SKRIPSI PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO Martha Dwi Jayanti H0708125

SKRIPSI PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO

Oleh Martha Dwi Jayanti H0708125 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

ii

PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO SKRIPSI

untuk memenuhi sebagaian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Oleh Martha Dwi Jayanti H0708125 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

iii

SKRIPSI PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO

Martha Dwi Jayanti H0708125

Pembimbing Utama: Pembimbing Pendamping

Dr. Samanhudi, SP, MSi Dr. Ir. Parjanto, MP NIP. 19680610 199503 1003

NIP. 19620323 198803 1001

Surakarta, September 2012

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS NIP. 195602251986011001

commit to user

iv

SKRIPSI PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO

yang dipersiapkan dan disusun oleh Martha Dwi Jayanti H0708125

telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal: 4 September 2012 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agroteknologi

Susunan Tim Penguji

Ketua

Anggota I

Anggota II

Dr. Samanhudi, SP, MSi Dr. Ir. Parjanto, MP Ir. Sri Nyoto, MS NIP. 19680610 199503 1003 NIP. 19620323 198803 1001

NIP. 19570803 198503 1001

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pemberian Auksin (2,4-D) Dan Sitokinin (BAP) Sebagai Pemacu Pembentukan Kalus Mabai (Pongamia pinnata) Secara In Vitro ”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, sehingga penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dr. Samanhudi, SP, MSi selaku Pembimbing Utama dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, serta masukan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Parjanto, MP selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan

masukan, pengarahan, serta saran demi lebih baiknya skripsi ini.

5. Ir. Sri Nyoto, MS selaku Dosen Pembahas yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Keluarga yang saya sayangi, ibunda Sri Wahyuni, ayahanda Drs. Kasidi, MSi, Erna Budhiarti, Septarini Nawangsih, dan Ainun Hidayah yang telah memberikan dukungan baik materi, semangat, maupun doa.

7. Anung Nugroho, Sekar Utami Putri, Syariffah Nur Aini, serta teman-teman Gocelu dan Solmated yang telah memberikan doa dan semangat yang luar biasa.

8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

commit to user

vi

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan wawasan, serta pengetahuan baru bagi kita semua.

Surakarta, September 2012

Penulis

commit to user xii

RINGKASAN PEMBERIAN AUKSIN (2,4 D) dan SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO.

Skripsi: Martha Dwi Jayanti (H0708125). Pembimbing: Samanhudi, Parjanto, Sri Nyoto. Program Studi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar fosil dapat menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu, perlu adanya bahan bakar alternatif seperti mabai untuk mengurangi dampak buruk dari penggunaan bahan bakar fosil tersebut. Mabai memiliki keunggulan tersendiri dalam hal penyediaan bahan baku biodisel karena mudah tumbuh dan tahan kekeringan, tidak menjadi kompetitor dengan minyak makan, proses ekstraksi minyaknya mudah, serta ramah lingkungan. Penyediaan bibit dalam jumlah banyak dan waktu singkat perlu dilakukan dengan menggunakan teknik in vitro dengan menambahkan 2,4-D dan BAP. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi 2,4-D dan BAP yang paling tepat dalam pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta mulai November 2011 sampai Juli 2012, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor perlakuan dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi 2,4-D dengan 4 taraf: 0.25, 0.5, 0.75, 1 ppm dan faktor kedua adalah konsentrasi BAP dengan 5 taraf: 0, 0.5, 1, 1.5, 2 ppm. Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji F taraf 5%. Jika terdapat beda nyata, maka dilanjutkan dengan DMRT taraf 5%. Apabila terdapat data yang tidak dapat dihitung dengan statistik maka dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara lain: saat muncul kalus, tekstur kalus, warna kalus, saat muncul tunas, tinggi tunas, panjang akar, dan jumlah daun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara 2,4-D dan BAP. Perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm menginduksi kalus dengan waktu tercepat (10 HST). Empat perlakuan yang menghasilkan kalus memiliki tekstur kalus yang kompak. Perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 1,5 ppm menghasilkan warna kalus hijau. Saat muncul tunas tercepat diperoleh dari perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm. Perlakuan A3B4 memberikan hasil tinggi tunas terbaik (3,4 cm). Perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 1 ppm memberikan rerata panjang akar yang paling tinggi (4 cm). Perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 1 ppm menghasilkan daun dengan rerata jumlah tertinggi (3 daun).

commit to user xiii

SUMMARY APPLICATION OF AUKSIN (2,4-D) AND CYTOKININ (BAP) AS INDUCER

OF MABAI (Pongamia pinnata) CALLUS BY IN VITRO. Thesis. Martha Dwi Jayanti (H0708125). Advisers: Samanhudi, Parjanto, Sri Nyoto. Study program: Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Human depends of fossil fuels can cause global warming. Therefore, the need for alternative fuels such as mabai can reduce the harm from the use of fossil fuels. Mabai has its own advantages in terms of raw material supply biodiesel because it is easy to grow and drought resistant, do not be a competitor with edible oil, the oil extraction process is easy, and good for environment. Provision of seeds in large quantities in a short time needs to be done by using the technique in vitro by adding 2,4-D and BAP. This study aims to obtain the concentration of 2,4-D and BAP that most appropriate in the formation of callus mabai in vitro culture.

