Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA
PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG
RAKYAT DI PROVINSI JAWA TIMUR

LIDYA SIULCE KALANGI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Efisiensi
Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi
Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Lidya Siulce Kalangi
NIM H363090121

RINGKASAN
LIDYA SIULCE KALANGI. Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha
Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur.
Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT, SRI UTAMI KUNTJORO, dan
ATIEN PRIYANTI.
Pengembangan sapi potong salah satunya melalui peningkatan populasi
merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung program
swasembada daging sapi dengan memperkecil kesenjangan antara produksi dan
konsumsi. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produksi daging sapi yaitu meningkatkan efisiensi usaha sapi potong di dalam
negeri secara berkesinambungan. Jawa Timur merupakan salah satu sentra
produksi sapi potong, sebagai lumbung pertanian yang berpotensi dalam
mendukung pengembangan ternak sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk
(1) membandingkan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dari usaha
perkembangbiakan ternak sapi potong yang ada di dataran rendah dan dataran

tinggi di Jawa Timur, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
inefisiensi teknis dan penyebab terjadinya inefisiensi dalam usaha
perkembangbiakan ternak sapi potong, dan (3) menganalisis pengaruh biaya
input produksi terhadap keuntungan dan tingkat efisiensi teknis, efisiensi
alokatif dan efisiensi ekonomi usaha perkembangbiakan sapi potong.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Probolinggo dan Malang, Jawa
Timur pada bulan Februari - Maret 2013. Survey dilakukan terhadap 89
peternak responden di dataran rendah (Probolinggo) dan 97 peternak responden
di dataran tinggi (Malang). Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi
tingkat efisiensi teknis usaha peternakan sapi potong yaitu dengan
menggunakan fungsi produksi stokastik frontier. Parameter fungsi produksi
stokastik frontier diestimasi dengan menggunakan metode Maximum
Likelihood Estimations (MLE) dan menggunakan Program frontier 4.1 (Coelli
1996). Estimasi efisiensi ekonomi dilakukan berdasarkan fungsi biaya dual
yang diturunkan dari fungsi produksi, dan efisiensi alokatif dihitung dari ratio
antara nilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis.
Hasil analisis menunjukkkan bahwa rata-rata efisiensi teknis di dataran
rendah lebih tinggi (80%) dibandingkan dengan tingkat efisiensi teknis di
dataran tinggi (66%). Sementara, tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi di
dataran tinggi lebih besar daripada di dataran rendah. Jumlah rumput dan

hijauan, jerami, pakan suplemen, stok ternak sapi, dosis inseminasi buatan
(IB), dan lokasi signifikan dan positif berpengaruh terhadap produksi ternak
sapi potong. Faktor-faktor yang signifikan dapat menurunkan inefisiensi teknis
yaitu angkatan kerja dalam keluarga, tingkat pendidikan, share pendapatan
usaha ternak sapi terhadap total pendapatan rumahtangga, penjualan sapi muda,
pemeriksaan kesehatan ternak, status kepemilikan induk sapi, dan peran
gender. Rata-rata keuntungan di dataran tinggi lebih tinggi daripada di dataran
rendah. Biaya IB mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
keuntungan, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokatif.
Saran implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian yaitu bahwa
pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penyediaan dana

untuk mengadakan sapi dengan bunga bersubsidi, sehingga peternak dapat
memelihara induk milik sendiri. Diperlukan adanya kelembagaan yang dapat
memfasilitasi jual-beli sarana input (terutama pakan) seperti pembentukan
kelompok petani peternak atau mendirikan koperasi untuk menjaga kontinuitas
ketersediaan pakan bagi ternak.
Kata kunci:

efisiensi teknis, efisiensi alokatif, efisiensi

keuntungan, perkembangbiakan sapi potong

ekonomi,

SUMMARY
LIDYA SIULCE KALANGI. Economic Efficiency Analysis of Beef Cattle
Farming in East Java Province. Supervised by YUSMAN SYAUKAT, SRI
UTAMI KUNTJORO, and ATIEN PRIYANTI.
The development of beef cattle farming through increasing number of
population is an effort that should be done to support the beef meat selfsufficiency program by reducing the gap between production and consumption.
Beef cattle farming is commonly practices by farmers for cow-calf production
under a small scale operation. One solution that can be conducted to increase
beef production is to continuously increase efficiency of beef cattle business in
the country. East Java is one of beef cattle production centers, a potential
province for the development of beef cattle population. In addition, these local
resources are supported by the abundant availability of biomass from
agricultural by-products. Objectives of this research are (1) to compare
technical, allocative, and economic efficiency of beef cattle farming operating
in lowland and upland areas of East Java, (2) to identify and analyze factors
affecting the technical efficiency as well as inefficiency of cattle farming, and

(3) analyze the effect of variable input cost on profits and the level of technical,
allocative and economic efficiency of beef cattle farming.
A survey has been conducted to 89 and 97 farmers respectively, in the
lowland and upland areas in the Districts of Probolinggo and Malang during
the period of February-March 2013. The stochastic production frontier function
was used to estimate the level of technical efficiency of beef cattle farming,
followed by Maximum Likelihood Estimations (MLE) method using the
program frontier 4.1 (Coelli 1996). Estimation of economic efficiency is based
on the dual cost function derived from the production function, and allocative
efficiency is calculated from the ratio between the value of economic
efficiency and technical efficiency.
Results showed that the average technical efficiency in lowland area is
higher (80%) compared to that of upland area (66%). Meanwhile, the level of
allocative and economy efficiency in the upland are greater than in the
lowlands. The results indicate that beef cattle production is highly significant
and positively influenced by total of grasses and forages, rice straw, feed
suplements, stock of cattle, labor time allocation and service per conception. In
addition, lowland and upland areas are significant factor that could increase the
efficiency. Some factors that could significantly reduce the technical
inefficiency of beef cattle farming are: number of labor force in the family,

level of education, proportion of beef cattle income to total household income,
age of cattle sold, cattle health examination, ownership status of the cattle, and
the role of gender. Results showed that average profit gained by farmers in the
upland area was higher than that gained by farmers in the lowland area. The
cost of artificial insemination has a positive sign and significant effect on
profits, economic and allocative efficiency.
The study suggests that the government need to facilitate farmers’
willingness to own the cattle by themselves through an interest rate subsidy

program. This is also allowed to support institution building for input
production (priority in feed) to maintain the availability of feed all year round
sustainability.
Keywords: allocative efficiency, beef cattle breeding, economy efficiency,
profit, technical efficiency

