Hubungan status antropometri dan vitamin A dengan status imun siswa sekolah usia 7-9 tahun di Cibeber, Leuwiliang kabupaten Bogor

ABSTRACT
ANJAS NURLINA MUKTININGRUM. Corelation between Antropometric
Status, ,Retinol Status and Immune Status in Primary School Children 7-9 year
old at Cibeber, Leuwiliang, Bogor. Guided by HARDINSYAH and VERA URIPI.

The objective of this study whas to analyze relationship between
antropometric status, retinol status, and immune status in primary school children
in Cibeber, Bogor. This study applied a crossectional study design conducted in 7
until 8 June 2010. The number sampel was 34 at primary school children eged
7-9 consist of 20 boys and 14 girls. In this aged children certainted finished to
obtain supplementation vitamin A.
There was significan correlation between retinol status and immune status
(r;0.039). Antropometric status not significantly correlated with retinol status
(r; 0.402). Immune status not significantly correlated with morbidity (0.993).
Morbidity not significantly correlated with antropometric status (r; 0.58).
Keyword : antropometric status, retinol status, immune status

35

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kesehatan dan gizi mempunyai peranan yang sangat penting untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat
kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan
konsumsi gizi yang memedai. Gizi baik mampu meningkatkan pertumbuhan fisik,
perkembangan mental, melindungi kesehatan sebagai pondasi untuk masa
depan anak (WHO 1996). Kurang Vitamin A (KVA) merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat dinegara berkembang. WHO menyatakan bahwa
KVA diderita oleh sekitar 40% populasi dunia (Zeba et al 2006). Hasil penelitian
Sommer dkk (1996) diketahui bahwa prevalensi xeroftalmia di Indonesia secara
keseluruhan memenuhi batasan WHO untuk disebut sebagai masalah kesehatan
masyarakat.
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering
dijumpai pada anak-anak dan membuat 250.000-500.000 orang anak meninggal
dunia dalam tahun tersebut. Lebih kurang 150 juta anak lain mengalami kematian
dalam usia anak-anak akibat penyakit infeksi yang disebabkan oleh status
vitamin A yang tidak memadai (Ahmed dan Darnton 2008). Dari 24 provinsi yang
disurvai ditemukan 15 daerah rawan KVA. Diperkirakan diseluruh Indonesia
setiap tahun terdapat lebih dari 60.000 anak penderita xeroftalmia tingkat berat
akibat KVA. Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa sumber vitamin A
yang telah digunakan keluarga khususnya sayuran daun hijau sedikit dikonsumsi

oleh anak (Tarwotjo 1990). Soekirman (2000) menyatakan pada tahun 1992
angka kejadian KVA di Indonesia pada tingkat klinis berhasil diturunkan, bahkan
hingga tahun 2006 terus mengalami penurunan. Namun, pada tingkat subklinis
prevalensinya masih tinggi dibeberapa daerah.
Menurut Semba (1998) defisiensi Vitamin A berhubungan dengan
kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka kesakitan (morbidity)
dan kematian (mortality). Studi meta analisis menemukan defisiensi Vitamin A
berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al
2000). Anak-anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan
pathologis dalam fungsi sel T dan sel B, dan imunitas mukosa menjadi rentan
infeksi subklinis seperti penyakit diare (Semba et al 2002). Defisiensi vitamin A
yang terjadi pada anak yang memiliki satus ekonomi rendah merupakan faktor
47

resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia dan meningkatkan
defisiensi protein (Maqsood et al 2004).
Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat
badan, kegagalan tumbuh kembang pada anak dan penyebab penurunan
cadangan zat gizi yang berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan
Watson 1993). Defisiensi ringan merupakan tanda awal dari terganggunya

kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi dan akan berpengaruh disepanjang
kehidupannya (Allen dan Gillespie 2001). Seorang anak sehat setidaknya dapat
dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab
infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Intregasi
gizi dan kesehatan tercermin dalam kecukupan semua zat gizi dari intik konsumsi
harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan
derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan
mayarakat. Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respon imun yang rendah
(IFTRI 2000). Selama ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara status
vitamin A dengan status imun pada siswa sekolah dasar (SD), oleh karena itu
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.
Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara status
antropometri dan vitamin A dengan status imun siswa sekolah dasar usia 7-9
tahun di Cibeber,Leuwiliang Kabupaten Bogor.
Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan status antropometri dengan status vitamin A anak.
2. Menganalisis hubungan status Vitamin A dengan status imun anak
3. Menganalisis hubungan status imun dengan morbiditas anak.

4. Menganalisis

hubungan

morbiditas

dengan

status

gizi

berdasarkan

antropometri anak.
Hipotesis
1. Status gizi berdasarkan antropometri berhubungan positif dengan status
vitamin A anak.
2. Status vitamin A berhubungan positif dengan status imun anak.
3. Status imun anak berhubungan positif dengan morbiditas.


48

4. Morbiditas berhubungan positif dengan status gizi berdasarkan antropometri
anak.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
karakteristik anak sekolah dasar, status antropometri, status vitamin A, status
Imun dan morbiditas anak, serta memberikan gambaran tentang pola konsumsi
pangan dan frekuensi konsumsi pangan sumber vitamin A. Selain itu juga dapat
memberikan informasi tentang hubungan status antropometri kaitannya dengan
status vitamin A, kaitan status Vitamin A dengan status imun anak, kaitan status
imun anak dengan morbiditas anak dan kaitan morbiditas dengan status gizi
anak.

49

Status Imun
Imunitas
Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan

lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan
sehat respon imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar
dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya subtansi asing.
Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin
tidak mampu melindungi tubuh dengan respon imun yang efisien. Akan tetapi
sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respon imun berlangsung secara
berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit (Kresno 2001).
Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup.
Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang
dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal
umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh
memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap
unsur-unsur pathogen. Bellanti & Joseph (1993) menyatakan defisiensi zat gizi
termasuk zat gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas
seluler pada pertumbuhan anak. Zat gizi mikro mempunyai peranan yang penting
dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan
berpengaruh terhadap respon imun (Muis 2001).
Sistem imun
Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu non spesifik dan
sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih

lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem
imun spesifik dan non spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah
pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun teresbut terjadi kerja
sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain (Bratawijaya dan
Rengganis 2009). Berikut ini adalah gambaran umum sitem imun menurut
Bratawijaya dan Rengganis 2009.

SISTEM IMUN

53

SPESIFIK

NON SPESIFIK

FISIK
Kulit
Selaput lendir
Silia
Batuk


LARUT
Biokimia
- Lisozim
- Sekresisebaseus
- Asam lambung
- Laktoferin
- Asam neuraminik
Humoral
- Komplemen
- APP
- Mediator asal lipid
- Sitokinin

SELULAR
- Fagosit
* Mononuklear
* Polimononuklear
- Sel NK
- Sel mast

- Basofil
- Eosinofil
- SD

HUMORAL
Sel B
- IgG
- IgA
- IgM
- IgE
- IgD
Sitokinin

SELULAR
Sel T
- Th1
- Th2
- Ts/Tr/Th3
- ThTd
- CTL/Tc

- Th17

Gambar 1 Gambaran umum sistem imun
Sumber: Baratawijaya dan Rengganis (2009).

Menurut Tortora (2004) sistem imun non spesifik adalah sistem
pertahanan tubuh, yang merupakan

komponen normal tubuh yang selalu

ditemukan pada induvidu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk
kedalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas
non spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam,
serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi). Sistem imun
ini disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah
ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon
secara langsung (Bratawijaya 2006).
Imunitas non spesifik jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi , misalnya
jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit.

