HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
B. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dan Suhu Penyimpanan
terhadap Kadar Air
Air merupakan komponen yang paling banyak terkandung dalam buah alpukat. Selama proses pematangan terjadi peningkatan jumlah air dalam daging buah yang disebabkan oleh proses respirasi dan terjadinya perpindahan air dari kulit ke daging buah secara osmosis (Robinson, 1999). Selain fenomena peningkatan jumlah air yang terjadi di dalam buah, terdapat pula fenomena penurunan jumlah air karena jaringan buah tetap hidup setelah pemanenan dan mengalami proses respirasi serta kehilangan air.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar air (Tabel
6, Lampiran 2). Hal ini diperlihatkan melalui penurunan persentase kadar air yang relatif sama pada semua perlakuan selama penyimpanan. Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan bertujuan mempertahankan kadar air buah sehingga buah tidak mengalami penurunan kadar air secara drastis. Parameter kadar air berkorelasi positif dengan susut bobot dimana proses terjadinya susut bobot pada buah 6, Lampiran 2). Hal ini diperlihatkan melalui penurunan persentase kadar air yang relatif sama pada semua perlakuan selama penyimpanan. Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan bertujuan mempertahankan kadar air buah sehingga buah tidak mengalami penurunan kadar air secara drastis. Parameter kadar air berkorelasi positif dengan susut bobot dimana proses terjadinya susut bobot pada buah
penyimpanan (%)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 84,53 a 84,62 a 57,24 a *
1 84,40 a 84,64 a 57,54 a *
2 86,07 a 85,01 a 57,22 a 55,95 a
3 82,92 a 85,50 a 56,53 a 55,28 a
28 (ruang)
0 84,45 a 86,76 a 57,22 a *
1 86,61 a 87,15 a 29,31 a *
2 85,49 a 85,99 a 29,17 a *
3 82,86 a 85,17 a 56,77 a * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
Pada minggu terakhir penyimpanan, hanya buah alpukat dengan perlakuan konsentrasi kitosan 2% dan 3% pada suhu dingin yang masih bertahan dalam kondisi bagus. Penggunaan bahan pelapis pada buah segar dapat memperlambat penurunan mutu karena metode tersebut dapat digunakan sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida, dan uap air serta komponen flavor sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfer internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas (Brody dan Marrsh, 1997). Kadar air buah alpukat perlakuan konsentrasi kitosan 2% dan 3% pada suhu dingin masing-masing bernilai 55,95% dan 55,28%, kedua nilai tersebut tidak berbeda nyata. Kadar air yang cukup tinggi memperlihatkan buah dalam kondisi yang cukup bagus selama penyimpanan. Konsentrasi kitosan 2% dan 3% mampu menghambat respirasi dan transpirasi atau penguapan air karena adanya lapisan tebal yang dapat menutup permukaan
(Trenggono, 1992). Hal ini karena proses transpirasi dan respirasi berjalan lambat
sehingga jumlah H 2 O yang hilang relatif kecil dan kadar air dalam buah dapat dipertahankan. Selama penyimpanan, terjadi penurunan kadar air dalam jaringan buah yang menyebabkan kadar air berkurang (Gambar 5). Menurut Burdon (1997), jaringan buah tetap hidup setelah pemanenan serta mengalami proses respirasi dan kehilangan air. Proses kehilangan air tersebut menyebabkan berkurangnya kadar air. Pernyataan ini didukung oleh Wills et al. (1981) yang menyatakan bahwa kehilangan bobot pada buah diakibatkan pula oleh proses respirasi dan transpirasi pada buah tersebut. Meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan perombakan senyawa seperti karbohidrat dalam buah dan menghasilkan CO 2, energi, serta air yang menguap melalui permukaan kulit buah yang menyebabkan kehilangan bobot. Air dari hasil aktivitas respirasi akan menguap dan menyebabkan air dalam buah berkurang.
Gambar 5. Kadar air buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Kadar Air (%)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
Selama proses pematangan terjadi pemecahan polimer karbohidrat seperti pati menjadi gula. Metabolisme pati mempunyai peran yang penting pada proses pemasakan buah. Selama periode pascapanen, pati dapat diubah menjadi gula sederhana seperti sukrosa, glukosa, dan fruktosa (Noor, 2007). Mattoo dkk. (1986) menyatakan bahwa gula merupakan komponen yang penting untuk mendapatkan rasa buah yang dapat diterima oleh konsumen melalui perimbangan antara gula dan asam.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap total gula reduksi (Tabel 7, Lampiran 3). Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan bertujuan untuk mempertahanakan total gula reduksi dengan menghambat terjadinya penurunan total gula reduksi buah selama penyimpanan sehingga mutu buah tetap bagus. Tabel 7. Total gula reduksi buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu
penyimpanan (mg/100 g)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 769,38 abcde
750,25 abcde 805,89 abcde *
1 718,73 abcde
799,15 abcde 363,11 ab *
2 794,08 abcde
866,10 bcde 690,37 abcde *
3 1209,41 e 1163,84 e 691,12 abcde 455,51 abcd
28 (ruang)
0 1087,41 e 772,95 abcde 376,08 ab *
1 1033,26 de 740,18 abcde 397,79 abc *
2 922,15 bcde 1049,32 de 186,21 a *
3 1020,04 cde 982,62 bcde 857,62 bcde * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
konsentrasi kitosan 3% pada suhu dingin yang masih bertahan dan menunjukkan daya simpan yang cukup baik selama penyimpanan, sedangkan buah alpukat pada perlakuan lainnya dalam kondisi rusak atau busuk. Total gula reduksi buah alpukat perlakuan konsentrasi kitosan 3% pada suhu dingin bernilai 455,51 mg/100 g. Perlakuan tersebut menunjukkan nilai total gula reduksi yang masih cukup tinggi sehingga mampu mengambat proses kerusakan buah yang diakibatkan oleh penurunan total gula reduksi yang cukup signifikan.