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA
PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG RAKYAT
DI PROVINSI JAWA TIMUR

LIDYA SIULCE KALANGI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof (R) Dr Ir I. Wayan Rusastra, APU
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof (R) Dr Ir Tjeppy D Soedjana, MSc
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Judul Disertasi

: Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan
Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur

Nama Mahasiswa

: Lidya Siulce Kalangi

NIM

: H363090121


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusman Syaukat, MEc
Ketua

Prof Dr Ir Sri Utami Kuntjoro, MS
Anggota

Dr Ir Atien Priyanti, MSc
Anggota

Diketahui oleh
Koordinator Mayor
Ilmu Ekonomi Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Hartoyo, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 15 Juli 2014

Tanggal Lulus: 28 Agustus 2014

PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya berkat dan
penyertaanNya, sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Analisis Efisiensi
Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa
Timur” dapat diselesaikan pada waktunya, setelah melalui proses perbaikan dalam
berbagai tahapan penulisan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat
diselesaikan dengan baik tanpa dukungan komisi pembimbing, para penguji, staf
sekretariat, dan keluarga. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Komisi pembimbing, Dr.Ir. Yusman Syaukat, MEc, Prof. Dr. Ir. Sri Utami
Kuntjoro, MS dan Dr. Ir. Atien Priyanti, MSc atas kontribusi yang besar dan
sangat berharga selama proses penyusunan disertasi ini.
2. Para penguji pada ujian tertutup, Prof (R). Dr. Ir. I. Wayan Rusastra, APU dan
Dr. Ir. Anna Fariyanti, Msi, atas kritik dan masukan yang konstruktif untuk

memperbaiki disertasi ini.
3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS atas
arahan dan masukan yang sangat berharga selama proses penyusunan disertasi
mulai ujian kualifikasi sampai ujian tertutup.
4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas ilmu yang
diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan di IPB.
5. Seluruh staf sekretariat EPN yang telah membantu menyelesaikan permasalahan
non-teknis sehingga proses penyusunan dan ujian disertasi dapat berjalan lancar.
6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas tugas belajar yang diberikan kepada
penulis serta dukungan pembiayaan sehingga penulis dapat mengikuti
perkuliahan dengan lancar.
7. Kepala Desa beserta pegawai kantor desa Curahtulis dan Desa Srigonco, para
petugas lapangan (mantri hewan) dari Dinas Peternakan wilayah setempat, serta
staf Loka Penelitian Sapi Potong Grati atas bantuan akomodasi, penginapan dan
informasi sehingga penelitian bisa dilaksanakan dengan lancar sesuai rencana.
8. Rekan-rekan sesama mahasiswa mayor EPN IPB khususnya angkatan 2009 dan
2010 serta rekan-rekan mahasiswa IPB asal Sulut atas kerjasama yang baik dan
dukungan semangat selama kuliah dan proses penyusunan disertasi ini.
9. Kedua orang tua, suami, anak-anak, mertua dan semua keluarga atas doa,
dukungan, pengertian dan kasih sayang, yang selalu menyemangati penulis
untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
Segala kekurangan disertasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Untuk itu, saran berharga sangat diharapkan agar disertasi ini lebih bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014

Lidya Siulce Kalangi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

2

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

7

Ruang Lingkup Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Produksi dan Efisiensi

3

Efisiensi Ekonomi : Konsep dan Pengertian

11

Metode Pengukuran Efisiensi

12

Usaha Peternakan Sapi Potong dan Faktor-faktor yang Berpengaruh

15

Studi Empiris Terdahulu

17

Kebaruan (Novelty) Penelitian

23

Kerangka Pemikiran

24

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data

31
31

Metode Penentuan Sampel

31

Metode Analisis

32
38

Definisi dan Pengukuran Variabel
4

5

9

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN GAMBARAN
UMUM RUMAHTANGGA PETERNAK SAPI POTONG DI JAWA
TIMUR
Penyebaran Sapi Potong di Indonesia

41

Keadaan Umum Wilayah Penelitian

42

Gambaran Umum Rumahtangga Peternak Sapi Potong

43

ANALISIS EFISIENSI USAHA PERKEMBANGBIAKAN TERNAK
SAPI POTONG RAKYAT DI JAWA TIMUR
Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Perkembangbiakan
Sapi Potong di Jawa Timur

51

Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomi Peternak Sapi Potong di
Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Jawa Timur

52

Efisiensi Teknis dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Inefisiensi
Teknis Peternak Sapi Potong di Jawa Timur

55

6

7

Efisiensi Alokatif dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi
Alokatif

59

Efisiensi Ekonomi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi
Ekonomi

60

ANALISIS KEUNTUNGAN USAHA PERKEMBANGBIAKAN
TERNAK SAPI POTONG DI JAWA TIMUR
Komponen Biaya dalam Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi
Potong

62

Perbedaan Keuntungan Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi di
Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

65

Pengaruh Biaya Input Variabel terhadap Keuntungan, Efisiensi
Teknis, Alokatif dan Ekonomi

