Hubungan Suplementasi Vitamin A Dengan Status Kesehatan Balita Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen

(1)

          T E S I S  

      Oleh 

  SAIFUDDIN  077032004/IKM 

                         

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT  FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT  

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA   M E D A N 

2 0 0 9 

Saifuddin : Hubungan Suplementasi Vitamin A Dengan Status Kesehatan Balita Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen, 2009


(2)

 

HUBUNGAN SUPLEMENTASI VITAMIN A DENGAN STATUS KESEHATAN BALITA   DI KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN 

          T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

            Oleh 

  SAIFUDDIN  077032004/IKM 

             

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT  FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT  

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA   M E D A N 


(3)

PERNYATAAN       

HUBUNGAN SUPLEMENTASI VITAMIN A DENGAN STATUS KESEHATAN BALITA DI  KECAMATAN JEUMPA  

KABUPATEN BIREUEN   

    TESIS

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, 01 September 2009


(4)

Judul Tesis    HUBUNGAN  SUPLEMENTASI  VITAMIN  A  DENGAN  STATUS KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN JEUMPA  KABUPATEN BIREUEN 

Nama Mahasiswa      :  SAIFUDDIN  Nomor Induk Mahasiswa  :  077032004 

Program Studi      :  Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat   Minat Studi      :  Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat              Menyetujui,  Komisi Pembimbing   

       

( Dr. Ir. Evawani Y. Aritonang, MSi)  ( Ros Idah Berutu, SKM, M.Kes) 

  Ketua            Anggota 

             

      Ketua Program Studi,                 Dekan,   

     

( Dr. Drs. Surya Utama, MS)       ( dr. Ria Masniari Lubis, MSi )   

       

Tanggal Lulus : 01 September 2009   


(5)

Telah diuji   

Pada Tanggal  : 01 September 2009   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PANITIA PENGUJI TESIS   

Ketua  : Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, Msi  Anggota  : 1. Ros Idah Berutu, SKM, M.Kes      2. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes      3. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes 


(6)

 

ABSTRAK

Salah satu masalah gizi masyarakat yang masih menjadi program prioritas peningkatan derajat kesehatan masyarakat adalah program perbaikan gizi melalui suplementasi vitamin A pada balita. Data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen tahun 2008 menunjukkan bahwa pada Puskesmas Jeumpa Cakupan suplementasi vitamin A masih rendah yaitu hanya 22,7% dari target yang diharapkan yaitu 80%, sehingga berimplikasi terhadap status kesehatan balita yang dilihat dari status gizi dan status kesakitan balita.

Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis hubungan suplementasi vitamin A dengan status kesehatan balita (status kesakitan dan status gizi) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita (usia 1-5 tahun) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen sebanyak 3.285 orang, sampel terpilih sebanyak 225 balita dengan metode pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Metode pengumpulan data melalui wawancara berpedoman pada kuesioner dan food recall serta pengukuran tinggi dan berat badan balita, serta studi dokumentasi dari puskesmas Jeumpa dan Dinas Kesehatan kabupaten Bireuen. Analisis data menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95% ( 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 76,9% balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen mempunyai status kesehatan termasuk tidak baik, dan 75,1% balita juga termasuk tidak baik dalam mengonsumsi suplemen vitamin A, serta balita yang mengonsumsi pangan sumber vitamin A juga dikategorikan tidak cukup yaitu sebesar 76,9%. Hasil uji chi square menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara suplemen vitamin A (p=0,000) dengan status kesehatan balita dan terdapat hubungan signifikan antara konsumsi vitamin A (p=0,001) dengan status kesehatan balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.

Disarankan kepada Puskesmas Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen, untuk: 1) melakukan sweeping massal terhadap balita yang belum mendapatkan suplemen vitamin A dan memberikan suplemen vitamin A sesuai dengan dosis yang dianjurkan menurut usia balita, 2) perlu meningkatkan kegiatan-kegiatan posyandu dengan memfokuskan pada penyuluhan kepada ibu yang mempunyai balita agar selalu menyiapkan menu makanan dan memberikan asupan gizi yang kaya vitamin A kepada balitanya, dan 3) peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi pemanfaatan perkarangan rumah.


(7)

ABSTRACT

 

 

 

One  of  Community  nutrition  problem    that  still  become  priority  program of community health improvement is nutrition recovering program  through supplementation of vitamin A on children under five. The data  from  District Health Office of Bireuen on 2008 showed that on Community Health  Center of Jeumpa, the coverage of vitamin A still low was only 22,7% from 80%  of expected target. It is, therefore, has implicates to health status of children  under five which observed from nutritional and sickness status of children  under five.  

This research is survey with cross sectional design which aimed to  analyze the relationship of vitamin A supplementation with health status of  children under five (both sickness and nutritional status) in Jeumpa sub district  of Bireuen District. The population in this research were children under five (1 –  5 years old) in Jeumpa sub district of Bireuen District as 3.285 children, elected  samples as 225 children under five using simple random sampling technique.  Data were collected through interview with questionnaires and food recall and  also measured height and weight of children under five. The data obtained  were analysed through chi square test.  

The results of this tudy showed that that there were 76.9% of children  under five have bad health status, and there were 75.1% children under five  also terribled in consumed supplement of vitamin A, and there were 76.9%  whose consumed food of vitamin A source also inadequate categorized. There  were a significant relationships between the vitamin A supplement (p=0,000),  and  vitamin A consumption (p=0,001) with health status of children under five  in Jeumpa sub district of Bireuen District.  

It is suggested to all Health Center in Jeumpa sub district of Bireuen  District:1) to perform mass sweeping to children under five whose does not got  vitamin A supplement yet and giving vitamin A supplement according to  recommended doses based on children under five’s age, 2) to improve the  Posyandu activities with focus in counselling for mother who has children  under five in order to always prepare food menu and giving prosperous vitamin  A of nutrient food for their children under five, and 3) strengthening efforts of  community development and used the family garden as nutritional garden. 

      

Key words: Supplementation of vitamin A, Children under five health status    

 

   


(8)

     

KATA PENGANTAR   

   

  Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunianya 

penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Suplemen  Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten  Bireuen”. 

 Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan  bimbingan  dari  berbagai  pihak.  Untuk  itu  pada  kesempatan  ini  penulis 

mengucapkan  terima  kasih  dan  penghargaan  kepada  Rektor  Universitas 

Sumatera Utara, yaitu  Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K).  

  Selanjutnya  kepada dr. Ria  Masniari  Lubis,  M.Si  selaku  Dekan  fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya  Utama, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat  Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, MSi selaku 

Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas 

Sumatera Utara. 

  Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Evawani Y. Aritonang,  MSi selaku ketua komisi Pembimbing dan Ros Idah Berutu, SKM, M.Kes selaku 

anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan meluangkan 

waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam  penyusunan tesis ini. 


(9)

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dra. Jumirah, Apt, M.Kes dan  

Ernawati  Nasution,  SKM,  M.Kes  selaku  komisi  pembanding  yang  telah 

memberikan kritikan dan saran demi kesempurnaan tesis ini. 

  dr. Muktar, MARS  sebagai Kepala  Dinas Kesehatan  Kabupaten 

Bireuen pada saat penulis mengikuti tugas belajar, dan banyak dorongan  kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke Pasca Sarjana Universitas  Sumatera Utara 

Tak  terhingga terima  kasih  saya ucapkan  kepada ibunda tersayang  Habsah serta isteri tercinta Poppy, ananda Ryan Pradana dan Rizki Gusnanda  yang telah mengizinkan dan memberi motivasi serta dukungan kepada penulis  untuk melanjutkan pendidikan. 

Selanjutnya terima kasih penulis kepada rekan rekan mahasiswa yang  telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat berkonsultasi dalam 

penyusunan  tesis  ini  dan  semua  pihak  yang  telah  membantu  proses 

penyusunan tesis ini hingga selesai. 

  Penulis  menyadari  bahwa  tesis  ini  masih  terdapat  banyak 

kekurangan  dan  kelemahan,  untuk  itu  kritik  dan  saran  yang  bersifat 

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.   

         Medan,   September 2009 

 


(10)

 

 

RIWAYAT HIDUP

Saifuddin dilahirkan di Samalanga pada tanggal 1 April 1972, anak ke tujuh dari sebelas bersaudara dari pasangan Ayahanda Abdurrahman dan Ibunda Habsah. Menikah dengan Poppy pada tanggal 22 Oktober 2001 dan telah dikarunia dua orang putra yaitu Ryan Pradana dan Rizki Gusnanda, sekarang menetap di Kompleks Buket Teukueh Lorong Seulanga I No 15 C Desa Buket Teukueh Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Memulai pendidikan di SD Negeri Simpang Ierhob di Samalanga lulus tahun 1985, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri I Samalanga lulus tahun 1988. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Samalanga lulus tahun 1991. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sekolah Pembantu Ahli Gizi lulus tahun 1992. Kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Gizi Jakarta lulus tahun 1998 selanjutnya meneruskan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Muhammadiyah Aceh di Banda Aceh dan selesai tahun 2003.