Disebut non spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan
siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap
bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.
Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung

(Samik dan Julia

2002).
Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh
54

sitem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imum tersebut.
Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian
dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda
asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik
(Bratawijaya 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik
karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk
melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan,
begitu seterusnya (Tortora 2004).
Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non
spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama yang baik antara antibodi,
komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila
ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun spesifik hanya dapat
menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno 2001). Secara garis
besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular
dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang
berhubungan dengan mikroba (Surono 2004).
Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan
terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intrasel contohnya virus,
riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno 2001). Imunitas humoral
terdiri kelompok sel-B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan
20% dari limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berpoliferasi
dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody. Antibodi
ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, getah bening). Fungsi
utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan
bakteri serta antitoksik (Baratawijaya dan Garna 2002). Antibodi yang lepas
dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respon imun humoral oleh karena
infeksi dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan (kresno
2001).

Penilaian Status Imun
Intregritas respon imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar
berbagai jenis kelas immunoglobulin didalam serum seseorang atau dengan
55

mengukur titer antibodi setelah diberikan stimulus antigenis yang cukup (Suyitno
1985). Analisis untuk mengukur respon imun humoral (antibodi) dapat dibagi
menjadi tiga kelas yaitu primary binding test, secondary binding test, dan tertiary
binding test. Metode yang paling sensitif (jumlah antibodi yang dapat dideteksi)
adalah primary binding test yang merupakan suatu metode pengukuran langsung
yang dilakukan pada interaksi antibodi-antigen. Salah satu metode yang
termasuk dalam primary binding test adalah metode ELISA (Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay) (Kindt et al 2007).
IgG adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar
80% dari semua imunoglobulin dalam darah. Imunoglobulin dapat ditemukan
dalam darah, limpa, dan usus. Kadar IgG meningkat secara lambat selama
respons primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara cepat dengan
kekuatan yang lebih besar pada paparan kedua (Corwin 2001). Terdapat empat
subkelas pada IgG manusia yang dibedakan oleh jumlah dan urutan rantai yang
sesuai dengan penurunan rata-rata kosentrasi serum. Empat subkelas tersebut
antara lain : IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Goldsby et al 2007). Menurut Roitt (1991)
Imunogllobulin G merupakan komponen utama immunoglobulin dalam serum.
Respon imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap sampel darah
anak. Kriteria IgG menurut Kurniati (2004) dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Klasifikasi status imun disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi status imun
Kadar titer IgG IU/ml
0,0-1,0 IU/ml
>1,0-1,5
> 1.5 IU/ml

Kategori
Rendah
Cukup
Tinggi

Sumber: Kurniati (2004)

Peran Vitamin dalam Pembentukan Imunitas
Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil,
namun sangat penting untuk reaksi-reaksi metabolik didalam sel, serta
diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan. Mineral
terutama mineral mikro terdapat (Almatsier 2006). Peran vitamin lam jumlah
sangat kecil dalam tubuh, namun mempunyai peran sangat penting untuk
kehidupan, kesehatan dan reproduksi (Piliang 2006). Menurut IOM (2000) Peran
lain dari vitamin dan mineral adalah sebagai antioksidan yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup manusia.

56

Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memerlukan zat gizi antioksidan
antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun
(hematopoises), vitamin dan mineral sebagai antioksidan untuk melawan
mikroorganisme

penyebab

penyakit

(imunitas

bawaan/innate

dan

dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang
cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral
tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc,
selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat besi tersebut
membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa),
seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral
dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergrest
et al 2007).
Hasil penelitian Karyadi et al (2002) menunjukkan bahwa anak-anak
kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan meningkatkan
keparahan penyakit diare. Hal ini karena terganggunya sel ephitel pada sel
saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan
Semba et al (1993) dan Semba (1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin
A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap
antigen T. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap
antigen spesifik, apositosis dan menjaga intregitas lapisan mukosa (Rahman et al
1999). Peran vitamin A pada sel-sel mukosa diantaranya mukosa saluran cerna
juga telah dibuktikan oleh Kotake-Nara et al (2000).
Status Vitamin A
Vitamin A
Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik komplek yang dibutuhkan
oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk
pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Pada umumnya vitamin A tidak dapat
disintesis dari dalam tubuh. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah vitamin
yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Linder 1992). Vitamin A
adalah vitamin larut lemak yang pertama kali ditemukan. Secara luas, vitamin A
merupakan

nama

generik

yang

menyatakan

semua

retinoid

dan

prekusor/provitamin A/Karotenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai
retinol (Almatsier 2006).

