MODUL: Kebijakan Nasional Perubahan Ikl

  MODUL:

KeBIjAKAN NASIoNAL

  C uadi/TN PErUbahaN IkLIM

  Ahmad F o: ot F

  Disusun Oleh : Natural Resources Development Center Tim Penyusun: Tim Editor: Nurtjahjawilasa Ade Soekadis Kusdamayanti Duryat Delon Marthinus Irsyal Yasman Wahjudi Wardojo

  Modul ini diproduksi oleh The Nature Conservancy dengan dukungan dari Pemerintah

  MODUL: KeBIjAKAN NASIoNAL PErUbahaN IkLIM

  

Disusun Oleh :

Natural Resources Development Center

  Tim Penyusun:

Tim Editor:

  Nurtjahjawilasa Ade Soekadis Kusdamayanti Duryat

  Delon Marthinus Irsyal Yasman Wahjudi Wardojo Yani Septiani

  Rizal Bukhari Lasmini

Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia

  jakarta, November 2013

  KATA PENGaNTar

  Untuk memberikan arahan dalam kegiatan pembelajaran, perlu disusun suatu modul yang dapat digunakan sebagai pedoman dan kumpulan informasi selama proses pembelajaran. Penyusunan modul ini dimaksudkan untuk membantu peserta workshop/seminar/sosialisasi pendidikan dan pelatihan dalam memahami kebijakan-kebijakan nasional khususnya dari sektor kehutanan yang terkait dengan perubahan iklim, sehingga diharapkan setelah mengikuti kegiatan tersebut peserta dapat lebih memahami dan menerapkannnya dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kawasan hutan.

Materi yang disampaikan dalam modul “kebijakan Nasional Perubahan Iklim” ini baru merupakan pengetahuan dasar yang terkait dengan kesepakatan internasional dan kebijakan

  nasional menyikapi isu perubahan iklim dan pemanfaatan karbon hutan. Masih diperlukan referensi yang lebih banyak untuk memahami lebih lengkap dan lebih mendalam, karena perkembangan isu ini sangat cepat, dan saat ini masih dalam tahap penyusunan konsep-konsep yang bisa diterima dan diterapkan oleh semua negara. Khusus untuk Indonesia, proses ini juga masih terus berjalan, sehingga informasi harus terus diperbaharui. Semoga modul ini dapat berkontribusi dalam upaya membangun kesamaan pemahaman para pemangku kewenangan kehutanan, khususnya dalam pengelolaan hutan produksi, terhadap isu perubahan iklim dan peluang memainkan peran dalam pengurangan target emisi GRK di Indonesia. Jakarta, November 2013 herlina hartanto, PhD.

  Direktur Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia

  DAFTAR

  ISI

  kaTa PENGaNTar _______________________________________________________ iii DaFTar ISI _______________________________________________________________ v DaFTar TabEL___________________________________________________________ vii DaFTar GaMbar _______________________________________________________ viii

  I. Pendahuluan __________________________________________________________ 1

  Ruang Lingkup Mata Diklat

  1 Tujuan Pembelajaran

  1 Manfaat Pembelajaran

  2 Latar Belakang

  2 II. kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim __________________ 7 Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan

  Pembangunan

  7 Tujuan UNFCCC

  7 Kelembagaan UNFCCC

  7 Negara dan Aktor Utama

  8 Pertemuan Para Pihak yang Telah Dilaksanakan

  9

  III. komitmen Nasional Menyikapi kesepakatan Internasional tentang Perubahan Iklim ______________________________________________________ 19

  Komitmen Nasional Menghadapi Copenhagen Accord

  19 I V. kerangka kebijakan dan acuan Normatif Pemerintah Indonesia dalam

  Mewujudkan komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim _________ 25

  Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

  27 Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)

  30 Keterkaitan antara RPjP, RPjM, ReNSTRA dengan RAN dan RAD GRK

  31 V. kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan raN dan raD Grk ___________ 35

  