Selama buah alpukat disimpan, diketahui terjadi kenaikan total gula reduksi pada minggu ke-2 (Gambar 6). Kenaikan total gula reduksi tersebut disebabkan karena hidrolisis pati menjadi sukrosa, glukosa, dan fruktosa dengan kecepatan hidrolisis lebih besar dibandingkan dengan kecepatan perubahan
glukosa menjadi CO 2 dan H 2 O serta energi sehingga dalam jaringan buah terjadi
penimbunan glukosa (Hasbi dkk., 2005). Pada minggu ke-2 ditemukan pula fenomena penurunan total gula reduksi. Pada minggu ke-3 penurunan total gula reduksi semakin meningkat (Gambar 6). Penurunan kadar gula reduksi buah yang terjadi diduga karena laju respirasi lanjutan yang merupakan pemecahan gula
reduksi menjadi asam piruvat dan selanjutnya menghasilkan CO 2 dan H 2 O (Wills
et al ., 1998, Baldwin, 1994). Fenomena peningkatan dan penurunan gula reduksi yang terjadi pada buah alpukat sesuai dengan pendapat Kays (1991) dan Wills et al . (1998) yang menyatakan bahwa kecenderungan yang umum terjadi pada buah selama penyimpanan adalah terjadi kenaikan kandungan gula yang kemudian disusul dengan penurunan.
Gambar 6. Total gula reduksi buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Penelitian Jayaputra dan Nurrachman (2005) pada buah mangga juga menunjukkan fenomena peningkatan dan penurunan gula reduksi. Pola perubahan kadar gula reduksi buah mangga yaitu terjadi peningkatan dari hari ke-5 hingga
15. Peningkatan kadar gula reduksi ini diduga karena proses hidrolisa pati menjadi gula-gula sederhana (glukosa dan fruktosa) dengan bantuan enzim-enzim yaitu enzim amilase, fosforilase, dan invertase yang terdapat di dalam buah. Namun hari ke-15 HSP, bahan atau substrat respirasi yang berupa pati sudah mulai berkurang sehingga sebagai akibatnya kecepatan respirasi berkurang. Selain itu gula yang telah ada juga digunakan untuk proses metabolisme.
Semakin lama penyimpanan, maka kadar gula semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena selama proses pematangan terjadi perombakan pati menjadi gula. Dengan penghambatan kematangan buah (dalam hal ini menggunakan kitosan dan suhu penyimpanan), maka peningkatan kadar gula dapat terhambat
Total Gula
Reduksi (mg/100 g)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
bahwa pada awal pertumbuhan buah, konsentrasi gula total, gula reduksi, dan bukan reduksi sangat rendah. Tetapi saat proses pemasakan, gula total meningkat tajam dalam bentuk glukosa dan fruktosa. Naiknya kadar gula yang tiba-tiba ini dapat dijadikan sebagai indeks kimia kemasakan.
Gula reduksi merupakan hasil dari penguraian polisakarida yang berupa glukosa dan fruktosa yang mempunyai gugus reaktif untuk melakukan reaksi. Gugus reaktif tersebut berupa aldehid atau keton bebas. Gula reduksi mempunyai kemampuan mereduksi Cu 2+ (ion kupri) menjadi Cu + (ion kupro). Karbohidrat yang terdapat pada tumbuhan dalam bentuk pati akan dipecah menjadi gula (Poedjiadi, 1994).
Sebagian besar langkah dalam proses perombakan pati menjadi glukosa
-amilase, dan pati fosforilase.
Alfa amilase secara acak menyerang ikatan 1,4 pada amilosa atau amilopektin.
-maltosa. Pati fosforilase merombak pati mulai dari akhir ujung nonreduksi dengan reaksi:
Pati + H 2 PO 4 glukosa-1-fosfat
Reaksi penting perombakan sukrosa ialah hidrolisis tidak dapat balik oleh invertase menjadi glukosa dan fruktosa bebas dengan reaksi:
Sukrosa + H 2 O
glukosa + fruktosa
Enzim lainnya yang dapat merombak sukrosa ialah sukrosa sintase yang mengkatalisis reaksi: Sukrosa + UDP
fruktosa +UDP-glukosa
(Salisbury dan Ross, 1995).
Gambar 7.
