Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945
TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945
TESIS
OLEH:
MAURICE ROGERS 097005029/ HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(2)
TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
MAURICE ROGERS 097005029/ HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(3)
Judul Tesis : TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Nama Mahasiswa : Maurice Rogers Nomor Pokok : 097005029 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Solly Lubis, SH)
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Anggota Anggota
(4)
Tanggal lulus: 28 Juli 2011
Judul Tesis : TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN
KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Nama Mahasiswa : Maurice Rogers Nomor Pokok : 097005029 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Solly Lubis, SH)
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Anggota Anggota
(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)
Ketua Program Studi, Dekan
(5)
Tanggal lulus: 28 Juli 2011 Telah diuji pada
Tanggal 28 Juli 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. M.Solly Lubis, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
(6)
ABSTRAK
Konstitusi menjadi dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Salah satu instrument penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya sehingga dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif. Untuk mengawasi tindak-tanduk hakim dalam kemandiriannya, maka lembaga negara yang kini mempunyai wewenang sebagai polisi untuk mengungkap segala perilaku hakim yang merusak penegakan hukum adalah Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pembentukan Komisi Yudisial terkait erat dengan usaha-usaha untuk melakukan perbaikan dalam mekanisme sistem pemerintahan di Indonesia. Fungsi yang diberikan kepada Komisi Yuddisial bertujuan untuk membuat badan peradilan di Indonesia mempunyai kinerja yang tinggi dan bersih sehingga penegakan hukum dapat diselenggarakan.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersuber dari data pustaka (library research).
Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Oleh karena itu Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuaasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kata kunci : Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Amandemen UUD 1945
(7)
ABSTRACT
The Indonesian Constitution has become the national principle; therefore, it is comprised of vision and objective of being in the framework of a state, and expressing the principles and the basic regulations which regulate the way of life of how to live in a nation, in a state, and in a society. One of the principal instruments in the national power is judiciary. This judiciary system should be kept independent and accountable so that it can minimize significantly the potential anarchism and corruption. The judicial committee also has the power to control and judges’ manners and to reveal their bad reputation.
The establishment of Judicial Committee was based on Article 24B of the third amendment of the Indonesian 1945 Constitution which stated that the Judicial Committee was independent and had the power to propose the term of office of the Supreme Court judges. The Judicial Committee also has the power to keep and maintain judges’ reputation, dignity, and manners. The establishment of Judicial Committee was closely related to the efforts to improve the mechanism of the governmental system in Indonesia. The aim of the establishment of Judicial Committee was to keep judges’ high and clean performance so that law enforcement can be maintained.
The research was normative and the data were gathered by using library research.
The external control on judges’ performance by Judicial Committee plays an important role and it is aimed to keep judges doing their duties and authorities seriously, based on and according to legal supervisions, truth, justice, and revering the ethical code of judges’ profession. Therefore, Judicial Committee as an external supervisory Committee on judges is included in the structure of the Indonesian judiciary in order that the people who are excluded from the legitimate structure of the Parliament System can be included in the process of nomination, job evaluation, and dismissal of judges. This is aimed to keep and maintain judges’ honor, dignity, and manners in order to realize the truth and justice which are based on God Almighty.
Keywords: Position and Authority of Judicial Committee after the Amendment of the 1945 Constitution
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmatnya , saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945.
Tesis ini berjudul Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945 yang merupakan salah satu syarat yang harus dpenuhi untuk menyelesaikan program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tampa bantuan, saran maupun petunjukn yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof.Dr.dr.Syaril Pasaribu, DTM&H, Msc,(CTM),SP.A(K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada
(9)
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H, selaku Komisi Pembimbing Utama penulis yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.H, selaku Komisi Pembimbing Kedua Penulis yang juga banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis ini.
6. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution. S.H, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Ketiga Penulis yang telah memberikan bimbingan sampai akhir penuilisan tesis ini.
7. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, S.H, M.H, selaku Komisi Penguji Penulis. 8. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.H, selaku Komisi Penguji Penulis.
9. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga menyampaikan terimah kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bitner Siburian dan Ibunda Erpi Sianturi, Spd, juga kepada adik-adik saya
(10)
atas semua dukungan, semangat dan doa selama ini. Ucapan terimah kasih juga kepada adinda Novita Manurung yang senantiasa member semangat untuk menyelesaikan Tesis ini.
Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan tulisan ini.
Akhir kata penulis mohon maaf kepada semua pihak apabila selama mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dalam tutur kata dan sikap penulis ada yang tidak berkenan di hati bapak, ibu dan rekan-rekan sekalian.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir dan batin kepada kita semua.
Medan, Juli 2011 Penulis
(11)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Maurice Rogers
Tempat/Tgl Lahir : Duri, 23 September 1984
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : - Sekolah Dasar St. Yosef, Duri-Riau
- Sekolah SMP St. Yosef, Duri-Riau - SMAN 2 Mandau, Duri-Riau
- Fakultas Hukum Univ. HKBP Nommensen, Medan
(12)
DAFTAR ISI
ABSTRAK... .. i
ABSTRACT ………... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SKEMA ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR DIAGRAM ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Mamfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penulisan ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsesional ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Konsepsional ... 20
G. Metode Penelitian ... 24
1. Jenis Penelitian ... 24
2. Sumber Data ... 25
3. Teknik Pengumpulan Data ... 26
4. Analisa Data ... 26
BAB II JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMANMEMBUTUHKAN ADANYA KOMISI YUDIAL ... 27
A. Kemandirian Lembaga Peradilan ... 27
B. Mafia Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum ... 38
C. Pembentukan Komisi Yudisial ... 43
BAB III KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL SEBAGAI SUATU LEMBAGA KOMISI NAMUN BUKAN LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN ... 58
A.Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ... 58
B. Dasar Hukum Komisi Yudisial di Indonesia ... 62
1. Dasar Hukum Pembentukan Komisi Yudisial ... 63
(13)
C. Model Pengawasan Perilaku Hakim yang Sesuai Bagi Negara Indonesia dalam Rangka Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman
yang Merdeka dan Bersifat Imparsial ... 67