This research was held in Plant Physiology and Biotechnology Laboratory of Agriculture Faculty, University of Sebelas Maret Surakarta from November 2011 until July 2012. It used factorial design with two factors and repeated for three times based on Completely Randomized Design. The first factor was 2,4-D concentrations with four levels: 0.25, 0.5, 0.75, 1 ppm and the second factor was BAP concentrations with five levels: 0, 0.5, 1, 1.5, 2 ppm. The observation data were analyzed with analysis of variance and if significant continued with DMRT test at 5% level. If there was a data that could not be calculated, it would be analyzed using descriptive statistics. Variables which are observed in this research are: when callus was induced, callus texture, callus color, induced shoot, shoot high, root length, and the total of leave.

The results showed that there was no interaction between 2,4-D and BAP. Treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 0 ppm BAP induced callus with the fastest time (10 DAP). Four treatments that produce callus has a compact texture. Treatment of 2,4-D

0.75 ppm to 1.5 ppm BAP produced green callus. The shoots emerge fastest obtained from the treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 0 ppm BAP. Treatment A3B4 gave you the best budding high yield (3.4 cm). Treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 1 ppm BAP obtained the average of the highest root length (4 cm). Treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 1 ppm BAP produced the highest number of leaves with a mean (3 leaves).

commit to user

viii

E. Tinggi Tunas ........................................................................................... 24

F. Panjang Akar ........................................................................................... 26

G. Jumlah Daun ........................................................................................... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 30

A. Kesimpulan ............................................................................................. 30

B. Saran ........................................................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31 LAMPIRAN ........................................................................................................ 34

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul dalam Teks

Halaman

1. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap saat

muncul kalus (HST) pada kultur in vitro mabai .......................................... 18

2. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap

tekstur kalus pada kultur in vitro mabai ....................................................... 19

3. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap

warna kalus pada kultur in vitro mabai ........................................................ 21

4. Rerata saat muncul tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara

in vitro .......................................................................................................... 22

5. Rerata tinggi tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in

vitro .............................................................................................................. 25

6. Rerata panjang akar mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in

vitro .............................................................................................................. 26

7. Rerata jumlah daun mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in

vitro .............................................................................................................. 28

Nomor

Judul dalam Lampiran

Halaman

8. Hasil pengamatan saat muncul kalus (HST) ................................................ 34

9. Hasil pengamatan tekstur kalus (60 HST) ................................................... 35

10. Hasil pengamatan warna kalus (60 HST) .................................................... 36

11. Hasil pengamatan saat muncul tunas (HST) ................................................ 37

12. Hasil pengamatan tinggi tunas (60 HST) ..................................................... 38

13. Hasil pengamatan panjang akar (60 HST) ................................................... 39

14. Hasil pengamatan jumlah daun (60 HST) .................................................... 40

15. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul kalus ............................. 41

16. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tekstur kalus ..................................... 41

17. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap warna kalus ...................................... 41

18. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul tunas ............................. 42

19. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tinggi tunas....................................... 42

commit to user

20. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap panjang akar ..................................... 42

21. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap jumlah daun ..................................... 43

22. analisis uji DMRT 5% terhadap saat muncul tunas ..................................... 44

23. analisis uji DMRT 5% terhadap tinggi tunas ............................................... 44

24. analisis uji DMRT 5% terhadap panjang akar ............................................. 44

25. analisis uji DMRT 5% terhadap jumlah daun .............................................. 45

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul dalam Teks

Halaman

1. Kalus mabai dengan tekstur kompak .............................................................. 20

2. Kalus putih pada perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm ....................... 22

3. Kalus hijau pada perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm ....................... 22

4. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap saat muncul tunas mabai (HST) secara in vitro ................................................................................................. 23

5. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata tinggi tunas mabai secara in vitro (60 HST) ................................................................................................ 25

6. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata panjang akar mabai secara in vitro (60 HST) ................................................................................................ 27

7. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata jumlah daun mabai secara in vitro (60 HST) ................................................................................................ 28

8. Daun yang mengalami kerontokan ................................................................. 29

Nomor

Judul dalam Lampiran

Halaman

9. Foto hasil penelitian mabai ............................................................................. 48

10. Foto akhir pengamatan penelitian mabai ...................................................... 49

commit to user

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dunia akan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan penggunaan barang dan alat berbahan bakar minyak. Saat ini, kebutuhan bahan bakar masyarakat masih tergantung pada bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui. Jika ketergantungan ini terus berlanjut, maka persediaan akan bahan bakar fosil semakin lama akan semakin berkurang dan dalam kurun waktu tertentu akan habis.

Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan menyebabkan terjadinya pencemaran udara seperti timbulnya gas karbon dioksida (CO 2 ), karbon

monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SOx) yang dapat memacu terjadinya pemanasan global (Apriyanti 2010). Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut, maka perlu adanya suatu upaya untuk mengurangi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan BBM yang berlebihan tersebut, salah satunya adalah dengan menggunakan bahan bakar alternatif.

Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan tanah yang subur sehingga banyak jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan mudah disini. Selain itu, Indonesia juga kaya akan sumber daya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui seperti tanaman mabai (Pongamia pinnata).

Tanaman mabai merupakan jenis tanaman dari famili Fabaceae yang toleran terhadap suhu tinggi hingga mencapai 50 o

C. Tanaman ini dapat tumbuh pada

ketinggian 0-1200 m dpl dengan curah hujan rata-rata 500-2500 mm/tahun. Mabai memiliki perakaran yang dalam dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi Nitrogen dari udara karena tanaman ini merupakan jenis tanaman legume. Mabai berperan dalam menyediakan dua sumber energi, yaitu: kayunya sebagai bahan bakar dalam memasak, sedangkan minyak yang berasal dari bijinya dimanfaatkan untuk

commit to user

penerangan. Dalam sebuah biji mabai terkandung minyak sebanyak 30-40% (Irwanto 2008). Oleh sebab itu, minyak dari biji mabai ini dapat juga digunakan sebagai bahan baku energi altenatif. Dari beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai bahan bakar nabati, tanaman mabai memiliki keunggulan tersendiri dalam hal penyediaan bahan baku biodisel karena mabai mudah tumbuh dan tahan kekeringan, tidak menjadi kompetitor dengan minyak makan, proses ekstraksi minyaknya mudah, serta ramah lingkungan.

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perkembangbiakan tanaman secara vegetatif dengan mengisolasi bagian tanaman dan menumbuhkannya pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang terkontrol. Kultur jaringan tanaman merupakan alternatif budidaya pertanian yang memungkinkan peningkatan efektivitas dan produktivitas cara bertanam serta mempunyai beberapa keunggulan, antara lain bibit yang dihasilkan melalui metode ini mempunyai sifat identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat, tidak membutuhkan tempat yang luas, kesehatan dan kualitas bibit lebih terjamin, serta kecepatan tumbuh bibit lebih cepat (Yunus et al. 2010).

B. Perumusan Masalah

Mabai merupakan tanaman yang memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dan potensial untuk dibudidayakan dalam perkebunan terpadu karena dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel, dan bahan-bahan kimia untuk obat dan bioinsektisida. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan dalam rangka penyediaan bibit. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan teknik kultur jaringan. Dalam teknik ini, dilakukan percobaan menggunakan eksplan yang berasal dari stek mikro tanaman mabai yang kemudian diinduksi untuk membentuk kalus pada media dengan perlakuan pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP).

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan untuk dikaji sebagai berikut:

1. Berapakah konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang paling tepat dalam pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro?

2. Adakah interaksi penambahan auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang paling tepat dalam pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro.

2. Mengetahui interaksi penambahan auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro

commit to user

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Mabai (Pongamia pinnata)

Tanaman mabai termasuk legum karena dapat memfiksasi nitrogen dari udara. Klasifikasi tanaman mabai adalah: Domain: Eukaryota; Kingdom: Plantae; Subkingdom: Viridaeplantae; Phylum: Magnoliophyta; Subphylum: Euphyllophytina; Infraphylum: Radiatopses; Klas: Magnoliopsida; Subklas: Rosidae; Suborder: Fabanae; Order: Fabales; Famili: Fabaceae; Genus: Pongamia; Spesies: pinnata (L.) Pierre; Nama botani: Pongamia pinnata (Bisby et al. 2008).

Mabai tumbuh alami di hutan dataran rendah pada tanah berkapur dan batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau dan sepanjang aliran dan sungai pasang surut. Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah liat berpasir, tetapi akan tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpal-gumpal. Sangat toleran pada kondisi salinitas tinggi dan alkalinitas. Mabai berperan dalam menyediakan dua sumber energi, yaitu: kayunya sebagai bahan bakar dalam memasak, sedangkan minyak yang berasal dari bijinya dimanfaatkan untuk penerangan. Kayunya juga menyediakan timber untuk lemari dan kereta beroda dan pulp kertas. Minyaknya digunakan sebagai pelumas, dimanfaatkan dalam industri penyamakan kulit tradisional di India, dan dalam pembuatan sabun, pernis dan cat (Irwanto 2008).

