Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) Di Provinsi Aceh

STRATEGI PENGENDALIAN KONFLIK GAJAH SUMATERA
(Elephas maximus sumatranus ) DI PROVINSI ACEH

KANIWA BERLIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi Pengendalian
Konflik Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Provinsi Aceh adalah
benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2017

Kaniwa Berliani
NIM E361110031

RINGKASAN
KANIWA BERLIANI. Strategi Pengendalian Konflik Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh HADI S. ALI KODRA,
BURHANUDDIN MASY’UD dan MIRZA DIKARI KUSRINI.
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) termasuk ke dalam daftar
merah IUCN dengan kategori Kritis Terancam Punah (Critically EndangeredCR), sehingga menjadi prioritas tinggi untuk dilindungi. Gajah tersebut masuk ke
lahan pertanian/perkebunan dan merusak tanaman masyarakat, sehingga
menimbulkan konflik dengan manusia. Upaya pengendalian konflik yang
dilakukan selama ini banyak terarah untuk mencari teknik baru yang
bertujuanuntuk mengusir gajah dari lahan budi daya masyarakat. Upaya yang
dilakukan selama ini belum menghasilkan solusi yang efektif dan efisien untuk
jangka panjang. Oleh sebab itu, perlu dicari solusi melalui pendekatan baru yang
holistik dan integratif yang memadukan aspek ekologi, ekonomi dan sosial
masyarakat. Hal tersebut tidak hanya menjawab permasalahan perlindungan

gajah, namun secara bersamaan menjadi solusi dari permasalahan perekonomian
masyarakat yang terkait dengan konflik manusia-gajah secara proporsional.
Penelitian dilakukan di lima kecamatan di Provinsi Aceh yaitu Kecamatan
Cot Girek, Kecamatan Mane, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Sampoiniet dan
Kecamatan Pante Ceureumen. Pilihan strategi pemanfaatan lahan yang
berkesesuaian dengan memperhatikan preferensi dan palatabilitas gajah terhadap
jenis tanaman pertanian/perkebunan yang dibudidayakan masyarakat, belum
banyak mendapat perhatian. Jenis tanaman yang paling banyak dirusak gajah,
berturut-turut di ranking dari yang tertinggi yaitu 18.28% pinang (Areca catechu),
17.45% pisang (Musa sp), 16.34% kelapa sawit (Elais gueenensis), 12.74% padi
(Oryza sativa) dan 10.80% karet (Havea brassiliensis). Tanaman tersebut
termasuk dalam kategori rentan terhadap gangguan gajah. Sebaliknya, lima jenis
tanaman rendah resiko atau tidak dirusak gajah yaitu 32.16% coklat (Theobroma
cocoa), 12.78% kopi (Coffea arabica), 10.57% kemiri (Aleurites moluccana),
7.05% cabe (Capsicum frutescens) dan 6.17% nilam (Pogostemon cablin).
Tanaman tersebut merupakan jenis tanaman budi daya yang berpotensi
dikembangkan pada sistem tanam monokultur dan polikultur di daerah yang
berbatasan dengan habitat gajah. Selanjutnya, gajah sangat selektif dalam memilih
jenis dan bagian tanaman pakan untuk dikonsumsi. Gajah menyukai tanaman padi
(Oryza sativa) dan pisang (Musa sp) dengan nilai indeks electivity mendekati 1,

sedangkan tanaman coklat Theobroma cocoa) merupakan tanaman yang tidak
disukai dengan nilai mendekati -1. Selain itu, tanaman yang tidak disukai bahkan
cenderung dihindari oleh gajah adalah jenis tanaman cabe (Capsicum frutescens),
kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica) dan nilam (Pogostemon
cablin) dengan nilai-1.
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat berdasarkan jenis kelamin,
umur, tingkat pendidikan, lamanya bermukim, luas lahan garapan, tingkat
pendapatan dan jarak lahan ke habitat gajah menunjukkan hal yang bervariasi
pada setiap kecamatan. Selanjutnya, persepsi atau pengetahuan masyarakat petani
terhadap konservasi gajah tergolong kuat. Persepsi masyarakat tersebut dinilai
sangat penting untuk mendukung konservasi gajah di habitat alaminya. Di
samping itu masyarakat sudah memiliki beragam upaya untuk mengusir gajah

liar.Upaya yang paling sering dilakukan dengan menghidupkan mercon, meriam
atau obor. Walaupun demikian peran serta aktif masyarakat bersama pemerintah,
instansi terkait dan lembaga swadaya masyarakat diperlukan untuk mengurangi
konflik manusia-gajah. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa
strategi pengaturan tanaman komoditi untuk pengendalian konflik gajah sumatera
memungkinkan untuk dilakukan. Jenis tanaman yang tidak disukai gajah yaitu
coklat (Theobroma cocoa), kopi (Coffea arabica), kemiri (Aleurites moluccana),

cabe (Capsicum frutescens) dan nilam (Pogostemon cablin) memiliki kerentanan
yang rendah terhadap gangguan atau kerusakan yang dilakukan gajah. Oleh sebab
itu, jenis tanaman budi daya alternatif tersebut dapat diatur budidayanya di daerah
konflik manusia-gajah. Hal tersebut merupakan salah satu upaya jangka panjang
dalam upaya pengendalian konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh.
Kata kunci: gajah,
berkelanjutan.

jenis

tanaman,

konflik

manusia-gajah,

konservasi,

SUMMARY
KANIWA BERLIANI. Management Strategies of Sumatran Elephant (Elephas

maximus sumatranus) Conflict in Aceh Province . Supervised by HADI S. ALI
KODRA, BURHANUDDIN MASY’UD and MIRZA DIKARI KUSRINI.
Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus) is listed in the IUCN
Redlist under Critically Endangered (CR) category, therefore the sumatran
elephant is given higher priority for protection. More elephants enter the
agricultural land/ plantation and destroy the crops. There is an urgent need to seek
a new technique to repel elephants from land cultivation. So far, the mitigation
effort of human-elephant conflict is not very effective and efficient. New solutions
should be assessed through a holistic and integrated approach by considering the
ecological, economic and social aspects that does not only address the issues of
elephant conservation but also simultaneously solve the problems related to the
economy of the community and human-elephant conflict. The conditions of
socio-economic and culture have an important role in establishing community
perception in the area of human-elephant conflict.
Research has been carried out in five districts in Aceh Province, i.e. the
District of Cot Girek, Mane, Meureudu, Sampoiniet and Pante Ceureumen.There
are five cropsare mostly destroyed by elephants including Areca or Areca catechu
(18.28%), banana or Musa sp (17.45%), palm oil or Elais gueenensis (16.34%),
paddy or Oryza sativa (12.74%) and rubber or Havea brassiliensis (10.80%).
Conversely, five low-risk plant species or not disturbed by elephant are cocoa or