DaFTar PUSTaka _______________________________________________________ 39

  DAFTAR TabEL

  Target Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sampai dengan

  Tabel 1

  Tahun 2020

  21 Tabel 2 Rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) sampai dengan tahun 2020 (PP Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

  28 Tabel 3 Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK

  36

  

DAFTAR

GaMbar

  Gambar 1 Sektor-sektor Penghasil emisi Karbon di Dunia

  3 Gambar 2 Konstribusi emisi Nasional Tiap Sektor Tahun 2000.

  3 Gambar 3 Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia.

  5 Gambar 4 Penurunan Tingkat Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009

  5 Gambar 5 Skema Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020

  20 Gambar 6

  20 Graik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020

  Gambar 7 Proyeksi emisi Bussiness As Usual dari Sektor Kehutanan

  21 Gambar 8 Diagram Angka Deforestasi Rata-rata Tahun 2003-2006

  22 Gambar 9 Laju Deforestasi Indonesia dari Tahun 1990-2011

  22 Gambar 10 Bagan Substansi dari RAD GRK

  30 Gambar 11 Kerangka Rencana Aksi Daerah (RAD GRK)

  31 Gambar 12 Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK

  32 Gambar 13 Para Pemangku Kepentingan RAN GRK dan RAD GRK

  34 Sistem Koordinasi Pelaksanaan dan Pelaporan RAN/RAD GRK

  Gambar 14

  dan Inventarisasi GRK

  37 Gambar 15 Alur Mekanisme Pemantauan, evaluasi dan Pelaporan Pencapaian RAN GRK dan RAD GRK

  38 I PeNDAHULUAN ruang Lingkup Mata Diklat:

  Mata diklat Kebijakan Nasional Terkait Perubahan Iklim menjelaskan 4 sub-materi pokok yaitu :

  • Kesepakatan Internasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim • Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional tentang Perubahan Iklim • Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah Indonesia dalam Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim • Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
  • Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
  • Keterkaitan antara RPjP, RPjM, ReNSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK
  • Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK

  Tujuan Pembelajaran

  Penyampaian materi mata diklat Kebijakan Nasional terkait Perubahan Iklim bertujuan untuk :

  • Memberikan pemahaman kepada peserta pendidikan dan pelatihan mengenai Kesepakatan Internasional dalam menghadapi perubahan iklim dan komitmen yang dinyatakan oleh Pemerin tah Indonesia menyikapi kesepakatan internasional tersebut, kerangka kebijakan dan acuan normatif Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan komitmen nasional terkait dengan perubahan iklim yaitu berupa (RAN dan RAD GRK), dan kerangka institusi pendukung pelaksanaan RAN dan RAD GRK
  • Memberikan bekal pengetahuan kepada peserta diklat untuk dapat mewujudkan komitmen penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan dengan skema 26% (BAU) dan 41% (dukungan internasional) dalam pelaksanaan tugas

  Manfaat Pembelajaran

  Manfaat setelah mengikuti pembelajaran materi ini adalah bahwa peserta dapat memahami dengan jelas tentang :

  • Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim • Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional Perubahan Iklim • Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah dalam Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim • Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
  • Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
  • Keterkaitan antara RPjP, RPjM, ReNSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK
  • Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK

  Latar belakang

  Terkait dengan isu perubahan iklim, semua orang pasti sepakat bahwa dampak yang ditimbulkannya menjadi sangat serius apabila tidak diantisipasi, namun pada kenyataannya sangat sulit mencari titik temu tentang penyebabnya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Meteorological organization (WMo) dan United Nations environment Programme (UNeP) menyebutkan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh berbagai hal yang satu dan lainnya saling terkait. Sektor energi merupakan penghasil emisi karbon yang menggelontorkan 12.628 Mt Co2e ke atmosfer. Selain itu deforestasi dan degradasi hutan dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim global. Negara-negara seperti Brazil dianggap menyumbang emisi yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 2.563 dan 1.372 MtCo2e. Peringkat ketiga penghasil emisi adalah sektor pertanian, dengan total emisi sebesar 2.912 MtCo2e yang didominasi negara Cina, diikuti Brasil dan India. Sedangkan emisi karbon yang berasal dari sampah diperkirakan sebesar 635 MTCo2e yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, Cina dan India. Total emisi karbon yang dihasilkan empat sektor tersebut mencapai kurang lebih 20.645 MTCo2e (IPCC, 2000).