Mabai dideskripsikan sebagai semak atau pohon bercabang melebar. Daun menyirip gasal, merah muda saat muda, hijau tua mengkilap di atas dan hijau pudar dengan urat menonjol di bawah saat tua; anak daun membulat telur, menjorong atau melonjong. Perbungaan tandan dan berpasang-pasangan; mahkota bunga putih sampai merah muda, ungu di dalam, berurat kecoklatan di luar; membulat telur sungsang. Buahnya polong bertangkai pendek, menyerong-melonjong sampai menjorong, tidak merekah bila masak, berbiji 1-2. Biji membulat telur (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman 2009).

commit to user

Pongamia pinnata adalah tanaman yang cepat tumbuh di lahan yang marjinal dan memiliki potensi sebagai sumber minyak yang tinggi. Hal ini dapat mendukung kesesuaian tanaman ini untuk produksi minyak nabati dalam skala besar yang diperlukan oleh industri biodiesel berkelanjutan. Keberhasilan masa depan Pongamia pinnata sebagai sumber bahan baku berkelanjutan untuk industri biofuel tergantung pada pengetahuan luas tentang genetika, fisiologi dan propagasi dari kacang- kacangan ini. Dalam penelitian khusus, harus ditargetkan untuk memaksimalkan penanaman yang berkaitan dengan biosintesis minyak (Scott 2008).

Dalam sebuah biji mabai, terkandung minyak sebanyak 30-40%. Oleh sebab itu, minyak dari biji mabai ini dapat juga digunakan sebagai bahan baku energi altenatif. Dari beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai bahan bakar nabati, tanaman mabai memiliki keunggulan tersendiri dalam hal penyediaan bahan baku biodisel karena mabai mudah tumbuh dan tahan kekeringan, tidak menjadi kompetitor dengan minyak makan, proses ekstraksi minyaknya mudah, kandungan minyaknya cukup tinggi, serta ramah lingkungan (Irwanto 2008).

Minyak biji mabai sebagai biofuel mempunyai sifat fisik yang hampir sama dengan diesel konvensional. Gas emisi yang dihasilkan oleh biofuel lebih bersih dibandingkan dengan diesel konvensional. Selain itu, biofuel tidak mengandung campuran polyaromatik dan mengurangi emisi dan gas beracun. Biofuel mengurangi kandungan sulfur yang dibutuhkan untuk penyulingan industri diesel. Di dalam biofuel terdapat spesifikasi penting dalam membantu pelumasan diesel yang rendah belerang. Spesifikasi titik api untuk biofuel lebih tinggi (> 550°C) dibandingkan diesel minyak bumi (350°C) (Wardiyono 2011).

B. Kultur Jaringan

Bioteknologi di bidang pertanian telah berkembang pesat, salah satu contohnya adalah kultur jaringan. Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel jaringan atau organ tanaman dalam kondisi aseptis secara in vitro. Ciri teknik ini adalah kondisi kultur yang

commit to user

aseptis, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap, dan kondisi lingkungan kultur yang sesuai. Lingkungan yang sesuai dapat dipenuhi dengan menentukan media tumbuh yang sesuai dan penempatan pada kondisi yang terkendali berkaitan dengan intensitas dan periodisitas, cahaya, temperatur, dan kelembaban serta keharusan sterilisasi (Mattjik 2005).

Budidaya in vitro merupakan suatu budidaya di atas media dengan nutrisi dalam kondisi yang steril. Cara ini memiliki beberapa keunggulan seperti:

1. Jika suatu tanaman dewasa sulit diadakan perbanyakan in vivo, kerap kali masih dapat diperbanyak secara in vitro.

2. Cloning in vitro dapat dikerjakan untuk memperoleh tanaman bebas pathogen (virus, jamur). Dalam kondisi ini, cloning in vitro jauh lebih capat daripada cloning in vivo.

3. Perbanyakan in vitro pada tanaman berbentuk herba dapat dijalankan sepanjang tahun dan tidak tergantung musim, sedangkan perbanyakan in vivo sangat dipengaruhi musim.

(Suryowinoto 1996). Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik, metabolit dan ekstra tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter 1991).

Di dalam praktek kultur jaringan tanaman dikenal 6 kelompok zat pengatur tumbuh, yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik (ABA), etilen dan retardan (Wattimena et al. 1991). Perbandingan antara sitokinin dan auksin menentukan tipe organogenesis dalam kultur jaringan. Keduanya baik sitokinin atau auksin, biasanya digunakan untuk mendapatkan morfogenesis, meskipun rasio untuk mendapatkan

commit to user

akar atau tunas tidak selalu sama baik antar spesies atau genus tidak ada patokan yang sama (Wardiyati 1998).

Untuk memecahkan masalah pengadaan bibit tanaman secara besar-besaran dan penanaman secara masal dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat dapat dipenuhi dengan kultur in vitro. Di Negara-negara maju seperti Jepang, Eropa, dan AS kultur aseptik telah umum digunakan sebagai sarana perbanyakan tanaman terutama untuk tanaman buah-buahan (Purbiati dan Triatminingsih 1992).

Problem utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan preventif menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik. Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali. Media juga dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses pembelahan dan pembesaran dirinya (Nugroho 1996).

C. Media MS

Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama disebabkan oleh pengetahuan tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Kebutuhan hara tersebut dipenuhi dalam suatu media. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.Salah satu medium untuk kultur jaringan tanaman adalah media Murashige dan Skoog (MS) (Gunawan 2007).

commit to user

Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda jenis bahan kimia atau konsentrasinya. Perbedaan komposisis media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro . Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman (Marlina 2004).