Theobroma cocoa (32.16%), coffee or Coffea arabica (12.78%), candle nut or
Aleurites moluccana (10.57%), chilli or Capsicum frutescens (7.05%) and
patchouli or Pogostemon cablin (6.17%). These plants could potentially be
developed in monoculture and polyculture systems in areas adjacent to elephant
habitat. Elephants are very selective in choosing the type and part of crops for
consumption. Elephant preference of paddy (Oryza sativa) and banana (Musa sp)
reaches an Electivity Index value close to 1. The cocoa plant (Theobroma cocoa)
has the preference value of -1 as elephants does not like the plant. In addition,
elpahants are also tend to avoid chilli (Capsicum frutescens), candle nut (Aleurites
moluccana), coffee (Coffea arabica) and patchouli (Pogostemon cablin) with a
preference value of -1.
The socio-economic and cultural conditions of community i.e.gender, age,
education level, length settled, acreage, income level and the distance between the
land and the elephant habitat vary in each district.The perception or knowledge of
the farming communities to elephant conservation is relatively strong. In addition,
effort to force out wild elephants has been carried out by expelling wild elephants
using fireworks, cannons or torches. Active participation of community, together
with government agencies and non-governmental organizations is needed to
control human-elephant conflict.It is significant to consider preferences and
palatability of elephant toward commodity crops cultivated by the community

(damaged/ not damaged by elephants) in order to develop strategic options of
suitable land use pattern. Overall, the result of the study concluded that
commodity crop management strategy could be promoted as one of solutions in
order to addressthe Sumatran elephant-human conflict. Types of plants that are
not preferred by elephants,i.e. cocoa (Theobroma cocoa), coffee (Coffea arabica),

candle nut (Aleurites moluccana), chili (Capsicum frutescens) and patchouli
(Pogostemon cablin) have low susceptibility to be interferenced or damaged by
the elephants. Therefore, this type of alternative crop combination can be
promoted in the human-elephant conflict areasas one of the long-term efforts to
control human-elephant conflict in Aceh province.
Keywords: elephant, commodity crop, human-elephant conflict, conservation,
sustainability.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENGENDALIAN KONFLIK GAJAH SUMATERA
(Elephas maximus sumatranus ) DI PROVINSI ACEH

KANIWA BERLIANI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Ujian Tertutup

: 7 November 2016
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. F.Trop
Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc
Sidang Promosi Terbuka
: 30 Januari 2017
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Sambas Basuni, M.S
Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan ridho-Nya sehingga Disertasi dengan judul “Strategi Pengendalian Konflik
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)” ini dapat diselesaikan. Disertasi
ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan, sebagai syarat memperoleh
gelar Doktor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Dengan kerendahan hati dan penuhrasa hormat, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Prof.Dr.Ir.Hadi Sukadi Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, saran, arahan, motivasi dan pengetahuan
konservasi biodiversitas, strategi penanggulangan konflik satwa liar dan

membantu mendapatkan informasi penting yang berkaitan dengan konservasi
gajah sumatera hingga tersusunnya disertasi ini.
2. Dr.Ir.Burhanuddin Masyud, MS selaku anggota komisi pembimbing yang
selalu memberikan pandangannya mengenai preferensi pakan pada gajah dan
membantu dalam memahami pengaturan pengelompokan jenis tanaman yang
tidak disukai gajah di lahan masyarakat hingga penulis dapat mendesainnya
hingga tersusunnya disertasi ini.
3. Dr.Ir.Mirza Dikari Kusrini, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang
selalu memberikan arahan kritis mengenai perilaku makan pada gajah,
bagaimana memahami konteks dan fakta dengan baik sehingga penulis
memahami fenomena dilapangan yang berkaitan dengan perilaku sehingga
penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
4. Dr.Ir.Rinekso Soekmadi, M.Sc.F dan Dr.Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc
selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Prof.Dr.Sambas Basuni
dan Dr.Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc pada Sidang Promosi yang
memberikan pandangan lain berkaitan dengan kejelasan alur permasalahan
penelitian dan arahannya mengenai implikasi konservasi pada penelitian ini.
5. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Praseyto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud,
M.S selaku penguji luarkomisi pada ujian prelim lisan yang memberikan
arahan mengenai pengambilan sampel di lapangan saat melakukan penelitian

ini.
6. Pimpinan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB yaitu Dr.Ir.Dahrul Syah,
M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr.Ir.Marimin,MS
selaku sekretaris Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB, Dr.Ir.Rinekso
SoekmadiM.Sc.F selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr.Ir.Burhanuddin
Masyud selaku Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika IPB
yang telah memberikan layanan akademikyang baik dan motivasi sehingga
penulis menyelesaikan program doktor.
7. Rektor Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya atas kesempatan dan
izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Strata 3 di
Sekolah Pascasarjana IPB.
8. Dirjen Dikti, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi beserta
jajarannya yang memberikan beasiswa dalam menempuh pendidikan dan
penelitian di Sekolah Pascasarjana IPB.

9. Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut.,M.M selaku Kepala Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Provinsi Aceh yang memberikan izin penelitian di Pusat
Konservasi Gajah Aceh.
10. Direktur dan staf Aceh Climate Change Initiative yang membantu dalam
penentukan lokasi penelitian konflik manusia-gajah.
11. Kepala Conservation Respon Unit dan semua Mahout Aceh yang
mencurahkan tenaga dan waktunya saat penulis melakukan penelitian di
lapangan.
12. Teman-teman KVT angkatan 2011 yaitu Fifin Nopiansyah, Nurul Qomar,
Zeth Parinding, Sri Soegiharto, Tuah Malem Bangun, Toto Supartono, Iing
Nasihin, Asvic Helida, Liza Niningsing dan Hotnida Siregar (Alm) atas
waktu untuk berdiskusi, bertukar pendapat,dukungan, motivasi, kebersamaan
dan keceriaan selama ini.
13. Keluarga penulis, yaitu kedua orang tua penulis, bapak H. Miwardjo dan ibu
Hj. Sumini (Almh), mertua penulis, bapak H. Drs Syakura Ahmad (Alm) dan
Hj. ibu Sukmawati, suami penulis Drh. Wahdi Azmi, anak-anak
penulisZulfaqar Abdillah dan Rakha Ali Amanullah serta keluarga besar
tercinta yang memberikan doa, semangat, kasih sayang dan dukungan moral
secara terus menerus dalam penyelesaian pendidikan di Sekolah Pascasarjana
IPB.
14. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dalam rangka penyediakan kelengkapan data, wawancara,
informasi mendukung dan literatur lainnya selama penelitian dan penulisan
disertasi, serta semua dukungan yang telah diberikan kepada penulis adalah
bagian penting dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT akan
membalas jasa dan budi baik kita semua. Aamiin YRA.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak
untuk menyempurnakannya. Akhirnya, penulis berharap semoga disertasi ini
dapat memberikan manfaat dalam pengendalian konflik manusia-gajah di provinsi
Aceh.

