Perlindungan Hukum terhadap Notaris dalam Melaksanakan Kewenangan Jabatannya melakukan Legalisasi

(1)

TESIS

Oleh

MABRUR

107011143/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MABRUR

107011143/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum

2. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : MABRUR

Nim : 107011143

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS

DALAM MELAKSANAKAN KEWENANGAN

JABATANNYA MELAKUKAN LEGALISASI

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MABRUR Nim :107011143


(6)

i

bawah halaman terakhir dari akta itu oleh notaris tersebut dibubuhkan pernyataan bertanggal mengenai keterangan bahwa yang membubuhkan tanda tangan itu dikenal atau diperkenalkan kepadanya. bahwa tulisan tersebut telah dibacakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penandatangan oleh para penghadap. Kemudian Notaris tersebut membubuhkan tandatangannya dan cap di bawah keterangan yang dibuatnya itu, untuk selanjutnya didaftarkan kedalam buku khusus legalisasi Buku khusus berisi daftar legalisasi itu merupakan bagian dari protokol yang harus dimiliki oleh setiap Notaris. Perbuatan legalisasi tidak sama dengan pembuatan akta otentik dan oleh karena itu sifat pertanggungjawabannya juga berbeda baik terhadap Notaris yang yang bersangkutan, maupun terhadap pihak yang melaksanakan kedua perbuatan hukum tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, Dimulai dari premis umum dan diakhiri dengan suatu kesimpulan khusus. Pengumpulan data diperoleh dari bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan hukum kenotariatan khususnya dalam hal legalisasi. Dan bahan-bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah serta artikel-artikel yang relevan dengan penelitian ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Semua Akta selain akta otentik dan belum ditandatangani oleh para pihak boleh dilegalisasi oleh Notaris. Legalisasi yang dimaksudkan disini adalah Penandatanganan surat dibawah tangan dihadapan Notaris disertai dengan pernyataan bertanggal berupa keterangan tertulis yang dibubuhkan oleh Notaris tersebut : bahwa yang membubuhkan tanda tangan itu dikenal atau diperkenalkan kepadanya; bahwa tulisan tersebut telah dibacakan terlebih dahulu sebelum penandatanganannya dan kemudian Notaris tersebut membubuhkan tandatangan dan cap Notaris di bawah keterangan yang dibuatnya itu, kemudian didaftarkan kedalam buku khusus legalisasi. Dengan dilegalisasinya suatu akta oleh Notaris maka kekuatan pembuktian formil dari akta itu akan sama sebagaimana yang dimiliki oleh akta otentik. Pertanggungjawaban Notaris sebagai pejabat publik terhadap akta yang dilegalisasinya hanya sebatas apa yang dia saksikan dan apa yang dia nyatakan pada akhir itu. Perlindungan hukum terhadap Notaris yang melakukan legalisasi adalah bahwa Notaris tersebut hanya dapat dijadikan saksi. Kesepakatan yang dilegalisasinya, telah dibuat dan disepakati oleh para pihak terlebih dahulu sebelum dibawa kehadapannya untuk dilegalisasi.


(7)

ii

Notary after read by notary in the presence of the witnesses. The notary describes the legalization before put the stamp and signs the lower part of the last page of the deed. And then Notary registers the deed into the special register for legalization by put the date based on the date of signing. The special register contains the legalization list as a part of the protocol owned by Notary. The legalization is not same to the preparing the authentic deed and therefore its responsibility is differed either to the Notary or to the parties who do the law action.

This research is an analytic descriptive using the normative juridical as approach refer to the law norms that contained in the valid regulations as normative standard that begin by general premise and ended by a special conclusion. The data is collected from the primary law such as norm or basic principles, basic rule, law and regulation related to the notary law especially in legalization issue. And the tertiary law material that consists of general dictionary, law dictionary, magazines, scientific journal and articles related to this research.

The results of research indicates that all of deed in addition to authentic deed and has not yet signed by parties can be legalized by notary. The legalization means the signing of under hand deed before Notary with any statement on a date such as written statement by notary that the people who sign the deed is known by or introduced to him/her; that the statement had read before the signing and then notary sign and put stamp of notary under the statement made by him/her and then to register it into the special registration for legalization. By a legalization of a deed by Notary, the formal verification of the deed is same as authentic deed. The accountability of notary as public officer to the legalized deed is limited to what had be known by him/her and what his/her statement in the end of the page. The law protection to the Notary who makes legalization is that the Notary only can be a witness. The agreement legalized by him/her had made and approved by parties before take the deed for legalization.


(8)

iii

rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Perlindungan Hukum terhadap Notaris dalam Melaksanakan Kewenangan Jabatannya melakukan Legalisasi”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Program Studi S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CNselaku Pembimbing utama penulis, BapakProf. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembimbing II penulis, dan Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar IbuDr.T.Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHumdan IbuHj. Chairani Bustami Jusuf, SH. S.pN, MKN yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif


(9)

iv

yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. BapakProf. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), , Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran yang membangun kepada penulis tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada AmandaAlm. H. Syeh Nurdin dan InendaHj. Timah yang telah melahirkan,


(10)

v

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Januari 2014 Penulis,


(11)

vi

Nama : Mabrur

Tempat/Tgl. Lahir : Simpang Balik / 3 Desember 1974

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jalan Takengon-Bireun, Dusun Keude

Simpang Balik, Kecamatan Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah.

II. KELUARGA

Ayah : Alm. H. Syeh Nurdin

Ibu : Hj. Timah

Kakak/Abang : Zuryati, SyN

Zulaika

Azzama, SE, MM. Amridini Sp.d Zulkarnani, SP Gomsalati, SH, SPN Anhar, SE

Mikial, S.Pd

III. PENDIDIKAN

SDN 2 Wih Pesam Ijazah Tahun : 1987

SMPN 2 Wih Pesam Ijazah Tahun : 1990

SMAN 1 Takengon : 1993

S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Ijazah Tahun : 2005 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU Ijazah Tahun : 2014


(12)

vii

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH ASING ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian... 25

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 25

2. Bahan Penelitian ... 26

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 27

4. Analisis Data ... 27

BAB II PRAKTEK LEGALISASI OLEH NOTARIS ... 29

A. Akta dan Jenis-jenis Akta... 29

B. Legalisasi Akta... 36

C. Akta Sebagai alat Bukti... 41

D. Wewenang Notaris Dalam Melakukan Legalisasi ... 47

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG TELAH DILEGALISASINYA ... 55


(13)

viii

A. Akta Yang Dilegalisasi Oleh Notaris sebagai Alat Bukti

Di Pengadilan ... 74

B. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Berkaitan Dengan Akta Di Bawah Tangan yang Telah Dilegalisasinya ... 89

C. Sekilas Tentang Alat Bukti Saksi... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran... 102


(14)

ix Schriftelijk Bewijs : Bukti Tertulis

Gijzeling : Penyanderaan

KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

HIR : Herziene Inlandsch Reglement (Berlaku di daerah Jawa dan Madura)