Pernah bekerja sebagai tenaga pelaksana gizi di Puskesmas Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen, kemudian tahun 1998 pindah ke Dinas Kesehatan Aceh Utara sampai tahun 2001dan seterusnya pindah ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen sebagai pengelola gizi sampai dengan sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

   

      Halaman 

ABSTRAK   i 

ABSTRACT    ii 

KATA PENGANTAR ...  iii 

RIWAYAT HIDUP ...  iv 

DAFTAR ISI   iv 

DAFTAR TABEL ...  vi 

DAFTAR GAMBAR ...  viii 

DAFTAR LAMPIRAN ...  ix 

  BAB 1    PENDAHULUAN...   1 

1.1 Latar belakang ...  1 

1.2 Permasalahan ...  6 

1.3 Tujuan Penelitian ...  6 

1.4 Hipotesis ...  6 

1.5 Manfaat Penelitian ...  7 

  BAB 2    TINJAUAN PUSTAKA...   8 

2.1 Status Kesehatan Balita ...  8 

2.2 Penyakit Infeksi Pada Balita ...  11 

2.3 Status Gizi Balita ...  17 

2.4 Vitamin A...  25 

2.5 Kekurangan dan kelebihan Vitamin A...  35 

2.6 Metabolisme Vitamin A ...  38 

2.7 Pemberian (suplementasi) vitamin A...  39 

2.8 Landasan Teori...  40 

2.9 Kerangka Konsep ...  41 

  BAB 3   METODE PENELITIAN ...  42 

3.1. Jenis Penelitian ...  42 

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...  42 

3.3. Populasi dan Sampel ...  42 

3.4. Metode Pengumpulan Data ...  43 

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ...  44 

3.6. Metode Pengukuran ...  45 

3.7. Instrumen ...  48 

3.8. Metode Analisis Data ...  48 

  BAB 4   HASIL PENELITIAN ...   49 


(12)

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...  49 

4.2. Karakteristik Responden ...  50 

4.3. Suplementasi Vitamin A...  51 

4.4. Konsumsi Pangan Sumber Vitamin A...  53 

4.5. Konsumsi Vitamin A ...  56 

4.6. Status Kesehatan Balita ...  58 

4.7. Hubungan Suplemen Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita ...  62 

4.8. Hubungan Konsumsi Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita...  63 

  BAB 5   PEMBAHASAN...  64 

5.1. Hubungan Suplementasi Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita ..  64 

5.2. Hubungan  Konsumsi Vitamin A dengan Status Kesehatan Balita ...  67 

5.3. Keterbatasan Penelitian ...  72 

  BAB 6   KESIMPULAN DAN SARAN...  73 

6.1.  Kesimpulan...  73 

6.2.  Saran ...  74 

  DAFTAR PUSTAKA...  75  LAMPIRAN                                               


(13)

 

DAFTAR TABEL     

Nomor          Judul   Halaman 

 

2.1.   Kebutuhan Vitamin A Per Hari ...  26  2.2.   Nilai Vitamin A Berbagai Bahan Makanan (RE  /100 g) ...  28  2.3.   Komposisi Gizi Makanan Sumber Vitamin A ...  28  4.1  Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten 

Bireuen Tahun 2009 ...  50 

4.2  Distribusi Frekuensi Umur Balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen 

Tahun 2009 ...  51  4.3  Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Suplemen Vitamin A di Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  52 

4.4  Suplemen  Vitamin  A Berdasarkan  Kelompok  Umur  Balita  di  Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  52 

4.5  Distribusi Frekuensi Konsumsi Makanan oleh Balita di Kecamatan Jeumpa 

Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  54  4.6   Rerata Jumlah Vitamin A dari Pangan Sumber Vitamin A (  g/100 g) ...  55  4.7  Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Konsumsi Pangan Sumber Vitamin A 

di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  55 

4.8  Konsumsi Pangan Sumber Vitamin A berdasarkan Kelompok Umur Balita di 

Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  56  4.9   Rerata Jumlah Vitamin A (  g/100 g) ...  57  4.10.  Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Konsumsi Vitamin A di Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  57 

4.11  Konsumsi  Vitamin  A  Berdasarkan  Kelompok  Umur  Balita  di  Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  58  4.12  Distribusi  Frekuensi  Balita  Berdasarkan  Status  Gizi  Balita  di  Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  58 

4.13  Status  Gizi  Balita  Berdasarkan  Kelompok  Umur  di  Kecamatan  Jeumpa 

Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  59  4.14  Status Gizi Balita Berdasarkan Suplemen Vitamin A di Kecamatan Jeumpa 


(14)

4.15  Status Gizi Balita Berdasarkan Konsumsi Vitamin A di Kecamatan Jeumpa  Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  60 

4.16  Distribusi  Frekuensi  Balita  Berdasarkan  Status  Kesakitan  di  Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  61 

4.17  Distribusi  Frekuensi  Balita  Berdasarkan  Status  Kesehatan  di  Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  61 

4.18  Status Kesehatan Balita Berdasarkan Kelompok Umur Balita di Kecamatan 

Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  62 

4.19  Hubungan Suplemen Vitamin A dengan Status Kesehatan pada Balita di 

Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  63  4.20  Hubungan Konsumsi Sumber Vitamin A dengan Status Kesehatan pada Balita 

di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Tahun 2009 ...  63   

                                                       


(15)

DAFTAR GAMBAR   

   

Nomor          Judul   Halaman 

   

2.1. Kompleksitas Hubungan Timbal Balik Gizi dengan Penyakit Infeksi...  11 

2.2. Peranan Vitamin A dalam Penyesuaian Cahaya Remang ...  31 

2.3. Alur Transport Vitamin A di Dalam Tubuh ...  39 

2.4. Kerangka Konsep Penelitian...  41                                                               


(16)

DAFTAR LAMPIRAN   

   

Nomor          Judul   Halaman 

 

1.   Kuesioner Penelitian ...  77 

2.  Hasil Pengolahan Data Penelitian ...  81 

3.  Hasil Perhitungan Konsumsi Vitamin A ...  91 

4  Hasil Perhitungan Status Gizi ...  100 

5   Jadwal Penelitian ...    108 

6  Surat Keterangan Izin Penelitian ...  109   

   


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia salah satunya di lihat dari angka kematian dan kesakitan balita. Masa balita merupakan masa yang paling rawan bagi kelangsungan kehidupan oleh karena kelompok usia balita merupakan kelompok penduduk yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan infeksi yang akan mengancam kelangsungan hidupnya. Selain itu masa bayi dan balita juga merupakan masa kritis bagi kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan, juga merupakan masa paling penting dalam perkembangan motorik, kecerdasan dan kemampuan akademik serta perkembangan kepribadian dan kemandirian pada seorang anak (Soetjiningsih 1995).

Masalah kesehatan yang sering kali ditemukan adalah masalah status gizi. Kematian bayi dan balita di negara berkembang sebagian besar dipengaruhi oleh masalah gizi yang tidak baik dan meningkatnya penyakit infeksi pada bayi dan balita. Anak yang menderita kurang gizi mempuyai kemungkinan yang lebih besar untuk menderita berbagai jenis penyakit infeksi seperti diare, infeksi saluran pernafasan akut (Srikardjati, dkk, 1985). Secara umum, kurangnya asupan makanan dapat menyebabkan defisiensi gizi pada balita sehingga dapat menyebabkan gangguan sistim kekebalan tubuh.


(18)

Masalah gizi timbul karena tidak tersedianya zat-zat gizi dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anak balita yang sedang dalam masa pertumbuhan yang cepat sehingga kebutuhan relatif lebih besar bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kebutuhan gizi anak balita meliputi kebutuhan energi, kebutuhan protein, kebutuhan vitamin dan mineral (Sediaoetama,1993). Perkiraan kecukupan asupan makanan yang dianjurkan untuk mempertahankan kesehatan yang baik bagi anak balita di Indonesia meliputi kebutuhan energi, yang diperkirakan sekitar 1210 kalori/hari, protein 23 gr/hari, zat besi diperkirakan 10 mg/hari dan vitamin A sebanyak 1500 IU/hari (Sediaoetama,2000).

Menurut Depkes RI (2002) salah satu indikator penting dalam menentukan gizi balita adalah konsumsi vitamin A. Meskipun sejak tahun 1992 Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia, akan tetapi masih dijumpai 50% dari balita

mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Keadaan ini yang mengharuskan pemerintah memberikan kapsul vitamin A dosis tinggi pada anak balita. Upaya penyadaran gizi kepada masyarakat agar selalu mengkonsumsi sayur, buah berwarna dan pangan hewani menjadi sangat penting, agar tidak selalu tergantung pada kapsul Vitamin A. Munculnya kasus xeropthalmia sangat mungkin apabila penyuluhan konsumsi pangan hewani tidak efektif dan cakupan kapsul Vitamin kurang dari 80% (Azwar, 2004).


(19)

Upaya perbaikan gizi melalui pemberian (suplementasi) vitamin A dilakukan dengan memberikaan vitamin A dosis tinggi kepada balita selama 2 kali dalam setahun yaitu bulan Februari dan Agustus. Vitamin A tersebut diperuntukkan meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan mata balita. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia (2007), cakupan suplementasi vitamin A pada Balita di Indonesia sebesar 84,50% dengan jumlah balita yang memperoleh vitamin A sebanyak 2.645.732 balita. Cakupan ini secara nasional sudah memenuhi standar yaitu 80% sesuai dengan indikator Indonesia Sehat 2010, namun masih ada beberapa provinsi yang masih rendah cakupan suplementasi Vitamin A.

Konsekuensi dari rendahnya cakupan vitamin A adalah meningkatnya penyakit-penyakit infeksi pada balita. Karena pada prinsipnya keadaan gizi balita berkorelasi dengan kejadian penyakit infeksi seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan campak. Berdasarkan laporan WHO (2007), bahwa setiap tahun kurang lebih 12,5 juta dan balita di seluruh dunia meninggal oleh karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak, dan 54% dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi.