65

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

69

Saran

70

DAFTAR PUSTAKA

71

LAMPIRAN

79

DAFTAR TABEL
1

2
3
4
5

6
7
8
9
10
11
12
13

14
15

16
17
18
19
20
21

Perkembangan Populasi Ternak Sapi Potong, Pemotongan Sapi,
dan Jumlah Produksi Daging Sapi Domestik dan Impor, Tahun
2006-2011
Perbandingan Antara Metode Parametrik dan Non Parametrik
dalam Penghitungan Efisiensi
Beberapa Studi Empiris tentang Pengukuran Efisiensi dan
Inefisiensi pada Usaha Peternakan Sapi Potong
Deskripsi Kecamatan Tongas dan Kecamatan Bantur
Jumlah Peternak Sapi Potong (Responden) berdasarkan Umur,
Pendidikan dan Pengalaman usaha ternak Sapi Potong di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2013
Jumlah dan rata-rata Penguasaan Lahan Sawah, Tegalan dan
Pekarangan oleh Responden Petani Peternak Sapi Potong
Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Potong Peternak Responden
Tahun 2013
Alasan Penjualan Sapi Potong oleh Peternak Responden di Jawa
Timur
Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan
Struktur Pendapatan Rumahtangga Peternak Sapi Potong di
Jawa Timur
Jumlah Petani Peternak yang Menggunakan Input Produksi pada
Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong
Rata-rata Penggunaan Input dan Harga Rata-rata Input Produksi
oleh Peternak Sapi Potong
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier pada
Usaha Ternak Sapi Potong dengan Menggunakan Metode MLE
di Provinsi Jawa Timur
Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknis Peternak Sapi Potong di
Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Jawa Timur
Distribusi Frekuensi Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Peternak
Sapi Potong di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Jawa
Timur  
Hasil Pendugaan Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi
Stochastic Frontier Peternak Sapi Potong di Jawa Timur
Faktor-faktor Penduga Inefisiensi Alokatif Peternak Sapi Potong
Faktor-faktor Penduga Inefisiensi Ekonomi Peternak Sapi Potong
Rata-rata Biaya, Penerimaan dan Keuntungan per Peternak Sapi
Potong berdasarkan Lokasi di Jawa Timur
Hasil Regresi Biaya Tunai Input Variabel terhadap Keuntungan,
Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi
Hasil Korelasi dari Hubungan antara Keuntungan per Peternak
dan Efisiensi

2
14
19
43

44
45
45
46
47
47
48
49

51
53

54
56
59
61
64
66
68

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Efisiensi Teknik dan Alokatif berorientasi Input
Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Bagan Kerangka Pemikiran
Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi
pada Responden Dataran rendah
5 Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi
pada Responden Dataran rendah

11
25
29
53
54

DAFTAR LAMPIRAN
1 Uji Statistik Perbandingan Penggunaan Input dalam Model
Produksi Stochastic Frontier
2 Uji Statistik Perbandingan Variabel Penduga Inefisiensi dalam
Model Stochastic Frontier
3 Uji Statistik Perbandingan Biaya Input dalam Usaha
Perkembangbiakan Sapi Potong
4 Fungsi Produksi dengan Metode MLE
5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif
6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Ekonomi
7 Pengaruh Biaya Input terhadap Keuntungan
8 Pengaruh Biaya Input terhadap Efisiensi Teknis
9 Pengaruh Biaya Input terhadap Efisiensi Ekonomi
10 Pengaruh Biaya Input terhadap Efisiensi Alokatif
11 Pengaruh Efisiensi terhadap Keuntungan
12 Korelasi antara Keuntungan dan Efisiensi

79
81
83
85
95
96
97
98
99
100
101
102

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Daging merupakan sumber protein hewani yang tidak tergantikan dan
sangat diperlukan bagi perkembangan tubuh manusia. Program swasembada
daging, khususnya daging sapi merupakan program pemerintah dalam upaya
memenuhi kebutuhan daging sapi. Ditjennak (2010) menyatakan bahwa Program
Swasembada Daging Sapi (yang diperbarui dengan Program Swasembada Daging
Sapi dan Kerbau = PSDSK) akan tercapai jika minimal 90 persen kebutuhan
konsumsi daging sapi dapat dipasok dari produksi di dalam negeri. Saat ini,
Indonesia masih mengimpor sekitar 17.5 persen guna memenuhi kebutuhan
konsumsi daging sapi nasional (Kementan 2012).
Kementerian Pertanian (2012) mengungkapkan bahwa persediaan daging
sapi tahun 2012 sebesar 484 ribu ton, yang terdiri dari 399 ribu ton produksi lokal
dan 85 ribu ton berasal dari impor (17.5 persen). Tabel 1 menunjukkan bahwa
persediaan daging sapi tersebut untuk memenuhi kebutuhan 241 juta jiwa
penduduk Indonesia, sehingga menurut Nampa (2012) konsumsi daging sapi di
Indonesia adalah salah satu yang terendah di Asia Tenggara, hanya sekitar 2
kg/kapita/tahun. Apabila jumlah penduduk meningkat dengan pertumbuhan
sebesar 1.49 persen setiap tahun, dan konsumsi daging sapi per kapita pada tahun
2014 menjadi 2.4 kg, maka harus tersedia daging sapi sejumlah 604.64 ribu ton
atau setara dengan 3.36 juta ekor sapi siap potong. Besarnya permintaan daging
sapi yang terus meningkat belum diimbangi dengan ketersediaan dari dalam
negeri. Di sisi lain, untuk mewujudkan program swasembada sapi, maka
maksimal impor sapi bakalan dan daging sapi hanya sekitar 10 persen atau setara
dengan 60.5 ribu ton.
Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi tidak
diantisipasi dengan peningkatan produksi di dalam negeri, maka akan
menyebabkan Indonesia selalu bergantung pada impor. Program swasembada
daging sapi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor terhadap bakalan
dan daging sapi. Ditjennak (2010) menyatakan bahwa program swasembada ini
tidak semata-mata ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan
pengendalian impor, tetapi lebih diarahkan pada konteks peningkatan produksi,
kesejahteraan peternak, kesinambungan usaha peternak sapi untuk meningkatkan
daya saing produksi. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak terhadap pengurangan ketergantungan impor.
Upaya berimbang antara melindungi konsumen untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani dan melindungi peternak selaku produsen untuk
mendukung pengembangan peternakan sapi di dalam negeri merupakan langkah
sangat strategis.
Jika kebijakan perimbangan tidak dilakukan, kondisi
ketergantungan terhadap impor akan semakin menguat, dan dapat menurunkan
daya saing peternakan sapi domestik, menguras devisa negara, menghambat
program-program pengentasan kemiskinan (memperkecil kesempatan kerja dan
menghambat pendapatan peternak), dan mengakibatkan terpuruknya usaha
peternakan rakyat dengan keterlibatan tenaga kerja keluarga peternak yang tidak
kecil (Ilham 2006, Ditjennak 2010).