57

Istilah Vitamin A biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia
yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni karotenoid provitamin A, retinol dan
metabolit aktivnya. Secara fisiologis bentuk aktiv vitamin A yang utama adalah
retinaldehida a dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol
(Bender 2003).
Peran Vitamin A
Menurut Hartono (2000) Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan
perbaikan jaringan tubuh. Selain itu sangat penting untuk kesehatan mata,
melawan bakteri dan infeksi. Apabila kekurangan vitamin A akan mengakibatkan
buta senja, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, sering marah dan lesu.
Vitamin A berfungsi membantu perkembangan tulang dan gigi, menyehatkan
struktur sel pada kulit dan membran mukosa, serta membantu penglihatan.
Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan (Almatsier 2000).
Stipanuk (2000) menyebutkan Vitamin A dan metabolismenya dalam
spectrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain adalah esensial untuk
penglihatan, reproduksi, fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi
seluler, proliferasi dan pemberian isyarat (Signaling). Selain itu Vitamin A juga
berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Vitamin A mempunyai
peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas. Vitamin A mutlak dalam
memelihara sel-sel epitel dan memberikan rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel
baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan tubuh terhadap infeksi, juga
menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat proses penuaan. Fungsi
Vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi penglihatan
(Moeljoharjo 1993).
Vitamin A dalam bahan pangan berbentuk beta karoten. Menurut Simon &
Macmillan (1995), beta karoten merupakan zat gizi mikro yang banyak ditemukan
pada buah dan sayur. Di dalam tubuh, beta karoten dikonversi menjadi Vitamin
A. Beta karoten memiliki keuntungan lain yaitu sebagai antioksidan. Antioksidan
adalah suatu subtansi yang dapat membantu melawan proses pembentukan
radikal bebas, molekul yang tidak stabil dan dapat merusak sel. Radikal bebas
yang terbentuk didalam tubuh saat metabolisme tubuh tidak normal diakibatkan
faktor lingkungan seperti sinar x, merokok, konsumsi alkohol, dan zat pencemar

58

lainnya. Aktivitas antioksidan dari beta karoten mengatur pencegahan kanker dan
sakit jantung serta dapat meningkatkan sistem imun.
Pangan Sumber Vitamin A
Pangan yang menjadi sumber beta karoten adalah wortel, brokoli, bayam,
dan apricot (Simon & Macmillan 1995). Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan
sayuran hijau daun, seperti bayam secara umum mengandung karotenoid dalam
jumlah yang besar. Meskipun tomat mengandung beberapa vitamin A dengan
karotenoid aktif, pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki
aktivasi gizi. Buah-buahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid
yang dapat diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum
mengandung sangat sedikit vitamin A (Olson 1990).
Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani,
terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia
menghasilkan vitamin A1, sedangkan ikan air tawar mengandung terutama
vitamin A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur.
Secara tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawasenyawa karotena, yang dalam saluran pencernaan diubah menjadi vitamin A
(Moeljoharjo 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat
daiandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya akan
vitamin A. Termasuk kedalam pangan hewani adalah telur, daging, susu dan ikan
(Khomsan 2004).
Kecukupan Vitamin A
Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A
seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukupan asupan vitamin A
dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin
serta keadaan fisiologis (Arisman 2002). Angka kecukupan vitamin A adalah
jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status
vitamin A pada level memuaskan atau cukup.
Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi transportasi dan
penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika
terdapat kekurangan energi dan protein (KEP). Tanda-tanda defisiensi vitamin A
dapat pula terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah
asupan vitamin A nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh
gangguan sintesis RBP ( retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang
59

