberapa populasi sapi lokal
Indonesia (Felius 1995; Mohamad et al. 2009)
gambar sapi berpunuk dan sapi yang mirip dengan sapi madura (Felius 1995).
Perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka.
Pedagang Arab, Cina serta India yang datang ke Aceh, mereka membawa barangbarang dagangan dan khususnya imigran India ini dikenal membawa sapi-sapi
dari India ke Aceh. Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak
melalui Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut atau Peureulak
(Merkens 1926; Martojo 2003).
Sapi ongole termasuk rumpun sapi zebu yang berasal dari India. Sapi
ongole mulai disilangkan dengan bangsa sapi lokal Indonesia pada abad ke-19,
impor sapi ongole zebu terus digunakan untuk pembiakan di Pulau Jawa dan
pulau-pulau lainnya di Indonesia, kecuali Pulau Madura dan Bali (Rollinson 1984;
Felius 1995; Mohammad et al. 2009). Sapi ongole berperan penting dalam upaya
pengembangan peternakan sapi di Indonesia. Impor sapi ongole dari India ke
Pulau Sumba dalam jumlah yang banyak berlangsung sampai tahun 1920,
sehingga pada tahun 1923 terdapat sekitar 1500 sapi ongole di Pulau Sumba yang
kemudian dikenal dengan sapi sumba ongole (SO). Selanjutnya sapi SO
disebarkan ke wilayah lain di Indonesia. Penyebaran tersebut menyebabkan
terbentuknya suatu bangsa sapi yaitu peranakan ongole (PO) yang merupakan
hasil persilangan antara sapi SO dengan sapi asli jawa yang saat ini telah punah.
Selain sapi ongole, sapi hissar dari India juga diimpor dan digunakan untuk
pembiakan di Sumatra dan Sulawesi Utara (Martojo 2003).
5
Sapi Madura
Sapi madura merupakan salah satu sapi potong lokal (indigenous) yang
berkembang di Indonesia dan hasil persilangan antara banteng atau sapi bali (B.
javanicus) dengan sapi zebu (B. indicus) sekitar 1500 tahun yang lalu (Payne and
Rollinson 1973; Bradley and Cunningham 1999). Selain sapi zebu, sapi taurin (B.
taurus) yang pernah dimasukkan ke Pulau Madura sebagai pejantan antara lain
yaitu, Danish Red dan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman atau dikenal
sebagai Santa Gertrudis, yang semuanya memiliki warna merah coklat yang mirip
dengan warna sapi madura, sapi Limousin juga diperkenalkan sebagai pejantan
unggul dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi madura.
Pada Gambar 3, tanda panah pada baris kedua menunjukkan bahwa
berdasarkan penanda genetik molekuler kromosom Y (analisis paternal) terdapat
komponen genomik sapi taurin yaitu sapi Limousin pada sapi madura. Komunitas
sapi madura yang berkembang saat ini merupakan hasil isolasi dan seleksi alamiah
yang ketat, sehingga menghasilkan sapi yang relatif memberikan keseragaman
genotip yang mantap (Soehadji 1993; Wijono dan Setiadi 2004; Mohamad et al.
2009).
Sapi madura memiliki karakteristik tubuh berwarna kuning kecoklatan pada
sapi betina, sedangkan sapi jantan berwarna merah bata atau merah coklat
bercampur putih dengan batas yang tidak jelas pada bagian pantat (Gambar 4).
Warna putih seperti pada kaki (white stocking) juga sering ditemukan di daerah
abdomen dan bagian paha dalam. White stocking yang ditemukan pada kaki sapi
Madura tidak sejelas yang ditemukan pada sapi bali. Ukuran tubuhnya kecil
sampai sedang, berpunuk kecil, bertulang dan berotot bagus, terutama sapi jantan
(karapan) dan mempunyai kaki yang cukup kuat untuk bertahan terhadap kerja
yang berat. Pada bagian wajah di sekitar mata berwarna hitam, pinggir telinga
berwarna hitam, serta tanduk yang berwarna hitam, berukuran kecil dan pendek
mengarah ke bagian luar. Bagian bawah (tarsal/metatarsal) berwarna putih, ekor
berwarna coklat sampai hitam. Sapi jantan memiliki gelambir lebih besar
dibandingkan dengan sapi betina (Setiadi dan Diwyanto 1997).
Berdasarkan karakter morfologi, sapi madura memiliki karakteristik yang
hampir sama dengan sapi bali, kecuali ukuran tubuh dan tanduknya yang lebih
kecil (Setiadi 2010). Sapi madura jantan memiliki tanduk yang pendek dan
beragam lebih kurang 15-20 cm, sedangkan pada betina, tanduk lebih kecil dan
pendek lebih kurang 10 cm. Panjang badan hampir sama dengan sapi bali, namun
berpunuk kecil sedangkan sapi bali tidak berpunuk. Tinggi badan sekitar 118 cm
dengan berat badan rata-rata 350 kg, sedangkan pada sapi bali yang berumur
sekitar 2 tahun memiliki berat 400 kg dan umur 4 tahun dengan berat badan
sekitar 600-800 kg (Martojo 2003). Menurut Soehadji (1993), sapi madura
sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar 300 kg. Pada
sapi madura yang menang kontes, berat badan mampu mencapai lebih dari 500 kg
yang diperoleh dari hasil pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan
pakan yang baik.
Sapi madura tersebar hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sapi
madura termasuk sapi potong lokal yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik
terhadap lingkungan tropis, kualitas pakan yang kurang baik, tahan terhadap
6
6
Gambar 3 Komponen genomik sapi indonesia berdasarkan penanda genetik mtDNA, kromosom Y, dan mikrosatelit (Mohamad et al.
2009)
6
7
Gambar 4 Sapi madura yang terdapat di Kecamatan Pakong,
Kabupaten Pamekasan (foto oleh: Achmad Farajallah)
infestasi serangan caplak, dan kualitas karkas yang tinggi. Namun,
pengembangbiakkan yang dilakukan di luar Pulau Madura, tidak menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikan walaupun kondisi lingkungan di wilayah
tersebut hampir sama. Sejak awal abad ke-20 bangsa sapi lain dilarang masuk ke
Pulau Madura untuk menjaga kemurniannya (Martojo 2003). Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas yang dapat diakibatkan oleh
seleksi negatif, yaitu pemotongan sapi produktif dan faktor inbreeding akibat
Pulau Madura merupakan wilayah tertutup bagi sapi potong lain (Wijono dan
Setiadi 2004).
Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura terhadap ternak sapi
madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina pajangan
yang dikenal sebagai sapi sonok dan lomba balapn sapi jantan yang dikenal
sebagai karapan. Aspek sosiobudaya masyarakat Madura yang mengembangkan
kesenangan memelihara sapi yang baik untuk dilombakan, merupakan faktor
pendukung didalam upaya pelestarian dan perbaikan mutu ternak. Namun, upaya
pelestarian sapi madura yang telah lama dilaksanakan sejak pemerintahan Hindia
Belanda ini juga memiliki kelemahan, yaitu kegiatan lomba karapan sapi dan sapi
sonok menyebabkan peternak cenderung lebih mengutamakan sapinya daripada
kebutuhan keluarga (Setiadi dan Diwyanto 1997). Selain itu, peranan
pemeliharaan sapi madura seperti pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu sebagai
sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan kebutuhan ekonomi (Wijono dan
Setiadi 2004).
Sejarah Sapi Karapan (Balapan)
Karapan memiliki sejarah yang panjang. Noer dan Maduratna (1975)
menyatakan bahwa di Pulau Sapudi yang terletak di Kabupaten Sumenep, selama
abad ke-12 sampai 13, Pangeran Katandur ingin membuat tanah gersang dan tidak
subur di pulau tersebut menjadi lebih subur sehingga dapat dibuat untuk bercocok
tanam. Pangeran Katandur merupakan seorang tokoh penyebar agama islam,
beliau memiliki nama asli Habib Ahmad Baidawi putra dari Panembahan Pakaos
atau Habib Sholeh putra dari Sunan Kudus. Katandur atau Sinandur sendiri
memiliki arti yang menanam. Pangeran memperkenalkan cara membajak sawah
7
8
dengan menggunakan tenaga sepasang sapi jantan. Pangeran menciptakan
permainan lomba balapan sapi, atau dikenal dengan karapan, dimana lomba
mengadu sepasang sapi jantan melawan satu sama lain di lapangan untuk
mendorong masyarakat menjaga sapi mereka. Selain itu, tujuan awal lomba
karapan sapi hanya untuk menghibur masyarakat yang bergembira atas
keberhasilan panen mereka. Seiring waktu, karapan menjadi permainan favorit
bagi masyarakat madura, yang diselenggarakan setelah musim panen. Peralatan
yang digunakan dalam lomba mirip dengan peralatan yang digunakan dalam
membajak atau disebut dengan kaleles. Kaleles merupakan tempat atau alat yang
digunakan oleh seorang joki untuk menaiki sepasang sapi dengan panjang lintasan
sekitar 100-140 m (Widi et al. 2013).
Sejarah Sapi Sonok (Pajangan)
Sejarah sapi sonok berasal dari kegiatan yang pada umumnya dilakukan
oleh masyarakat madura yaitu menambatkan sapi mereka di antara dua pilar,
dengan nama lokal tacek, di beranda depan rumah. Kaki depan sapi berdiri di atas
platform, sepotong kayu dengan tinggi sekitar 15 cm, sementara mereka
ditambatkan. Kegiatan ini memberikan petani kesempatan untuk menunjukkan
kebanggaan mereka dalam merawat sapi mereka. Pada tahun 1963, seorang
Kepala Desa sangat tertarik pada kegiatan para peternak ini. Lalu, Kepala Desa
menunjukkan sapi dengan bentuk tubuh yang baik pada saat ditambatkan di depan
rumah petani, kepada pejabat tinggi yang sedang mengunjungi desanya. Ide ini
kemudian menjadi kegiatan rutin di daerah tersebut (Widi et al. 2013).
Pada tahun 1927, Sommerfeld (1927) menjelaskan tentang pajengan dimana
petani membawa sapi mereka, terutama sapi betina, untuk ditambatkan bersama di
lapangan. Kebiasaan ini juga dilatarbelakangi oleh kebiasaan petani memajang
sapi mereka dalam posisi tegap, memiliki keindahan tubuh, dan warna kulit yang
bagus. Pada tahun 1967, seorang pejabat pemerintahan lokal menyelenggarakan
kegiatan pajengan dua kali seminggu selama musim panen tembakau. Hal ini
menjadi ajang bagi para petani untuk bertemu, jual-beli sapi, berbagi informasi
dengan penyuluh, serta mampu meningkatkan prestise dan status sosial
pemiliknya.
Pada 1980-an, untuk membuat pajengan lebih menarik, para petani bersaing
memilih pasangan betina yang bagus, digunakan untuk membuat sapi-sapi betina
tersebut berjalan berpasangan dan mengenakan aksesoris yang menarik. Acara ini
menjadi ajang kontes kecantikan pada sapi betina. Pasangan sapi, dipandu oleh
joki, harus berjalan sepanjang 25 m untuk mencapai garis finish yang dirancang
seperti gerbang, sementara kaki depan mereka melangkah dengan cara yang
harmonis. Para pemilik sapi mengiringi langkah sapi sambil menari dengan
diiringi musik tradisional, Saronen. Lomba ini dinamakan Sonok. Sapi sonok
dinilai antara lain berdasarkan tinggi pundak, warna, bentuk tubuh yang ideal,
kondisi tubuh, kesehatan, dan keharmonisan dalam melangkah berpasangan.