HAM : Hak Azasi Manusia

INI : Ikatan Notaris Indonesia IUS Constitutum : Hukum Positif

Legalisasi : Penandatanganan Surat/Dokumen di Bawah Tangan di hadapan Notaris

Lex Loci Solutionis : hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan

MPND : Majelis Pengawas Notaris Daerah (Notaris) MPNW : Majelis Pengawas Notaris Wilayah (Notaris) MPNP : Majelis Pengawas Notaris Pusat (Notaris) Minuta Akta : Asli Akta Notaris

PJN : Peraturan Jabatan Notaris Partij Akte : Akta Para Pihak

Pacta Sun Servanda : Janji harus Ditepati

Protocol Notaris : Tempat Penyimpanan Surat Dokumen Notaris

RBg : Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Berlaku di daerah luar Pulau Jawa dan Madura)

Rechthandelling : Perbuatan Hukum Rechtsfeit : Fakta Hukum Rechtszekerheid : Kepastian Hukum Streking : Maksud dan Tujuan Staatblad : Lembaran Negara

UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris Nullus Testis : Satu Orang Saksi bukanlah Saksi


(15)

i

bawah halaman terakhir dari akta itu oleh notaris tersebut dibubuhkan pernyataan bertanggal mengenai keterangan bahwa yang membubuhkan tanda tangan itu dikenal atau diperkenalkan kepadanya. bahwa tulisan tersebut telah dibacakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penandatangan oleh para penghadap. Kemudian Notaris tersebut membubuhkan tandatangannya dan cap di bawah keterangan yang dibuatnya itu, untuk selanjutnya didaftarkan kedalam buku khusus legalisasi Buku khusus berisi daftar legalisasi itu merupakan bagian dari protokol yang harus dimiliki oleh setiap Notaris. Perbuatan legalisasi tidak sama dengan pembuatan akta otentik dan oleh karena itu sifat pertanggungjawabannya juga berbeda baik terhadap Notaris yang yang bersangkutan, maupun terhadap pihak yang melaksanakan kedua perbuatan hukum tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, Dimulai dari premis umum dan diakhiri dengan suatu kesimpulan khusus. Pengumpulan data diperoleh dari bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan hukum kenotariatan khususnya dalam hal legalisasi. Dan bahan-bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah serta artikel-artikel yang relevan dengan penelitian ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Semua Akta selain akta otentik dan belum ditandatangani oleh para pihak boleh dilegalisasi oleh Notaris. Legalisasi yang dimaksudkan disini adalah Penandatanganan surat dibawah tangan dihadapan Notaris disertai dengan pernyataan bertanggal berupa keterangan tertulis yang dibubuhkan oleh Notaris tersebut : bahwa yang membubuhkan tanda tangan itu dikenal atau diperkenalkan kepadanya; bahwa tulisan tersebut telah dibacakan terlebih dahulu sebelum penandatanganannya dan kemudian Notaris tersebut membubuhkan tandatangan dan cap Notaris di bawah keterangan yang dibuatnya itu, kemudian didaftarkan kedalam buku khusus legalisasi. Dengan dilegalisasinya suatu akta oleh Notaris maka kekuatan pembuktian formil dari akta itu akan sama sebagaimana yang dimiliki oleh akta otentik. Pertanggungjawaban Notaris sebagai pejabat publik terhadap akta yang dilegalisasinya hanya sebatas apa yang dia saksikan dan apa yang dia nyatakan pada akhir itu. Perlindungan hukum terhadap Notaris yang melakukan legalisasi adalah bahwa Notaris tersebut hanya dapat dijadikan saksi. Kesepakatan yang dilegalisasinya, telah dibuat dan disepakati oleh para pihak terlebih dahulu sebelum dibawa kehadapannya untuk dilegalisasi.


(16)

ii

Notary after read by notary in the presence of the witnesses. The notary describes the legalization before put the stamp and signs the lower part of the last page of the deed. And then Notary registers the deed into the special register for legalization by put the date based on the date of signing. The special register contains the legalization list as a part of the protocol owned by Notary. The legalization is not same to the preparing the authentic deed and therefore its responsibility is differed either to the Notary or to the parties who do the law action.

This research is an analytic descriptive using the normative juridical as approach refer to the law norms that contained in the valid regulations as normative standard that begin by general premise and ended by a special conclusion. The data is collected from the primary law such as norm or basic principles, basic rule, law and regulation related to the notary law especially in legalization issue. And the tertiary law material that consists of general dictionary, law dictionary, magazines, scientific journal and articles related to this research.

The results of research indicates that all of deed in addition to authentic deed and has not yet signed by parties can be legalized by notary. The legalization means the signing of under hand deed before Notary with any statement on a date such as written statement by notary that the people who sign the deed is known by or introduced to him/her; that the statement had read before the signing and then notary sign and put stamp of notary under the statement made by him/her and then to register it into the special registration for legalization. By a legalization of a deed by Notary, the formal verification of the deed is same as authentic deed. The accountability of notary as public officer to the legalized deed is limited to what had be known by him/her and what his/her statement in the end of the page. The law protection to the Notary who makes legalization is that the Notary only can be a witness. The agreement legalized by him/her had made and approved by parties before take the deed for legalization.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencatatan, merupakan hal yang penting dilakukan didalam kehidupan bermasyarakat. Terutama sekali didalam perbuatan hukum keperdataan yang membutuhkan tersedianya alat bukti atas kebenaran suatu peristiwa. Untuk kejadian-kejadian tertentu, pencatatan yang dilakukan bahkan membutuhkan keterlibatan beberapa orang saksi. Keberadaan saksi-saksi ini penting, mengingat sifat dari manusia itu sendiri rentan akan kealfaan dan kelupaan. Apalagi jika peristiwa-peristiwa itu telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Pencatatan seperti ini, di kenal dengan istilah surat dibawah-tangan.

Bagi umat islam pencatatan sebagaimana disebutkan di atas merupakan suatu hal yang merupakan kewajiban untuk dilakukan, sebagaimana diisyaratkan didalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 182-1831. Ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya dibuat suatu lembaga khusus yang berwenang membuat catatan untuk dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.

“Hai orang-orang yang beriman!, apabila kamu melakukan utang piutang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berpiutang itu mendektekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan Janganlah dia mengurangi sedikitpun

1 Ahmad Hatta,Tafsir Qur’an Perkata, Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah,

Magfirah Pustaka, Jakarta, 2009, hal. 48


(18)

darinya. Jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendektekan sendiri, maka hendaklah walinya mendektekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), supaya jika seorang lupa, maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak (memberi keterangan) jika dipanggil; dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk batas waktunya, baik hutang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan. (Tulislah Mu’amalahmu itu), kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan ambil saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah menulis dipersulit dan begitu juga saksi, jika kamu lakukan (yang demikian), maka sunguh hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan Allah mengetahui segala sesuatu”. Dan jika kamu didalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu memegang amanatnya (Utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena siapa yang menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum, prinsip Negara hukum adalah menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Hal ini mengingatkan kita akan arti pentingnya dilakukan pencatatan terhadap kebenaran suatu peristiwa. Terutama sekali terhadap peristiwa-peristiwa yang membutuhkan pembuktian dimasa yang akan datang. Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum itu, menuntut adanya alat bukti yang menentukan dengan tegas tentang hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum. Berkaitan dengan pencatatan yang akan digunakan sebagai alat pembuktian, negara kita mengenal adanya lembaga


(19)

kenotariatan. Mula-mula lembaga ini muncul pada zaman Romawi, kemudian masuk ke Belanda, dan oleh Pemerintah Kolonial Belanda diperkenalkan hingga akhirnya berkembang seperti sekarang ini. Pencatatan yang dilakukan melalui lembaga ini diantaranya dimaksudkan untuk menciptakan alat bukti tulisan yang kita kenal juga dengan istilah akta.