1. Arti Penting Pengawasan Eksternal Lembaga Peradilan ... 67
2. Obyek Pengawasan Hakim ... 71
2.1 Hakim di bawah Mahkamah Agung ... 72
2.2 Hakim Agung ... 73
2.3 Hakim Konstitusi ... 74
2.4 Aspek Pengawasan ... 75
2.4.1 Pengawasan Teknis Yudisial dan Teklnis Administratif ... 75
2.4.2 Pengawasan Etika Hakim ... 77
2.5 Pengawasan Internal dan Eksternal ... 82
D. Komisi Yudisial di Beberapa Negara dan Konsep Ideal Komisi Yudisial Ke Depan ... 85
BAB IV PRODUK KINERJA KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA ... 93
A. Beberapa Peristiwa Penting Pada Komisi Yudisial ... 93
1. Perseteruan Komisi Yudisial vs Mahkamah Agung ... 94
2. Putusan Terhadap Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Depok ... 98
3. Seleksi Ulang Hakim Agung ... 100
4. Hakim ”Bermasalah” ... 101
5. Judicial Review Undang-undang Komisi Yudisial ... 102
6. Rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindaklanjuti Mahkamah Agung ... 103
B. Penguatan peran komisi yudisial melalui jejaring ... 104
C. Produk Kinerja Komisi Yudisial Di Indonesia ... 110
1. Penerimaan Pengaduan Terkait Perilaku Hakim ... 110
2. Penanganan Pengaduan Terkait Perilaku Hakim ... 113
3. Pemantauan Persidangan ... 115
4. Pelaksanaan Sidang Majelis Kehormatan Haki(MKH) ... 121
5. Rekomendasi Komisi Yudisial yang disampaikan ke Mahkamah Agung ... 124
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 127
A. Kesimpulan ... 127
B. Saran ... 129
(14)
DAFTAR SKEMA
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Putusan yang diteliti ... 106
Tabel 2 Pemantauan Sidang yang dilakukan Komisi Yudisial ... 118
Tabel 3 Sidang MKH yang Sudah Digelar ... 121
(16)
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1 Pengaduan Masyarakat Yang Diregistrasi ... 111
Diagram 2 Penanganan Berkas laporan yang dapat ditindaklanjuti ... 113
Diagram 3 Jumlah Pemeriksaan Terhadap Hakim dan Pelapor/ Saksi ... 114
(17)
ABSTRAK
Konstitusi menjadi dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Salah satu instrument penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya sehingga dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif. Untuk mengawasi tindak-tanduk hakim dalam kemandiriannya, maka lembaga negara yang kini mempunyai wewenang sebagai polisi untuk mengungkap segala perilaku hakim yang merusak penegakan hukum adalah Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pembentukan Komisi Yudisial terkait erat dengan usaha-usaha untuk melakukan perbaikan dalam mekanisme sistem pemerintahan di Indonesia. Fungsi yang diberikan kepada Komisi Yuddisial bertujuan untuk membuat badan peradilan di Indonesia mempunyai kinerja yang tinggi dan bersih sehingga penegakan hukum dapat diselenggarakan.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersuber dari data pustaka (library research).
Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Oleh karena itu Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuaasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kata kunci : Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Amandemen UUD 1945
(18)
ABSTRACT
The Indonesian Constitution has become the national principle; therefore, it is comprised of vision and objective of being in the framework of a state, and expressing the principles and the basic regulations which regulate the way of life of how to live in a nation, in a state, and in a society. One of the principal instruments in the national power is judiciary. This judiciary system should be kept independent and accountable so that it can minimize significantly the potential anarchism and corruption. The judicial committee also has the power to control and judges’ manners and to reveal their bad reputation.
The establishment of Judicial Committee was based on Article 24B of the third amendment of the Indonesian 1945 Constitution which stated that the Judicial Committee was independent and had the power to propose the term of office of the Supreme Court judges. The Judicial Committee also has the power to keep and maintain judges’ reputation, dignity, and manners. The establishment of Judicial Committee was closely related to the efforts to improve the mechanism of the governmental system in Indonesia. The aim of the establishment of Judicial Committee was to keep judges’ high and clean performance so that law enforcement can be maintained.
The research was normative and the data were gathered by using library research.
The external control on judges’ performance by Judicial Committee plays an important role and it is aimed to keep judges doing their duties and authorities seriously, based on and according to legal supervisions, truth, justice, and revering the ethical code of judges’ profession. Therefore, Judicial Committee as an external supervisory Committee on judges is included in the structure of the Indonesian judiciary in order that the people who are excluded from the legitimate structure of the Parliament System can be included in the process of nomination, job evaluation, and dismissal of judges. This is aimed to keep and maintain judges’ honor, dignity, and manners in order to realize the truth and justice which are based on God Almighty.
Keywords: Position and Authority of Judicial Committee after the Amendment of the 1945 Constitution
(19)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam lintas sejarah ketatanegaraan Indonesia, gagasan untuk membentuk lembaga sejenis Komisi Yudisial bukanlah hal baru.Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1968, sudah diusulkan ide Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH).MPPH berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran dan usul yang berkaitan dengan pengangkataan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan bagi para hakim yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh menteri kehakiman.Namun, dalam perjuangannya ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.1
Ide komisi yudisial kembali mendapatkan momentum menyusul adanya desakan penyatuatapan kehakiman yang didaasarkan pada Tap MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional.Munculnya desakan agar
1
Rifqi S. Assegap, 2004, “Urgensi Komisi Yudisial dalam pembaruan Peradilan Indonesia”
(20)
lembaga peradilan satu atap, makin memunculkan desakan agar komisi yudisial segara direalisasikan.
Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem peradilan yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Usaha kearah peradilan yang lebih baik tersebut sebelumnya juga dilakukan dengan menciptakan sistem satu atap (One Roof System) yaitu memberikan kewenangan dibidang administrasi, keuangan dan organisasi kepada Mahkamah Agung. Namun usaha inidipandang belum tentu mampu menyelesaikan masalah yang ada dan bahkandipandang dapat menimbulkan monopoli kekuasaan di lembaga tersebut2
2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, 2003, h.23.
. Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong terbentuknya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang berada di luar Mahkamah Agung yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli kekuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan dapat mengawasi serta mengimbangi (checks and balances) pelaksana kekuasaan kehakiman sehingga dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik di masa mendatang. Diaturnya Komisi Yudisial dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan bahwa lembaga ini merupakan
(21)
lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari Undang-Undang Dasar. Sebagaimana diketahui sejak perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada lagi pembagian lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara. Semua lembaga negara adalah sederajat, yang membedakan satu sama lain adalah kewenangannya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal istilah lembaga negara utama (main) dan lembaga negara penunjang (supporting). Dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi adalah sama yaitu sama-sama mendapat kewenangan atribusi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai lembaga negara yang mandiri, Komisi Yudisial diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar untuk mengawasi perilaku hakim, hakim agung dan hakim konstitusi.