Tidak seperti karapan, tidak ada pemenang dan kalah dalam lomba ini. Setiap
peserta petani menerima hadiah dari para pejabat tanpa terkecuali. Meskipun tidak
ada hadiah, kontes ini sangat penting karena selama kontes banyak transaksi
antara petani berlangsung. Petani dapat menunjukkan sapi mereka dan menjual
mereka dengan harga yang bagus. Sapi betina yang tampil baik sangat popular
untuk pembibitan (Widi et al. 2013).
9
Gen Branched Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA)
Proses metabolisme melibatkan banyak gen dan keseluruhan gen yang
terlibat dalam jalannya proses metabolisme tersebut dinamakan genom.
Metabolisme merupakan rangkaian reaksi kimia yang mengubah satu molekul
menjadi molekul lainnya. Setiap tahap reaksi kimia dalam sel memerlukan satu
jenis enzim sebagai katalisator dan setiap jenis enzim dibentuk di bawah kendali
satu jenis gen. Gen adalah bagian dari genom yang berperan dalam proses
ekspresi gen, yaitu sebagai ruas model atau ruas penyandi dalam proses
transkripsi. Dari keseluruhan genom organisme, tidak semuanya menjadi ruas
penyandi, hanya bagian yang diapit oleh promotor dan terminator (Jusuf 2002).
Daerah penyandi merupakan bagian dari gen yang ditranskripsi dan
diterjemahkan menjadi protein, sehingga perubahan pada daerah tersebut dapat
mempengaruhi fungsi gen dengan mempengaruhi pola splicing mRNA atau
dengan mengubah fungsi protein (Cartegni et al. 2002). Struktur suatu gen
penyandi terdiri atas 5’ UTR (Untranslated Region), ekson, intron, dan 3’ UTR
pada sel eukariotik. Wilayah yang tak tertranslasikan pada ujung 5’ dan 3’ mRNA
atau disebut sebagai 5’ UTR dan 3’ UTR merupakan bagian yang tidak akan
ditranslasikan menjadi protein, namun memiliki fungsi-fungsi lain, misalnya
pengikatan ribosom. Ekson adalah sekuens nukleotida yang diekspresikan atau
ditranslasikan menjadi sekuens asam amino. Sedangkan intron merupakan
sekuens nukleotida DNA yang tidak ikut ditranslasikan. Sebagian intron
mengandung sekuens yang meregulasi aktivitas gen. Salah satu konsekuensi dari
keberadaan intron-intron dalam gen adalah satu gen dapat mengodekan lebih dari
satu jenis polipeptida (Allison 2007).
Genom eukariot terbagi atas DNA kromosom dan DNA ekstrakromosom.
Kromosom yang terdapat di dalam inti sel disebut DNA inti, sedangkan DNA
ekstrakromosom yang terdapat di luar inti disebut DNA sitoplasma yang terdapat
di dalam dua organel, yaitu mitokondria dan kloroplas. Mitokondria merupakan
organel yang berperan dalam katabolisme untuk menghasilkan energi. Branched
chain a-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) adalah kompleks multienzim
mitokondria yang mengkatalisis dekarboksilasi oksidatif branched chain αketoacid yang berasal dari transaminasi branched chain amino acid (BCAA) valin,
leusin, dan isoleusin di sitoplasma. Kompleks BCKDH terdiri atas tiga komponen
katalitik, yaitu α-ketoacid dehydrogenase (E1), dihydrolipoamide acyltransferase
(E2), dan dihydrolipoamide dehydrogenase (E3). Komponen E1 terdiri atas dua
subunit yaitu E1α dan E1β (Patel and Harris 1995). Subunit kompleks enzim
BCKDHA disandikan oleh gen inti, disintesis di sitosol dan diimpor ke
mitokondria (Lindsay 1989). Pertama, gen inti ditranskripsikan dan diproses
dengan mekanisme capping, poliadenilasi, dan intron splicing sebelum keluar inti,
selanjutnya mRNA ditranslasi di sitosol menghasilkan suatu polipeptida dengan
amino-terminal transit peptide yang mengarahkan protein ke mitokondria (Litwer
and Danner 1988; Peinemann and Danner 1994). Selama proses impor protein ke
mitokondria, subunit E1α dibelah oleh protease yang terletak di matriks pada
ikatan peptida antara Phe (residu -1) dan Ser (residu +1) (Gambar 5). Pada
membran bagian dalam mitokondria, subunit E1α BCKDH bergabung dengan
subunit-subunit lainnya membentuk kompleks enzim (Gambar 6). Subunit E1α
pada sapi disandikan oleh gen branched chain α-ketoacid dehydrogenase E1α
10
(BCKDHA) yang berada pada kromosom 18, dengan panjang gen sekitar 20575
pb, dan terdiri atas 9 ekson dan 8 intron (Elsik et al. 2009). Struktur gen
BCKDHA berdasarkan sekuens genom sapi taurin dapat dilihat pada Gambar 7.
Subunit E1 BCKDH memiliki struktur heterotetramer, α2β2 (Reed and
Hackert 1990). Subunit E1α berikatan dengan thiamin pyrophosphate (TPP) untuk
menghasilkan situs aktif bagi substrat ketoacid dan dekarboksilasi. Sebaliknya,
dua situs fosforilasi Ser292 (situs 1) dan Ser302 (situs 2) pada mature peptide
menerima fosfat dari ATP sehingga kompleks enzim menjadi tidak aktif (Cook et
al. 1984; Paxton et al. 1986; Peinemann and Danner 1994). Sugden and Randle
(1978) melaporkan bahwa hanya satu situs fosforilasi pada E1 pyruvate
dehydrogenase (E1p) heterotetramer cukup untuk menghambat situs aktif E1p.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh Zhao et al. (1994) bahwa fosforilasi Ser292 saja
cukup untuk menginaktivasi kompleks BCKDH, dan Ser302 merupakan situs
fosforilasi silent.
Gambar 5 Situs pembelahan pada bovin pre-E1α oleh protease yang terletak
di matriks (Hu et al. 1988)
Keterangan: BCKD, branched-chain α-keto acid dehydrogenase; PDC,
pyruvate dehydrogenase complex; α-KGDC, α-ketoglutarate
dehydrogenase complex; AA, asam amino; FA, asam lemak;
BCAA, branched-chain amino acids.
Gambar 6 Lokasi beberapa kompleks enzim di lintasan metabolisme
intermediet karbohidrat, lemak dan asam amino sejak di
sitoplasma sampai matriks mitokondria (Patel and Harris 1995)
11
Keterangan: Ekson 1 (1) = 125 pb
Ekson 2 (2) = 186 pb
Ekson 3 (3) = 87 pb
Ekson 4 (4) = 109 pb
Ekson 5 (5) = 162 pb
Ekson 6 (6) = 207 pb
Ekson 7 (7) = 142 pb
Ekson 8 (8) = 172 pb
Ekson 9 (9) = 520 pb
Intron 1 (A) = 9348 pb
Intron 2 (B) = 106 pb
Intron 3 (C) = 3429 pb
Intron 4 (D) = 1950 pb
Intron 5 (E) = 2817 pb
Intron 6 (F) = 97 pb
Intron 7 (G) = 212 pb
Intron 8 (H) = 906 pb
Gambar 7 Struktur gen BCKDHA berdasarkan urutan genom B. taurus (Elsik et al.
2009; Zimin et al. 2009)
Keragaman urutan nukleotida suatu gen menentukan efisiensi dari enzim
yang disandikannya. Pada gen BCKDHA, terdapat ruas transit peptide yang
disandikan oleh bagian ujung 5’ ekson 1 sampai ujung 5’ ekson 2 dan mature
peptide yang menyandikan polipeptida untuk membentuk struktur kuartener
dengan subunit lainnya (bagian ujung 3’ ekson 2 sampai ekson 9) (Gambar 8).
Transit peptide terdiri atas 165 pb yang menyandikan 55 aa, sedangkan mature
peptide terdiri atas 1200 pb yang menyandikan 400 aa, sehingga Open Reading
Frame menyandikan 455 aa (Hu et al. 1988; Zimin et al. 2009). Mutasi nukleotida
pada bagian ruas ekson kemungkinan akan mempengaruhi kualitas transit peptide,
situs pelekatan dengan subunit lainnya dan situs katalitik.
Variasi dapat ditemukan baik di daerah penyandi maupun bukan penyandi.
Variasi tersebut dapat mempengaruhi fungsi atau ekspresi gen sehingga dapat
mengakibatkan kondisi yang tidak diinginkan, seperti penyakit. Ibeagha-Awemu
et al. (2008) menyebutkan bahwa dalam sebagian besar laporan mutasi patologis
yang ditemukan terjadi pada daerah fungsional protein dan bersifat lestari
(conserved). Gen BCKDH telah digunakan sebagai marka untuk mendeteksi suatu
penyakit, yaitu Maple Syrup Urine Disease (MSUD). Penyakit ini merupakan
penyakit metabolisme resesif autosomal yang mempengaruhi metabolisme BCAA
(valin, leusin, dan isoleusin). Pada keadaan normal, kelebihan protein akan
memicu BCAA untuk menghasilkan energi. BCAA akan didegradasi oleh
kompleks enzim branched chain α-ketoacid dehydrogenase (BCKD). Pada
MSUD, jika satu atau beberapa gen yang menyandikan komponen-komponen
kompleks enzim ini mengalami mutasi maka BCAA tidak bisa masuk kedalam
rangkaian metabolisme mitokondria sehingga terjadi akumulasi dalam darah dan
urin. Akumulasi ini menyebabkan urin penderita memiliki bau seperti sirup maple
(Fisher et al. 1991). Furney et al. (2006) menemukan bahwa gen penyakit yang
dipengaruhi oleh mutasi dominan lebih conserved dibandingkan gen yang
12
dipengaruhi oleh mutasi resesif. Hal ini disebabkan mutasi resesif tetap
tersembunyi dari seleksi karena heterozigot.
MSUD telah diidentifikasi baik pada manusia maupun sapi (Fisher et al.
1991; Chuang et al. 1993; Dennis and Healy 1999). Mutasi gen BCKDHA ekson
2 pada sapi Polled Shorthorn terjadi karena substitusi 248C/T (CAG menjadi
TAG) pada kodon 6 dan menyebabkan stop kodon yang menghasilkan terminasi
prematur pada saat translasi (Zhang et al. 1990), sedangkan pada sapi Polled
Hereford mutasi disebabkan oleh 1380C/T (Pro372Leu) pada gen yang sama
(Dennis and Healy 1999). Sari (2013) menemukan variasi 36G>T pada ekson 4
gen BCKDHA pada sapi PO yang mengubah asam glutamat (GAA) menjadi stop
kodon (TAA).
Gambar 8 Posisi transit peptida pada gen BCKDHA
Desain Primer
Primer merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam proses
perbanyakan utas DNA dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR). Primer PCR adalah DNA utas tunggal (single-stranded DNA) berukuran
pendek yang spesifik, dikenal sebagai oligodeoxyribonucleotides atau oligomer.
Desain primer dilakukan untuk membuat untaian basa nukleotida yang akan
menempel dan mengapit daerah untaian DNA tertentu (DNA target) dari total
genom yang ada pada kromosom. Pengapitan daerah untaian DNA diperlukan
untuk melakukan perbanyakan (amplifikasi) hanya pada daerah untaian DNA
tertentu sehingga lebih mudah dalam melakukan analisis terhadap daerah untai
DNA tersebut. Keberhasilan melakukan amplifikasi daerah untai DNA sangat
dipengaruhi oleh kecocokan primer terhadap kondisi untai DNA target (Muladno
2002).