2

Tabel 1. Perkembangan Populasi Ternak Sapi Potong, Pemotongan Sapi, dan
Jumlah Produksi Daging Sapi Domestik dan Impor, Tahun 2006-2011

Populasi ternak sapi
potong (ribu ekor)
Pemotongan sapi
(ribu ekor)
Produksi (ton)
a. Asal domestik
b. Asal impor

2007

2008

2009

2010

2011

2012

11 515

12 257

12 760

13 582

14 824

1 886
339 479

1 154
392 509

1 286
404 515

1 324
417 040

1 519
449 310

1 421
484 000

298 479
41 000

266 809
125 700

196 727
207 788

195 810
221 230

292 460
156 850

399 000
85 000

15 981

Sumber : Ditjennak (2008, 2009, 2010), Kementan (2012) (diolah)

Kebijakan pengendalian impor, khususnya untuk daging sapi sangat
diperlukan. Kenyataan bahwa harga daging dan sapi bakalan impor relatif lebih
murah dibandingkan dengan harga domestik, menjadikan tantangan tersendiri bagi
usaha tersebut di dalam negeri. Hal ini sangat erat terkait dengan tingkat efisiensi
usaha sapi potong di dalam negeri. Pada umumnya usaha ini berorientasi sebagai
tabungan atau usaha sambilan, belum menjadi usaha pokok yang berorientasi pada
tingkat produksi.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap peningkatan produksi
daging sapi adalah meningkatkan efisiensi usaha sapi potong di dalam negeri
secara berkesinambungan. Efisiensi produksi ini terkait dengan penggunaan input
produksi mulai dari ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan
kesehatan hewan, serta inovasi teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya.
Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan pemerintah
dapat dijadikan peluang dalam pengembangan usaha ternak sapi domestik.
Besarnya potensi sumber daya lokal seperti limbah pertanian sebagai
sumber pakan, serta tingginya angka pengangguran, dapat menjadi faktor
keunggulan bagi pengembangan peternakan sapi potong.
Dalam rangka
membangun peternakan sapi potong di dalam negeri, beberapa faktor yang harus
menjadi perhatian adalah : (a) produk peternakan sapi potong (daging sapi) harus
mampu dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga terjangkau, (b) peternak sapi
potong secara finansial harus meraih keuntungan untuk perbaikan kehidupannya,
sekaligus untuk peningkatan produksi yang berkesinambungan, (c) pada struktur
perekonomian nasional, usaha ternak sapi potong rakyat harus memberikan
kontribusi, artinya proses produksi secara ekonomi harus efisien dan bukan
merupakan usaha produksi yang memboroskan sumberdaya nasional, (d)
pemanfaatan sumberdaya lokal yang cukup berlimpah, sehingga kesinambungan
usahanya dapat dipertahankan (Kuswaryan et al. 2004).
Usaha sapi potong dapat dikelompokkan dalam beberapa aktivitas yang
saling terkait, yaitu : (a) pelestarian atau konservasi, (b) pembibitan atau
peningkatan mutu genetik, (c) perkembangbiakan atau cow calf operation (CCO),
serta (d) pembesaran atau penggemukan. Yang menjadi masalah di Indonesia saat
ini adalah kegiatan CCO untuk menghasilkan sapi bakalan tidak mampu
mencukupi kebutuhan sapi bakalan atau feeder cattle (Ditjennak 2010).

3

Ketersediaan pakan rumput saat ini semakin terbatas, akibat semakin
luasnya lahan yang dikonversi untuk penggunaan lain, ketidakpastian pemilikan
lahan, dan terjadinya degradasi kualitas lahan padang rumput. Daya dukung
pakan yang rendah sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan populasi
ternak sapi secara nasional. Keterbatasan pakan juga memicu timbulnya berbagai
jenis penyakit dan mendorong peningkatan angka kematian ternak. Pemanfaatan
pakan alternatif berupa by-product tanaman pangan dan tanaman pakan lainnya
masih belum optimal dilakukan, sementara ketersediaan sumber daya pakan
tersebut sangat berpotensi untuk peningkatan populasi dan produktivitas ternak
sapi (Soekardono 2009).
Usaha peternakan di Jawa Timur merupakan salah satu bagian penting
dalam pembangunan sektor pertanian. Kegiatan ekonomi yang berbasis
peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki prospek ke
depan. Jawa Timur mempunyai potensi pengembangan usaha ternak sapi cukup
tinggi jika ditinjau dari potensi sumberdaya alam seperti ketersediaan sumberdaya
lahan, pakan, sumberdaya ternak, sumberdaya manusia serta permintaan. Potensi
permintaan baik untuk konsumsi daging lokal maupun antarpulau.
Jawa Timur memiliki lahan sawah irigasi, dimana sebagian besar ditanami
padi dua kali dalam setahun bahkan ada yang dapat ditanami tiga kali setahun.
Disamping penggunaan lahan irigasi, wilayah Jawa Timur juga terdapat lahan
kering yang potensial untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong.
Tersedianya lahan kering yang relatif luas, sangat potensial bagi ketersediaan
limbah pertanian, dengan kata lain bahwa Provinsi Jawa Timur disamping
merupakan lumbung pertanian juga merupakan lumbung ternak secara nasional.
Hal ini berdampak positif sehingga pengembangan ternak sapi potong di
masyarakat berkembang pesat. Usaha ini ini juga mampu memberikan peluang
usaha dan pendapatan sebagian masyarakat pedesaan, dimana dalam upaya
mendukung swasembada daging sapi, efisiensi produksi usaha peternakan sapi
potong sangat diperlukan. Sebagian besar ternak sapi di Indonesia diusahakan
oleh peternak tradisional di pedesaan. Masalah utama yang menghambat
peningkatan produktivitas sapi adalah kondisi sosial ekonomi peternak yang pada
umumnya berpendidikan rendah dengan modal terbatas. Keadaan ini sangat
berpengaruh terhadap pola pemeliharaan sapi yang dimiliki.
Sapi lokal yang sudah berkembang di Indonesia mempunyai banyak
keunggulan antara lain adalah : (a) reproduktivitas tinggi karena mampu
menghasilkan anak setiap tahun dalam kondisi pakan terbatas, (b) masa produktif
yang panjang karena dapat beranak lebih dari sepuluh kali sepanjang hidupnya
bila dipelihara dengan baik, (c) kualitas karkas dan daging yang baik, serta (d)
dapat dipelihara secara intensif maupun ekstensif. Namun sapi lokal mempunyai
beberapa kekurangan yaitu kurang responsif bila memperoleh pakan prima, dan
bobot potongnya relatif kecil dibanding sapi impor atau sapi silangan hasil IB.
Keunggulan dan kekurangan tersebut dapat merupakan potensi apabila usaha
CCO sapi lokal diusahakan melalui pola Crops Livestock System (CLS) dengan
memanfaatkan limbah pertanian atau perkebunan.
Beberapa penelitian pada sapi yang dilakukan menunjukkan bahwa
efisiensi produksi sapi Peranakan Ongole (PO), yang merupakan plasma nutfah
Indonesia, tidak kalah dibandingkan dengan sapi Peranakan Limousin yang
selama ini dianggap memiliki produktivitas tinggi sebagai penghasil daging.