Seperti dikemukakan di atas, dibentuknya Komisi Yudisial merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Walaupun Komisi Yudisial dipandang sebagai salah satu cara untuk memperbaiki sistem yang ada, namun lembaga ini tidak mempunyai kewenangan dibidang kekuasaan yudisial. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
(22)
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial bukan lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, namun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan tersebut. Gagasan yang timbul dari pernyataan diatas ialah bahwa selama ini dalam kekuasaan kehakiman tidak terdapat mekanisme pengaturan diri3
Kenyataanlain, dalam hal melaksanakan kewenangan dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, pengawasan yang dilakukan oleh MA tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Ada dua hal mendasar yang menyebabkan kondisi di atas: Pertama, pendisplinan dan pemeriksaan hakim bermasalah yang dilakukan oleh MA maupun Majelis Kehormatan Hakim (MKH) baik proses maupun hasilnya tertutup (tidak transparan). Sehingga pada akhirnya menimbulkan kecurugiaan masyarakat adanya kolusi. Selain itu semangat membela yang mengakibatkan tidak adanya sistem saling awasi dan saling imbang (checks andbalances). Konsekuensi yang ditimbulkan oleh ketiadaan checks and balances ini ialah terjadinya judicial corruption yang merupakan salah satu penyumbang didudukkannya Indonesia pada peringkat atas sebagai negara terkorup di dunia. Keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat mengawasi dan menjadi ”external auditor” agar tercapai keinginan banyak pihak atas adanya obyektivitas dari suatu fungsi pengawasan terhadap pemegang kekuasan kehakiman.
3
Lihat Fritjof Capra, Jaring-jaring Kehidupan Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hal. 97, mendeskripsikan Proses pengaturan diri dalam kehidupan sosial seperti invisible hand dalam teori Adam Smith, Checks and Balances dalam Konstitusi Amerika dan konsep tesis-antitesis-sintesis (dialektika) dari Hegel dan Marx.
(23)
korps (esprit de corps), mengakibatkan pemeriksaan internal yang dilakukan MA dan MKH diragukan untuk beratindak fair terhadap hakim yang diperiksa yang nota bene adalah teman seprofesi. Kedua, tertutupnya pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawasan internal MA juga diperburuk dengan pemberian sanksi yang tidak tegas terhadap oknum hakim yang terbukti bersalah.4
Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan Negara yang satu sama yang lain dalam posisi setara melakukan kontroling (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis, profesional dan proporsional.Suatu konsekwensi logis bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.Karena kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prisip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini mengkehendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak maupun dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan (independensi) kekuasaan kehakiman
4
Titik Triwulan Tutik :eksistensi, kedudukan dan wewenang KY,Surabaya: Prestasi Pustaka,
(24)
Secara khusus, hasil amandemen UUD 1945 telah membawa angin perubahan dalam kehidupan tatanegara terutama dalam pelaksaaan kekuasaan kehakiman pada cabang kekuasaan kehakiman, terdapat empat perubahan penting.Pertama, apabila sebelumnya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 jaminan kekuasan kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam penjelasannya, maka setelah perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebut dalam batang tubuh. Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman, karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martaba, serta perilaku hakim.Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Melalui pelaksaan program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya dilakukan untu menciptakan transparansi dan akuntabilitas dilingkungan peradilan antara lain melalui pembentukan lembaga pengawas independen.Untuk itu masyarakat menaruh harapan yang besar dengan
(25)
dibentuknya Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Komisi Yudisial tidak berperan dalam proses peradilan, akan tetapi berperan sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Sebagai salah satu contoh kasus yang ditangani Komisi Yudisial yang lagi hangat di perbincangkan adalah kasus Antasari Azhar. Komisi Yudisial menengarai adanya indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam penanganan perkara mantan ketua KPK Antasari Azhar.Komisi Yudisial menilai, ada pengabaian barang-barang bukti penting yang dilakukan hakim baik tingkat pertama, banding, maupun kasasi.Pengabaian barang bukti menurut Suparman yang menjabat sebagai ketua bidang pengawasan dan investigasi Komisi Yudisial, merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, khususnya prinsip profesionalitas serta kehati-hatian.5
Ada beberapa alasan pokok bagi terwujudnya Komisi Yudisial di dalam Negara Hukum6
1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluasluasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;
:
2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (eksekutive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujua utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah;
5
www.komisijudisial.go.id Kompas, Komisi Yudisial Temukan Pengabaian Barang Bukti,
Jakarta. Hal 4, rabu 13 April 2011
6
(26)
3) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekuitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;
4) Tejadinya konsistensi putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (komisi yudisial);
5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyain kepentingan politik. Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuk Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangaka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa.Dengan kehormatan dan keluhuran martabat itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartialjudiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus dapat diimbangi oleh prinsip akuntabilitaskekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika.Untuk itu diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakimitu sendiri.7
Pembentukan Komisi Yudisial merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara.Pembentukan Komisi Yudisial merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin oleh konstitusi.Selain itupembentukan Komisi Yudisial dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan.
Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara diataur dalam Pasal 24B UUD 1945 yang menyatakan :
Ayat ( 1 ) : Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenag mengusulkan pengangkatan hakim Agung dan mempunyai wewenang lain
7
(27)
dalam rangka menjaga dan menegakkan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Ayat ( 2 ) : Anggota Komisi Yudial harus mempunyai pengetahuan fan pengalaman di bidang hukum serta memeliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
Ayat (3) :Anggota Komisi Yudidisial diangkat dan diberhentikan oleh Presidendengan persetujuan DPR;
Ayat ( 4 ) : Susunan dan Kedudukan dan Keanggotaan Komisi Yudisial diatu dengan UU.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 di atas, setidaknya diatur beberapa hal mengenai Komisi Yudisial, yaitu:
1. Sifat lembaga Negara yang bernama Komisi Yudisial; 2. Kewenangan konstitusional Komisi Yudisial;
3. Persyaratan menjadi anggota Komisi Yudisial;
4. Lembaga negara yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Komisi Yudisial;dan
5. Pengaturan susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial.
Di tengah pengurangan kewenangan Komisi Yudisial selaku lembaga Negara yang berkedudukan sebagai checks and balance.Eksistensi Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara menjadi semakin tumpul dan mandul ketika fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, berdasarkan judicial review bertentangan dengan putusan MK No.005/PUU/2006.
Permasalahan timbul ketika, kewenangan pengawasan terhadap kinerja hakim dianggap telah melampaui kewenangan pengawasan terhadap keberadaan institusi di
(28)
bawahnya, yaitu peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer termasuk perilaku hakim.Konflik, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial pada akhirnya bermuara pada kontra produktif terhadap keberadaan dan kelangsungan kehidupan ketatanegaraan.Terbukti konflik kedua lembaga negara tersebut berujung pada saling lapor dan gugat-menggugat ke pihak kepolisian Negara. Alhasil lahirlah judicial review MK terhadap UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial .
Dari perspektif hukum tata Negara, secara konstitusional UUD 1945 tidak lagi mengenal lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial mempunyai kedudukan yang sejajar sebagai lembaga tinggi Negara.Dengan posisi kesesederajatan antara ketiga lembaga atau badan yang berada dibawah kekuasaan kehakiman tersebut, maka komosi yudisial dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pengawas secara merdeka dan mandiri.Akan tetapi, fungsi pengawasan Komosi Yudisialuntuk menjaga martabat dan kehormatan hakim dan terhadap perilaku hakim mengalami perubahan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Agustus 2006.Putusan MK No.005/PUU/2006 tanggal 23 Agustus 2006 antara lain sebagai berikut:
1. Komisi Yudisial tidak berwenang lagim mengawasi hakim
2. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 22 tahun 2004 yang mengatur kewenangan komosi yudisialuntuk pengawasan perilaku hakim dan hakim agumg dibatalkan
(29)
3. Hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan komosi yudisial
4. Komisi Yudisial tidak berhak lagi mengusulkan penjahtuhan sanksi berupa pemberhentian hakim kepada Mahkamah Agung dan/ Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Tinjauan Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan keberadaan Komisi Yudisial, sebagai berikut:
1. Mengapa jajaran kekuasaan kehakiman membutuhkan adanya Komisi Yudisial?
2. Seluas mana kewenangan Komisi Yudisial sebagai suatu lembaga “komisi” namun bukan sebagai lembaga kehakiman?
(30)
C. Tujuan Penelitian
Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang mengapa jajaran kekuasaan kehakiman membutuhkan adanya Komisi Yudisial.
2. Untuk mengetahui seluas manakewenangan Komisi Yudisial sebagai suatu “lembaga komisi” (bukan lembaga kehakiman)
3. Untuk mengetahui sejauh mana produk kinerja Komisi Yudisial di Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan konstitusinal Komosi Yudisialsebagai lembaganegara apakah sesuai dengan gagasan pembentukan Komosi Yudisialdalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
2. Secara praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
(31)
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan Komisi Yudisial.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “tinjauan kritis kedudukan dan kewenangan komisi yudisial RI pasca amandemen UUD 1945” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat di pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Tinjauan Kritis kedudukan dan kewenagan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945 adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasarkan atas hukum” sebagai
(32)
grand theory yang didukung oleh teori konstitusi dan teori demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Paham negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Menurut Franz Magnis-Suseno,8
Jika dirujuk kebelakang, paham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli.Plato mengemukakan konsep nomoiyang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum.Sedangkan Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara dalam perumusannya masih terkait pada polis.Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara hukum bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
terdapat dua unsur dalam paham negara hukum. Pertama, hubungan antara memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, tetapi berdasarkan norma yang objektif juga mengikat pihak yang memerintah. Kedua, norma yang objektif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum.
9
Seorang sarjana dari jerman F.J Stahl mengemukakan empat unsur dari negara hukum, yakni:
8
Franz Magnis-Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, hal,295.
9
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1990, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(33)
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia 2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan 4. Adanya peradilan administrasi.10
Konsep negara hukum di Eropa yang dikenal dengan Rule Of Law yang sangat terkenal karena uraian A.V. Dicey dalam bukunya yang berjudul law and constitution (1952). Dalam bukunya tersebut Dicey menyatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law mencakup:
1. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi mereka rakyat kebanyakan meupun pejabat.
3. Terjadinya hak asasi menusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.11
Jimly Asshiddqie12
1. Adanya jaminan persamaan dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama;
menyebutkan bahwa paling tidak ada sebelas prinsip pokok yang terkandung dalam negara hukum yang demokratis, yakni:
2. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas; 3. Adanya atruran yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama;
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu;
5. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM;
10
Hasan Zaini Z., 1974, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni,hal.
155.
11
Miriam Budiarjo, 1992, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia:Pustaka Utama,
hal.58.
12
Jimly Asshiddgie. 2005, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:
(34)
6. Adanya pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antara lembaga negara, baik secara vertical maupun horizontal;
7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;
8. Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akiabat putusan atau kebijkan pemerintah;
9. Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan menghadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislative maupun eksekutif; dan
10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan pelaksaan prinsip-prinsip diatas.
11. Adanya pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.
Konstitusi menurut makna katanya berarti “ dasar susunan badan politik” yang bernama negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa peraturan kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara.13
K.C Wheare F.B.E seperti dikutip Juniarto mengatakan:
Istilah constitution pada umumnya dipergunakan untuk menunjuk kepada seluluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara keseluruhan akan menggambarkan sistem ketatanegaraan tersebut terbagi dua golongan, yaitu peraturan berderajat legal (law) dan berderajat nonlegal (extralegal).14
Berdasarkan pendapat diatas, maka pada dasarnya peraturan-peraturan (konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, berupa UUD atau UU dan ada yang tidak tertulis yang berupa usage, understanding, custums atau convention.
13
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung : Armico. Hlm. 297
14
Juniarto, Selayang Pandang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
(35)
Berkaitan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu negara Lord Bryce15
1. Adanya keinginan aggota warga negara untuk menjamin hak-haknya yang mungkin terancam dan sekaligus membatasi tindakan-tindakan penguasa;
, mencatat empat motif timbulnya konstitusi:
2. Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang memerintah dengan harapan untuk memjamin rakyatnya dengan menentukan bebtuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu;
3. Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk menjamin tata cara penyelenggaaraan ketatanegaraan;
4. Adanya keinginan untuk menjamin kerjasama yang efektif antar negara bagian. Berdasarkan pendapat Lord Bryce tersebut, maka paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi).Tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme).Konskuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar, berarti bahwa dalam pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD, presiden berhak mengajukan undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat.Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang.Dengan prinsip ini Presiden hanya mengeluarkan peraturan, kalau ini mempunyai landasan pada UUD, atau merupakan penerusan dari padanya.16
15
Ibid. hlm. 40-41
16
(36)
Paham konstitusionalisme menurut C.H Mellwain17
1. hukum yang menjadi “pembatas” bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan;
dalam bukunya yang berjudul Ancient and Modern, menghendaki eksistensi dua elemen penting sekaligus:
2. akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed).
Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan di dalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki. Istilah ini dikenal dengan pengakuan akan kedaulatan rakyat.
Dengan demikian dapat dikenali, bahwa konstitualisme, minimal mencakup dua hal yang sangat esensial18
1. Konsep negara hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang berarti pula bahwa hukum harus mengontrol dan mengendalikan;
, yaitu:
2. Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi.
