Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia

 
 

KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera
tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI
INDONESIA

ANDI EKA PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

 
 

ABSTRAK
ANDI EKA PUTRA. Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia. Dibimbing oleh LIGAYA
ITA TUMBELAKA.

Harimau Sumatera merupakan satu-satunya subspesies dari Panthera tigris
yang masih ada di Indonesia. Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh CITES ke
dalam Appendix I critically endangered oleh IUCN.  Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui pola reproduksi khususnya musim kawin harimau Sumatera yang
berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi di Indonesia. Data didapatkan
melalui penelusuran daya reproduksi harimau Sumatera berdasarkan studbook
harimau Sumatera regional dan internasional tahun 2004-2010. Data dianalisis
secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah anak per kelahiran,
musim kawin dan masa produktif. Bulan perkawinan dapat ditentukan
berdasarkan bulan terjadinya kelahiran. Penghitungan bulan perkawinan
didapatkan dengan cara mengurangi tanggal kelahiran anak dengan rataan lama
kebuntingan harimau yang berkisar antara 95 sampai 110 hari atau lebih kurang
tiga bulan. Hasil penelusuran dari studbook didapatkan bahwa perkawinan
harimau Sumatera merata setiap bulan dalam satu tahun sehingga pada harimau
Sumatera yang hidup di lembaga konservasi di Indonesia tidak mempunyai musim
kawin.
Kata kunci: Harimau sumatera, studbook, musim kawin

 
 


ABSTRACT
ANDI EKA PUTRA. Study of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae)
Breeding Season in Conservation Institution in Indonesia. Under the advisory of
LIGAYA ITA TUMBELAKA.
The aim of the study is to find out the reproduction pattern especially
breeding season of sumateran tiger in ex-situ habitat or conservation institution
(zoo and safari park) in Indonesia. The reproductive data were obtained from
sumateran tiger regional and international studbook 2004-2010. The time of
breeding were decided from the time of birth subtracted by the number of average
pregnancy duration that range from 95 to 110 days or three months. The result of
this study showed that sumateran tiger breed throughout the year; therefore, the
sumatran tiger in conservation institution in Indonesia are non-seasonal breederr.
Keywords: sumatran tiger, studbook, breeding season.

 
 

KAJIAN MUSIM KAWIN HARIMAU SUMATERA (Panthera
tigris sumatrae) PADA LEMBAGA KONSERVASI DI

INDONESIA

ANDI EKA PUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

 
 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Musim Kawin Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia

adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Andi Eka Putra
NIM B04070078

 
 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

 
 

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae) pada Lembaga Konservasi di Indonesia
: Andi Eka Putra
: B04070078

Disetujui :

Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc
Pembimbing


Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:

 
 

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah,
rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan, skripsi dengan judul Kajian Musim
Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Lembaga Konservasi
di Indonesia dapat diselesaikan. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat
memberikan informasi berharga mengenai musim kawin harimau Sumatera serta
usaha-usaha

yang


dapat

dilakukan

untuk

meningkatkan

kemampuan

reproduksinya.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan
seluruh pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada
1

Allah SWT.

2


Ibunda Armilis Tin, ayahanda Margusnil Tangiran, kakanda Mera
Oktaviyanti dan Meri Oktaviyanti serta adinda Riska Amelia atas doa,
kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan sampai saat ini.

3

Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc selaku pembimbing dalam
kajian ini.

4

Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku pembimbing akademik.

5

Sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungan (Dian, Sandra, Arni,
Dara, Nisa, Inez, Niken, Yayan).

6


Rekan-rekan Gianuzzi 44 dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar atas
pengalaman dan pelajaran yang diberikan hingga saat ini.

7

Seluruh pihak yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi
(Febby, Wulan, Ati, Caca, Madu, Adek, Rendy).
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi civitas akademika maupun seluruh pembaca lainnya.

Bogor, Agustus 2011

Andi Eka Putra
NIM B04070078

 
 


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 22 Februari
1989 dari ayah Margusnil Tangiran dan ibunda Armilis Tin. Penulis merupakan
anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan mulai dari SDN 19 Padang
Magek Selatan pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1
Rambatan dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan
pendidikan pada SMAN 3 Batusangkar dan pada tahun yang sama diterima
sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada
jurusan Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan
organisasi di dalam kampus. Organisasi dalam kampus yang diikuti oleh penulis
yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa kabinet Sinergis sebagai staf divisi PSDM
(2008-2009) Himpunan Minat Profesi Satwa Liar sebagai kadiv Internal (20092010), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (imakahi) sebagai anggota
divisi Kajian Strategi (2009-2010), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang
FKH IPB dan Ikatan Mahasiswa Serambi Mekah-Pagaruyung. Selama masa
perkuliahan penulis pernah memperoleh penghargaan sebagai Runner up Duta
Lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 2010. Penulis juga
pernah menjadi panitia South East Asia Veterinary School Association

(SEAVSA).

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................

Halaman
i

DAFTAR TABEL .........................................................................................

ii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

iii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

iv

PENDAHULUAN .........................................................................................
Latar Belakang .....................................................................................
Tujuan Kajian ......................................................................................

1
1
2

TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
Taksonomi ............................................................................................
Morfologi ..............................................................................................
Ekologi..................................................................................................
Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian ...........................................
Reproduksi ............................................................................................
Musim Kawin .......................................................................................
Studbook ...............................................................................................
Ancaman dan Konservasi .....................................................................

3
3
3
5
6
7
8
9
9

BAHAN DAN METODE .............................................................................
Hewan yang Diteliti .............................................................................
Metodologi ...........................................................................................
Analisis Data ........................................................................................
Jadwal Pelaksanaan Penelitian ............................................................

12
12
12
12
12

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
Pengelolaan Penangkaran ....................................................................
Status Reproduksi .................................................................................
Musim Kawin .......................................................................................

13
13
16
19

SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................

24

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

25

LAMPIRAN ..................................................................................................

29

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3

Penyebaran harimau Sumatera di beberapa penangkaran ................
Jumlah anak per pasangan harimau Sumatera di penangkaran .........
Data kelahiran harimau Sumatera di penagkaran .............................

15
18
21

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2

Harimau Sumatera ...............................................................................
Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ ...............