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia (2007), penyakit ISPA masih menjadi masalah kesehatan balita di seluruh Indonesia. Angka kematian akibat ISPA menempati urutan ketiga dari jenis penyakit penyebab kematian balita, yaitu 10,7% setelah malnutrisi (38,8%) dan asphyxia (27,9%), dan sisanya disebabkan oleh jenis penyakit lain (22,6%). Adapun angka kesakitan akibat ISPA menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit di Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak


(20)

1.117.179 balita (7,05%). Keadaan tersebut mencerminkan bahwa penyakit ISPA merupakan jenis penyakit yang sangat berperan terhadap derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Selain itu jenis penyakit infeksi yang lazim terjadi pada balita penyakit diare. penyakit diare selama kurun waktu 2003-2007 masih menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada tahun 2007 jumlah provinsi yang masih dilanda KLB diare sebanyak delapan propinsi yaitu propinsi Sumatera Utara, Banten, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Case

Fatality Rate (CFR) akibat diare secara nasional sebesar 1,3% dari 2.661 penderita

dengan kematian sebanyak 46 balita.

Fenomena permasalahan gizi balita juga terjadi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan hasil survei cepat UNICEF (2007), bahwa cakupan suplementasi vitamin A pada daerah yang tertimpa bencana alam masih sangat rendah yaitu wilayah pantai barat (55,2%), pantai timur (60,2%) dan pantai utara (68,6%). Hal ini menunjukkan bahwa secara nyata kondisi konsumsi vitamin A bagi balita di NAD secara umum masih sangat rendah, sehingga berimplikasi terhadap pertumbuhan dan status kesehatan balita di NAD.

Salah satu kabupaten yang masih rendah cakupan vitamin A adalah kabupaten Bireun yaitu sebesar 69,3% dari 32.031 balita, artinya cakupan pemberian vitamin A masih sangat rendah dibandingkan indikator Indonesia Sehat 2010. Berdasarkan profil Puskesmas Jeumpa (2008), diketahui jumlah balita sebanyak 3.285 balita, 32,9% menderita gizi kurang, 8,4% menderita gizi buruk, dan sisanya 41,3%


(21)

termasuk gizi baik. Selain itu balita yang mendapatkan vitamin A dua kali hanya 24,8%. Keadaan ini menunjukkan bahwa cakupan pemberian vitamin A di Kecamatan Jeumpa masih rendah.

Implikasi dari rendahnya cakupan vitamin A tersebut adalah terjadinya berbagai penyakit Infeksi pada balita seperti ISPA, Diare dan infeksi kulit. Penyakit ISPA masih menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak jenis penyakit rawat jalan yaitu sebanyak 947 kasus, sedangkan penyakit diare balita menempati urutan ke tiga sebanyak 287 kasus serta infeksi kulit menempati urutan ke tujuh dari sepuluh penyakit terbanyak di wilayah kerja puskesmas Jeumpa.

Menyikapi fenomena masalah gizi balita di wilayah kerja puskesmas Jeumpa, maka dilakukan upaya intensif melalui peningkatan kegiatan-kegiatan posyandu agar masyarakat dapat mudah mengakses pelayanan kesehatan bagi balitanya dan melakukan sweeping balita yang belum mendapat vitamin A, sehingga balita yang

belum diberi Vitamin A dapat diidentifikasi secara dini. Data Profil Puskesmas Jeumpa (2008), diketahui jumlah balita yang mendapatkan vitamin A masih 22,7% dari 3.285 balita yang ada, artinya masih ada sebanyak 2.540 balita yang sama sekali selama dua tahun terakhir tidak mendapatkan suplementasi vitamin A. Hal ini mengindikasikan bahwa cakupan pemberian vitamin A di Kecamatan Jeumpa masih sangat rendah.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti perlu melakukan studi tentang hubungan suplementasi vitamin A terhadap status kesehatan balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.


(22)

1.2. Permasalahan

Cakupan pemberian vitamin A di Kecamatan Jeumpa masih rendah yaitu hanya 22,7% dibandingkan indikator yang diharapkan yaitu 80%. Implikasi dari rendahnya pemberian vitamin A tersebut adalah tingginya angka kesakitan penyakit ISPA dan diare di Kecamatan Jeumpa bahkan menempati urutan pertama dan diare menempati urutan ke tiga dari sepuluh penyakit terbanyak di Kecamatan Jeumpa. Berdasarkan hal ini ingin diketahui apakah rendahnya cakupan vitamin A berhubungan dengan status kesehatan balita di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan suplementasi vitamin A dengan status kesehatan balita (status kesakitan dan status gizi) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten bireuen.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan suplementasi vitamin A dengan status kesehatan balita (status kesakitan dan status gizi) di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.


(23)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam meningkatkan upaya perbaikan gizi bayi balita khususnya dalam peningkatan cakupan pemberian vitamin A.

2. Memberikan masukan bagi puskesmas dalam membuat perencanaan dan upaya tehnis dalam peningkatkan status kesehatan balita.


(24)

BAB 2  TINJAUAN PUSTAKA 

  2.1 Status Kesehatan Balita 

Kesehatan balita dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor 

lingkungan,  perilaku,  suku,  pelayanan  kesehatan  dan  keturunan.  Faktor 

lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi status kesehatan balita. Selain  itu juga keadaan pemukiman/perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat  umum, air dan udara bersih, juga teknologi, pendidikan, sosial ekonomi juga 

dapat mempengaruhi kesehatan balita, sedangkan perilaku tergambar dalam 

kebiasaan sehari hari seperti: pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup,  dan perilaku terhadap upaya kesehatan. 

Masa kanak kanak, khususnya masa balita, merupakan masa yang 

paling  penting  dalam  menentukan  hasil  proses  tumbuh  kembang  anak 

selanjutnya. Agar balita dapat tumbuh kembang secara optimal diperlukan  situasi yang mendukung misalnya keluarga atau orang tua dan khususnya ibu,  yang merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang balita 

terutama pada  tahun tahun  pertama. Dalam  masa masa ini, peranan ibu 

adalah memberikan stimulasi dini agar anak dapat berkembang dan belajar  dari lingkungannya. Penerapan stimulasi dini yang baik bagi balita diharapkan  akan dapat menjadi bekal yang utama bagi balita dalam menghadapi masa masa penyesuaian selanjutnya  (Tjondrorini dkk, 1995). 


(25)

Seorang  anak  sehat,  pada  status  gizi  baik  akan  tumbuh  dan  berkembang dengan baik pula, berat badan dan tinggi badannya akan selalu  bertambah oleh karena itu penilaian tumbuh kembang perlu dilakukan untuk  menentukan apakah tmbuh kembang anak berjalan normal atau tidak. Dengan  kartu menuju   sehat (KMS) pertumbuhan anak dapat diamati, sehingga ibu 

mengerti bahwa segala usahanya membawa hasil dengan adanya kenaikan 

berat badan (Khomson dkk, 2000). 

Masa  yang  paling  menentukan  dalam  proses  tumbuh  kembang 

seorang  balita  ialah  masa  ia  dalam  kandungan  ibunya  dan  satu  tahun  sesudahnya, di mana pada saat sel otak sedang tumbuh dan menyempurnakan  diri secara pesat sekali dan juga masa masa krisis tumbuh kembang  manusia  yaitu di bawah usia lima tahun (Depkes, 2001). 

Adapun penilaian atau deteksi tumbuh kembang balita merupakan 

upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan 

penyimpangan  tumbuh  kembang  dan  mengetahui  serta  mengenal  faktor 

resiko (fisik, biomedik, psikososial) pada anak. Kegunaan penilaian atau deteksi 

tumbuh kembang untuk mengetahui penyimpangan tumbuh kembang dan 

mengetahui secara dini, sehingga upaya pencegahan, upaya stimulasi   dan  upaya penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan indikasi jelas sedini 

mungkin pada masa kristis proses tumbuh kembang, dimana upaya upaya 

tersebut diberikan sesuai umur perkembangan anak, dengan demikian dapat  tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal. 


(26)

  Menurut Khomsan, dkk (2000), penilaian atau deteksi tumbuh kembang  dapat  dilakukan dengan macam macam tes skrining antara lain melalui pengukuran  berat badan menurut umur anak, dan menggunakan pedoman kuesioner pra  skrining perkembangan (KPSP) sesuai dengan umur anak. 

Untuk  memantau  tingkat  kesehatan  balita  dapat  dilihat  dari 

perubahan kondisi gizi balita. Pertumbuhan berat badan pada kelompok anak  balita merupakan parameter yang paling sesuai digunakan yang sangat erat 

hubungannya  terhadap  konsumsi  energi  dan  protein  sehingga  dapat 

menggambarkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya. Sehingga kedua jenis 

zat tersebut (energi dan protein) paling sering menimbulkan masalah pada  skala nasional di Indonesia dan negara   negara lain, pemantauan berat badan  dilakukan dengan cara penimbangan berat badan dan dicatat dalam suatu  kartu yang disebut dengan Kartu Menuju Sehat (KMS).Naik turunnya jumlah  anak balita yang menderita hambatan pertumbuhan di suatu daerah dapat  segera terlihat dalam jangka waktu pendek sehingga dapat segera di teliti lebih 

jauh apa sebabnya dan dapat diambil tindakan penangulangannya secepat 

mungkin. Kondisi kesehatan balita secara umum dapat dilihat dari keadaan  umumnya yaitu kesehatan balita secara fisik, melalui KMS (Kartu Menuju 

Sehat) yang penimbangannya dapat dilakukan di POSYANDU (Pos Pelayanan 

Terpadu) (Sediaoetama, 2000).  