Bogor, Januari 2017
Kaniwa Berliani

DAFTAR ISI
xxi
xxi
xxii

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

5

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran
Kebaruan (Novelty)

1
5
8
8
9
9
11

KERENTANAN
BUDIDAYAPERTANIANTERHADAPGANGGUANGAJAH
SUMATERA DI DAERAH KONFLIK MANUSIA-GAJAHDI
PROVINSI ACEH
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

13
14
16
25

PREFERENSI
PAKAN
DAN
PERILAKU
GAJAH
SUMATERATERHADAP
TANAMAN
BUDI DAYA
PERTANIAN DI PROVINSI ACEH
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

27
28
31
48

SOSIALEKONOMIMASYARAKAT DI
MANUSIA-GAJAH PROVINSI ACEH
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

51
52
53
83

DAERAH

KONFLIK

STATUS
KEBERLANJUTAN
TANAMAN
BUDIDAYA
ALTERNATIF DI DAERAH KONFLIK MANUSIA-GAJAH
PROVINSI ACEH
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

85
86
89
104

6

8

PEMBAHASAN UMUM
A. Penanggulangan konflik manusia-gajah
B. Implikasi Konservasi

105
110

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

117

Saran

117

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

119
130

DAFTAR TABEL
2.1 Jenis tanaman semusim yang ditanam masyarakat Aceh di
daerah konflik manusia-gajah
2.2 Jenis tanaman tahunan yang ditanam masyarakat Aceh di
daerah konflik manusia-gajah
2.3 Kategori kerentanan jenis tanaman oleh gangguan gajah di
wilayah konflik manusia-gajah Propinsi Aceh.
3.1 Bagian-bagian tanaman yang dikonsumsi gajah
3.2 Rataan konsumsi pakan (dalam berat basah) pada pagi hari
3.3 Rataan konsumsi pakan (dalam berat basah) pada sore hari
3.4 Indeks preferensi pakan terhadap beberapa jenis pakan pada pagi
hari
3.5 Indeks preferensi gajah terhadap beberapa jenis pakan pada sore
hari
3.6 Frekuensi perilaku makan pada gajah pada pagi dan sore
3.7 Durasi dalam memilih jenis pakan
4.1 Jumlah penduduk, persentase penduduk dan kepadatan penduduk
tahun 2015

20
20
24
32
33
33
38
38
45
47
54

55
Luas Provinsi Aceh menurut penggunaan lahan 2014
Persentase upayamasyarakat menghadapi gajah liar
75
Persentase peran serta masyarakat menanggulangi konflik gajah
79
Kategori status keberlanjutan jenis tanaman alternatif budi daya 88
nilai indeks hasil analisis RAP-ES
5.2 Indeks keberlanjutan kelompok tanaman alternatif budidaya
91
5.3 Perbedaan indeks keberlanjutan RAP-ES dan analisis Monte Carlo 103
5.4 Nilai stress dan determinasi (R2) RAP-ES
103

4.2
4.3
4.4
5.1

DAFTAR GAMBAR
1.1
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5

3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6

3.7
3.8

3.9
3.10
3.11
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
4.10
4.11
4.12
4.13
4.14

4.15

Diagram alir kerangka pemikiran (modifikasiAnderson 1985;
Alikodra 2012)
Peta lokasi penelitian
Persentase jenis tanaman budi daya yang banyak ditanam di 5
kecamatan Propinsi Aceh.
Sistem tanam tanaman budi daya oleh masyarakat Aceh di daerah
konflik manusia-gajah
Persentase jenis tanaman yang dirusak gajah di daerah konflik
manusia-gajah di Propinsi Aceh
Persentase jenis tanaman yang tidak dirusak gajah di daerah
konflik manusia-gajah Propinsi Aceh
Sketsa disain penelitian pemberian pakan pada gajah
Konsumsi jenis pakan gajah betina pada pagi hari
Konsumsi jenis pakan gajah jantan pada pagi hari
Konsumsi jenis pakan gajah betina pada sore hari
Konsumsi jenis pakan gajah jantan pada sore hari
Konsumsi jenis pakan gajah jantan dan betina pada pagi hari
Konsumsi jenis pakan gajah jantan dan betina pada sore hari
Persentase aktivitas makan pada gajah
Perilaku yang ditunjukkan saat aktivitas makan
Persentase perilaku memilih terhadap jenis tanaman pakan
Frekuensi dalam memilih bagian tanaman
Distribusi umur petani
Distribusi tingkat pendidikan petani
Sejarah pemukiman petani mendiami lahan
Distribusi luas lahan garapan
Kawasan HTI dan perkebunan yang tumpang tindih dengan
habitat gajah
Peta sebaran konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh
Perilaku gajah saat terjadi konflik manusia-gajah
Gajah merusak dan memakan tanaman kelapa sawit (A), pinang
(B), karet (C) dan pisang (D)
Gajah merusak pondok atau rumah masyarakat di Mane (A),
Pante Ceureumen (B), Sampoiniet (C) dan Cot Girek (D
Waktu gangguan gajah pada daerah konflik di Provinsi Aceh
Jenis kelamin gajah yang datang mengganggu di daerah konflik di
Provinsi Aceh
Kelompok gajah yang datang mengganggu di daerah konflik di
Provinsi Aceh
Jumlah kelompok gajah yang datang mengganggu di daerah
konflik di Provinsi Aceh
Upaya yang dilakukan masyarakat menghadapi gangguan gajah
dengan membuat pagar cabe (A), meriam (B), pagar kawat
berduri (C) dan parit (D)
Kegiatan patroli rutin oleh Conservation Respond Unit di

11
15
21
21
22
22
30

35
35
36
36
37
37

44
46

46
48
59
60
60
61
64
65
66
68
70
72
72
73
74
77

79

5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9

Sampoiniet (A), dan Mane (B).
Tahapan analisis keberlanjutan (dimodifikasi Fauzi dan Anna
2005)
Disain alternatif pola pengaturan penanaman jenis-jenis tanaman
budidaya
Diagram layang-layang (kites diagram) analisis keberlanjutan
kombinasi tanaman alternatif budi daya pertanian
Analisis RAP-ES indeks keberlanjutan dimensi ekologi
Peranan atribut dimensi ekologi terhadap perubahan RMS RAPES
Analisis RAP-ES indeks keberlanjutan dimensi ekonomi
Peranan atribut dimensi ekonomi terhadap perubahan RMS RAPES
Analisis RAP-ES indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya
Peranan atribut dimensi sosial budaya terhadap perubahan RMS
RAP-ES