4

Ditinjau dari efisiensi pemanfaatan pakan, sapi PO juga tidak kalah bila
dibandingkan dengan sapi Peranakan Limousin (Rianto dan Purbowati 2011).
Selanjutnya, dari beberapa laporan hasil kajian Ditjennak (2010) menunjukkan
bahwa sapi Brahman Cross (BX) yang diimpor dari Australia yang diusahakan
dengan pola terintegrasi ternyata tidak mampu bereproduksi sebaik sapi lokal.
Sapi impor tersebut memerlukan pakan yang lebih banyak dan berkualitas untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga membutuhkan biaya
pemeliharaan yang sangat besar.
Inseminasi buatan (IB) telah dilaksanakan pada ternak sapi di seluruh
dunia baik pada negara yang sedang berkembang maupun negara maju untuk
meningkatkan kualitas ternak. Pelaksanaan IB pada program pengembangbiakan
sapi sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas ternak
sehingga menghasilkan keturunan yang superior (Feradis 2009). Namun menurut
Diwyanto et al. (2009), secara komprehensif laporan perihal keberhasilan IB
untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada.
IB tidak dapat meningkatkan persentase kelahiran bila dibandingkan dengan
kawin alam, akan tetapi IB dapat dipergunakan untuk mengatasi kelangkaan
pejantan yang saat ini sulit dijumpai di lapang.
Program persilangan melalui IB yang tidak tepat justru berpotensi
mengurangi produktivitas, meningkatkan kematian, dan memperpanjang jarak
beranak. Kegiatan IB pada sapi potong di Indonesia saat ini mungkin termasuk
yang terbesar di dunia. Hal ini antara lain dikarenakan langkanya pejantan di
beberapa kawasan sentra produksi sapi (Jawa). Di beberapa negara maju, seperti
Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong relatif sangat
terbatas pada kelompok elite untuk tujuan menghasilkan bibit
(pembibitan/pemuliaan), bukan
untuk
kegiatan CCO seperti di Indonesia
(Diwyanto et al. 2009).
Oleh karena itu, analisis efisiensi ekonomi pada usaha perkembangbiakan
(CCO) ternak sapi potong khususnya sapi lokal dalam hal ini sapi jenis Peranakan
Ongole (PO) menjadi faktor penting untuk dikaji dalam upaya meningkatkan
produktivitas ternak yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan peternak
sapi potong.

Rumusan Masalah
Usaha perkembangbiakan ternak sapi potong baik untuk skala kecil
maupun skala besar akan memerlukan inovasi teknologi. Meski inovasi teknologi
untuk skala manapun sama, tetapi kalau alokasi penggunaan input dan manajemen
pemeliharaannya (penanganan yang baik) berbeda, hasilnya juga pasti berbeda.
Efisien tidaknya usaha peternakan tergantung pada input yang digunakan dan
pengembangan teknologi, berupa teknologi IB. Krasachat (2007) mengemukakan
bahwa beberapa faktor seperti ukuran usaha, variasi dari bibit sapi dan perbedaan
dalam penggunaan pakan telah mempengaruhi inefisiensi ekonomi dari usaha
ternak.
Faktor penghambat yang diduga sebagai penyebab rendahnya
produktivitas ternak sapi potong di Indonesia adalah manajemen pemeliharaan
yang belum optimal, yang ditandai dengan sistem pemeliharaan yang masih

5

tradisional, sebagai usaha sambilan dan belum memperhatikan efisiensi
penggunaan input produksi.
Pola usaha ternak sapi potong di Indonesia sebagian besar adalah
pembibitan/perkembangbiakan, dan hanya sebagian kecil peternak yang
mengkhususkan usahanya pada usaha penggemukan karena usaha ini merupakan
usaha padat modal (Yusdja et al. 2003). Upaya peningkatan produksi sapi melalui
peningkatan populasi ternak saat ini dilakukan dengan cara mengawin-silangkan
ternak lokal dengan ternak impor, tanpa diikuti oleh seleksi genetis yang baik.
Akibatnya perbaikan mutu genetis yang diharapkan tidak dapat tercapai dengan
baik. Di Pulau Jawa, praktek persilangan telah banyak dilakukan dengan cara IB.
Jawa Timur merupakan salah satu sentra peternakan sapi potong dengan
populasi sebesar 4.7 juta ekor. Secara geografis wilayah Provinsi Jawa Timur
merupakan wilayah dataran dan pegunungan yang memiliki potensi lahan
pertanian yang besar, dan sangat berpotensi dalam menghasilkan limbah pertanian
yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak. Dengan demikian dapat
memberikan peluang usaha pengembangan ternak sapi dan dapat memberikan
tambahan pendapatan bagi peternak.
Penggunaan jenis IB di Jawa Timur oleh peternak yang berhasil akan
mempengaruhi perilaku peternak yang lain dalam memilih jenis IB yang dianggap
lebih baik dalam meningkatkan produksi dan pendapatan. Usaha budidaya ternak
sapi potong di Jawa Timur terkonsentrasi pada ternak sapi impor (Limousin,
Simental, dan Brahman), dan hanya sebagian kecil yang mengawin-silangkan
dengan sapi lokal (Sapi PO, sapi Bali, sapi Madura). Yusran (2001) dan
Kuswaryan et al. (2004) menyatakan bahwa aplikasi program IB dengan semen
sapi impor pada sapi PO memberi dampak positif terhadap nilai ekonomi / harga
ternak. Hal tersebut karena sapi-sapi hasil IB selalu mempunyai performa yang
lebih baik dengan harga jualnya lebih tinggi dibanding sapi hasil perkawinan alam
dengan sapi pejantan lokal murni pada semua tingkatan umur.
Hadi dan Ilham (2002) mengemukakan bahwa usaha pembibitan sapi
potong secara ekonomi menguntungkan jika peternak menggunakan semen
Simmental atau sederajat dan induk PFH (Peranakan Friesian Holstein), tetapi
kurang prospektif dengan menggunakan induk PO jika untuk tujuan komersial.
Namun pembibitan dengan menggunakan induk PO dengan cara tradisional serta
tidak untuk usaha komersial sampai saat ini masih mampu bertahan dan sangat
dominan.
Dalam suatu usaha peternakan, lokasi pemeliharaan merupakan salah satu
hal utama yang harus dipertimbangkan agar usaha tersebut dapat beroperasi secara
efektif dan efisien. Dataran rendah pada umumnya merupakan daerah yang
memiliki temperatur udara panas, kelembaban udara rendah dan kondisi sumber
pakan ternak terbatas. Aryogi et al. (2005) menduga sapi potong lokal akan lebih
tepat untuk dikembangkan di dataran rendah daripada sapi persilangan.
Sebaliknya Iskandar (2011) menyatakan bahwa induk sapi Peranakan Ongole
(PO) di dataran tinggi mempunyai performans reproduksi yang lebih baik
dibandingkan dengan dataran rendah. Fleming et al. (2010) dalam penelitiannya
tentang hubungan input-output, inefisiensi teknik dan diversifikasi ekonomi pada
usaha penggemukan sapi di Australia, mengemukakan bahwa suatu fungsi
produksi frontier dapat diestimasi dan diketahui dimana daya adaptasi bibit di
daerah tropis lebih jauh dari frontier dibandingkan dengan bibit di daerah sedang.