    Selain itu status kesehatan balita dapat di indikasikan dari ada atau tidaknya  penyakit infeksi yang dialaminya. Pada prinsipnya status kesehatan balita 


(27)

berkorelasi gizi dengan kejadian penyakit infeksi. Jenis penyakit infeksi yang  lazim dijadikan indiaktor status kesehatan balita adalah penyakit ISPA dan  Diare. Kedua penyakit tersebut dapat disebabkan oleh kekurangan konsumsi  vitamin A dan kekurangan konsumsi zat gizi lainnya. Selain itu dapat juga  dilihat dari ada atau tidaknya terjadi infeksi kulit dan gangguan pencernaan  seperti mual dan muntah pada balita.  

  Dalam konteks penelitian ini peneliti menfokuskan kejadian penyakit infeksi 

pada balita dilihat dari penyakit ISPA dan Diare. Menurut Hull dan Rohde (1978) yang dikutip Khomsan (2004) bahwa ada hubungan timbal balik kejadian penyakit infeksi status gizi balita seperti pada gambar berikut

 

Kurang Gizi  

Diare ISPA 

Dehidrasi Penumonia 

Kematian  

         

Gambar 2.1. Kompleksitas Hubungan Timbal Balik Gizi dengan Penyakit Infeksi 

 

      Sumber : Khomsan, 2004      2.2 Penyakit Infeksi pada Balita


(28)

Diare adalah buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari (Ditjen PPM dan PLP Depkes RI,2000)

Diare dapat disebabkan oleh faktor infeksi yaitu infeksi di luar usus : infeksi pada bagian tubuh manapun, seperti pneumonia, infeksi telinga, tonsilotis, dapat menyebabkan mencret dalam stadium yang biasanya ringan, dan infeksi di usus : penyebab diare paling sering pada anak balita adalah infeksi dengan berbagai bakteri. Ini terjadi karena infeksi oleh organisme disentri basiler, bakteri salmonella dan berbagai virus. Penyebab paling sering adalah bakteri yang setiap hari dijumpai dalam jumlah besar besaral dari lingkungan kotor.

Selain itu serangan diare dapat terjadi karena membatasi makanan untuk melangsingkan tubuh dengan memakan terlalu banyak yang sulit dicerna, seperti kacang, atau cabai dan beberapa jenis obat tradisional yang menyebabkan rangsangan pada usus (Suharyono, 1991). Cara pencegahan penyakit diare yang benar-benar efektif yang dapat dilakukan adalah :

1. Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.

ASI steril berbeda dengan sumber susu lain, susu formula atau caiarann lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain


(29)

dan tanpa menggunakan botol, menghindari anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh.

Bayi-bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih). ASI mempunyai khasiat yang efektif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare.

Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh. Pada 6 bulan pertama kehidupan risiko mendapat diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2005)

2. Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI diberikan pada bayi secara bertahap. Mulailah dibiasakan dengan makanan orang dewasa yang dihaluskan. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya meningkatkan resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian


(30)

makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.

Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik, yaitu: (Depkes RI, 2005)

- Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4 kali sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 kali sehari teruskan pemberian ASI bila mungkin.

- Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.

- Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak. Suapi anak dengan

sendok yang bersih.

- Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.

3. Menggunakan Air Bersih yang Cukup.

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecaloral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke daam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, makan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar.

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat


(31)

yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2005).

4. Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare.

5. Menggunakan Jamban

Pengalaman dibeberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. 6. Membuang tinja bayi dengan benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi dibuang secara benar.

7. Pemberian Imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan (Depkes RI,2005).


(32)

Penyakit infeksi saluran pernafasan meliputi infeksi saluran pernafasan pada hidung, telinga, tenggorokan, trachea, bronchioli dan paru. Tanda dan gejala penyakit ISPA dapat berupa : batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit telinga. Sebagian besar dari ISPA ini dapat bersifat ringan seperti batuk, pilek dan demam. Akan tetapi bila ISPA tidak segera diobati akan menimbulkan radang paru yang disebut pneumonia yang dapat mengakibatkan kematian.

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersama dengan terjadinya proses infeksi aukut pada bronkus yang disebut bronchopneumonia biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada kebagian bawah / kedalam (Depkes RI, 2002).

Penyebab ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri Virus dan Riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari jenis Streptokokus, Stafilokokus,

Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus penyebab

ISPA antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus, koronavirus,

pikornavirus, dan lain-lain(Depkes RI, 2002). Beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya ISPA pada balita yaitu

a Keadaan Gizi. Keadaan gizi seseorang merupakan suatu faktor yang sangat penting bagi timbulnya ISPA. Anak yang mempunyai gizi yang kurang atau buruk akibat minimnya asupan zat gizi dalam tubuh termasuk vitamin-vitamin seperti vitamin A, sehingga menyebabkan pembuatan zat antibodi terganggu oleh karena zat-zat


(33)

makanan dalam tubuh tidak cukup untuk membentuk zat anti body sehingga anak mudah mengalami infeksi.

b. Kekebalan. Kekebalan tubuh secara bawaan didapatkan bayi dari ibunya pada waktu dalam kandungan, pada umumnya dapat bertahan sampai bayi berumur 5-9 bulan. Bayi/anak yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) lebih jarang menderita ISPA, karena ASI mengandung zat anti body yang dapat mencegah infeksi.

c. Keadaan Lingkungan. Perumahan yang sempit, kotor tidak mempunyai sarana air

bersih menyebabkan anak sering berhubungan erat dengan berbagai penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat kotor. Begitu juga rumah dengan ventilasi kurang dan udara lembab, sering menghisap asap rokok sehingga akan mudah terserang penyakit ISPA.

2.3 Status Gizi Balita 

Zat gizi adalah zat yang diperlukan tubuh seperti hidrat arang, protein,  lemak, vitamin, mineral, dan air. Bahkan makanan adalah hasil dari produksi  pertanian yang berguna untuk kesehatan tubuh. Jenis bahan makanan dapat 

langsung dimakan sebagai makanan, namun banyak pula bahan makanan 

memerlukan pengolahan sebelum jadi makanan. Makanan merupakan istilah 

yang dikandungnya, baik jumlah maupun mutunya. Kebutuhan tubuh akan zat  gizi tertentu tergantung pada aktivitas dan proses yang berlangsung dalam 

tubuh  misalnya  pada  fase  pertumbuhan  dimana  terjadinya  proses 

pertumbuhan jaringan sangat pesat sekali seperti pertumbuhan pada anak anak di bawah 5 tahun (Soekirman, 2002). 


(34)

Status  gizi  merupakan  keadaan  kesehatan  tubuh  seseorang  yang  diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. 

Status  gizi  merupakan  tanda tanda  atau  penampilan  seseorang  akibat 

keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari  pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004) 

Menurut Santoso (1999), status gizi anak adalah keadaan kesehatan 

anak  akibat  interaksi  antara  makanan  dalam  tubuh  dengan  lingkungan 

sekitarnya. Nilai keadaan gizi anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan  salah satu parameter yang penting untuk nilai tumbuh kembang fisik anak dan  nilai kesehatan anak tersebut. 

Menurut  Supariasa,  dkk  (2002),  status  gizi  adalah  keadaan 

keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat  gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi di dalam 

tubuh.  Status  gizi  adalah  keadaan  kesehatan  yang  berhubungan  dengan 

penggunaan makanan oleh tubuh. Status gizi merupakan keadaan seseorang 

sebagai refleksi  dari  konsumsi  pangan serta  penggunaannya  oleh  tubuh. 

Ketidakseimbangan  antara  intake  dengan  kebutuhan  mengakibatkan 

terjadinya malnutrisi. Malnutrisi terdiri dari : 1). under weight, terjadi apabila  intake < kebutuhan, dan 2). obesitas, terjadi apabila intake > kebutuhan 

(Halomoan, 1999) 

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan utilitas zat gizi


(35)

makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak (Riyadi, 2001).

Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro lain) dan status kesehatan. Pengaruh langsung dari status gizi dipengaruhi oleh tiga faktor tidak langsung yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak yang cukup dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001).

2.3.1 Penilaian Status Gizi secara Antropometri 

Supariasa dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran 

tubuh.  Maka  antropometri  gizi  berhubungan  dengan  berbagai  macam 

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur  dan tingkat gizi.  Pengukuran antropometri relatif mudah untuk dilaksanakan.  Akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan  keterampilan, peralatan, dan keterangan untuk pelaksanannya. Jika dilihat dari  tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 

1.  Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak di bawah kulit,  lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitif, cepat berubah, mudah  turun naik, dan menggambarkan keadaan sekarang. 


(36)

2.  Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, dan lingkar dada. Ukuran  linier sifatnya spesifik, perubahannya relatif lambat, ukurannya tetap atau naik, dapat  menggambarkan riwayat masa lalu. 

Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk 

menilai status gizi anak balita adalah indikator Berat Badan menurut Umur  (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi  Badan (BB/TB) (Depkes R.I.,1995) 

2.3.2 Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) 

Berat  badan  merupakan  salah  satu  ukuran  antropometri  yang 

memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak) karena massa  tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya  karena penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan 

yang dikonsumsi maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang 

sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan  keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan 

berkembang  mengikuti  pertambahan  umur.  Sebaliknya  dalam  keadaan 

abnormal,  terdapat  dua  kemungkinan  perkembangan  berat  badan  yaitu 

berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan  sifat sifat ini maka indeks BB menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah  satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka  indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current  nutritional status). 


(37)

Penggunaan  indeks  BB/U  sebagai  indikator  status  gizi  memiliki  kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian. 