  Berdasarkan data Human Development Report yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2008, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan peringkat ke-14 untuk penghasil emisi karbon di dunia, jauh dibawah negara-negara maju yang menggelontorkan karbon ke atmosfer dari aktivitas industrinya. Besar kecilnya jumlah emisi di suatu negara tentu juga dipengaruhi luas wilayah dan jumlah penduduk di negara tersebut. Dengan demikian, apabila emisi yang diperhitungkan adalah jumlah emisi per satuan luas wilayah atau per kapita penduduk tentu Indonesia bukan termasuk negara penghasil emisi yang besar. Tidak berarti Indonesia hanya akan berdiam diri menghadapi ancaman perubahan iklim, tetapi dengan logika seperti ini diharapkan kita dapat membuat perencanaan dan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim secara lebih rasional dan proporsional dalam kerangka pembangunan nasional berkelanjutan.

  Total Emissions in 2000 : 42 GtCO2e Gambar 1. Sektor Penghasil Emisi Karbon di Dunia (Sumber: Stern, 2006) Gambar 2. Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor tahun 2000 (Sumber: SNC, 2010). emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia sebagian besar bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) akibat illegal logging, kebakaran,

  over cutting , perladangan berpindah dan perambahan. Mengurangi laju deforestasi dan degradasi

  hutan merupakan sebuah keniscayaan untuk mencegah bencana lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim, namun tuduhan bahwa deforestasi dan degradasi hutan adalah salah satu sumber emisi karbon terbesar patut dipertanyakan dan dijelaskan secara teknis. Pertanyaan ini patut dikemukakan karena konsekuensi dari diagnosa yang salah terhadap sumber emisi akan mempengaruhi efektivitas mitigasi yang dilakukan. Implikasi dari kesalahan dalam mengidentiikasi sumber emisi karbon ini pantas dikhawatirkan karena satu sisi cenderung membiarkan negara- negara industri emitter karbon terus menggelontorkan emisi, sementara pada saat yang sama (berpotensi) mengesampingkan hak-hak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang pemilik hutan.

  Vegetasi hutan dan tanah menyimpan ± 7.500 Gt Co2 (> 2 x Co2 di atmosfer). Hutan menyimpan ~ 4.500 Co2 (> Co2 di atmosfer). jumlah karbon yang dapat diserap hutan sangat tergantung dari jenis/tipe dan karakteristik hutan. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40% dari hutan dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50% lebih besar dari kapasitas tegakan di luar hutan tropis. Itulah sebabnya hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan GRK karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon.

  Deforestasi mengemisi sekitar 8 Gt Co2 per tahun (WRI, 2002). Apabila deforestasi merupakan 17-18 % dari masalah (emisi GRK) maka yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan minimal 17-18% dalam rangka mengurangi sumbangan emisi karbon ke atmosfer (WRI, 2002). Gambar 2 dan 3 berikut ini adalah ilustrasi mengenai kondisi kawasan hutan di Indonesia dan tingkat penurunan tutupan lahan hutan dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2009. Gambar 3. Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer) Gambar 4. Tingkat Penurunan Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009 (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer)

  Karena pentingnya peran hutan dalam memitigasi perubahan iklim, maka tindakan-tindakan seperti praktik pengelolaan hutan produksi lestari, pengelolaan kawasan konservasi dan lindung, pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan akan mengurangi emisi Co2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim.

  Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan di lahan-lahan yang terdegradasi, serta kegiatan restorasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pengelolaan Hutan Lestari merupakan kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan iklim.

