Keterbatasan Hukum Acara dan Pembuktian

b. Keterbatasan Hukum Acara dan Pembuktian

Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana baik umum maupun militer juga mempunyai keterbatasan yang mempersulit upaya membongkar kejahatan dengan dukungan operasi intelijen. 21

20 Apabila melibatkan banyak terdakwa, seperti dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis, maka akan diterapkan delik permufakatan bersama untuk melakukan

kejahatan, atau dikenal sebagai joint criminal enterprise (JCE), sehingga menghindarkan adanya tuntutan atas unsur tanggung jawab komando dalam hierarki struktur organisasi militer.

21 Pembuktian merupakan titik utama dalam pemeriksaan persidangan karena akan menentukan kebenaran materiil dan nasib dari terdakwa. Pembuktian mengatur tentang

pedoman untuk menentukan kesalahan terdakwa dan ketentuan yang mengatur tentang alat-alat bukti yang dibenarkan berdasarkan undang-undang. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui cara meletakkan hasil pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam kedua model pengadilan ini, proses pembuktian perkara harus memenuhi syarat-syarat formal agar dapat dinyatakan valid dan sah secara hukum. Secara umum, sifat pemeriksaan perkara di pengadilan yang mengandaikan kejelasan (clarity), kepastian, dan kerincian, sangat bertolak belakang dengan sifat kerja intelijen yang serba tertutup, rahasia dan sangat terbatas.

Sebagai contoh, sistem pembuktian berdasarkan pasal 138 KUHAP mensyaratkan adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah agar hakim dapat memperolah keyakinan bahwa suatu tindak pidana terjadi. Dalam peradilan militer sistem pembuktian yang dianut tidak jauh berbeda dengan yang dianut KUHAP.

Demikian pula dengan alat-alat bukti yang dianggap sah. 22 Selain itu, syarat formal lainnya adalah bahwa pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan persidangan atau dengan ketentuan lain yang dibenarkan oleh hukum. Baik keterangan ahli, keterangan saksi, surat, petunjuk maupun keterangan terdakwa

harus diuji dimuka persidangan. 23 Demikian pula dengan cara memperoleh alat-alat bukti tersebut harus sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. 24 Model pembuktian seperti inilah yang menyebabkan kasus-kasus yang terkait dengan kerja intelijen hampir selalu lolos dari penghukuman.

22 Pasal 171 dan pasal 172 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 23 Pengecualian terhadap pemeriksaan di depan sidang misalnya dalam kasus saksi tidak

dapat menghadiri persidangan karena meninggal dunia, karena jauh tempat tinggal atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara maka keterangannya dibacakan dan disamakan nilainya dengan keterangan saksi yang hadir di persidangan. Lihat pasal 162 KUHAP.

24 Keterangan saksi misalnya harus dilakukan dengan proses berdasarkan hukum sehingga cara-cara yang dilakukan di luar prosedur hukum misalnya pengambilan keterangan

saksi dalam proses penyelidikan dengan disertai adanya ancaman atau kekerasan fisik (penyiksaan). Jika terjadi hal yang demikian maka keterangan saksi ini bisa dibatalkan berdasarkan adanya bukti nyata bahwa keterangan saksi yang diberikan sebelumnya dilakukan karena adanya tekanan atau penyiksaan. Lihat pasal 117 KUHAP dan pasal 108 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam kegiatan intelijen sulit untuk dibuktikan karena alat-alat bukti misalnya keterangan saksi dari pihak intelijen dan surat (berupa dokumen) bersifat rahasia. Anggota intelijen yang diminta bersaksi dapat memberikan kete- rangan yang tidak sebenarnya meskipun kesaksiaannya diberikan di bawah sumpah. Terlebih jika dokumen tersebut diklasifikasikan sebagai dokumen yang merupakan rahasia negara yang jika dibuka dimuka muka persidangan yang terbuka akan mengancam keamanan negara. Sementara klasifikasi atas dokumen yang di- anggap rahasia sampai saat ini masih sangat luas sehingga semua dokumen yang oleh institusi pembuatnya diberikan label rahasia bisa dikategorikan sebagai rahasia negara.

