KEKERASAN PADA GAY DI KOTA SURAKARTA : Bentuk dan Usaha-Usaha Gay dalam Menghadapinya

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi

Oleh : SRI WAHYUNI

D 0304074

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-

(Al-Baqarah: 153)

(QS. Alam Nashroh : 6)

(Penulis)

Karya kacil yang memakan waktu lama dan sangat sederhana, tapi ini adalah hasil usaha paling berharga bagiku. Kupersembahkan karya ini dengan tulus kepada : Mamak & Babe Kakak-kakakku

Adikku Masa depanku Kawan-kawanku dan Almamaterku

Bismillahirrohmannirrahim. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT

yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis

KEKERASAN PADA GAY DI KOTA

SURAKARTA :Bentuk dan

Usaha-Usaha Gay dalam

Skripsi ini dipersiapkan dan diajukan sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

Penulis menyadari bahwa, keberhasilan dalam menyelesaikan tulisan ini tentu saja tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu, memberikan bimbingan, dukungan serta kesempatan. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan sebagai ketua penguji skripsi.

3. Dra. Sri Hilmi Puji Hartati, M.Si selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh studi.

4. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan arahan kepada penulis, serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Siti Zunariyah, S.Sos, M.Si selaku sekertaris penguji terima kasih atas bimbingan, kritik dan masukan yang sangat berguna bagi perbaikan naskah ini.

seluruh staff Fakultas yang telah membantu.

7. Seluruh informan, terima kasih banyak atas informasi yang telah diberikan kepada penulis.

8. Teman-teman Sosiologi FISIP UNS khususnya angkatan 2004 dan teman- teman Alumni SMU N Kebakkramat, terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan skripsi ini masih jauh dari

sempurna, yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap segala kritik maupun saran yang bersifat membangun dan menyempurnakan laporan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga laporan skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman.

Surakarta, April 2012

SRI WAHYUNI

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian .................................................................. 33

B. Jenis Penelitian ..................................................................... 33

C. Teknik Pengambilan Sampel ................................................ 34

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 35

E. Validitas Data ....................................................................... 37

F. Teknik Analisis Data ............................................................ 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBATASAN

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan Yang Dialami Gay di Kota Surakarta ..............................................................................

B. Usaha-Usaha Gay Dalam Menghadapi Kekerasan ..............

C. Pembahasan dan Analisa ...................................................... 53

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 63

B. Implikasi ............................................................................... 64

C. Saran ..................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Tabel 2.1 Model Kekerasan Galtung ...................................................... 24 Tabel 2.2

Model Kekerasan Litke ........................................................... 25 Tabel 3.1

Matriks Hasil Penelitian Gay dan Usaha-Usahanya dalam Menghadapi Kekerasan di Kota Surakarta .............................

61

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir .................................................................. 32 Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif ........................................................ 40

SRI WAHYUNI, 2012, KEKERASAN PADA GAY DI KOTA

SURAKARTA : Bentuk dan Usaha-Usaha Gay dalam Menghadapinya. FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS

SEBELAS MARET SURAKARTA, Surakarta : 67 Halaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh gay dan usaha-usaha mereka dalam menghadapi kekerasan di Kota Surakarta. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang meneliti upaya memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu maupun sekelompok orang dengan lokasi penelitian di daerah sepanjang city walk depan Stadion Sriwedari Surakarta. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, perekaman dengan voice record dan dokumentasi. Untuk kesahihan data, penulis menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Data yang diperoleh disuatu waktu dicek dan diperiksa kembali pada kesempatan yang lain dengan mengulang pertanyaan yang sama. Sedangan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pemilihan informan oleh peneliti secara sengaja dengan pertimbangan tertentu. Informan yang diambil adalah sebanyak 4 orang gay, berdasarkan bentuk kasus yang dialaminya.

Hasil dari penelitian ini yaitu, bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh informan (gay) di Kota Surakarta adalah kekerasan fisik yang berupa dipukul, ditendang, dan bahkan ada yang dipaksa melayani seks dengan kasar (pelecehan seksual). Kedua, kekerasan non fisik (psikologis) seperti diejek, dicaci maki, dihina, dan lain-lain (yang tidak dilakukan secara fisik). Dan ketiga, kekerasan ekonomi, misalnya ketika gay yang bekerja sebagai pekerja seks, setelah selesai melayani tamu atau pasangan seksnya, tetapi tidak dibayar. Dan bahkan ada satu informan yang justru diperas habis-habisan, barang dan uang yang dimiliki si gay justru hilang karena diambil oleh tamu atau pasangan seksnya. Dan bahkan juga kekerasan ekonomi ini dilakukan oleh pasangan tetap yang sudah tinggal serumah. Sedangkan usaha-usaha yang dilakukan untuk menghadapi kekerasan itu adalah dengan melakukan tindakan preventif yaitu mencegah terjadinya kekerasan, menghindari tempat-tempat tongkrongan yang rawan terjadi razia oleh ormas ataupun kelompok agama terntentu, berhati-hati dalam memilih pasangan kencan atau pacar, serta membawa senjata-senjata tajam untuk berjaga-jaga, dan melaporkan kasus kekerasan kepada pihak yang berwenang.

Kata kunci : Gay, Kekerasan, dan Usaha

SRI WAHYUNI, 2012, VIOLENCE AGAINST GAYS IN SURAKARTA CITY: THE VIOLENCE AND THEIR EFFORTS TO AGAINST IT. FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE. SEBELAS MARET UNIVERSITY, SURAKARTA: 67 PAGES.