  II KeSePAKATAN

  INTeRNASIoNAL MENGhaDaPI PErUbahaN IkLIM

konferensi Tingkat Tinggi bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan

  Pada bulan juni tahun 1992 di Rio de janeiro, Brasil, —pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth

  

Summit ) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and

Development/UNCED ), telah disepakati yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding)

  tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ UNFCCC yang mulai berlaku sejak 21 Maret 1994. Pada KTT Bumi tersebut UNFCCC telah ditandatangani oleh 154 wakil negara. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, CoP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut.

  Tujuan UNFCCC

  Menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) antropogenik untuk menghindari ‘ancaman antropogonik yang berbahaya terhadap sistem iklim. Gas yang dikendalikan adalah metan, nitrogen oksida, dan karbon dioksida. Tujuan akhir konvensi adalah mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu yang menghindari ancaman antropogenik yang berbahaya bagi sistem iklim

  kelembagaan UNFCCC

  Kelembagaan yang mendukung proses negosiasi dibawah payung UNFCCC adalah Conference of

  

Parties (CoP), Konferensi Para Pihak yang merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang

tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratiikasi konvensi.

  CoP bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi. Dengan demikian CoP memiliki kesempatan untuk meninjau pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan Konvensi. CoP diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain. Tempat penyelenggaraan CoP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah. jika tidak ada penawaran, secara otomatis CoP akan diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di Bonn, jerman.

  Negara-negara dan aktor utama

  Dalam Konvensi Perubahan Iklim terdapat 2 blok besar yang terdiri atas negara maju (developed atau industrialized countries) dan negara berkembang (developing countries). Kedua kelompok ini merupakan kelompok negara-negara yang memiliki hak suara dalam konvensi. Di samping itu terdapat pula organisasi non-pemerintah (non-governmental organization) dan lembaga internasional (international organization) yang tidak memiliki hak suara dalam setiap pertemuan tertutup konvensi tetapi dapat melakukan proses interaksi dengan setiap negara baik secara individu maupun kelompok melalui kesempatan-kesempatan di luar acara formal (side events atau special events).

  a. Pihak dalam Konvensi

  b. Kelompok Pihak di Bawah Konvensi

  • Pihak Annex I • Pihak AnnexII
  • Pihak yang Tidak Termasuk ke dalam Annex 1 (Non-Annex Parties)
  • Negara Transisi ekonomi
  • Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries/LDCs)

  c. Kelompok Regional

  d. Kelompok-kelompok Negosiasi Politik

  • Group 77 + Cina • Kelompok Afrika • Kelompok Negara-negara Pulau Kecil (AoSIS)
  • Uni eropa
  • Kelompok Pa>• Environment Integrity Group (>oPeC
  • Negara-negara Pengamat
e. organisasi Non-Pemerintah

  f. organisasi Internasional

  Pertemuan Para Pihak yang telah dilaksanakan beberapa kali sejak tahun 1995: CoP 1 tahun 1995 di Berlin, jerman, yang menghasilkan Berlin Mandate.

  Catatan pentingnya adalah:

  • Fase uji coba kegiatan joint implementation (jI) yang dikenal Activities Jointly Implementation (AjI).
  • Komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mulai dibicarakan secara substansial.
  • Tidak ada tuntutan komitmen bagi negara berkembang dalam protokol.
  • Koalisi G77 (minus oPeC) CoP 2 tahun 1996 di jenewa, Swiss yang menghasilkan Geneva Declaration. Deklarasi jenewa memuat hasil-hasil antara l
  • Pengakuan dan penerimaan para menteri dan ketua delegasi atas Laporan IPCC sebagai laporan ilmiah yang dapat diandalkan sebagai pijakan untuk mengambil tindakan global, nasional dan lokal, khususnya oleh negara-negara Annex 1 dalam rangka menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
  • Ajakan untuk mengembangkan protokol dan instrumen legal lainnya berdasarkan temuan ilmiah.
  • Instruksi kepada para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol yang secara hukum akan mengikat.