5
21

3

Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ ......

22

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2

Data harimau Sumatera di lembaga konservasi di Indonesia ...........
Data perkawinan harimau Sumatera ..................................................

29
33


 

PENDAHULUAN

Latar belakang
Harimau Sumatera merupakan hewan karnivora asli Indonesia yang
memiliki habitat di pulau Sumatera. Harimau Sumatera merupakan satu dari
sembilan subspesies Panthera tigris (Linnaeus 1758) yang ada di dunia. Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) merupakan subspesies yang
ditemukan di pulau Sumatera yang keberadaannya saat ini diperkirakan tinggal
400-500 ekor di habitatnya. Harimau Sumatera hidup di daerah dataran rendah
dan hutan pegunungan (Krech et al 2004). Selain itu, harimau Sumatera juga
ditemukan di daerah rerumputan alang-alang tinggi dan juga rawa-rawa air tawar.
Harimau Sumatera mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih kecil daripada
jenis harimau lainnya.
Harimau Sumatera diklasifikasikan oleh Convention on International Trade
in Endangered Species (CITES) ke dalam Appendix I, yakni termasuk spesies
yang terancam kepunahan dan atau mungkin terpengaruh oleh perdagangan
sedangkan berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature
(IUCN) adalah critically endangered, yakni terancam punah. Harimau Sumatera
semakin berkurang populasinya di alam liar karena perburuan liar dan juga karena
tindakan manusia yang menganggap harimau Sumatera sebagai hama yang
menghabisi ternak mereka. Baru-baru ini, satu harimau Sumatera ditangkap warga
dengan menggunakan perangkap berupa kandang dari kayu di hutan Pandawa
Lima, Desa Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kabupaten Padangpariaman,
Sumatera Barat, karena dianggap telah memangsa ternak warga (Marboen 2011).
Akibat berkurangnya habitat harimau Sumatera, hewan ini menjadi semakin
sering berkonflik dengan manusia. Selama ini tuduhan yang sering terlontar oleh
media massa yaitu harimau Sumatera yang memangsa ternak bahkan memangsa
penduduk (Kathy 1992).
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mempertahankan populasi harimau
agar tidak mengalami kepunahan. Usaha ini antara lain dengan menyelaraskan
program konservasi in-situ (di habitatnya) dan ex-situ (di luar habitatnya). Contoh
dari habitat in-situ yaitu berupa cagar alam dan suaka marga satwa. Sedangkan


 

contoh habitat ex-situ yaitu lembaga konservasi seperti kebun binatang dan pusat
penyelamatan satwa. Penangkaran merupakan salah satu bentuk dari upaya
pelestarian ex-situ dengan kegiatan pengembangbiakan jenis satwaliar dan
tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan
mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di
alam dapat dipertahankan (Thohari 1986).
Indonesia yang merupakan negara tropis sebagai habitat harimau Sumatera
mempunyai curah hujan yang tinggi dan sinar matahari dengan rasio terang dan
gelap 12:12 jam. Kondisi ini berbeda dengan daerah subtropis sebagai habitat
harimau Siberia yang hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu.
Perbedaan paparan sinar matahari menyebabkan terjadinya perbedaan musim.
Mamalia biasanya memiliki musim kawin atau waktu tertentu untuk bereproduksi.
Musim kawin dapat dipengaruhi oleh lingkungan, makanan, curah hujan dan suhu
(Bronson 1998). Musim kawin dapat berpengaruh terhadap fekunditas dan litter
size pada seekor hewan. Fekunditas adalah kemungkinan kelahiran hidup dalam
satu siklus, sedangkan litter size adalah jumlah anakan yang lahir dalam sekali
kelahiran. Melihat pentingnya mengetahui musim kawin terutama bagi
penangkaran, maka dilakukan kajian untuk mengetahui musim kawin harimau
Sumatera yang ada di Lembaga Konservasi Indonesia.

Tujuan kajian
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pola reproduksi khususnya musim
kawin Harimau sumatera yang berada di habitat ex-situ atau lembaga konservasi
di Indonesia.


 

TINJAUAN PUSTAKA

Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut
dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis
hitam vertikal pada tubuhnya.

Taksonomi
Klasifikasi harimau Sumatera menurut Pocock 1929 :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Carnivora

Famili

: Felidae

Genus

: Panthera

Spesies

: Panthera tigris

Subspesies

: sumatrae

Diketahui ada sembilan subspesies Panthera tigris yaitu Panthera tigris
tigris (harimau Bengala), Panthera tigris corbetti (harimau Indocina), Phantera
tigris altaica (harimau Siberia), Panthera tigris amoyensis (harimau Cina utara),
Panthera tigris virgata (harimau Caspian), Panthera tigris jacksoni (harimau
Malaya), dan tiga subspesies yang terdapat di Indonesia yaitu Panthera tigris
sumatrae (harimau Sumatera), Panthera tigris sondaica (harimau Jawa), dan
Panthera tigris balica (harimau Bali). Disayangkan tiga dari sembilan subspesies
ini dinyatakan telah punah yaitu Panthera tigris virgata (awal tahun 1970),
Panthera tigris sondaica (pertengahan tahun 1970) dan Panthera tigris balica
(sekitar tahun 1940) (IUCN 2011).