89
90
92
94
94
97
97
100
100

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

15

16
17
18
19

Daftar jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat di
daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh
Daftar jenis tanaman yang dirusak/diganggu gajah di daerah
konflik
manusia-gajah Provinsi Aceh
Daftar jenis tanaman yang tidak dirusak/diganggu gajah di
daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh
Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah betina pada pagi hari
Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah betina pada sore hari
Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah jantanpada pagi hari
Konsumsi pakan (dalam berat basah) gajah jantanpada sore hari
Indeks preferensipakan pada gajah betina terhadap beberapa
jenis pakan pada pagi hari
Indeks preferensipakan pada gajah betina terhadap beberapa
jenis pakan pada sore hari
Indeks preferensipakan pada gajah jantan terhadap beberapa jenis
pakan pada pagi hari
Indeks preferensipakan pada gajah jantan terhadap beberapa jenis
pakan pada sore hari.
Penilaian atribut dimensi
ekologi kombinasi tanaman
alternatif berkelanjutan di daerah konflik manusia-gajah
Penilaian atribut dimensi ekonomi kombinasi tanaman
alternatif berkelanjutan di daerah konflik manusia-gajah
Penilaian atribut dimensi
sosial budaya
kombinasi
tanaman
alternatif berkelanjutan di daerah konflik manusia-gajah
Temperatur dan kelembaban udara selama penelitian preferensi
dan perilaku aktivitas makan gajah sumatera di Pusat Konservasi
Gajah Provinsi Aceh
Kuisioner penelitian jenistanamankomoditi dan ekologi gajah di
daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh
Kuisioner penelitiansosial budaya dan ekonomi masyarakat jenis
di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh
Surat Keterangan selesai melakukan penelitian
Riwayat Hidup

132
133

134
135
137
139
141
143
145
147
149
151
153
154

156

157
159
162
163

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk berinteraksi
dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya dalam sebuah hubungan
timbal balik baik positif maupun negatif. Manusia juga sebagai makhluk sosial
yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat
tinggalnya (Gifford 1997). Pada umumnya, di dalam memanfaatkan dan
mengelola sumber daya alam di lingkungan atau di ekosistemnya, dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial ekonomi budaya dan faktor ekologi. Semua faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama dapat menentukan suatu keputusan individu
manusia dalam memperlakukan sumber daya alam (Iskandar 2015). Menurut
Hadi (2000) bahwa keberadaan manusia di muka bumi memiliki dimensi ganda,
sebagai perusak dan pemelihara. Daya nalar manusia mampu menciptakan
keserasian dengan lingkungannya, tetapi di lain pihak dengan daya nalarnya pula
manusia memiliki potensi besar merusak lingkungan.
Pertumbuhan penduduk terutama migrasi untuk mendukung pembangunan
di pulau Sumatera meningkat dengan pesat. Pertumbuhan penduduk akan
meningkat dari 20.7% pada tahun 2000 hingga 22.7% tahun 2025 di Sumatera
(BPS 2007). Kepadatan penduduk meningkatkan permintaan kebutuhan terhadap
sumber daya alam dan semakin mempengaruhi berkurangnya produktifitas
sumber daya alam (Wijono 1998). Kebutuhan penduduk yang meningkat
memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan pembangunan, baik itu
pembangunan kehutanan dan non kehutanan. Laju pertumbuhan penduduk yang
meningkat mendorong manusia mengeksploitasi sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhannya. Hal ini menyebabkan terjadinya deforestasi yang tinggi
pada tutupan hutan, fragmentasi habitat menjadi habitat yang sempit dan
degradasi hutan yang tidak lagi memberikan fungsi optimal sebagai habitat
satwamisalnya mamalia besar seperti gajah sumatera (DEPHUT 2007).
Laju kerusakan hutan padatahun 1985 hingga 1997 diperkirakan sebesar 1
juta hektar, terus meningkat hingga 1.7 juta hektar pada akhir 1980-an (Holmes
2001). Menurut FWI (2014) bahwa hasil penafsiran citra satelit di Indonesia
menunjukkan bahwa deforestasi pada periode 2009-2013 di Pulau Sumatera
diperkirakan mencapai angka kurang lebih 1.5 juta hektar atau sekitar 12.2 %
deforestasi terhadap luas tutupan hutan per tahun. Pulau Sumatera dan Pulau
Kalimantan adalah pulau-pulau yang mengalami deforestasi paling parah bila
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Deforestasi juga terjadi di
dalam Kawasan Hutan Negara yang seharusnya dijaga maupun dimanfaatkan
secara selektif, seperti Hutan Produksi Terbatas, Hutan Lindung maupun Kawasan
Konservasi. Luas deforestasi yang disumbang oleh ketiga kawasan hutan tersebut
mencapai angka 1.4 juta hektar dari total luas deforestasi (4.58 juta hektar) selama
kurun waktu 2009-2013. Kawasan yang seharusnya dipertahankan fungsinya
sebagai hutan dan memiliki tutupan hutan yang baik, ternyata mengalami
deforestasi sangat parah. Pada laju kehilangan tutupan hutan alam (deforestasi)
yang sama maka diperkirakan pada tahun 2023 hutan alam di beberapa provinsi