Gambar 7. Perombakan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Achmadi, 1991)
Pelapisan buah dengan kitosan menyebabkan pori-pori permukaan kulit buah tertutup sehingga laju respirasi terhambat. Zhang dan Quantrick (1997) menyatakan bahwa penggunaan kitosan dapat menurunkan konsentrasi oksigen internal buah. Berkurangnya oksigen yang masuk ke dalam buah menyebabkan terhambatnya proses respirasi, akibatnya penggunaan substrat seperti gula lebih rendah dan penggunaan hasil perubahan pati menjadi lebih sedikit. Penghambatan laju respirasi ini menyebabkan penimbunan total gula reduksi. Konsentrasi kitosan 3% pada suhu dingin merupakan perlakuan yang optimal dalam mempertahankan total gula reduksi buah sehingga mampu meningkatkan daya simpan buah alpukat. Konsentrasi kitosan 3% merupakan konsentrasi yang optimal dalam menghambat masuknya oksigen yang mengakibatkan terhambatnya penguraian molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti penguraian zat pati
invertase
metabolisme seperti proses respirasi sehingga terjadi penimbunan gula yang mulai berkurang karena digunakan dalam respirasi lanjutan (Trenggono, 1992). Sesuai pendapat Wills et al. (1998) dan Baldwin (1994), penurunan kadar gula reduksi buah yang terjadi diduga karena laju respirasi lanjutan yang merupakan pemecahan gula reduksi menjadi asam piruvat yang selanjutnya menghasilkan
CO 2 dan H 2 O.
D. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dan Suhu Penyimpanan
terhadap Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat adalah vitamin yang paling mudah rusak di antara semua vitamin yang ada. Asam askorbat mudah teroksidasi. Oksidasi sangat cepat bila kondisinya alkalis, pada suhu tinggi, dan terkena sinar matahari serta logam-logam yang rendah (Gaman dan Sherrington, 1992).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap vitamin C (Tabel
8, Lampiran 4). Fenomena yang umum terjadi adalah semakin lama buah disimpan semakin menurun kandungan vitamin C pada buah tersebut. Santoso dan Purwoko (1995) menyatakan bahwa umumnya penurunan kandungan asam organik dalam hal ini adalah asam askorbat selama pemasakan terjadi karena direspirasikan atau diubah menjadi gula sebab asam-asam tersebut dianggap sebagai cadangan energi pada buah. Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan 8, Lampiran 4). Fenomena yang umum terjadi adalah semakin lama buah disimpan semakin menurun kandungan vitamin C pada buah tersebut. Santoso dan Purwoko (1995) menyatakan bahwa umumnya penurunan kandungan asam organik dalam hal ini adalah asam askorbat selama pemasakan terjadi karena direspirasikan atau diubah menjadi gula sebab asam-asam tersebut dianggap sebagai cadangan energi pada buah. Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan
penyimpanan (mg/100 g)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 0,0042 abc 0,0028 abc 0,0032 abc *
1 0,0065 bc 0,0028 abc 0,0027 ab *
2 0,0078 c 0,0031 abc 0,0028 abc *
3 0,0041 abc 0,0038 abc 0,0027 ab 0,0011 a
28 (ruang)
0 0,0062 bc 0,0023 ab 0,0021 ab *
1 0,0046 abc 0,0032 abc 0,0006 a *
2 0,0045 abc 0,0031 abc 0,0018 ab *
3 0,0051 abc 0,0034 abc 0,0030 abc * Keterangan: * = rusak/busuk
Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
Pada minggu terakhir penyimpanan, hanya buah alpukat pada perlakuan konsentrasi kitosan 3% pada suhu dingin yang mampu bertahan dan memiliki daya simpan yang cukup bagus dengan ditandai kandungan vitamin C pada buah yang masih cukup tinggi yaitu 0,0011 mg/100 g dibanding perlakuan lainnya yang sudah dalam kondisi busuk. Konsentrasi kitosan 3% mampu menghambat pertukaran gas dibanding perlakuan konsentrasi kitosan 1% dan 2%. Pantastico (1993) menyatakan bahwa kandungan asam askorbat (vitamin C) akan mengalami penurunan selama penyimpanan terutama pada suhu penyimpanan tinggi. Hal ini disebabkan karena asam askorbat mudah teroksidasi, misalnya oleh enzim asam askorbat oksidase yang terdapat dalam jaringan tanaman. Pernyataan ini juga didukung oleh Trenggono dkk. (1990) yang menyatakan bahwa penyimpanan buah-buahan pada kondisi yang menyebabkan kelayuan akan menurunkan
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan reaksi- reaksi kimia serta menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba (Juniasih, 1997).
Selama penyimpanan buah alpukat, kandungan vitamin C mengalami penurunan pada minggu ke-2 menuju minggu ke-3 (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan pendapat Hofman et al. (1997) dan Baldwin (1994) yang menyatakan bahwa secara keseluruhan pada buah klimakterik, jumlah asam organik akan menurun secara cepat selama penyimpanan, terjadi peningkatan laju respirasi yang membutuhkan banyak energi sehingga terjadi penggunaan asam-asam organik yang tersedia di dalam buah sebagai substrat sumber energi. Proses penurunan kandungan vitamin C sesuai dengan pendapat Hasbi dkk. (2005) yang menyatakan bahwa kadar asam organik buah-buahan, mula-mula bertambah dan mencapai maksimum pada waktu pematangan tetapi kemudian berkurang secara perlahan-lahan pada waktu penyimpanan.