Morfologi
Harimau adalah spesies terbesar dari 36 spesies kucing, dan harimau
Sumatera mempunyai ukuran tubuh terkecil dari keseluruhan subspesies harimau
di dunia. Panjang harimau Sumatera rata-rata 2,4 meter untuk jantan dan 2,2 meter
untuk betina. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75 cm, ada juga


 

yang mencapai antara 80-95 cm. Rata-rata berat badan untuk harimau Sumatera
jantan adalah 120 kg dan untuk betina 90 kg (Honolulu Zoo 2011). Hewan ini
mempunyai bulu sepanjang 8-11 mm, surai pada harimau Sumatera jantan
berukuran 11-13 cm.
Harimau Sumatera memiliki bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih
pendek. Dagu, bagian tenggorokan, dan bagian bawah tubuh keputih-putihan.
Warna bulunya lebih gelap dari jenis harimau lainnya dan bervariasi dari warna
kuning-kemerahan sampai oranye gelap dengan belang berwarna hitam. Belang
harimau Sumatera lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Belang harimau
berfungsi sebagai kamuflase di antara alang-alang dan rumput. Pada bagian pipi
terdapat pili yang panjang yang berguna sebagai sensor ketika bergerak di semak
belukar. Rambut-rambut panjang di bagian pipi dapat melindungi mereka dari
cabang pohon dan ranting. Bulunya berubah menjadi hijau gelap ketika
melahirkan (Tilson 1994).
Bagian tubuh ventral dan paha bagian dalam hampir berwarna putih dan
berwarna kuning terang. Kaki belakang harimau Sumatera lebih panjang
dibandingkan dengan kaki depan sehingga memudahkan dalam mengatur
keseimbangan, memanjat, melompat dan menerkam mangsa. Panjang ekor
harimau Sumatera sekitar 65-95 cm. Ekor tersebut berguna sebagai alat
keseimbangan ketika berlari dengan kecepatan tinggi dan berbelok cepat serta
digunakan untuk berkomunikasi dengan harimau lainnya (Sinaga 2004).
Alat indera harimau seperti penglihatan dan pendengaran sangat bagus.
Indera penciumannya juga berkembang dengan baik. Mata digunakan saat malam
hari ketika berjalan di hutan. Ukuran tubuhnya yang kecil memudahkan mereka
menjelajahi rimba. Mereka menggunakan jari kaki untuk berjalan. Harimau
Sumatera dapat berlari dengan kecepatan 35 mil per jam. Seperti kebanyakan
bangsa kucing, harimau Sumatera memiliki cakar yang tajam dimana cakar
tersebut digunakan untuk mencengkeram mangsa. Selain itu cakaran juga
digunakan untuk menandai daerah kekuasaan dengan membuat cakaran di pohon
atau tanah. Kegiatan ini juga berfungsi untuk mengasah kuku dan otot di sekitar
kuku. Cakar atau kuku harimau dapat ditarik kembali agar tetap tajam. Terdapat
selaput di sela-sela jari berupa anyaman yang kuat dan lebar yang menjadikan


 

mereka sebagai hewan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan bagus.
Harimau Sumatera dapat berenang dan menyeberangi sungai sejauh 5 mil.

Gambar 1 Harimau sumatera (WWF 2011)

Ekologi
Habitat harimau Sumatera di pulau Sumatera dan tersebar di semua provinsi
mulai dari Aceh sampai Lampung. Habitatnya meliputi hutan dataran rendah
hingga hutan pegunungan. Harimau Sumatera, seperti jenis-jenis harimau lainnya
merupakan jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan
tempat tinggalnya. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor
harimau adalah adanya kualitas yang baik untuk vegetasi cover sebagai tempat
beristirahat dan berteduh agar terlindung dari panas serta sebagai tempat untuk
membesarkan anak. Selain itu harus terdapat sumber air karena satwa ini sangat
tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang serta tersedianya mangsa
dalam jumlah yang cukup.
Tipe lokasi yang biasanya menjadi habitat pilihan harimau Sumatera
bervariasi, dengan ketinggian antara 0-3000 meter dari permukaan laut seperti
hutan hujan tropis, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran
tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, pantai berlumpur, mangrove,


 

pantai berawa payau, pantai air tawar, padang rumput, daerah datar sepanjang
aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi
oleh hutan hujan tropis, areal hutan gambut dan juga sering terlihat di daerah
perkebunan dan tanah pertanian (Sinaga 2004). Menurut Adlington (2003), hanya
harimau Sumatera liar saja yang dapat ditemukan di hutan Sumatera. Sebagian
besar harimau Sumatera yang berada di Kebun Binatang di Indonesia ataupun di
luar Indonesia merupakan harimau Sumatera yang berasal dari alam, pertukaran
antar satwa yang ada di Kebun Binatang atau sitaan dan titipan yang diberikan
oleh Departemen Kehutanan.
Harimau membutuhkan wilayah jelajah yang cukup luas. Menurut Hamaide
(2007), harimau memiliki daerah jelajah seluas 100 km2, tetapi wilayah jelajah ini
dapat bervariasi, tergantung ketersediaan makanan di suatu wilayah. Wilayah
jelajah akan mengecil jika mangsa harimau tersedia lebih dari cukup. Home range
untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km² sedangkan untuk harimau
jantan sekitar 60-100 km². Akan tetapi, angka tersebut bukan merupakan
ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh
keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya
daerah teritori harimau jantan 3-4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina.
Harimau dapat bekelana lebih dari 20 mil (32 km) pada saat malam hari
(Honolulu Zoo 2011).

Tingkah Laku Sosial dan Aktifitas Harian
Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis
satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri,
kecuali selama musim kawin atau betina memelihara anaknya. Harimau jantan
dan betina menandai wilayah mereka dengan cara membuat cakaran di tanah dan
pohon. Cakaran dibuat setelah melakukan urinasi. Pada saat urinasi harimau
Sumatera

menyemprotkan

urine

untuk

menimbulkan

bau-bauan

serta

meninggalkan bekas kotoran.
Harimau merupakan hewan pemakan daging atau disebut juga karnivora.
Menurut Sankhala (1997) harimau tidak akan membunuh mangsanya tanpa
alasan, mereka tidak akan membunuh mangsanya apabila tidak merasa lapar.


 

Hewan yang biasanya menjadi mangsa adalah rusa Sambar, kijang, kancil, babi
hutan, dan satwa liar lainnya. Hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, domba, dan
ayam menjadi mangsa bila habitat harimau terganggu atau rusak karena manusia
tinggal di habitatnya sehingga memaksa harimau masuk ke pemukiman. Saat
membunuh mangsanya, harimau akan menggigit bagian belakang leher, dan
merusak tulang belakang. Untuk memenuhi kebutuhannya, harimau berburu 3-6
hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor
harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang
sampai 40 kg daging sekali makan (Macdonald 1986).
Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut
mencari makan untuk dirinya sendiri atau berapa banyak anggota yang harus
diberi makan seperti harimau betina yang harus mencari makan untuk dirinya
sendiri dan anak-anaknya. Masa hidup seekor harimau adalah sekitar 10-15 tahun.
Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai
16-25 tahun (Macdonald 1986).