2
akan habis, termasuk provinsi-provinsi di Sumatera yaitu Riau, Kepulauan Riau,
Jambi dan Sumatera Selatan (FWI 2014).
Habitat merupakan tempat tinggal mahluk hidup baik itu manusia, satwa
dan tumbuhan yang melakukan berbagai aktivitas termasuk berkembangbiak.
Suatu spesies tertentu mendiami tipe habitat tertentu atau lanskap tertentu
(Mardiastuti 2015). Habitat gajah sumatera meliputi seluruh ekosistem yang
beragam di Pulau Sumatera dari Provinsi Lampung sampai Aceh (DEPHUT
2007). Umumnya gajah menempati daerah sungai, rawa, gambut, padang rumput,
semak berduri, hutan basah berlembah, hutan payau di dekat pantai, dataran
rendah dan tinggi kawasan hutan hujan tropik. Tingginya kerusakan hutan di
Indonesia (khususnya di Sumatera) mengakibatkan hilangnya sebagian besar
hutan dataran rendah yang juga merupakan habitat potensial bagi gajah. Sejak 25
tahun terakhir, Pulau Sumatera telah kehilangan 70% luas hutan tropis yang
menjadi habitat gajah (WWF 2005). Fragmentasi dan konversi habitat menjadi
lahan pertanian, perkebunan dan transmigrasi maupun industri kehutanan
merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya (Hill et
al. 2002; Blair 2008; Mwamidi et al. 2012). Kondisi seperti ini terjadi hampir di
semua kawasan hutan sumatera (Nyhus et al. 1999).
Konflik merupakan pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan
atau arahan, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada
(Johnson dan Duinker 1993). Menurut Surono (2008) bahwa konflik adalah
perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama.
Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi ketika salah satu kebutuhan atau
perilaku satwa liar yang memberi dampak negatif pada kehidupan manusia(IUCN
2005; Makindi et al. 2014). Selain itu, konflik manusia-satwa liar merupakan
interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan efek negatif kepada
kehidupan sosial manusia, ekonomi, budaya dan pada keberlangsungan hidup
(PHKA 2008).
Konflik manusia-satwa liar merupakan ancaman yang serius terhadap
kelestarian jenis satwa terancam punah. Konflik ini pernah dilaporkan
mengakibatkan 95% kerusakan tanaman pertanian, cedera atau kematian pada
ternak, merusak tempat tinggal dan mengancam atau membunuh manusia
(Peterson et al. 2010). Konflik manusia-satwa liar secara langsung terjadi di
daerah perkotaan maupun pedesaan. Akan tetapi, konflik secara umum lebih
sering terjadi di dalam atau di sekitar kawasan lindung. Kerusakan hutan dan
fragmentasi habitat satwa untuk perluasan pertanian/perkebunan, pertambangan
dan perumahan merupakan penyebab konflik manusia-satwa liar (Jones 2012).
Oleh sebab itu, degradasi habitat menyebabkan satwa tersebut masuk ke lahan
pertanian/perkebunan yang berdekatan dengan kawasan hutan (Distefano 2009),
sehingga satwa liar merusak tanaman budi daya masyarakat.
Kerusakan tanaman ini akibat beberapa satwa liar kebetulan menemukan
lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan home range atau
wilayah jelajahnya. Wilayah jelajah satwa liar merupakan wilayah yang sering
dikunjungi satwa liar secara tetap karena dapat mensuplai pakan, berfungsi
sebagai tempat berlindung dari predator dan tempat potensial untuk
berpasangan/kawin (Sukumar 2003; Spencer 2012; Powell dan Mitchell 2012).
Satwa liar akan tetap melintas di wilayah jelajah tersebut secara periodik (Moen
1973), walau kondisi lanskap sudah berubah. Alikodra (1989) menambahkan

3
bahwa satwa liar akan tetap menganggap kawasan hutan yang dibuka manusia
merupakan bagian dari wilayah jelajah karena satwa tidak punya alternatif lain.
Perilaku Philopatric pada satwa akan mendorong satwa tersebut untuk kembali
ketempat semula setelah terdispersi (Waser 1988). Seperti halnya, pada beberapa
satwa liar memiliki fidelity site (kesetiaan pada tempat) wilayah jelajah yang tepat
dalam jangka waktu sangat panjang yang diturunkan dari generasi ke generasi
(Fishlock 2015). Perilaku tersebut menyebabkan satwa akan tetap mengikuti
wilayah jelajah walaupun wilayah tersebut sudah berubah menjadi lahan
pertanian, perkebunan dan pemukiman karena sejarah wilayah jelajah yang
dimiliki oleh satwa liar (Rood et al 2008).
Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera
dan Kalimantan bagian timur. Gajah asia memiliki empat sub-spesies, yaitu
Elephas maximus maximus, Elephas maximus indicus, Elephas maximus
sumatranus dan Elephas maximus borneensis (Shoshani dan Eisenberg 1982;
Santiapillai dan Jackson 1990). Sejak tahun 1990, CITES (Convention on
International Trade of Endangered Species of Fauna and Flora, konvensi tentang
Perdagangan International Flora dan Fauna terancam punah) telah
mengategorikan gajah asia dalam kelompok Appendix I di Indonesia (WCMC
2011). Secara tidak spesifik, karena gajah sumatera menjadi bagian dari spesies
gajah asia, maka pada tahun 1994, gajah sumatera telah dimasukan ke dalam
kategori jenis terancam punah (IUCN 1994), akan tetapi pada bulan November
2011, Elephas maximus sumatranus untuk pertama kali secara spesifik masuk ke
dalam daftar Jenis Kritis (Critically Endangered-CR). Status ini berada satu
tingkat sebelum status punah di alam (IUCN 2011).
Gajah memiliki feeding rate yang tinggi sesuai dengan ukuran tubuh, umur
dan jenis kelamin (Poole 1996) tergantung pada daerah, cuaca dan ekosistem
(Fowler dan Mikota 2006). Gajah merupakan satwa yang memiliki wilayah jelajah
(home range) yang tetap di habitatnya sehingga akan terus berada pada habitat
yang sempit dan mempertahankan wilayah jelajahnya (Oliver 1980; Rood et al.
2008). Akhirnya, terjadi kehilangan habitat gajah secara nyata sejak tahun 1993,
sehingga gajah mulai mengeksplorasi keberadaan sumber pakan yang baru yang
berdekatan dengan wilayah jelajahnya ke lahan pertanian atau perkebunan
masyarakat (Santiapillai dan Widodo 1993; Nyhus et al. 2000; Sinaga 2000;
Sitompul et al. 2004). Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh gajah diduga
karena tingginya tingkat kesukaan terhadap jenis tanaman yang ditanam petani
(Sukumar 2003). Kesukaan terhadap jenis tanaman tersebut di sertai dengan sifat
gajah yang selektif dalam memilih makanannya dan akan memakan beberapa taxa
dari tumbuhan yang sangat berbeda(Fowler dan Mikota 2006). Hal ini untuk
mencukupi kebutuhan energi dengan melakukan strategi optimal mencari pakan
(Sukumar 1990). Keadaan ini dapat menimbulkan peningkatan intensitas konflik
antara gajah dengan para petani.
Konflik antara manusia-gajah terjadi bervariasi dan meluas di daerah jelajah
gajah (Seidensticker 1984). Konflik ini tidak hanya terjadi di beberapa wilayah di
Indonesia, tetapi konflik ini terjadi juga di negara lain yang terdapat populasi
gajah. Konflik manusia-gajah yang terjadi di beberapa tempat pada umumnya
disebabkan karena kerusakan tanaman pertanian/perkebunan petani. Konflik ini
mengakibatkan kerugian hasil pertanian rata-rata 4-7% setiap musim panen di
Uganda (Naughton-Treves et al. 2003), kerugian 31% pertahun pada sektor

