Hubungan Suplementasi Vitamin A Dengan Status Kesehatan Balita Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen
T E S I S
Oleh
SAIFUDDIN 077032004/IKM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 0 9
Saifuddin : Hubungan Suplementasi Vitamin A Dengan Status Kesehatan Balita Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen, 2009
(2)
HUBUNGAN SUPLEMENTASI VITAMIN A DENGAN STATUS KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN
T E S I S
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
SAIFUDDIN 077032004/IKM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(3)
PERNYATAAN
HUBUNGAN SUPLEMENTASI VITAMIN A DENGAN STATUS KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN JEUMPA
KABUPATEN BIREUEN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, 01 September 2009
(4)
Judul Tesis : HUBUNGAN SUPLEMENTASI VITAMIN A DENGAN STATUS KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN
Nama Mahasiswa : SAIFUDDIN Nomor Induk Mahasiswa : 077032004
Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Menyetujui, Komisi Pembimbing
( Dr. Ir. Evawani Y. Aritonang, MSi) ( Ros Idah Berutu, SKM, M.Kes)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
( Dr. Drs. Surya Utama, MS) ( dr. Ria Masniari Lubis, MSi )
Tanggal Lulus : 01 September 2009
(5)
Telah diuji
Pada Tanggal : 01 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, Msi Anggota : 1. Ros Idah Berutu, SKM, M.Kes 2. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes 3. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes
(6)
ABSTRAK
Salah satu masalah gizi masyarakat yang masih menjadi program prioritas peningkatan derajat kesehatan masyarakat adalah program perbaikan gizi melalui suplementasi vitamin A pada balita. Data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen tahun 2008 menunjukkan bahwa pada Puskesmas Jeumpa Cakupan suplementasi vitamin A masih rendah yaitu hanya 22,7% dari target yang diharapkan yaitu 80%, sehingga berimplikasi terhadap status kesehatan balita yang dilihat dari status gizi dan status kesakitan balita.
Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis hubungan suplementasi vitamin A dengan status kesehatan balita (status kesakitan dan status gizi) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita (usia 1-5 tahun) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen sebanyak 3.285 orang, sampel terpilih sebanyak 225 balita dengan metode pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Metode pengumpulan data melalui wawancara berpedoman pada kuesioner dan food recall serta pengukuran tinggi dan berat badan balita, serta studi dokumentasi dari puskesmas Jeumpa dan Dinas Kesehatan kabupaten Bireuen. Analisis data menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95% ( 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 76,9% balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen mempunyai status kesehatan termasuk tidak baik, dan 75,1% balita juga termasuk tidak baik dalam mengonsumsi suplemen vitamin A, serta balita yang mengonsumsi pangan sumber vitamin A juga dikategorikan tidak cukup yaitu sebesar 76,9%. Hasil uji chi square menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara suplemen vitamin A (p=0,000) dengan status kesehatan balita dan terdapat hubungan signifikan antara konsumsi vitamin A (p=0,001) dengan status kesehatan balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.
Disarankan kepada Puskesmas Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen, untuk: 1) melakukan sweeping massal terhadap balita yang belum mendapatkan suplemen vitamin A dan memberikan suplemen vitamin A sesuai dengan dosis yang dianjurkan menurut usia balita, 2) perlu meningkatkan kegiatan-kegiatan posyandu dengan memfokuskan pada penyuluhan kepada ibu yang mempunyai balita agar selalu menyiapkan menu makanan dan memberikan asupan gizi yang kaya vitamin A kepada balitanya, dan 3) peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi pemanfaatan perkarangan rumah.
(7)
ABSTRACT
One of Community nutrition problem that still become priority program of community health improvement is nutrition recovering program through supplementation of vitamin A on children under five. The data from District Health Office of Bireuen on 2008 showed that on Community Health Center of Jeumpa, the coverage of vitamin A still low was only 22,7% from 80% of expected target. It is, therefore, has implicates to health status of children under five which observed from nutritional and sickness status of children under five.
This research is survey with cross sectional design which aimed to analyze the relationship of vitamin A supplementation with health status of children under five (both sickness and nutritional status) in Jeumpa sub district of Bireuen District. The population in this research were children under five (1 – 5 years old) in Jeumpa sub district of Bireuen District as 3.285 children, elected samples as 225 children under five using simple random sampling technique. Data were collected through interview with questionnaires and food recall and also measured height and weight of children under five. The data obtained were analysed through chi square test.
The results of this tudy showed that that there were 76.9% of children under five have bad health status, and there were 75.1% children under five also terribled in consumed supplement of vitamin A, and there were 76.9% whose consumed food of vitamin A source also inadequate categorized. There were a significant relationships between the vitamin A supplement (p=0,000), and vitamin A consumption (p=0,001) with health status of children under five in Jeumpa sub district of Bireuen District.
It is suggested to all Health Center in Jeumpa sub district of Bireuen District:1) to perform mass sweeping to children under five whose does not got vitamin A supplement yet and giving vitamin A supplement according to recommended doses based on children under five’s age, 2) to improve the Posyandu activities with focus in counselling for mother who has children under five in order to always prepare food menu and giving prosperous vitamin A of nutrient food for their children under five, and 3) strengthening efforts of community development and used the family garden as nutritional garden.
Key words: Supplementation of vitamin A, Children under five health status
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunianya
penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Suplemen Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen”.
Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas
Sumatera Utara, yaitu Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K).
Selanjutnya kepada dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dekan fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, MSi selaku
Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Evawani Y. Aritonang, MSi selaku ketua komisi Pembimbing dan Ros Idah Berutu, SKM, M.Kes selaku
anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan meluangkan
waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
(9)
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dra. Jumirah, Apt, M.Kes dan
Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku komisi pembanding yang telah
memberikan kritikan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
dr. Muktar, MARS sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen pada saat penulis mengikuti tugas belajar, dan banyak dorongan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Tak terhingga terima kasih saya ucapkan kepada ibunda tersayang Habsah serta isteri tercinta Poppy, ananda Ryan Pradana dan Rizki Gusnanda yang telah mengizinkan dan memberi motivasi serta dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.
Selanjutnya terima kasih penulis kepada rekan rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat berkonsultasi dalam
penyusunan tesis ini dan semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan tesis ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, September 2009
(10)
RIWAYAT HIDUP
Saifuddin dilahirkan di Samalanga pada tanggal 1 April 1972, anak ke tujuh dari sebelas bersaudara dari pasangan Ayahanda Abdurrahman dan Ibunda Habsah. Menikah dengan Poppy pada tanggal 22 Oktober 2001 dan telah dikarunia dua orang putra yaitu Ryan Pradana dan Rizki Gusnanda, sekarang menetap di Kompleks Buket Teukueh Lorong Seulanga I No 15 C Desa Buket Teukueh Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Memulai pendidikan di SD Negeri Simpang Ierhob di Samalanga lulus tahun 1985, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri I Samalanga lulus tahun 1988. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Samalanga lulus tahun 1991. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sekolah Pembantu Ahli Gizi lulus tahun 1992. Kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Gizi Jakarta lulus tahun 1998 selanjutnya meneruskan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Muhammadiyah Aceh di Banda Aceh dan selesai tahun 2003.