This research aims to identify the forms of violence toward gay people and their efforts to cope with this violence in Surakarta city. The method used in this research is qualitative descriptive that is a research which examines the efforts in understanding manner, perspective, emotion, and behavior either individually or as a group, and this research is located along the city walk in front of Stadion Sriwedari Surakarta. Data collecting techniques which the researcher uses are observation, interview, and recording technique which uses voice recording and documentation. And for the data validity, the writer applies data triangulation and methods triangulation. The collected data in certain time will be re-checked and re-examined in other occasions by repeating the same questions. Meanwhile, the used sampling technique is purposive sampling that is an intentionally informant selection with certain considerations which is conducted by the researcher. There are four gay people selected as informants based on their case forms.

The result of this research is three kinds of violence faced by the informants (gays) in Surakarta city. The first one is physical violence, for example beating, kicking, and even some gays are forced to have sex roughly and harshly by their couple (sexual harassment). Then, the second one is, non- physical violence (psychological violence) such as being mocked, scorned, humiliated, insulted, etc. And the third one is economic violence, for instance, they who work as male sex workers are not paid by their sexual partners after giving sex services to their guests or partners. Even, there is one informant who

partners. This economic violence is done by the permanent gay couple who live in the same house. Meanwhile, the ga are by performing preventive acts, such as preventing the violence, avoiding the places which are often being raided by mass organizations or particular religion organizations, being more careful in selecting partner or couple, bringing certain weapons to protect themselves, and also reporting the violence cases to the authoritative ones.

Keywords: Gay, Violence, and Efforts

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berikut dengan kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu manusia membutuhkan manusia lain untuk mengisi masing-masing kekurangannya dengan atau melalui kelebihan yang dimilikinya. Hal ini masih terkait dengan kehidupan sebagai karunia dari Tuhan bagi manusia yang wajib disyukurinya. Kewajiban bagi manusia untuk mengisi kehidupan tersebut setiap harinya dengan meningkatkan kualitas diri agar bertambah baik dari hari ke hari.

Segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan, manusia dapat menyikapi sehingga antara kelebihan dan kekurangan menjadi seimbang. Dalam hal menyikapi ini, kebanyakan manusia tidak dapat menyeimbangkan keadaan dirinya. Mereka lebih cenderung menonjolkan kelebihan dan menutupi kekurangan. Padahal kekurangan yang dimiliki dapat disikapi dengan hal yang lebih positif. Masalah homoseksualitas, khususnya kaum gay, yang bisa dibilang merupakan kekurangan dalam diri seseorang yang mengarah pada penyimpangan seksual. Kaum gay tidak dapat disalahkan, karena yang terjadi pada mereka adalah sebuah perilaku abnormal yang tidak ada obatnya. Kaum gay tidak dapat disebut sakit secara fisik maupun psikis, karena mengakui dirinya merupakan kaum gay secara sehat dan sadar. Dalam berperilaku sehari-haripun kaum gay terlihat normal, karena Segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan, manusia dapat menyikapi sehingga antara kelebihan dan kekurangan menjadi seimbang. Dalam hal menyikapi ini, kebanyakan manusia tidak dapat menyeimbangkan keadaan dirinya. Mereka lebih cenderung menonjolkan kelebihan dan menutupi kekurangan. Padahal kekurangan yang dimiliki dapat disikapi dengan hal yang lebih positif. Masalah homoseksualitas, khususnya kaum gay, yang bisa dibilang merupakan kekurangan dalam diri seseorang yang mengarah pada penyimpangan seksual. Kaum gay tidak dapat disalahkan, karena yang terjadi pada mereka adalah sebuah perilaku abnormal yang tidak ada obatnya. Kaum gay tidak dapat disebut sakit secara fisik maupun psikis, karena mengakui dirinya merupakan kaum gay secara sehat dan sadar. Dalam berperilaku sehari-haripun kaum gay terlihat normal, karena

oleh Karl Maria Kertbeny, seorang dokter berkebangsaan Jerman-Hongaria. Istilah ini disebarluaskan pertama kali di Jerman melalui pamflet tanpa nama. Kemudian penyebarannya ke seluruh dunia dilakukan oleh Richard Freiher Von Krafft-Ebing di bukunya Psychopathia Sexualis. Menurut para ahli, homoseksualitas bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu kelainan seksual.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah homoseksual semakin ramai dibicarakan, dan tak jarang menjadi perdebatan yang seru di dalam masyarakat. Ada yang memandang dari sudut pandang agama, masalah sosial sampai dengan sudut pandang medis. Homoseksual sendiri pada awalnya terlalu tabu untuk dibicarakan. Namun pada perubahan jaman yang ada, semakin lama adat ketimuran masyarakat Indonesia terkontaminasi oleh kebudayaan barat yang identik dengan kebebasan dan fleksibilitas dalam berpikir dan berperilaku. Selain itu, kebebasan pers juga memiliki andil yang sangat besar, yang pada akhirnya membuat masyarakat terbiasa disuguhi berita-berita yang berkaitan dengan homoseksual.

Sebenarnya homoseksual itu sendiri bukanlah hal yang baru bagi kehidupan manusia. Di dunia internasional seperti di Sydney Australia setiap tahunnya ada perayaan homoseksual yaitu Mardi Grass dimana ini merupakan pesta kaum homoseksual. Mereka berpawai dan berpesta dalam satu hari. Di

(International Lesbian and Gay Association) yang sudah berdiri sekitar 26 tahun yang lalu, tepatnya di kota Coventry, Inggris, dimana setiap tahunnya ada konferensi internasional dengan tema yang berbeda-beda demi mensejahterakan kehidupan kaum homoseksual itu sendiri. Lain lagi di Belanda yang merupakan satu-satunya negara yang memperbolehkan pernikahan homoseksual. Homoseksual semakin menjadi pusat perhatian ketika ditemukannya penyakit AIDS yang seringkali dikaitkan dengan perilaku dan tingkah laku seksual para homoseksual.

Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dapat dikatakan pesat, dibandingkan satu dekade lalu, kini lapisan masyarakat mulai menyadari fenomena tersebut. Data yang dilansir oleh portal Gaya Nusantara (www.gayanusantara.com, 2010) menyebutkan bahwa jumlah gay di Indonesia mencapai angka 20.000 orang. Khusus di kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan Solo telah berdiri sebuah Lembaga bagi homoseks yang diprakarsai oleh Slamet Rahardjo dengan nama Gessang, seseorang yang secara sadar mengakui kalau dirinya adalah seorang gay. Di dalam Lembaga ini mereka ingin mengaktualisasikan diri dan membuka pandangan masyarakat awam bahwa kaum homosekspun bisa berprestasi, berinteraksi sebagaimana orang-orang normal lainnya, dan mereka berharap untuk tidak dikucilkan. Mereka juga punya hak-hak yang sama dengan orang normal lainnya dalam bermasyarakat dan bergaul dengan sesama.

sedikit diketahui tentang mereka. Ternyata mereka sama seperti orang kebanyakan. Yang berbeda hanya pada orientasi seksual dan sedikit pada cara berpenampilan dan berperilaku. Padahal keberadaan kaum gay adalah fakta. Kini mereka berani tampil di muka publik di seluruh dunia, tak kecuali Indonesia. Pernikahan pasangan gay, Philip Iswardono dan William Johanes,

23 Juli 2003 lalu misalnya. Seolah menjadi simbol perlawanan kaum gay di negeri ini. Lewat pernikahan warga negara Indonesia dan Belanda itu, kaum gay semakin menancapkan eksistensinya. Organisasi-organisasi kaum homoseks itu, kini bermunculan bak jamur di musim hujan. Memang, keberadaan organisasi gay di Indonesia sudah ada sejak awal 80-an. Di Solo, Lambda Indonesia tercatat sebagai organisasi gay pertama di Indonesia. Sejak saat itu pula, organisasi kaum pencinta sesama jenis ini mengalami perkembangan pesat di beberapa wilayah, di Indonesia. Jakarta, Pekanbaru, Bandung, Denpasar, Malang dan Ujungpandang, merupakan titik konsentrasi organisasi ini.

Menurut Kartini Kartono, homoseksualitas ialah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama; atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama (Kartono, 1989: 247), Bisa diterima atau tidak, dalam kehidupan kita ada sekelompok orang yang memiliki orientasi seksual berbeda. Pada umumnya, manusia memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, atau sebaliknya, wanita tertarik pada pria. Mereka biasa disebut sebagai kaum heteroseks. Namun, pada orang-orang tertentu orientasi Menurut Kartini Kartono, homoseksualitas ialah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama; atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama (Kartono, 1989: 247), Bisa diterima atau tidak, dalam kehidupan kita ada sekelompok orang yang memiliki orientasi seksual berbeda. Pada umumnya, manusia memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, atau sebaliknya, wanita tertarik pada pria. Mereka biasa disebut sebagai kaum heteroseks. Namun, pada orang-orang tertentu orientasi

Penelitian ini bermaksud membahas kaum homoseksual pria atau gay dalam menjalani hidupnya. Kaum gay mempunyai masalah terhadap keadaan dirinya, stres sangat mungkin mempengaruhi mereka dalam rentang kehidupannya. Seperti contoh, menghadapi pandangan masyarakat sekitar yang belum tentu bisa menerima keadaan dirinya. Atau berusaha mencapai prestasi agar keadaannya diakui oleh masyarakat, dan sebagainya. Penelitian sosial ini mencoba untuk mengupas kehidupan individu gay dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat dan kekerasan yang terjadi didunia komunitas Gay.

Fenomena yang terjadi pada kaum gay, diantaranya adalah adanya komunitas sesama kaum gay yang ingin mengeksistensikan keberadaan mereka pada masyarakat luas, tetapi masih belum terlalu terbuka. Dengan cara berkumpul di klab-klab malam, mereka bertemu dan saling berbagi cerita, ada juga yang bertemu kekasihnya sesama kaum gay, sekedar datang dan menikmati suasana, atau beberapa aktivitas lain yang mereka kerjakan. Umumnya mereka bertemu pada malam hari, mungkin untuk menutupi jati diri mereka yang sebenarnya sangat ingin mereka publikasikan, tetapi mereka masih takut karena hukum yang berlaku di Indonesia tidak memperbolehkan

dari masyarakat. Berbeda dengan di luar negeri, rata-rata negara di Eropa seperti Belanda, yang memperbolehkan perkawinan kaum homoseks, baik gay maupun lesbian. Di negara Belanda, kaum gay tidak perlu menyembunyikan keberadaan mereka karena mereka telah diakui oleh masyarakat, bahkan negara itu sendiri. Banyaknya permasalahan yang harus dihadapi oleh individu gay menyebabkan mereka harus melakukan coping behavior dalam beradaptasi terhadap norma sosial masyarakat. Budaya timur Indonesia yang memegang teguh norma, agama, dan adat istiadat belum bisa menerima keberadaan kaum gay di tengah-tengah mereka. Kaum gay mengalami kesulitan dalam beradaptasi, karena hampir di setiap negara, aktivitas seksual antara pasangan dengan jenis kelamin yang sama dianggap menentang hukum. Dan hukum maupun prakteknya di berbagai negara menyebabkan sulit bagi pasangan tersebut untuk memiliki harta bersama, mengadopsi anak, atau menulis nama pasangannya dalam polis asuransi. Karena sikap tersebut, banyak orang yang memiliki pengalaman homoseksual sering dipenuhi rasa bersalah. Begitu juga di negara kita ini, homoseksualitas merupakan sesuatu yang bertentangan dengan tata kelakuan dan keyakinan bangsa Indonesia, serta dianggap sebagai perilaku seksual yang menyimpang. Untuk itu, kaum gay dituntut untuk dapat beradaptasi di tengah masyarakat yang berasumsi bahwa homoseksualitas adalah suatu kelainan.

