HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Warna Kalus

Warna kalus merupakan salah satu indikator kualitas dari kalus yang mengindikasikan dimulainya respon organogenesis pada eksplan. Biasanya pertumbuhan yang cepat dan warna kalus yang cenderung terang mengindikasikan bahwa kondisi kesehatan kalus tersebut cukup baik. Sedangkan warna coklat hingga hitam secara umum menunjukkan keadaan kalus yang sel-selnya telah mati (Abdullah et al. 1998). Pengamatan warna kalus dilakukan dengan skoring untuk mempermudah melakukan analisis. Skoring 1 untuk warna kalus putih, sedangkan skoring 2 untuk warna kalus hijau.

commit to user

Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap warna kalus (Tabel 17 pada Lampiran

2) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dengan BAP (non significant ). Selain itu, pemberian 2,4-D maupun BAP, masing-masing juga tidak berpengaruh nyata terhadap warna kalus. Sedangkan hasil analisis deskriptif pada variabel warna kalus dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap warna kalus

pada kultur in vitro mabai BAP

− : tidak muncul kalus; 1: putih; 2: hijau.

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa dari 4 kombinasi perlakuan yang menumbuhkan kalus, terdapat 3 kombinasi perlakuan yang memiliki warna kalus putih. Sedangkan 1 kombinasi perlakuan lainnya, yaitu kombinasi perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 1,5 ppm menghasilkan warna kalus hijau. Kalus yang berwarna putih merupakan jaringan embrionik yang belum mengandung kloroplas. Sedangkan kalus yang berwarna hijau dan mengandung klorofil biasanya merupakan tempat munculnya tunas (Winarni 2012).

Perbedaan warna kalus menunjukan tingkat perkembangan dari kalus. Guntur et al (2004) menyatakan bahwa morfologi kalus (warna dan tekstur kalus) dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan berkurangnya unsur hara dan zat pengatur tumbuh yang terdapat dalam media tanam. Perubahan warna dari putih cerah menjadi putih kecoklatan disebabkan oleh semakin dewasanya umur sel atau jaringan kalus yang menandakan terjadinya reaksi enzimatis yang mengarah pada sintesis senyawa fenol yang disebut browning. Pencoklatan tersebut mengakibatkan pertumbuhan terhenti dan jaringan biasanya mati.

commit to user

Gambar 2. Kalus putih pada perlakuan Gambar 3. Kalus hijau pada perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm.

2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm. Perbedaan warna kalus menunjukkan tingkat perkembangan kalus yang

berbeda-beda. Menurut Hanifah (2007), pada penambahan sitokinin dengan kosentrasi yang semakin meningkat cenderung menunjukkan warna hijau (cerah) pada kalus lebih tahan lama. Warna hijau pada kalus adalah akibat efek sitokinin dalam pembentukan klorofil. Dalam hal ini, sitokinin yang diberikan adalah BAP dengan konsentrasi 2 ppm.

D. Saat Muncul Tunas

Tunas merupakan bagian vegetatif dari tanaman yang tumbuh untuk melangsungkan keturunan pada tanaman tersebut. Terbentuknya tunas merupakan salah satu indikator yang menunjukkan terjadinya proses pertumbuhan pada suatu tanaman. Semakin cepat tunas terbentuk mengindikasikan semakin cepatnya eksplan dalam menyerap unsur hara yang terdapat dalam media. Rerata saat muncul tunas dalam kultur mabai dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Rerata saat muncul tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro

2,4-D (ppm)

1 3,07 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

commit to user

Analisis ragam uji F taraf 5% (Tabel 18 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap saat muncul tunas. Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap saat muncul tunas. Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,5 ppm memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm dan 1 ppm pada variabel saat muncul tunas. Sedangkan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm dan 1 ppm tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap saat muncul tunas.

Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1 ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.

Gambar 4. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap saat muncul tunas mabai (HST)

secara in vitro.