Jabatan Notaris, merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara2. Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan dan memberikan pengertian tentang Notaris, adalah sebagai berikut :

“Notaris adalah Pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturaan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum atau ditetapkan oleh undang-undang. Seorang advokat, meskipun ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena Ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya untuk hal-hal tertentu, seorang pegawai catatan Sipil meskipun bukan seorang ahli hukum, berhak membuat akta otentik. Minsalnya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta kematian dan lain-lain. Notaris adalah satu-satu pejabat umum yang mempunyai wewenang umum dalam hal pembuatan akta.


(20)

Pasal 2 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa, “Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Sebelum melaksanakan tugas jabatannya sebagai pejabat publik, seorang Notaris harus terlebih dahulu mengucapkan sumpah (janji) menurut agama dan keyakinannya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu3. Pengucapan sumpah ini dilakukan dalam waktu paling lambat dua bulan sejak pengangkatannya4. JIka tidak dilakukan maka pengangkatannya dapat dibatalkan Menteri5. Dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia. Setelah pengucapan Sumpah, seorang Notaris wajib menjalankan jabatannya itu yang dimulai dengan Menyampaikan berita acara sumpah jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Daerah. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan notaris berwarna merah kepada Menteri dan Pejabat lain yang bertanggung jawab dibidang agraria pertanahan, organisasi notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah serta Bupati atau Walikota di tempat Notaris ditugaskan6.

3Pasal 4 ayat (1) UUJN, berbunyi : Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut

agamanya dihadapan Mentri atau Pejabat yang di tunjuk.

4Pasal 5 UUJN, berbunyi : Pengucapan Sumpah/Janji Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud

dalam pasal 4 dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai notaris.

5Pasal 6 UUJN, berbunyi : Dalam hal pengucapan Sumpah/Janji tidak dilakukan sebagaimana

dimaksud di dalam pasal 5, keputusan pengangkatan notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.

6Pasal 7 UUJN, berbunyi : Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, yang bersangkutan wajib : a. Menjalankan jabatan dengan nyata ;

b.Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Daerah; dan

c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan notaris berwarna merah kepada Menteri dan Pejabat lain yang bertanggung jawab dibidang agraria pertanahan, organisasi notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah serta Bupati atau Walikota di tempat Notaris angkat.


(21)

Seorang Notaris perlu memperhatikan “perilaku jabatan” yang menunjukkan tingkat profesionalitas seseorang pada pekerjaannya. Perilaku idealnya yang harus dimiliki oleh seorang Notaris, adalah sebagai berikut :7

1. Dalam menjalankan tugas profesinya. Seorang Notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus menjadi landasan dalam pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral harus dihindarkan.

2. Seorang Notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, tetapi juga pada diri sendiri. Ia juga harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji, sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang Notaris.

3. Seorang Notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, Tentang seberapa jauh Ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku profesional, apabila seorang Notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak ditempat kedudukannya sebagai Notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya dilain tempat. Seorang Notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya.

4. Sekalipun keahliannya dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, Namun dalam menjalankan tugas profesinya seorang Notaris harus dapat menciptakan alat bukti formal yang menjamin kepastian hukum tanpa mengesampingkan rasa keadilan yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman.

Seseorang yang diangkat sebagai Notaris, bekerja untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Agar dapat menjalankan tugas, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangannya dengan baik dan benar. Seorang Notaris haruslah berupaya sedapat mungkin meningkatkan kualitas dirinya. Baik itu melalui

7Nico Winanto,TanggungJawab Notaris Selaku Pejabat Umum,Centre for Documentation


(22)

pendidikan untuk memantapkan pengetahuan dan pemahamannya. Maupun dengan meningkatkan pendalamannya terhadap ilmu pengetahuannya

Akta Otentik hasil pencatatan yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Catatan ini dapat menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula menghindari terjadinya sengketa.8 Pada hakikatnya, Akta otentik memuat kebenaran formal, sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak. Notaris berkewajiban untuk memasukkan, bahwa apa yang termuat dalam akta itu sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan memperjelas isi dan membacakannya. Notaris juga berkewajiban memberikan akses terhadap informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Sehingga para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta yang akan ditandatanganinya.9 Para pihak juga, dapat membuat akta yang akan dipergunakan sebagai alat bukti tanpa bantuan Notaris, akta seperti ini, dikenal dengan istilah akta dibawah-tangan

Selain kewenangan untuk membuat akta otentik, Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris berwenang pula untuk :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus;

8Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang jabatan Notaris, Legal

Center Publishing, hal 47.


(23)

b. Membukukan surat -surat dibawah-tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat kopy dari asli surat-surat dibawah-tangan, berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau membuat akta

risalah lelang.

Pengertian legalisasi dapat juga ditemui pada Pasal 1874 ayat 2 (dua) dan 1874a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1874 menyatakan bahwa :

“Dengan penandatanganan sepucuk tulisan dibawah tangan dipersamakan dengan cap jempol, dibubuhi dengan suatu persyaratan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi”.

Pasal 1874a menyatakan bahwa :

“Jika pihak-pihak yang berkepentingan menghendaki, dapat juga di luar hal yang dimaksud dalam ayat kedua Pasal lalu, pada tulisan-tulisan dibawah tangan yang ditandatangani, diberi suatu persyaratan dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang, darimana ternyata bahwa ia mengenal si penandatangan, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan bahwa setelah itu penanda tanganan telah dilakukan dihadapan pegawai tersebut”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa wewenang legalisasi untuk surat-surat dibawah-tangan tidak hanya diberikan kepada Notaris sebagai pejabat umum akan tetapi juga kepada pejabat umum lain.


(24)

Dalam perbuatan surat dibawah-tangan yang dilegalisasi oleh Notaris sebagaimana dimaksudkan didalam pasal-pasal tersebut diatas, dapat dipahami bahwa kedudukan Notaris hanyalah sebagai saksi yang menyaksikan telah dibuat suatu akta perjanjian dibawah-tangan oleh para pihak dan Ia menyaksikan penandatangannya secara langsung.10Oleh karena itu akta dibawah-tangan yang dilegalisasi oleh Notaris tidak dapat disamakan kedudukan hukumnya dengan akta otentik, karena kewenangan Notaris pada masing-masing perbuatan itu memiliki dasar hukum serta tanggung jawab hukum yang berbeda. Perbedaan yang paling prinsipil antara akta otentik dan akta dibawah-tangan adalah pada bentuk dari akta tersebut.11 Sedangkan perbedaan antara akta dibawah-tangan yang dilegalisasi oleh Notaris dengan yang tidak dilegalisasi adalah sebagai berikut :

“Perbedaan surat dibawah-tangan yang telah dilegalisasi oleh Notaris dengan surat dibawah-tangan yang tidak dilegalisasi oleh Notaris, ialah bahwa surat dibawah-tangan yang dilegalisasi oleh Notaris mempunyai tanggal yang pasti, tanda-tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan asli dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan, bahwa ia tidak mengetahui apa isi surat itu, oleh karena isinya telah terlebih dahulu dibacakan kepadanya sebelum ia membubuhkan tanda tangannya di hadapan pejabat itu.12

Berdasarkan uraian-uraian yang tersebut di atas maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan akan membahas lebih lanjut mengenai praktek perbuatan, pembuatan legalisasi oleh Notaris. Bagaimana aspek hukum yang melingkupinya,

10 A. Kohar,Notaris Dalam Praktek Hukum,Alumni Bandung, 1984, hal 26. 11 AR Putri,Perlindungan Hukum terhadap Notaris, Sofmedia, Jakarta, 2011, hal.17. 12Tan Thong Kie,Serba-Serbi Praktek Kenotariatan,Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal 45.