secara fisik dan psikis dari komunitasnya sendiri, social dan juga system yang ada. Ketika masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus pembunuhan berantai yang diduga dilakukan oleh Ryan baru-baru ini, sontak persoalan Gay kembali menyeruak ke publik. Tak sedikit media yang entah sengaja atau tidak, menyuguhkan stigmatisasi bahwa, seorang Gay rentan melakukan kekerasan. Berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) segera melakukan klarifikasi.

Dalam kurun waktu sepanjang tahun 2004-sekarang kelompok gay yang sering berkumpul di Taman Sriwedari, Solo, mengalami tindak kekerasan dari individu atau sekelompok orang. Lalu hampir setiap kali digelar pemilihan putri waria, pasti penyelenggaraan itu mendapat ancaman dan intimidasi. Kekerasan dan intimidasi memang terjadi kepada mereka, tapi sebenarnya apa yang sedang terjadi? Menurut Soffa Ihsan dalam bukunya Save Our Sex , Kaum Homo Bersatulah!, mereka mengalami keadaan kontradiktif dalam dirinya. Di satu sisi mereka tak bisa mengelak keadaan dirinya namun disisi lain norma-norma masyarakat menistakan keberadaan mereka. Keadaan ini akhirnya juga menyebabkan tarik ulur antara rasa

Soffa juga menjelaskan, itu terjadi karena masing-masing pihak tidak sependapat dalam mendefinisikan tubuh. Yang satu menganggap tubuh adalah pemberian murni dari Tuhan yang harus dijaga. Pihak yang lain menganggap tubuh sebagai obyek pasif yang penguasaannya tergantung si pemilik.

warga negara, tapi implementasinya di lapangan masih sangat lemah. iancam, diteror,

orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat

termasuk kelompok masyarakat yang rentan, berhak memperoleh perlakuan

A. Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul yang diangkat maka agar ruang lingkupnya tidak terlalu luas dan dapat memberikan jawaban yang jelas, maka penulis hanya akan memfokuskan masalah pada :

a. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami Gay di Kota Surakarta?

b. Bagaimana usaha-usaha Gay di Kota Surakarta dalam menghadapi kekerasan yang dialaminya?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis melalui penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami kaum Gay di Kota Surakarta.

menghadapi kekerasan yang dialaminya.

C. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis sangat berharap dapat menjelaskan segala permasalahan yang ada. Maka manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memperluas dan memperdalam pengetahuan penulis mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap kaum Gay di Kota Surakarta.

b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan serta kepustakaan untuk penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis Memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dan masyarakat yang peduli tentang persoalan dan kebutuhan kaum Gay akan perlakuan yang adil, serta langkah-langkah pembenahan untuk mewujudkan tujuan tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gay

Gay adalah laki-laki yang secara emosional dan seksual tertarik terhadap sesama jenisnya (Oetomo, 2003:7). Pendapat lainnya oleh Masters, Johnson, Kolodny (1992: 41) menyatakan bahwa gay adalah laki-laki homoseksual yaitu secara seksual tertarik terhadap laki-laki.

Homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Selain itu, perilaku seksual para kaum homo dikenal dengan beberapa pola hubungan seksualnya, yaitu perilaku oral genital (fellatio) yang hanya dengan memeluk dan mencium, kedua, seks anal (koitus genitor-anal) atau seksualitasnya dengan melakukan penetrasi anus, dan ketiga, koitus interfemoral yakni perilaku seksual dengan melakukan gesek- gesek (frottage), dan fisting (di mana tangan dimasukkan kerektum pasangannya). Oleh karena itu, homoseksualitas di sini mengacu pada orientasi seseorang akan rasa ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan erotik, baik predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik (jasmaniyah). Meskipun ini definisi kasar, tetapi sangat berguna sebagai landasan untuk membangun suatu argumen (Oetomo, 1991: 85).

perilaku homoseksual mengacu pada kegiatan atau perilaku seksual antara dua jenis orang yang berjenis kelamin sama namun dalam kajian ini lebih mengacu kepada laki-laki atau yang sering disebut dengan istilah gay. Dalam hal ini harus diingat juga bahwa orang yang melakukan kegiatan atau berperilaku homoseksual dapat saja pada konteks lain melakukan kegiatan atau berperilaku heteroseksual atau sebaliknya. Homoseksualitas sebagai salah satu bentuk orientasi seksual merupakan bagian penting dari identitas seseorang. Dengan demikian perilaku seksual dan orientasinya baik pada tingkat individu atau sosial masyarakat menurut Caplan sebagai konsep seksualitas.