Kelebihan indeks BB/U yaitu : 

1.  Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum  2.  Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek 

3.  Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)  Sedangkan kelemahan dari indeks BB/U adalah : 

1.  Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat oedema 

2.  Memerlukan  data  umur  yang  akurat, terutama  untuk  kelompok  anak  di  bawah 

  usia lima tahun (balita). Ketepatan umur untuk kelompok umur ini masih 

  merupakan masalah di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

3.  Sering  terjadi  kesalahan  dalam  pengukuran  misalnya  pengaruh  pakaian  atau 

  gerakan anak pada saat penimbangan 

4.  Secara  operasional  sering  mengalami  hambatan  karena  masalah  sosial  budaya 

  setempat.  Dalam  hal  ini  masih  ada  orang  tua  yang  tidak  mau 

menimbangkan   anaknya karena seperti barang dagangan (Supariasa dkk, 

2002).   

2.3.3 Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) 

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan 

keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh 


(38)

seperti berat badan, relatif kurng sensitif terhadap masalah defesiensi zat gizi  jangka pendek. Pengaruh defesiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan  tampak pada saat yang cukup lama. 

Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau dan dapat  juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat.  Kelemahan penggunaan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu:  1.  Tidak dapat memberi gambaran keadaan pertumbuhan secara jelas 

2.  Dari segi operasional, sering dialami kesulitan dalam pengukuran terutama bila anak  mengalami keadaan takut dan tegang (Jahari, 1998). 

2.3.4 Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) 

Berat badan memilki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam 

keadaan  normal,  perkembangan  berat  badan  akan  searah  dengan 

pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Seperti halnya dengan 

indeks  BB/U,  maka  penggunaan  indeks  BB/TB  memiliki  keuntungan  dan 

kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita.  Keuntungan penggunaan indeks BB/TB adalah : 

1.  Hampir independen terhadap pengaruh umur dan ras 

2.  Dapat membedakan  keadaan anak dalam penilaian  berat badan relatif terhadap 

  tinggi badan: kurus, gemuk, dan cukup dalam keadaan marasmus atau 

bentuk   KEP berat lainnya. 


(39)

1.  Tidak  dapat  memberikan  gambaran  apakah  anak  tersebut  pendek,  cukup  tinggi    badan atau kelebihan tinggi badan karena faktor umur tidak diperhatikan  dalam   hal ini. 

2.  Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran   panjang  badan pada kelompok anak balita. 

3.  Sering terjadi kesalahan pembacaan angka hasil pengukuran terutama bila  dilakukan  oleh kelompok non profesional (B. Abas, 1998). 

   

2.3.5 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks Antropometri 

Untuk mengetahui besarnya masalah gizi pada satu populasi umumnya  digunakan indikator status gizi yang merefleksikan suatu kekurangan gizi akut  (malnutrisi akut) yaitu indeks berat badan per tinggi badan (BB/TB) yang 

dibandingkan  dengan  standart  internasional  NCHS WH0.  Indikator  ini 

merupakan indikator yang paling sensitif dalam menilai terjadinya perubahan  status  gizi  oleh  karena  suatu  kejadian  akut  seperti  bencana  alam  atau  kerusuhan. Disamping itu, inipun sangat sensitif dalam mengukur keefektifan  suatu kegiatan intervensi yang dilakukan dalam penanggulangan masalah gizi.  Sedangkan untuk status gizi bumil/bufas digunakan hasil pengukuran LILA  (Thaha, 2003). 

Dalam penelitian status gizi, khususnya untuk keperluan klasifikasi 


(40)

digunakan adalah baku Havard (1959), baik untuk BB maupun untuk TB. Pada  tahun 1979, WHO mempublikasikan baku antropometri yang dikenal sebagai  baku WHO NHCS dan dipublikasi ulang pada tahun 1983. Biro Pusat Statistik  (BPS)  dalam  menilai  status  gizi  yang  dikelola  oleh  Direktorat  Bina  Gizi 

Masyarakat  menggunakan  WHO.  Pada  prinsipnya  penggunaan  jenis  baku 

antropometri di suatu negara didasari atas kesepakatan bersama antar ahli 

dibidang ini, dengan melakukan penyesuaian penyesuaian seperlunya menurut 

kondisi  di  negara  yang  bersangkutan.  Demikian  pula  di  Indonesia,  baku  antropometri yang digunakan selama ini (baku havard) didasarkan atas suatu  kesepakatan dalam lokakarya antropometri gizi tahun 1975.      Untuk  klasifikasi status gizi berdasarkan baku antropometri perlu adanya batasan batasan (cut off point) tertentu. 

Berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi pada bulan Mei tahun 2000  di Semarang mengenai standar baku nasional di Indonesia (Depkes RI, 2002)  disepakati batas ambang dan istilah status gizi untuk indeks BB/U, TB/U, dan  BB/TB, yaitu: 

(a) Indeks BB/U 

a.  Gizi lebih, bila nilai Z terletak > +2 SD 

b.  Gizi baik, bila nilai Z terletak   2 SD s/d +2 SD  c.  Gizi kurang, bila nilai Z terletak < 2 SD s/d   3 SD  d.  Gizi buruk, bila nilai Z terletak < 3 SD 


(41)

a.  Normal, bila nilai Z terletak   2 SD  b.  Pendek, bila nilai Z terletak < 2 SD  (c) Indeks BB/TB 

a.  Gemuk, bila nilai Z terletak > +2 SD 

b  Normal, bila nilai Z terletak   2 SD s/d +2 SD  c.  Kurus, bila nilai Z terletak < 2 SD s/d   3 SD  d.  Sangat kurus, bila nilai Z terletak < 3 SD   

     

2.4 Vitamin A 

2.4.1 Pengertian Vitamin A 

Vitamin A adalah bahan gizi esensial dan kekurangannya dihubungkan dengan rabun senja, kekebalan yang lemah, infeksi dan ketahanan hidup yang lebih rendah pada anak di atas usia enam bulan. Tambahan vitamin A secara berkala pada anak berusia di atas enam bulan diusulkan dan diterapkan oleh lebih dari 70 negara dan dianggap sangat bermanfaat dan hemat biaya (Theo Smart, 2006)

Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare dan penyakit infeksi lain) (Arali, 2008)


(42)

Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya disebut Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan per hari 400 µg retinol untuk anak-anak dan dewasa 500 µg retinol. Sumbernya ada yang hewani sebagai retinol dan ada juga dari nabati sebagai pro vitamin A sebagai karotin nanti dalam usus dengan bantuan tirosin baru dikonversi menjadi retinol. Larut dalam lemak tidak larut dalam air (Arali, 2008)

Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai aktivitas biologic sebagai retinol. Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata, vitamin A juga secara umum penting dalam kelangsungan hidup manusia. (Abdi, 2007)

Hasil kajian berbagai studi menyatakan bahwa Vitamin A merupakan zat gizi yang esensial bagi manusia, karena zat gizi ini sangat penting dan konsumsi makanan kita cenderung belum mencukupi dan masih rendah sehingga harus dipenuhi dari luar. Adapun kebutuhan Vitamin A untuk anak balita usia 7 – 36 bulan adalah 1320 SI (400 RE) dan usia 4 -6 tahun adalah 1485 SI (450 RE), sedangkan Sumber Vitamin A selain dari bahan makanan alami juga dari Suplemen kapsul Vitamin A dosis tinggi (Depkes RI, 2005).


(43)

    Kebutuhan vitamin A perhari yang dianjurkan perhari berbeda setiap kelompok  umur, seperti pada Tabel 2.1.  

Tabel 2.1. Kebutuhan Vitamin A Per hari 

Angka Kecukupan Yang Dianjurkan  Golongan Umur 

Retinol Equivalen (RE)  Satuan International (SI)  Anak 

1) 0 – 6 Bulan  2) 7 – 36 Bulan   3) 4 – 6 Tahun  4) 7 – 9 Tahun 

  375  400  450  500    1237,5  1320  1485  1650  Wanita 

1) 10 – 18 tahun   2) 19 – 65+ tahun 

  600  500    1980  1650 

Ibu Hamil  800  2640 

Ibu Nifas/menyusui  850  2805 

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII,2004 

    Menurut Depkes RI, 2005, sumber vitamin A dapat bersumber dari makanan 

ataupun suplemen vitamin A. Berikut ini dapat dijabarkan sumber sumber  vitamin A selain dari kapsul vitamin A, yaitu: 

1. Air Susu Ibu  

2. Bahan Makanan Hewani seperti hati, kuning telur, daging, ayam dan bebek. 

3. Buah buahan berwarna kuning dan jingga seperti pepaya, mangga masak, alpukat,  jambu biji merah dan pisang 

4. Sayuran berwarna hijau tua  dan warna jingga  seperti bayam, daun singkong,  kangkung, daun katuk, daun kelor, labu kuning, tomat dan wortel. 


(44)

  Selain itu menurut Almatsier (2000) sumber vitamin A terdapat di dalam pangan  hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin  A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega.  

    Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah buahan  yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, 

bayam,  kacang  panjang,  buncis,  wortel,  tomat,  jagung  kuning,  pepaya, 

mangga, nangka masak dan jeruk, sedangkan minyak kelapa sawit yang kaya  karoten adalah minyak kelapa sawit berwarna merah. Kandungan vitamin A  beberapa bahan makanan yang dinyatakan dalam retinol ekivalen dapat dilihat  pada Tabel 2.2. 