(25)

sejauh mana tanggung jawabnya dan bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris atas perbuatan, pembuatan legalisasi yang dilakukannya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Surat atau akta apa saja yang dapat dilegalisasi oleh Notaris dan apa arti legalisasi oleh Notaris.

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban Notaris sebagai pejabat publik terhadap akta yang telah dilegalisasinya tersebut, dan

3. Bagaimanakah Perlindungan hukum terhadap Notaris yang melakukan legalisasi terhadap akta dibawah-tangan apabila akta tersebut diajukan sebagai alat bukti di pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis surat atau akta apa saja yang dapat dilegalisasi oleh notaris dan apa arti legalisasi oleh notaris.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pertanggungjawaban Notaris sebagai pejabat publik terhadap akta yang telah dilegalisasinya tersebut.


(26)

3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris yang melakukan legalisasi apabila akta tersebut diajukan sebagai alat bukti di pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum kenotariatan tentang legalisasi pada khususnya terutama mengenai tanggung jawab dan perlindungan hukum Notaris dalam melakukan perbuatan hukum legalisasi. Disamping itu juga dapat menjadi litelatur dalam memperkaya khazanah dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum perdata dan kenotariatan di perguruan tinggi.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pihak dan Notaris yang membuat perjanjian dan melakukan perbuatan legalisasi, agar para pihak mengetahui dan memahami secara lebih mendalam mengenai pengetahuan hukum, tanggung jawab dan perlindungan hukum atas perbuatan legalisasi yang dilakukan oleh Notaris.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di Perpustakaan Ilmu Magister Hukum maupun pada Perpustakaan Magister Kenotariatan di Lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan,


(27)

sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan masalah Notaris adalah sebagai berikut :

1. Hasnah (067011039), “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Dan PPAT sebagai Pejabat Umum”.

Substansi permasalahan yang dibahas dalam penelitian atas nama Hasnah tersebut di atas adalah :

a. Apa saja tugas dan kewenangan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum?

b. Bagaimana persamaan dan perbedaan Notaris dan PPAT sebagai pejabat umum?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris dan PPAT sebagai Pejabat umum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya?

2. Gloria Gita Putri Ginting (047011029), “Pertanggung Jawaban Notaris terhadap Akta yang Mengandung Sengketa (Studi di Kota Medan)”.

Substansi permasalahan yang dibahas dalam penelitian Gloria Gita Putri Ginting tersebut adalah :

a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya berdasarkan UUJN No.30 Tahun 2004.

b. Bagaimana peran dan tanggung jawab Notaris dalam penyelesaian akta yang mengandung sengketa?


(28)

3. Junita Sila Kariani Zebua (087011059), “Analisis Yuridis Tugas Jabatan Notaris dan Perlindungan Hukum Terhadap Notaris”

Substansi permasalahan yang dibahas dalam penelitian Gloria Gita Putri Ginting tersebut adalah :

a. Bagaimana tanggung jawab jabatan Notaris dalam pembuatan akta

b. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap kekuatan pembuktian akta sebagai alat bukti

c. Bagaimana perlindungan hukum bagi Notaris Selaku Pejabat umum dalam menjalankan tugas jabatannya.

Dari ketiga judul penelitian diatas dan dari pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut berbeda dengan judul dan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Menjalankan Kewenangan Jabatannya Melakukan Legalisasi” belum pernah dilakukan penelitian, sehingga hasil penelitian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, Tiori juga berfungsi untuk memberikan arahan/petunjuk


(29)

dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.13. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Tiori juga menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut15.

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum.16 Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk mencapai kedamaian, hukum harus diciptakan didalam masyarakat secara adil dengan mengadakan penyatuan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam mewujudkan keadilan.17 Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Dan setiap orang hanya akan bertanggung jawab tidak lebih dari apa yang dia perbuat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen berikut :18

“Suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan, biasanya yakni dalam hal sanksi di tujukan

13 J.J.J. M. Wuisman, dengan menyunting M.Hisyam. Penelitian ilmu-ilmu Sosial, FE.UI,

Jakarta, 1996, hal 203.

14Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986, hal 6.

15Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yokyakarta, Andi,

2006 hal. 6.

16 Achmad Ali, Mengenal Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofi dan Sosiologi), Prenada

Media, Jakarta, hal 2005 dan hal 85.

17R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 57.

18Hans Kelsen,Teori Hukum Murnidengan buku asliGeneral Theory of Law and State, alih


(30)

kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggung jawab hukum dan subjek dari kewajiban hukum tertentu”.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tanggung-jawab hukum. Peraturan hukum tentang legalisasi yang menjadi bagian dari wewenang Notaris tercantum didalam Pasal 1874 ayat (2), Pasal 1874a KUH Perdata dan Pasal 15 ayat (2) Undang-UndangJabatan Notaris Nomor : 30 Tahun 2004. Didalam pasal-pasal tersebut dengan tegas dijelaskan, bahwa dalam perbuatan legalisasi notaris hanya bertindak sebagai pejabat umum yang berwenang mengesahkan tanda tangan para pihak, terhadap akta dibawah-tangan yang dibawa kehadapannya, Notaris tidak terlibat langsung didalam membuat kesepakatan itu. Oleh karena itu, dalam hal pemeriksaan yang dilakukan terhadap Notaris, baik yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris maupun penyidik (POLRI) terhadap perbuatan legalisasi yang dilakukannya harus berdasarkan asas keadilan dengan menggunakan prinsip pemeriksaan praduga tak bersalah. Hal ini penting, mengingat Notaris bekerja berlandaskan Undang-Undang dan oleh karena itu Undang-Undang juga wajib memberikan perlindungan hukum terhadapnya agar Notaris tersebut tidak diperlakukan secara sewenang-wenang.19

Legalisasi yang diperbuat oleh Notaris terhadap suatu akta dibawah-tangan pada prinsipnya merupakan tanggungjawab sepenuhnya dari para pihak yang membuatnya, sesuai dengan makna dari legalisasi adalah akta yang biasa dibuat dibawah-tangan dimana isi atau redaksinya tidak dibuat oleh/atau dihadapan Notaris. meskipun pada prakteknya kadang-kadang pegawai notaris yang memiliki konsepnya atau yang mengetik dan mencetaknya. Para pihak

19Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap Undang-Undang No. 30


(31)

yang membawa akta dibawah- tangan tersebut terlebih dahulu memperoleh penjelasan dari notaris mengenai akibat hukumnya, setelah para pihak mengerti dan memahami akta di bawah tangan tersebut kemudian menandatanganinya di hadapan Notaris yang bersangkutan. Setelah para pihak yang membuat akta di bawah tangan tersebut menandatanganinya, lalu oleh Notaris yang bersangkutan dicatatkan dalam buku daftar legalisasi dengan memberi nomor dan tanggal sesuai dengan tanggal penandatanganan dari akta dibawah-tangan tersebut. Dalam hal ini, meskipun penandatanganan akta di bawah tangan tersebut dilakukan di hadapan Notaris, namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap isi akta dibawah-tangan tersebut, Notaris hanya menjamin tanggal dan orang/pihak yang menandatanganinya adalah orang yang wajib dan berwenang. Notaris juga menjamin bahwa nama-nama yang tertera dalam akta dibawah-tangan tersebut adalah sama dengan nama dari orang-orang yang menghadap Notaris tersebut juga menandatangani akta dibawah-tangan itu.20

Oleh karena itu untuk menjamin adanya perlindungan hukum terhadap Notaris dalam hal pembuatan legalisasi, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kode Etik Profesi Notaris dan Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris.21

Untuk menganalisa masalah pembuatan legalisasi oleh Notaris serta pertanggung jawaban hukumnya dibutuhkan pendekatan sistem (approach system). Maksud menggunakan pendekatan sistem adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum yang berkaitan dengan tugas dan jabatan Notaris

20Henry Sammi,Legalisasi dan Akibat Hukumnya Bagi Notaris, Citra Ilmu, Jakarta, 2009,

hal 19.


(32)

sebagai pejabat umum tersebut, sehingga menghasilkan pendapat yang baik dan benar.22

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan, diatasmana dibangun tertib hukum.23 Berdasarkan sistem ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum kenotariatan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan tempat berpijak di atas mana tertib hukum jabatan profesi Notaris itu dibangun. Dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum kenotariatan merupakan suatu sistem hukum.24 Kebutuhan akan alat bukti dalam hubungan hukum keperdataan antar anggota masyarakat mendorong lahirnya lembaga Notariat yang ditegaskan oleh kekuasaan umum untuk dimana perlu bila Undang-Undang mengharuskan atau masyarakat menghendakinya dapat membuat alat bukti tertulis guna dipergunakan sebagai alat bukti otentik. Didalam sengketa alat bukti berupa Akta otentik merupakan alat bukti terkuat yang dapat memberikan sumbangan nyata dalam penyelesaian perkara25.

UUJN Nomor 30 Tahun 2004 yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu Tanggal 6 Oktober 2004 merupakan perwujudan unifikasi hukum kenotariatan yang mengandung tiga hal pokok berkaitan dengan pelaksanaanya yaitu :

1. Pengawasan ; 2. Perlindungan ; dan

22Abdul Bari Azed,Profesi Notaris sebagai Profesi Muda,Media Ilmu, Jakarta, 2005, hal 46. 23Mariam Darus Badrulzaman,Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung,

1986, hal 14.

24Ibid, hal 15.

25Nurman Rizal,Implementasi UUJN Kaitannya dengan Pengawasan,Renvoi 30 November


(33)

3. Organisasi Notaris.

Dalam menjalankan jabatannya seorang notaris harus bersifat tidak memihak terhadap siapa saja yang meminta bantuannya. Harus tetap berada didalam koridor-koridor hukum yang berlaku. Kode etik profesi notaris merupakan suatu rumusan norma moral manusia bagi mereka yang mengemban profesi tersebut. Menjadi tolak ukur perbuatan anggota kelompok sebagai upaya mencegah berbuat yang tidak etis bagi anggotanya26. Oleh karena itu, penting adanya pengawasan terhadap notaris.

Pengawasan atas Notaris meliputi prilaku notaris dan pelaksanaan jabatannya, termasuk pembinaan yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM terhadap Notaris27. Majelis Pengawas ditingkat pusat disebut Majelis Pengawas Pusat (MPP), Majelis Pengawas ditingkat propinsi disebut disebut Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas ditingkat kabupaten/kota (daerah) disebut dengan Majelis Pengawas Daerah (MPD)28.

26Abdul Kadir Muhammad,Etika Profesi Hukum,Citra Aditya Bakti,Bandung, 2001 hal 72. 27Pasal 67 UUJN berbunyi :

(1). Pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri

(2). Dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud didalam ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.

(3). Majelis pengawas sebagaiman dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (Sembilan) Orang, terdiri atas unsur ; a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;

b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan c. Ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.

(4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur Instansi Pemerintah, sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) hurup (a) keanggotaan dalam majelis pengawas di isi dari unsur lain yang ditunjuk oleh menteri.

(5) Pengawasan sebagiman dimaksud pada ayat 2 (satu) meliputi perilaku Notaris dan Pelaksanaan Jabatan Notaris.

(6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagimana dimaksu pada ayat 5 (lima) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.


(34)

Pada mulanya, sesuai ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 tahun 2004. Pemanggil Notaris oleh penyidik POLRI baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah. Namun kemudian ketentuan ini dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan “Persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan” melalui putusan Nomor : 49/PUU-X/2012. Meskipun ketentuan tersebut tidak berlaku lagi, perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesi dan tugasnya harus tetap harus ditegakkan. Namun demikian, Prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatan perlu dimiliki oleh setiap Notaris, sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap dirinya sendiri bila dikemudian hari akta ataupun perbuatan legalisasi yang telah dilakukannya menimbulkan permasalahan hukum.29

“Sekalipun keahlian seorang Notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang tegas untuk mendapatkan uang, namun dalam menjalankan tugas profesinya, ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang Notaris yang pancasila harus berpegang teguh rasa keadilan yang hakiki. Tidak terpengaruh dengan jumlah uang, dan tidak semata-mata menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan.”30

Sejak lahirnya UUJN Nomor 30 Tahun 2004, dunia Kenotariatan mengalami perkembangan hukum yang cukup signifikan dalam hal:

1. Kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yaitu : kewenangan Notaris dalam mengesahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawahtangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat-surat di

29 R. Soegondo Notodisoerdjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali,

Jakarta, 1982, hal 53.

30Liliana Tedjosaputro,Etika Profesi dan Profesi Hukum,Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hal


(35)

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat-surat dibawa-tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pemeriksaan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan membuat akta risalah lelang.31

Pada Penjelasan ketentuan Pasal 15 ayat (2) butir (a) UUJN dikatakan bahwa perbuatan hukum sebagaimana disebutkan di dalam ayat tersebut merupakan legalisasi terhadap akta dibawah-tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.32

2. Pelaksanaan sumpah Jabatan Notaris oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia berdasarkan.

3. Notaris diperbolehkan menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata berupa kantor bersama33.

4. Mengamanatkan agar Notaris berhimpun dalam suatu wadah, organisasi notaris sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 200434.