Homoseksualitas bukan hal yang asing dalam kehidupan manusia. Homoseksualitas telah ada sejak zaman dahulu kala dan telah tercatat sejak zaman Yunani kuno. Akan tetapi pandangan terhadap homoseksualitas beragam seiring dengan perkembangan zaman. Dalam peradaban budaya Eropa dan Amerika pandangan terhadap kaum homoseksual lebih dapat diterima. Meski demikian, sikap masyarakat terhadap homoseksualitas tetap membuahkan pendapat dan pandangan yang sedemikian negatifnya, bahkan di negara Eropa dan Amerika yang sudah melegalkan pernikahan kaum homoseksual, pertentangan terhadap kaum homoseksual tetap kuat (Oetomo, 2003: 4).

Pada tahun 1973, American Psychiatric Ascociation (APA) mencabut homoseksual sebagai gangguan mental (mental disorder) dari Diagnostic Pada tahun 1973, American Psychiatric Ascociation (APA) mencabut homoseksual sebagai gangguan mental (mental disorder) dari Diagnostic

Gay dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transseksualisme. Homoseksualitas bukanlah penyimpangan gender, tetapi terdapat hubungan yang erat antara ketidakpatuhan terhadap norma gender dan perkembangan homoseksual. Ketidakpatuhan terhadap norma gender merupakan keadaan faktual di mana seseorang tidak mengikuti kaedah perilaku gender yang ditetapkan oleh sosial budayanya. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada waria atau istilah lainnya transeksual, yang mana mereka lebih tertarik terhadap laki-laki dan melakukan peranan seksual dan sosialnya sebagai perempuan, sedangkan homoseksual secara psikis maupun fisik mereka laki-laki dan berperilaku sebagaimana laki-laki pada umumnya (Kartono, 1989 : 67). Sedangkan biseksual adalah perilaku seksual yang mempunyai oroientasi seksual ke sesama jenis dan ke lawan jenisnya. Dalam masyarakat, hubungan heteroseksual dilihat sebagai sesuatu yang normatif, sedangkan homoseksual dianggap menyimpang. Orientasi seksual ini dibedakan dalam dua kategori, yaitu sebutan homoseksual itu diberikan kepada orang-orang yang secara seksual lebih tertarik pada orang lain yang memiliki jenis kelamin sama. Istilah heteroseksual diberikan pada orang- orang yang secara seksual lebih tertarik pada lawan jenisnya. Ketidakpatuhan terhadap norma hubungan heteroseksual diancam oleh dominasi ideologi

1989: 12-15).

Adanya dominasi ideologi heteroseksual tersebut melahirkan norma agar setiap orang secara alamiah tertarik pada lawan jenisnya, dan bagi mereka yang tidak mematuhinya akan dianggap melakukan penyimpangan seksualitas. Pemberian label menyimpang terhadap kaum homoseksual telah menimbulkan dampak negatif bagi kelompok tersebut. Dengan adanya pelabelan yang diberikan masyarakat kepada kaum homoseksual, maka mereka cenderung melihat dirinya kelompok yang berbeda (the others), marginal, dan bahkan abnormal. Kenyataan demikian semakin menimbulkan ketakutan yang berlebihan dari masyarakat terhadap kaum homoseksual atau dikenal dengan istilah homophobia. Konsep ini merupakan hal penting untuk memahami berkembangnya perasaan takut dan kebencian yang tidak irasional dari masyarakat terhadap kaum homoseksual (Katchadourian dalam Kartono, 1989: 23).

Chi Wei Chang and Brian H. Kleiner (2001: 64) mengatakan didalam penelitiannya yang berjudul New Developments Concerning Discrimination and Harassment of Gay Students :

Gay students in America have faced many difficult trials over the years. It is hard for us to imagine what it is like for gay students to live with discrimination and harassment on a daily basis. How are gay stu-dents treated in school? Americans have not been nearly as

Yang berarti :

Para siswa gay di Amerika sudah menghadapi banyak cobaan/ pengadilan yang sulit beberapa tahun belakangan ini. Itu adalah sulit untuk dibayangkan seperti apa para siswa gay hidup dengan diskriminasi dan godaan pada waktu sehari-hari. Bagaimana kaum gay yang diperlakukan di sekolah stu-dents ? Orang Amerika belum semuanya peramah pada homoseks ia mempunyai pandangan yang berbeda sepanjang sejarahnya.

Hasil statistik pada penelitian, menemukan bahwa 69 persen siswa gay, banci dan transgender ia mengatakan telah diganggu dan 14 persen berkata godaan itu adalah kejam. 42 persen merasakan tak aman di sekolah oleh karena orientasi mereka. Departemen Pendidikan AS mengeluarkan peraturan Maret 1997 bahwa " para siswa gay atau lesbian" dicakup oleh pemerintah pusat dan larangan terhadap godaan seksual. Dicakup dalam hal ini kaum gay dan lesbian adalah dilindungi oleh pemerintah.

Peraturan tersebut dibantah oleh Chang yang mengatakan bahwa dalam kebijakan tidak akan stop godaan, ancaman dan saling mengatai, para siswa gay itu bertahan, kecuali jika orang-orang mulai mempraktekan untuk menerima para siswa gay. Generasi yang berikutnya tidak akan hanya Peraturan tersebut dibantah oleh Chang yang mengatakan bahwa dalam kebijakan tidak akan stop godaan, ancaman dan saling mengatai, para siswa gay itu bertahan, kecuali jika orang-orang mulai mempraktekan untuk menerima para siswa gay. Generasi yang berikutnya tidak akan hanya

B. Kekerasan

1. Teori Kekerasan

a. Akar Kekerasan

Pembahasan tema kekerasan sudah dimulai sejak masa filsuf klasik sampai masa kontemporer. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada kesepakatan umum mengenai akar kekerasan masyarakat. Kekerasan didefinisikan secara sederhana sebagai bentuk tindakan yang melukai, membunuh, merusak dan menghancurkan lingkungan. Kemudian, mengapa perilaku kekerasan sering kali muncul dalam relasi konflik?