Gambar 8. Vitamin C buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Vitamin C (mg/100 g)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
biosintesis vitamin C tidak berlangsung lagi sehingga vitamin C teroksidasi oleh enzim asam askorbat oksidase di dalam sel tanaman dan berakibat terhadap penurunan kandungan vitamin C (Kartika, 2010). Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara reversibel menjadi asam L-dehidroaskorbat yang secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L- diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi (Winarno, 1990). Oksidasi vitamin C terjadi karena dalam sel-sel tanaman terdapat enzim yang dapat menaikkan kecepatan oksidasi yaitu enzim asam askorbat oksidase. Apabila sel mengalami kelayuan, enzim askorbat oksidase akan dibebaskan dengan cara kontak langsung dengan asam askorbat sehingga vitamin C mengalami kerusakan (Gaman dan Sherrington, 1992).
Reaksi oksidasi yang terjadi pada buah alpukat selama penyimpanan dapat berlangsung secara spontan karena pengaruh udara sekitar. Proses oksidasi spontan adalah proses oksidasi yang terjadi tanpa menggunakan enzim atau katalisator. Mekanisme oksidasi spontan terjadi sebagai berikut. Monoanion asam askorbat merupakan sasaran penyerangan oksidasi oleh molekul oksigen
menghasilkan radikal anion askorbat dan H 2 O yang diikuti dengan pembentukan
dehidro asam askorbat dan hidrogen peroksida. Asam L-dehidroaskorbat merupakan bentuk oksidasi dari asam L-askorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun asam L-dehidroaskorbat bersifat sangat labil dan dapat mengalami perubahan menjadi 2,3-L-diketogulonat (DKG). Diketogulonat yang terbentuk sudah tidak mempunyai keaktifan vitamin C lagi dehidro asam askorbat dan hidrogen peroksida. Asam L-dehidroaskorbat merupakan bentuk oksidasi dari asam L-askorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun asam L-dehidroaskorbat bersifat sangat labil dan dapat mengalami perubahan menjadi 2,3-L-diketogulonat (DKG). Diketogulonat yang terbentuk sudah tidak mempunyai keaktifan vitamin C lagi
1992). Reaksi oksidasi vitamin C dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Reaksi oksidasi asam askorbat (Winarno, 1990) Tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan keluar buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaaan buah (Baldwin 1994, Hofman et al., 1997). Pelapisan buah dengan kitosan menyebabkan permukaan kulit buah tertutup sehingga masuk dan keluarnya gas menjadi terhambat sehingga akibatnya proses respirasi dan oksidasi yang terjadi pada vitamin C dapat dihambat dan kerusakan buah dapat dicegah.
E. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dan Suhu Penyimpanan
terhadap Laju Respirasi
Laju respirasi merupakan petunjukan yang baik untuk daya simpan buah sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme karena itu sering dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi daya simpan buah. Laju respirasi yang tinggi disertai oleh umur simpan buah yang Laju respirasi merupakan petunjukan yang baik untuk daya simpan buah sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme karena itu sering dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi daya simpan buah. Laju respirasi yang tinggi disertai oleh umur simpan buah yang
menghasilkan CO 2 , air, dan sejumlah elektron (Syarief dan Irawati, 1988). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju respirasi (Tabel 9, Lampiran 5). Pada umumnya bahan hasil pertanian setelah dipanen masih melakukan proses respirasi serta metabolisme lain sampai bahan tersebut rusak dan proses kehidupan berhenti (Syarief dan Irawati, 1988). Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan bertujuan menurunkan laju respirasi buah sehingga kerusakan buah dapat dihambat. Buah alpukat termasuk buah klimakterik yaitu buah yang memiliki kenaikan respirasi yang cepat selama pematangan serta memiliki laju produksi etilen yang tinggi pula. Wills et al. (1981) menyatakan bahwa buah klimakterik memproduksi etilen dalam jumlah besar dan mengalami perubahan konsentrasi secara luas. Tabel 9. Laju respirasi buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu
penyimpanan (ppm CO 2 /L/menit)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 308,00 a 184,00 a 184,00 a *
1 390,00 a 150,00 a 920,00 b *
2 316,00 a 260,00 a 162,00 a 276,00 a
3 72,00 a 210,00 a 98,00 a 96,00 a
28 (ruang)
0 62,00 a 154,00 a 102,00 a *
1 200,00 a 296,00 a 62,00 a *
2 14,00 a 296,00 a 42,00 a *
3 78,00 a 166,00 a 144,00 a * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
respirasi buah yang bersamaan dengan laju produksi etilen sehingga memungkinkan penghambatan buah menuju fase penuaan. Pada minggu terakhir penyimpanan, buah alpukat pada perlakuan konsentrasi kitosan 2% dan 3% pada suhu dingin mampu bertahan dengan menunjukkan nilai laju respirasi masing-
masing 276 ppm CO 2 /L/menit dan 96,00 ppm CO 2 /L/menit, nilai keduanya tidak
berbeda nyata. Kedua perlakuan tersebut menunjukkan laju respirasi yang rendah sehingga mampu menghambat kerusakan pada buah alpukat pascapanen.