Dalam kasus-kasus dimana saksi dan pelakunya dari aparat intelijen, dan alat bukti dokumen lainnya merupakan dokumen yang rahasia baik rahasia militer maupun rahasia negara, maka tak hanya akses terhadap dokumen tersebut menjadi mustahil namun juga akan sulit diperoleh keterangan yang sesungguhnya. Situasi ini dapat ditemukan dalam operasi yang tertutup (covert operation), sehingga yang kemudian terjadi adalah “plausible denial” yang dilakukan oleh otoritas yang seharusnya bertanggungjawab. Penolakan atas keterlibatan ini dapat dilakukan dengan menyatakan bahwa operasi yang terjadi bukan atas perintah atau dilakukan tanpa sepengetahuan atasan atau yang mempunyai otoritas pem- beri perintah. Tindakan ini bukan tidak mustahil diikuti dengan penghilangan bukti-bukti untuk mendukung plausible denial ter- sebut.

Prosedur lain yang bisa membatasi adanya kekurangan da- lam menemukan kebenaran materiil adalah adanya ketentuan ten- tang pihak yang dapat menolak menjadi saksi meskipun masih ada kewajiban untuk menjadi saksi. Pasal 170 ayat (1) KUHAP me- nyatakan bahwa orang-orang yang karena pekerjaannya, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia Prosedur lain yang bisa membatasi adanya kekurangan da- lam menemukan kebenaran materiil adalah adanya ketentuan ten- tang pihak yang dapat menolak menjadi saksi meskipun masih ada kewajiban untuk menjadi saksi. Pasal 170 ayat (1) KUHAP me- nyatakan bahwa orang-orang yang karena pekerjaannya, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia

Rahasia jabatan atau pekerjaan selama ini dilihat hanya ter- hadap pekerjaan-pekerjaan semisal terhadap rohaniawan, dokter dan kalangan perbankan. Namun dalam prakteknya terdapat ba- nyak jenis pekerjaan dan jabatan membebankan adanya rahasia jabatan atau pekerjaan. Masuknya ketentuan mengenai harkat dan martabat sebagai ketentuan yang dapat dimintakan pembebasan untuk menjadi saksi memperluas penafsiran atas ketentuan ini. Banyak terdapat hal-hal yang berkaitan dengan harkat dan martabat seseorang tidak mempunyai pengaturan. Apalagi, sampai saat ini tidak terdapat batasan dan ketentuan bagi hakim untuk menyatakan sah atau tidaknya permintaan tidak menjadi saksi terhadap alasan karena jabatan, harkat dan martabat atau pekerjaan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Akibatnya, kewajiban bersaksi dalam berbagai kejahatan-keja- hatan yang berkaitan dengan operasi intelijen dapat dihindari. Lebih lanjut, situasi ini semakin mempersulit proses pemeriksaan

25 Pasal 170 ayat (1) KUHAP. 26 Pasal 161 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, “ mereka yang karena

pekerjaan, harkat dan martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dan meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi tentang hal yang dipercayakan kepadanya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

27 Lihat pasal 170 ayat (2) KUHAP dan pasal 161 ayat (2) UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

di persidangan dan upaya menyingkap kebenaran dari peristiwa itu semakin sulit dilakukan.

Dengan hukum acara yang berlaku dan sistem pembuktian ini, kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari operasi intelijen atau menjadi bagi dari kebijakan negara akan terus sulit untuk dibuktikan di pengadilan. Terlebih jika pengunaan sistem pembuktian secara ketat, yakni bahwa kebenaran materiil dan bersalahnya terdakwa didasarkan atas adanya alat-alat bukti yang sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubt) masih terus diterapkan secara konservatif dan rigid. Proses pembuktian yang dilakukan juga berdasarkan atas ketentuan hukum acara yang berlaku (due process). Sementara konstruksi hukum acara dan pembuktian yang dikreasi tidak mampu menjangkau adanya alat-alat bukti yang sah dan meyakinkan.