4
pertanian di Cameroon (Weladji dan Tchamba 2003), merusak lahan pertanian
rata-rata 0.98 ha pertahun di Ghana (Adjewodah at al. 2005), kerugian mencapai
14% pertahun dari total produksi pertanian di Karnatake India (Madhusudan
2003), dan kerugian ekonomi mencapai US$ 314000 dari tahun 1996-1999 di
Samao China. Gajah ke luar dari kawasan hutan dan masuk ke dalam areal
pertanian (Yogasara et al. 2012) menyebabkan kerusakan rumah penduduk,
tanaman budi daya, melukai dan membunuh orang (Nyhus et al. 2000; Sitompul
2004; Woodroffe et al. 2005), mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari
(Hoare 2000), yang mengakibatkan tingginya biaya ekonomi (Kiringe dan Okello
2007). Oleh sebab itu, kerusakan pada komoditi tanaman mengakibatkan kerugian
sosial ekonomi masyarakat (Hoare 1992) dengan nilai kerusakan terlihat
bervariasi di setiap daerah, sesuai dengan luas lahan yang dimiliki dan ekonomi
masyarakat yang tergantung pada aktivitas pertanian di pedesaan (Messmer 2000).
Selama tiga tahun terakhir sejak tahun 2000, kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh konflik Gajah di Riau mencapai sekitar 1.99 milyar (Fadhli 2004). Pada
tahun 2013 kerugian ekonomi di Jambi mencapai sekitar 13.65 miliar (FZS 2013),
belum lagi jika ditambahkan dengan angka keseluruhan konflik gajah di
Sumatera. Kerugian ini belum termasuk kerugian secara psikhis yang dialami
masyarakat saat berkonflik.
Konflik manusia-gajah juga dapat diindikasikan dengan meningkatnya
kematian gajah karena jeratan, racun dan perburuan (Ogada et al. 2003). Menurut
Azmi et al. (2012) bahwa dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012, ditemukan
kasus kematian gajah karena diracun di beberapa tempat di Aceh dan Riau.
Jumlah gajah yang mati mencapai 17 ekor, teridentifikasi mati karena racun.
Hasil penyelidikan awal menunjukkan adanya hubungan antara kematian gajah di
Aceh dan Riau, dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2000
sampai 2007 tercatat terjadi kasus kematian gajah diberbagai daerah di Aceh
berjumlah 71 ekor, gajah yang ditangkap 221 ekor, dan manusia yang meninggal
dunia akibat konflik sebanyak 25 jiwa. Selanjutnya beberapa kasus konflik
manusia-gajah di Provinsi Aceh dari tahun 2007 sampai 2008 ditemukan adanya
ganggu tanaman komoditi 18 kasus, kerusakan tempat tinggal 4 kasus dan adanya
terluka dan meninggal dunia 4 kasus. Konflik ini terus meningkat pada tahun
2011 sampai 2012 kerusakan pada tanaman komoditi tercatat 38 kasus dan korban
terluka atau meninggal dunia 5 kasus.
Konflik manusia-gajah, baik masalah pengembangan pembangunan, lahan
pertanian maupun perkebunan, belum dapat diselesaikan secara tepat karena
masih berorientasi kepada aspek perlindungan dan kurang mempertimbangkan
kepentingan masyarakat di daerah konflik (Yogasara et al. 2012). Selain itu, status
perlindungan habitat gajah yang berada di luar kawasan konservasi masih lemah,
sehingga semakin memberikan batasan-batasan pergerakan gajah dalam
beraktivitas (Hoare 2000). Bila dilihat dari sisi habitat dan perilaku gajah dengan
kemampuan gajah bereproduksi secara alami yang rendah dikombinasikan dengan
kebutuhan akan habitat yang luas dan kompak (contiguous) membuat mereka
sangat rentan terhadap kepunahan (DEPHUT 2007). Lagi pula proses pergerakan
gajah secara periodik pada wilayah jelajahnya yang telah berubah menjadi areal
pemukiman, lokasi transmigrasi, areal pertanian dan perkebunan dapat
mengancam jiwa manusia dan mengganggu aktifitas pembangunan (Febriani
2009). Oleh sebab itu, perlu dicarikan suatu strategi untuk pengendalian konflik

5
manusia-gajah, agar tercipta keseimbangan antara kepentingan kelestarian gajah
dan tetap terjamin kepentingan sosial ekonomi masyarakat pada kondisi yang
terbaik (optimum) di daerah konflik manusia-gajah.
Strategi merupakan suatu cara mencapai tujuan-tujuan, sesuai dengan
peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi serta
sumber daya dan kemampuan internal. Berdasarkan pada definisi tersebut,
terdapat tiga faktor yang mempunyai pengaruh penting pada strategi, yaitu
lingkungan eksternal, sumber daya dan kemampuan internal, serta tujuan yang
akan dicapai (Jatmiko 2003). Jauch dan Glueck (2000) menyatakan bahwa strategi
adalah rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan
keunggulan strategi dengan tantangan lingkungan yang dirancang untuk
memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat.
Jadi, strategi pengendalian konflik manusia-gajah merupakan suatu cara atau
upaya terencana yang terpadu mengaitkan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial
budaya pada kedua belah pihak dengan pengaturan tanaman budi daya
masyarakat untuk mengurangi konflik manusia-gajah. Strategi ini dapat
diterapkan bila ada kerja sama secara terbuka dan partisipasi antara agen
pembangunan, para pemegang keputusan pada tingkat nasional, provinsi,
kabupaten, para pihak yang terkait dan peduli terhadap konflik manusia-gajah
(DEPHUT 2007). Prinsipnya semua pihak berharap agar populasi gajah di
Sumatera dapat hidup berdampingan dengan manusia dan juga dengan aktivitas
pembangunan.