Pertanyaan di atas mengajak pada pembahasan sifat alamiah manusia (the nature of individual). Beberapa filsuf dan ilmuwan sosial klasik bersepakat bahwa ada naluri purba manusia seperti yang dimiliki oleh hewan. Ibnu Khaldun menyebut manusia memiliki sifat animal power . Ada kecenderungan manusia untuk menggunakan cara-cara hewan dalam memperjuangkan tujuan-tujuan mereka. Charles Darwin (dalam Susan, 2009 : 106) menjadi filsuf yang secara ekstrem menyebutkan survival of the fittest atau siapa yang terkuatlah yang bisa hidup. Filsafat Darwinian ini kemudian memberi pengaruh terhadap dialektika material

2009 : 106) menyebut hostile feeling, yaitu perasaan memusuhi ketika dua individu terlibat dalam pertentangan. Perasaan memusuhi ini merupakan ciri alamiah manusia yang selalu mengikuti perkembangan alamiah sistem sosial.

Rule (dalam Novri Susan, 2009: 107) menganalisis akar kekerasan melalui pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes berpendapat melalui temanya: homo homini lupus atau Man to Man is an Arrant Wolfes (manusia adalah serigala bagi serigala yang lain). Hanya saja menurut Hobbes manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengkalkulasi kekerasan. Artinya, manusia menggunakan kekerasan untuk menghadapi kompetisi selfish dan pertandingan zero-sum. Ada kepentingan pribadi yang harus dimenangkan melalui kekuatan atas kepentingan orang lain. Kesadaran inilah yang menyebabkan kekerasan menjadi pilihan untuk memenangkan kepentingan. Term latin vis pacem para belum (ingin perdamaian, peranglah dahulu) menjadi bagian dari filsafat ini. Walaupun demikian manusia tidak bersedia terus berada dalam relasi kekerasan. Manusia perlu menciptakan kesepakatan bersama guna mengurangi kekerasan. Yaitu

perkelahian. Sehingga dibutuhkan organisasi Negara (state of nature) yang menjaga keamanan manusia. State of nature merupakan kemampuan membentuk kontrak, yaitu suatu pemahaman kerjasama yang menciptakan kewajiban-kewajiban timbal balik dari seluruh anggotanya.

menentukan tindakan apa saja yang paling tepat untuk kepentingan mereka (Rule, 1988: 20-22). Termasuk kapan kekerasan dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan. Pada dimensi ini menurut Rule, akar kekerasan Hobbesian merupakan produk dari kalkulasi rasional. kekerasan merupakan produk doktrin yang berkesadaran penuh terhadap apa kepentingan yang harus diperoleh melalui kekerasan. Di sini kekerasan pada gilirannya dipandang ikut pula menciptakan tatanan politik. Dahrendorf bisa dikategorikan dalam aliran rasional ini. Ia menyatakan,

the violence of conflict relates rather to its manifestation than to it causes; it is a matter of weapon that they are choosen by conflict groups to express their hostility manifestasi konflik daripada sebagai sebab konflik; hal ini adalah masalah senjata yang dipilih oleh pihak berkonflik untuk mengekspresikan permusuhan mereka) (Susan, 2009: 107-108).

Pandangan Hobbes mengenai state of nature memberi gambaran dari suatu kondisi obyektif dari hadirnya organisasi yang mampu memberi aturan berdasarkan kontrak para anggotanya. Sehingga Negara harus mampu menjadi pengatur dan pelindung para individu. Pandangan Hobbes ini bisa jadi diikuti Durkheim yang melihat Negara menjadi organisasi yang bertanggungjawab menciptakan perdamaian sebagai aparatus moral dari masyarakat. Menurut Turner, negara memiliki peran penting dalam meregulasi kehidupan sosial dalam melindungi hak-hak individu (dalam Pandangan Hobbes mengenai state of nature memberi gambaran dari suatu kondisi obyektif dari hadirnya organisasi yang mampu memberi aturan berdasarkan kontrak para anggotanya. Sehingga Negara harus mampu menjadi pengatur dan pelindung para individu. Pandangan Hobbes ini bisa jadi diikuti Durkheim yang melihat Negara menjadi organisasi yang bertanggungjawab menciptakan perdamaian sebagai aparatus moral dari masyarakat. Menurut Turner, negara memiliki peran penting dalam meregulasi kehidupan sosial dalam melindungi hak-hak individu (dalam

Walaupun demikian, menurut Rule (Susan, 2009: 109), Durkheim berangkat dari asumsi berbeda mengenai the nature of individual sebagai akar kekerasan dalam masyarakat. Menurut Durkheim kekerasan adalah bentuk irasionalitas manusia. Beberapa yang melihat kekerasan sebagai bentuk irasionalitas adalah Scipio Sighele, Gabriel Tarde, dan Gustave Lebon. Pandangan irasionalitas menyebut mental kerumunan (crowd mentality ) sebagai naluri instingtif yang hidup di luar kesadaran dan akal sehat manusia. Mental kerumunan berada di luar sistem sosial. Kekerasan menrupakan manifestasi naluri bersama atau gerakan naluri primitive yang menciptakan kondisi-kondisi tindakan massa (Rule, 1988: 93). Coser dan Simmel pun bisa dikategorikan dalam pandangan ini. Yang menarik, walaupun Hobbesian, Durkheimian dan Weberian berbeda dalam melihat akar kekerasan (the nature of individual), namun ada kecenderungan yang sama dalam melihat Negara sebagai organisasi berwenang dan netral. Pandangan ini melihat Negara sebagai konsep obyektif.