Desain primer untuk mempelajari ruas-ruas ekson gen BCKDHA dapat
dilakukan dengan menggunakan Primer3 (http://bioinfo.ut.ee/primer3/) secara
online berdasarkan hasil pensejajaran gen BCKDHA pada B. taurus
(NW_001493616), Capra hircus (NW_005100869), dan Ovis aries
(NW_004080177). Gambar 9 menunjukkan tampilan situs Primer3. Desain primer
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi optimum PCR sesuai dengan
kondisi target DNA. Selain itu, desain primer juga mengikuti konsensus intron
secara umum, yaitu intron mRNA mengandung tiga unsur konsensus yaitu GU
pada ujung 5’ dan AG pada ujung 3’. Seluruh intron mengandung GT pada ujung
13
Gambar 9 Tampilan menu awal program Primer3
5’ dan AT pada ujung 3’, sehingga disebut aturan GT-AG atau GU-AG pada RNA
(Breathnach et al. 1978).
Desain primer yang baik sangat penting bagi keberhasilan reaksi PCR.
Berikut beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain
primer untuk memperoleh amplifikasi spesifik dengan hasil tinggi antara lain,
yaitu panjang primer, primer melting temperature (Tm), primer annealing
temperature (Ta), jumlah basa G dan C (GC content), dan jumlah basa G dan C
yang terdapat pada 5 basa terakhir (3’) (GC clamp). Selain itu, struktur sekunder
primer juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk PCR, karena akan
mengurangi kemampuan primer menempel pada template. Struktur sekunder
primer dapat disebabkan oleh interaksi intra dan inter-molekuler primer. Berikut
ini beberapa jenis struktur sekunder primer antara lain, yaitu hairpins, self-dimer,
dan cross dimer. Hairpins terbentuk akibat interaksi intramolekuler primer
sehingga membentuk semacam lipatan (loop). Self-dimer terbentuk oleh interaksi
intermolekuler antara dua molekul primer yang sama, dimana primer homolog
terhadap dirinya sendiri. Penambahan primer dalam jumlah besar dibanding
jumlah DNA template dapat menyebabkan primer lebih suka membentuk dimer
intermolekuler dibanding berhibridisasi dengan DNA template, sehingga produk
(yield) akan berkurang. Primer cross dimer terbentuk karena interaksi
intermolekuler antara primer sense dan antisense, dimana keduanya memiliki
homologi (Rustam 2010).
Panjang optimal primer PCR umumnya adalah 18-23 nukleotida. Namun,
menurut Viljoen et al. (2005) panjang primer yang digunakan dalam PCR
sebaiknya memiliki ukuran 18-28 nukleotida agar dapat mengamplifikasi target
DNA dengan spesifisitas yang bagus. Semakin pendek ukuran primer akan
menyebabkan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang
tidak dikehendaki) tinggi sehingga menyebabkan spesifitas dari primer tersebut
berkurang dan berakibat pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan
14
panjang primer lebih dari 28 pb tidak menyebabkan bertambahnya spesifisitas dan
akan berpengaruh pada Tm primer (Handoyo dan Rudiretna 2001).
Suhu leleh atau melting temperature (Tm) merupakan temperatur dimana
setengah dari dupleks DNA akan terpisah menjadi utas tunggal dan Tm juga
mengindikasikan stabilitas dupleks. Primer dengan Tm berkisar antara 52-58oC
sangat ideal, sedangkan Tm di atas 65oC akan mengurangi efektifitas penempelan
primer sehingga proses amplifikasi DNA kurang berjalan baik. Nilai Tm sangat
ditentukan oleh jumlah basa GC (GC content) (Rustam 2010).
Primer annealing temperature (Ta) merupakan suhu dimana primer dapat
berikatan dengan template DNA dengan stabil (DNA hybrid stability). Suhu leleh
(Tm) primer antara forward dan reverse primer tidak boleh terlalu jauh karena
digunakan sebagai acuan untuk penentuan atau optimasi Ta. Jika suhu
penempelan primer (Ta) terlalu tinggi akan menyulitkan terjadinya ikatan primer
dengan template DNA sehingga akan menghasilkan produk PCR yang rendah
(kurang efisien). Namun jika Ta terlalu rendah akan menyebabkan terjadinya
penempelan primer pada template DNA yang tidak spesifik yang disebabkan oleh
tingginya kemungkinan kesalahan penempelan primer pada cetakan DNA
(Newton and Graham 1997).
Jumlah basa G dan C (GC content) yang ideal di dalam primer sekitar 4060%. Pada untai DNA pasangan basa G-C melibatkan tiga ikatan hidrogen,
sedangkan pasangan basa A-T dua ikatan hydrogen, sehingga keseimbangan
persentase GC memungkinkan ikatan yang terbentuk lebih spesifik dan stabil.
Spesifitas dan stabilitas ini juga dipengaruhi oleh Tm primer. Perbedaan Tm
sepasang primer sebaiknya tidak lebih dari 5oC. Jumlah basa G dan C yang
terdapat pada 5 basa terakhir (3’) disebut dengan GC clamp. GC clamp yang baik
sekitar 3 basa G/C dan tidak melebihi 5 basa G/C. Keberadaan G/C di ujung 3’
primer sangat membantu terjadinya stabilitas ikatan antara primer dengan
template DNA yang diperlukan untuk inisiasi polymerase DNA pada proses PCR
(Rustam 2010).
Program Primer3 menyediakan tampilan pilihan yang bisa diatur oleh
peneliti sesuai dengan kriteria yang diinginkan (Gambar 10). Namun, pilihan
alternatif tersebut dapat diabaikan (tidak dilakukan perubahan, sesuai dengan
pengaturan yang sudah tersedia pada tampilan program Primer3). Berikut tahapan
desain primer menggunakan Primer3. Sekuen basa nukleotida (DNA target)
Gambar 10 Tampilan kondisi pemilihan primer secara umum
15
dimasukkan ke dalam kotak menu dalam program Primer3 lalu klik Pick Primers
untuk mendapatkan primer yang akan mengapit DNA target yang akan dianalisa
oleh peneliti. Jika program Primer3 tidak dapat memberikan keluaran (output)
primer maka modifikasi dapat dilakukan dengan mengganti pengaturan atau
menurunkan interval jumlah sekuen pada kotak menu product size sehingga
program Primer3 dapat mencari daerah penempelan primer yang baru.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul
DNA pada bagian tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan fragmen
oligonukleotida (primer) dalam suatu thermocycler. Komponen penting yang
dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah DNA template yaitu molekul DNA yang
digunakan sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru; sepasang
primer oligonukleotida (forward dan reverse) yang akan membatasi fragmen
DNA target yang akan diamplifikasi; deoxyribonucleoside triphosphat (dNTP)
yang mengandung basa nukleotida (A, C, G, T,); Buffer dan MgCl2 berfungsi
untuk menjaga pH medium dan sebagai kofaktor untuk menstimulasi aktivitas
DNA Polimerase; dan enzim DNA Polimerase berfungsi sebagai katalisator dalam
reaksi polimerisasi DNA (Viljoen et al. 2005).
Satu siklus dalam reaksi PCR terdiri atas tiga tahap dasar yang terjadi pada
suhu yang berbeda. Tahap pertama adalah denaturasi yaitu pemisahan molekul
utas ganda DNA dengan proses pemanasan pada suhu tinggi (94-95oC) sehingga
menjadi untai tunggal dan primer dapat menempel pada utas tunggal DNA
cetakan. Setelah tahap pemanasan, tahap selanjutnya adalah annealing yaitu
penurunan suhu (sekitar 50-60oC) sehingga primer yang urutan nukleotidanya
berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi
komplemennya. Setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masingmasing maka pada suhu 72oC terjadi proses elongasi (pemanjangan) dimana
enzim DNA Polimerase, buffer PCR, dNTP, dan MgCl2 memulai proses replikasi
atau mensintesis molekul DNA baru sehingga satu molekul DNA ganda akan
berlipat jumlahnya menjadi dua molekul DNA. Ketiga tahap dasar tersebut
(denaturasi, annealing, dan elongasi) diulang kembali hingga 25-30 siklus
(Muladno 2002; Viljoen et al. 2005).
Perunutan sekuens DNA (DNA Sequencing)
DNA sequencing merupakan proses pembacaan urutan nukleotida dari
suatu fragmen DNA tertentu dengan menggunakan proses elektroforesis. Metode
Maxam-Gilbert dan metode Sanger merupakan metode sekuensing yang sering
digunakan. Metode Maxam-Gilbert dilakukan dengan cara mendegradasi fragmen
DNA secara kimiawi sedangkan metode Sanger dilakukan dengan cara
mensintesis molekul DNA dan menghentikan sintesis tersebut pada basa tertentu.
Pada dasarnya tiap metode meliputi pembuatan serangkaian utas tunggal DNA
yang diberi label dengan panjang bervariasi, dimulai dari salah satu ujung
fragmen yang sedang disekuens. Elektroforesis dari pita-pita tersebut dalam gel
poliakrilamid memisahkan pita-pita berdasarkan ukuran panjang basa, yang
16
menghasilkan tangga pita (ladder) berlabel dengan tiap pita mewakili
tersekuensnya satu basa (Sanger et al. 1977; Maxam and Gilbert 1977).
Metode Sanger lebih banyak digunakan karena lebih aman, mudah, praktis
dan efisien. Larutan utama yang digunakan di dalam reaksi metode Sanger adalah
dNTPs (deoxynucleotides triphosphates) untuk mensintesis molekul DNA baru
dan ddNTPs (dideoxynucleotides triphosphates) yang akan menghentikan
pemanjangan molekul DNA pada basa tertentu. Hasil akhir dari reaksi tersebut
adalah sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi tetapi semuanya
berakhir dengan nukleotida A (jika dNTP dicampur dengan ddATP), nukleotida C
(jika dNTP dicampur dengan ddCTP), nukleotida G (jika dNTP dicampur dengan
ddGTP), dan nukleotida T (jika dNTP dicampur dengan ddTTP). Untuk
mendeskripsikan hasil elektroforesis dari metode ini adalah dengan menggunakan
label yang berbeda (deoxynucleotides yang mengandung radioaktif atau label
fluorescent pada primer, dNTP atau ddNTP) atau dengan pendekatan staining
(silver staining) (Nicholas 1993; Albert et al. 2008).
Teknologi DNA Sequencing yang umum digunakan saat ini adalah Dyeterminator sequencing, dimana output alat sequencer-nya adalah peak-peak
(puncak) yang terdiri atas 4 warna yang mewakili masing-masing nukleotida yaitu
hijau untuk Adenin (A), merah untuk Timin (T), biru untuk Sitosin (C) dan hitam
untuk Guanin (G). Peak inilah yang dinamakan electropherogram yang sudah
diinterpretasikan secara otomatis oleh program komputer DNA Sequencer
menjadi urutan-urutan basa nukleotida (A-C-G-T). Namun program komputer
juga dapat melakukan kesalahan interpretasi pada electropherogram yang
bermasalah sehingga urutan basa nukleotida yang dihasilkannya pun bisa salah.
Hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian dan juga analisa lanjutan yang akan
dilakukan terhadap hasil sekuensing tersebut.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai dengan
Februari 2015 di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian Bogor.
Sampel Darah dan Ekstraksi DNA
Sampel yang digunakan merupakan koleksi sampel darah berdasarkan
peruntukan sapi madura yaitu, sapi karapan, sonok, dan pedaging. Sampel sapi
madura pada penelitian ini dibandingkan dengan sapi lokal Indonesia yaitu sapi
bali dan PO, serta sapi taurin (B. taurus). Sapi taurin (NW_001493616) yang
dijadikan sebagai referensi pada penelitian ini merupakan data whole genome
assembly menggunakan metode prediksi gen (Elsik et al. 2009), sedangkan data
whole genome sapi zebu (B. indicus) sampai saat ini belum ada di GenBank
sehingga sebagai gantinya pada penelitian ini digunakan sapi PO.