17
Jika diperinci lebih jauh, dua hal tersebut menghasilkan gagasan-gagasan lanjutan seperti kedaulatan rakyat (demokrasi), konstitusi sebagai hukum dasar, pemerintahan berdasarkan undang-undang, prosedur yang terlembaga bagi akuntabilitas pemerintah, dan last but not least jaminan
perlindungan HAM warga negara. A. Ahsin Thohari, “Jalan Terjal Konstitusionalisme Indonesia,”
Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No.1.Juli 2004, hlm. 158
18
K.C Wheare dalam Bambang Heryanto, “Refleksi Politik Hukum Pelanggaran Hak Asasi
(37)
Pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah. Kemudian secara prinsipil, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menginzinkan rakyatnya untuk mengambil bagian penting dalam proses pemerintahan. Demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan rakyat.
Menyikapi hal ini Sri Soemantri mengutip pendapat E.Barkermengatakan :
Dilihat dari kata-katanya demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun kelihatan sederhana, akan tetapi sampain sekarang adalah sukar untuk membeikan batasan yang dapat diterima semua pihak. Hal ini disebabkan pengertian demokrasi tersebut telah dan akan mengalami perkembangan.19
Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan kata lain bahwa, negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauanrakyat.
Menurut Moh. Mahfud MD20
19
Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tatanegara, Bandung: Alumni, 1971.hlm.23
, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah
20
Moh, Mahfud MD., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gamma Media,
(38)
menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.
Setidaknya ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai suatu gagasan kehidupan yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan, (equality), dan keadilan (justice).Ide-ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan simbol-simbol dan hakekat dari nilai-nilai dasar demokrasi yaitu sungguh-sungguh mewakili atau diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilai-nilai itu sendiri.21
2. Kerangka Konsepsional
Untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, berikut ini adalah konsepsi dan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut.Khusus untuk pengertian kewenangan dalam penelitian ini di uraikan dengan cukup rinci, sedangkan istilah-istilah lainnya hanya disebutkan definisi operasionalnya karena diuraikan lebih jelas dalam pembahasan permasalahan yang diangkat.
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsp-konsep di bawah ini:
21
(39)
A. Komisi
Komisi negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat di kenal saebagai administrative agencies. Menurut Michael R Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent.22Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya.23Dalam bahasa Funk dan Seamon komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative” dan “quasi judicial”.24
Sesuai dengan defenisi komisi negara independen di atas, di Indonesia saat ini ada 13 independent regulatory agencies.Evaluasi atas komisi negara di tanah air paling tidak perlu menyoroti tiga hal, yaitu: (1) problema eksistensinya yang mulai menginflasi; (2) efektifitas fungsi, (3) serta urgensi restrukturisasi komisi negara tersebut.25
22
Michael R Asimow, Administrative Law (2002)hlm.1.
23
Jimly Asshiddigie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
Tahun 1945, Makalah dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003
24
William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples&Explanations
(2001) hlm.23-24.
25
Denny Indrayana, Komisi Negara Independen Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa
(40)
B. Kedudukan
Menurut Philipus M. Hadjhon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lain. Kedua,
kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya.26
Dengan makna kedudukan dari dua sisi tersebut ketetapan MPR No.VI/MPR/1973 junto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 membedakan dua kelompok Lembaga UUD 1945, yaitu lembaga tinggi negara, MPR dan lembaga Tinggi Negara yang terdiri atas: Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Namun berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Amandemen tidak lagi dikenal pembagian dalam kelompok Lembaga Negara dan Lembaga Tinggi Negara pola Ketetapan MPR No VI / MPR /1973 juntoKetetapan MPR No.III / MPR / 1978.27
Susunan Komisi Yudisial adalah stuktur organisasi Komisi Yudisial yang telah tersusun yang menyangkut siding paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian.28
26
Philipus M. Hadjon, 1996, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
Menurut UUD 1945, Surabaya: Bina Ilmu,1992, h.x
)
Dalam hal ini juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban, dan wewenag Komisi Yudisial.
27
Philipus M. Hadjon, 2004, Ibid
28
(41)
Kedudukan KomisiYudisial adalah kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan dan juga tempat kedudukan Komisi Yudisial.29Dalam konteks ini yang menjadi pernyataan adalah apakah Komisi Yudisial termasuk dalam kekuasaan kehakiman atau tidak dan apakah Komisi Yudisial termasuk ke dalam alat-alat kelengkapan Negara dalam struktur ketatanegaraan atau tidak.Pelembagaan Komisi Yudisial adalah perbuatan melembagakan atau mengorganiasasikan30
C. Kewenangan dan Tugas Komisi Yudisial
Komisi Yudisial yang menyangkut susunan dan kedudukannya dan menyangkut sidang paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian selain itu, juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenang Komisi Yudisial.
Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang berarti hak dan kekuasaan untuk membuat keputusan yang memiliki akibat hukum setelah dikeluarkan keputusan tersebut.31
29
Pengertian ini diadaptasi dari pengerian kata “kedudukan” dalam ibid., hlm.278
Dalam pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah “wewenang” untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh komisi yudisial.Penggunaan istilah “wewenang” menurut Tim Penyusun Naska Akademis Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung
30
Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “lembaga”, “melembagakan”,
“pelembagaan” dalam ibid., hlm.653-654.
31
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998), hlm.1011.
(42)
32
Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan
tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial.Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegdheid) mengandung pengertian tugas (plicthen)dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan,
kurang tepat karena kata kewenangan biasanya diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang atau suatu badan untuk menjalankan tugasnya. Sementara fungsi Komisi Yudisial dibentuk dan tugas menunjukkan hal-hal apa yang wajib dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan.
33
G. Metode Penelitian
wewenang mengandung makna kekuasaan (macht)yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat dari organ.
1. Tipe atau jenis penelitian
Peneliti akan mengkaji pokok-pokok permasalahan sesuai dengan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebut di atas melalui pendekatan yuridis-normatif.34
32
Tim Mahkamah Agung, 2003, Naska Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial. Jakarta: Mahkamah Agung
Selain itu, penelitian juga akan menggunakan pendekatan yuridis-historis dan yuridis-komparatif berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah yang ada. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini sejauh
33
Bagir Manan, 2001, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
FH UII Yogyakarta, hal.69-70.
34
(43)
mungkin dapat mengetahui sosok Komisi Yudisial dalam spektrum yang seluas-luasnya dengan cara menggali informasi tentangnya dari berbagai sudut pandang.
2. Sumber data penelitian
1) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti:
2) Norma atau Kaidah Dasar, yaitu Pembentukan Undang-undang Dasar 1945;
3) Peraturan Dasar, yakni pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945
4) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan Yudisial, khususnya keberadaan Komisi Yudisial, diantaranya:
- Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;
- Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamh Agung; - Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial; - Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; 5) Bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) yang
digunakan adalah kajian pustaka yang bersumber dari karya ilmiah berupa buku-buku teks, kamus hukum, artikel, majalah, jurnal ilmiah di bidang hukum, komentar-komentar atas putusan MK, makalah yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
(44)
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir berbagai bahan hukum baik, hukum primer, sekunder, maupun tertier melalui penelusuran kepustakaan (library research).