Reproduksi
Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup
tinggi. Kematangan seksual (pubertas) harimau Sumatera terjadi pada usia sekitar
3-4 tahun (Seidensticker 1996). Untuk harimau betina mencapai pubertas pada
usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Menurut Sankhala
(1997) selama masa kawin pasangan harimau Benggala dapat hidup bersamasama. Mereka akan tinggal bersama selama betina birahi yang umumnya selama
satu minggu. Kopulasi terjadi setiap 15-20 menit dan terjadi 5-6 hari. Kopulasi
terjadi hanya dalam waktu 10-30 detik. Harimau betina dapat menerima beberapa
pejantan sehingga harimau merupakan hewan yang berpoligami. Lama kehamilan
harimau betina berkisar 95-110 hari atau rata-rata 103 hari seperti dalam
Seidensticker et al. (1993). Jumlah anak harimau dalam sekali kelahiran
jumlahnya berkisar antara 1-6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi
dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua
atau tiga ekor saja. Menurut Andriyanto (2001) jumlah serta nisbah jantan dan
betina harimau Sumatera di Taman Safari Indonesia, Taman Margasatwa


 

Ragunan, Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Gembira Loka tidak
tetap.
Anak harimau terlahir dalam keadaan mata tertutup seperti buta. Mata anakanak harimau tertutup oleh membran tipis dan akan terbuka pada saat berumur
satu minggu (Jackson 1990). Selama 8 minggu, anak harimau hanya
mengkonsumsi susu dari induknya. Anak harimau baru bisa berburu sendiri
setelah berumur 18 bulan dan menjadi mandiri saat berumur 24 bulan. Harimau
betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30
ekor dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih
22 bulan, atau 2-3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati. Dari
penelitian Hidayani (2007) didapatkan hasil bahwa seekor harimau Sumatera
betina dapat melahirkan anak sebanyak 35 ekor selama 7 tahun masa
produktifnya.
 

Musim Kawin
Musim kawin adalah suatu musim dalam suatu tahun dimana hewan
menunjukkan aktivitas perkawinan. Dalam periode satu musim, hewan betina
jenis tertentu baik yang telah dewasa maupun baru mencapai pubertas
memperlihatkan gejala birahi. Para pejantan dengan bersemangat akan melayani
kehendak betina ini. Dalam tradisi rimba pada saat inilah terjadi pertarungan antar
pejantan untuk memperebutkan betina. Bagi betina yang beruntung mendapat
bibit pada musim kawin sebelumnya maka akan mengalami kebuntingan. Bagi
betina yang kurang beruntung tidak menampakkan aktivitas kawin atau disebut
juga nonbreeding season (Partodihardjo 1980).
Banyak hewan yang melakukan perkawinan sepanjang tahun. Tetapi banyak
juga yang memiliki musim kawin tertentu. Musim kawin beberapa hewan yang
tergolong mamalia dipengaruhi oleh perubahan panjang jam siang setiap hari. Di
daerah subtropis, pada bulan November, Desember, dan Januari siang hari
menjadi pendek, sekitar 8-10 jam, sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus
siang hari menjadi panjang sekitar 13-15 jam. Di daerah tropis, lamanya siang hari
merata sepanjang tahun, yaitu 12 jam. Pada hewan yang hidup di daerah subtropis,
perkawinan terjadi mengikuti pola tertentu. Pada daerah subtropis terdapat empat


 

musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Bagi
hewan yang berada di daerah subtropis, sangat penting untuk melahirkan pada
musim tertentu dimana dapat menjamin keturunannya bertahan hidup, biasanya
terjadi pada musim semi sampai panas (Short 1984). Pada mamalia yang hidup di
daerah tropis terjadinya perkawinan tidak mengikuti pola reproduksi tertentu.
Dalam Geptner et al (1992) reproduksi nonseasonal adalah karakteristik dari
hewan tropis. Perbedaan iklim kemungkinan berpengaruh terhadap profil
reproduksi hewan termasuk harimau.

Studbook
Seifert dan Muller (1984) mengatakan Studbook adalah kronologi populasi
harimau yang ada di dalam penangkaran. Untuk setiap harimau yang terdaftar,
pada studbook dicatat informasi mengenai tanggal lahir, tanggal kematian, induk
jantan dan betina, lokasi keberadaan dan perpindahan harimau, serta nomor
identifikasi institusi yang memiliki harimau dan nomor identifikasi Studbook yang
terstandarisasi. Setiap hewan ditandai dengan nomor identitas yang khas atau
nomor studbook yang memberikan susunan silsilah untuk analisis genetik. Data
umur dari kelahiran dan kematian hewan dapat digunakan untuk analisis
demografis. Selain itu data yang didapat dari studbook dapat dijadikan sebagai
acuan dalam pengelolaan penangkaran. Dengan data dari studbook dapat dicegah
terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dan mempertahankan keragaman
genetik. (WAZA 2011).

Ancaman dan Konservasi
Penyebab

utama

kerusakan

alam

dan

komunitas

biologi

adalah

bertambahnya populasi manusia di muka bumi. Ancaman utama pada lingkungan
akibat kegiatan manusia adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi
habitat, perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang berlebih untuk
kepentingan manusia, invasi spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit
serta sinergi dari faktor-faktor tersebut. Kebanyakan spesies dan komunitas yang
terancam punah menghadapi sedikitnya dua atau lebih dari masalah-masalah