Pada penelitian ini, saat muncul tunas justru lebih dipengaruhi oleh pemberian 2,4-D. Hal ini dimungkinkan karena sitokinin endogen yang terdapat dalam eksplan sudah mencukupi untuk pembentukan tunas sehingga sitokinin eksogen (BAP) yang ditambahkan pada media kultur tidak berpengaruh terhadap kemunculan tunas. Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa 2,4-D dengan konsentrasi 1 ppm mampu menginduksi kalus dengan waktu tercepat, yakni 6,4 HST.

Menurut Hariyanti et al (2004), dengan pemberian auksin eksogen (2,4-D) yang semakin meningkat, maka waktu pembentukan tunas juga akan semakin

commit to user

lama. Pernyataan ini didukung oleh Nursetiadi (2008) yang menyatakan bahwa auksin endogen yang terdapat pada eksplan telah mampu mendorong pembentukan tunas, sehingga hanya membutuhkan auksin dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi dalam pembentukan tunas tersebut. Namun pada penelitian ini, pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang tinggi (1 ppm) justru mampu memunculkan tunas dengan waktu yang lebih cepat (6,4 HST) dibandingkan dengan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,5 ppm) yang memunculkan tunas dalam waktu yang lebih lama (12,1 HST).

Hal ini dimungkinkan karena masing-masing eksplan yang digunakan mengandung auksin dengan kadar yang berbeda sehingga interaksi auksin eksogen (2,4-D) yang diberikan pada tanaman menghasilkan respon yang bervariasi terhadap masing-masing eksplan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Samanhudi (2010) yang menyatakan bahwa dalam eksplan telah terkandung auksin endogen yang kadarnya tidak persis sama. Keseragaman ukuran dan cara pengambilan eksplan kemungkinan besar tidak diikuti dengan keseragaman hormon endogen tanaman sehingga penambahan auksin eksogen ke dalam media kultur akan menimbulkan respon yang bervariasi.

E. Tinggi Tunas

Tinggi tunas merupakan salah satu indikator dari pertumbuhan eksplan. Pengukuran tinggi tunas dilakukan pada akhir pengamatan (60 HST) dengan mengukur tinggi tunas yang terbentuk mulai dari pangkal hingga titik tumbuh tertinggi. Analisis uji F taraf 5% (Tabel 19 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap tinggi tunas. Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Rerata tinggi tunas yang diperoleh dapat dilihat pada table 5 berikut.

commit to user

Tabel 5. Rerata tinggi tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro

2,4-D (ppm)

1 0,09 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

Konsentrasi 2,4-D 0,25 ppm dan 0,5 ppm memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap tinggi tunas. Sementara konsentrasi 2,4-D 0,5 ppm dibandingkan dengan konsentrasi 2,4-D 1 ppm memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tinggi tunas. Hal ini dimungkinkan karena eksplan yang digunakan sudah mengandung sitokinin dalam jumlah yang cukup untuk menginduksi tunas sehingga hanya dibutuhkan penambahan auksin (2,4-D) dalam konsentrasi yang kecil untuk pembentukan tunas tanpa penambahan sitokinin eksogen (BAP).

Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1 ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.

Gambar 5. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata tinggi tunas mabai secara in

vitro (60 HST). Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa tinggi tunas terbaik diperoleh dari

pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang cukup rendah, yakni 0,5 ppm. Hal ini diduga karena pemberian auksin dengan konsentrasi yang rendah (0,5 ppm) dapat

commit to user

memacu pembentukan tunas, sedangkan pemberian auksin dengan konsentrasi yang lebih tinggi (1 ppm) justru akan menghambat pertumbuhan tunas. Auksin (2,4-D) berperan dalam pemanjangan sel tanaman yang mengakibatkan semakin tingginya tunas yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heddy (1996) yang menyatkaan bahwa auksin dapat merangsang perpanjangan sel yang akan berakibat terhadap perpanjangan koleoptil dan batang.

F. Panjang Akar

Akar merupakan bagian dari tanaman yang berfungsi untuk menyerap nutrisi dari media tanam untuk disalurkan ke seluruh tubuh tanaman. Semakin panjang akar maka penyerapan nutrisi akan semakin baik karena daerah jangkauan akar semakin jauh daripada akar yang pendek yang hanya mampu menyerap nutrisi di daerah dekat perakaran. Pada hasil analisis uji F taraf 5% (Tabel 20 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap panjang akar. Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Rerata panjang akar yang terbentuk dalam kultur mabai dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Rerata panjang akar mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro

1 0,00 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT 5%.

Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian 2,4-D 0,25 ppm dan 0,5 ppm memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap panjang akar. Sementara pemberian 2,4-D 0,25 ppm dibandingkan dengan pemberian 2,4-D 1 ppm memberikan pengaruh yang berbeda terhadap panjang akar. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin dengan konsentrasi rendah mampu menumbuhkan akar dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian auksin dengan

commit to user

konsentrasi yang lebih tinggi. Respon auksin berhubungan dengan konsentrasinya dan konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat (Gardner et al. 1991)

Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1 ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.

Gambar 6. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata panjang akar mabai secara

in vitro (60 HST). Pada gambar 6 di atas, dapat dilihat bahwa pemberian 2,4-D dengan

konsentrasi 0,25 ppm menghasilkan rerata panjang akar paling baik, yakni dengan panjang 2,02 cm. Sedangkan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih tinggi (1 ppm) justru tidak mampu memunculkan akar. Hal ini diduga karena pemberian auksin dengan konsentrasi rendah mampu mempercepat pertumbuhan akar. Sementara pemberian auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi justru akan menghambat pertumbuhan akar. Semakin cepat akar terbentuk, maka semakin cepat pula akar tersebut menyerap unsur hara yang terkandung dalam media sehingga daerah jangkauan akar akan semakin jauh.

G. Jumlah Daun

Daun merupakan organ vegetatif pada tanaman yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam media. Semakin banyak jumlah daun mengindikasikan pertumbuhan eksplan yang semakin baik karena daun merupakan tempat berlangsungnya proses fotosintesis yang mampu menghasilkan

commit to user

sumber bahan makanan pada tanaman. Perhitungan jumlah daun dilakukan pada akhir pengamatan, yaitu pada 60 HST.

Analisis uji F taraf 5% (Tabel 21 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap jumlah daun. Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rerata jumlah daun pada kultur mabai dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Rerata jumlah daun mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro

1 0,00 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

Auksin berfungsi dalam pembelahan sel sehingga semakin cepatnya laju pembelahan sel dan pembentukan jaringan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan batang dan daun yang semakin cepat pula. Tabel 7 menunjukkan bahwa pemberian auksin 2,4-D dengan konsentrasi 0,5 ppm dibandingkan dengan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah daun.

Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1 ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.

Gambar 7. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata jumlah daun mabai secara

in vitro (60 HST).

commit to user

Pada gambar 7, dapat dilihat bahwa pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,25 ppm mampu menghasilkan rerata jumlah daun tertinggi (1,8 helai). Hal ini berkaitan dengan panjang akar yang terbentuk. Pada pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,25 ppm, panjang akar yang dihasilkan memiliki rerata paling tinggi, yakni 2,02 cm. Semakin panjang akar yang terbentuk akan mengakibatkan semakin luas jangkauan akar dalam menyerap nutrisi yang terdapat dalam media sehingga pertumbuhan daun juga akan semakin baik dengan menghasilkan jumlah daun yang semakin banyak. Sedangkan pada pemberian 2,4-D dengan konsentrasi

1 ppm tidak menghasilkan akar maupun daun. Hal ini diduga karena tidak adanya akar yang digunakan sebagai media penyerapan nutrisi sehingga daun juga tidak dapat terbentuk.

Gambar 8. Daun yang mengalami kerontokan. Pada akhir pengamatan, terdapat beberapa perlakuan yang daunnya

mengalami kerontokan. Hal ini diduga karena terjadinya klorosis pada daun tersebut, seperti yang diungkapkan Triatminingsih (1995) yang mengatakan bahwa klorosis merupakan peristiwa menurun atau berkurangnya klorofil akibat penambahan auksin sehingga terjadi kombinasi auksin endogen dan eksogen dalam jaringan, kemudian mensintesis etilen yang akan menyebabkan penuaan daun.

commit to user

30