Pernah bekerja sebagai tenaga pelaksana gizi di Puskesmas Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen, kemudian tahun 1998 pindah ke Dinas Kesehatan Aceh Utara sampai tahun 2001dan seterusnya pindah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen sebagai pengelola gizi sampai dengan sekarang.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... iv
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Hipotesis ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8
2.1 Status Kesehatan Balita ... 8
2.2 Penyakit Infeksi Pada Balita ... 11
2.3 Status Gizi Balita ... 17
2.4 Vitamin A... 25
2.5 Kekurangan dan kelebihan Vitamin A... 35
2.6 Metabolisme Vitamin A ... 38
2.7 Pemberian (suplementasi) vitamin A... 39
2.8 Landasan Teori... 40
2.9 Kerangka Konsep ... 41
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 42
3.1. Jenis Penelitian ... 42
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42
3.3. Populasi dan Sampel ... 42
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 43
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 44
3.6. Metode Pengukuran ... 45
3.7. Instrumen ... 48
3.8. Metode Analisis Data ... 48
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 49
(12)
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49
4.2. Karakteristik Responden ... 50
4.3. Suplementasi Vitamin A... 51
4.4. Konsumsi Pangan Sumber Vitamin A... 53
4.5. Konsumsi Vitamin A ... 56
4.6. Status Kesehatan Balita ... 58
4.7. Hubungan Suplemen Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita ... 62
4.8. Hubungan Konsumsi Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita... 63
BAB 5 PEMBAHASAN... 64
5.1. Hubungan Suplementasi Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita .. 64
5.2. Hubungan Konsumsi Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita ... 67
5.3. Keterbatasan Penelitian ... 72
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 73
6.1. Kesimpulan... 73
6.2. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA... 75 LAMPIRAN
(13)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Kebutuhan Vitamin A Per Hari ... 26 2.2. Nilai Vitamin A Berbagai Bahan Makanan (RE /100 g) ... 28 2.3. Komposisi Gizi Makanan Sumber Vitamin A ... 28 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten
Bireuen Tahun 2009 ... 50
4.2 Distribusi Frekuensi Umur Balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen
Tahun 2009 ... 51 4.3 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Suplemen Vitamin A di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 52
4.4 Suplemen Vitamin A Berdasarkan Kelompok Umur Balita di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 52
4.5 Distribusi Frekuensi Konsumsi Makanan oleh Balita di Kecamatan Jeumpa
Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 54 4.6 Rerata Jumlah Vitamin A dari Pangan Sumber Vitamin A ( g/100 g) ... 55 4.7 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Konsumsi Pangan Sumber Vitamin A
di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 55
4.8 Konsumsi Pangan Sumber Vitamin A berdasarkan Kelompok Umur Balita di
Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 56 4.9 Rerata Jumlah Vitamin A ( g/100 g) ... 57 4.10. Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Konsumsi Vitamin A di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 57
4.11 Konsumsi Vitamin A Berdasarkan Kelompok Umur Balita di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 58 4.12 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Status Gizi Balita di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 58
4.13 Status Gizi Balita Berdasarkan Kelompok Umur di Kecamatan Jeumpa
Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 59 4.14 Status Gizi Balita Berdasarkan Suplemen Vitamin A di Kecamatan Jeumpa
(14)
4.15 Status Gizi Balita Berdasarkan Konsumsi Vitamin A di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 60
4.16 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Status Kesakitan di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 61
4.17 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Status Kesehatan di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 61
4.18 Status Kesehatan Balita Berdasarkan Kelompok Umur Balita di Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 62
4.19 Hubungan Suplemen Vitamin A dengan Status Kesehatan pada Balita di
Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 63 4.20 Hubungan Konsumsi Sumber Vitamin A dengan Status Kesehatan pada Balita
di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ... 63
(15)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kompleksitas Hubungan Timbal Balik Gizi dengan Penyakit Infeksi... 11
2.2. Peranan Vitamin A dalam Penyesuaian Cahaya Remang ... 31
2.3. Alur Transport Vitamin A di Dalam Tubuh ... 39
2.4. Kerangka Konsep Penelitian... 41
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 77
2. Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 81
3. Hasil Perhitungan Konsumsi Vitamin A ... 91
4 Hasil Perhitungan Status Gizi ... 100
5 Jadwal Penelitian ... 108
6 Surat Keterangan Izin Penelitian ... 109
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia salah satunya di lihat dari angka kematian dan kesakitan balita. Masa balita merupakan masa yang paling rawan bagi kelangsungan kehidupan oleh karena kelompok usia balita merupakan kelompok penduduk yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan infeksi yang akan mengancam kelangsungan hidupnya. Selain itu masa bayi dan balita juga merupakan masa kritis bagi kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan, juga merupakan masa paling penting dalam perkembangan motorik, kecerdasan dan kemampuan akademik serta perkembangan kepribadian dan kemandirian pada seorang anak (Soetjiningsih 1995).
Masalah kesehatan yang sering kali ditemukan adalah masalah status gizi. Kematian bayi dan balita di negara berkembang sebagian besar dipengaruhi oleh masalah gizi yang tidak baik dan meningkatnya penyakit infeksi pada bayi dan balita. Anak yang menderita kurang gizi mempuyai kemungkinan yang lebih besar untuk menderita berbagai jenis penyakit infeksi seperti diare, infeksi saluran pernafasan akut (Srikardjati, dkk, 1985). Secara umum, kurangnya asupan makanan dapat menyebabkan defisiensi gizi pada balita sehingga dapat menyebabkan gangguan sistim kekebalan tubuh.
(18)
Masalah gizi timbul karena tidak tersedianya zat-zat gizi dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anak balita yang sedang dalam masa pertumbuhan yang cepat sehingga kebutuhan relatif lebih besar bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kebutuhan gizi anak balita meliputi kebutuhan energi, kebutuhan protein, kebutuhan vitamin dan mineral (Sediaoetama,1993). Perkiraan kecukupan asupan makanan yang dianjurkan untuk mempertahankan kesehatan yang baik bagi anak balita di Indonesia meliputi kebutuhan energi, yang diperkirakan sekitar 1210 kalori/hari, protein 23 gr/hari, zat besi diperkirakan 10 mg/hari dan vitamin A sebanyak 1500 IU/hari (Sediaoetama,2000).
Menurut Depkes RI (2002) salah satu indikator penting dalam menentukan gizi balita adalah konsumsi vitamin A. Meskipun sejak tahun 1992 Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia, akan tetapi masih dijumpai 50% dari balita
mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Keadaan ini yang mengharuskan pemerintah memberikan kapsul vitamin A dosis tinggi pada anak balita. Upaya penyadaran gizi kepada masyarakat agar selalu mengkonsumsi sayur, buah berwarna dan pangan hewani menjadi sangat penting, agar tidak selalu tergantung pada kapsul Vitamin A. Munculnya kasus xeropthalmia sangat mungkin apabila penyuluhan konsumsi pangan hewani tidak efektif dan cakupan kapsul Vitamin kurang dari 80% (Azwar, 2004).
(19)
Upaya perbaikan gizi melalui pemberian (suplementasi) vitamin A dilakukan dengan memberikaan vitamin A dosis tinggi kepada balita selama 2 kali dalam setahun yaitu bulan Februari dan Agustus. Vitamin A tersebut diperuntukkan meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan mata balita. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia (2007), cakupan suplementasi vitamin A pada Balita di Indonesia sebesar 84,50% dengan jumlah balita yang memperoleh vitamin A sebanyak 2.645.732 balita. Cakupan ini secara nasional sudah memenuhi standar yaitu 80% sesuai dengan indikator Indonesia Sehat 2010, namun masih ada beberapa provinsi yang masih rendah cakupan suplementasi Vitamin A.
Konsekuensi dari rendahnya cakupan vitamin A adalah meningkatnya penyakit-penyakit infeksi pada balita. Karena pada prinsipnya keadaan gizi balita berkorelasi dengan kejadian penyakit infeksi seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan campak. Berdasarkan laporan WHO (2007), bahwa setiap tahun kurang lebih 12,5 juta dan balita di seluruh dunia meninggal oleh karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan 54% dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia (2007), penyakit ISPA masih menjadi masalah kesehatan balita di seluruh Indonesia. Angka kematian akibat ISPA menempati urutan ketiga dari jenis penyakit penyebab kematian balita, yaitu 10,7% setelah malnutrisi (38,8%) dan asphyxia (27,9%), dan sisanya disebabkan oleh jenis penyakit lain (22,6%). Adapun angka kesakitan akibat ISPA menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit di Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak
(20)
1.117.179 balita (7,05%). Keadaan tersebut mencerminkan bahwa penyakit ISPA merupakan jenis penyakit yang sangat berperan terhadap derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Selain itu jenis penyakit infeksi yang lazim terjadi pada balita penyakit diare. penyakit diare selama kurun waktu 2003-2007 masih menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada tahun 2007 jumlah provinsi yang masih dilanda KLB diare sebanyak delapan propinsi yaitu propinsi Sumatera Utara, Banten, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Case
Fatality Rate (CFR) akibat diare secara nasional sebesar 1,3% dari 2.661 penderita
dengan kematian sebanyak 46 balita.