  CoP 3 Tahun 1997 di Kyoto, jepang yang menghasilkan Kyoto Protocol.

  • Hasil penting dari CoP 3 adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada Desember 1997 setelah melalui perdebatan dan negosiasi yang panjang dan melelahkan.

  CoP 4 tahun 1998 di Buenos Aires, Argentina

  • Tujuan utama CoP 4 adalah untuk merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto, antara lain dalam alih teknologi dan mekanisme keuangan.

  CoP 5 tahun 2000 di Bonn, jerman.

  • Negoisasi di fokuskan pada hal-hal teknis, beberapa hal diantaranya, antara lain :
  • Penyusunan Guideline untuk persiapan komunikasi nasional bagi negara-negara yang tergabung dalam Anne>• Capacity building
  • Alih teknologi
  • Mekanisme leksibel CoP 6 tahun 2000 di Den Haag, Belanda • Agenda utama CoP 6 adalah menyelesaikan rencana detail pengoperasian Protokol Kyoto yang diuraikan dalam BAPA (CoP 4).

  CoP 7 tahun 2001 di Marrakech, Maroko yang menghasilkan Marrakech Accords. Beberapa keputusan penting dalam sidang ini antara lain:

  • Regulasi operasional tentang jual beli emisi internasional antar pihak dalam protokol dan bagi

  CDM serta implementasi bersama,

  • Regime yang secara garis besar mengatur konsekuensi akan kegagalan dalam pemenuhan target emisi tetapi ditunda bagi negara yang menyetujui protokol sebelum diberlakukannya konsekuensi tersebut secara legally binding, • Prosedur akunting bagi mekanisme yang leksibel.

  CoP 8 tahun 2002 di New Delhi, India. Hal-hal penting yang dibahas dan diputuskan diantaranya adalah:

  • Panduan yang lebih baik bagi komunikasi nasional Negara-negara Non-Annex I;
  • Berbagai isu tentang mekanisme inans>• “Good practice” dalam kebijakan dan tinda>Penelitian dan pengamatan yang sistematis;
  • Kerjasama dengan organisasi internasional terkait; dan
  • Isu-isu terkait metodologi
CoP 9 tahun 2003 di Milan, Italia

  • Kesepakatan yang diadopsi berkaitan dengan kelembagaan dan prosedur implementasi Kyoto Protocol UNFCCC antara lain berhubungan dengan:
  • Deinisi dan modalities bagi dimasukkannya kegiatan aforestasi dan reforestasi ke dalam CDM;
  • Panduan “good practice” bagi penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan (guidance

  on land use, land-use change and forestry (LULUCF));

  • Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund (SCCF)); dan • Dana bagi Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries /LDC Fund).

  CoP 10 tahun 2004 di Buenos Aires, Argentina

  • Kesepakatan terbagi menjadi empat yaitu :
  • Pengaruh buruk perubahan ik>• Impact of the implementation of response measures;
  • Pekerjaan multilateral lanjutan terkait aktivitas di bawah keputusan 5/CP.7; dan • Program kerja SBSTA tentang dampak, kerentanan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

  CoP 11 dan Meeting of the Parties to Protokol Kyoto (CoP/MoP 1) tahun 2005 di Montreal, Kanada. Pada CoP ini disepakati Montreal Action Plan yang merupakan kesepakatan yang bertujuan untuk memperpanjang usia Protokol Kyoto setelah berakhirnya setelah tahun 2012 dan menegosiasikan pengurangan lebih jauh emisi gas rumah kaca. CoP 12 tahun 2005 di Nairobi, Kenya. Pada COP/MOP 2, para pihak membahas isu terkait mekanisme leksibel pada Protokol Kyoto, khususnya CDM dan Joint Implementation. Berbagai isu yang dibahas diantaranya terkait dengan:

  • Mekanisme inansial,
  • Komunikasi nasional,
  • Transfer teknologi,
  • Pembangunan kapasitas, dan
  • Pengaruh buruk perubahan iklim terhadap negara berkembang dan negara terbelakang serta

  response measures dan kebutuhan khusus negara terbelakang CoP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia. Hal penting yang dihasilkan dalam CoP 13 adalah Bali Action Plan, yang diantaranya berisi:

  • ReDD sebagai salah satu aksi mitigasi nasional/internasional yang perlu ditingkatkan
  • jadwal pertemuan the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the

  Convention

  pada tahun 2008 CoP 14 2008 di Poznan, Polandia.

  Isu penting yang akan dibahas pada CoP 14 adalah mengenai capacity building pada negara berkembang, ReDD, transfer teknologi dan adaptasi CoP 15 tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark. Pada bulan November 2009 telah dilaksanakan pertemuan para pihak (CoP) ke 15 di Kopenhagen, yang diikuti oleh negara-negara seperti Afrika Selatan, Denmark, jepang, Papua Nugini, Aljazair, etiopia, jerman, Perancis, Amerika Serikat, Gabon, Korea Selatan, Rusia, Australia, Granada, Lesotho, Arab Saudi, Bangladesh, India, Maladewa, Spanyol, Brasil, Indonesia, Meksiko, Sudan, Cina, Ing gris, Norwegia, dan Swedia. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan 12 butir kesepakatan yang sifatnya tidak mengikat “Copenhagen Accord”, yang secara garis besar isinya adalah sebagai berikut :

  • Menekankan perlunya kemauan politik yang kuat dari setiap negara untuk segera melakukan langkah-langkah antisipasi dan mitigasi perubahan iklim sesuai prinsip umum dengan tanggung jawab dan kemampuan masing-masing. Dalam rangka mengantisipasi potensi dampak pada negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, maka akan dirumuskan suatu program adaptasi secara komprehensif dengan melibatkan dukungan internasional.
  • Dalam rangka menahan kenaikan suhu global dibawah dua derajat Celcius, diperlukan kerja sama untuk mencapai kesepakatan batasan emisi maksimal nasional dan global sesegera mungkin.
  • Peningkatan aksi dan kerja sama internasional untuk adaptasi sangat diperlukan untuk menjamin pelaksanaan konvensi. Negara-negara maju akan membantu menyediakan sumber dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dan membangun ketahanan di negara-negara berkembang.
  • Negara-negara Annex-I akan lebih memperkuat pengurangan emisi yang diprakarsai oleh

  Protokol Kyoto. Pelaksanaan pengurangan emisi dan pembiayaan oleh negara-negara maju akan diukur, dilaporkan dan diveriikasi sesuai dengan pedoman yang telah ada dan yang akan diadopsi oleh Konferensi Para Pihak dan akan memastikan bahwa perhitungan sesuai dengan target dan mekanisme keuangan yang ketat, kuat dan transparan.

