15
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan disentralisasi fiskal. Salah
satu ketetapan MPR yaitu Tap MPR No. XVMPR1998 tetang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia “Merupakan landasan hukum bagi
dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah
sebagai dasar penyelenggaraan otonomi daerah”. Di satu pihak otonomi daerah yang ditandai dengan dikeluarkannya
UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, yang sekarang
telah diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan
daerah, memberikan harapan baru terhadap tumbuhnya kesadaran untuk
membangun daerah secara lebih optimal, tidak lagi terkosentrasi di pusat. Namun dipihak lain, otonomi daerah menghadirkan
kekhawatiran munculnya “
desentralisasi masalah” dan “desentralisasi kemiskinan”. Artinya pelimpahan masalah dan kemiskinan yang selama ini tidak mampu ditangani dan diselesaikan
1
16 oleh pemerintah pusat. Kewajiban pemerintah pusat dalam negara kesatuan untuk
menjamin sumber keuangan untuk membiayai otonomi tersebut. Untuk menjamin sumber keuangan bagi daerah otonom, pemerintah harus menjamin perimbangan
keuangan pusat dengan daerah. Perimbangan ini dapat ditempuh melalui salah satu dari dua metode berikut : pertama, perimbangan keuangan yang ditempuh
dengan cara penetapan persentase tertentu bagi daerah otonom dari jenis penerimaan pusat. Dan metode kedua, perimbangan keuangan yang ditempuh
dengan cara pembagian kewenangan mencari sumber pendapatan antar pusat dan daerah otonom Ulum 2004:51.
Pemerintah daerah dapat terselanggara karena adanya dukungan berbagai faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya roda organisasi
pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan. Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan
penyelenggaraan roda pemerintah daerah. Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan, dan kebijakan penganggaran yang meliputi
pendapatan dan
belanja daerah
Tangkilisan 2005:71.
Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu,
Pendapatan Asli Daerah PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan.
Pesatnya pembangunan daerah yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal yang membutuhkan alokasi dana dari pemerintah daerah
mengakibatkan pembiayaan pada pos belanja yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan membutuhkan tersedianya dana yang besar pula
17 untuk membiayai kegiatan tersebut. Belanja pengeluaran pemerintah daerah
yang oleh pemerintah daerah dilaporkan dalam APBD merupakan kegiatan rutin pengeluaran kas daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasi dalam
pemerintahan. Dengan belanja yang semakin meningkat maka dibutuhkan dana yang besar pula agar belanja untuk kebutuhan pemerintah daerah dapat terpenuhi.
Dengan terpenuhinya kebutuhan belanja pemerintah, maka diharapkan pelayanan terhadap masyarakat menjadi lebih baik dan kesejahteraan masyarakat menjadi
meningkat. Belanja daerah merupakan pengalokasian dana yang harus dilakukan
secara efektif dan efisien, dimana belanja daerah dapat menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan kewenangan daerah. Apalagi dengan adanya otonomi
daerah pemerintah dituntut untuk mengelola keuangan daerah secara baik dan efektif.
Fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintahan daerah di Indonesia di bidang keuangan daerah adalah relatif kecilnya peranan
kontribusi PAD di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Dengan kata lain peranankotribusi penerimaan yang berasal dari
pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak, mendominasi susunan APBD.
Berlakunya undang-undang No.33 th 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, membawa perubahan mendasar pada sistem dan
mekanisme pengelolaan pemerintah daerah. UU ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan
kewenangan pemerintah
daerah, pemerintahan
pusat akan
18 mentransferkan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan
tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK, dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat. Disamping dana perimbangan
tersebut, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah PAD, pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan
daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah.