Fenomena permasalahan gizi balita juga terjadi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan hasil survei cepat UNICEF (2007), bahwa cakupan suplementasi vitamin A pada daerah yang tertimpa bencana alam masih sangat rendah yaitu wilayah pantai barat (55,2%), pantai timur (60,2%) dan pantai utara (68,6%). Hal ini menunjukkan bahwa secara nyata kondisi konsumsi vitamin A bagi balita di NAD secara umum masih sangat rendah, sehingga berimplikasi terhadap pertumbuhan dan status kesehatan balita di NAD.
Salah satu kabupaten yang masih rendah cakupan vitamin A adalah kabupaten Bireun yaitu sebesar 69,3% dari 32.031 balita, artinya cakupan pemberian vitamin A masih sangat rendah dibandingkan indikator Indonesia Sehat 2010. Berdasarkan profil Puskesmas Jeumpa (2008), diketahui jumlah balita sebanyak 3.285 balita, 32,9% menderita gizi kurang, 8,4% menderita gizi buruk, dan sisanya 41,3%
(21)
termasuk gizi baik. Selain itu balita yang mendapatkan vitamin A dua kali hanya 24,8%. Keadaan ini menunjukkan bahwa cakupan pemberian vitamin A di Kecamatan Jeumpa masih rendah.
Implikasi dari rendahnya cakupan vitamin A tersebut adalah terjadinya berbagai penyakit Infeksi pada balita seperti ISPA, Diare dan infeksi kulit. Penyakit ISPA masih menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak jenis penyakit rawat jalan yaitu sebanyak 947 kasus, sedangkan penyakit diare balita menempati urutan ke tiga sebanyak 287 kasus serta infeksi kulit menempati urutan ke tujuh dari sepuluh penyakit terbanyak di wilayah kerja puskesmas Jeumpa.
Menyikapi fenomena masalah gizi balita di wilayah kerja puskesmas Jeumpa, maka dilakukan upaya intensif melalui peningkatan kegiatan-kegiatan posyandu agar masyarakat dapat mudah mengakses pelayanan kesehatan bagi balitanya dan melakukan sweeping balita yang belum mendapat vitamin A, sehingga balita yang
belum diberi Vitamin A dapat diidentifikasi secara dini. Data Profil Puskesmas Jeumpa (2008), diketahui jumlah balita yang mendapatkan vitamin A masih 22,7% dari 3.285 balita yang ada, artinya masih ada sebanyak 2.540 balita yang sama sekali selama dua tahun terakhir tidak mendapatkan suplementasi vitamin A. Hal ini mengindikasikan bahwa cakupan pemberian vitamin A di Kecamatan Jeumpa masih sangat rendah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti perlu melakukan studi tentang hubungan suplementasi vitamin A terhadap status kesehatan balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.
(22)
1.2. Permasalahan
Cakupan pemberian vitamin A di Kecamatan Jeumpa masih rendah yaitu hanya 22,7% dibandingkan indikator yang diharapkan yaitu 80%. Implikasi dari rendahnya pemberian vitamin A tersebut adalah tingginya angka kesakitan penyakit ISPA dan diare di Kecamatan Jeumpa bahkan menempati urutan pertama dan diare menempati urutan ke tiga dari sepuluh penyakit terbanyak di Kecamatan Jeumpa. Berdasarkan hal ini ingin diketahui apakah rendahnya cakupan vitamin A berhubungan dengan status kesehatan balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan suplementasi vitamin A dengan status kesehatan balita (status kesakitan dan status gizi) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten bireuen.
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan suplementasi vitamin A dengan status kesehatan balita (status kesakitan dan status gizi) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.
(23)
1.5. Manfaat Penelitian
1. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam meningkatkan upaya perbaikan gizi bayi balita khususnya dalam peningkatan cakupan pemberian vitamin A.
2. Memberikan masukan bagi puskesmas dalam membuat perencanaan dan upaya tehnis dalam peningkatkan status kesehatan balita.
(24)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status Kesehatan Balita
Kesehatan balita dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor
lingkungan, perilaku, suku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Faktor
lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi status kesehatan balita. Selain itu juga keadaan pemukiman/perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat umum, air dan udara bersih, juga teknologi, pendidikan, sosial ekonomi juga
dapat mempengaruhi kesehatan balita, sedangkan perilaku tergambar dalam
kebiasaan sehari hari seperti: pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku terhadap upaya kesehatan.
Masa kanak kanak, khususnya masa balita, merupakan masa yang
paling penting dalam menentukan hasil proses tumbuh kembang anak
selanjutnya. Agar balita dapat tumbuh kembang secara optimal diperlukan situasi yang mendukung misalnya keluarga atau orang tua dan khususnya ibu, yang merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang balita
terutama pada tahun tahun pertama. Dalam masa masa ini, peranan ibu
adalah memberikan stimulasi dini agar anak dapat berkembang dan belajar dari lingkungannya. Penerapan stimulasi dini yang baik bagi balita diharapkan akan dapat menjadi bekal yang utama bagi balita dalam menghadapi masa masa penyesuaian selanjutnya (Tjondrorini dkk, 1995).
(25)
Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula, berat badan dan tinggi badannya akan selalu bertambah oleh karena itu penilaian tumbuh kembang perlu dilakukan untuk menentukan apakah tmbuh kembang anak berjalan normal atau tidak. Dengan kartu menuju sehat (KMS) pertumbuhan anak dapat diamati, sehingga ibu
mengerti bahwa segala usahanya membawa hasil dengan adanya kenaikan
berat badan (Khomson dkk, 2000).
Masa yang paling menentukan dalam proses tumbuh kembang
seorang balita ialah masa ia dalam kandungan ibunya dan satu tahun sesudahnya, di mana pada saat sel otak sedang tumbuh dan menyempurnakan diri secara pesat sekali dan juga masa masa krisis tumbuh kembang manusia yaitu di bawah usia lima tahun (Depkes, 2001).
Adapun penilaian atau deteksi tumbuh kembang balita merupakan
upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan
penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal faktor
resiko (fisik, biomedik, psikososial) pada anak. Kegunaan penilaian atau deteksi
tumbuh kembang untuk mengetahui penyimpangan tumbuh kembang dan
mengetahui secara dini, sehingga upaya pencegahan, upaya stimulasi dan upaya penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan indikasi jelas sedini
mungkin pada masa kristis proses tumbuh kembang, dimana upaya upaya
tersebut diberikan sesuai umur perkembangan anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal.
(26)
Menurut Khomsan, dkk (2000), penilaian atau deteksi tumbuh kembang dapat dilakukan dengan macam macam tes skrining antara lain melalui pengukuran berat badan menurut umur anak, dan menggunakan pedoman kuesioner pra skrining perkembangan (KPSP) sesuai dengan umur anak.
Untuk memantau tingkat kesehatan balita dapat dilihat dari
perubahan kondisi gizi balita. Pertumbuhan berat badan pada kelompok anak balita merupakan parameter yang paling sesuai digunakan yang sangat erat
hubungannya terhadap konsumsi energi dan protein sehingga dapat
menggambarkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya. Sehingga kedua jenis
zat tersebut (energi dan protein) paling sering menimbulkan masalah pada skala nasional di Indonesia dan negara negara lain, pemantauan berat badan dilakukan dengan cara penimbangan berat badan dan dicatat dalam suatu kartu yang disebut dengan Kartu Menuju Sehat (KMS).Naik turunnya jumlah anak balita yang menderita hambatan pertumbuhan di suatu daerah dapat segera terlihat dalam jangka waktu pendek sehingga dapat segera di teliti lebih
jauh apa sebabnya dan dapat diambil tindakan penangulangannya secepat
mungkin. Kondisi kesehatan balita secara umum dapat dilihat dari keadaan umumnya yaitu kesehatan balita secara fisik, melalui KMS (Kartu Menuju
Sehat) yang penimbangannya dapat dilakukan di POSYANDU (Pos Pelayanan
Terpadu) (Sediaoetama, 2000).
Selain itu status kesehatan balita dapat di indikasikan dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang dialaminya. Pada prinsipnya status kesehatan balita
(27)
berkorelasi gizi dengan kejadian penyakit infeksi. Jenis penyakit infeksi yang lazim dijadikan indiaktor status kesehatan balita adalah penyakit ISPA dan Diare. Kedua penyakit tersebut dapat disebabkan oleh kekurangan konsumsi vitamin A dan kekurangan konsumsi zat gizi lainnya. Selain itu dapat juga dilihat dari ada atau tidaknya terjadi infeksi kulit dan gangguan pencernaan seperti mual dan muntah pada balita.