Edible coating dapat meningkatkan konsentrasi CO 2 dan menurunkan konsentrasi O 2 internal pada buah yang dilapisi dengan menurunkan laju respirasi
dan indeks kerusakan buah yang berfungsi dalam memperpanjang masa simpan
buah (Hagenmaier, 2005). Konsentrasi CO 2 yang tinggi menghambat aktivitas
suksinat dehidrogenase dan menginduksi asam suksinat yang menghambat
berlangsungnya siklus Krebs (Deng et al., 2006). Konsentrasi O 2 yang rendah
dapat menekan aktivitas sitokrom oksidase dan berperan menghambat aktivitas oksidasi seperti oksidasi vitamin C, oksidasi polifenol, dan oksidasi asam glikolik (Ozden dan Bayindirli, 2002). Perlakuan pelapisan berfungsi mereduksi aktivitas penting sehingga mempertahankan kualitas buah selama penyimpanan.
Kader (1985) menyatakan bahwa pada suhu dingin (chilling) dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat menyolok pada kecepatan glikolisis dan respirasi mitokondria yang mengakibatkan laju respirasi menjadi lambat dibandingkan dengan suhu tinggi. Suhu rendah akan mereduksi laju respirasi dan transpirasi, menghambat reaksi enzimatis, menekan laju
kemunduran mutu produk (Beckett, 1995). Peningkatan suhu akan meningkatkan laju respirasi karena respirasi merupakan kegiatan metabolisme yang melibatkan sejumlah reaksi enzimatis dan sangat dipengaruhi oleh suhu. Peningkatan klimakterik dalam respirasi mencerminkan peningkatan aktivitas metabolik yang berlangsung pada transisi dari fase pertumbuhan buah sampai fase senesensi. Saat itu bertepatan dengan peningkatan laju produksi etilen dan perubahan yang berkaitan dengan pematangan seperti perubahan warna, cita rasa, dan tekstur (Hawa, 2005). Penelitian Paramita (2010) menyatakan bahwa mangga gedong gincu yang disimpan dalam suhu 10 °C mempunyai laju respirasi paling rendah dibandingkan dengan mangga gedong gincu yang disimpan pada suhu 20 °C dan
25 °C. Selama penyimpanan, laju respirasi buah semakin menurun. Dalam penelitian ini diketahui terjadi peningkatan laju respirasi pada minggu ke-2 kemudian mulai menurun pada minggu ke-3 (Gambar 10).
Gambar 10. Laju respirasi buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Laju Respirasi (ppm CO2/L/menit)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
minggu ke-2 (Gambar 10). Selama proses pematangan, kegiatan dalam sel-sel buah menjadi meningkat sehingga diperlukan energi yang diperoleh dari ATP. Winarno dan Aman dalam Fuadah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan ATP yang mengalami peningkatan ini mengakibatkan mitokondria harus bekerja lebih berat untuk meningkatkan produksi ATP. Meningkatnya kegiatan mitokondria tersebut menyebabkan proses respirasi juga mengalami peningkatan sehingga terjadinya proses klimaterik. Menurut Hawa (2005), proses klimakterik dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu klimakterik menaik, puncak klimakterik, dan klimakterik menurun. Awal respirasi klimakterik dimulai pada fase pematangan, bersamaan dengan pertumbuhan buah mencapai konstan. Selama proses tersebut, terjadi perubahan khususnya pola respirasi yang mendadak meningkat mencapai klimaks. Selama periode praklimakterik laju respirasi rendah, kemudian pada waktu periode klimakterik, laju respirasi meningkat cepat sampai maksimum dan pemasakan buah dimulai, sedangkan periode pascaklimakterik, laju respirasi menurun, proses pemasakan buah sudah terbentuk, proses biosintesis terhenti, proses dekomposisi menjadi efektif, dan buah mulai rusak.
Pada minggu ke-3, laju respirasi mulai menurun (Gambar 10). Menurut Pantastico (1993), pada produk-produk yang memiliki lapisan kulit yang tebal, maka laju respirasinya rendah dan pada jaringan muda proses metabolisme akan lebih aktif daripada organ-organ tua. Alpukat merupakan buah dengan kulit luar agak tebal, kulit tengah tebal berdaging lunak, dengan lapisan kulit dalam tipis berbatasan dengan kulit biji sehingga menyebabkan terjadi penurunan laju
sulitnya oksigen untuk memasuki lapisan kulit buah. Penelitian Zhou et al. (2008) menyatakan bahwa laju respirasi yang lebih rendah ditunjukkan oleh buah pear Huanghua yang dilapisi oleh carboxymethylated chitosan (CMC) dibanding dengan buah pear yang tidak dilapisi. Indeks kerusakan buah anggur yang tidak dilapisi lebih tinggi daripada buah anggur yang diberi perlakuan pelapis kitosan ketika disimpan pada suhu 20 °C selama 16 hari atau 0 °C selama 42 hari (Meng et al., 2006). Pelapis kitosan juga efektif dalam mencegah kerusakan buah pepaya (Gonzales et al., 2009). Demikian pula pada penelitian Chien et al. (2007) yang menyatakan bahwa kerusakan pada buah jeruk secara signifikan dapat dihambat ketika buah jeruk dilapisi dengan kitosan.