membuat protein tidak tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut
menimbulkan gangguan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat
defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai
gizi kurang tersebut (Hartono 2009).
Mengingat penting dan banyaknya peran vitamin A, maka kekurangan
asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius (Muhilal &
Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A cukup apabila
dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak menunjukkan tanda
defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A selama 3 bulan. Ada berbagai
standard mengenai angka kecukupan vitamin A anak. Angka kecukupan vitamin
A anak yang digunakan untuk menghitung kecukupan vitamin A dalam penelitian
ini adalah menurut Muhilal dan Sulaeman (2004). Adapun kecukupan vitamin A
anak disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A untuk anak-anak (µg RE/hari)
Kelompok umur

Angka
IOM
Kecukupan (2002)
(1998)
1-3 tahun
350
300
4-6 tahun
400
400
7-9 tahun
400
400
Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004)

FAO/WHO
(2002)

FNRI
(2002)

400
450
500

400
450
400

Angka
Kecukupan
(2004)
400
450
500

Penilaian Status Vitamin A
Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A
dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil
ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik
untuk mengetahui status vitamin A, namun pengukuran dengan cara biopsi tidak
mungkin dilakukan pada penelitian di lapangan. Karena tidak memungkinkan,
total serum vitamin A atau konsentrasi retinol serum lebih sering digunakan
sebagai gantinya (Gibson 2005).
Retinol serum diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan
defisiensi Vitamin A pada sampel. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A
jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl. Menurut Sommer dan West
(1996) status vitamin A seseorang juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
kandungan vitamin A dalam serum darah Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 Klasifikasi status vitamin A
60

Kadar Serum
µg/dl
µmol/liter
≥ 20
≥ 0,Ò
10 – 20
0,35 – 0,69
< 10
< 0,35
Sumber: Sommer dan West (1996).

Status vitamin A
Normal
Low
Deficient

Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras.
Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah
asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10
g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka
panjang

menurunkan

konsentrasi

retinol.

Kurang

energi

protein

dapat

menurunkan apo-RBP, kekurangan zinc dapat menurunkan kadar retinol karena
peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol
serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High
Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari
retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A
Menurut Linder (1992) Devisiensi Vitamin A menyebabkan sekresi sel
mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk,
lapisan epithelium dibeberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel korne,
paru-paru, kulit dan mukosa intestinal serta dapat menurunkan sel goblet
intestinal dan permukaan vilus. Menurunnya sel goblet dalam usus dapat
menurunkan kemampuan sistem untuk menahan organisme pathogen (Brody
1994). Devisiensi Vitamin A pada anak-anak berhubungan dengan angka infeksi
dan angka kematian. Indikator Defisiensi Vitamin A antara lain dapat dilihat dari
konsentrasi retinol dalam serum (Sommer dan West 1996; Beaten et al 2004).
Kekurangan vitamin A menyebabkan intregitas mukosa epitel terganggu,
hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus.
Konsekwensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman pathogen di
mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini dapat diperkuat
dengan penelitian dimana anak-anak kekurangan vitamin A menderita penyakit
saluran nafas (Karyadi et al 2002; Long et al 2006).
Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan
jumlah

yang

berlebihan

dalam

jangka

waktu

lama.

Kelebihan

dapat

menyebabkan kerusakan hati, sakit pada tulang sendi, alopecia, sakit kepala,
muntah dan kulit mongering(FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi
61

vitamin A dalam bentuk vitamin A. Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis
tinggi dapat meningkatkan respon antibodi terhadap tetanus toxoid (Semba et al
1992). Perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas
sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium
parah (Griffin et al 1990).
Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh
Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan
oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup
untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk
proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk
produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007). Vitamin
A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk retinil ester, bersama
karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Ester retinil
dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien
diabsorpsi daripada ester retinil di dalam sel-sel mukosa usus halus.
Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel
mukosa usus halus dipecah

menjadi retinol (Almatsier 2005).