10 
 

tersebut, yang mendorong kepunahan dan menyulitkan usaha perlindungan
(Sunquist 2010).
Begitu juga halnya dengan harimau Sumatera. Berkurangnya populasi
harimau Sumatera di habitanya disebabkan oleh pembukaan lahan secara besarbesaran oleh manusia yang menyebabkan berkurangnya habitat yang membuat
seolah-olah harimau merusak pemukiman penduduk untuk mencari makan. Selain
itu perburuan dan penjualan ilegal bagian tubuh harimau juga meningkat. Menurut
Twist (2004) pengobatan tradisional Cina merupakan ancaman bagi harimau
Sumatera karena pengobatan tradisional tersebut menggunakan bagian-bagian
tubuh harimau. Jepang, Hong Kong dan Korea Selatan merupakan negara-negara
pengimpor tulang harimau untuk pengobatan tradisional Asia.
Strategi terbaik bagi pelestarian jangka panjang dan untuk melindungi
individu yang tersisa adalah dengan menempatkannya dalam suatu lingkungan
yang dapat dipantau secara berkelanjutan (Indrawan et al 2007). Strategi ini
dikenal dengan pelestarian ex-situ. Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal
satwa yang berada di luar habitatnya. Disain habitat ex-situ dibuat semirip
mungkin dengan aslinya agar hewan merasa nyaman. Konservasi ex-situ
didefinisikan dalam Convention on Biological Diversity sebagai pengawetan
komponen-komponen keragaman plasma nutfah di luar habitat aslinya. Kegiatan
yang dilakukan seperti pengambilan sampel, transfer, dan penyimpanan dari suatu
taxa target dari daerah koleksi dan biasanya dilakukan untuk menjamin
keberadaan suatu spesies atau populasi yang memiliki potensi kehancuran fisik,
tergerus dan tergantikan oleh spesies lain, atau kemerosotan genetik (UNCED
1992). Tujuan jangka panjang dari program pelestarian ex-situ adalah untuk
membentuk populasi cadangan, hingga jumlah individu spesies tersebut
mencukupi dan habitat yang sesuai tersedia. Taman nasional, kebun binatang,
akuarium, dan peternakan satwa buruan, serta berbagai program penangkaran
merupakan contoh dari fasilitas ex-situ atau disebut lembaga konservasi.
Perlindungan keanekaragaman hayati bagi spesies dan lingkungannya diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1990. Usaha perlindungan terhadap harimau Sumatera di
Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1931 yaitu berdasarkan Undang-undang
Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 134 serta SK Menteri Pertanian tahun 1972

11 
 

No. 327/kpts/im/7/1972. Usaha pelestarian yang diusulkan adalah pembinaan
populasi dan penetapan suaka alam khusus harimau Sumatera. Usaha yang
dilakukan oleh masyarakat internasional adalah dengan mendirikan berbagai
organisasi yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa liar yang terancam
punah, diantaranya adalah International Union for Conservation of Nature
(IUCN) pada tahun 1948 serta Convention on International Trade In Endangered
Species (CITES) yang ditandatangani tahun 1975 (Adlington 2003).

12 
 

BAHAN DAN METODE

Hewan yang diteliti
Hewan yang diteliti adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Metodologi
Data sekunder dikaji melalui pemeriksaan dan penelusuran daya reproduksi
harimau Sumatera yang berada di Indonesia berdasarkan studbook harimau
Sumatera regional dan internasional tahun 2004 sampai 2010.

Analisis data
Data dianalisis secara deskriptif untuk status reproduksi meliputi jumlah
anak per kelahiran, musim kawin dan masa produktif.

Jadwal pelaksanaan kajian
Kajian data dimulai bulan Mei 2011, dilanjutkan dengan kajian analisis data
sampai Juli 2011.

13 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Penangkaran
Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar
habitatnya didasari oleh kategori

harimau Sumatera yang tergolong langka,

sehingga dilakukan upaya untuk menyelamatkan harimau Sumatera dengan
melakukan program penangkaran. Harimau Sumatera dikenal juga sebagai
umbrella species, yang artinya dengan melindungi spesies tersebut spesies lainnya
akan turut terdilindungi (Roberge dan Angelstam 2004). Upaya penangkaran
harimau Sumatera dimulai pada tahun 1992 dengan terbentuknya lembaga
penangkaran harimau Sumatera Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia
(PKBSI) yang dipusatkan di Taman Safari Indonesia, dimulainya pencatatan
studbook harimau Sumatera PKBSI dan pengelolaan penangkaran ex-situ. Tujuan
utama konservasi ex-situ adalah menyokong keselamatan spesies satwaliar di
habitat aslinya sehingga terhindar dari kepunahan. Konsevasi ex-situ merupakan
suatu program yang berkomplemen dengan konservasi in-situ. Pelestarian ex-situ
dan in-situ merupakan strategi yang saling melengkapi (Robinson 1992).
Variasi genetik merupakan hal yang penting bagi populasi in-situ sehingga
pengelolaan ex-situ dalam menunjang penyelamatan satwa in-situ sangat perlu
mempertimbangkan mutu genetiknya. Sehingga hubungan kekerabatan antar
individu dijaga serendah mungkin. Untuk mengurangi terjadinya kawin silang
dalam (inbreeding) dalam penangkaran satwaliar maka dapat diambil langkah
seperti mengambil bibit satwaliar dari populasi yang berbeda, melakukan tes
heterozigositas dan melakukan pencatatan silsilah atau studbook (Sinaga 2004).
Dalam setiap penangkaran biasanya dilakukan kegiatan pengelolaan
kesehatan harimau. Setiap individu harimau Sumatera yang ada di kebun binatang
sangat diperhatikan kesehatannya. Bagi harimau yang baru datang, baik dari alam
ataupun dari kebun binatang lainnya harus melalui proses karantina dan
pemeriksaan kesehatan umum. Perawatan harimau Sumatera harus mengikuti
standar kesejahteraan hewan (kesrawan). Menurut Christie dan Dollinger (2007)
syarat legal dalam pemeliharaan harimau berbeda pada tiap negara.