Dalam konteks penelitian ini peneliti menfokuskan kejadian penyakit infeksi
pada balita dilihat dari penyakit ISPA dan Diare. Menurut Hull dan Rohde (1978) yang dikutip Khomsan (2004) bahwa ada hubungan timbal balik kejadian penyakit infeksi status gizi balita seperti pada gambar berikut
Kurang Gizi
Diare ISPA
Dehidrasi Penumonia
Kematian
Gambar 2.1. Kompleksitas Hubungan Timbal Balik Gizi dengan Penyakit Infeksi
Sumber : Khomsan, 2004 2.2 Penyakit Infeksi pada Balita
(28)
Diare adalah buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari (Ditjen PPM dan PLP Depkes RI,2000)
Diare dapat disebabkan oleh faktor infeksi yaitu infeksi di luar usus : infeksi pada bagian tubuh manapun, seperti pneumonia, infeksi telinga, tonsilotis, dapat menyebabkan mencret dalam stadium yang biasanya ringan, dan infeksi di usus : penyebab diare paling sering pada anak balita adalah infeksi dengan berbagai bakteri. Ini terjadi karena infeksi oleh organisme disentri basiler, bakteri salmonella dan berbagai virus. Penyebab paling sering adalah bakteri yang setiap hari dijumpai dalam jumlah besar besaral dari lingkungan kotor.
Selain itu serangan diare dapat terjadi karena membatasi makanan untuk melangsingkan tubuh dengan memakan terlalu banyak yang sulit dicerna, seperti kacang, atau cabai dan beberapa jenis obat tradisional yang menyebabkan rangsangan pada usus (Suharyono, 1991). Cara pencegahan penyakit diare yang benar-benar efektif yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
ASI steril berbeda dengan sumber susu lain, susu formula atau caiarann lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain
(29)
dan tanpa menggunakan botol, menghindari anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh.
Bayi-bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih). ASI mempunyai khasiat yang efektif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare.
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh. Pada 6 bulan pertama kehidupan risiko mendapat diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2005)
2. Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI diberikan pada bayi secara bertahap. Mulailah dibiasakan dengan makanan orang dewasa yang dihaluskan. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya meningkatkan resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian
(30)
makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.
Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik, yaitu: (Depkes RI, 2005)
- Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4 kali sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 kali sehari teruskan pemberian ASI bila mungkin.
- Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.
- Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak. Suapi anak dengan
sendok yang bersih.
- Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
3. Menggunakan Air Bersih yang Cukup.
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecaloral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke daam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, makan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat
(31)
yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2005).
4. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare.
5. Menggunakan Jamban
Pengalaman dibeberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. 6. Membuang tinja bayi dengan benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi dibuang secara benar.
7. Pemberian Imunisasi Campak
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan (Depkes RI,2005).
(32)
Penyakit infeksi saluran pernafasan meliputi infeksi saluran pernafasan pada hidung, telinga, tenggorokan, trachea, bronchioli dan paru. Tanda dan gejala penyakit ISPA dapat berupa : batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit telinga. Sebagian besar dari ISPA ini dapat bersifat ringan seperti batuk, pilek dan demam. Akan tetapi bila ISPA tidak segera diobati akan menimbulkan radang paru yang disebut pneumonia yang dapat mengakibatkan kematian.
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersama dengan terjadinya proses infeksi aukut pada bronkus yang disebut bronchopneumonia biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada kebagian bawah / kedalam (Depkes RI, 2002).
Penyebab ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri Virus dan Riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari jenis Streptokokus, Stafilokokus,
Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus penyebab
ISPA antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus, koronavirus,
pikornavirus, dan lain-lain(Depkes RI, 2002). Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya ISPA pada balita yaitu
a Keadaan Gizi. Keadaan gizi seseorang merupakan suatu faktor yang sangat penting bagi timbulnya ISPA. Anak yang mempunyai gizi yang kurang atau buruk akibat minimnya asupan zat gizi dalam tubuh termasuk vitamin-vitamin seperti vitamin A, sehingga menyebabkan pembuatan zat antibodi terganggu oleh karena zat-zat
(33)
makanan dalam tubuh tidak cukup untuk membentuk zat anti body sehingga anak mudah mengalami infeksi.
b. Kekebalan. Kekebalan tubuh secara bawaan didapatkan bayi dari ibunya pada waktu dalam kandungan, pada umumnya dapat bertahan sampai bayi berumur 5-9 bulan. Bayi/anak yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) lebih jarang menderita ISPA, karena ASI mengandung zat anti body yang dapat mencegah infeksi.
c. Keadaan Lingkungan. Perumahan yang sempit, kotor tidak mempunyai sarana air
bersih menyebabkan anak sering berhubungan erat dengan berbagai penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat kotor. Begitu juga rumah dengan ventilasi kurang dan udara lembab, sering menghisap asap rokok sehingga akan mudah terserang penyakit ISPA.
2.3 Status Gizi Balita
Zat gizi adalah zat yang diperlukan tubuh seperti hidrat arang, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Bahkan makanan adalah hasil dari produksi pertanian yang berguna untuk kesehatan tubuh. Jenis bahan makanan dapat
langsung dimakan sebagai makanan, namun banyak pula bahan makanan
memerlukan pengolahan sebelum jadi makanan. Makanan merupakan istilah
yang dikandungnya, baik jumlah maupun mutunya. Kebutuhan tubuh akan zat gizi tertentu tergantung pada aktivitas dan proses yang berlangsung dalam
tubuh misalnya pada fase pertumbuhan dimana terjadinya proses
pertumbuhan jaringan sangat pesat sekali seperti pertumbuhan pada anak anak di bawah 5 tahun (Soekirman, 2002).
(34)
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan.
Status gizi merupakan tanda tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004)
Menurut Santoso (1999), status gizi anak adalah keadaan kesehatan
anak akibat interaksi antara makanan dalam tubuh dengan lingkungan
sekitarnya. Nilai keadaan gizi anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah satu parameter yang penting untuk nilai tumbuh kembang fisik anak dan nilai kesehatan anak tersebut.
Menurut Supariasa, dkk (2002), status gizi adalah keadaan
keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi di dalam
tubuh. Status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan
penggunaan makanan oleh tubuh. Status gizi merupakan keadaan seseorang
sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh.
Ketidakseimbangan antara intake dengan kebutuhan mengakibatkan
terjadinya malnutrisi. Malnutrisi terdiri dari : 1). under weight, terjadi apabila intake < kebutuhan, dan 2). obesitas, terjadi apabila intake > kebutuhan
(Halomoan, 1999)
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan utilitas zat gizi
(35)
makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak (Riyadi, 2001).
Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro lain) dan status kesehatan. Pengaruh langsung dari status gizi dipengaruhi oleh tiga faktor tidak langsung yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak yang cukup dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001).
2.3.1 Penilaian Status Gizi secara Antropometri
Supariasa dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran
tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pengukuran antropometri relatif mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan, dan keterangan untuk pelaksanannya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak di bawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik, dan menggambarkan keadaan sekarang.
(36)
2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahannya relatif lambat, ukurannya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.
Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk
menilai status gizi anak balita adalah indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Depkes R.I.,1995)
2.3.2 Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang
memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak) karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan
yang dikonsumsi maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang
sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan
berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan
abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu
berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat sifat ini maka indeks BB menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current nutritional status).
(37)
Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Kelebihan indeks BB/U yaitu :
1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum 2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek
3. Dapat mendeteksi kegemukan (over weight) Sedangkan kelemahan dari indeks BB/U adalah :
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat oedema
2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok anak di bawah
usia lima tahun (balita). Ketepatan umur untuk kelompok umur ini masih
merupakan masalah di negara berkembang, termasuk Indonesia.
3. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau
gerakan anak pada saat penimbangan
4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya
setempat. Dalam hal ini masih ada orang tua yang tidak mau
menimbangkan anaknya karena seperti barang dagangan (Supariasa dkk,
2002).
2.3.3 Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh
(38)
seperti berat badan, relatif kurng sensitif terhadap masalah defesiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defesiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.
Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Kelemahan penggunaan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu: 1. Tidak dapat memberi gambaran keadaan pertumbuhan secara jelas
2. Dari segi operasional, sering dialami kesulitan dalam pengukuran terutama bila anak mengalami keadaan takut dan tegang (Jahari, 1998).
2.3.4 Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memilki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Seperti halnya dengan
indeks BB/U, maka penggunaan indeks BB/TB memiliki keuntungan dan
kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita. Keuntungan penggunaan indeks BB/TB adalah :
1. Hampir independen terhadap pengaruh umur dan ras
2. Dapat membedakan keadaan anak dalam penilaian berat badan relatif terhadap
tinggi badan: kurus, gemuk, dan cukup dalam keadaan marasmus atau
bentuk KEP berat lainnya.
(39)
1. Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan karena faktor umur tidak diperhatikan dalam hal ini.
2. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok anak balita.
3. Sering terjadi kesalahan pembacaan angka hasil pengukuran terutama bila dilakukan oleh kelompok non profesional (B. Abas, 1998).
2.3.5 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks Antropometri
Untuk mengetahui besarnya masalah gizi pada satu populasi umumnya digunakan indikator status gizi yang merefleksikan suatu kekurangan gizi akut (malnutrisi akut) yaitu indeks berat badan per tinggi badan (BB/TB) yang
dibandingkan dengan standart internasional NCHS WH0. Indikator ini
merupakan indikator yang paling sensitif dalam menilai terjadinya perubahan status gizi oleh karena suatu kejadian akut seperti bencana alam atau kerusuhan. Disamping itu, inipun sangat sensitif dalam mengukur keefektifan suatu kegiatan intervensi yang dilakukan dalam penanggulangan masalah gizi. Sedangkan untuk status gizi bumil/bufas digunakan hasil pengukuran LILA (Thaha, 2003).
Dalam penelitian status gizi, khususnya untuk keperluan klasifikasi
(40)
digunakan adalah baku Havard (1959), baik untuk BB maupun untuk TB. Pada tahun 1979, WHO mempublikasikan baku antropometri yang dikenal sebagai baku WHO NHCS dan dipublikasi ulang pada tahun 1983. Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menilai status gizi yang dikelola oleh Direktorat Bina Gizi
Masyarakat menggunakan WHO. Pada prinsipnya penggunaan jenis baku
antropometri di suatu negara didasari atas kesepakatan bersama antar ahli
dibidang ini, dengan melakukan penyesuaian penyesuaian seperlunya menurut
kondisi di negara yang bersangkutan. Demikian pula di Indonesia, baku antropometri yang digunakan selama ini (baku havard) didasarkan atas suatu kesepakatan dalam lokakarya antropometri gizi tahun 1975. Untuk klasifikasi status gizi berdasarkan baku antropometri perlu adanya batasan batasan (cut off point) tertentu.
Berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi pada bulan Mei tahun 2000 di Semarang mengenai standar baku nasional di Indonesia (Depkes RI, 2002) disepakati batas ambang dan istilah status gizi untuk indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB, yaitu:
(a) Indeks BB/U
a. Gizi lebih, bila nilai Z terletak > +2 SD
b. Gizi baik, bila nilai Z terletak 2 SD s/d +2 SD c. Gizi kurang, bila nilai Z terletak < 2 SD s/d 3 SD d. Gizi buruk, bila nilai Z terletak < 3 SD
(41)
a. Normal, bila nilai Z terletak 2 SD b. Pendek, bila nilai Z terletak < 2 SD (c) Indeks BB/TB
a. Gemuk, bila nilai Z terletak > +2 SD
b Normal, bila nilai Z terletak 2 SD s/d +2 SD c. Kurus, bila nilai Z terletak < 2 SD s/d 3 SD d. Sangat kurus, bila nilai Z terletak < 3 SD
2.4 Vitamin A
2.4.1 Pengertian Vitamin A
Vitamin A adalah bahan gizi esensial dan kekurangannya dihubungkan dengan rabun senja, kekebalan yang lemah, infeksi dan ketahanan hidup yang lebih rendah pada anak di atas usia enam bulan. Tambahan vitamin A secara berkala pada anak berusia di atas enam bulan diusulkan dan diterapkan oleh lebih dari 70 negara dan dianggap sangat bermanfaat dan hemat biaya (Theo Smart, 2006)
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare dan penyakit infeksi lain) (Arali, 2008)
(42)
Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya disebut Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan per hari 400 µg retinol untuk anak-anak dan dewasa 500 µg retinol. Sumbernya ada yang hewani sebagai retinol dan ada juga dari nabati sebagai pro vitamin A sebagai karotin nanti dalam usus dengan bantuan tirosin baru dikonversi menjadi retinol. Larut dalam lemak tidak larut dalam air (Arali, 2008)
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai aktivitas biologic sebagai retinol. Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata, vitamin A juga secara umum penting dalam kelangsungan hidup manusia. (Abdi, 2007)
Hasil kajian berbagai studi menyatakan bahwa Vitamin A merupakan zat gizi yang esensial bagi manusia, karena zat gizi ini sangat penting dan konsumsi makanan kita cenderung belum mencukupi dan masih rendah sehingga harus dipenuhi dari luar. Adapun kebutuhan Vitamin A untuk anak balita usia 7 – 36 bulan adalah 1320 SI (400 RE) dan usia 4 -6 tahun adalah 1485 SI (450 RE), sedangkan Sumber Vitamin A selain dari bahan makanan alami juga dari Suplemen kapsul Vitamin A dosis tinggi (Depkes RI, 2005).
(43)
Kebutuhan vitamin A perhari yang dianjurkan perhari berbeda setiap kelompok umur, seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kebutuhan Vitamin A Per hari
Angka Kecukupan Yang Dianjurkan Golongan Umur
Retinol Equivalen (RE) Satuan International (SI) Anak
1) 0 – 6 Bulan 2) 7 – 36 Bulan 3) 4 – 6 Tahun 4) 7 – 9 Tahun
375 400 450 500 1237,5 1320 1485 1650 Wanita
1) 10 – 18 tahun 2) 19 – 65+ tahun
600 500 1980 1650
Ibu Hamil 800 2640
Ibu Nifas/menyusui 850 2805
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII,2004
Menurut Depkes RI, 2005, sumber vitamin A dapat bersumber dari makanan
ataupun suplemen vitamin A. Berikut ini dapat dijabarkan sumber sumber vitamin A selain dari kapsul vitamin A, yaitu:
1. Air Susu Ibu
2. Bahan Makanan Hewani seperti hati, kuning telur, daging, ayam dan bebek.
3. Buah buahan berwarna kuning dan jingga seperti pepaya, mangga masak, alpukat, jambu biji merah dan pisang
4. Sayuran berwarna hijau tua dan warna jingga seperti bayam, daun singkong, kangkung, daun katuk, daun kelor, labu kuning, tomat dan wortel.
(44)
Selain itu menurut Almatsier (2000) sumber vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega.
Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung,
bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya,
mangga, nangka masak dan jeruk, sedangkan minyak kelapa sawit yang kaya karoten adalah minyak kelapa sawit berwarna merah. Kandungan vitamin A beberapa bahan makanan yang dinyatakan dalam retinol ekivalen dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Nilai Vitamin A Berbagai Bahan Makanan (RE /100 g)
Bahan Makanan RE Bahan Makanan RE
1. Hati Sapi 13170 1. Daun Katuk 3111
2. Kuning Telur Bebek 861 2. Sawi 1940
3. Kuning Telur Ayam 600 3. Kangkung 1890
4. Ayam 243 4. Bayam 1827
5. Ginjal 345 5. Ubi Jalar Merah 2310
6. Ikan Sarden (kaleng) 250 6. Mentega 1287
7. Minyak Ikan 24000 7. Margarin 600
8. Minyak Kepala Sawit 18000 8. Susu Bubuk "Full Cream" 471
9. Minyak Hati Ikan Hiu 2100 9. Keju 225
10.10.Wortel 3600 10.Susu Kental Manis 153
11.Daun Singkong 3300 11.Susu Segar 39
12.Daun Pepaya 5475 12.Mangga Masak Pohon 1900
13.Daun Lamtoro 5340 13.Pisang Raja 285
(45)
15.Daun Melinjo 3000 15.Semangka 177 Sumber : Almatsier, 2000.