Secara implisit para pendahulu ilmu sosial seperti Hobbes, Marx, Weber dan Durkheim memperlihatkan kekerasan muncul pada skala individual dan Negara. Kekerasan sebagai hasil kalkulasi rasional terutama sekali memengaruhi konsep kekerasan terorganisasi, yaitu kekerasan Secara implisit para pendahulu ilmu sosial seperti Hobbes, Marx, Weber dan Durkheim memperlihatkan kekerasan muncul pada skala individual dan Negara. Kekerasan sebagai hasil kalkulasi rasional terutama sekali memengaruhi konsep kekerasan terorganisasi, yaitu kekerasan

b. Konsep Kekerasan Galtung

Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan. Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural (budaya) dan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power). Kekuasaan sumber bisa dibagi menjadi kekuasaan punitive, yaitu kekuasaan yang menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis, dan kekuasaan renumeratif. Kekuasaan ideologis dan renumeratif cenderung menciptakan kekerasan kultural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural, seperti seorang yang memiliki wewenang menciptakan kebijakan publik. Kekuasaan sumber dan kekuasaan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural, kultural dan langsung, dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial (Susan, 2009: 111).

Menurut Galtung, ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs) merupakan konsep kekerasan struktural (structural violence ). Kekerasan model ini dapat ditunjukkan dengan rasa tidak aman karena tekanan lembaga-lembaga militer yang dilandasi oleh kebijakan politik otoriter, pengangguran akibat sistem tidak menerima sumber daya nabusia di lingkungannya, diskriminasi rasa tau agama oleh struktur sosial atau politik sampai tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil. Juga, manusia mati akibat kelaparan, tidak mampu mengakses kesehatan adalah konsep kekerasan struktural.

Contoh dalam sejarah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah memberi hak pendidikan pada masyarakat pribumi. Hanya kalangan tertentu dari penduduk pribumi yang bisa mengakses sekolah, yaitu golongan bangsawan yang memiliki tanah-tanah perkebunan dan bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Kekerasan struktural pada masa ini bisa dilihat di daerah-daerah industry yang ternyata tidak melibatkan masyarakat sekitar dalam proses industry, misal industry di Papua dengan perusahaan Freeport yang menambang tembaga dan emas. Freeport yang telah mengeksploitasi alam dengan hasil kekayaan yang berlimpah-limpah ternyata tidak meningkatkan kualitas kebutuhan dasar masyarakat sekitar. Permasalahan ini berangkat dari tidak dilibatkannya secara signifikan peran masyarakat dalam industri Freeport dengan alasan tidak mempunyai Contoh dalam sejarah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah memberi hak pendidikan pada masyarakat pribumi. Hanya kalangan tertentu dari penduduk pribumi yang bisa mengakses sekolah, yaitu golongan bangsawan yang memiliki tanah-tanah perkebunan dan bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Kekerasan struktural pada masa ini bisa dilihat di daerah-daerah industry yang ternyata tidak melibatkan masyarakat sekitar dalam proses industry, misal industry di Papua dengan perusahaan Freeport yang menambang tembaga dan emas. Freeport yang telah mengeksploitasi alam dengan hasil kekayaan yang berlimpah-limpah ternyata tidak meningkatkan kualitas kebutuhan dasar masyarakat sekitar. Permasalahan ini berangkat dari tidak dilibatkannya secara signifikan peran masyarakat dalam industri Freeport dengan alasan tidak mempunyai

Sesunguhnya kekerasan struktural menyebabkan tertindasnya manusia dan kelompok sosial sehingga mengalami berbagai kesulitan untuk hidup. Pada level yang tinggi, kekerasan struktural dapat membunuh manusia, seperti akibat kelaparan ataupun kesehatan yang tidak terjamin, padahal tampak begitu melimpah kekayaan yang ada, misalnya. Katakanlah harga obat-obatan yang terlalu mahal menyebabkan orang miskin tidak bisa membelinya. Ketidakmampuan membeli karena mereka tidak berkesempatan memperoleh pekerjaan dari Negara yang kekayaannya melimpah ruah. Sehingga dapat dikatakan, jika ada orang miskin Indonesia yang meninggal karena sakit atau lapar, dan tanpa mendapat akses kesehatan ataupun penanganan yang tepat, adalah merupakan hasil dari kekerasan struktural (dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33).

Kekerasan langsung (direct violence) dapat dilihat pada kasus- kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka pada tubuh. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan kekerasan langsung. Ancaman atau teror dari suatu kelompok yang menyebabkan katakutan dan trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan langsung.

Dalam kekerasan langsung ada hubungan subyek-tindakan-obyek seperti kita lihat pada seseorang yang melukai orang lain dengan aksi kekerasan. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dapat menjadi contoh kekerasan langsung dari individu ke individu lain atau kelompok ke kelompok lain. Beberapa contoh konflik kekerasan yang bisa menjadi aksi kekerasan langsung seperti kekerasan antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan, antar etnis Ambon Kristen dan BBM Muslim, penculikan wartawan oleh gerakan separatis di Aceh maupun Papua, penyiksaan terhadap aktivis gerakan demokrasi oleh militer, masyarakat terhadap mereka yang dicurigai sebagai dukun santet, dan berbagai kekerasan langsung lainnya.

3) Kekerasan Budaya

Kekerasan budaya dapat disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung, karena sifat budaya dapat muncul pada dua tipe Kekerasan budaya dapat disebut sebagai motor dari kekerasan struktural dan langsung, karena sifat budaya dapat muncul pada dua tipe

-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis, matematis) yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi

Susan, 2009: 115).