Retinol

diesterifikasi dalam mukosa intestinal, diikat kedalam chylomicron dan dibawa ke
saluran darah melalui sirkulasi lymph. Vitamin A dalam tubuh disimpan dalam
hati dengan bentuk retinil ester sekitar 90%. Hati mempunyai kemampuan
menyimpan

vitamin

A

yang

cukup

untuk

beberapa

bulan.

Kapasitas

penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa.
Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol
keluar dari hati (Semba 2002).
Kehilangan simpanan vitamin A ini biasanya terjadi karena asupan
vitamin A tidak mencukupi selama satu periode waktu tertentu kendati kehilangan
vitamin A tersebut akan meningkat dengan infeksi yang menyertai. Laju
pemakaian vitamin A oleh jaringan tertentu dapat menunjukkan adanya adaptasi
terhadap ketersediaan vitamin A yang berkurang. Adaptasi homeostatik dan
pendaurulangan ini berfungsi untuk mempertahankan kadar vitamin A yang
relative konstan dalam darah sampai simpanan didalam tubuh terpakai dibawah
nilai batas yang menentukan Hartono (2009).
Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor
pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut
62

melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding
rotein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut
Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam
retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil
dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan.
Status Gizi Berdasarkan Antropometri
Status

gizi

sebagai

keadaan

kesehatan

tubuh

seseorang

yang

diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi)
zat-zat gizi makanan (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2001) status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Gibson (2005) mendefinisikan status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang
atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan
penggunaan zat gizi makanan. Menilai status gizi seseorang dapat memberikan
gambaran tentang baik atau tidaknya status gizi orang tersebut. Menurut
Astawan & Wahyuni (1988), status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu
makanan yang dimakan sehari-hari. Susunan makanan yang memenuhi
kebutuhan gizi tubuh dapat menciptakan status gizi yang memuaskan.
Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran
langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut
Suparisa et al (2002) ada empat macam, yakni: secara antripometri, klinis,
biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pada penilaian berbasis
masyarakat cara pengukuran yang sering digunakan adalah metode antropometri
gizi. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya
tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri ialah ukuran dari tubuh.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidak seimbangan protein dan energi (Hartono A 2005, Suparisa IDN et al
2002).
Pengukuran Status Gizi
Pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah
penilaian status gizi secara antropometri, yaitu menggunakan ukuran tubuh
manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Indeks antropometri yang dugunakan antara lain BB/U, TB/U dan BB/TB.
63

Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang
berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya (Suharjo dan Riyadi 1990).
Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relative lama, sedangkan
berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah
berubah (Roedjito 1989).
Suharjo & Riyadi (1990) mengungkapkan dalam keadaan normal tinggi
badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang
sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi
terhadap tinggi badan akan nampak pada saat yang cukup lama. Kelebihan
indeks BB/U adalah lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat
umum, sensitif untuk melihat perubahan status jangka pendek dan meneteksi
kegemukan. Sedangkan kelemahannya adalah dapat mengakibatkan kekeliruan
interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, memerlukan
data umur yang akurat, dan sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya
pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang.
Tinggi

badan

(TB)

merupakan

indikator

antropometri

yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB
tumbuh seiring pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu pendek. Kelebihan indeks
TB/U yaitu baik untuk menilai status gizi masa lampau dan alat ukur panjang
badan

dapat

dibuat

sendiri,

murah

dan

mudah

dibawa.