31

Mohammad Affandi Nawawi,Notaris sebagai Pejabat Umum Berdasarkan UUJN Nomor 30 tahun 2004,Mitra Media, Jakarta, 2006, hal 23.

32Makna pemateraian adalah pembayaran pajak atas dokumen/akta notaris beserta salinannya

berdasarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang bea materai jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai Dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan bea materai.

33Pasal 20 UUJN berbunyi :

(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidak berpihakan dalam menjalankan jabatannya.

(2) Bentuk perserikatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur oleh para notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan Notaris sebagimana dimaksud pada ayat (1) di atur dalam peraturan Menteri


(36)

Dalam proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dapat mengambil fotocopy minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris yang ada dalam penyimpanannya. Notaris dapat juga dimintakan kehadiranya dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau berkaitan dengan protokol yang berada dalam penyimpanannya. Terhadap protocol yang dimintakan, notaris bersangkutan berkewajiban untuk membuat berita acara peyerahannya35.

Protocol Notaris yang dimaksudkan adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (13) UUJN yang menyatakan bahwa, Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris. Dalam penjelasan pasal 62 UUJN disebutkan Protokol notaris terdiri atas :

a. Minuta akta ;

b. Buku daftar akta atau refertorium;

c. Buku daftar akta di bawah tangan yang penandatangannya dilakukan di hadapan Notaris atau akta di bawah tangan yang di daftar;

d. Buku daftar nama penghadap atau klapper; e. Buku daftar protes ;

f. Buku daftar wasiat; dan

g. Buku daftar lain yang harus di simpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

34

Pasal 82 UUJN berbunyi :

(1) Notaris terhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.

(2) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan didalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

35Pasal 66 UUJN berbunyi :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

a. Mengambil fotocopy minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protocol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan photokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.


(37)

Sebelum keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 49/PUU-X/2012, Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya diberikan oleh ketentuan pasal 66 ayat 1 UUJN dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksana UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tersebut. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut mengatur lebih rinci tentang tata cara pengambilan dokumen surat-surat yang berada dalam penyimpanan Notaris atau pemanggilan Notaris untuk kepentingan proses pemeriksaan di pengadilan, penyelidikan maupun penyidikan. Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 14.03.HT.01.10 Tahun 2007 menyatakan, “Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD). Permohonan sebagaimana di maksud tersebut wajib memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa. Permohonan tersebut tembusannya disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Tetapi dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ijin Majelis Pengawaas daerah tidak diperlukan lagi.

“Dalam proses pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri dalam suatu perkara pidana, baik pemanggilan Notaris sebagai saksi maupun sebagai tersangka merupakan suatu proses penyelidikan dan penyidikan yang tujuannya adalah untuk mencari bukti permulaan yang cukup dan bukti-bukti lainnya yang akan membuat jelas dan terang suatu perbuatan pidana yang telah terjadi dan bagaimana perbuatan pidana yang telah terjadi tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”.36

36 Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan dan Praperadilan dalam Teori dan Prakatek,


(38)

Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR 2000 dan Ketetapan MPR RI Nomor : VII/MPR 2000, menyatakan bahwa keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yang memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan, Undang-Undang memberi hak istimewa atau “hakprivilese” kepada Polri untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut harus taat dan tunduk kepada prinsip “the right of due process”. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik diatas landasan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981.

Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani tindak pidana. Tidak seorangpun berada dan menempatkan diri di atas hukum(no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manuver). Essensi due process adalah setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus mentaati hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan umum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.37


(39)

Dalam melaksanakan pemanggilan, pemeriksaan terhadap Notaris penyidik Polri harus berpegang kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan juga nota kesepahaman antara kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Nomor : Polisi B/1056/V/2006, Nomor : 01MOU/PP-INI/V/2006 tentang pembinaan dan peningkatan profesinalisme di bidang penegakan hukum dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris sebagai pejabat umum, meskipun Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN Nomor 30 Tahun 2004 telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 49-PUU/X/2012.38

Notaris merupakan jabatan kepercayaan, profesi terhormat dan mulia yang harus pula memperoleh perlindungan hukum dari Undang-Undang dalam melaksanakan tugas jabatannya.39

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstrak dan kenyataan40. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi operasional.41 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai42

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang

38Habib Adjie, Op.Cit. hal. 38.

39Endang Widiastuti,Notaris dan Kode Etik Profesi,Sumber Ilmu, Jakarta, 2008, hal 36 40Masri Singarimbun, dkk.Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, hal. 34.

41Sumadi Suryabrata,Metodologi Penelitian,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 307. 42 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan. Alumni


(40)

menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.43Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, harus dibuat seberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu : 1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004.

2. Legalisasi adalah praktek legalisasi dalam arti luas termasuk pencocokan tanda tangan copy suatu dokumen dengan dokumen aslinya.

3. Legalisasi oleh Notaris adalah “Penanda tanganan suatu tulisan dihadapan Notaris atau pejabat umum yang berwenang untuk itu disertai dengan pernyataan bertanggal berupa keterangan tertulis yang dibubuhkan oleh pejabat bersangkutan mengenai keterangan bahwa yang membubuhkan tanda tangan itu dikenal atau diperkenalkan kepadanya, bahwa tulisan tersebut telah dijelaskan terlebih dahulu sebelum dilakukan penandatangannya. Kemudian Notaris membubuhkan tandatangannya dan membubuhkan cap stempel, barulah kemudian Notaris tersebut mendaftarkannya pada buku daftar khusus legalisasi. 4. Wewenang Notaris adalah wewenang Notaris dalam pembuatan, perbuatan

legalisasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

5. Akta adalah Surat yang ditanda-tangani untuk dipergunakan sebagai alat bukti


(41)

6. Alat bukti adalah bahan-bahan atau bukti yang diperlukan oleh hakim dalam menarik suatu kesimpulan.

7. Pertanggung jawaban Notaris adalah suatu pertanggung jawaban hukum Notaris terhadap pembuatan legalisasi yang telah dilakukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang kenotariatan.

8. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang-Undang terhadap Notaris berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat publik apabila dikemudian hari ternyata pelaksanaan tugas jabatan Notaris tersebut menimbulkan permasalahan hukum, khususnya di bidang hukum pidana.

9. Pemanggilan Notaris adalah pemberitahuan tertulis kepada Notaris oleh penyidik Polri dalam rangka penyelidikan dan/atau penyidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris tersebut berkaitan dengan pembuatan legalisasi yang telah dilakukannya.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembuatan legalisasi oleh Notaris dan juga dibidang kenotariatan serta bidang hukum lainnya. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, maksudnya penelitian ini berupaya untuk


(42)

memaparkan segala permasalahan yang ada dengan tujuan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis yang dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan yang timbul.

2. Bahan Penelitian

Bahan dari penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan berkaitan dengan penelitian ini dengan cara studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan primer adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UUJN Nomor 30 Tahun 2004 dan peraturan pelaksana lainnya yang berkaitan dengan pembuatan hukum kenotariatan.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah hukum tentang hukum kenotariatan pada umumnya dan ketentuan serta tata cara legalisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan bidang kenotariatan pada khususnya.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, Ensiklopedia, kamus umum dan sebagainya.