Perumusan Masalah
Kepadatan penduduk meningkatkan deforestrasi dan fragmentasi habitat
gajah sumatera. Laju perluasan pertanian, perkebunan, pemukiman dan
perindustrian kehutanan yang cepat akan menurunkan daya dukung habitat
sehingga tidak lagi memberikan fungsi optimal sebagai habitat gajah. Habitat
tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pakan gajah secara kualitatif
dan kuantitatif sehingga gajah masuk ke lahan pertanian kemudian merusak
tanaman budi daya masyarakat. Gajah melakukan pergerakan yang tetap secara
periodik pada wilayah jelajahnya. Oleh sebab itu, terkadang gajah menemukan
tanaman budi daya pertanian yang sebelumnya belum ditanam di dalam atau di
dekat wilayah jelajah gajah, kemudian merusak dan memakan tanaman tersebut.
Kerusakan tanaman tersebut menyebabkan kerugian ekonomi pada petani.
Disamping itu, juga mengancam kelestarian gajah karena tindakan petani yang
detrimental terhadap gajah. Kerugian kedua belah pihak inilah yang menyebabkan
konflik antara manusia dan gajah.
Manusia dan gajah beraktivitas di wilayah yang memiliki persamaan
karakter sehingga sehingga seringkali terjadi konflik diantara keduanya. Konflik
manusia-gajah juga dapat diindikasikan dengan meningkatnya kematian gajah
karena jeratan, racun dan perburuan (Ogadaet al. 2003).Kerusakan tanaman,
terbunuhnya manusia,kerusakan harta benda/ rumah dan kematian gajah sering
terjadi akibatkonflik dengan gajah. Kerusakan tanaman (crop raiding) oleh gajah
merupakan kasus yang paling sering terjadi di Provinsi Aceh menunjukkan

6
adanya hubungan antara kematian gajah dengan pengembangan perkebunan
kelapa sawit. Hal ini disebabkan gajah merusak dan memakan tanaman kelapa
sawit. Kerusakan tanaman tersebut diduga tingginya tingkat kesukaan
(palatability) gajah terhadap jenis budi daya yang ditanam petani (Sukumar 2003).
Menurut DEPHUT (2007) bahwa kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah
dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kerusakan tanaman yang terjadi
akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau
berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan
tanaman yang diakibatkan oleh gajah yang keluar dari habitatnya akibat kerusakan
habitat, fragmentasi habitat ataupun degradasi habitat yang parah (obligate
raiding).
Konflik manusia-gajah terjadi bervariasi dan meluas di daerah jelajah
gajah (Seidensticker 1984) dan meningkat karena gajah keluar dari kawasan hutan
dan masuk ke dalam areal pertanian (Yogasara et al. 2012), sehingga
menyebabkan kerusakan rumah penduduk, tanaman budi daya, melukai,
membunuh orang (Nyhus et al. 2000; Sitompul 2004), mengganggu aktivitas
masyarakat sehari-hari (Hoare 2000), yang mengakibatkan tingginya biaya
keuangan perorangan (Kiringedan Okello 2007). Kerusakan tanaman budi daya
yang ditanam petani mengakibatkan kerugian sosial ekonomi (Hoare 1992)
dengan nilai kerusakan terlihat bervariasi di setiap daerah (Fadhli 2004), sesuai
dengan jumlah lahan yang dimiliki dan ekonomi masyarakat yang tergantung pada
aktivitas di pedesaan (Messmer 2000).
Penelitian konflik manusia-gajah selama ini banyak terarah untuk mencari
teknik baru yang bertujuan untuk mengusir gajah atau memisahkan gajah dengan
lahan budi daya manusia dengan berbagai metode (Nyirendra et al. 2012; Lenin
dan Sukumar 2011; Monney et al. 2010). Metode mitigasi konflik manusia-gajah
dilakukan masyarakat secara perorang atau perkelompok saling bekerja sama
menghalau gajah keluar dari lahan pertanian atau pemukiman. Respon yang
dilakukan masyarakat sesuai dengan peraturan untuk mengurangi konflik
manusia-gajah. Pemerintah Indonesia mengembangkan peraturan P.48/MenhutII/2008 untuk mengurangi konflik manusia-gajah. Respon pertama, menghalau
gajah dari daerah pertanian dengan menggunakan metode tradisional dan
penjagaan untuk mendeteksi serta mencegah gajah memasuki lahan pertanian.
Peraturan ini mengharuskan metode tersebut untuk diterapkan terlebih dahulu
sebelum menangkap atau memindahkan gajah (MENHUT 2008).
Metode penanggulangan konflik manusia-gajah pernah dilakukan
masyarakat di Indonesia. Metode tersebut antara lain dengan membuat pagar tali
yang dilumuri dengan cabe yang dihaluskan dicampur dengan kotoran gajah,
pagar tali yang dilumuri dengan oli bekas dan gemuk, kotoran gajah yang dibakar
diletakkan di beberapa tempat di lahan pertanian, membuat penghalang buatan
(pagar berkawat duri, pagar berarus listrik, parit), penjagaan kolektif secara fisik
oleh masyarakat (tower pengintai), menghidupkan obor/senter pada malam hari
dan membuat suara-suara bising (berteriak, memukul drum, menghidupkan
mercon/meriam). Metode yang hampir sama juga dilakukan di daerah konflik
manusia-gajah di luar negeri. Metode mitigasi konflik manusia-gajah yang
dilakukan pada malam hari dengan menggantungkan lonceng dan botol yang
berisi cuka di pagar untuk melindungi tanaman budi daya dari gangguan gajah
sebagai peringatan dini pernah dilakukan di Negara Laos, (Khounboline 2007;