Tujuan dari transfer dana perimbangan kepada pemerintah daerah adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan menjamin
tercapainya standar pelayanan publik. Adanya transfer dana ini bagi pemerintah daerah merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya,
sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri yaitu PAD. Namun kenyataannya, transfer dari pemerintah
pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari atau belanja daerah, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan
diperhitungkan dalam APBD. Harapan pemerintah pusat dana transfer tersebut dapat digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah untuk
meningkatkan pelayanaan kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Adanya dana transfer tersebut berimplikasi pada APBD, yaitu pada pos penerimaan, sebagai konsekuensinya adalah bertambah besarnya jumlah
penerimaan daerah. Perubahan jumlah penerimaan daerah yang cukup besar tersebut harus diikuti dengan pengelolaan keuangan daerah yang efisien dan
19 efektif dan disertai dengan peningkatan Sumber Daya Manusia. UU No. 32 th
2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 th 2004 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga dapat memberikan
spirit bagi pemerintah daerah untuk memberdayakan sumber ekonomi yang ada secara mandiri, ekonomis, efisien, dan efektif. Misi utama UU tersebut bukan
hanya pelimpahan kewenangan, pembiayaan, tetapi dimaksudkan agar penataan sistem pengelolaan keuangan lebih baik, sehingga diharapkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat semakin baik dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Semangat desentralisasi, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi
sangat dominan dalam proses penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan keuangan daerah yang sehat sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan good
governance . Oleh karenanya dibutuhkan laporan keungan yang handal dan dapat
dipercaya agar dapat memberikan informasi sumber daya keuangan daerah, dan mengukur sejauh mana prestasi pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah
daerah yang bersangkutan sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat publik.
Dalam penggunaan semua dana perimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya
kepada pemerintah
daerah. Namun
pemerintah daerah
harus menggunakan transfer dari pemerintah pusat dalam b entuk Dana Perimbangan
tersebut secara efektif dan efisien dalam rangka p eningkatkan standar pelayanan publik minimum serta disajikan secara transparan dan akuntabel. Akan tetapi pada
praktiknya, transfer dari pemerintah pusat seringkali dijadikan sumber dana utama oleh pemerintah daerah untuk membiayai operasi utama sehari -hari, yang oleh
pemerintah daerah dilaporkan diperhitungan Anggaran Pendaptan dan Belanja Daerah APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar
20
pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh negeri Simanjuntak dalam Sidik et al dalam Maimunah M, 2006.
Tuntutan transparansi publik, kinerja yang baik dan akuntabilitas begitu sering ditujukan kepada para manajer pemerintah di daerah. Seiring dengan
itu semua
peraturan pemerintah
105 th
2000 juga
mensyaratkan pertanggungjawaban keuangan dalam bentuk laporan keuangan yaitu berupa
neraca daerah, arus kas, dan realisasi anggaran, bagi kepala daerah hal itu semua pada akhirnya menuntut kemampuan manajemen daerah untuk mengalokasikan
sumber daya secara efisien dan efektif. Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan
bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi
fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan
daerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya
sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah
dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut. Dalam hal ini Pendapatan Asli Daerah, khususnya berasal
dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang saat ini merupakan salah satu sumber penerimaan yang menjadi tumpuan daerah karena 90 diantaranya adalah
menjadi hak daerah.
21 Pendapatan asli daerah PAD Jawa Tengah terdiri dari pajak,
retribusi, laba Badan Usaha Milik Daerah BUMD, dan penerimaan lain-lain sebagaimana diketengahkan pada tabel berikut :
Tabel 1 Sumber Pendapatan Asli Daerah PAD Jawa Tengah Tahun 2002-2007
dalam juta rupiah
Sumber PAD Tahun
2002 2003
2004 2005
2006 2007
Pajak Daerah 1024177 1261490 1602699 1995498 2160427 2426080
Retribusi Daerah 97430
123055 146598
194018 265407
305144 Bagian Laba BUMD
7007 9721
12808 207097
93747 96500
Pendapatan Lain-lain 113121
80669 103298
94782 112875
142306
PAD Total 1241735 1474935 1865403 2491395 2632456 2970030
Sumber Data : BPS JATENG. Realisasi pendapatan daerah propinsai Jawa Tengah selama tahun
2002 hingga 2007 berdasarkan data perkembangan realisasi penerimaan daerah menunjukkan bahwa sumber penerimaan asli daerah PAD yang berasal dari
sektor pajak daerah masih merupakan sumber yang paling besar, sedangkan penerimaan yang berasal dari retribusi daerah pada beberapa periode menempati
urutan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah masih memegang peranan penting bagi sumber utama pendapatan daerah.