(43)

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data (bahan hukum) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen untuk memperoleh data dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan urutan dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa yang disarankan oleh data. Di dalam penelitian hukum normatif,44maka analisis pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap hukum tertulis primer, sekunder, maupun tertier, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum tertulis yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum kenotariatan yaitu KUH Perdata, KUH Pidana, UUJN Nomor 30 tahun 2004 dan Peraturan Pelaksana UUJN Nomor 30 Tahun 2004, Literatur-literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah pembuatan legalisasi oleh Notaris dan juga bidang hukum kenotariatan yang dijadikan pedoman untuk menghasilkan jawaban yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Semua data yang diperoleh tersebut di atas dianalisa secara kualitatif dan penarikan kesimpulan

44Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal


(44)

digunakan dengan menggunakan metode logika deduktif, yaitu penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat umum (kaidah hukum yang terdapat dalam KUH Perdata UUJN Nomor 30 Tahun 2004) menuju hal-hal yang bersifat khusus (pembuatan legalisasi oleh Notaris dan pertanggung jawaban hukumnya).


(45)

BAB II

PRAKTEK LEGALISASI OLEH NOTARIS

A. Akta dan Jenis-Jenis Akta

Istilah akta berasal dari Belanda yaitu Akte. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat. Pertama mengartikan akta sebagai surat dan kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Beberapa Sarjana yang menganut pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat antara lainPitlo45, mengartikan akta yaitu “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.

Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan.46 Selanjutnya Fokema Andrea dalam bukunya Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia berpendapat, yang dimaksud dengan akte adalah :47

a. Dalam arti luas, akte adalah perbuatan-perbuatan hukum(rechthandelling); b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan hukum

yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu. Sementara itu akte menurut pendapat

45Pitlo,Pembuktian dan Daluwarsa,Internusa, Jakarta, 1986, hal 52.

46Sudikno Mertokusumo,Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1979,

hal 106.

47N.E.Algra. H.R.W. Gokkel, Saleh Adwinata,Kamus Istilah Hukum,Bina Cipta, Bandung,


(46)

Marjanne Ter Mar Shui Zen, istilah akte (Bahasa Belanda) disamakan dengan istilah dalam Bahasa Indonesia yaitu :48

c. Akta; d. Akte; e. Surat.

Apabila dibandingkan dengan pendapat Pitlo dan Sudikno Mertokusumo, Marjenne tidak memberi pengertian tentang akte, melainkan memberi terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Hal ini berbeda dengan pendapat dari Algra dan lainnya,

Menurut R. Subekti, kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa Latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan.49 Selain pengertian akta sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan.

Pasal 108 KUH Perdata menyebutkan “Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak boleh ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari suaminya”. Menurut R. Subekti menyatakan kata “akta” pada Pasal 108 KUH Perdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Perancis yaitu

48 Marjenne Ter, Mar Shui Zen, Kamus Hukum Belanda, Belanda-Indonesia, Djambatan,

Jakarta, 1999, hal 19.


(47)

acte” yang artinya adalah perbuatan.50 Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

Ada dua unsur yang harus di penuhi agar suatu tulisan memperoleh kualifikasi sebagai akta yakni51:

1. Tulisan itu harus ditandatangani; dan

2. Tulisan itu diperbuat dengan tujuan untuk dipergunakan menjadi alat bukti. Dalam hukum kenotariatan di tinjau dari segi pembuatanya, dikenal 2 (dua) macam jenis akta yaitu akta otentik dan akta dibawah-tangan. Akta otentik dibagi dalam 2 (dua) macam yaitu akta pejabat(ambetelijk acte)dan akta para pihak (partij acte). Diatas telah diterangkan bahwa wewenang serta pekerjaan pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik, baik yang dibuat dihadapan(partij acten)maupun oleh Notaris (relaas acten) apabila orang mengatakan akta otentik, maka pada umumnya yang dimaksudkan tersebut tidak lain adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.

Menurut Kohar akta otentik adalah akta yang mempunyai kepastian tanggal dan kepastian orangnya, sedangkan Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana

50R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT. Internusa, Jakarta, 2006, hal 29.

51 M.U. Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, (Program Pendidikan Spesialis Notaris,


(48)

akta dibuat.52 Pasal 1874 KUHPerd, menyebutkan Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah-tangan, surat daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Ketentuan lain mengenai surat dibawah tangan juga disebutkan didalam KUH Perdata 1878 tentang perikatan utang sepihak dibawah-tangan dan pasal 932 tentang wasiat olografis,

Berdasarkan pihak yang membuatnya, untuk akta otentik dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a) Akta para pihak(partij akte)

Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang berisi keterangan yang dikehendaki oleh para pihak untuk dimuatkan dalam akta bersangkutan. Termasuk kedalam akta ini minsalnya ; akta jual beli, akta perjanjian pinjam pakai, akta perjanjian kridit, akta perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain. jadi

partij akteadalah :

1. Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan 2. Berisi keterangan para pihak.

b) Akta Pejabat(Ambtelijk Akte atau Relaas Akte)

Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat berwenang, tentang apa yang dia lihat dan saksikan dihadapannya. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Yang termasuk kedalam


(49)

akta diantaranya; Berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas; Berita acara lelang; Berita acara penarikan undian; Berita acara rapat direksi perseroan terbatas; Akta kelahiran, Akta kematian, Kartu tanda penduduk, Surat izin mengemudi; Ijazah; Daftar inventaris harta peninggalan dan lain-lain. Jadi

Ambetelijk AkteatauRelaas Aktemerupakan : 1. Inisiatif ada pada pejabat;

2. Berisi keterangan tertulis dari pejabat(ambetenaar)pembuat akta.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah-tangan adalah :

1. Akta Otentik dibuat dengan bantuan Notaris atau pejabat umum yang berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. 2. Akta dibawah tangan dibuat oleh para pihak yang berkepentingan untuk itu

tanpa campur tangan dari Notaris atau Pejabat umum. Sehingga bentuknyapun bervariasi (berbeda-beda).

Akta Otentik baik yang dibuat oleh Notaris maupun Akta yang dibuat Oleh Pejabat lainnya dapat dipersamakan dengan akta dibawah-tangan, apabila ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat untuk dinyatakan sebagai akta otentik tidak terpenuhi didalam proses pembuatanya. Sebagaimana yang disebutkan didalam ketentuan pasal 1869 KUHPerd. “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenangnya atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di


(50)

bawah-tangan bila ditandatangani oleh para pihak”. Tindakan-tindakan tertentu akibat kelalaian notaris dapat pula mengakibatkan kekuatan akta otentik yang dibuatnya sama sebagaimana yang dimiliki oleh akta dibawah-tangan. Hal ini dinyatakan tegas didalam ketentuan pasal 41 UUJN berikut ini. “Apabila ketentuan dalam Pasal 39 dan Pasal 40 tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”.

Pasal 39 UUJN menyatakan :

1. Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belaas tahun) b. Cakap melakukan perbuatan hukum

2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

3. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalamakta.

Pasal 40 UUJN menyatakan :

1. Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain 2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;b.cakap melakukan perbuatan hukum;

b. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; c. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan

3. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.