D. Auksin dan Sitokinin

Auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan. Sitokinin dan auksin dalam keseimbangan yang tepat berpengaruh terhadap proses organogenesis (Winarsih dan Priyono 2000). Perbandingan konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka hal ini akan memperlihatkan stimulasi pertumbuhan tunas dan daun. Sebaliknya apabila sitokinin lebih rendah dari auksin maka hal ini akan mengakibatkan stimulasi pada pertumbuhan akar (Abidin 1990).

Sitokinin berperan sebagai perangsang pertumbuhan sel dalam jaringan yang disebut eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas daun. Namun kadar sitokinin yang optimal untuk pertumbuhan tunas, dapat menghambat pertumbuhan serta pembentukan kalus. Sedangkan auksin berperan dalam merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru (Wetherell 1982).

Pada penelitian Setiawan (2010) disebutkan bahwa perlakuan BAP 1 ppm pada yeast 2 g/l dan air kelapa 250 ml/l memberikan persentase kemunculan tunas yang terbanyak yaitu 66,7% dengan pertumbuhan yang lambat. Sedangakan perlakuan penggunaan BAP 0.5 ppm dengan penambahan yeast 2 g/l merupakan konsentrasi yang paling baik dalam pembentukan panjang tunas tertinggi yaitu 5 mm. Rata-rata saat muncul tunas tercepat eksplan lengkeng pada perlakuan pemberian BAP 1 ppm dengan penambahan air kelapa 250 ml/l yaitu 29 HST.

IBA dan IAA memiliki sifat kimia lebih stabil dan mobilitasnya di dalam tanaman rendah. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan pemakaian IBA dan IAA dapat

commit to user

lebih berhasil karena sifat kimianya yang mantap dan pengaruhnya yang lebih lama. Sedangkan 2,4-D merupakan golongan auksin sintesis yang mempunyai sifat lebih stabil daripada IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel atau pemanasan pada saat proses sterilisasi (Hendaryono dan Wijayani 1994).

Pengatur tumbuh dibutuhkan untuk menginduksi pembelahan sel. Senyawa yang paling sering digunakan adalah asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan asam naftalenasetat (NAA). Baik 2,4-D maupun NAA amat lambat diuraikan oleh sel tumbuhan, dan stabil pada pemanasan dengan autoklaf. Sitokinin seperti kinetin atau benziladenin kadang-kadang dibutuhkan bersama 2,4-D atau NAA untuk mendapatkan pembentukan kalus yang baik (Wetter 1991).

Penelitian Widyarso (2010) menyebutkan bahwa penggunaan berbagai konsentrasi BAP dan IBA maupun tanpa BAP dan IBA mampu membentuk kalus pada eksplan lengkeng dengan warna putih kecoklatan, bertekstur intermediet, dan berukuran sedang, tetapi belum mampu berdiferensiasi membentuk tunas. Sedangkan perlakuan penggunaan BAP 0,5 ppm tanpa IBA merupakan konsentrasi yang paling optimal dalam pembentukan jumlah tunas terbanyak 3 buah dan panjang tunas tertinggi 8 mm.

Penambahan auksin dalam jumlah yang lebih besar, atau penambahan auksin yang lebih stabil, seperti asam 2,4-D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman. Pemakaian zat pengatur tumbuh asam 2,4-D biasanya digunakan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang singkat, antara 2-4 minggu karena merupakan auksin kuat, artinya auksin ini tidak dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman (Hendaryono dan Wijayani 1994).

Pada penelitian Setyaningrum (2010) telah disebutkan bahwa konsentrasi BAP 2 ppm dan 2,4-D 0,25 ppm paling optimal untuk menginduksi kalus tanaman Jatropha curcas L. secara in vitro. Sedangkan kombinasi perlakuan BAP 1 ppm tanpa 2,4-D mampu memunculkan akar pada 9 HST dengan jumlah 1 akar tunggal. Pada

commit to user

kombinasi BAP 0,5 ppm dengan penambahan 2,4-D 0,25 ppm memberikan saat muncul tunas tercepat yaitu 6 HST.

Penelitian Sitepu (2007) menyebutkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh BAP pada kultur tunas stroberi menunjukkan pengaruh terhadap parameter umur muncul akar dengan rataan tercepat pada B2 (3,27 hari), jumlah tunas dengan rataan terbanyak pada B3 dan B4 (1,91 hari), jumlah akar dengan rataan terbanyak pada B4 (2.31 buah), jumlah daun dengan rataan terbanyak pada B3 (3,48 buah), berat eksplan dengan rataan terberat pada B4 (1,44 g) namun tidak berpengaruh terhadap parameter umur muncul tunas, umur muncul akar, tinggi tunas, panjang akar

E. Kalus

Kalus adalah sekumpulan sel amorphous (tidak berbentuk atau belum terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel yang membelah terus menerus secara in vitro atau di dalam tabung. Kalus dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar, batang dan daun. Secara histologi, kalus berasal dari pembelahan berkali-kali sel-sel parenkim di sekitar berkas pengangkut dan beberapa elemen penyusun berkas pengangkut kecuali xilem. Dalam teknik kultur jaringan (in vitro), kalus dapat diinduksi dengan menambahkan zat pengatur tumbuh yang sesuai pada media kultur, misalnya auksin dan sitokinin yang disesuaikan. Induksi kalus dalam teknik kultur jaringan tanaman diperlukan untuk memunculkan keragaman sel somatik di dalam kultur in vitro dan meregenerasikan sel tersebut menjadi embrio somatik (Anonim 2010).

Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel. Jika suatu eksplan ditanam pada medium padat atau dalam medium cair yang sesuai, dalam waktu 2-4 minggu, tergantung spesiesnya, akan terbentuk massa kalus yaitu suatu massa amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil proliferasi sel-sel jaringan induk. Kalus dapat disub-kultur dengan cara mengambil

commit to user

sebagian kalus dan memindahkannya pada medium baru. Dengan sistem induksi yang tepat kalus dapat berkembang menjadi tanaman yang utuh (planlet) (Yuwono 2008).

Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau, atau kuning kejingga-jingaan (Luri 2009).

Kultur kalus memiliki potensial morfogenetik yang bervariasi. Kalus yang diperoleh dari beberapa jenis tanaman atau dari berbagai jenis eksplan seringkali gagal beregenerasi membentuk tunas, atau hanya mampu membentuk akar, namun bukan berarti tanaman tersebut tidak dapat diregenerasikan dari kalus rekalsitran, tetapi hanya memerlukan medium, zat pengatur tumbuh serta lingkungan yang memadai untuk proses regenerasinya. Kalus pada beberapa jenis tanaman menghendaki waktu yang cukup lama untuk beregenerasi (Yunus et al. 2010).

F. Hipotesis

Penggunaan auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) dapat meningkatkan pembentukan kalus mabai secara in vitro.

commit to user

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2011 sampai Juli 2012 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: botol kultur, bunsen, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), petridish, pinset, scalpel, timbangan analitik, plastik PP 0,3, botol semprot, karet gelang, magnetik stirer, beker glass, erlenmeyer, pH meter, autoklaf, pipet ukur, rak kultur, labu takar, dan thermoshaker.

2. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: eksplan dari stek mikro tanaman mabai, media Murashige and Skoog (MS), aquades, chlorox, fungisida, bakterisida, spirtus, auksin (2,4-D), dan sitokinin (BAP).

C. Perancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor ke-1 mempunyai 4 taraf perlakuan, sedangkan faktor ke-2 mempunyai 5 taraf perlakuan.

a. Faktor 1: Konsentrasi auksin (2,4-D) dengan 4 taraf perlakuan, yaitu:

A1 : 0,25 ppm A2 : 0,5 ppm A3 : 0,75 ppm A4 : 1 ppm

12

commit to user

b. Faktor 2: Konsentrasi sitokinin (BAP) dengan 5 taraf perlakuan, yaitu:

B0 : 0 ppm B1 : 0,5 ppm B2 : 1 ppm B3 : 1,5 ppm B4 : 2 ppm

Pada penelitian ini diuji 20 perlakuan faktorial : A1B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 0 ppm A1B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 0,5 ppm A1B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 1 ppm A1B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 1,5 ppm A1B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 2 ppm A2B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 0 ppm A2B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 0,5 ppm A2B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 1 ppm A2B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 1,5 ppm A2B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 2 ppm A3B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 0 ppm A3B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 0,5 ppm A3B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 1 ppm A3B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 1,5 ppm A3B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 2 ppm A4B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 0 ppm A4B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 0,5 ppm A4B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 1 ppm A4B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 1,5 ppm A4B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 2 ppm

commit to user

Analisis data dilakukan menggunakan Annova (Uji F) dengan taraf nyata 5% untuk menguji pengaruh perlakuan dan Uji DMRT 5% untuk menguji perbedaan rata- rata perlakuan. Data-data yang tidak memenuhi kaidah statistika dianalisis secara deskriptif.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Pembuatan Larutan Stok Larutan stok dibuat dengan menimbang bahan-bahan kimia, hara makro, maupun hara mikro sesuai komposisi media MS untuk dibuat larutan stok. Kemudian bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquades dan diaduk sampai homogen dengan magnetic stirer, kemudian dimasukkan dalam botol yang diberi label pada tiap botolnya sesuai dengan perlakuan dan disimpan dalam lemari pendingin.

2. Pembuatan Media Tanam Pembuatan media tanam dilakukan dengan mengambil dan menakar masing-masing larutan stok sesuai dengan perlakuan dan ukuran yang telah ditentukan serta menambahkan Zat Pengatur Tumbuh sesuai perlakuan, kemudian memasukkannya ke dalam labu takar. Bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquades sampai volume larutan mencapai 1 liter. Kemudian ditambahkan gula sebanyak 30 g. Larutan dimasukkan dalam beker glass dan diaduk serta dididihkan dengan menggunakan magnetic stirer dan hot plate.