17
Jumlah sampel darah yang digunakan yaitu sebanyak 25 sampel sapi
madura, 18 sampel sapi bali, dan 16 sampel sapi PO (Tabel 1 dan 2). Sampel
darah diawetkan dalam alkohol absolut yang mengandung EDTA 100 mM.
Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengikuti protokol Genomic DNA Mini Kit for
Fresh Blood (Geneaid). Variasi ruas-ruas ekson gen BCKDHA diperkirakan akan
sangat rendah. Oleh karena itu, amplifikasi PCR pertama kali dilakukan dengan
menggunakan pooled samples, yaitu sampel DNA sapi madura, bali, dan PO
dijadikan menjadi satu tabung sampel dengan konsentrasi yang berimbang
berdasarkan peruntukan sapinya (Tabel 2). Teknik DNA pooling merupakan
gabungan dari beberapa sampel dijadikan satu dalam satu tabung sehingga dapat
mendeteksi varian pada suatu lokus secara cepat (fast screening).
Tabel 1 Sampel darah sapi yang digunakan sebagai
cetakan DNA berdasarkan jenis sapi
Jenis
Jumlah
Lokasi sampel
Sapi madura (karapan)
3
Sampang
Sapi madura (Sonok)
1
Pamekasan
Sapi madura (pedaging)
1
Bangkalan
4
Sampang
2
Pamekasan
Sapi bali
1
BPTO Bali
Sapi PO
1
Kebumen
Tabel 2 Pooled samples darah sapi yang digunakan
sebagai cetakan DNA berdasarkan jenis sapi
Jenis
Jumlah Lokasi sampel
Sapi madura (pedaging)
8
Bangkalan
4
Sampang
3
RPH Bogor
Sapi bali
10
BPTO Bali
8
RPH Bogor
Sapi PO
10
Kebumen
6
RPH Bogor
Amplifikasi DNA
Primer untuk mengamplifikasi DNA didesain menggunakan Primer3
(http://bioinfo.ut.ee/primer3-0.4.0/primer3/) secara online berdasarkan hasil
pensejajaran gen BCKDHA pada Bos taurus (NW_001493616), Capra hircus
(NW_005100869), dan Ovis aries (NW_004080177). Desain primer dilakukan
mulai dari ujung 5’ (forward) dan 3’ (reverse) setiap ekson dengan mengikuti
konsensus 5’ GT-AG 3’ (Breathnach et al. 1978). Opsi-opsi yang digunakan
dalam mendesain primer adalah yang optimal untuk ruas-ruas DNA berukuran
pendek dengan suhu Tm sekitar 60 oC. Pada Tabel 3 terdapat tujuh pasang primer
18
yang didesain untuk mengamplifikasi sembilan ekson gen BCKDHA dan
sebagian ruas pengapitnya (intron). Gambar 11 menunjukkan skema posisi
penempelan masing-masing primer
BERDASARKAN GEN BRANCHED-CHAIN α-KETOACID
DEHYDROGENASE E1α (BCKDHA)
ASRI FEBRIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sejarah Pembentukan
Bangsa Sapi Madura Berdasarkan Gen Branched-Chain α-Ketoacid
Dehydrogenase E1α (BCKDHA) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Asri Febriana
G352130191
RINGKASAN
ASRI FEBRIANA. Sejarah Pembentukan Bangsa Sapi Madura berdasarkan Gen
Branched-Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA). Dibimbing oleh
ACHMAD FARAJALLAH dan RR DYAH PERWITASARI.
Sapi madura merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia yang berasal
dari persilangan sapi zebu (Bos indicus) dan banteng (Bos javanicus). Branchedchain α-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) adalah salah satu dari kompleks
enzim utama yang ada di membran dalam mitokondria yang memetabolisme
branched-chain amino acid (BCAA), yaitu valin, leusin, dan isoleusin. Penelitian
ini bertujuan mempelajari diferensiasi peruntukan sapi madura berdasarkan gen
BCKDHA. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga peruntukan sapi madura, yaitu
sapi karapan, sonok, dan pedaging. Analisis urutan gen BCKDHA dilakukan
dengan teknik sekuensing DNA.
Berdasarkan hasil pensejajaran urutan nukleotida menunjukkan panjang
urutan sembilan ekson gen BCKDHA sapi madura yang diperoleh yaitu 1347 pb.
Total 18 variasi ditemukan pada ruas ekson gen BCKDHA sapi madura. Selain
variasi pada ruas ekson, terdapat 32 variasi yang ditemukan pada ruas intron
berdasarkan tujuh pasang primer yang digunakan. Hasil pensejajaran urutan
nukleotida gen BCKDHA pada sapi madura menunjukkan tidak ada variasi
khusus yang ditemukan, baik pada ruas ekson maupun ruas intron, pada masingmasing peruntukan sapi madura. Diferensiasi yang ada tidak sampai mengarahkan
pada pembentukan bangsa sapi baru. Hal ini menunjukkan tidak ada diferensiasi
peruntukan sapi madura dari sisi tekanan seleksi terhadap gen BCKDHA.
Kata kunci: Gen BCKDHA, sapi Madura, variasi
SUMMARY
ASRI FEBRIANA. Natural History of Madura Cattle based on Branched-Chain
α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA). Supervised by ACHMAD
FARAJALLAH and RR DYAH PERWITASARI.
Madura cattle is one of the Indonesian local cattle breeds derived from
crossing between zebu cattle (Bos indicus) and banteng (Bos javanicus).
Branched-chain α-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) is one of the main enzyme
complexes in the inner mitochondrial membrane that metabolizes branched-chain
amino acid (BCAA), i.e., valine, leucine, and isoleucine. This study aimed to
analyze the differentiation on madura cattle based on BCKDHA gene. This study
was conducted on three madura cattle that used as karapan (bull race), sonok (art
contest), and beef cattle by DNA sequencing of BCKDHA gene.
Based on the sequence analysis it was revealed that nine exons of BCKDHA
gene in madura cattle consists of 1347 bp in length. A total of 18 variations found
in exon region. In addition, there are 32 variations found in intron region based on
seven pairs of primers used. The alignment results of BCKDHA gene sequence on
madura cattle showed that there was no specific variation found, neither in the
exon and intron, on karapan, sonok, and beef cattle. The differentiation was not
lead to the formation of a new breed. This indicated the absence of differentiation
madura cattle are used as karapan, sonok, and beef cattle of selection pressure of
BCKDHA gene.
Keywords: BCKDHA gene, Madura cattle, variation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SEJARAH PEMBENTUKAN BANGSA SAPI MADURA
BERDASARKAN GEN BRANCHED-CHAIN α-KETOACID
DEHYDROGENASE E1α (BCKDHA)
ASRI FEBRIANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah dengan judul Sejarah Pembentukan Bangsa Sapi Madura berdasarkan
Gen Branched-Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA) pada Sapi
Madura.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Farajallah, MSi
dan Ibu Dr Ir Rd. Roro Dyah Perwitasari, MSc selaku pembimbing, serta Bapak
Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc selaku penguji yang telah memberikan saran dan
masukan bagi perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Jakaria, MSi dari Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB atas sampel darah
sapi bali dan PO yang diberikan, Kepala dan staf Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) terpadu Kota Bogor atas izin pengambilan sampel yang diberikan, Bapak
Moh Romli dari Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan, yang telah
mendampingi selama pengambilan sampel sapi sonok, Ibu Tini Wahyuni dan
Bapak Adi Surachman, Wildan Najmul Muttaqin, MSi, beserta staf dan temanteman di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan IPA, IPB yang telah membantu selama pelaksanaan
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, kakak
dan adik tercinta serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2015
Asri Febriana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
1
1
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Lokal Indonesia
Sapi Madura
Sejarah Sapi Karapan (Balapan)
Sejarah Sapi Sonok (Pajangan)
Gen Branched Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA)
Desain Primer
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Perunutan DNA (Sekuensing)
2
2
5
7
8
9
12
15
15
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Sampel Darah dan Ekstraksi DNA
Amplifikasi DNA
DNA Sekuensing dan Analisis
16
16
16
17
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Daerah Penyandi Gen BCKDHA
Variasi Gen BCKDHA pada Sapi Madura
Hubungan antara Variasi Gen BCKDHA dengan Sejarah Sapi Madura
Indel Simultan pada Intron 7 Gen BCKDHA
Variasi pada Sapi Madura Pedaging
19
19
20
27
29
30
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
30
30
30
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL
1 Sampel darah sapi yang digunakan sebagai cetakan DNA berdasarkan
jenis sapi
2 Pooled samples darah sapi yang digunakan sebagai cetakan DNA
berdasarkan jenis sapi
3 Urutan primer untuk amplifikasi DNA
4 Panjang urutan ekson 1-9 gen BCKDHA sapi madura
5 Variasi yang ditemukan pada ruas ekson gen BCKDHA sapi madura
6 Variasi yang ditemukan pada ruas ekson gen BCKDHA pooled samples
7 Variasi yang ditemukan pada ruas intron gen BCKDHA
8 Variasi yang ditemukan pada ruas intron gen BCKDHA pooled samples
9 Variasi basa nukleotida (ruas ekson) yang hanya ditemukan pada sapi
madura
10 Variasi basa nukleotida (ruas ekson) yang hanya ditemukan pada sapi
madura (pooled samples)
11 Variasi basa nukleotida (ruas intron) yang hanya ditemukan pada sapi
madura
12 Variasi basa nukleotida (ruas intron) yang hanya ditemukan pada sapi
madura (pooled samples)
13 Variasi nukleotida pada intron 7 gen BCKDHA
17
17
18
20
23
23
24
26
28
28
28
29
29
DAFTAR GAMBAR
1 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika, dan Eropa
(MacHugh 1996)
2 Komposisi genetik pada beberapa populasi sapi lokal Indonesia (Felius
1995; Mohamad et al. 2009)
3 Komponen genomik sapi indonesia berdasarkan penanda genetik
mtDNA, kromosom Y, dan mikrosatelit (Mohamad et al. 2009)
4 Sapi madura yang terdapat di Kecamatan Pakong, Kabupaten
Pamekasan (foto oleh: Achmad Farajallah)
5 Situs pembelahan pada bovin pre-E1α oleh protease yang terletak di
matriks (Hu et al. 1988)
6 Lokasi beberapa kompleks enzim di lintasan metabolisme intermediet
karbohidrat, lemak dan asam amino sejak di sitoplasma sampai matriks
mitokondria (Patel and Harris 1995)
7 Struktur gen BCKDHA berdasarkan urutan genom B. taurus (Elsik et
al. 2009; Zimin et al. 2009)
8 Posisi transit peptida pada gen BCKDHA
9 Tampilan menu awal program Primer3
10 Tampilan kondisi pemilihan primer secara umum
11 Skema posisi penempelan tujuh pasang primer pada ruas gen
BCKDHA
12 Urutan nukleotida dan asam amino subunit E1α gen BCKDHA
13 Pensejajaran urutan nukleotida dan asam amino pada daerah ujung 5’
ekson
3
4
6
7
10
10
11
12
13
14
18
21
22
14 Hasil kromatogram variasi alel 1 dan alel 2 pada ekson 1 gen
BCKDHA
22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Ringkasan posisi variasi nukleotida dan asam amino gen BCKDHA
35
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi madura merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia yang berasal
dari persilangan sapi zebu (Bos indicus) dan sapi bali atau banteng (Bos
javanicus). Sapi madura yang ada saat ini merupakan hasil seleksi secara terusmenerus oleh petani di Pulau Madura sehingga menghasilkan suatu populasi
bangsa yang seragam. Sapi madura memiliki nilai budaya penting bagi
masyarakat madura. Berdasarkan kearifan lokal Madura, sapi madura dapat
dikelompokkan menjadi tiga peruntukan, yaitu sapi karapan (balapan), sapi sonok
(pajangan), dan sapi sayur (pedaging). Sapi karapan membutuhkan metabolisme
energi yang tinggi untuk mendapatkan kekuatan fisik, kerja keras otot kerangka
dan emosional (aggressive). Sebaliknya, sapi sonok membutuhkan metabolisme
energi yang tinggi untuk menahan peregangan otot kerangka dan emosi terkendali
(tamed). Sapi yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut atau yang ‘pensiun’ dari sapi
karapan dan sonok termasuk dalam sapi pedaging.