4. Analisis Data
Dengan mengkaji hukum normatif, analisis bahan hukum hakekatnya kegiatan untuk mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data, yaitu:
a) Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah eksistensi, kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan komisi yudisial.
b) Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.
(45)
BAB II
JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MEMBUTUHKAN ADANYA KOMISI YUDIAL
A. KEMANDIRIAN LEMBAGA KEHAKIMAN
Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari dalam (from within)akan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan, profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut.35
Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara denokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat.Seperti gagasan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani kuno (abad ke-6 s.d ke-3 SM) yang dapat dirujuk pada negara (polis) Athena dan pikiran-pikiran Aristoteles, Plato, dan sebagainya.Namun, gagasan demokrasi ini kemudian lenyap dari dunia barat sejak Romawi dikalahkan oleh Eropa Barat dikuasai oleh Nasrani yang membangun pemerintahan oteriter dan menindas kebebasan rakyat.Di barat pada waktu itu dikembangkan pemikiran bahwa kehidupan sosial dan spiritual
35
(46)
rakyatharus tunduk kepada Paus (gereja) dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politik harus tunduk kepada Raja.Kegelapan dunia Barat ini kemudian dipecahkan oleh munculnya zaman Renaissance (1350-1600) yang minimbulkan minat pada pemunculan kembali sastra dan budaya yunani kuno.Munculnya Renaissance itu tidak lepas dari peristiwa Perang Salib yang berlangsung tidak kurang dari dua abad (1099-1299). Di dalam perang yang panjang itu akulturasi antara Islam dan Barat terjadi, sebab Islam pada awal-awal perang salib sedang berada di puncak kejayaannya, telah memancing kesadaran bagi orang-orang Barat yang datang ke negara-negara Islam sebagai konsekuensi dari perang yang saling memasuki wilayah itu. Setelah berhubungan dengan orang-orang Islam timbullah gagasan di kalangan orang Barat tentang perlunya kebebasan dan hak-hak rakyat serta penggalakan pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang ketika itu berkembang di dunia Islam.Gagasan-gagasan seperti itu cepat menyebar dan dalam waktu yang tidak terlalu lama orang-orang Eropa Barat memasuki abad pemikiran (650-1850) yang menuntut pendobrakan atau pemerdekaan bagi pikiran rakyat dari pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh gereja.Pada gilirannya timbullah gagasan di bidang politik bahwa manusia mempunyai hak yang tidak boleh diselewengkan oleh pemerintah, dan absolutism dalam pemerintahan haruslah didobrak. Rasionalitas yang mendasari perkembangan tersebut adalah perjanjian masyarakat (teori social contract) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah itu berkuasa karena ada
(47)
perjanjian masyarakat yang memberikan kekuasaan dan rakyatakan mematuhinya selama hak-hak rakyat tidak diselewengkan.36
Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945.Pasal ini menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence of The Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan mengkehendaki kekuasaan kehakiman :
1. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh para pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak sesuai dengan asas memberi kesempatan yang sama kepada setiap pihak (audi alteran partem atau must give the same opportunity to each party). Memberi perlakuan sama(equal treatment) kepada para pihak atau disebut juga equal dealing.
2. Juga harus benar-benar bebas dan merdeka dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau penguasa (independence from the executive power)
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.37
36
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia, (Jakarta: Gramedia,1999)
Hlm.270
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya
37
R.St.J.Macdonal, F.Matcher, and H.Petzold, The European System for the protection of Human Rihgts, The Hague:Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm.397.
(48)
diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Sebagaimana telah disebutkan diatas, kekuasaan kehakiman merupakan instrument penting untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka dapat dipastikan negara tersebut tidak demokatis. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merujuk pada kemerdekaan dari campur tangan pemegang kekuasaan lain dalam persoalan-persoalan kehakiman. Tujuan membebaskan dan memerdekaan kekuasaan kehakiman (badan peradilan) dari pengaruh dan gemgaman penguasa (eksekutif), agar terjamin pelaksanaan fungi dan kewenangan peradilan yang jujur dan adil dan peradilan mampu berperan mengawasi pengadilan-pengadilan bawahan.Dan pengadilan cenderung untuk menerima putusan-putusasnya terdahulu.
Kekuasaan kehakiman yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain di luar kekusaan kehakiman dalam proses peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan hukum yang berlaku. Supremasi hukum erat kaitannya dengan putusan pengadilan yang mandiri, yang berisi keadilan hukum, yang memenuhi kepastian hukum.Untuk itu diperlukan tegaknya pengadilan yang independen, yang merupakan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh ektra judicial.Wajah semuanya itu harus
(49)
tercermin dari Mahkamah Agung, pengembang utama dan pertama eksistensi supremasi hukum.38
Pemisahan secara tegas lembaga judikatif harus disertai dengan pemberian kewenangan secara otonom yang berkaitan dengan kemandirian dalam bidang kehakiman seperti fungsi judicial review, supervisi, konsultatif legislatif, dan administrative kepada Mahkamah Agung selaku lembaga pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan.39 Artinya, akan tidak ada lagi ketegangan-ketegangan yang sering terjadi di antara dua badan dalam bidang dan fungsi kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 10 Declaration of Human Rights mensyaratkan independensi lembaga pengadilan adalah prasyarat terciptanya Rule of Law. Misi utama lembaga yudikatif dalam negara hukum adalah menjaga dan memelihara tegaknya supremasi hukum.40
Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan, lembaga yudikatif dimungkinkan untuk melaksanakan pengadilan secara jujur, obyektif, tidak memihak, dan adil.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lembaga yudikatif merupakan sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk memperoleh keadilan.Yudikatif sering disebut sebagai landing of the last resort.Keistimewaaan yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi sifat produk lembaga.Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang dan produk eksekutif, yang
38
Syamsuhadi, “Visi dan Misi Reformasi Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945”. Jakarta: 2000
39
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
40
(50)
berupa kebijakan atau aturan-aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan umum”.Sementara yudikatif mendasarkan putusannya pada “demi keadilan”. Bahkan di Indonesia, pengadilan mendasarkan putusannya dengan kalimat “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Karena sifatnya yang demikian hakim acapkali diidentik-predikat sebagai “kepanjangan tangan Tuhan di dunia”.Dengan predikat seperti itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan elit politik merupakan penyalagunaan atau penghianatan atas kepercayaan rakyat sementara penyalagunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya sebagai “perpanjangan Tangan Tuhan”
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh dan campur tangan siapapun. Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan sangat melekat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yag berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar hakim berupa intervensi yang bersifat
(51)
mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yangpada orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya.41
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan.Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istemewa hakim, melainkan hak yang melekat pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak.Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi
41
Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Sistem
(52)
peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif.42
Dengan demikian, independensi peradilan ini harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni akuntabilitas publik. Independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusa penting konferensi Internasional Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa “Independence does not mean that judge is entiled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUD RI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial.43
Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melaksanakan indepenensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem”. Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di
42 Ibid
43
Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 24
(53)
mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan kata lain dapat dipahami dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan.44
Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi “tirani kekuasaan kehakiman”.Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau pengawasan melalui media massa. Dengan demikian aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.Dengan demikian kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi dan pengawasan.Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap implementasi dan profesional dalam bidangnya.Oleh karena itu, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan
44
Paulus E. Lotulung, “ Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum” (makalah
disampaikan dalam seminar pembangunan Hukum Nasional VII) diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Kehakiman dan HAM RI, Dempasar, 14-18 Juli 2003, hlm.7.