Setelah itu dilakukan pengukuran pH larutan. pH media diatur pada kisaran 5,8-6,2. Apabila pH terlalu rendah ditambahkan dengan NaOH dan bila pH terlalu tinggi ditambahakan dengan HCl. Setelah pH telah sesuai, larutan ditambahkan bahan pemadat media yaitu agar-agar sebanyak 8 g. Setelah semua larutan terlarut, maka tahap selanjutnya adalah mendidihkan larutan tersebut, kemudian menuangkan larutan tersebut ke dalam botol-botol kultur, kurang lebih

25 ml setiap botolnya. Botol ditutup dengan plastik PP, kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 o

C, pada tekanan 1,5 kg/cm 3 selama 45 menit.

commit to user

Setelah selesai, botol diangkat dari autoklaf dan ditempatkan di ruang inkubasi agar media menjadi padat. Apabila media telah memadat, maka penanaman eksplan dapat dilakukan.

3. Sterilisasi Alat Alat-alat yang harus disterilkan diantaranya adalah botol kultur, petridish, scalpel, dan pinset. Alat-alat tersebut dicuci sampai bersih dengan menggunakan sabun cuci kemudian dikeringkan. Setelah kering dibungkus dengan kertas koran (kecuali botol kultur) lalu dimasukkan ke dalam autoklaf pada tekanan 1,5 Psi

(kg/cm 2 ), pada suhu 121 o C selama 45 menit.

4. Sterilisasi Eksplan dan Penanaman Bagian dari tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah stek mikro tanaman mabai. Eksplan diperoleh dengan memotong bagian hipokotil tanaman mabai yang telah ditumbuhkan secara in vitro dengan menggunakan bahan tanam berupa biji mabai. Pemotongan dilakukan di dalam LAFC (Laminar Air Flow Cabiner ) dengan menggunakan pisau scalpel dan pinset yang steril. Selanjutnya eksplan dimasukkan dalam aquades streril, kemudian dilanjutkan dengan sterilisasi dalam larutan chlorox yang telah dicampur aquades dan dibilas aquades steril.

Penanaman eksplan juga dilakukan di dalam LAFC yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan ruang LAFC disemprot formalin atau spirtus. Eksplan yang telah disterilisasi kemudian ditanam pada media tanam di dalam botol kultur, kemudian ditutup kembali dengan plastik PP. Botol-botol yang telah selesai diberi label sesuai dengan perlakuan dan tanggal penanaman.

5. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalisasi risiko kontaminasi dengan menyemprotkan spirtus ke botol-botol kultur setiap 2 hari sekali, membersihkan rak tempat botol kultur, dan mengeluarkan botol-botol kultur yang terkontaminasi dari ruang inkubasi.

commit to user

E. Pengamatan Peubah

1. Saat muncul kalus Saat muncul kalus diamati dan dicatat pada saat munculnya kalus pertama kali yang dinyatakan dalam HST (hari setelah tanam).

2. Tekstur kalus Tekstur kalus dicatat pada akhir pengamatan (60 HST) dengan mengamati tekstur kalus yang terbentuk, apakah termasuk kalus yang kompak atau remah.

3. Warna kalus Warna kalus dicatat pada akhir pengamatan (60 HST) dengan mengamati secara visual warna kalus yang terbentuk. Penentuan warna kalus ditetapkan berdasarkan subyektivitas skoring dari pengamat.

4. Saat muncul tunas Pengamatan munculnya tunas dilakukan setiap 2 hari pada tiap-tiap botol kultur dengan menghitung berapa hari tunas sudah mulai muncul atau tumbuh. Saat muncul tunas ditentukan dalam HST (Hari Setelah Tanam).

5. Tinggi tunas Tinggi tunas diamati pada akhir pengamatan (60 HST). Tinggi tunas dinyatakan dalam centimeter (cm).

6. Panjang akar Panjang akar diamati pada akhir pengamatan (60 HST) dengan mengukur dari pangkal akar yang terbentuk hingga ujung akar. Panjang akar dinyatakan dalam centimeter (cm).

7. Jumlah daun Jumlah daun diamati pada akhir pengamatan (60 HST) dengan menghitung jumlah daun yang terbentuk.

commit to user

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Saat Muncul Kalus

Kalus merupakan jaringan yang tersusun oleh sel-sel yang belum terdiferensiasi. Pada umumnya kalus dihasilkan oleh jaringan yang luka atau eksplan yang ditanam dalam kultur jaringan (Yunus et al. 2010). Pertumbuhan kalus pada eksplan ditandai dengan munculnya tonjolan-tonjolan kecil yang menyebabkan eksplan membengkak pada jaringan di sekitar luka ke bagian tengah eksplan, kemudian jaringan membesar dan mengembang serta bertambah banyak (Hidayat 2007).