14 
 

Untuk memelihara seekor harimau memerlukan tanah berpagar terbuka
seluas 500 m² perpasang, sedangkan untuk betina yang memiliki anak harus
memiliki kandang yang terpisah dari harimau jantan. Tinggi pagar yang
diperlukan sekitar 3,5 m. Kandang harimau Sumatera harus dilengkapi dengan
tempat untuk beristirahat, tempat minum, kandang tidur dan kandang latihan,
saluran air yang baik, terdapat pohon untuk bernaung dan mengasah kuku, serta
kolam untuk berenang. Untuk pengamanan, diperlukan pagar pembatas yang kuat
dan biasanya dihubungkan dengan kawat listrik (Christie dan Dollinger 2007).
Sinaga (2004) menyatakan bahwa, dalam penangkaran juga harus dilakukan
pencatatan studbook untuk mengetahui asal usul satwa agar pengelolaan
penangkaran dapat dilakukan dengan baik dan dapat mempertahankan sekurangkurangnya 90% genetik diversitas dari populasi. Pengelolaan perkawinan dapat
dilakukan dengan variasi genetik tetap tinggi dan menghindari perkawinan silang.
Selain itu untuk menunjang program konservasi harimau Sumatera dilakukan
penampungan spermatozoa untuk diawetkan sehingga diharapkan suatu waktu
dapat diinseminasikan kepada betina yang memerlukan. Sejak tahun 1995 Bank
Sumber Plasma Nutfah dipusatkan di Taman Safari Indonesia.
Berdasarkan studbook harimau Sumatera Regional dan Internasional sampai
tahun 2007, Harimau sumatera tersebar di sebelas tempat di pulau Jawa, Bali dan
Sumatera. Ke sebelas tempat tersebut adalah Bali Zoo, Taman Safari Bogor,
Komplek Let Jen Norman Sasono, Taman Bundo Kanduang Bukittinggi, Ragunan
Zoo, Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung, Kebun Binatang Taman Aneka
Rimba Jambi, Yayasan Kebun Binatang Medan, Taman Wisata Satwa Taru Jugug,
Kebun Binatang Surabaya, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Jumlah harimau
Sumatera terbanyak terdapat di Taman Safari Indonesia Bogor. Hal ini
dikarenakan ditunjuknya Taman Safari Indonesia sebagai pusat dari lembaga
Penangkaran harimau Sumatera (Tumbelaka 2007).

15 
 

Tabel 1 Penyebaran Harimau Sumatera di Beberapa Penangkaran
No

Kebun Binatang

Jantan

Betina

Total

1

Bali Zoo

1

1

2

2

Taman Safari Indonesia

11

12

23

3

Let Jen Norman Sasono Komplek

2

3

5

4

Taman Bundo Kanduang Bukit Tinggi

0

2

2

5

Ragunan Zoo

15

12

27

6

Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung

6

5

11

7

Kebun Binatang Aneka Rimba Jambi

1

1

2

8

Yayasan Kebun Binatang Medan

0

3

3

9

Taman Wisata Satwa Taru Jurug

2

7

9

10

Kebun Binatang Surabaya

2

11

13

3

1

4

11 Kebun Binatang Gembira Loka
Sumber. Studbook Harimau sumatera regional tahun 2007

Pengelolaan kandang, pakan, kesehatan dan lingkungan memberikan
pengaruh pada masa hidup harimau. Masa hidup harimau Sumatera yang ada di
penangkaran lebih lama daripada yang hidup di alam. Menurut Macdonald (1986)
harimau Sumatera yang ada di penangkaran bisa mencapai usia 16-25 tahun. Dari
data studbook (lampiran 2) tercatat harimau jantan yang memiliki usia paling
lama adalah harimau dengan Nomor SB 883 yaitu 24 tahun dan harimau betina
dengan nomor SB 876 yaitu selama 22 tahun.
Pemasangan atau penjodohan juga memberikan kontribusi yang besar bagi
penangkaran harimau Sumatera. Sebelum dipasangkan, biasanya harimau
diperkenalkan terlebih dahulu satu sama lain dalam kandang yang diberi batas
agar harimau tidak saling kontak fisik tetapi masih tetap bisa melihat dan
mencium bau pasangannya. Hal yang paling penting dari penjodohan adalah
memperhatikan kekerabatan. Menurut hasil penelitian Suharyo (2001) persyaratan
yang ditentukan oleh Taman Safari Indonesia dalam menjodohkan harimau
Sumatera adalah harimau yang dijodohkan harus bersal dari daerah yang berbeda,
berumur lebih dari lima tahun, usianya hampir sama dan memiliki koefisien
inbreeding yang rendah. Sementara itu hasil penelitian Andriyanto (2001)
menyatakan bahwa harimau yang dikawinkan pada empat lembaga konservasi di
Jawa (TSI, KB Gembiraloka, Ragunan dan KB Surabaya) berasal dari alam dan
harimau hasil penangkaran.

16 
 

Usaha yang dilakukan dalam pemilihan pasangan kawin tersebut tidak
selamanya berhasil karena terkadang tidak ada saling ketertarikan antara pasangan
kawin. Selain itu, perkawinan yang dilakukan melakukan perkawinan yang
terkontrol dimana tidak setiap betina yang estrus harus dikawinkan dengan
pejantan. Hal ini dipengaruhi oleh kapasitas atau daya dukung tempat di
penangkaran. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah
perkawinan setiap bulan di penangkaran.

Status Reproduksi
Status reproduksi hewan adalah kondisi reproduksi hewan pada saat tertentu
yang meliputi jumlah anak perpasangan, jantan dan betina produktif serta musim
kawin. Pada penangkaran, perkawinan harimau Sumatera dilakukan apabila telah
mengalami dewasa kelamin (pubertas) dan betina menunjukkan gejala birahi.
Pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan dan betina dimana
proses-proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai dengan kemampuan untuk
pertama kalinya memproduksi benih (Partodihardjo 1980). Kematangan secara
seksual harimau betina adalah pada usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan
pada usia 4-5 tahun.
Smith (1994) mengatakan, usia produktif harimau jantan selama 2-6 tahun
dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai usia 15 tahun. Akan
tetapi, dari data studbook (lampiran 1) diketahui bahwa harimau Sumatera yang
hidup dipenangkaran masih produktif sampai usia 20 tahun. Tercatat harimau
Sumatera betina di Kebun Binatang Bandung dengan nomor studbook 1051 dan
harimau Sumatera jantan di Kebun Binatang Solo dengan nomor studbook 912
masih bisa kawin dan menghasilkan anak. Kemungkinan harimau yang hidup di
penangkaran masih bisa bereproduksi sampai usia 25 tahun. Menurut Macdonald
(1986) harimau yang ada dipenangkaran dapat hidup dalam usia 15-25 tahun.
Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk
kopulasi. Kopulasi dapat menghasilkan kebuntingan dan selanjutnya menghasikan
anak. Jika birahi pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka akan nada birahi
kedua, ketiga dan seterusnya sampai terjadi kebuntingan. Jarak antar satu birahi
dengan birahi berikutnya disebut sikus birahi. Siklus birahi terdiri atas 4 fase yaitu