     

Tabel 2.2. Nilai Vitamin A Berbagai Bahan Makanan (RE  /100 g) 

Bahan Makanan  RE  Bahan Makanan  RE 

1. Hati Sapi  13170  1. Daun Katuk  3111 

2. Kuning Telur Bebek  861  2. Sawi  1940 

3. Kuning Telur Ayam  600  3. Kangkung  1890 

4. Ayam   243  4. Bayam  1827 

5. Ginjal  345  5. Ubi Jalar Merah  2310 

6. Ikan Sarden (kaleng)  250  6. Mentega  1287 

7. Minyak Ikan   24000  7. Margarin  600 

8. Minyak Kepala Sawit  18000  8. Susu Bubuk "Full Cream"  471 

9. Minyak Hati Ikan Hiu  2100  9. Keju  225 

10.10.Wortel  3600  10.Susu Kental Manis  153 

11.Daun Singkong  3300  11.Susu Segar  39 

12.Daun Pepaya  5475  12.Mangga Masak Pohon  1900 

13.Daun Lamtoro  5340  13.Pisang Raja  285 


(45)

15.Daun Melinjo  3000  15.Semangka  177  Sumber : Almatsier, 2000. 

    Selanjutnya Depkes RI (2005) merekomendasikan sumber vitamin A dari pangan 

nabati, hewani, buahan dan makanan olahan, seperti pada Tabel 2.3.  Tabel 2.3. Komposisi Gizi Makanan Sumber Vitamin A 

     

A. SERELIA      E. BUAHAN     

Jagung Kuning    641  Apel    2240 

B. UMBIAN       Buah Negeri    460 

Ubi Kuning    794  Kesemek  418   

Ubi Kuning Kukus  550    Mangga  304  316 

Ubi Jalar Merah  592    Mangga Gadung  304   

Ubi Rambat Merah  1467    Mangga Gedong Dong  545   

C.UMBIAN DAN BIJIAN  1467    Mangga Indramayu  275   

Kacang Ercis    212  Mangga Kopek  304   

Kacang Merah    137  Mangga Kwini    932 

D.SAYURAN      Pepaya  148   

Bakung    1080  Pisang Hijau    1000 

Bayam  640    Pisang Kepok    792 

Bayam Keripik Goreng  500    Pisang Raja Sereh    480 

Bayam Merah  1055  7325  Pisang Talas    159 

Buntil Daun Talas  1559    Sowa    364 

Tabel 2.3. Lanjutan 

      Re

ti

n

o

l

 

Caisin  390  218,4  Sukun    4896 

Daun Genjer  390    F.DAGING DAN UNGGAS   

Daun Jambu Biji  608    Daging Ayam  278   

Daun Jambu Mete  608    Daging Bebek  309   

Daun Kacang Panjang  608    Ginjal Domba  358   

Daun Kasbi Kare    9999  Ginjal Sapi  358   

Daun Katuk  1889    Hati Ayam  2862   

Daun Kecipir  608    Hati Sapi  4672   

Daun Kelor  608  3266  Sosis Hati  1200   

Daun Kemangi  390    G.IKAN   

Daun Kubis    9999  Baronang  732   

Daun Leilem    753  Cakalang  36   


(46)

Daun Mangkokan  384    Gabus  335   

Daun Melinjo  289    Kawalinya  146   

Daun Mengkudu Kudus  630    Kima  401   

Daun Pakis      Lehoma  1047   

Daun Pangi    191,2  Malalugis  661   

Daun Pare  258  5409  Ranjungan  599   

Daun Pepaya  992  1800  Sarden  1995   

Daun randamidang  529    Sunu  309   

Daun Selasih    4112  Titang  581   

Daun Singkong  1776  7917  Tongkol  181   

Daun Talas  1559    H.TELUR   

Daun Ubi    3564  Telur Ayam Kampung    203 

Gandaria  306    Telur Ayam (kuning)  686   

Kacang Panjang    125,2  Telur Ayam/puyuh  270   

Kangkung  492  2741  Telur Bebek (kuning)  984   

Kol Cina  390    Telur Burung Maleo  3987   

Labu Kuning  542  1569  Telur Ikan Asin    612 

Pak Soy  390    I.HASIL OLAHAN   

Putri Malu    4762  Kepala Susu  285   

Ranti Muda  385    Mentega  1131   

Rumput Laut    1958  Minyak Ikan  24889   

Sawi  390    Minyak Kelapa Sawit  8000   

Sawi Tanah    815  Tepung Ikan  325   

Sawi Taiwan    1340  Tepung Susu  538   

Semanggi  374         

Terong Hintalo    551,9       

Wortel  1000            

Sumber : Depkes, 2005  

 

2.4.3 Fungsi Vitamin A  (1) Penglihatan 

  Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Di dalam 

mata retinol, bentuk vitamin A yang di dapat dari darah, diksidasi menjadi 

retinal. Retinal kemudian mengikat protein opsin dan membentuk pigmen 

visual merah ungu (visual purple) atau rodopsin. Rodopsin ada di dalam sel  khusus di dalam retina mata yang dinamakan rod. Bila cahaya mengenai retina,  pigmen visual merah ungu ini berubah menjadi kuning dan retinal dipisahkan 


(47)

dari opsin. Pada saat itu, rangsangan elektrokimia yang merambat sepanjang  saraf mata ke otak yang menyebabkan terjadinya suatu bayangan visual.  Selama proses ini, sebagian dari vitamin A dipisahkan dari protein dan diubah  menjadi retinol. Sebagian besar retinol ini diubah kembali menjadi retinal,  yang kemudian proses ini dan harus diganti oleh darah. Jumlah retinol yang 

tersedia  di  dalam  darah  menentukan  kecepatan  pembentukkan  kembali 

rodopsin yang kemudian bertindak kembali sebagai reseptor di dalam retina.  Penglihatan dengan cahaya samar samar/buram baru bisa terjadi bila seluruh  siklus ini selesai (Gambar 2.2.) 

(2) Deferensiasi Sel 

  Deferensiasi sel terjadi bila sel sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat 

atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu  karakteristik vitamin A yang dapat terjadi pada tiap tahap perkembangan  tubuh, seperti pada tahap pembentukan sperma dan sel telur, pembuahan, 

pembentukan struktur  dan organ tubuh, pertumbuan dan  perkembangan 

janain, masa bayi, anak anak, dewasa dan masa tua. Diduga vitamin A dalam  bentuk asam retinoat, memegang  peranan aktif  dalam  kegiatan  inti sel, 

dengan demikian dalam pengaturan faktor penentuan keturunan/gen yang 

berpengaruh terhadap sintesis protein. Pada deferensiasi sel terjadi perubahan 

dalam  bentuk  dan  fungsi  sel  yang  dapat  dikaitkan  dengan  perubahan 


(48)

deferensiasi adalah sel sel epitel khusus, terutama sel sel goblet, yaitu sel  kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. 

 

 

O2  Retinol atau Vitamin A 

alkohol 

Retinol  (dalam retina) 

Retinalladehida

Opsin   (protein) 

Rodopsin 

(pigmen dalam rod retina)  Dikeluarkan dalam Jumlah 

Kecil 

Cahaya  

               

Gambar. 2.2. Peranan Vitamin A dalam Penyesuaian Cahaya Remang 

  Sumber : Khomsan, 2004   

  Semua permukaan tubuh di luar dan di dalam oleh sel sel epitel. Jaringan 

epitel yang menutupi tubuh di luar dinamakan epidermis, sedangkan yang 

menutupi bagian dalam dinamakanm membran mukosa, yaitu yang menutupi 

permukaan dalam saluran cerna, saluran pernfasan, kantung kemih, atau 

uretra, uterus dan vagina, kelopak mata, saluran sinus, dan sebagainya. Mukus  melindungi sel sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang 


(49)

lambung dari cairan lambung. Di bagian atas saluran pernafasan sel sel epitel  secara terus menerus menyapu mukus ke luar, sehingga benda asing yang  mungkin masuk akan terbawa ke luar. Bila terjadi infeksi, sel goblet akan 

mengeluarkan  lebih  banyak  mukus  yang  mempercepat  pengeluaran 

mikroorganisme tersebut. Kekurangan vitamin A menghalangi fungsi sel sel  kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel sel epitel bersisik  dan kering (keratinized). Kulit menjadi kering dan kasar dan luka sukar sembuh. 

Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna, 

sehingga  mudah terserang bakteri  (infeksi).  Keratinisasi konjungtiva mata  (selaput yang melapisi kelopak dan bola mata). Merupakan salah satu tanda  khas kekurangan vitamin A. Peranan vitamin A diduga berkaitan dengan dua  hal: (a) peranan vitamin A dalam sintesis glikoprotein, (b) komplkes vitamin A CRP masuk ke daam nukleues sel sehingga mempengaruhi DNA. 

(3) Fungsi kekebalan 

  Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh manusia dan hewan. 

Mekanisme  sebenarnya  belum  diketahui secara  pasti. Retinol  tampaknya 

berpengaruh  terhadap pertumbuhan dan deferensiasi limfosit B (leukosit yang  berperan dalam proses kekebalan humoral). Disamping itu kekurangan vitamin  A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T (limfosit yang 

berperan pada kekebalan selular). Sebaliknya infeksi dapat memperburuk 


(50)

  Dalam kaitannya vitamin A dan fungsi kekebalan ditemukan bahwa (1) ada  hubungan kuat antara status vitamin A dan risiko terhadap penyakit infeksi  pernafasan, (2) hubungan antara kekurangan vitamin A dan diare belum begitu 

jelas,  (3)  kekurangan  vitamin  A  pada  campak  cenderung  menimbulkan 

komplikasi yang dapat berakibat pada kematian. 

    Bila  vitamin  A  kurang,  maka  fungsi  kekebalan  tubuh  menjadi  menurun, 

sehingga mudah terserang infeksi. Disamping itu lapisan sel yang menutupi 

trakea  dan  paru paru  mengalami  keratinisasi,  tidak  mengeluarkan  lender 

sehingga  mudah  dimasuki  mikroorganisme  penyebab  infeksi  saluran 

pernapasan. Bila terjadi pada permukaan  usus halus dapat terjadi diare. 