6

Adanya perbedaan pendapat antara keduanya memberikan peluang untuk
melakukan penelitian ini dengan membagi wilayah penelitian berdasarkan lokasi
dataran.
Usaha perkembangbiakan atau usaha untuk menyediakan sapi bakalan
umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan rumput dan
hijauan relatif kurang, sedangkan usaha penggemukan banyak terdapat di daerah
dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Daerah Probolinggo dan
Pasuruan merupakan dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang
akan tetapi biomasa pertaniannya relatif melimpah terutama pada waktu panen,
sedangkan daerah Malang merupakan dataran tinggi dengan ketersediaan pakan
relatif cukup. Namun untuk menghasilkan pedet dengan bobot badan normal dan
tumbuh sehat, induk sapi selama masa kebuntingan memerlukan pakan dengan
kuantitas dan kualitas yang memadai (Hadi dan Ilham 2002). Lokasi dengan
sumber pakan yang mendukung bagi produksi dan reproduksi ternak akan
memberikan manfaat bagi usaha perkembangbiakan sapi dan juga pendapatan
bagi keluarga peternak.
Pengembangan usaha sapi potong hendaknya didukung oleh industri pakan
dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi. Menurut
Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen
pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak
itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk meningkatkan produksi
tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak.
Beberapa hasil penelitian tentang efisiensi pada usaha tani sudah banyak
dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun studi tentang efisiensi
pada usaha peternakan rakyat khususnya pembibitan/perkembangbiakan ternak
sapi potong di Indonesia masih jarang dilakukan. Hasil penelitian antara lain yang
dilakukan Araji (1976) mengemukakan bahwa efisiensi produksi dipengaruhi oleh
ukuran usaha dan penggunaan sumberdaya, sedangkan efisiensi teknik
dipengaruhi oleh penggunaan input, modal dan stok lahan.
Beberapa penelitian sebelumnya mengukur efisiensi dengan menggunakan
metode parametrik dan non parametrik. Metode parametrik umumnya dengan
pendekatan analisis stochastic produksi frontier, sementara metode non
parametrik dengan pendekatan analisis data envelopment. Sebagian besar
hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pakan, bibit, manajemen
kesehatan seperti kontrol terhadap kesehatan hewan, umur dan pengalaman,
pendidikan, keikutsertaan dalam kelompok, mempengaruhi tingkat efisiensi dan
inefisiensi produksi usaha peternakan pada sapi potong (Featherstone et al. 1997,
Paul et al. 2000, Trestini 2006, Krasachat 2007, Rakipova et al. 2003, Fleming et
al. 2010).
Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan sebelumnya, maka
dapat dirumuskan permasalahan pengembangan usaha sapi potong yaitu sebagai
berikut :
1. Di daerah manakah yang lebih baik secara ekonomi untuk mengembangkan
ternak sapi potong khususnya jenis sapi Peranakan Ongole (PO), apakah di
daerah dataran rendah atau dataran tinggi ?
2. Apakah proses perkembangbiakan ternak sapi potong di Jawa Timur telah
dilakukan secara efisien dilihat dari sisi teknis produksinya dan dari sisi harga
faktor produksinya?

7

3.

Bagaimana pengaruh penggunaan teknologi IB terhadap efisiensi produksi
dan keuntungan peternak?

Tujuan Penelitian
1.

2.

3.

Membandingkan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dari usaha
perkembangbiakan ternak sapi potong yang ada di dataran rendah dan dataran
tinggi di Jawa Timur.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif
dan ekonomi serta penyebab terjadinya inefisiensi dalam usaha
perkembangbiakan sapi potong di Jawa Timur.
Menganalisis pengaruh penggunaan IB dan biaya input produksi terhadap
keuntungan dan tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi
ekonomi usaha perkembangbiakan ternak sapi potong.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini pada batas-batas tertentu diharapkan dapat
memberikan bahan informasi terhadap upaya pemerintah khususnya di Jawa
Timur dalam pengembangan usaha ternak sapi potong dengan menggunakan
teknologi yang berdampak terhadap peningkatan produksi dan peningkatan
pendapatan. Selain itu, diharapkan bermanfaat dalam hal :
1. Memberi masukan dan informasi bagi pihak pengambil kebijakan khususnya
pemerintah daerah dalam merumuskan langkah kebijakan yang berhubungan
dengan produksi dan pendapatan rumahtangga peternak sapi potong.
2. Sebagai pembanding untuk daerah yang lain dalam memilih jenis sapi yang
akan dikembangkan sesuai dengan lokasi peternakan.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembanding untuk studi –
studi dengan isu yang lebih relevan bagi penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus pada aspek produksi di tingkat peternak yang
mengusahakan ternak sapi potong dengan pola perkembangbiakan di wilayah
dataran tinggi yang diwakili oleh Kabupaten Malang dan wilayah dataran rendah
yang diwakili oleh Kabupaten Probolinggo yang ada di Provinsi Jawa Timur.
Analisis mencakup efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi,
dengan memasukkan faktor-faktor inefisiensi. Perhitungan keuntungan dihasilkan
dari selisih penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan diperoleh dari hasil
penjualan ternak sapi (pedet atau muda) yang dihasilkan oleh seekor atau
beberapa induk PO yang dimiliki oleh rumahtangga responden selama satu tahun
sebelum penelitian dilakukan. Pengeluaran berdasarkan total biaya input produksi
yang dikeluarkan secara tunai dan yang diperhitungkan oleh peternak dan biaya
penyusutan. Selain itu dibahas juga hubungan antara efisiensi, keuntungan dan
biaya produksi.