(51)

4. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris u atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.

5. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.

Akta yang dibuat dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa) yaitu, suatu akta harus dibuat untuk lengkap atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum. Tetapi dapat juga berfungsi sebagai alat bukti. Fungsi formil suatu akta diperlihatkan pada pasal-pasal berikut : Ketentuan Pasal 1610 KUH Perdata tentang perlunya persetujuan tertulis dari pemilik bangunan, bila pemborong atau arsitek ingin merubah volume pekerjaan; Pasal 1767 KUH Perdata tentang perjanjian utang piutang dengan bunga, dimana besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian itu harus dinyatakan secara tertulis. dan Pasal 1851 KUH Perdata tentang persetujuan damai dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang untuk mengakhiri suatu perkara. Dalam hal ini persetujuan-persetujuan itu dapat di buat kedalam bentuk dibawah-tangan. Sedangkan pembuatan akta otentik diisyaratkan pada Pasal 1945 KUH Perdata tentang kuasa untuk melakukan sumpah oleh Hakim yang memeriksa perkara kepada orang lain; Pasal 938 KUHPerdata tentang Wasiat dengan akta umum ; Kemudian Pasal 1868 mengisyaratkan tentang akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atau oleh notaris berdasarkan apa yang dia lihat dan saksikan yaitu : Akta risalah lelang; Inventarisasi harta peninggalan; Berita acara penarikan undian; Berita acara rapat direksi pada perseroan terbatas; Berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas dan lain-lain.


(52)

B. Legalisasi Akta

Apabila melihat ketentuan dalam buku IV KUHPerdata terutama Pasal 187453, 1874a54, 188055; mengisyaratkan tentang perlunya legalisasi surat-surat akta yang ditandatangani dibawah-tangan, surat daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain apabila hendak dipergunakan didalam proses pembuktian.

Dalam prakteknya seringkali legalisasi yang dilakukan tidaklah sebagaimana yang dimaksudkan oleh ketentuan-ketentuan tersebut. Minsalnya legalisasi yang dilakukan oleh dinas kependudukan, dalam lagalisasi akta kelahiran, atau akta lain seperti akta/surat kematian, kartu tanda penduduk dan lain sebagainya. Atau sebagaimana yang dilakukan oleh pejabat sekolah/perguruan tinggi dalam legalisasi izajah. Legalisasi seperti yang dilakukan oleh pejabat pemerintah sebagaimana

53 Bunyi Pasal 1874 Adalah : Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta

yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

54 Bunyi Pasal 1874a adalah : Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal

termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penandatangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan, bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.

55 Bunyi Pasal 1880 adalah : Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan

sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam pasal 1874a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang; atau sejak hari meninggalnya si penandatangan atau salah seorang penandatangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta dibawah-tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta dibawah-tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi dengan akta itu.


(1)

Lampiran 1

Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan

Pasal 1867 berbunyi, Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.

Pasal 1868 berbunyi : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Pasal 1869 berbunyi : Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenangnya atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.

Pasal 1870 berbunyi : Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.

Pasal 1871 berbunyi : Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

Pasal 1872 berbunyi : Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.

Pasal 1873 berbunyi: Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan-dengan akta asli, hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut-serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga.


(2)

Pasal 1874 berbunyi : Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

Pasal 1874a.berbunyi : Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penandatangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan, bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut. Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dari pasal yang lalu.

Pasal 1875 berbunyi : Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu. Pasal 1876 berbunyi: Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan

oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya, cukuplah mereka menerangkan bahwa


(3)

mereka tidak mengakui tulisan atau tanda-tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.

Pasal 1877 berbunyi: Jika seseorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya tidak mengakuinya, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

Pasal 1878 berbunyi : Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penandatangan sendiri; setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penandatangan sendiri suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang. Jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perikatan dipungkiri, akta yang ditandatangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap surat-surat andil dalam suatu utang obligasi, terhadap perikatan-perikatan utang yang dibuat oleh debitur dalam menjalankan perusahaannya, dan terhadap akta-akta di bawah tangan yang dibubuhi keterangan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan pasal 1874a.

Pasal 1879 berbunyi : Jika jumlah yang disebutkan dalam akta berbeda dari jumlah yang dinyatakan dalam tanda setuju, maka perikatan itu dianggap telah dibuat untuk jumlah yang paling kecil, walaupun akta beserta tanda setuju itu ditulis sendiri dengan tangan orang yang mengikatkan diri, kecuali, bila dapat dibuktikan, dalam bagian mana dari keduanya telah terjadi kekeliruan.

Pasal 1880 berbunyi : Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam pasal 1874a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang; atau sejak hari meninggalnya si penandatangan atau salah seorang


(4)

dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi dengan akta itu.

Pasal 1881 berbunyi : Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap pembuatnya: 1?. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah diterima; 2?. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas-hak untuk kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan. Dalam segala hal lainnya, hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.

Pasal 1883 berbunyi : Selama di tangan seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas-hak harus dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur. Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan pada salinan suatu tanda alas-hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur.

Pasal 1884 berbunyi : Atas biaya sendiri, pemilik suatu tanda alas-hak dapat mengajukan permintaan agar tanda alas-hak itu diperbaharui bila karena lamanya atau suatu alasan lain tulisannya tidak dapat dibaca lagi.

Pasal 1885 berbunyi : Jika suatu tanda alas-hak menjadi kepunyaan bersama beberapa orang, maka masing-masing berhak menuntut supaya tanda alas-hak itu disimpan di suatu tempat netral, dan berhak menyuruh membuat suatu salinan atau ikhtisar atas biayanya.

Pasal 1886 berbunyi : Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak, yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.


(5)

Pasal 1887 berbunyi Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan pasangannya, jika digunakan di antara orang-orang yang biasa menggunakannya untuk membuktikan penyerahan atau penerimaan barang dalam jual-beli secara kecil-kecilan, harus dipercaya.

Pasal 1888 berbunyi Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan.

Pasal 1889 berbunyi Bila tanda alas-hak yang asli sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1?. salinan pertama (grosse) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah, sebagaimana juga salinan yang dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka; 2?. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak, entah oleh notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minut) dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang; 3?. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh notaris yang di hadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis; 4?. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Pasal 1890 berbunyi : Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya-dapat memberikan bukti permulaan tertulis.

Pasal 1891 berbunyi : Akta pengakuan membebaskan seseorang dari kewajiban untuk menunjukkan tanda alas-hak yang asli, asal dari akta itu cukup jelas isi


(6)

Pasal 1892 berbunyi : Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan tersebut. Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela, setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah. Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk dan pada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga.

Pasal 1893 berbunyi : Seorang pemberi hibah tidak dapat menghapuskan cacat-cacat bentuk penghibahan itu dengan membuat suatu akta pembenaran; penghibahan itu, agar sah, harus diulangi dalam bentuk yang ditentukan undang-undang.

Pasal 1894 berbunyi Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan secara suka rela suatu penghibahan oleh ahli waris atau oleh mereka yang mendapat hak dari pemberi hibah setelah pemberi hibah ini meninggal, menghapuskan hak mereka untuk mengajukan tuntutan berdasarkan cacat dari bentuk penghibahan itu.