F. Pengaruh Konsentrasi Kitosan dan Suhu Penyimpanan
terhadap Pigmen Buah
Warna atau pigmen buah merupakan salah satu komponen mutu yang biasa digunakan untuk menentukan tingkat kematangan buah yang berhubungan langsung dengan umur simpan buah. Umur simpan pada buah dapat diperpanjang dengan mempertahankan warna hijau lebih lama pada kulit buah (Diennazola, 2008). Terdapat dua jenis pigmen pada kulit buah alpukat yaitu klorofil dan karotenoid.
Secara umum perubahan warna yang terjadi saat proses pematangan adalah hilangnya warna hijau pada kulit buah (Diennazola, 2008). Perubahan Secara umum perubahan warna yang terjadi saat proses pematangan adalah hilangnya warna hijau pada kulit buah (Diennazola, 2008). Perubahan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap klorofil a (Tabel 10, Lampiran 6). Pengaruh secara signifikan tersebut ditunjukkan dengan semakin lama buah disimpan, maka penurunan kadar klorofil a yang semakin meningkat dapat dihambat sehingga pada akhir penyimpanan buah alpukat masih memiliki kadar klorofil a yang cukup tinggi. Secara umum, kadar klorofil yang terdapat pada kulit buah akan menurun sejalan dengan pematangan buah karena proses degradasi yang terjadi pada pigmen tersebut. Tabel 10. Klorofil a buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu
penyimpanan (mg/l)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 7,39 abcde
7,71 abcde 4,22 abc *
1 4,74 abc 8,54 bcde 4,54 abc *
2 3,81 abc 7,39 abcde 5,35 abc 4,84 abc
3 4,33 abc 13,05 e 5,79 abcd 5,78 abcd
28 (ruang)
0 6,86 abcd 8,80 bcde 2,91 ab *
1 3,19 ab 9,99 cde 2,02 a *
2 3,98 abc 7,66 abcde 1,91 a *
3 4,40 abc 11,61 de 6,89 abcd * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan dalam menghambat penurunan kadar klorofil a, dimana semakin lama buah Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan dalam menghambat penurunan kadar klorofil a, dimana semakin lama buah
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap klorofil b (Tabel 11, Lampiran 7). Secara umum selama penyimpanan buah, kadar klorofil yang terdapat pada kulit buah akan menurun sejalan dengan pematangan buah karena proses degradasi pada pigmen tersebut. Buah alpukat pada perlakuan konsentrasi kitosan 2% dan 3% pada suhu dingin mampu bertahan hingga minggu terakhir penyimpanan dengan kadar klorofil b masing-masing sebesar 8,60 mg/l dan 7,62 mg/l, kedua nilai tersebut tidak berbeda nyata. Tabel 11. Klorofil b buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu
penyimpanan (mg/l)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 7,31 abcd 10,90 abcd 6,60 abcd *
1 4,10 abc 12,76 abcd 7,77 abcd *
2 3,90 abc 9,57 abcd 7,51 abcd 8,60 abcd
3 3,13 a 14,10 bcd 7,99 abcd 7,62 abcd
28 (ruang)
0 8,69 abcd 12,76 abcd 5,03 abc *
1 2,93 a 16,52 d 3,37 ab *
2 3,92 abc
12,00 abcd 2,82 a *
3 5,28 abc 14,56 cd 9,85 abcd * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap klorofil total (Tabel 12, Lampiran 8). Pengaruh yang signifikan tersebut ditunjukkan dengan semakin lama buah disimpan, maka semakin meningkat penurunan kadar klorofil total, penurunan tersebut dapat dihambat sehingga pada akhir penyimpanan buah alpukat masih memiliki kadar klorofil total yang cukup tinggi. Selama penyimpanan, terjadi proses degradasi pada klorofil sehingga kadar klorofil total yang terdapat pada kulit buah akan menurun sejalan dengan pematangan buah tersebut. Tabel 12. Klorofil total buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu
penyimpanan (mg/l)
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 14,69 abc 18,61 abc 10,82 abc *
1 8,85 a 21,30 abc 12,30 abc *
2 7,71 a 16,95 abc 12,86 abc 13,44 abc
3 7,46 a 27,14 c 13,78 abc 13,40 abc
28 (ruang)
0 15,54 abc 21,55 abc 7,93 a *
1 6,11 a 26,49 c 5,39 a *
2 7,90 a 19,65 abc 4,72 a *
3 9,68 ab 26,16 bc 16,73 abc * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan dalam menghambat penurunan kadar klorofil total, dimana semakin lama buah disimpan maka tingkat penurunan kadar klorofil total yang semakin meningkat secara signifikan dihambat oleh perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan, hal ini dapat dilihat dari perlakuan dengan konsentrasi kitosan yang tinggi yaitu 2% dan Perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan dalam menghambat penurunan kadar klorofil total, dimana semakin lama buah disimpan maka tingkat penurunan kadar klorofil total yang semakin meningkat secara signifikan dihambat oleh perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan, hal ini dapat dilihat dari perlakuan dengan konsentrasi kitosan yang tinggi yaitu 2% dan
Semua perlakuan menunjukkan kenaikan kadar klorofil a, klorofil b, dan klorofil total pada minggu ke-2 (Gambar 11, 12, 13). Kenaikan kadar klorofil ini diduga karena dalam buah masih berlangsung biosintesis atau pembentukan klorofil. Pada minggu ke-3 kadar klorofil a, klorofil b, dan klorofil total mengalami penurunan (Gambar 11, 12, 13). Penurunan kadar klorofil a, klorofil b, dan klorofil total terjadi karena degradasi atau penguraian klorofil.