8

Sampel dalam penelitian yaitu peternak yang memelihara induk sapi
potong lokal yaitu Peranakan Ongole (PO), yang dibudidayakan melalui IB
dengan semen yang berasal dari ternak sapi impor maupun lokal, yang tujuan
pemeliharaannya sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga. Oleh karena
dalam satu kandang terdiri dari satu ekor atau lebih, sehingga sulit untuk
menghitung ketepatan konsumsi pakan per ekor ternak sapi, maka perhitungan
efisiensi dan keuntungan dihitung per responden peternak.
Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis
usaha peternakan sapi potong yaitu dengan menggunakan fungsi stochastic
production frontier. Parameter fungsi produksi stochastic frontier diestimasi
dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimations (MLE) dan
menggunakan Program frontier 4.1 (Coelli 1996). Estimasi efisiensi ekonomi
berdasarkan fungsi biaya dual yang diturunkan dari fungsi produksi, dan efisiensi
alokatif dihitung dari ratio antara nilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis.

9

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Produksi dan Efisiensi
Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier
Fungsi produksi merupakan konsep utama dalam penelaahan ekonomi
produksi. Produksi adalah proses penggabungan masukan dan mengubahnya
menjadi keluaran. Sejumlah masukan diperlukan untuk memproduksi sejumlah
output. Meskipun ukuran produsen bervariasi, tetapi semuanya menggunakan
masukan dan mengubahnya menjadi segala sesuatu yang berguna yang disebut
keluaran (produk). Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara sejumlah
input (faktor produksi) yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam
proses produksi (Doll dan Orazem 1984, Debertin 1986).
Beattie dan Taylor (1994) mendefinisikan fungsi produksi sebagai output
maksimum yang dapat dicapai dari penggunaan sejumlah input dan teknologi
tertentu. Beberapa asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi adalah: (Doll
dan Orazem 1984, Beattie dan Taylor 1994).
1. Proses produksi merupakan proses monoperiodik, artinya bahwa aktivitas
produksi dalam satu periode waktu benar-benar terpisah atau independent
terhadap periode rangkaiannya.
2. Seluruh input dan output dalam proses produksi adalah homogen, artinya tidak
ada perbedaan kualitas input maupun output dalam berbagai tingkatan.
3. Fungsi produksi merupakan fungsi yang “twice continuously differentiable”
4. Hubungan fungsi produksi dengan produk dan input dianggap pasti.
5. Akses dan ketersediaan input tidak terbatas, hal ini menunjukkan bahwa
anggaran yang tersedia untuk pembelian input tidak terbatas.
6. Tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan.
Analis ekonomi memberi batasan efisiensi sebagai ‘alat ukur’ untuk
menilai pilihan-pilihan yang dilakukan produsen. Konsep efisiensi merupakan
suatu ukuran relatif dari input yang digunakan untuk menghasilkan produk
tertentu. Suatu metode produksi dikatakan efisien secara teknis, jika untuk
menghasilkan jumlah produk tertentu digunakan input minimum atau untuk
menghasilkan jumlah output maksimum digunakan input yang jumlahnya tertentu.
Untuk mencapai efisiensi ekonomi harus dipenuhi dua syarat, yaitu (1) syarat
keharusan (necessary condition) dan (2) syarat kecukupan (sufficient condition).
Dalam proses produksi, syarat keharusan akan terpenuhi bila (Doll and Orazem
1984): (1) dengan faktor produksi yang sama, produsen tidak mempunyai
kemungkinan lagi untuk menghasilkan jumlah produk yang lebih tinggi dan (2)
dengan faktor produksi yang lebih kecil, produsen tidak mungkin menghasilkan
jumlah produk yang sama. Syarat kecukupan (sufficient condition) merupakan
indikator pilihan (choice indicator) berupa rasio harga input dengan harga output.
Sama halnya dengan yang dikemukakan Coelli et al. (1998) bahwa suatu
proses produksi dapat dikatakan lebih efisien dari proses lainnya jika proses
tersebut menghasilkan output yang lebih besar pada tingkat korbanan yang sama.
Suatu proses produksi yang menggunakan korbanan yang paling kecil, juga
dikatakan lebih efisien dari proses produksi lainnya, jika menghasilkan nilai
output yang sama besarnya. Perubahan teknis akibat adanya perbaikan teknologi