Lomba sapi karapan dan sapi sonok merupakan acara budaya penting di
Pulau Madura (De Jonge 1990). Sapi karapan dan sapi sonok yang diikutsertakan
dalam perlombaan merupakan sapi pilihan dengan performan dan kondisi yang
sangat baik. Performan dan kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik
dan lingkungan, termasuk lingkungan pakan dan kesehatan. Sapi madura termasuk
sapi potong lokal yang memiliki keunggulan antara lain, yaitu kemampuan
adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis, manajemen tradisional, kualitas
pakan yang kurang baik, tahan terhadap serangan caplak, dan kualitas karkas yang
tinggi.
Pemanfaatan sapi dalam tradisi budidaya masyarakat Madura mengarahkan
seleksi sapi berdasarkan peruntukannya yang memiliki performan yang sesuai
dengan selera masyarakat. Seleksi dengan cara tersebut kemungkinan
mempengaruhi variasi gen yang terlibat dalam metabolisme energi. Variasi yang
ditemukan kemungkinan terdiferensiasi mengikuti pola berdasarkan sapi karapan,
sapi sonok, dan sapi pedaging. Selain sapi madura, pada penelitian ini juga
digunakan sampel pembanding, yaitu sapi bali dan sapi Peranakan Ongole (PO)
untuk melihat sejarah pembentukan bangsa sapi madura berdasarkan gen yang
terlibat dalam metabolisme energi. Karakterisasi terhadap gen yang terlibat dalam
metabolisme energi perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas sapi madura
dalam skema pemuliaan ternak.
Branched-chain α-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) adalah salah satu dari
kompleks enzim utama yang ada di membran dalam mitokondria yang
memetabolisme branched-chain amino acid (BCAA), yaitu valin, leusin, dan
isoleusin. Kompleks BCKDH terdiri atas subunit α dan -ketoacid dehydrogenase
(E1α dan E1β) dan dua subunit lainnya (Patel and Harris 1995). Subunit E1α pada
sapi disandikan oleh gen branched-chain α-ketoacid dehydrogenase E1α
(BCKDHA) yang berada pada kromosom 18, dengan panjang gen sekitar 20575
pb, dan terdiri atas 9 ekson dan 8 intron (Elsik et al. 2009).
Variasi yang ditemukan pada gen BCKDHA kemungkinan dapat
mempengaruhi asam amino yang disandikan dan efisiensi enzim BCKDH dalam
1
2
proses metabolisme BCAA. Analisis variasi gen BCKDHA dilakukan dengan
menggunakan teknik DNA sekuensing. Teknik ini digunakan untuk menentukan
urutan nukleotida pada suatu molekul DNA. Tidak terdapat data mengenai urutan
nukleotida gen BCKDHA pada sapi madura, sehingga urutan yang diperoleh
diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut
mengenai gen BCKDHA pada sapi lokal Indonesia lainnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari diferensiasi peruntukan sapi madura
berdasarkan gen BCKDHA.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Lokal Indonesia
Sapi merupakan hewan ternak dengan keanekaragaman jenis yang tinggi
dan ditemukan hampir di semua negara termasuk Indonesia. Sapi (Bos sp.)
merupakan anggota famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos (Geraads 1992).
Menurut Perkins (1969), domestikasi sapi pertama kali ditemukan di Turki
dengan dua tipe sapi, yaitu tipe berpunuk (zebu) dan tidak berpunuk (taurin).
Sebagian besar sapi di wilayah Asia merupakan keturunan tipe B. indicus atau
dikenal sebagai sapi zebu, sedangkan sapi yang tersebar di wilayah Eropa
termasuk dalam spesies B. taurus atau sapi taurin (Bradley and Cunningham
1999). Tipe sapi domestikasi yang terdapat di Indonesia, berbeda dari tipe B.
indicus (sapi zebu) dan B. taurus (sapi taurin), dan berasal dari domestikasi yang
terpisah (Gambar 1).
Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang diduga berasal dari hasil
domestikasi banteng liar, dan mempunyai ciri-ciri fisik yang hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (Handiwirawan dan
Subandriyo 2004). Proses domestikasi sapi bali ini terjadi sebelum 3500 SM di
Indonesia (Rollinson 1984). Mereka diklasifikasikan sebagai B. javanicus
(Bradley and Cunningham 1999). Menurut Payne and Rollinson (1973), sapi bali
memiliki karakteristik berukuran sedang, tidak berpunuk (humpless), memiliki
warna putih pada bagian belakang paha, bagian perut, dan keempat kaki bawah
sampai di atas kuku (white stocking).
Bangsa sapi memiliki karakteristik tertentu yang sama, berdasarkan
karakteristik tersebut mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih
dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke
generasi berikutnya. Menurut Martojo (2003), perkembangan bangsa sapi di
Indonesia berasal dari sapi asli seperti sapi bali dan juga sapi hasil silangan sapi
asli Indonesia dengan sapi eksotik seperti sapi zebu, yang telah menjadi sapi lokal,
seperti sapi pesisir, sapi madura, sapi aceh, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi
Peranakan Ongole (PO). Hibridisasi dari banteng atau sapi bali dan sapi zebu
3
Gambar 1 Tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika,
dan Eropa (MacHugh 1996)
diduga terjadi pada bangsa-bangsa sapi lokal Indonesia baik secara spontan
maupun melalui pemuliaan (Felius 1995).
Gambar 2 menunjukkan bahwa berdasarkan penanda molekuler genetik
DNA mitokondria, kromosom Y (analisis paternal), dan mikrosatelit (analisis
autosomal) menunjukkan sapi bali memiliki komposisi genetik yang sama dengan
banteng. Berdasarkan penanda genetik molekuler DNA mitokondria (analisis
maternal) terdapat komposisi genetik sapi zebu pada sapi aceh dan pesisir,
sedangkan pada sapi PO dan madura terdapat komposisi genetik sapi zebu dan
sapi bali atau banteng, hal ini menunjukkan bahwa sapi PO dan madura berasal
dari dua moyang betina yang berbeda. Pada sapi aceh, pesisir, dan madura
komposisi genetik berdasarkan penanda molekuler kromosom Y (analisis
paternal) menunjukkan ketiga bangsa tersebut berasal dari pejantan zebu.
Berdasarkan penanda genetik mikrosatelit (analisis autosomal) sapi aceh, pesisir,
PO, dan madura memiliki komposisi genetik sapi zebu dan sapi bali atau banteng
(Felius 1995; Mohamad et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa komposisi
spesies bangsa sapi zebu Indonesia unik dan bervariasi dari sebagian besar zebu
hingga sepenuhnya banteng. Sejarah dan pembiakan sapi Indonesia telah
menghasilkan sumberdaya genetik yang unik yang mengombinasikan karakter
toleran terhadap iklim tropis dari zebu dan iklim yang kering dari banteng pada
kondisi peternakan di Indonesia.
Persilangan sapi-sapi di Indonesia dengan sapi zebu berhubungan dengan
masuknya agama Hindu ke Indonesia. Tidak terdapat catatan yang pasti kapan
masuknya sapi zebu ke Indonesia. Sapi zebu kemungkinan dibawa masuk ke
Indonesia oleh imigran Singalese sekitar 1500 tahun yang lalu. Selain itu, terdapat
patung sapi berpunuk pada candi-candi Hindu di Jawa bukti adanya sapi zebu
pada abad ke-10. Foto-foto sapi asli jawa dari awal abad ke-20 juga menunjukkan
4
Gambar 2 Komposisi genetik pada beberapa populasi sapi lokal
Indonesia (Felius 1995; Mohamad et al. 2009)
gambar sapi berpunuk dan sapi yang mirip dengan sapi madura (Felius 1995).
Perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka.
Pedagang Arab, Cina serta India yang datang ke Aceh, mereka membawa barangbarang dagangan dan khususnya imigran India ini dikenal membawa sapi-sapi
dari India ke Aceh. Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak
melalui Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut atau Peureulak
(Merkens 1926; Martojo 2003).
Sapi ongole termasuk rumpun sapi zebu yang berasal dari India. Sapi
ongole mulai disilangkan dengan bangsa sapi lokal Indonesia pada abad ke-19,
impor sapi ongole zebu terus digunakan untuk pembiakan di Pulau Jawa dan
pulau-pulau lainnya di Indonesia, kecuali Pulau Madura dan Bali (Rollinson 1984;
Felius 1995; Mohammad et al. 2009). Sapi ongole berperan penting dalam upaya
pengembangan peternakan sapi di Indonesia. Impor sapi ongole dari India ke
Pulau Sumba dalam jumlah yang banyak berlangsung sampai tahun 1920,
sehingga pada tahun 1923 terdapat sekitar 1500 sapi ongole di Pulau Sumba yang
kemudian dikenal dengan sapi sumba ongole (SO). Selanjutnya sapi SO
disebarkan ke wilayah lain di Indonesia. Penyebaran tersebut menyebabkan
terbentuknya suatu bangsa sapi yaitu peranakan ongole (PO) yang merupakan
hasil persilangan antara sapi SO dengan sapi asli jawa yang saat ini telah punah.
Selain sapi ongole, sapi hissar dari India juga diimpor dan digunakan untuk
pembiakan di Sumatra dan Sulawesi Utara (Martojo 2003).
5
Sapi Madura
Sapi madura merupakan salah satu sapi potong lokal (indigenous) yang
berkembang di Indonesia dan hasil persilangan antara banteng atau sapi bali (B.
javanicus) dengan sapi zebu (B. indicus) sekitar 1500 tahun yang lalu (Payne and
Rollinson 1973; Bradley and Cunningham 1999). Selain sapi zebu, sapi taurin (B.
taurus) yang pernah dimasukkan ke Pulau Madura sebagai pejantan antara lain
yaitu, Danish Red dan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman atau dikenal
sebagai Santa Gertrudis, yang semuanya memiliki warna merah coklat yang mirip
dengan warna sapi madura, sapi Limousin juga diperkenalkan sebagai pejantan
unggul dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi madura.
Pada Gambar 3, tanda panah pada baris kedua menunjukkan bahwa
berdasarkan penanda genetik molekuler kromosom Y (analisis paternal) terdapat
komponen genomik sapi taurin yaitu sapi Limousin pada sapi madura. Komunitas
sapi madura yang berkembang saat ini merupakan hasil isolasi dan seleksi alamiah
yang ketat, sehingga menghasilkan sapi yang relatif memberikan keseragaman
genotip yang mantap (Soehadji 1993; Wijono dan Setiadi 2004; Mohamad et al.
2009).
Sapi madura memiliki karakteristik tubuh berwarna kuning kecoklatan pada
sapi betina, sedangkan sapi jantan berwarna merah bata atau merah coklat
bercampur putih dengan batas yang tidak jelas pada bagian pantat (Gambar 4).