Perubahan pada permukaan saluran kemih dan kelamin dapat menimbulkan 

infeksi pada ginjal dan kantong kemih. Pada anak anak dapat menyebabkan 

komplikasi pada campak yang dapat  mengakibatkan kematian. Vitamin A 

adalah vitamin yang dapat dipecahkan lemak dengan empat fungsi utama pada  tubuh:  

1. Vitamin A membantu sel bereproduksi secara normal, sebuah proses yang disebut diferensiasi. Sel-sel yang tidak berdiferensiasi dengan seharusnya bisa berubah menjadi pra-kanker.

2. Vitamin A diperlukan untuk penglihatan. Vitamin A menjaga kesehatan sel pada berbagai macam struktur mata dan diperlukan untuk transfer cahaya menjadi tanda-tanda syaraf di retina.


(51)

3. Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pengembangan embrio dan janin, memengaruhi gen yang menentukan rangkaian perkembangan organ-organ pada perkembangan embrio.

4. Vitamin A diperlukan untuk fungsi reproduksi normal, dengan pengaruh pada fungsi dan pembentukan sperma, indung telur dan plasenta.

Vitamin A telah diketahui dapat melindungi timbulnya komplikasi berat pada penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak seperti campak dan diare, dan juga berfungsi melindungi mata dari Xeropthalmia dan buta senja.

(4) Pertumbuhan dan perkembangan 

  Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein dengan demikian terhadap 

pertumbuhan sel. Vitamin A dibutukan untuk perkembangan tulang dan sel 

epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan 

vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. 

Bila hewan percobaan diberi makanan yang mengandung vitamin A, maka 

akan terganggu setelah simpanan vitamin A dalam tubuh habis. Pada anak

anak  yang  kekurangan  vitamin A,  terjadi  kegagalan  dalam  pertumbuhan. 

Vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat.  (5) Reproduksi 

  Vitamin A dalam  bentuk retinol dan retinal berperan dalam reproduksi pada 

tikus. Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur 

dan perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A dalam 


(52)

akan  tetapi  mengalami  keguguran  atau  kesukaran  dalam  melahirkan,  kebutuhan vitamin A selama hamil meningkat untuk kebutuhan jasad dan  persiapan induk untuk menyusui. 

(6) Pencegahan kanker dan penyakit jantung 

  Kemampuan  retinoid  mempengaruhi  perkembangan  sel  epitel  dan 

kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh 

dalam pencegahan kanker, terutama kanker kulit, tenggorokan, paru paru, 

peyudara  dan  kantung kemih. Disamping itu  beta karoten yang  bersama 

vitamin E dan C berperan sebagai antioksidan diduga dapat mencegah kanker 

paru. Penelitian penelitian menunjukkan bahwa vitamin A berperan dalam 

pencegahan dan penyembuhan penyakit jantung. 

  Selain itu vitamin A dapat menyebabkan kekurangan nafsu makan. Hal ini 

mungkin disebabkan oleh perubahan jonjot rasa pada lidah. Vitamin A juga  berperan dalam pembentukan sel darah meran, kemungkinan melalui interaksi  dengan besi. 

 

2.5 Kekurangan dan Kelebihan Vitamin A 2.5.1 Kekurangan Vitamin A

Kekurangan vitamin A banyak ditemukan di beberapa daerah seperti Asia Tenggara, dimana padi yang digiling menjadi beras (yang mengandung sedikit vitamin A) merupakan makanan pokok. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kemampuan usus dalam menyerap lemak dan vitamin yang larut dalam lemak,


(53)

meningkatkan resiko terjadinya kekurangan vitamin A. Penyakit tersebut adalah: (1) Penyakit Seliak, (2) Fibrosa kistik, dan (3) Penyumbatan saluran empedu.

Gejala pertama dari kekurangan vitamin A biasanya adalah rabun senja. Kemudian akan timbul pengendapan berbusa (bintik Bitot) dalam bagian putih mata

(sklera) dan kornea bisa mengeras dan membentuk jaringan parut (xeroftalmia), yang

bisa menyebabkan kebutaan yang menetap.

Malnutrisi pada masa balita (marasmus dan kwashiorkor), sering disertai

dengan xeroftalmia; bukan karena kurangnya vitamin A dalam makanan, tetapi juga

karena kekurangan kalori dan protein menghambat pengangkutan vitamin A. Kulit dan lapisan paru-paru, usus dan saluran kemih bisa mengeras. Kekurangan vitamin A juga menyebabkan peradangan kulit (dermatitis) dan meningkatkan kemungkinan

terkena infeksi.

Pada kekurangan vitamin A, kadar vitamin A dalam darah menurun sampai kurang dari 15 mikrogram/100 mL (kadar normal 20-50 mikrogram/100 mL). Kekurangan vitamin A diobati dengan pemberian vitamin A tambahan sebanyak 20 kali dosis harian yang dianjurkan selama 3 hari. Kemudian diikuti dengan pemberian sebanyak 3 kali dosis harian yang dianjurkan selama 1 bulan. Setelah itu diharapkan semua gejala sudah hilang. Penderita yang gejala-gejalanya tidak hilang dalam 2 bulan setelah pengobatan, harus segera dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan adanya malnutrisi.


(54)

Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan keracunanan, baik itu terjadi pada satu kali pemberian (keracunan akut) ataupun dalam jangka waktu lama (keracunan kronis).

(a) Keracunan Akut

Keracunan akut vitamin A disebabkan oleh kelebihan mengkonsumsi vitamin A yang ditandai oleh mudah mengantuk, mudah tersinggung, sakit kepala dan muntah dalam beberapa jam. Tablet yang mengandung vitamin A sebanyak 20 kali dosis harian yang dianjurkan, yang digunakan untuk pencegahan dan meringankan penyakit kulit, kadang menyebabkan gejala serupa, bahkan jika diminum sesuai petunjuk.

(b) Keracunan Kronis

Keracunan kronis pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa biasanya merupakan akibat mengkonsumsi vitamin A dosis besar (10 kali dosis harian yang dianjurkan) selama berbulan-bulan. Keracunan vitamin A dapat terjadi pada bayi dalam beberapa minggu. Gejala awal dari keracunan kronis adalah : (a) rambut yang jarang dan kasar, (b) kerontokan pada sebagian bulu mata, (c) bibir yang pecah-pecah, dan (d) kulit yang kering dan kasar, serta (e) sakit kepala hebat, peningkatan tekanan dalam otak dan kelemahan umum terjadi kemudian. Selain itu bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi isotretinoin (vitamin A buatan yang digunakan untuk

mengobati kelainan kulit) selama kehamilan bisa memiliki cacat lahir.

Diagnosa keracunan vitamin A ditegakkan berdasarkan gejala dan tingginya kadar vitamin A dalam darah. Gejala akan menghilang dalam 4 minggu setelah penghentikan pemakaian vitamin A tambahan. Beta-karoten terdapat dalam sayuran


(55)

seperti wortel, diubah secara perlahan oleh tubuh menjadi vitamin A dan dapat dikonsumsi dalam jumlah besar tanpa menyebabkan keracunan (Anonim, 2008)

2.6 Metabolisme Vitamin A

Metabolisme vitamin A pada prinsipnya relatif sama dengan metabolisme lemak. Pencernaan dan absorbsi karoten dan retinoid membutuhkan empedu dan enzim pankreas. Metabolisme vitamin A diawali dari campuran ester retinil yang bersumber dari makanan bersama dengan lipida lain di dalam lambung, kemudian ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol, sedangkan dari sebagian karotenoid terutama beta karoten didalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol.

Retinol dalam mukosa usus halus bereaksi dengan asam lemak dan membentuk ester dan dengan bantuan cairan empedu menyebrangi sel-sel vili dinding usus halus dan diangkut oleh kilomiron melalui sistem limfe ke dalam aliran darh menuju ke hati. Hati berperan tempat menyimpan vitamin A utama di dalam tubuh. Cadangan vitamin A dalam keadaan normal bertahan hingga enam bulan. Bila tubuh mengalami kekurangansebagian kecil vitamin A, asam retinoat diabsorbsi tanpa perubahan. Vitamin A akan dimobilisasi dari dalam hati bila tubuh memerlukan dalam bentuk retinol yang diangkut oleh Retino Binding-Protein (RBP) yang

disentesis di dalam hati. Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh tergantung pada reseptor pad apermukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui membran sel kemudian diikat pada Cellular Retinol Biding-Protein


(56)

(CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan. Di dalam sel mata retinol berfungsi sebagai retinal dan di dalam sel epitel sebagai asam retinoat.

Secara skematis metabolisme vitamin A atau alur tanport vitamin A dapat dilihat pada Gambar 2.3:

Ester Retinil (makanan) 

ß Karoten (makanan) 

Retinol Ester Retinil

Kilomikron  

ß lipoprotein(limfe) 

Ester Retinil RBP Prealbumin 

(darah ) Sel RBP  

Reseptor permukaan 

(sel sasaran) 

Retinal   (mata) 

Asam reinoat  (sel epitel) 

Retinal   (usus halus) 

Gambar 2.3. Alur Tranpor Vitamin A di Dalam Tubuh Sumber: Almatsier, 2002

2.7 Pemberian (suplementasi) Vitamin A

Suplementasi pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi merupakan program jangka pendek. Prioritas program pemberian kapsul vitamin A adalah wilayah dengan (1) prevalensi KEP tinggi, (2) cakupan imunisasi rendah, (3) cakupan pemberian ASI Ekslusif rendah, (4) Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak, ISPA, dan diare tinggi, (5) Keluarga miskin, dan (6) konsumsi sumber vitamin A rendah. Dalam program


(1)

ANALISIS

 

BIVARIAT

 

 

Crosstabs

Suplemen Vitamin A * Status Kesehatan Balita

Crosstab

144 25 169

83.2% 48.1% 75.1% 64.0% 11.1% 75.1%

29 27 56

16.8% 51.9% 24.9% 12.9% 12.0% 24.9%

173 52 225

100.0% 100.0% 100.0% 76.9% 23.1% 100.0% Count

% within Status Kesehatan Balita % of Total Count

% within Status Kesehatan Balita % of Total Count

% within Status Kesehatan Balita % of Total Tidak Baik

Baik Suplemen

Vitamin A

Total

Tidak Baik Baik Status Kesehatan

Balita

Total

Chi-Square Tests

26.440b 1 .000

24.592 1 .000

24.060 1 .000

.000 .000

26.322 1 .000

225 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.94.

b.