Terbentuknya kalus pada eksplan menunjukkan suatu fase awal dari pertumbuhan eksplan tersebut. Kalus pertama kali muncul dari bagian jaringan tertentu, selanjutnya berkembang membentuk gumpalan jaringan yang belum mengalami diferensiasi. Pada beberapa kultur in vitro terdapat kalus yang langsung mengalami diferensiasi membentuk organ, namun ada juga yang tidak mengalami diferensiasi sehingga perlu diberikan perlakuan yang berbeda. Adapun proses terbentuknya kalus sampai ke tahap diferensiasi berbeda-beda, bergantung macam dan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, metode kultur in vitro, serta zat-zat yang ditambahkan dalam medium dasar (Suryowinoto 1996). Saat muncul kalus diamati setiap 2 hari sekali.

Pada hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul kalus (Tabel 15 pada Lampiran 2) dapat dilihat bahwa tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dengan BAP (non significant). Selain itu, baik 2,4-D maupun BAP, masing-masing juga tidak berpengaruh nyata terhadap saat muncul kalus. Sedangkan hasil analisis deskriptif pada variabel saat muncul kalus dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

commit to user

Tabel 1. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap saat muncul

kalus (HST) pada kultur in vitro mabai BAP

- = tidak muncul kalus HST = hari setelah tanam

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa tidak semua perlakuan dapat memunculkan kalus pada akhir pengamatan (60 HST). Pada penelitian ini, tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dan BAP, namun terdapat beberapa perlakuan yang memberikan hasil berupa kemunculan kalus. Dari 20 perlakuan, hanya 4 perlakuan yang mampu menghasilkan kalus, yakni perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dengan BAP 0 ppm; 2,4-D 0,25 ppm dengan BAP 0,5 ppm; 2,4-D 0,25 ppm dengan BAP 1 ppm; dan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 2 ppm. Dari keempat perlakuan tersebut, perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm mampu menginduksi kalus dengan waktu tercepat, yakni 10 HST.

Gustian (2009) mengatakan bahwa secara umum penambahan auksin pada konsentrasi rendah akan memacu pembentukan kalus. Sedangkan Pada kadar yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Karjadi (2007) yang menyatakan bahwa auksin dalam konsentrasi rendah akan menstimulasi pembesaran dan perpanjangan sel

setelah terjadinya pembelahan sel yang distimulir oleh sitokinin. Pada perlakuan A3B4 (2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm) kalus masih dapat terbentuk pada 14 HST. Meskipun pemberian auksin dengan konsentrasi tinggi dapat menghambat pembentukan kalus, namun sitokinin yang ditambahkan dengan konsentrasi tinggi (2 ppm) diduga mampu menginduksi kalus pada Mabai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yusnita (2004) yang mengatakan bahwa kadang-kadang sitokinin dibutuhkan untuk memunculkan kalus.

commit to user

B. Tekstur Kalus

Salah satu penentu yang digunakan untuk menilai kualitas suatu kalus adalah tekstur kalus. Tekstur kalus yang remah dianggap baik karena memudahkan dalam pemisahan menjadi sel-sel tunggal pada kultur suspensi dan juga dapat meningkatkan aerasi oksigen antar sel. Secara umum, tekstur kalus dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : kompak (non friable), intermediet, dan remah (friable) (Turhan 2004). Tekstur pada kalus dapat bervariasi dari kompak hingga remah bergantung pada jenis tanaman yang digunakan sebagai eksplan, komposisi nutrisi medium, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan tumbuh. Kalus yang dihasilkan pada media inisiasi akan mengalami kematian setelah lama berada dalam media karena nutrisi dalam media semakin lama semakin berkurang/habis.

Pada hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tekstur kalus (Tabel 16 pada Lampiran 2) dapat dilihat bahwa tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dengan BAP (non significant). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nisa dan Rodinah (2008) yang menyatakan bahwa interaksi campuran NAA dan kinetin pada kultivar pisang tidak berpengaruh nyata terhadap saat pembentukan kalus. Hal ini terjadi kemungkinan karena pembentukan kalus pada bakal buah pisang hanya dipengaruhi oleh kandungan auksin saja. Pemberian 2,4-D maupun BAP, masing- masing juga tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur kalus. Hasil analisis deskriptif pada variabel tekstur kalus dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap tekstur kalus

pada kultur in vitro mabai BAP

− : tidak muncul kalus; 1: kompak.

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 4 perlakuan yang menghasilkan kalus, keempatnya menghasilkan kalus dengan tekstur kompak dan memiliki ikatan antar sel yang kuat. Kalus yang kompak memiliki tekstur yang sulit untuk

commit to user

dipisahkan dan terlihat padat. Beberapa kalus mengalami lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Menurut Ertina et al. (2011) pembentukan kalus terjadi karena adanya pelukaan yang diberikan pada eksplan, sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak tersebut. Pada awalnya terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air, sehingga sel akan membengkak dan selanjutnya terjadi pembelahan sel.

Gambar 1. Kalus mabai dengan tekstur kompak.