Suatu etnis membenci etnis yang lain karena stereotyping tertentu yang dikonstruksikan secara sosial oleh etnis itu sendiri. Misalnya etnis A adalah etnis yang serakah, dominan, munafik dan berbagai tipifikasi lainnya yang mampu membangun kebencian dan kecurigaan. Kekerasan kultural adalah hasil konstruksi masyarakat.

Kekerasan budaya ini sering hadir dalam banyak relasi sosial masyarakat. Pada masyarakat Ambon misalnya, bagaimana etnis BBM seringkali dicap kotor dengan ungkapan-ungkapan jelek. Bahkan dalam keseharian masyarakat Indonesia ada kecenderungan setiap anggota etnis memandang negatif terhadap etnis-etnis sebangsanya. Seperti orang Jawa munafik, orang Batak tidak tahu aturan, orang Padang rakus, orang Ambon Kekerasan budaya ini sering hadir dalam banyak relasi sosial masyarakat. Pada masyarakat Ambon misalnya, bagaimana etnis BBM seringkali dicap kotor dengan ungkapan-ungkapan jelek. Bahkan dalam keseharian masyarakat Indonesia ada kecenderungan setiap anggota etnis memandang negatif terhadap etnis-etnis sebangsanya. Seperti orang Jawa munafik, orang Batak tidak tahu aturan, orang Padang rakus, orang Ambon

Tabel 2.1 Tabel Model Kekerasan Galtung

Kebutuhan

Bertahan

Kebutuhan pada Kondisi yang Positif

Kebutuhan

Identitas

Kebutuhan Kebebasan

Kekerasan Langsung

Pembunuhan

Desosialisasi, Resosialisasi, Warga Kelas Dua

Represi, Pengusiran

Kekerasan Struktural

Eksploitasi A

Penetrasi, Segmentasi

Marginalisasi, Fragmentasi

Sumber: Johan Galtung, Cultural Violence (dalam Susan, 2009: 116)

c. Kekerasan Model Litke

Alternatif perspektif dalam tipe kekerasan adalah model yang diciptakan oleh Robert F. Litke. Litke dalam tulisan Violence and Power (dalam Susan, 2009 : 116) membuat skema definisi kekerasan pada dimensi fisik-psikologis dan personal-institusional. Kekerasan yang dilakukan secara personal dapat berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti muggings, pemerkosaan dan Alternatif perspektif dalam tipe kekerasan adalah model yang diciptakan oleh Robert F. Litke. Litke dalam tulisan Violence and Power (dalam Susan, 2009 : 116) membuat skema definisi kekerasan pada dimensi fisik-psikologis dan personal-institusional. Kekerasan yang dilakukan secara personal dapat berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti muggings, pemerkosaan dan

Tabel 2.2

Tabel Model Kekerasan Litke

Perampokan, Pemerkosaan, Pembunuhan

Paternalisme, Ancaman Personal, Pembunuhan Karakter

Institusional

Kerusuhan, Terorisme, Perang

Perbudakan, Rasisme, Sexist

Sumber: Litke, Violence and Power (dalam Susan, 2009: 117)

Model atau tipe ideal Litke sebenarnya hampir serupa dengan tipe ideal kekerasan Galtung. Hanya saja Litke menggunakan perspektif psikologi sosial dalam dimensi kekerasan. Sehingga dia tidak mempertimbangkan aspek kekerasan struktural seperti konsep Galtung.

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan Fisik dapat berupa Kekerasan Seksual dan Kekerasan Non Seksual. Kekerasan Seksual adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh korban. Kekerasan tersebut dapat berbentuk verbal ataupun nonverbal yang disertai dengan ancaman atau intimidasi, penganiayaan, sampai pembunuhan. Adapun jenisnya adalah perkosaan, pelecehan seksual, ancaman perkosaan, perkosaan disertai pembunuhan, dan perkosaan disertai kekerasan. Sedangkan Kekerasan Non Seksual meliputi segala tindakan yang bersifat eksploitatif, diskriminatif, dan kriminal, tetapi tidak disertai dengan adanya kehendak seksual, yang merugikan korban, baik secara fisik maupun psikologis. Kekerasan tersebut berupa panipuan, pembunuhan, dan perampokan (Anna, 2002 : 8-9). Kekerasan fisik, misalnya : memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, melukai dengan tangan kosong atau alat atau senjata, membunuh (Sudiarti, 2000:11)

b. Kekerasan Non Fisik (Psikis)

Kekerasan non fisik (Psikis) dapat dikategorikan menjadi pelecehan seksual dan penyerangan seksual. Kenyataannya bahwa perkosaan seringkali merupakan kelanjutan dari pelecehan seksual.

sampai sedang, yaitu siulan nakal, kedipan mata, gurauan, dan olok- olok yang menjurus pada seks, memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyatan mengenai tubuh atau penampilan fisik, memberikan bahasa isyarat yang berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno atau memperlihatkan organ seks. Sedangkan serangan seksual dikategorikan sebagai kekerasan seksual dengan intensitas yang berat. Pada kasus ini korban mengalami serangan seksual yang berakhir pada hubungan seksual yang secara paksa, yang meliputi ancaman perkosan, percobaan perkosaan, perkosaan disertai kekerasan, perkosaan disertai pembunuhan (Anna, 2002: 9-10). Pelecehan seksual yang termasuk dalam kekerasan non fisik atau kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasatidak berdaya pada seseorang (Sudiarti, 2000:109).

c. Kekerasan Domestik dan Kekerasan Publik