Warna putih seperti pada kaki (white stocking) juga sering ditemukan di daerah
abdomen dan bagian paha dalam. White stocking yang ditemukan pada kaki sapi
Madura tidak sejelas yang ditemukan pada sapi bali. Ukuran tubuhnya kecil
sampai sedang, berpunuk kecil, bertulang dan berotot bagus, terutama sapi jantan
(karapan) dan mempunyai kaki yang cukup kuat untuk bertahan terhadap kerja
yang berat. Pada bagian wajah di sekitar mata berwarna hitam, pinggir telinga
berwarna hitam, serta tanduk yang berwarna hitam, berukuran kecil dan pendek
mengarah ke bagian luar. Bagian bawah (tarsal/metatarsal) berwarna putih, ekor
berwarna coklat sampai hitam. Sapi jantan memiliki gelambir lebih besar
dibandingkan dengan sapi betina (Setiadi dan Diwyanto 1997).
Berdasarkan karakter morfologi, sapi madura memiliki karakteristik yang
hampir sama dengan sapi bali, kecuali ukuran tubuh dan tanduknya yang lebih
kecil (Setiadi 2010). Sapi madura jantan memiliki tanduk yang pendek dan
beragam lebih kurang 15-20 cm, sedangkan pada betina, tanduk lebih kecil dan
pendek lebih kurang 10 cm. Panjang badan hampir sama dengan sapi bali, namun
berpunuk kecil sedangkan sapi bali tidak berpunuk. Tinggi badan sekitar 118 cm
dengan berat badan rata-rata 350 kg, sedangkan pada sapi bali yang berumur
sekitar 2 tahun memiliki berat 400 kg dan umur 4 tahun dengan berat badan
sekitar 600-800 kg (Martojo 2003). Menurut Soehadji (1993), sapi madura
sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar 300 kg. Pada
sapi madura yang menang kontes, berat badan mampu mencapai lebih dari 500 kg
yang diperoleh dari hasil pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan
pakan yang baik.
Sapi madura tersebar hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sapi
madura termasuk sapi potong lokal yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik
terhadap lingkungan tropis, kualitas pakan yang kurang baik, tahan terhadap
6
6
Gambar 3 Komponen genomik sapi indonesia berdasarkan penanda genetik mtDNA, kromosom Y, dan mikrosatelit (Mohamad et al.
2009)
6
7
Gambar 4 Sapi madura yang terdapat di Kecamatan Pakong,
Kabupaten Pamekasan (foto oleh: Achmad Farajallah)
infestasi serangan caplak, dan kualitas karkas yang tinggi. Namun,
pengembangbiakkan yang dilakukan di luar Pulau Madura, tidak menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikan walaupun kondisi lingkungan di wilayah
tersebut hampir sama. Sejak awal abad ke-20 bangsa sapi lain dilarang masuk ke
Pulau Madura untuk menjaga kemurniannya (Martojo 2003). Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas yang dapat diakibatkan oleh
seleksi negatif, yaitu pemotongan sapi produktif dan faktor inbreeding akibat
Pulau Madura merupakan wilayah tertutup bagi sapi potong lain (Wijono dan
Setiadi 2004).
Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura terhadap ternak sapi
madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina pajangan
yang dikenal sebagai sapi sonok dan lomba balapn sapi jantan yang dikenal
sebagai karapan. Aspek sosiobudaya masyarakat Madura yang mengembangkan
kesenangan memelihara sapi yang baik untuk dilombakan, merupakan faktor
pendukung didalam upaya pelestarian dan perbaikan mutu ternak. Namun, upaya
pelestarian sapi madura yang telah lama dilaksanakan sejak pemerintahan Hindia
Belanda ini juga memiliki kelemahan, yaitu kegiatan lomba karapan sapi dan sapi
sonok menyebabkan peternak cenderung lebih mengutamakan sapinya daripada
kebutuhan keluarga (Setiadi dan Diwyanto 1997). Selain itu, peranan
pemeliharaan sapi madura seperti pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu sebagai
sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan kebutuhan ekonomi (Wijono dan
Setiadi 2004).
Sejarah Sapi Karapan (Balapan)
Karapan memiliki sejarah yang panjang. Noer dan Maduratna (1975)
menyatakan bahwa di Pulau Sapudi yang terletak di Kabupaten Sumenep, selama
abad ke-12 sampai 13, Pangeran Katandur ingin membuat tanah gersang dan tidak
subur di pulau tersebut menjadi lebih subur sehingga dapat dibuat untuk bercocok
tanam. Pangeran Katandur merupakan seorang tokoh penyebar agama islam,
beliau memiliki nama asli Habib Ahmad Baidawi putra dari Panembahan Pakaos
atau Habib Sholeh putra dari Sunan Kudus. Katandur atau Sinandur sendiri
memiliki arti yang menanam. Pangeran memperkenalkan cara membajak sawah
7
8
dengan menggunakan tenaga sepasang sapi jantan. Pangeran menciptakan
permainan lomba balapan sapi, atau dikenal dengan karapan, dimana lomba
mengadu sepasang sapi jantan melawan satu sama lain di lapangan untuk
mendorong masyarakat menjaga sapi mereka. Selain itu, tujuan awal lomba
karapan sapi hanya untuk menghibur masyarakat yang bergembira atas
keberhasilan panen mereka. Seiring waktu, karapan menjadi permainan favorit
bagi masyarakat madura, yang diselenggarakan setelah musim panen. Peralatan
yang digunakan dalam lomba mirip dengan peralatan yang digunakan dalam
membajak atau disebut dengan kaleles. Kaleles merupakan tempat atau alat yang
digunakan oleh seorang joki untuk menaiki sepasang sapi dengan panjang lintasan
sekitar 100-140 m (Widi et al. 2013).
Sejarah Sapi Sonok (Pajangan)
Sejarah sapi sonok berasal dari kegiatan yang pada umumnya dilakukan
oleh masyarakat madura yaitu menambatkan sapi mereka di antara dua pilar,
dengan nama lokal tacek, di beranda depan rumah. Kaki depan sapi berdiri di atas
platform, sepotong kayu dengan tinggi sekitar 15 cm, sementara mereka
ditambatkan. Kegiatan ini memberikan petani kesempatan untuk menunjukkan
kebanggaan mereka dalam merawat sapi mereka. Pada tahun 1963, seorang
Kepala Desa sangat tertarik pada kegiatan para peternak ini. Lalu, Kepala Desa
menunjukkan sapi dengan bentuk tubuh yang baik pada saat ditambatkan di depan
rumah petani, kepada pejabat tinggi yang sedang mengunjungi desanya. Ide ini
kemudian menjadi kegiatan rutin di daerah tersebut (Widi et al. 2013).
Pada tahun 1927, Sommerfeld (1927) menjelaskan tentang pajengan dimana
petani membawa sapi mereka, terutama sapi betina, untuk ditambatkan bersama di
lapangan. Kebiasaan ini juga dilatarbelakangi oleh kebiasaan petani memajang
sapi mereka dalam posisi tegap, memiliki keindahan tubuh, dan warna kulit yang
bagus. Pada tahun 1967, seorang pejabat pemerintahan lokal menyelenggarakan
kegiatan pajengan dua kali seminggu selama musim panen tembakau. Hal ini
menjadi ajang bagi para petani untuk bertemu, jual-beli sapi, berbagi informasi
dengan penyuluh, serta mampu meningkatkan prestise dan status sosial
pemiliknya.
Pada 1980-an, untuk membuat pajengan lebih menarik, para petani bersaing
memilih pasangan betina yang bagus, digunakan untuk membuat sapi-sapi betina
tersebut berjalan berpasangan dan mengenakan aksesoris yang menarik. Acara ini
menjadi ajang kontes kecantikan pada sapi betina. Pasangan sapi, dipandu oleh
joki, harus berjalan sepanjang 25 m untuk mencapai garis finish yang dirancang
seperti gerbang, sementara kaki depan mereka melangkah dengan cara yang
harmonis. Para pemilik sapi mengiringi langkah sapi sambil menari dengan
diiringi musik tradisional, Saronen. Lomba ini dinamakan Sonok. Sapi sonok
dinilai antara lain berdasarkan tinggi pundak, warna, bentuk tubuh yang ideal,
kondisi tubuh, kesehatan, dan keharmonisan dalam melangkah berpasangan.
Tidak seperti karapan, tidak ada pemenang dan kalah dalam lomba ini. Setiap
peserta petani menerima hadiah dari para pejabat tanpa terkecuali. Meskipun tidak
ada hadiah, kontes ini sangat penting karena selama kontes banyak transaksi
antara petani berlangsung. Petani dapat menunjukkan sapi mereka dan menjual
mereka dengan harga yang bagus. Sapi betina yang tampil baik sangat popular
untuk pembibitan (Widi et al. 2013).
9
Gen Branched Chain α-Ketoacid Dehydrogenase E1α (BCKDHA)
Proses metabolisme melibatkan banyak gen dan keseluruhan gen yang
terlibat dalam jalannya proses metabolisme tersebut dinamakan genom.
Metabolisme merupakan rangkaian reaksi kimia yang mengubah satu molekul
menjadi molekul lainnya. Setiap tahap reaksi kimia dalam sel memerlukan satu
jenis enzim sebagai katalisator dan setiap jenis enzim dibentuk di bawah kendali
satu jenis gen. Gen adalah bagian dari genom yang berperan dalam proses
ekspresi gen, yaitu sebagai ruas model atau ruas penyandi dalam proses
transkripsi. Dari keseluruhan genom organisme, tidak semuanya menjadi ruas
penyandi, hanya bagian yang diapit oleh promotor dan terminator (Jusuf 2002).
Daerah penyandi merupakan bagian dari gen yang ditranskripsi dan
diterjemahkan menjadi protein, sehingga perubahan pada daerah tersebut dapat
mempengaruhi fungsi gen dengan mempengaruhi pola splicing mRNA atau
dengan mengubah fungsi protein (Cartegni et al. 2002). Struktur suatu gen
penyandi terdiri atas 5’ UTR (Untranslated Region), ekson, intron, dan 3’ UTR
pada sel eukariotik. Wilayah yang tak tertranslasikan pada ujung 5’ dan 3’ mRNA
atau disebut sebagai 5’ UTR dan 3’ UTR merupakan bagian yang tidak akan
ditranslasikan menjadi protein, namun memiliki fungsi-fungsi lain, misalnya
pengikatan ribosom. Ekson adalah sekuens nukleotida yang diekspresikan atau
ditranslasikan menjadi sekuens asam amino. Sedangkan intron merupakan
sekuens nukleotida DNA yang tidak ikut ditranslasikan. Sebagian intron
mengandung sekuens yang meregulasi aktivitas gen. Salah satu konsekuensi dari
keberadaan intron-intron dalam gen adalah satu gen dapat mengodekan lebih dari
satu jenis polipeptida (Allison 2007).
Genom eukariot terbagi atas DNA kromosom dan DNA ekstrakromosom.