  • Negara-negara Non-Annex-I, yakni negara-negara berkembang dan negara-negara kepulauan kecil yang masih berkembang dapat melakukan tindakan sukarela dan atas dasar dukungan untuk melakukan tindakan-tindakan mitigasi perubahan iklim yang diambil dan direncanakan sendiri.
  • Penghargaan terhadap upaya-upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan penyediaan insentif positif dari tindakan tersebut melalui pembentukan mekanisme ReDD+, untuk memungkinkan mobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara maju.
  • Penggunaan berbagai pendekatan, termasuk mekanisme pasar, untuk meningkatkan efektivitas biaya dan mempromosikan tindakan-tindakan mitigasi. Memberikan insentif kepada negara- negara berkembang agar berupaya untuk melakukan pembangunan rendah emisi.
  • Penyediaan dana yang memadai serta peningkatan akses akan diberikan kepada negara- negara berkembang untuk mengaktifkan dan mendukung penyempurnaan tindakan-tindakan mitigasi, termasuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (ReDD+), adaptasi, serta transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Mendorong adanya komitmen kolektif dari negara-negara maju untuk menyediakan sumber investasi melalui lembaga-lembaga internasional sejumlah kurang lebih US$ 30 miliar untuk periode 2010-2012 dengan alokasi yang seimbang antara adaptasi dan mitigasi. Pendanaan untuk adaptasi akan diprioritaskan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan, seperti negara-negara kepulauan kecil yang masih berkembang dan negara-negara Afrika. Dalam konteks tindakan mitigasi yang bermakna dan transparansi pelaksanaan, negara-negara maju berkomitmen untuk mencapai tujuan memobilisasi secara bersama-sama dana sejumlah US$ 100 miliar dolar per tahun pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara-negara berkembang. Pendanaan ini akan berasal dari beragam sumber, umum, swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumber- sumber pembiayaan alternatif. Pendanaan multilateral baru untuk adaptasi akan dikirimkan melalui pengaturan dana yang efektif dan eisien, dengan dan eisien, dengan struktur tata kelola untuk menjamin adanya keterwakilan yang setara dari negara maju dan berkembang. Sebagian besar dana tersebut harus mengalir melalui “Copenhagen Green Climate Fund
  • Akan dibentuk sebuah panel tingkat tinggi yang bertanggung jawab kepada forum Konferensi Para Pihak untuk mempelajari kontribusi sumber-sumber potensi pendapatan, termasuk sumber-sumber pembiayaan alternatif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan Konferensi Para Pihak.
  • Penetapan Copenhagen Green Climate Fund sebagai entitas operasional dari mekanisme keuangan konvensi untuk mendukung proyek-proyek, program, kebijakan dan kegiatan yang lain di negara-negara berkembang yang terkait dengan mitigasi termasuk ReDD+, adaptasi, peningkatan kapasitas, serta pengembangan dan transfer teknologi.

  • Pengembangan suatu mekanisme teknologi untuk mempercepat pembangunan dan transfer teknologi untuk mendukung tindakan adaptasi dan mitigasi yang akan dipandu dengan pendekatan untuk masing-masing negara yang didorong oleh dan didasarkan pada keadaan dan prioritas nasional.
  • Penilaian terhadap pelaksanaan kesepakatan ini direncanakan akan selesai pada tahun 2015, termasuk pertimbangan-pertimbangan ilmiah untuk memperkuat tujuan jangka panjang dalam kaitannya dengan upaya pembatasan kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celcius.

  CoP 16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko Konferensi perubahan iklim PBB ke-16 (UNFCCC CoP 16), yang diadakan pada 29 November hingga 10 Desember 2010 di Cancun, memfokuskan negosiasi pada 4 hal yaitu pendanaan, ReDD, tekhnologi transfer dan adaptasi. Pada pertemuan ini negara-negara pihak yang terlibat dalam perundingan ini tidak mengharapkan adanya suatu kesepakatan bersama yang mengikat (legally

  bin ding ) dalam mengatasi perubahan iklim. Sejumlah poin perundingan ditarik keluar dari kerangka

  kerja UNFCCC, salah satunya ialah pembahasan mengenai mekanisme ReDD+ (Pengurangan emisi dari Deforestasi, Degradasi Hutan, Konservasi, Manajemen Pengelolaan Hutan dan Peningkatan Stok Karbon Hutan) yang berkembang sangat pesat sejak diputuskan di Bali tahun 2007 lalu. “Perjanjian Cancun memberi kerangka kuat bagi masuknya hutan hujan tropis dalam agenda utama penanganan perubahan Iklim, melalui skema ReDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. “Bila tidak sekarang, mungkin baru satu dekade lagi hutan hujan tropis diperhitungkan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, sementara tingkat kerusakannya sudah sangat mengkhawatirkan”. Walaupun negosiasi belum usai dan skema yang mengaturnya belum diputuskan namun sejumlah proyek atas nama proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No.