(54)
akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialisme.45
Agus Surajat mengungkapkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus ditopang dengan kebijakan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang pengawasan untuk mewujudkan akuntabilitas kinerja yang tinggi.Reformasi birokrasi harus mewujudkan sistem pengawasan nasional untuk mensinergikan pengawasan internal, eksternal dan masyarakat guna menjamin kualitas dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan.Pengawasan juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk membangun manajemen pemerintahan dan pembangunan yang efektif, efesien, tepat sasaran, guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.46
Pada awal reformasi dilakukan dengan melakukan perampingan struktur organisasi instansi pengawasan internal. Pada tahun 2005, muncul program reformasi di bidang pengawasan yang lebih dikenal dengan nama “STAR-SDP” (State Audit Reform Sector Developmen Project). Proyek ini dibangun dengan landasan adanya suatu ketidakberdayaan di bidang pengawasan yang di sebabkan oleh:
Di Indonesia, program birokrasi pengawasan sudah dimulai sejak tahun 1996.
1. Kemampuan sumber daya manusia aparatur pengawasan baik intern maupun ekstern yang kurang memadai.
2. Kedudukan akuntan pemerintah dalam struktur organisasi lembaga internal yang relative masih lemah
3. Institusi pengawasan yang didudukkan pada posisi yang tidak sepenuhnya independen
4. Kurangnya koordinasi dan sinergi antar lembaga pengawasan
5. Pengaturan kelembagaan yang lemah hingga mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga audit
6. Lemah dalam pemahaman dan aplikasi standard an praktek audit yang diakui secara internasional.47
Untuk itu peran STAR-SDP dijabarkan melalui program penguatan kapasitas lembaga audit eksternal dan internal baik berupa pengembangan sistem/prosedur operasional kerja, pengembangan sumber daya manusia, termasuk pendidikan maupun penyediaan fasilitas kantor sebagai upaya untuk mendukung operasional
45 Ibid
46
Warta Pengawasan, “Reformasi Pengawasan”, 1 Maret 2010. Hlm.10
47 Ibid
(55)
kerja yang lebih efektif dan efesien. Implementasi hal tersebut dilakukan melalui beberapa kegiatan pokok, meliputi:
1. Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, ekternal dan pengawasan masyrakat.
2. Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efesien dan transparan
3. Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif 4. Mengembangkan pengawasan berbasis kinerja
5. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional
6. Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan sistem imformasi dan perbaikan kualitas informasi hasil pengawasan
7. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.48
Kebebasan dan kemandirian hakim (A freedom and independency judiciary) harus diwujudkan secara konkrit, walaupun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Mekanisme check and balances, check and control harus didorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power blocks. Pemindahan kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dalam aspek organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan ke Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1995), tampa diikuti dengan perubahan sistem pengawasan yang baik terhadap pelaksaan kekuasaan kehakiman, terdapat peluang besar bagi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh Mahkamah Agung.49
Kendati telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan hal ichwal kekuasaan kehakiman di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen, masih ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan secara terhormat
48 Ibid
49
Abdul Manan, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia”
(56)
dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi. Publik telah mengetahui bahwa periode orde lama dan orde baru ada masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan melalui:
1. Kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrument kekuasaan politik orde lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan
2. Pada periode orde baru, mahkamah tidak lagi secara eksplisit menjadi bagian dari kepentingan tetapi ada “Kontrol politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol politik yang dimaksud antara lain meliputi: mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua mahkamah, control eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di lingkungan mahkamah, politik angaran yang disusun dan dirumuskan dengan campur tangan yang cukup intensif dan birokrasi pemerintahan.
3. Pasca orde baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi sepenuhnya dapat didesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam konstitusi yang cukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan.50
B. MAFIA PERADILAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM
Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh kalangan advokat dengan ungkupan “mafia peradilan”.Tuduhan itu sudah dilontarkan oleh peradilan sejak tahun 1970-an. Mafia peradilan di sini tidak merujuk pada kejahatan terorganisasi seperti mafia Sisilia, tetapi mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.