Selanjutnya Depkes RI (2005) merekomendasikan sumber vitamin A dari pangan
nabati, hewani, buahan dan makanan olahan, seperti pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Komposisi Gizi Makanan Sumber Vitamin A
A. SERELIA E. BUAHAN
Jagung Kuning 641 Apel 2240
B. UMBIAN Buah Negeri 460
Ubi Kuning 794 Kesemek 418
Ubi Kuning Kukus 550 Mangga 304 316
Ubi Jalar Merah 592 Mangga Gadung 304
Ubi Rambat Merah 1467 Mangga Gedong Dong 545
C.UMBIAN DAN BIJIAN 1467 Mangga Indramayu 275
Kacang Ercis 212 Mangga Kopek 304
Kacang Merah 137 Mangga Kwini 932
D.SAYURAN Pepaya 148
Bakung 1080 Pisang Hijau 1000
Bayam 640 Pisang Kepok 792
Bayam Keripik Goreng 500 Pisang Raja Sereh 480
Bayam Merah 1055 7325 Pisang Talas 159
Buntil Daun Talas 1559 Sowa 364
Tabel 2.3. Lanjutan
Re
ti
n
o
l
Caisin 390 218,4 Sukun 4896
Daun Genjer 390 F.DAGING DAN UNGGAS
Daun Jambu Biji 608 Daging Ayam 278
Daun Jambu Mete 608 Daging Bebek 309
Daun Kacang Panjang 608 Ginjal Domba 358
Daun Kasbi Kare 9999 Ginjal Sapi 358
Daun Katuk 1889 Hati Ayam 2862
Daun Kecipir 608 Hati Sapi 4672
Daun Kelor 608 3266 Sosis Hati 1200
Daun Kemangi 390 G.IKAN
Daun Kubis 9999 Baronang 732
Daun Leilem 753 Cakalang 36
(46)
Daun Mangkokan 384 Gabus 335
Daun Melinjo 289 Kawalinya 146
Daun Mengkudu Kudus 630 Kima 401
Daun Pakis Lehoma 1047
Daun Pangi 191,2 Malalugis 661
Daun Pare 258 5409 Ranjungan 599
Daun Pepaya 992 1800 Sarden 1995
Daun randamidang 529 Sunu 309
Daun Selasih 4112 Titang 581
Daun Singkong 1776 7917 Tongkol 181
Daun Talas 1559 H.TELUR
Daun Ubi 3564 Telur Ayam Kampung 203
Gandaria 306 Telur Ayam (kuning) 686
Kacang Panjang 125,2 Telur Ayam/puyuh 270
Kangkung 492 2741 Telur Bebek (kuning) 984
Kol Cina 390 Telur Burung Maleo 3987
Labu Kuning 542 1569 Telur Ikan Asin 612
Pak Soy 390 I.HASIL OLAHAN
Putri Malu 4762 Kepala Susu 285
Ranti Muda 385 Mentega 1131
Rumput Laut 1958 Minyak Ikan 24889
Sawi 390 Minyak Kelapa Sawit 8000
Sawi Tanah 815 Tepung Ikan 325
Sawi Taiwan 1340 Tepung Susu 538
Semanggi 374
Terong Hintalo 551,9
Wortel 1000
Sumber : Depkes, 2005
2.4.3 Fungsi Vitamin A (1) Penglihatan
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Di dalam
mata retinol, bentuk vitamin A yang di dapat dari darah, diksidasi menjadi
retinal. Retinal kemudian mengikat protein opsin dan membentuk pigmen
visual merah ungu (visual purple) atau rodopsin. Rodopsin ada di dalam sel khusus di dalam retina mata yang dinamakan rod. Bila cahaya mengenai retina, pigmen visual merah ungu ini berubah menjadi kuning dan retinal dipisahkan
(47)
dari opsin. Pada saat itu, rangsangan elektrokimia yang merambat sepanjang saraf mata ke otak yang menyebabkan terjadinya suatu bayangan visual. Selama proses ini, sebagian dari vitamin A dipisahkan dari protein dan diubah menjadi retinol. Sebagian besar retinol ini diubah kembali menjadi retinal, yang kemudian proses ini dan harus diganti oleh darah. Jumlah retinol yang
tersedia di dalam darah menentukan kecepatan pembentukkan kembali
rodopsin yang kemudian bertindak kembali sebagai reseptor di dalam retina. Penglihatan dengan cahaya samar samar/buram baru bisa terjadi bila seluruh siklus ini selesai (Gambar 2.2.)
(2) Deferensiasi Sel
Deferensiasi sel terjadi bila sel sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat
atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu karakteristik vitamin A yang dapat terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh, seperti pada tahap pembentukan sperma dan sel telur, pembuahan,
pembentukan struktur dan organ tubuh, pertumbuan dan perkembangan
janain, masa bayi, anak anak, dewasa dan masa tua. Diduga vitamin A dalam bentuk asam retinoat, memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel,
dengan demikian dalam pengaturan faktor penentuan keturunan/gen yang
berpengaruh terhadap sintesis protein. Pada deferensiasi sel terjadi perubahan
dalam bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitkan dengan perubahan
(48)
deferensiasi adalah sel sel epitel khusus, terutama sel sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir.
O2 Retinol atau Vitamin A
alkohol
Retinol (dalam retina)
Retinalladehida
Opsin (protein)
Rodopsin
(pigmen dalam rod retina) Dikeluarkan dalam Jumlah
Kecil
Cahaya
Gambar. 2.2. Peranan Vitamin A dalam Penyesuaian Cahaya Remang
Sumber : Khomsan, 2004
Semua permukaan tubuh di luar dan di dalam oleh sel sel epitel. Jaringan
epitel yang menutupi tubuh di luar dinamakan epidermis, sedangkan yang
menutupi bagian dalam dinamakanm membran mukosa, yaitu yang menutupi
permukaan dalam saluran cerna, saluran pernfasan, kantung kemih, atau
uretra, uterus dan vagina, kelopak mata, saluran sinus, dan sebagainya. Mukus melindungi sel sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang
(49)
lambung dari cairan lambung. Di bagian atas saluran pernafasan sel sel epitel secara terus menerus menyapu mukus ke luar, sehingga benda asing yang mungkin masuk akan terbawa ke luar. Bila terjadi infeksi, sel goblet akan
mengeluarkan lebih banyak mukus yang mempercepat pengeluaran
mikroorganisme tersebut. Kekurangan vitamin A menghalangi fungsi sel sel kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel sel epitel bersisik dan kering (keratinized). Kulit menjadi kering dan kasar dan luka sukar sembuh.
Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna,
sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). Keratinisasi konjungtiva mata (selaput yang melapisi kelopak dan bola mata). Merupakan salah satu tanda khas kekurangan vitamin A. Peranan vitamin A diduga berkaitan dengan dua hal: (a) peranan vitamin A dalam sintesis glikoprotein, (b) komplkes vitamin A CRP masuk ke daam nukleues sel sehingga mempengaruhi DNA.
(3) Fungsi kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh manusia dan hewan.
Mekanisme sebenarnya belum diketahui secara pasti. Retinol tampaknya
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan deferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). Disamping itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T (limfosit yang
berperan pada kekebalan selular). Sebaliknya infeksi dapat memperburuk
(50)
Dalam kaitannya vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan bahwa (1) ada hubungan kuat antara status vitamin A dan risiko terhadap penyakit infeksi pernafasan, (2) hubungan antara kekurangan vitamin A dan diare belum begitu
jelas, (3) kekurangan vitamin A pada campak cenderung menimbulkan
komplikasi yang dapat berakibat pada kematian.
Bila vitamin A kurang, maka fungsi kekebalan tubuh menjadi menurun,
sehingga mudah terserang infeksi. Disamping itu lapisan sel yang menutupi
trakea dan paru paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lender
sehingga mudah dimasuki mikroorganisme penyebab infeksi saluran
pernapasan. Bila terjadi pada permukaan usus halus dapat terjadi diare.
Perubahan pada permukaan saluran kemih dan kelamin dapat menimbulkan
infeksi pada ginjal dan kantong kemih. Pada anak anak dapat menyebabkan
komplikasi pada campak yang dapat mengakibatkan kematian. Vitamin A
adalah vitamin yang dapat dipecahkan lemak dengan empat fungsi utama pada tubuh:
1. Vitamin A membantu sel bereproduksi secara normal, sebuah proses yang disebut diferensiasi. Sel-sel yang tidak berdiferensiasi dengan seharusnya bisa berubah menjadi pra-kanker.