Kromosom yang terdapat di dalam inti sel disebut DNA inti, sedangkan DNA
ekstrakromosom yang terdapat di luar inti disebut DNA sitoplasma yang terdapat
di dalam dua organel, yaitu mitokondria dan kloroplas. Mitokondria merupakan
organel yang berperan dalam katabolisme untuk menghasilkan energi. Branched
chain a-ketoacid dehydrogenase (BCKDH) adalah kompleks multienzim
mitokondria yang mengkatalisis dekarboksilasi oksidatif branched chain αketoacid yang berasal dari transaminasi branched chain amino acid (BCAA) valin,
leusin, dan isoleusin di sitoplasma. Kompleks BCKDH terdiri atas tiga komponen
katalitik, yaitu α-ketoacid dehydrogenase (E1), dihydrolipoamide acyltransferase
(E2), dan dihydrolipoamide dehydrogenase (E3). Komponen E1 terdiri atas dua
subunit yaitu E1α dan E1β (Patel and Harris 1995). Subunit kompleks enzim
BCKDHA disandikan oleh gen inti, disintesis di sitosol dan diimpor ke
mitokondria (Lindsay 1989). Pertama, gen inti ditranskripsikan dan diproses
dengan mekanisme capping, poliadenilasi, dan intron splicing sebelum keluar inti,
selanjutnya mRNA ditranslasi di sitosol menghasilkan suatu polipeptida dengan
amino-terminal transit peptide yang mengarahkan protein ke mitokondria (Litwer
and Danner 1988; Peinemann and Danner 1994). Selama proses impor protein ke
mitokondria, subunit E1α dibelah oleh protease yang terletak di matriks pada
ikatan peptida antara Phe (residu -1) dan Ser (residu +1) (Gambar 5). Pada
membran bagian dalam mitokondria, subunit E1α BCKDH bergabung dengan
subunit-subunit lainnya membentuk kompleks enzim (Gambar 6). Subunit E1α
pada sapi disandikan oleh gen branched chain α-ketoacid dehydrogenase E1α
10
(BCKDHA) yang berada pada kromosom 18, dengan panjang gen sekitar 20575
pb, dan terdiri atas 9 ekson dan 8 intron (Elsik et al. 2009). Struktur gen
BCKDHA berdasarkan sekuens genom sapi taurin dapat dilihat pada Gambar 7.
Subunit E1 BCKDH memiliki struktur heterotetramer, α2β2 (Reed and
Hackert 1990). Subunit E1α berikatan dengan thiamin pyrophosphate (TPP) untuk
menghasilkan situs aktif bagi substrat ketoacid dan dekarboksilasi. Sebaliknya,
dua situs fosforilasi Ser292 (situs 1) dan Ser302 (situs 2) pada mature peptide
menerima fosfat dari ATP sehingga kompleks enzim menjadi tidak aktif (Cook et
al. 1984; Paxton et al. 1986; Peinemann and Danner 1994). Sugden and Randle
(1978) melaporkan bahwa hanya satu situs fosforilasi pada E1 pyruvate
dehydrogenase (E1p) heterotetramer cukup untuk menghambat situs aktif E1p.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh Zhao et al. (1994) bahwa fosforilasi Ser292 saja
cukup untuk menginaktivasi kompleks BCKDH, dan Ser302 merupakan situs
fosforilasi silent.
Gambar 5 Situs pembelahan pada bovin pre-E1α oleh protease yang terletak
di matriks (Hu et al. 1988)
Keterangan: BCKD, branched-chain α-keto acid dehydrogenase; PDC,
pyruvate dehydrogenase complex; α-KGDC, α-ketoglutarate
dehydrogenase complex; AA, asam amino; FA, asam lemak;
BCAA, branched-chain amino acids.
Gambar 6 Lokasi beberapa kompleks enzim di lintasan metabolisme
intermediet karbohidrat, lemak dan asam amino sejak di
sitoplasma sampai matriks mitokondria (Patel and Harris 1995)
11
Keterangan: Ekson 1 (1) = 125 pb
Ekson 2 (2) = 186 pb
Ekson 3 (3) = 87 pb
Ekson 4 (4) = 109 pb
Ekson 5 (5) = 162 pb
Ekson 6 (6) = 207 pb
Ekson 7 (7) = 142 pb
Ekson 8 (8) = 172 pb
Ekson 9 (9) = 520 pb
Intron 1 (A) = 9348 pb
Intron 2 (B) = 106 pb
Intron 3 (C) = 3429 pb
Intron 4 (D) = 1950 pb
Intron 5 (E) = 2817 pb
Intron 6 (F) = 97 pb
Intron 7 (G) = 212 pb
Intron 8 (H) = 906 pb
Gambar 7 Struktur gen BCKDHA berdasarkan urutan genom B. taurus (Elsik et al.
2009; Zimin et al. 2009)
Keragaman urutan nukleotida suatu gen menentukan efisiensi dari enzim
yang disandikannya. Pada gen BCKDHA, terdapat ruas transit peptide yang
disandikan oleh bagian ujung 5’ ekson 1 sampai ujung 5’ ekson 2 dan mature
peptide yang menyandikan polipeptida untuk membentuk struktur kuartener
dengan subunit lainnya (bagian ujung 3’ ekson 2 sampai ekson 9) (Gambar 8).
Transit peptide terdiri atas 165 pb yang menyandikan 55 aa, sedangkan mature
peptide terdiri atas 1200 pb yang menyandikan 400 aa, sehingga Open Reading
Frame menyandikan 455 aa (Hu et al. 1988; Zimin et al. 2009). Mutasi nukleotida
pada bagian ruas ekson kemungkinan akan mempengaruhi kualitas transit peptide,
situs pelekatan dengan subunit lainnya dan situs katalitik.
Variasi dapat ditemukan baik di daerah penyandi maupun bukan penyandi.
Variasi tersebut dapat mempengaruhi fungsi atau ekspresi gen sehingga dapat
mengakibatkan kondisi yang tidak diinginkan, seperti penyakit. Ibeagha-Awemu
et al. (2008) menyebutkan bahwa dalam sebagian besar laporan mutasi patologis
yang ditemukan terjadi pada daerah fungsional protein dan bersifat lestari
(conserved). Gen BCKDH telah digunakan sebagai marka untuk mendeteksi suatu
penyakit, yaitu Maple Syrup Urine Disease (MSUD). Penyakit ini merupakan
penyakit metabolisme resesif autosomal yang mempengaruhi metabolisme BCAA
(valin, leusin, dan isoleusin). Pada keadaan normal, kelebihan protein akan
memicu BCAA untuk menghasilkan energi. BCAA akan didegradasi oleh
kompleks enzim branched chain α-ketoacid dehydrogenase (BCKD). Pada
MSUD, jika satu atau beberapa gen yang menyandikan komponen-komponen
kompleks enzim ini mengalami mutasi maka BCAA tidak bisa masuk kedalam
rangkaian metabolisme mitokondria sehingga terjadi akumulasi dalam darah dan
urin. Akumulasi ini menyebabkan urin penderita memiliki bau seperti sirup maple
(Fisher et al. 1991). Furney et al. (2006) menemukan bahwa gen penyakit yang
dipengaruhi oleh mutasi dominan lebih conserved dibandingkan gen yang
12
dipengaruhi oleh mutasi resesif. Hal ini disebabkan mutasi resesif tetap
tersembunyi dari seleksi karena heterozigot.
MSUD telah diidentifikasi baik pada manusia maupun sapi (Fisher et al.
1991; Chuang et al. 1993; Dennis and Healy 1999). Mutasi gen BCKDHA ekson
2 pada sapi Polled Shorthorn terjadi karena substitusi 248C/T (CAG menjadi
TAG) pada kodon 6 dan menyebabkan stop kodon yang menghasilkan terminasi
prematur pada saat translasi (Zhang et al. 1990), sedangkan pada sapi Polled
Hereford mutasi disebabkan oleh 1380C/T (Pro372Leu) pada gen yang sama
(Dennis and Healy 1999). Sari (2013) menemukan variasi 36G>T pada ekson 4
gen BCKDHA pada sapi PO yang mengubah asam glutamat (GAA) menjadi stop
kodon (TAA).
Gambar 8 Posisi transit peptida pada gen BCKDHA
Desain Primer
Primer merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam proses
perbanyakan utas DNA dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR). Primer PCR adalah DNA utas tunggal (single-stranded DNA) berukuran
pendek yang spesifik, dikenal sebagai oligodeoxyribonucleotides atau oligomer.
Desain primer dilakukan untuk membuat untaian basa nukleotida yang akan
menempel dan mengapit daerah untaian DNA tertentu (DNA target) dari total
genom yang ada pada kromosom. Pengapitan daerah untaian DNA diperlukan
untuk melakukan perbanyakan (amplifikasi) hanya pada daerah untaian DNA
tertentu sehingga lebih mudah dalam melakukan analisis terhadap daerah untai
DNA tersebut. Keberhasilan melakukan amplifikasi daerah untai DNA sangat
dipengaruhi oleh kecocokan primer terhadap kondisi untai DNA target (Muladno
2002).
Desain primer untuk mempelajari ruas-ruas ekson gen BCKDHA dapat
dilakukan dengan menggunakan Primer3 (http://bioinfo.ut.ee/primer3/) secara
online berdasarkan hasil pensejajaran gen BCKDHA pada B. taurus
(NW_001493616), Capra hircus (NW_005100869), dan Ovis aries
(NW_004080177). Gambar 9 menunjukkan tampilan situs Primer3. Desain primer
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi optimum PCR sesuai dengan
kondisi target DNA. Selain itu, desain primer juga mengikuti konsensus intron
secara umum, yaitu intron mRNA mengandung tiga unsur konsensus yaitu GU
pada ujung 5’ dan AG pada ujung 3’. Seluruh intron mengandung GT pada ujung
13
Gambar 9 Tampilan menu awal program Primer3
5’ dan AT pada ujung 3’, sehingga disebut aturan GT-AG atau GU-AG pada RNA
(Breathnach et al. 1978).
Desain primer yang baik sangat penting bagi keberhasilan reaksi PCR.
Berikut beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain
primer untuk memperoleh amplifikasi spesifik dengan hasil tinggi antara lain,
yaitu panjang primer, primer melting temperature (Tm), primer annealing
temperature (Ta), jumlah basa G dan C (GC content), dan jumlah basa G dan C
yang terdapat pada 5 basa terakhir (3’) (GC clamp). Selain itu, struktur sekunder
primer juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk PCR, karena akan
mengurangi kemampuan primer menempel pada template. Struktur sekunder
primer dapat disebabkan oleh interaksi intra dan inter-molekuler primer. Berikut
ini beberapa jenis struktur sekunder primer antara lain, yaitu hairpins, self-dimer,
dan cross dimer. Hairpins terbentuk akibat interaksi intramolekuler primer
sehingga membentuk semacam lipatan (loop). Self-dimer terbentuk oleh interaksi
intermolekuler antara dua molekul primer yang sama, dimana primer homolog
terhadap dirinya sendiri. Penambahan primer dalam jumlah besar dibanding
jumlah DNA template dapat menyebabkan primer lebih suka membentuk dimer
intermolekuler dibanding berhibridisasi dengan DNA template, sehingga produk
(yield) akan berkurang. Primer cross dimer terbentuk karena interaksi
intermolekuler antara primer sense dan antisense, dimana keduanya memiliki
homologi (Rustam 2010).
Panjang optimal primer PCR umumnya adalah 18-23 nukleotida. Namun,
menurut Viljoen et al. (2005) panjang primer yang digunakan dalam PCR
sebaiknya memiliki ukuran 18-28 nukleotida agar dapat mengamplifikasi target
DNA dengan spesifisitas yang bagus. Semakin pendek ukuran primer akan
menyebabkan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang
tidak dikehendaki) tinggi sehingga menyebabkan spesifitas dari primer tersebut
berkurang dan berakibat pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan
14
panjang primer lebih dari 28 pb tidak menyebabkan bertambahnya spesifisitas dan
akan berpengaruh pada Tm primer (Handoyo dan Rudiretna 2001).