17 
 

proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Estrus adalah fase terpenting dalam
siklus birahi, karena dalam fase ini betina memperlihatkan gejala yang khusus
untuk tiap jenis hewan dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima
pejantan untuk kopulasi (Partodihardjo 1980).
Menurut Seal et al (1987) saat birahi harimau betina terlihat lebih aktif,
interaksi dengan perawat meningkat dan nafsu makan menurun. Pada hewan
jantan, siklus birahi seperti pada betina tidak ada. Pada umumnya pejantan selalu
bersedia menerima harimau betina untuk melakukan aktivitas reproduksi. Jika ada
harimau jantan yang menolak untuk aktivitas reproduksi bisa jadi harimau jantan
tersebut tidak normal atau mengalami kelainan-kelainan. Sistem kawin pada
hewan didefinisikan sebagai jumlah pasangan kopulasi tiap individu dalam setiap
musim kawin. Sistem kawin ini ada beberapa jenis, yaitu monogami, poligami dan
poliandri.
Monogami apabila jantan dan betina kawin hanya dengan satu pasangan per
musim kawin, poligami jika jantan kawin dengan lebih dari satu betina per musim
kawin dan poliandri jika betina kawin dengan lebih dari satu jantan per musim
kawin (Goodenough et al 2010). Sistem perkawinan harimau Sumatera tergolong
pada poligami dan poliandri karena dapat kawin dengan beberapa pasangan.
Berdasarkan penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010
(lampiran 2), terdapat 44 pasang harimau Sumatera yang telah dikawinkan dengan
jumlah pejantan sebanyak 33 ekor dan betina 34 ekor. Dari semua perkawinan
yang terjadi, terlihat beberapa Harimau sumatera melakukan perkawinan dengan
beberapa jantan atau betina yang berbeda. Hal in menunjukkan bahwa Harimau
sumatera bukanlah hewan yang bersifat monogami.

18 
 

Tabel 2 Jumlah anak per pasangan pada Harimau sumatera di penangkaran
Lokasi
TSI

No SB
Jantan

Asal

No SB
Betina

Asal

1036
Tangkaran
1053
Tangkaran
1054
Tangkaran
1052
Tangkaran
1100
Tangkaran
1260
Tangkaran
1101
Tangkaran
IN9969
Alam
874
Alam
1017
Tangkaran
866
Alam
1051
Tangkaran
Ragunan
905
Tangkaran
1264
Tangkaran
1265
Tangkaran
1270
Tangkaran
1265
Tangkaran
1266
Tangkaran
1342
Tangkaran
1343
Tangkaran
1350
Tangkaran
1348
Tangkaran
Bandung
942
Tangkaran
953
Tangkaran
1033
Tangkaran
953
Tangkaran
1033
Tangkaran
1190
Tangkaran
1033
Tangkaran
1191
Tangkaran
Solo
912
Tangkaran
943
Tangkaran
Surabaya
1035
Alam
1016
Tangkaran
Yogyakarta
954
Tangkaran
1018
Alam
1033
Tangkaran
1125
Tangkaran
Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2007

Jumlah Anak
(ekor)
6
2
13
17
3
8
13
12
2
2
4
21
7
2
3
9
2
5
1

Status reproduksi dapat dilihat dari jumlah anak perpasangan. Tabel 2
menunjukkan, pada beberapa penangkaran seperti Taman Safari Indonesia, Taman
Margasatwa Ragunan, Kebun Binatang Bandung, Solo, Surabaya, dan Yogyakarta
ada 19 pasang harimau yang telah dikawinkan. Pasangan harimau Sumatera
dengan nomor SB 942 dan SB 953 di Kebun Binatang Bandung merupakan
pasangan harimau Sumatera yang memiliki jumlah anak paling banyak selama
masa produktifnya yaitu 21 ekor. Sedangkan pasangan harimau Sumatera dengan
nomor SB 1033 dan SB 953 memiliki jumlah anak 7 ekor selama masa
produktifnya, sehingga harimau Sumatera betina dengan nomor SB 953 telah
melahirkan 28 ekor anak selama masa produktifnya dari dua jantan yang berbeda.
Harimau jantan dengan nomor SB 1033 melakukan perkawinan dengan empat
betina yang berbeda dan telah menghasilkan 11 ekor anak. Harimau jantan dengan
nomor SB 1265 telah menghasilkan 14 ekor anak selama masa produktifnya dari
dua betina yang berbeda. Selain itu Harimau jantan SB 1101 (kelahiran tangkaran)
yang dikawinkan dengan betina SB IN 9969 (kelahiran alam) memiliki jumlah

19 
 

anak sebanyak 17 ekor selama masa produktifnya. Jumlah anak yang dilahirkan
menunjukkan adanya hubungan antara reproduksi hewan dengan fekunditas dan
litter size.
Fekunditas merupakan kesuburan dari seekor hewan betina yang dilihat dari
banyak dan seringnya anak yang dilahirkan (Yatim 1999). Tingginya tingkat
fekunditas seekor harimau dilihat dari panjangnya masa produktif. Akan tetapi
masa produktif seekor harimau betina tidak sepanjang masa produktif harimau
jantan. Masa produktif harimau betina dipengaruhi oleh keterbatasan dalam
memproduksi sel telur. Selain itu, harimau tidak pernah dikawinkan lagi sehingga
tidak bereproduksi juga mempengaruhi masa produktif harimau betina.
Berdasarkan data yang didapat dari studbook, harimau betina memiliki tingkat
fekunditas berkisar antara 1-7 kali dalam melahirkan anak. Dari data yang
didapatkan di studbook (lampiran 2), harimau betina dengan nomor SB 528
merupakan harimau dengan tingkat fekunditas yang tinggi, yaitu mampu
melahirkan sebanyak 9 kali sepanjang hidupnya. Berdasarkan studbook, jumlah
peristiwa kelahiran harimau Sumatera tidak mengikuti suatu pola reproduksi
tertentu.
Selain fekunditas, juga dapat dilihat banyaknya anak yang dilahirkan dalam
satu kali kebuntingan atau disebut juga dengan litter size. Untuk harimau, rata-rata
litter size adalah 3-4 seperti yang disebutkan dalam Triefeld (2007). Hasil
penelitian Sagara (2011) didapatkan bahwa rata-rat litter size harimau Sumatera
sebesar 2,1. Dari penelusuran data studbook (lampiran 2) didapatkan litter size
harimau Sumatera antara 1-6 ekor dalam tiap kelahiran. Dimana harimau dengan
nomor SB 887 merupakan harimau betina yang memiliki litter size paling tinggi
yaitu mampu melahirkan 6 ekor anak dalam sekali kelahiran.