2. Vitamin A diperlukan untuk penglihatan. Vitamin A menjaga kesehatan sel pada berbagai macam struktur mata dan diperlukan untuk transfer cahaya menjadi tanda-tanda syaraf di retina.
(51)
3. Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pengembangan embrio dan janin, memengaruhi gen yang menentukan rangkaian perkembangan organ-organ pada perkembangan embrio.
4. Vitamin A diperlukan untuk fungsi reproduksi normal, dengan pengaruh pada fungsi dan pembentukan sperma, indung telur dan plasenta.
Vitamin A telah diketahui dapat melindungi timbulnya komplikasi berat pada penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak seperti campak dan diare, dan juga berfungsi melindungi mata dari Xeropthalmia dan buta senja.
(4) Pertumbuhan dan perkembangan
Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein dengan demikian terhadap
pertumbuhan sel. Vitamin A dibutukan untuk perkembangan tulang dan sel
epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan
vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal.
Bila hewan percobaan diberi makanan yang mengandung vitamin A, maka
akan terganggu setelah simpanan vitamin A dalam tubuh habis. Pada anak
anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhan.
Vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat. (5) Reproduksi
Vitamin A dalam bentuk retinol dan retinal berperan dalam reproduksi pada
tikus. Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur
dan perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A dalam
(52)
akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam melahirkan, kebutuhan vitamin A selama hamil meningkat untuk kebutuhan jasad dan persiapan induk untuk menyusui.
(6) Pencegahan kanker dan penyakit jantung
Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan
kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh
dalam pencegahan kanker, terutama kanker kulit, tenggorokan, paru paru,
peyudara dan kantung kemih. Disamping itu beta karoten yang bersama
vitamin E dan C berperan sebagai antioksidan diduga dapat mencegah kanker
paru. Penelitian penelitian menunjukkan bahwa vitamin A berperan dalam
pencegahan dan penyembuhan penyakit jantung.
Selain itu vitamin A dapat menyebabkan kekurangan nafsu makan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh perubahan jonjot rasa pada lidah. Vitamin A juga berperan dalam pembentukan sel darah meran, kemungkinan melalui interaksi dengan besi.
2.5 Kekurangan dan Kelebihan Vitamin A 2.5.1 Kekurangan Vitamin A
Kekurangan vitamin A banyak ditemukan di beberapa daerah seperti Asia Tenggara, dimana padi yang digiling menjadi beras (yang mengandung sedikit vitamin A) merupakan makanan pokok. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kemampuan usus dalam menyerap lemak dan vitamin yang larut dalam lemak,
(53)
meningkatkan resiko terjadinya kekurangan vitamin A. Penyakit tersebut adalah: (1) Penyakit Seliak, (2) Fibrosa kistik, dan (3) Penyumbatan saluran empedu.
Gejala pertama dari kekurangan vitamin A biasanya adalah rabun senja. Kemudian akan timbul pengendapan berbusa (bintik Bitot) dalam bagian putih mata
(sklera) dan kornea bisa mengeras dan membentuk jaringan parut (xeroftalmia), yang
bisa menyebabkan kebutaan yang menetap.
Malnutrisi pada masa balita (marasmus dan kwashiorkor), sering disertai
dengan xeroftalmia; bukan karena kurangnya vitamin A dalam makanan, tetapi juga
karena kekurangan kalori dan protein menghambat pengangkutan vitamin A. Kulit dan lapisan paru-paru, usus dan saluran kemih bisa mengeras. Kekurangan vitamin A juga menyebabkan peradangan kulit (dermatitis) dan meningkatkan kemungkinan
terkena infeksi.
Pada kekurangan vitamin A, kadar vitamin A dalam darah menurun sampai kurang dari 15 mikrogram/100 mL (kadar normal 20-50 mikrogram/100 mL). Kekurangan vitamin A diobati dengan pemberian vitamin A tambahan sebanyak 20 kali dosis harian yang dianjurkan selama 3 hari. Kemudian diikuti dengan pemberian sebanyak 3 kali dosis harian yang dianjurkan selama 1 bulan. Setelah itu diharapkan semua gejala sudah hilang. Penderita yang gejala-gejalanya tidak hilang dalam 2 bulan setelah pengobatan, harus segera dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan adanya malnutrisi.
(54)
Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan keracunanan, baik itu terjadi pada satu kali pemberian (keracunan akut) ataupun dalam jangka waktu lama (keracunan kronis).
(a) Keracunan Akut
Keracunan akut vitamin A disebabkan oleh kelebihan mengkonsumsi vitamin A yang ditandai oleh mudah mengantuk, mudah tersinggung, sakit kepala dan muntah dalam beberapa jam. Tablet yang mengandung vitamin A sebanyak 20 kali dosis harian yang dianjurkan, yang digunakan untuk pencegahan dan meringankan penyakit kulit, kadang menyebabkan gejala serupa, bahkan jika diminum sesuai petunjuk.
(b) Keracunan Kronis
Keracunan kronis pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa biasanya merupakan akibat mengkonsumsi vitamin A dosis besar (10 kali dosis harian yang dianjurkan) selama berbulan-bulan. Keracunan vitamin A dapat terjadi pada bayi dalam beberapa minggu. Gejala awal dari keracunan kronis adalah : (a) rambut yang jarang dan kasar, (b) kerontokan pada sebagian bulu mata, (c) bibir yang pecah-pecah, dan (d) kulit yang kering dan kasar, serta (e) sakit kepala hebat, peningkatan tekanan dalam otak dan kelemahan umum terjadi kemudian. Selain itu bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi isotretinoin (vitamin A buatan yang digunakan untuk
mengobati kelainan kulit) selama kehamilan bisa memiliki cacat lahir.
Diagnosa keracunan vitamin A ditegakkan berdasarkan gejala dan tingginya kadar vitamin A dalam darah. Gejala akan menghilang dalam 4 minggu setelah penghentikan pemakaian vitamin A tambahan. Beta-karoten terdapat dalam sayuran
(55)
seperti wortel, diubah secara perlahan oleh tubuh menjadi vitamin A dan dapat dikonsumsi dalam jumlah besar tanpa menyebabkan keracunan (Anonim, 2008)
2.6 Metabolisme Vitamin A
Metabolisme vitamin A pada prinsipnya relatif sama dengan metabolisme lemak. Pencernaan dan absorbsi karoten dan retinoid membutuhkan empedu dan enzim pankreas. Metabolisme vitamin A diawali dari campuran ester retinil yang bersumber dari makanan bersama dengan lipida lain di dalam lambung, kemudian ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol, sedangkan dari sebagian karotenoid terutama beta karoten didalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol.
Retinol dalam mukosa usus halus bereaksi dengan asam lemak dan membentuk ester dan dengan bantuan cairan empedu menyebrangi sel-sel vili dinding usus halus dan diangkut oleh kilomiron melalui sistem limfe ke dalam aliran darh menuju ke hati. Hati berperan tempat menyimpan vitamin A utama di dalam tubuh. Cadangan vitamin A dalam keadaan normal bertahan hingga enam bulan. Bila tubuh mengalami kekurangansebagian kecil vitamin A, asam retinoat diabsorbsi tanpa perubahan. Vitamin A akan dimobilisasi dari dalam hati bila tubuh memerlukan dalam bentuk retinol yang diangkut oleh Retino Binding-Protein (RBP) yang
disentesis di dalam hati. Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh tergantung pada reseptor pad apermukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui membran sel kemudian diikat pada Cellular Retinol Biding-Protein
(56)
(CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan. Di dalam sel mata retinol berfungsi sebagai retinal dan di dalam sel epitel sebagai asam retinoat.