Sedangkan

kelemahannya adalah TB tidak cepat naik, pengukuran relatif sulit karena harus
berdiri tegak sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB
serta ketepatan umur sulit didapat (Suharjo & Riyadi 1990).
Pengukuran antropometri terbaik menurut Soekirman (2000) adalah
menggunakan indikator BB/TB karena ukuran ini dapat menggambarkan status
gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang
dikategorikan sebagi kurus (wasted). Kelebihan berat badan indeks BB/TB
adalah bebas dari pengaruh umur dan ras, dapat memberi gambaran proporsi
berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah
sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak dan sering terjadi
kesalahan membaca angka hasil pengukuran

terutama bila pembacaan

dilakukan oleh tenaga non professional.
64

Indikator BB/TB , berat badan berkorelasi linear dengan tinggi badan,
artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti
pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat
badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini
terutama dapat dilihat setelah hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan
nilai Z-skor. Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat
distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai
baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi
distribusi

normal.

Nilai

Z-skor

masing-masing

anak

dihitung

dengan

menggunakan rumus (Gibson 1990) sebagai berikut:
(Xi-Mi)
Zsci = ———
Sbi

Keterangan:
i
= umur (bulan)
Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan
ke-i
Xi
= nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i
Mi
= nilai baku median untuk umur bulan ke-i
Sbi
= nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i
Ada tiga tingkatan niali Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor
BB/TB dan Z-skor TB/U. penentuan Z-skor tersebut tersebut didasarkan pada
referensi WHO/NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing-masing individu
kemudian dibandingkan dengan distribusi baku WHO/NCHS (2006) dengan titik
batas (cut-off-point) Z-skor adalah -2. Berikut adalah Tabel 4 klasifiksi status gizi
berdasarkan nilai Z-skor.
Tabel 4 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Z-skor WHO-NCHS (2006)
Indikator
BB/U

Kriteria
Gizi Lebih
Gizi Baik
Gizi Kurang
Gizi Buruk
TB/U
Normal
Pendek/Stunted
BB/TB
Gemuk
Normal
Kurus/Wasted
Sangat Kurus
Sumber: WHO NCHS (2006).

Standar
>2,0 SD baku WHO-NCHS
-2,0 SD s/d 2 SD

Dokumen yang terkait

Hubungan Suplementasi Vitamin A Dengan Status Kesehatan Balita Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen

1 31 107

Hubungan Konsumsi Lemak Dengan Pengetahuan Gizi Serta Status Gizi Anak Usia Sekolah Di Kota Dan Desa Bogor

0 9 78

Asupan Vitamin A, Status Vitamin A, dan Status Gizi Anak SD di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor

0 8 45

Hubungan Status Gizi (TB/U) dengan Status Kesehatan dan Prestasi Akademik Anak Usia Sekolah

1 6 52

HUBUNGAN ANTARA STATUS TIROID DENGAN STATUS GULA DARAH DAN STATUS ANEMIA PADA WANITA USIA SUBUR (WUS) DI Hubungan Antara Status Tiroid Dengan Status Gula Darah Dan Status Anemia Pada Wanita Usia Subur (Wus) Di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman.

1 2 14

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH DI SD N GODOG I POLOKARTO SUKOHARJO.

0 0 17

HUBUNGAN ANTARA USIA, STATUS GIZI, DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN CAMPAK BALITA Husnul Khotimah Akbid La Tansa Mashiro Jl.Soekarno-Hatta, Pasirjati, Rangkasbitung husnul.khotimahgmail.com Abstract - HUBUNGAN ANTARA USIA, STATUS GIZI, DAN STATUS IMUN

0 0 10

HUBUNGAN ANTARA STATUS BESI DAN STATUS VITAMIN A PADA IBU MENYUSUI

0 0 9

STATUS ANEMIA DAN STATUS BESI ANAK SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN BOGOR

0 0 7

DAMPAK FORTIFIKASI MIE INSTAN DENGAN VITAMIN A DAN ZAT RESl TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS BESI ANAK BALITA ABSTRAK - DAMPAK FORTIFIKASI MIE INSTAN DENGAN VITAMIN A DAN ZAT BESI TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS BESI ANAK BALITA

0 0 11