Risk Estimate

5.363 2.732 10.528

1.645 1.268 2.135

.307 .195 .482

225 Odds Ratio for

Suplemen Vitamin A (Tidak Baik / Baik) For cohort Status Kesehatan Balita = Tidak Baik For cohort Status Kesehatan Balita = Baik N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval


(2)

Konsumsi Vitamin A * Status Kesehatan Balita

Crosstab

148 18 166

85.5% 34.6% 73.8%

65.8% 8.0% 73.8%

25 34 59

14.5% 65.4% 26.2%

11.1% 15.1% 26.2%

173 52 225

100.0% 100.0% 100.0%

76.9% 23.1% 100.0%

Count

% within Status Kesehatan Balita % of Total Count

% within Status Kesehatan Balita % of Total Count

% within Status Kesehatan Balita % of Total Tidak Cukup

Cukup Konsumsi

Vitamin A

Total

Tidak Baik Baik Status Kesehatan

Balita

Total

Chi-Square Tests

53.615b 1 .000

51.014 1 .000

48.912 1 .000

.000 .000

53.376 1 .000

225 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.64.

b.

Risk Estimate

11.182 5.490 22.775

2.104 1.555 2.847

.188 .116 .307

225 Odds Ratio for

Konsumsi Vitamin A (Tidak Cukup / Cukup) For cohort Status Kesehatan Balita = Tidak Baik

For cohort Status Kesehatan Balita = Baik N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval


(3)

Crosstabs

Umur Balita * Suplemen Vitamin A Crosstabulation

46 15 61

75.4% 24.6% 100.0%

20.4% 6.7% 27.1%

58 14 72

80.6% 19.4% 100.0%

25.8% 6.2% 32.0%

32 17 49

65.3% 34.7% 100.0%

14.2% 7.6% 21.8%

33 10 43

76.7% 23.3% 100.0%

14.7% 4.4% 19.1%

169 56 225

75.1% 24.9% 100.0%

75.1% 24.9% 100.0%

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

12 - 23 Bulan

24 - 35 Bulan

36 - 47 Bulan

48 - 60 Bulan Umur

Balita

Total

Tidak Baik Baik Suplemen Vitamin A

Total

Umur Balita * Konsumsi Pangan Sumber Vit A Crosstabulation

40 21 61

65.6% 34.4% 100.0%

17.8% 9.3% 27.1%

42 30 72

58.3% 41.7% 100.0%

18.7% 13.3% 32.0%

23 26 49

46.9% 53.1% 100.0%

10.2% 11.6% 21.8%

24 19 43

55.8% 44.2% 100.0%

10.7% 8.4% 19.1%

129 96 225

57.3% 42.7% 100.0%

57.3% 42.7% 100.0%

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

12 - 23 Bulan

24 - 35 Bulan

36 - 47 Bulan

48 - 60 Bulan Umur

Balita

Total

Tidak Baik Baik Konsumsi Pangan

Sumber Vit A


(4)

Umur Balita * Konsumsi Vitamin A Crosstabulation

48 13 61

78.7% 21.3% 100.0%

21.3% 5.8% 27.1%

55 17 72

76.4% 23.6% 100.0%

24.4% 7.6% 32.0%

30 19 49

61.2% 38.8% 100.0%

13.3% 8.4% 21.8%

33 10 43

76.7% 23.3% 100.0%

14.7% 4.4% 19.1%

166 59 225

73.8% 26.2% 100.0%

73.8% 26.2% 100.0%

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

12 - 23 Bulan

24 - 35 Bulan

36 - 47 Bulan

48 - 60 Bulan Umur

Balita

Total

Tidak Cukup Cukup Konsumsi Vitamin A

Total

Umur Balita * Status Kesehatan Balita Crosstabulation

50 11 61

82.0% 18.0% 100.0%

22.2% 4.9% 27.1%

52 20 72

72.2% 27.8% 100.0%

23.1% 8.9% 32.0%

33 16 49

67.3% 32.7% 100.0%

14.7% 7.1% 21.8%

38 5 43

88.4% 11.6% 100.0%

16.9% 2.2% 19.1%

173 52 225

76.9% 23.1% 100.0%

76.9% 23.1% 100.0%

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

12 - 23 Bulan

24 - 35 Bulan

36 - 47 Bulan

48 - 60 Bulan Umur

Balita

Total

Tidak Baik Baik Status Kesehatan

Balita


(5)

Umur Balita * Status Gizi Balita Crosstabulation

21 31 9 61

34.4% 50.8% 14.8% 100.0%

9.3% 13.8% 4.0% 27.1%

16 36 20 72

22.2% 50.0% 27.8% 100.0%

7.1% 16.0% 8.9% 32.0%

9 24 16 49

18.4% 49.0% 32.7% 100.0%

4.0% 10.7% 7.1% 21.8%

16 20 7 43

37.2% 46.5% 16.3% 100.0%

7.1% 8.9% 3.1% 19.1%

62 111 52 225

27.6% 49.3% 23.1% 100.0%

27.6% 49.3% 23.1% 100.0%

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

Count

% within Umur Balita % of Total

12 - 23 Bulan

24 - 35 Bulan

36 - 47 Bulan

48 - 60 Bulan Umur

Balita

Total

Buruk Kurang Baik

Status Gizi Balita

Total

 

Status Gizi Balita * Suplemen Vitamin A

Crosstab

55 7 62

88.7% 11.3% 100.0% 32.5% 12.5% 27.6% 24.4% 3.1% 27.6%

90 21 111

81.1% 18.9% 100.0% 53.3% 37.5% 49.3% 40.0% 9.3% 49.3%

24 28 52

46.2% 53.8% 100.0% 14.2% 50.0% 23.1% 10.7% 12.4% 23.1%

169 56 225

75.1% 24.9% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 75.1% 24.9% 100.0% Count

% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A

% of Total Count

% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A

% of Total Count

% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A

% of Total Count

% within Status Gizi Balita % within Suplemen Vitamin A

% of Total Buruk

Kurang

Baik Status

Gizi Balita

Total

Tidak Baik Baik Suplemen Vitamin A


(6)

Status Gizi Balita * Konsumsi Vitamin A

Crosstab

56 6 62

90.3% 9.7% 100.0%

33.7% 10.2% 27.6%

24.9% 2.7% 27.6%

92 19 111

82.9% 17.1% 100.0%

55.4% 32.2% 49.3%

40.9% 8.4% 49.3%

18 34 52

34.6% 65.4% 100.0%

10.8% 57.6% 23.1%

8.0% 15.1% 23.1%

166 59 225

73.8% 26.2% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

73.8% 26.2% 100.0%

Count

% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A

% of Total Count

% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A

% of Total Count

% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A

% of Total Count

% within Status Gizi Balita % within Konsumsi Vitamin A

% of Total Buruk

Kurang

Baik Status

Gizi Balita

Total

Tidak Cukup Cukup Konsumsi Vitamin A

Total


Dokumen yang terkait

Gambaran Status Gizi Anak Balita di Tinjau Dari Pola Pengasuhan Pada Ibu Pekerja dan Bukan Pekerja di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak Tahun 2000

0 44 68

Gambaran Epidemiologi Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggoe Aceh Darussalam Tahun 2003

3 24 83

Studi Analisis Keadaan Rumah Ibu Balita, Kebiasaan Makan Balita, Status Gizi Balita dan Status Kesehatan Balita di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor

0 3 85

Asupan Vitamin A, Status Vitamin A, dan Status Gizi Anak SD di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor

0 8 45

ANALISIS KELAYAKAN USAHA POPCORN DI GAMPONG GEULUMPANG PAYONG KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN

0 0 8

HUBUNGAN PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN IBU TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA PULO ARA KECAMATAN KOTA JUANG KABUPATEN BIREUEN

0 0 5

HUBUNGAN PENERAPAN TOILET TRAINING TERHADAP KEMANDIRIAN ANAK USIA 4-6 TAHUN DI TK SIRAJUL HUDA KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN

0 1 5

STRATEGI PEMASARAN KERAJINAN SANGKAR BURUNG DI GAMPONG GEDONG TAMPUNG KECAMATAN JEUMPA KABUPATEN BIREUEN Tutia Rahmi

1 5 11

DAMPAK FORTIFIKASI MIE INSTAN DENGAN VITAMIN A DAN ZAT RESl TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS BESI ANAK BALITA ABSTRAK - DAMPAK FORTIFIKASI MIE INSTAN DENGAN VITAMIN A DAN ZAT BESI TERHADAP STATUS VITAMIN A DAN STATUS BESI ANAK BALITA

0 0 11

1 HUBUNGAN STATUS GIZI DAN VITAMIN A DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS PIYUNGAN BANTUL NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN STATUS GIZI DAN VITAMIN A DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS PIYUNGAN BANTUL - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 12