Secara skematis metabolisme vitamin A atau alur tanport vitamin A dapat dilihat pada Gambar 2.3:
Ester Retinil (makanan)
ß Karoten (makanan)
Retinol Ester Retinil
Kilomikron
ß lipoprotein(limfe)
Ester Retinil RBP Prealbumin
(darah ) Sel RBP
Reseptor permukaan
(sel sasaran)
Retinal (mata)
Asam reinoat (sel epitel)
Retinal (usus halus)
Gambar 2.3. Alur Tranpor Vitamin A di Dalam Tubuh Sumber: Almatsier, 2002
2.7 Pemberian (suplementasi) Vitamin A
Suplementasi pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi merupakan program jangka pendek. Prioritas program pemberian kapsul vitamin A adalah wilayah dengan (1) prevalensi KEP tinggi, (2) cakupan imunisasi rendah, (3) cakupan pemberian ASI Ekslusif rendah, (4) Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak, ISPA, dan diare tinggi, (5) Keluarga miskin, dan (6) konsumsi sumber vitamin A rendah. Dalam program
(1)
ANALISIS
BIVARIAT
Crosstabs
Suplemen Vitamin A * Status Kesehatan Balita
Crosstab
144 25 169
83.2% 48.1% 75.1% 64.0% 11.1% 75.1%
29 27 56
16.8% 51.9% 24.9% 12.9% 12.0% 24.9%
173 52 225
100.0% 100.0% 100.0% 76.9% 23.1% 100.0% Count
% within Status Kesehatan Balita % of Total Count
% within Status Kesehatan Balita % of Total Count
% within Status Kesehatan Balita % of Total Tidak Baik
Baik Suplemen
Vitamin A
Total
Tidak Baik Baik Status Kesehatan
Balita
Total
Chi-Square Tests
26.440b 1 .000
24.592 1 .000
24.060 1 .000
.000 .000
26.322 1 .000
225 Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.94.
b.
Risk Estimate
5.363 2.732 10.528
1.645 1.268 2.135
.307 .195 .482
225 Odds Ratio for
Suplemen Vitamin A (Tidak Baik / Baik) For cohort Status Kesehatan Balita = Tidak Baik For cohort Status Kesehatan Balita = Baik N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Confidence Interval
(2)
Konsumsi Vitamin A * Status Kesehatan Balita
Crosstab
148 18 166
85.5% 34.6% 73.8%
65.8% 8.0% 73.8%
25 34 59
14.5% 65.4% 26.2%
11.1% 15.1% 26.2%
173 52 225
100.0% 100.0% 100.0%
76.9% 23.1% 100.0%
Count
% within Status Kesehatan Balita % of Total Count
% within Status Kesehatan Balita % of Total Count
% within Status Kesehatan Balita % of Total Tidak Cukup
Cukup Konsumsi
Vitamin A
Total
Tidak Baik Baik Status Kesehatan
Balita
Total
Chi-Square Tests
53.615b 1 .000
51.014 1 .000
48.912 1 .000
.000 .000
53.376 1 .000
225 Pearson Chi-Square
Continuity Correction a Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.64.
b.
Risk Estimate
11.182 5.490 22.775
2.104 1.555 2.847
.188 .116 .307
225 Odds Ratio for
Konsumsi Vitamin A (Tidak Cukup / Cukup) For cohort Status Kesehatan Balita = Tidak Baik
For cohort Status Kesehatan Balita = Baik N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Confidence Interval
(3)
Crosstabs
Umur Balita * Suplemen Vitamin A Crosstabulation
46 15 61
75.4% 24.6% 100.0%
20.4% 6.7% 27.1%
58 14 72
80.6% 19.4% 100.0%
25.8% 6.2% 32.0%
32 17 49
65.3% 34.7% 100.0%
14.2% 7.6% 21.8%
33 10 43
76.7% 23.3% 100.0%
14.7% 4.4% 19.1%
169 56 225
75.1% 24.9% 100.0%
75.1% 24.9% 100.0%
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
12 - 23 Bulan
24 - 35 Bulan
36 - 47 Bulan
48 - 60 Bulan Umur
Balita
Total
Tidak Baik Baik Suplemen Vitamin A
Total
Umur Balita * Konsumsi Pangan Sumber Vit A Crosstabulation
40 21 61
65.6% 34.4% 100.0%
17.8% 9.3% 27.1%
42 30 72
58.3% 41.7% 100.0%
18.7% 13.3% 32.0%
23 26 49
46.9% 53.1% 100.0%
10.2% 11.6% 21.8%
24 19 43
55.8% 44.2% 100.0%
10.7% 8.4% 19.1%
129 96 225
57.3% 42.7% 100.0%
57.3% 42.7% 100.0%
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
12 - 23 Bulan
24 - 35 Bulan
36 - 47 Bulan
48 - 60 Bulan Umur
Balita
Total
Tidak Baik Baik Konsumsi Pangan
Sumber Vit A
(4)
Umur Balita * Konsumsi Vitamin A Crosstabulation
48 13 61
78.7% 21.3% 100.0%
21.3% 5.8% 27.1%
55 17 72
76.4% 23.6% 100.0%
24.4% 7.6% 32.0%
30 19 49
61.2% 38.8% 100.0%
13.3% 8.4% 21.8%
33 10 43
76.7% 23.3% 100.0%
14.7% 4.4% 19.1%
166 59 225
73.8% 26.2% 100.0%
73.8% 26.2% 100.0%
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
12 - 23 Bulan
24 - 35 Bulan
36 - 47 Bulan
48 - 60 Bulan Umur
Balita
Total
Tidak Cukup Cukup Konsumsi Vitamin A
Total
Umur Balita * Status Kesehatan Balita Crosstabulation
50 11 61
82.0% 18.0% 100.0%
22.2% 4.9% 27.1%
52 20 72
72.2% 27.8% 100.0%
23.1% 8.9% 32.0%
33 16 49
67.3% 32.7% 100.0%
14.7% 7.1% 21.8%
38 5 43
88.4% 11.6% 100.0%
16.9% 2.2% 19.1%
173 52 225
76.9% 23.1% 100.0%
76.9% 23.1% 100.0%
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
12 - 23 Bulan
24 - 35 Bulan
36 - 47 Bulan
48 - 60 Bulan Umur
Balita
Total
Tidak Baik Baik Status Kesehatan
Balita
(5)
Umur Balita * Status Gizi Balita Crosstabulation
21 31 9 61
34.4% 50.8% 14.8% 100.0%
9.3% 13.8% 4.0% 27.1%
16 36 20 72
22.2% 50.0% 27.8% 100.0%
7.1% 16.0% 8.9% 32.0%
9 24 16 49
18.4% 49.0% 32.7% 100.0%
4.0% 10.7% 7.1% 21.8%
16 20 7 43
37.2% 46.5% 16.3% 100.0%
7.1% 8.9% 3.1% 19.1%
62 111 52 225
27.6% 49.3% 23.1% 100.0%
27.6% 49.3% 23.1% 100.0%
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
Count
% within Umur Balita % of Total
12 - 23 Bulan
24 - 35 Bulan
36 - 47 Bulan
48 - 60 Bulan Umur
Balita
Total
Buruk Kurang Baik
Status Gizi Balita
Total
Status Gizi Balita * Suplemen Vitamin A
Crosstab
55 7 62
88.7% 11.3% 100.0% 32.5% 12.5% 27.6% 24.4% 3.1% 27.6%
90 21 111
81.1% 18.9% 100.0% 53.3% 37.5% 49.3% 40.0% 9.3% 49.3%
24 28 52
46.2% 53.8% 100.0% 14.2% 50.0% 23.1% 10.7% 12.4% 23.1%
169 56 225
75.1% 24.9% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 75.1% 24.9% 100.0% Count
% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A
% of Total Count
% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A
% of Total Count
% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A
% of Total Count
% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A
% of Total Buruk
Kurang
Baik Status
Gizi Balita
Total
Tidak Baik Baik Suplemen Vitamin A
(6)
Status Gizi Balita * Konsumsi Vitamin A
Crosstab
56 6 62
90.3% 9.7% 100.0%
33.7% 10.2% 27.6%
24.9% 2.7% 27.6%
92 19 111
82.9% 17.1% 100.0%
55.4% 32.2% 49.3%
40.9% 8.4% 49.3%
18 34 52
34.6% 65.4% 100.0%
10.8% 57.6% 23.1%
8.0% 15.1% 23.1%
166 59 225
73.8% 26.2% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
73.8% 26.2% 100.0%
Count
% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A
% of Total Count
% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A
% of Total Count
% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A
% of Total Count
% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A
% of Total Buruk
Kurang
Baik Status
Gizi Balita
Total
Tidak Cukup Cukup Konsumsi Vitamin A
Total