10

akan menggeser kurva fungsi produksi frontier ke atas, sehingga dengan
penggunaan input (x) yang sama akan menghasilkan output (y) yang lebih besar.
Farrel (1957) menyatakan bahwa produksi frontier sebagai best practice
frontier. Fungsi produksi frontier telah banyak diaplikasikan dalam studi empiris
bidang pertanian. Salah satu keunggulan fungsi produksi frontier dengan fungsi
produksi lainnya adalah kemampuannya untuk menganalisis keefisienan dan
ketidakefisienan teknik suatu proses produksi. Hal ini bisa terjadi karena kedalam
model dimasukkan suatu kesalahan baku yang mempresentasikan efisiensi teknik
ke dalam suatu model yang telah ada kesalahan bakunya.
Beberapa konsep yang sering digunakan dalam penelaahan ekonomi
produksi antara lain elastisitas input, elastisitas produksi, dan skala usaha.
Elastisitas produksi (Ep) didefinisikan sebagai persentase perubahan output yang
disebabkan oleh persentase perubahan masukan (input) yang digunakan.
Elastisitas input (ei) mengambarkan perubahan output yang disebabkan oleh
perubahan input ke-i. Elastisitas produksi merupakan penjumlahan semua
elatisitas input ( Σ ei) dan menggambarkan skala usaha (return to scale).
Fungsi produksi frontier (frontier production function) memiliki definisi
yang hampir sama dengan fungsi produksi klasik dalam menjelaskan konsep
efisiensi. Fungsi produksi frontier dipakai untuk mengukur bagaimana fungsi
yang sebenarnya terhadap posisi frontiernya. Coelli et al. (1998) menyatakan
bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan
output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Doll
dan Orazem (1984) menjelaskan fungsi produksi frontier merupakan fungsi
produksi maksimal yang dapat diperoleh dari sejumlah kombinasi faktor produksi
pada tingkat teknologi tertentu. Dengan demikian fungsi produksi frontier
menggambarkan hubungan fisik antara faktor produksi dengan output yang
posisinya terletak pada isoquant. Jika suatu kegiatan usahatani berada pada titik
di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis.
Apabila fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis
melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya.
Konsep Produktivitas dan Efisiensi
Produktivitas dan efisiensi merupakan konsep yang sering digunakan
namun berbeda arti. Produktivitas merupakan konsep absolut yang diukur dari
rasio output dengan input, sementara efisiensi merupakan perbandingan relatif
antara output (hasil dalam ukuran fisik atau rupiah) dengan input (faktor biaya
yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut) terhadap rasio output dengan
input pada kondisi optimal. Produktivitas mengukur produk dalam jumlah fisik
dan merupakan kemampuan faktor produksi dalam menghasilkan output. Jadi
produktivitas adalah rasio antara output (nilai tambah, penerimaan) dengan input
yang digunakan. Jika hanya satu input yang digunakan disebut dengan
produktivitas parsial, dan bila seluruh input digunakan, disebut dengan
produktivitas total (total factor productivity). Produktivitas sama dengan jumlah
output total dibagi dengan jumlah input yang digunakan.
Efisiensi digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi dari sebuah
perusahaan atau usahatani. Pengukuran efisiensi dimulai dengan konsep yang
dikemukakan oleh Farrel (1957) yang mendefinisikan efisiensi sebagai
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dengan

11

penggunaan sejumlah input tertentu. Produksi potensial maksimal (juga dikenal
dengan best practice frontier) didifinisikan oleh produksi frontier. Pengukuran
efisiensi menyangkut pengukuran jarak dari titik data yang diobservasi terhadap
frontiernya. Selanjutnya dikemukakan beberapa alasan pentingnya pengukuran
efisiensi : (a) masalah pengukuran efisiensi produksi suatu industri adalah penting
untuk ahli teori ekonomi maupun pengambil kebijakan ekonomi, (b) jika alasan
teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi harus diuji, maka penting
untuk mampu membuat pengukuran efisiensi aktual, (c) jika perencanaan
ekonomi sangat terkait dengan industri tertentu adalah penting untuk
meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya tambahan atau meningkatkan
efisiensinya.

Efisiensi Ekonomi : Konsep dan Pengertian
Efisiensi merupakan konsep penting dalam mengukur kinerja ekonomi
suatu proses produksi. Efisiensi dalam produksi disebut dengan efisiensi ekonomi
atau efisiensi produktif. Hal ini menggambarkan keberhasilan dalam produksi
mencapai output maksimum dari penggunaan sejumlah input tertentu. Efisiensi
dalam usahatani terdiri atas efisiensi teknik dan alokatif.

.

S

x2/y

..
P

A

.
R

.Q

.

Q’

0

.
A’

S’

x1/y

Sumber : Coelli et al, 1998

Gambar 1. Efisiensi Teknik dan Alokatif berorientasi Input
Efisiensi Teknis (TE)
Efisiensi teknik (TE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk mencapai
output tertentu dengan penggunaan input minimal atau kemampuan perusahaan
untuk mencapai output maksimal dengan penggunaan sejumlah input tertentu.
Apabila suatu usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya
usahatani tersebut efisien secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui

12

maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif
terhadap frontiernya. Titik Q pada Gambar 1 merupakan titik yang paling efisien
secara teknis.
Efisiensi Alokatif (AE)
Konsep efisiensi alokatif agak berbeda dengan konsep efisiensi teknis
meskipun menggunakan pendekatan fungsi produksi. Efisiensi alokatif atau
efisiensi harga merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk menggunakan
input pada proporsi yang optimal pada harga faktor dan teknologi produksi
tertentu yang tetap atau kemampuan suatu perusahaan untuk memilih tingkat input
minimum dimana harga-harga input dan teknologi tetap. Efisiensi alokatif sudah
memperhitungkan faktor harga input. Seorang petani dikatakan efisien secara
alokatif apabila petani mencapai keuntungan maksimum pada saat nilai produk
marginal setiap faktor produksi sama dengan biaya marginalnya atau kemampuan
petani dalam menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi ratio biaya
input. Pada Gambar 1 titik yang efisien secara alokatif berada pada titik Q’.
Efisiensi ekonomi (EE)
Gabungan kedua efisiensi teknis dan alokatif disebut efisiensi ekonomi,
artinya bahwa produk yang dihasilkan baik secara teknik maupun alokatif efisien.
Efisiensi ekonomi dapat juga dikatakan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh
petani dalam berproduksi untuk menghasilkan sejumlah output yang telah
ditentukan sebelumnya. Titik Q’ seperti dalam Gambar 1 selain efisien secara
alokatif juga efisien secara ekonomis. Secara ekonomi efisien bahwa kombinasi
input-output akan berada pada fungsi produksi frontier dan jalur pengembangan
usaha. Efisiensi ekonomis dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum
profit (profit maximization) yaitu apabila biaya yang tersedia sudah tertentu
jumlahnya maka menggunakan input optimal untuk memperoleh output maksimal
dan kriteria biaya minimum (cost minimization) yaitu jika output yang akan
dicapai sudah tertentu besarnya maka optimasi dapat diperoleh dengan
meminimumkan biaya.
Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan yang digunakan unt