Mafia Peradilan selalu ada khususnya di negara-negara berkembang yang memiliki manejemen pemerintahan lemah seperti lemahnya sistem pengawasan
50
Jurnal Legislasi, Reformasi Konstitusi: Perspektif Kekuasaan Kehakiman,Jakarta: Ami
(57)
melekat dalam tubuh lembaga birokrasi, lemahnya mekanisme sistem kontrol lembaga-lembaga pemerintahan dan lemahnya kontrol masyarakat.Mafia peradilan lebih mudah tumbuh dan berkembang dalam sistem pemerintah yang tertutup atau semi tertutup karena sejalan dan seirama dengan sifat dan pola mafia yang juga tertutup.51
Mafia peradilan adalah praktek kejahatan yang bersifat sistemik. Kata mafia menyiratkan pengertian adanya konfirasi, artinya bahwa apa yang dilakukan aparat tidak sendiri-sendiri melainkan dilakukan melalui jalinan kerjasama oleh sebagian atau seluruh lembaga yang terkait dengan proses hukum. Sebagaimana yang dikemukan oleh Muladi, “…sebagai mantan hakim agung, Muladi mengaku tahu mafia peradilan bukan Cuma terjadi di MA, melainkan sejak penyelidikan. Mafia peradilan sudah menjadi organized crime……Untuk mengatasinya, butuh kepemimpinan bersih, mulai dari kepolisian, pengadilan, kejaksaan, sampai MA. Kalau pimpinan bersih, anak buah pasti bersih. Kalau pimpinan maling, anak buahnya juga maling……”.52
Dari rangkaian kejahatan hukum yang terorganisir semaam itu, hakim akan menempati posisi paling aman. Hakim akan sulit tersentuh hukum, untuk tidak dikatakan kebal hukum, karena hakim dapat berlindung pada norma dan ketentuan dasar undang-undang bahwa kedudukan hakim adalah bebas dan mandiri. Posisi dan kewenangan hakim tidak boleh dicampuri oleh eksekutif, legislative, apalagi oleh masyarakat umum. Para hakim berlindung di balik prinsip asas yudikatif adalah lembaga yang harus bebas dari intervensi luar artinya tidak boleh ada campur tangan luar dalam bentuk apapun selama berlangsung proses peradilan, pro-justisia. Dengan berlindung pada asas tersebut hakim bias dengan bebas melaksanakan tugasnya,
51
Kompas, 11 Februari 2006, h.5 52
(1)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Arinanto Satya, “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia”, Cet.I, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2003
Assegap Rifqi S, 2004, “Urgensi Komisi Yudisial dalam pembaruan Peradilan Indonesia” dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 2, Tahun II, Juni, 2004
Assihiddiqie, Jimly, Konsilidasi Naska UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
__________, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004
__________, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konpress,2005
__________, “The Bangalore principle “, 2006
__________, “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara”, Jakarta, 2006
Asshiddiqie Jimly , Bagir Manan, et al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006
Asimow Michael R, Administrative Law,2002
Budiarjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia:Pustaka Utama,1992 Capra Fritjof, Jaring-jaring Kehidupan Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan,
Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002
Darwin Muhadjir , “Demokrsi Politik Sudah Saatnya”, Jakarta
Henrique Cardozo Fernando, On the Characterization of Authoritarian Regimes in Latin America, Cambridge:Center of Latin America Studies, Universitas of Cambridge,1978
(2)
Huda, Ni’matul. Poltik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945. FH UII Press, Yogyakarta.2003
Joniarto, Selayang Pandang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998
K.C Wheare dalam Bambang Heryanto, “Refleksi Politik Hukum Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonsia”, Juli 2004
Kusnadi, Moh dan Harmaily Ibrahim, Pengantar hukum tata Negara Indonesia, FH UI, Jakarta, 2003
Lubis Solly, “Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan Hukum Yang Paradigmatik”, Medan, 11 Februari 2010
M. Hadjon Philipus, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Surabaya: Bina Ilmu,1992
Magnis Franz-Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1999
Manan Abdul, kemandirian lembaga peradilan dan supremasi hukum di Indonesia, Majalah Hukum USU:Medan, 2004
Manan Bagir, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta, 2001
__________, “Teori dan Politik Konstitusi”, Yogyakarta: FH UII Press, 2003
Moh.Mahfud MD. , Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta: UII Press, 1999
___________, “Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia”, Jakarta: Gramedia,1999
O.C. Kaligis, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”, 2006
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. Cet. II, Bandung-Jakarta: PT Eresco
(3)
Ranadireksa Hendarmin, “Arsitektur Konstitusi Demokratik”, Bandung: Focusmedia.2009
R.St.J.Macdonal, F.Matcher, and H.Petzold, The European System for the protection of Human Rihgts, The Hague:Kluwer Academic Publishers, 1993
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung : Armico
Soedirjo, “Mahkamh Agung: Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaan menurut UU No14 Tahun 1985”, Edisi I, Cet.I, Jakarta: Media Sarana Press, 1986
Soekanto, Soejono dan Sri Mamuji.Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
Soemantri M., Sri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara.Cet.VII, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993
____________, “Perbandingan Antar Hukum Tata Negara“ Jakarta: PT. Rajawali, 1981
Sujata Antonius ,“Reformasi dan Penegakan Hukum”, Jakarta: Djambatan, 2000 Syamsuhadi, “Visi dan Misi Reformasi Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945”. Jakarta: 2000
Tim Mahkamah Agung, Naska Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Jakarta: Mahkamah Agung , 2003
Tim Penyusun Kamus Pustaka Bahasa
Thohari A.Ahsin, “Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006
_____________, “Peranan Komisi-Komisi dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”, makalah disampaikan dalam diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan: Jakarta, Kamis,28 April 2005
(4)
Tambunan A.S.S, “Hukum Tata Negara Perbandingan”, Jakarta: Puporis Publishers, 2001
Tutik Titik Triwulan, eksistensi, kedudukan dan wewenang KOMOSI YUDISIAL,Surabaya, 2007
Wim Voermans, “Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa”, The Asia Foundation dan Usaid, Agustus 2002
B. Artikel/Makalah/Jurnal
Assegaf Rifqi S. dalam makalah diskusi publik eksaminasi putusan Konstitusi di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006
Asshiddigie, Jimly, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003
Buku kedua jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR, sekretariat jendral MPR-RI, 2000: 442 yang dikutip oleh O.C. KALIGIS, 2006
Buku kedua Jilid 8A Risalah Rapat PAH I, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002
Bivitri Susanti dalam makalah Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Yudisial.2006
Denny Indrayana, Komisi Negara Independen Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Majalah Hukum Nasional: DEPKUMHAM RI
____________, “Mahkamah Mafia Peradilan”, Kompas, Jakarta: 2006
Data dari Biro Pengawasan Hakim Komisi Yudisial yang disampaikan Kepala Biro Pengawasan Hakim Komisi Yudisial per 30 Desember 2010
Eka N.A.M. Sihombing, Antara Markus dan Etika Penegaka Hukum, Harian Analisa,Senin 26 April 2010
(5)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010 Jurnal Legislasi, “Reformasi Konstitusi: Perspektif Kekuasaan Kehakiman”, Jakarta:
Ami Global Media, Maret 2010
Indonesia Corruption Watch, 2004 dikutip dalam skripsi Agus Dani, 2006 Kompas ,”RUU Komisi Yudisial Sudah Mendesak”, 23 Maret 2004
Laporan Penelitian Putusan oleh Jejaring Komisi Yudisial tahun 2007, 2008, dan 2009
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, 2003
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Cetak biru membangun Mahkamah Konstitusi sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya, Jakarta, 2005: 121 yang dikutip oleh O. C. Kaligis
Muladi, “Reformasi Hukum Sebagai Bagian Intergral dari Proses Demokratisasi di Indonesia”, delapan tulisan contributor disalin dari buku kenangangan purna bakti Prof.M.Solly Lubis, SH, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002
Paulus E. Lotulung, “ Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum” (makalah disampaikan dalam seminar pembangunan Hukum Nasional VII) diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Kehakiman dan HAM RI, Dempasar
Republik Indonsia, “ Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional”Tahun 2000-2004, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000
Warta Pengawasan, “Reformasi Pengawasan”, 1 Maret 2010
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pra Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
(6)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Putusan Mahkamah Konstirtusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
The Constitusion of Argentina, all amendments up to 22 Agustus 1994
The Constitusion of South Africa, amended on 11 Oct 1996 in foce since: 7 Feb 1997
D. Internet
www.leip.go.id