7
McWilliam 2008). Pembuatan pagar listrik, parit dan pengayaan pakan di habitat
gajah di China (Luo 2007) dan di Nepal (Yadav 2004). Menjaga tanaman budi
daya dengan membuat pagar dari listrik, pagar cabe, dan tower pengintai kawanan
gajah di Kenya (Sitati dan Walpole 2006). Pemagaran tanaman dengan kawat
berduri dan menggantungkan lempengan logam di pagar tersebut untuk
memisahkan tanaman budi daya dengan gajah yang datang di Sri Lanka (Perera
2007; Perera et al. 2007). Mitigasi yang dilakukan dengan menghalau gajah ke
habitatnya atau mentranslokasikan ke daerah lain atau dijinakkan gajah liar pernah
dilakukan di Myanmar, (Kyaw dan Cho 2004).
Penanggulangan konflik manusia-gajah memerlukan pembiayaan dalam
menjalankan upaya tersebut. Masyarakat di daerah konflik harus menyediakan
anggaran tambahan (cost center) baru di luar investasi normal pengembangan
budi daya pertanian/perkebunan. Hal tersebut menambah beban ekonomi bagi
petani sebagai konsekuensi menerapkan skema mitigasi konflik. Begitu juga bagi
otoritas pengelola gajah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam dan pemerintah kabupaten serta para pemukim yang
terlibatkonflik tersebut sudah sangat dirasakan kesulitan dan menjadi beban yang
berkepanjangan (DEPHUT 2007). Upaya yang dilakukan selama ini belum
menghasilkan solusi yang efektif dan efisien karena hanya bersifat
penanggulangan konflik jangka pendek.
Metode penanggulangan konflik manusia-gajah yang dilakukan hanya
bertujuan untuk mencegah gajah masuk ke lahan pertanian masyarakat, tanpa
melihat perilaku gajah ketika merusak tanaman budi daya. Prinsipnya, gajah yang
pernah masuk ke dalam areal perkebunan akan terus mencoba kembali ke lokasi
tersebut. Karena mereka menemukan sumber makanan yang baru dan tidak tersedia
atau berbeda dengan sumber makanan di habitatnya. Oleh sebab itu, perlu dicarikan
suatu strategi untuk pengendalian konflik manusia-gajah dengan pendekatan
sosial ekonomi masyarakat berdasarkan kerentanan tanaman terhadap gangguan
gajah, preferensi gajah terhadap tanaman budi daya masyarakat, persepsi
masyarakat terhadap konservasi dan status keberlanjutan pengelompokan tanaman
budi daya yang rendah resiko terhadap gangguan gajah.
Penanggulangan konflik harus mempertimbangkan ancaman terhadap
keselamatan manusia serta resiko keselamatan gajah. Pemilihan metode
penanggulangan konflik manusia-gajah sangat dipengaruhi oleh karakter masingmasing konflik yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga pemilihan tindakan
penanggulangan konflik manusia dan gajah harus memperhatikan situasi yang ada
pada masing-masing kejadian. Hal ini disebabkan karena gajah memiliki
kemampuan dan daya ingat yang tinggi dalam mempelajari upaya manusia untuk
mencegah gangguan dan menggiring mereka ke habitatnya. Oleh karena itu perlu
diupayakan tindakan pencegahan dan penanggulangan konflik yang dinamis
dalam suatu kesatuan lanskap. Pendekatan yang holistik dan integratif antara
aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakatdiharapkan dapat mengurangi
konflik manusia-gajah. Secara ekologi, gajah sebagai satwa yang dilindungi dapat
terjaga kelestariannya dan disisi lain ada kepentingan sosial ekonomi masyarakat
yang terjamin terjaga dari kemungkinan kerusakan tanaman budidayanya. Lebih
luas lagi, bahwa strategi ini tidak hanya menjawab permasalahan konservasi
gajah, namun secara bersamaan menjadi solusi dari permasalahan perekonomian

8
masyarakat yang terkait dengan konflik masyarakat dengan gajah secara
proporsional.
Sesuai dengan rumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah:
1. Bagaimana kerentanan budi daya pertanian terhadap gangguan gajah sumatera
di daerah konflik manusia-gajah Provinsi Aceh.
2. Bagaimana tingkat preferensi pakan dan perilaku gajah terhadap tanaman budi
daya pertanian di Provinsi Aceh.
3. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah konflik manusiagajah Provinsi Aceh.
4. Bagaimana status keberlanjutan tanaman budi daya alternatif di daerah
konflik manusia-gajahProvinsi Aceh.

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi
pengaturan tanaman budi daya untuk mengendalikan konflik manusia-gajah.
Dalam rangka mencapai tujuan umum tersebut, kegiatan penelitian ini dibagi
menjadi beberapa tujuan antara yaitu:
1. Menganalisis kerentanan budi daya pertanian terhadap gangguan gajah
sumatera di daerah konflik manusia-gajahProvinsi Aceh.
2. Menganalisis tingkat preferensi pakan dan perilaku makan gajah terhadap
tanaman budi daya pertanian di Provinsi Aceh.
3. Menganalisis sosial ekonomi masyarakat di daerah konflik manusia-gajah
Provinsi Aceh.
4. Menganalisis status keberlanjutan tanaman budi daya alternatif di daerah
konflik manusia-gajah Provinsi Aceh.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :
1. Memberikan persepsi yang sama pada seluruh pihak terkait, mulai dari tingkat
desa sampai provinsi terhadap konflik manusia-gajah.
2. Sebagai dasar untuk menentukan kebijakan konservasi gajah sumatera di luar
kawasan konservasi yang sering terjadi konflik manusia-gajah.
3. Sebagai pola penanganan konflik manusia-gajah secara efektif dan efisien
yang tidak hanya sekedar meredakan konflik secara singkat, tetapi berdampak
lebih lama dengan memperhatikan kebutuhan konservasi gajah sebagai
kesatuan populasi yang viable (dapat hidup terus) di Sumatera.
4. Mempromosikan konsep hidup berdampingan antara manusia-gajah dengan
cara memilih budi daya jenis tanaman budi daya yang tidak beresiko dengan
gajah (Human-elephant co-existence).
5. Memberikan manfaat bagi nilai pendidikan dan pengetahuan mengenai
konservasi gajah sumatera terutama yang berkaitan dengan preferensi pakan
dan perilaku makan gajah.
6. Meningkatkan kapasitas peneliti dibidang konservasi gajah sumatera.

9
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian untuk memenuhi tujuan penelitian sebagaimana
diatas, maka dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Penelitian Pertama, tentang kerentanan budidaya pertanian/perkebunan yang
ditanam masyarakat serta alternatif pola penanaman tanaman tersebut di daerah
konflik manusia-gajah, mencakup jenis tanaman budi daya yang
dirusak/dimakan dan yang tidak dirusak/dimakan gajah.
2. Penelitian Kedua, tentang preferensi pakan dan perilaku makan gajah terhadap
tanaman budi daya pertanian dan perkebunan. Penelitian ini berhubungan
dengan penelitian sebelumnya, sebagai langkah untuk memperkuat asumsi
tentang adanya preferensi dan perilaku selektivitas gajah dalam memakan
tanaman budi daya sebagai pakannya.
3. Penelitian Ketiga, tentang sosial ekonomi masyarakat di daerah konflik
manusia-gajah dengan fokus pada persepsi masyarakat tentang koservasi gajah.
4. Penelitian Keempat, tentang strategi pengaturan tanaman budi daya sebagai
alternatif solusi konflik dan tingkat keberlanjutannya baik dilihat dari dimensi
bioekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Secara teknis, dalam penulisan disertasi ini setiap aspek penelitian tersebut
di atas disajikan secara terpisah menjadi bab tersendiri, kemudian disintesis pada
bagian akhir melalui pembahasan umum yang menekankan pada dua bahasan
utama yang dipandang penting terkait dengan mitigasi konflik gajah-manusia,
yakni strategi pengaturan tanaman budi daya pertanian dan implikasi konservasi
dari temuan dalam penelitian ini.
Kerangka Pemikiran
Pertambahan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan manusia
terutama pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan
ekstensifikasi lahan pertanian/perkebunan. Seiring dengan pertambahan
penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga meningkat. Oleh sebab itu,
eksploitasi hutan untuk membuka lahan pertanian/perkebunan baru banyak
dilakukan masyarakat. Laju perluasan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman
serta industri keh