Dengan besarnya PAD yang diperoleh propinsi Jawa Tengah secara khusus pada tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan adanya tren kenaikan
22 penerimaan daerah. Hal ini cukup ideal dengan semangat otonomi daerah yang
semakin berkembang.. Tabel 2
Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah Tahun 2002 – 2007
Tahun Target
Juta Rp Realisasi
Juta Rp Pemenuhan
2002 1089449
1241735 113.98
2003 1330492
1474935 110.86
2004 1584207
1865403 117.75
2005 2115953
2491395 117.74
2006 2562319
2632456 102.74
2007 3078869
2970030 96.46
Sumber Data : BPS JATENG Namun demikian dengan melihat paparan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
meskipun pendapatan asli daerah PAD Jawa Tengah tahun 2002 – 2006 selalu melapaui target yang ditetapkan, namun sejak tahun 2005 hingga 2007 ada
kecenderungan pemenuhan target yang ditetapkan, bahkan pada laporan bulan Desember tahun 2007 menunjukkan bahwa realisasi penerimaan daerah belum
terpenuhi. Hal ini nampaknya memberikan hasil yang kontradiktif dengan semangat otonomi daerah yang semakin berkembang pada dewasa ini.
Melihat tren dan fenomena tersebut, pemerintah daerah Jawa Tengah sewajarnya mulai memikirkan dan bertindak guna menggali potensi penerimaan
daerah yang lain Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 34 tahun 2000 yang
23 merupakan perubahan atas Undang-Undang No 18 Tahun 1987 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang memberikan peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya termasuk obyek pajak baru dengan catatan
sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Tindakan ini merupakan sebuah konsekwensi atas ditetapkannya
Undang-undang mengenai otonomi daerah yang menyebabkan pemerintah daerah harus dapat mengurangi ketergantungan anggaran dari pemerintah pusat dalam
bentuk DAU Dana Alokasi Umum. Peneliti sebelumnya seperti Mutiara Maemunah 2006 yang meneliti
di Sumatera Utara, Kesit Bambang Prakosa yang meneliti di DIY dan Jawa Tengah, serta Widiyanto 2005 yang juga meneliti di DIY dan Jawa Tengah
memperoleh hasil yaitu PAD kurang signifikan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Hal tersebut berarti terjadi flypaper effect. Hal ini sesuai hipotesisnya
yang menyatakan pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah yang diterima.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maemunah 2006, bahwa DAU dan PAD berpengaruh terhadap Belanja Bidang yang berhubungan langsung
dengan publik, yaitu Belanja Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Pekerjaan Umum. Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat apakah pada Belanja Daerah
Sektor yang berhubungan langsung dengan masyarakatpublik juga masih terjadi flypaper effect
atau tidak.Hasil yang didapat adalah bahwa untuk belanja bidang pendidikan tidak terjadi flypaper effect, sedangkan untuk belanja bidang kesehatan
dan belanja bidang pekerjaan umum telah terjadi flypaper effect.
24 Penelitian lain dilakukan oleh Bambang Prakosa 2004, yang
melakukan penelitian pada kabupatenKota di jawa Tengah dan DIY. Hasilnya menunjukkan bahwa sandaran Pemda untuk menentukan jumlah Belanja Daerah
suatu periode berbeda. Dalam tahun bersamaan, PAD lebih dominan daripada DAU, tetapi untuk satu tahun kedepan, DAU lebih dominan. Munculnya berbagai
bentuk peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah mungkin merupakan indikasi untuk “mengimbangi” pendapatan yang bersumber dari Pempus salah
satunya DAU. Prakosa, 2004 Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengambil judul
“Pengaruh Dana Alokasi Umum DAU dan Pendapatan Asli Daerah PAD terhadap Belanja Daerah Studi Kasus Pada Provinsi Jawa Tengah”.
1.2. Batasan Masalah