Suhu leleh atau melting temperature (Tm) merupakan temperatur dimana
setengah dari dupleks DNA akan terpisah menjadi utas tunggal dan Tm juga
mengindikasikan stabilitas dupleks. Primer dengan Tm berkisar antara 52-58oC
sangat ideal, sedangkan Tm di atas 65oC akan mengurangi efektifitas penempelan
primer sehingga proses amplifikasi DNA kurang berjalan baik. Nilai Tm sangat
ditentukan oleh jumlah basa GC (GC content) (Rustam 2010).
Primer annealing temperature (Ta) merupakan suhu dimana primer dapat
berikatan dengan template DNA dengan stabil (DNA hybrid stability). Suhu leleh
(Tm) primer antara forward dan reverse primer tidak boleh terlalu jauh karena
digunakan sebagai acuan untuk penentuan atau optimasi Ta. Jika suhu
penempelan primer (Ta) terlalu tinggi akan menyulitkan terjadinya ikatan primer
dengan template DNA sehingga akan menghasilkan produk PCR yang rendah
(kurang efisien). Namun jika Ta terlalu rendah akan menyebabkan terjadinya
penempelan primer pada template DNA yang tidak spesifik yang disebabkan oleh
tingginya kemungkinan kesalahan penempelan primer pada cetakan DNA
(Newton and Graham 1997).
Jumlah basa G dan C (GC content) yang ideal di dalam primer sekitar 4060%. Pada untai DNA pasangan basa G-C melibatkan tiga ikatan hidrogen,
sedangkan pasangan basa A-T dua ikatan hydrogen, sehingga keseimbangan
persentase GC memungkinkan ikatan yang terbentuk lebih spesifik dan stabil.
Spesifitas dan stabilitas ini juga dipengaruhi oleh Tm primer. Perbedaan Tm
sepasang primer sebaiknya tidak lebih dari 5oC. Jumlah basa G dan C yang
terdapat pada 5 basa terakhir (3’) disebut dengan GC clamp. GC clamp yang baik
sekitar 3 basa G/C dan tidak melebihi 5 basa G/C. Keberadaan G/C di ujung 3’
primer sangat membantu terjadinya stabilitas ikatan antara primer dengan
template DNA yang diperlukan untuk inisiasi polymerase DNA pada proses PCR
(Rustam 2010).
Program Primer3 menyediakan tampilan pilihan yang bisa diatur oleh
peneliti sesuai dengan kriteria yang diinginkan (Gambar 10). Namun, pilihan
alternatif tersebut dapat diabaikan (tidak dilakukan perubahan, sesuai dengan
pengaturan yang sudah tersedia pada tampilan program Primer3). Berikut tahapan
desain primer menggunakan Primer3. Sekuen basa nukleotida (DNA target)
Gambar 10 Tampilan kondisi pemilihan primer secara umum
15
dimasukkan ke dalam kotak menu dalam program Primer3 lalu klik Pick Primers
untuk mendapatkan primer yang akan mengapit DNA target yang akan dianalisa
oleh peneliti. Jika program Primer3 tidak dapat memberikan keluaran (output)
primer maka modifikasi dapat dilakukan dengan mengganti pengaturan atau
menurunkan interval jumlah sekuen pada kotak menu product size sehingga
program Primer3 dapat mencari daerah penempelan primer yang baru.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul
DNA pada bagian tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan fragmen
oligonukleotida (primer) dalam suatu thermocycler. Komponen penting yang
dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah DNA template yaitu molekul DNA yang
digunakan sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru; sepasang
primer oligonukleotida (forward dan reverse) yang akan membatasi fragmen
DNA target yang akan diamplifikasi; deoxyribonucleoside triphosphat (dNTP)
yang mengandung basa nukleotida (A, C, G, T,); Buffer dan MgCl2 berfungsi
untuk menjaga pH medium dan sebagai kofaktor untuk menstimulasi aktivitas
DNA Polimerase; dan enzim DNA Polimerase berfungsi sebagai katalisator dalam
reaksi polimerisasi DNA (Viljoen et al. 2005).
Satu siklus dalam reaksi PCR terdiri atas tiga tahap dasar yang terjadi pada
suhu yang berbeda. Tahap pertama adalah denaturasi yaitu pemisahan molekul
utas ganda DNA dengan proses pemanasan pada suhu tinggi (94-95oC) sehingga
menjadi untai tunggal dan primer dapat menempel pada utas tunggal DNA
cetakan. Setelah tahap pemanasan, tahap selanjutnya adalah annealing yaitu
penurunan suhu (sekitar 50-60oC) sehingga primer yang urutan nukleotidanya
berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi
komplemennya. Setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masingmasing maka pada suhu 72oC terjadi proses elongasi (pemanjangan) dimana
enzim DNA Polimerase, buffer PCR, dNTP, dan MgCl2 memulai proses replikasi
atau mensintesis molekul DNA baru sehingga satu molekul DNA ganda akan
berlipat jumlahnya menjadi dua molekul DNA. Ketiga tahap dasar tersebut
(denaturasi, annealing, dan elongasi) diulang kembali hingga 25-30 siklus
(Muladno 2002; Viljoen et al. 2005).
Perunutan sekuens DNA (DNA Sequencing)
DNA sequencing merupakan proses pembacaan urutan nukleotida dari
suatu fragmen DNA tertentu dengan menggunakan proses elektroforesis. Metode
Maxam-Gilbert dan metode Sanger merupakan metode sekuensing yang sering
digunakan. Metode Maxam-Gilbert dilakukan dengan cara mendegradasi fragmen
DNA secara kimiawi sedangkan metode Sanger dilakukan dengan cara
mensintesis molekul DNA dan menghentikan sintesis tersebut pada basa tertentu.
Pada dasarnya tiap metode meliputi pembuatan serangkaian utas tunggal DNA
yang diberi label dengan panjang bervariasi, dimulai dari salah satu ujung
fragmen yang sedang disekuens. Elektroforesis dari pita-pita tersebut dalam gel
poliakrilamid memisahkan pita-pita berdasarkan ukuran panjang basa, yang
16
menghasilkan tangga pita (ladder) berlabel dengan tiap pita mewakili
tersekuensnya satu basa (Sanger et al. 1977; Maxam and Gilbert 1977).
Metode Sanger lebih banyak digunakan karena lebih aman, mudah, praktis
dan efisien. Larutan utama yang digunakan di dalam reaksi metode Sanger adalah
dNTPs (deoxynucleotides triphosphates) untuk mensintesis molekul DNA baru
dan ddNTPs (dideoxynucleotides triphosphates) yang akan menghentikan
pemanjangan molekul DNA pada basa tertentu. Hasil akhir dari reaksi tersebut
adalah sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi tetapi semuanya
berakhir dengan nukleotida A (jika dNTP dicampur dengan ddATP), nukleotida C
(jika dNTP dicampur dengan ddCTP), nukleotida G (jika dNTP dicampur dengan
ddGTP), dan nukleotida T (jika dNTP dicampur dengan ddTTP). Untuk
mendeskripsikan hasil elektroforesis dari metode ini adalah dengan menggunakan
label yang berbeda (deoxynucleotides yang mengandung radioaktif atau label
fluorescent pada primer, dNTP atau ddNTP) atau dengan pendekatan staining
(silver staining) (Nicholas 1993; Albert et al. 2008).
Teknologi DNA Sequencing yang umum digunakan saat ini adalah Dyeterminator sequencing, dimana output alat sequencer-nya adalah peak-peak
(puncak) yang terdiri atas 4 warna yang mewakili masing-masing nukleotida yaitu
hijau untuk Adenin (A), merah untuk Timin (T), biru untuk Sitosin (C) dan hitam
untuk Guanin (G). Peak inilah yang dinamakan electropherogram yang sudah
diinterpretasikan secara otomatis oleh program komputer DNA Sequencer
menjadi urutan-urutan basa nukleotida (A-C-G-T). Namun program komputer
juga dapat melakukan kesalahan interpretasi pada electropherogram yang
bermasalah sehingga urutan basa nukleotida yang dihasilkannya pun bisa salah.
Hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian dan juga analisa lanjutan yang akan
dilakukan terhadap hasil sekuensing tersebut.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai dengan
Februari 2015 di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian Bogor.
Sampel Darah dan Ekstraksi DNA
Sampel yang digunakan merupakan koleksi sampel darah berdasarkan
peruntukan sapi madura yaitu, sapi karapan, sonok, dan pedaging. Sampel sapi
madura pada penelitian ini dibandingkan dengan sapi lokal Indonesia yaitu sapi
bali dan PO, serta sapi taurin (B. taurus). Sapi taurin (NW_001493616) yang
dijadikan sebagai referensi pada penelitian ini merupakan data whole genome
assembly menggunakan metode prediksi gen (Elsik et al. 2009), sedangkan data
whole genome sapi zebu (B. indicus) sampai saat ini belum ada di GenBank
sehingga sebagai gantinya pada penelitian ini digunakan sapi PO.
17
Jumlah sampel darah yang digunakan yaitu sebanyak 25 sampel sapi
madura, 18 sampel sapi bali, dan 16 sampel sapi PO (Tabel 1 dan 2). Sampel
darah diawetkan dalam alkohol absolut yang mengandung EDTA 100 mM.
Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengikuti protokol Genomic DNA Mini Kit for
Fresh Blood (Geneaid). Variasi ruas-ruas ekson gen BCKDHA diperkirakan akan
sangat rendah. Oleh karena itu, amplifikasi PCR pertama kali dilakukan dengan
menggunakan pooled samples, yaitu sampel DNA sapi madura, bali, dan PO
dijadikan menjadi satu tabung sampel dengan konsentrasi yang berimbang
berdasarkan peruntukan sapinya (Tabel 2). Teknik DNA pooling merupakan
gabungan dari beberapa sampel dijadikan satu dalam satu tabung sehingga dapat
mendeteksi varian pada suatu lokus secara cepat (fast screening).
Tabel 1 Sampel darah sapi yang digunakan sebagai
cetakan DNA berdasarkan jenis sapi
Jenis
Jumlah
Lokasi sampel
Sapi madura (karapan)
3
Sampang
Sapi madura (Sonok)
1
Pamekasan
Sapi madura (pedaging)
1
Bangkalan
4
Sampang
2
Pamekasan
Sapi bali
1
BPTO Bali
Sapi PO
1
Kebumen
Tabel 2 Pooled samples darah sapi yang digunakan
sebagai cetakan DNA berdasarkan jenis sapi
Jenis
Jumlah Lokasi sampel
Sapi madura (pedaging)
8
Bangkalan
4
Sampang
3
RPH Bogor
Sapi bali
10
BPTO Bali
8
RPH Bogor
Sapi PO
10
Kebumen
6
RPH Bogor
Amplifikasi DNA
Primer untuk mengamplifikasi DNA didesain menggunakan Primer3
(http://bioinfo.ut.ee/primer3-0.4.0/primer3/) secara online berdasarkan hasil
pensejajaran gen BCKDHA pada Bos taurus (NW_001493616), Capra hircus
(NW_005100869), dan Ovis aries (NW_004080177). Desain primer dilakukan
mulai dari ujung 5’ (forward) dan 3’ (reverse) setiap ekson dengan mengikuti
konsensus 5’ GT-AG 3’ (Breathnach et al. 1978). Opsi-opsi yang digunakan
dalam mendesain primer adalah yang optimal untuk ruas-ruas DNA berukuran
pendek dengan suhu Tm sekitar 60 oC. Pada Tabel 3 terdapat tujuh pasang primer
18
yang didesain untuk mengamplifikasi sembilan ekson gen BCKDHA dan
sebagian ruas pengapitnya (intron). Gambar 11 menunjukkan skema posisi
penempelan masing-masing primer