Gambar 11. Klorofil a buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Klorofil a (mg/l)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
Gambar 12. Klorofil b buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Gambar 13. Klorofil total buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Karotenoid adalah suatu pigmen alami berupa zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang disusun oleh 8 unit isopren, 4 gugus metal, dan selalu terdapat ikatan ganda terkonjugasi di antara
Klorofil b (mg/l)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
Klorofil Total (mg/l)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava), perlakuan konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap karotenoid (Tabel 13, Lampiran 9). Pengaruh yang signifikan tersebut ditunjukkan melalui kadar karotenoid yang cukup tinggi pada akhir penyimpanan dengan menghambat laju penurunannya. Tabel 13. Kandungan karotenoid buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan
dan suhu penyimpanan
Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) Suhu (°C)
Konsentrasi Kitosan (%)
16 (dingin)
0 0,066 bcd 0,072 bcd 0,041 abc *
1 0,053 abc 0,075 cd 0,040 abc *
2 0,032 abc 0,059 abcd 0,051 abc 0,045 abc
3 0,055 abc 0,103 d 0,048 abc 0,047 abc
28 (ruang)
0 0,060 abcd 0,077 cd 0,025 ab *
1 0,036 abc 0,071 bcd 0,016 a *
2 0,032 abc 0,062 abcd 0,016 a *
3 0,033 abc 0,076 cd 0,056 abc * Keterangan: * = rusak/busuk Angka yang disertai dengan huruf yang sama pada baris/kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 95%.
Pengaruh perlakuan kitosan dan suhu penyimpanan terlihat secara signifikan mampu mempertahankan kadar karotenoid buah alpukat, terlihat pada perlakuan konsentrasi kitosan 2% dan 3% pada suhu dingin menunjukkan kadar karotenoid yang masih cukup tinggi hingga minggu terakhir penyimpanan yaitu masing-masing bernilai 0,045
dan 0,047
, kedua nilai tersebut tidak berbeda nyata.
ke-2 (Gambar 14). Hal ini disebabkan karena terjadi biosintesis atau pembentukan karotenoid. Pada minggu ke-3 kadar karotenoid mengalami penurunan (Gambar 14). Penurunan kadar karotenoid ini disebabkan karena terjadi reduksi karotenoid. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subramanyam (1976) yang menyatakan bahwa pada periode matang ditandai dengan terjadinya reduksi karoten.
Gambar 14. Karotenoid buah alpukat pada variasi konsentrasi kitosan dan suhu penyimpanan
Penguraian pigmen klorofil disebabkan oleh enzim klorofilase pada saat pemasakan. Menurut Kays (1991), hilangnya warna hijau merupakan peralihan dari fungsi kloroplas ke kromoplas yang mengandung pigmen karotenoid. Hilangnya klorofil berhubungan dengan beberapa proses seperti aksi dari enzim klorofilase dan enzimatik oksidasi atau fotodegradasi. Menurut Matto dkk. (1986), perubahan warna terjadi karena berlangsungnya sintesis karotenoid. Pembentukan karotenoid memperlihatkan warna kuning pada kulit buah.
Karotenoid (µmol/g)
Lama Penyimpanan (Minggu)
Kitosan 0% suhu ruang Kitosan 0% suhu dingin Kitosan 1% suhu ruang Kitosan 1% suhu dingin Kitosan 2% suhu ruang Kitosan 2% suhu dingin Kitosan 3% suhu ruang Kitosan 3% suhu dingin
pemindahan magnesium, modifikasi struktur cincin tetrapirol, dan pemecahan cincin makrosiklik. Klorofilase mengkatalisis proses hidrolisis ikatan ester antara residu 7-asam propionat pada cincin D dari sistem makrosiklik dan fitol serta dalam klorofil dan feofitin. Magnesium dekhetalase adalah enzim yang bertanggungjawab pada pemindahan ion Mg sentral (Ziegler et al., 1982, Schoch dan Vielwerth, 1983 dalam Gross, 1991).