Musim Kawin
Mamalia sering menunjukkan variasi musiman dalam reproduksinya.
Reproduksi musiman mamalia bergantung pada lingkungan. Kebanyakan kasus
reproduksi musiman dipengaruhi oleh faktor makanan, iklim, curah hujan dan
suhu. Perbedaan letak geografis atau garis lintang menunjukkan terjadinya

20 
 

perbedaan iklim di suatu wilayah (Bronson 1998). Perbedaan iklim inilah yang
mempengaruhi musim kawin pada mamalia.
Iklim suatu daerah berkaitan erat dengan letak garis lintang dan
ketinggiannya di muka bumi. Berdasarkan letak garis lintang dan ketinggian
tersebut maka iklim dibagi menjadi dua yaitu iklim matahari dan iklim fisis. Iklim
matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh
permukaan bumi. Sedangkan iklim fisis adalah menurut keadaan atau fakta
sesungguhnya di suatu wilayah muka bumi sebagai hasil pengaruh lingkungan
alam yang terdapat di wilayah tersebut misalnya pengaruh lautan, daratan yang
luas, relief muka bumi, angin dan curah hujan. Iklim matahari terdiri atas empat
iklim yaitu iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin (kutub).
Pada daerah tropis, disinari matahari sepanjang tahun sedangkan pada daerah
beriklim subtropis hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu. Terdapat
empat musim pada wilayah subtropis, yaitu musim semi, musim panas, musim
gugur dan musim dingin. Harimau tersebar di wilayah beriklim tropis dan
subtropis. Indonesia sebagai habitat harimau Sumatera terletak di wilayah
beriklim tropis ( Prawirowardoyo 1996).
Dari penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010, dapat
ditentukan

bulan

perkawinan

berdasarkan

bulan

terjadinya

kelahiran.

Penghitungan bulan perkawinan dilihat dari bulan kelahiran anak dikurangi
dengan rataan lama kebuntingan harimau Sumatera yang berkisar antara 95-110
hari, atau lebih kurang tiga bulan (LIPI 1982). Dengan masa kebuntingan tersebut
dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan pada harimau Sumatera. Pada
kajian ini penentuan waktu kawin berdasarkan tanggal lahir dikurangi rataan lama
kebuntingan. Sehingga dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan. Pada
Tabel 3 dapat dilihat perkiraan bulan terjadinya perkawinan.

21 
 

Tabel 3

Data kelahiran harimau Sumatera di penangkaran

4

Jumlah Induk
(pasang)
4

Jumlah Anak
(ekor)
12

Mei

17

17

42

2,5

Juni

7

7

17

2,4

Juli

10

10

23

2,3

Agustus

4

4

10

2,5

September

6

6

15

2,5

Oktober

7

7

21

3,0

November

10

10

25

2,5

Desember

9

9

24

2,7

Januari

14

14

36

2,6

Februari

10

10

24

2,4

Bulan
Kelahiran
April

Jumlah Perkawinan

Rataan
3,0

Maret
7
7
17
Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2004 - 2010

2,4

18
16
Jumlah Perkawinan

14
12
10
8
6
4
2
0
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agu

Sep

Okt

Nov

Des

Bulan

Gambar 2 Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ
berdasarkan bulan kelahiran
(Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)

22 
 
45

Jumlah Anak (Ekor)

40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agu

Sep

Okt

Nov

Des

Bulan

Gambar 3 Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ
(Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada harimau Sumatera
yang ada pada lembaga konservasi di Indonesia, perkawinan terjadi sepanjang
tahun. Perkawinan paling banyak terjadi di bulan Februari (17 pasang) dengan
kelahiran anak sebanyak 42 ekor pada bulan Mei. Perkawinan paling sedikit
terjadi pada bulan Mei (4 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 10 ekor pada
bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara bulan kelahiran
dengan bulan perkawinan.
Harimau Sumatera betina di Indonesia, hidup di daerah tropis yang hanya
memiliki dua musim, dimana curah hujan merata sepanjang tahun yakni sekitar
2000-3500 mm dan fluktuasi suhu berkisar antara 3-5 °C (Sipayung 2004). Data
menunjukkan bahwa perkawinan dapat berlangsung sepanjang tahun, sesuai
dengan pernyataan Semiadi dan Nugraha (2006). Hal ini mendukung pernyataan
Geptner et al (1992) yang menyatakan bahwa reproduksi nonsesasonal adalah
karakteristik dari hewan tropis. Belum dapat dipastikan apakah setiap harimau
Sumatera betina mengalami estrus berulang sepanjang tahun seperti pada sapi
karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.
Mamalia yang hidup di daerah subtropis, contohnya harimau Benggala,
memiliki musim kawin pada musim dingin dan musim semi. Dari hasil penelitian
Saputra (2010) pada harimau Benggala frekuensi perkawinan tertinggi terjadi dari

23 
 

bulan Januari sampai Maret. Hal ini ternyata serupa dengan harimau Sumatera
yang hidup di Indonesia.  Jumlah peristiwa kelahiran yang tinggi pada bulan
tersebut menandakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah estrus. Hasil
penelitian Hidayani (2007) juga menyatakan bahwa harimau Sumatera yang hidup
di daerah subtropis bagian utara (Eropa, Amerika Serikat, Asia Tengah, Asia
Timur) mengalami perkawinan terbanyak pada musim dingin dan musim semi.
Hewan yang hidup di daerah subtropis, termasuk ke dalam golongan hewan
polyestrus bermusim atau seasonally polyestrus, y