Hilangnya warna hijau akibat reaksi pencoklatan enzimatik disebabkan karena rusaknya struktur klorofil. Klorofil juga akan mengalami degradasi akibat perlakuan panas maupun pengasaman. Rusaknya struktur pada klorofil tersebut
dikarenakan hilangnya ion Mg
2+
sehingga terjadi perubahan senyawa klorofil
menjadi senyawa feopitin atau feoporbid (Alains et al., 1991). Feofitin merupakan salah satu turunan klorofil yang terbentuk jika pusat logam magnesium dalam klorofil terlepas. Pengaruh asam yang mempunyai ion OH - akan menarik ion logam magnesium yang ada dalam cincin makrosiklik klorofil, sehingga ion tersebut akan lepas. Kehadiran asam dapat mempengaruhi proses feofitinisasi pada klorofil. Feofitinisasi merupakan proses pembentukan feofitin yang merupakan salah satu produk degradasi dari klorofil yang kehilangan logam Mg pada cincin makrosiklik. Jalur degradasi klorofil dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Jalur degradasi klorofil (Alains et al., 1991) Degradasi klorofil selanjutnya akan diikuti dengan sintesis pigmen warna pada kulit buah seperti karotenoid. Pigmen ini merupakan senyawa stabil yang tetap ada dalam jaringan bahkan hingga tahap senescense. Sintesis karotenoid yang terjadi selama tahap perkembangan tanaman ditutupi dengan adanya klorofil, sehingga saat klorofil terdegradasi, pigmen ini menjadi terlihat.
Karotenoid dibentuk dari isopentenyl diphosphate (IPP) yaitu senyawa C5 prenyl phosphate yang disintesis pada plastida melalui jalur 2-C-methyl-D- erythritol 4-phosphate (MEP). Sebanyak 4 molekul dari IPP diubah menjadi geranylgeranyl diphosphate (GGPP) dengan enzim IPI isomerase (IPI) dan GP synthase (GGPS). Penggabungan 2 molekul dari GP dengan phytoene synthase menghasilkan 15-cis-phytoene yang merupakan senyawa utama dalam jalur karotenoid. Phytoene diubah menjadi lycopene dengan melibatkan phytoene desaturase (PDS) and zeta-carotene desaturase (ZDS). Jalur ini menghasilkan kandungan poly-cis yang semua diubah ke dalam bentuk trans dengan carotenoid isomerase (Giuliano et al., 2008).
epsilon-cyclase (LCY-e) -cyclase (LCY-b) yang bersama-sama membentuk
2 molekul yaitu formasi -carotene dan LCY-b yang secara individual
-carotene. Alfa-carotene
-carotene dihidroksilasi dengan non-
heme (CHY1, CHY2) sebagai sitokrom P450 (CYP97A dan CYP97C) hidroksilase. CYP97C menghidroksilasi cincin epsilon dari lutein. Beta- xanthophylls diepoksidasi dengan zeaxanthin epoxidase (ZEP) dan violaxanthin de-epoxidase (VDE) untuk menuju siklus xanthophyll (Giuliano et al., 2008). Jalur biosintesis karotenoid dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Jalur biosintesis karotenoid (Giuliano et al., 2008)
permukaan kulit buah. Santoso dan Purwoko (1995) menyatakan bahwa selain enzim klorofilase, faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi klorofil adalah pH dan sistem oksidatif. Sistem oksidatif merupakan sistem yang memuat proses oksidasi yang dilakukan oleh oksigen. Oksigen dapat menyebabkan terjadinya degradasi klorofil. Dengan adanya lapisan kitosan pada permukaan buah maka proses oksidasi klorofil dapat dihambat karena kitosan menyebabkan tertutupnya pori-pori permukaan kulit buah sehingga aktivitas pertukaran gas pada buah dapat terganggu. Perlakuan konsentrasi kitosan 2% dan 3% pada suhu dingin mampu mempertahankan kadar klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan karotenoid sehingga penurunan kadar klorofil dan karotenoid dapat dihambat dan mampu meningkatkan daya simpan buah alpukat. Perlakuan tersebut optimal selama penyimpanan buah alpukat pascapanen dan mampu menghambat masuknya oksigen yang dapat mendegradasi klorofil.
Trenggono (1992) menjelaskan bahwa perlakuan pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme. Seperti yang dijelaskan oleh Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa hilangnya warna hijau pada buah mungkin karena terjadi oksidasi atau penjenuhan terhadap ikatan rangkap molekul klorofil, dalam hal ini perlakuan konsentrasi kitosan pada suhu dingin mampu menghambat aktivitas pertukaran gas, salah satunya adalah proses oksidasi yang menyebabkan warna hijau hilang. Penelitian Jiang dan Li (2001) membuktikan bahwa pemberian kitosan dapat mempertahankan kecerahan warna pada kulit buah longan selama 40 hari penyimpanan. Menurut Kader (1985), suhu Trenggono (1992) menjelaskan bahwa perlakuan pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme. Seperti yang dijelaskan oleh Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa hilangnya warna hijau pada buah mungkin karena terjadi oksidasi atau penjenuhan terhadap ikatan rangkap molekul klorofil, dalam hal ini perlakuan konsentrasi kitosan pada suhu dingin mampu menghambat aktivitas pertukaran gas, salah satunya adalah proses oksidasi yang menyebabkan warna hijau hilang. Penelitian Jiang dan Li (2001) membuktikan bahwa pemberian kitosan dapat mempertahankan kecerahan warna pada kulit buah longan selama 40 hari penyimpanan. Menurut Kader (1985), suhu