  68 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Skema ini telah menjual 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, seharga Rp 12,00 per meter perseginya seperti proyek di Ulu Masen, Aceh, Hutan Hujan Harapan di jambi, dan di Kalimantan Tengah dengan Pemerintah Australia (Prasaja, H. 2010) Pemerintah Indonesia juga telah menanda tangani Letter

  of Intent (LoI) dengan Pemerintah Norwegia pada Mei 2010 sebagai salah satu perjanjian bilateral

  dalam skema ReDD dimana Norwegia akan memberikan dana sebesar US$ 1 miliar bagi Indonesia melalui proyek ReDD+. Dana tersebut akan dikucurkan secara bertahap sebesar US$ 30 juta tahun 2011, US$ 70 juta tahun 2012, US$ 100 juta tahun 2013 dan sisanya US$ 800 juta akan diberikan melihat hasil pemantauan pengurangan emisi yang dilakukan Indonesia. CoP 17, tahun 2011 di Durban, Afrika Selatan CoP ke-17 dilaksanakan di Durban, Afrika Selatan (14 Desember, 2011). Hasil negosiasi perubahan iklim PBB di Durban mempunyai arti ganda untuk ReDD+, yaitu dalam hal progres cara penetapan tingkat emisi referensi dan progres pendeinisian ukuran pengurangan emisi dari inisiatif kehutanan, dan adanya keputusan lemah akan safeguard sosial lingkungan, serta kurangnya kemajuan mengenai sumber pendanaan jangka panjang. Fokus negosiasi ReDD+ terletak pada empat topik utama yaitu : pembiayaan, safeguards, tingkat referensi, dan MRV (pemantauan, pelaporan dan veriikasi) emisi karbon dari kegiatan hutan. Dalam safeguards, kemajuan terjadi di tingkat referensi, kemajuan MRV sudah tercapai sejak mula perundingan, sementara tentang pembiayaan ReDD+ baru diputuskan setelah melewati perundingan alot.

  Keputusan Pembiayaan ReDD+:

  • Akan ada pengumpulan input mewakili pandangan berbagai pihak, di dalam lokakarya para ahli. Hasilnya berupa laporan teknis yang akan diterbitkan oleh Sekretariat UNFCCC, semua dokumen ini akan diserahkan sebelum CoP (Konferensi Para Pihak) ke 18 tahun 2012 sebagai

  draft

  keputusan

  • Sistem MRV yang kuat akan membantu ReDD+ dipertimbangkan masuk dalam Mekanisme Pembangunan Bersih • Makna pernyataan tentang bagaimana negara-negara berkembang harus melaporkan pelaksanaan safeguards sosial, lingkungan dan tata kelola telah diperlemah.
  • Keputusan yang kuat tentang tingkat referensi CoP 18 dilaksanakan di Doha, Qatar pada tanggal 26 November – 7 Desember 2012.

  Hasil dari CoP Doha adalah keputusan-keputusan yang terdiri dari:

  • Amandemen Protokol Kyoto termasuk implikasi dari implementasi berbagai metodologi dalam periode komitmen kedua. Hasil amandemen tersebut adalah sebagai berikut :
  • Implementasi dalam Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto (KP-CP2) selama 8 tahun, dari 1 januari 2013 hingga 31 Desember 2020.
  • CDM dan mekanisme leksibilitas lain di bawah KP terus berlanjut
  • Surplus dari penurunan emisi negara maju pada periode pertama diputuskan untuk tidak dapat diperjualbelikan dalam periode kedua
  • Kelanjutan program kerja untuk menyusun kesepakatan rezim pasca 2020
  • Sesuai mandat CoP17, ADP (Pokja untuk menyusun kesepakatan mengenai rezim pasca 2020) telah bekerja sejak Mei 2012

  Kesepakatan:

  • Kesepakatan untuk melakukan adopsi keluaran legal pada tahun 2015
  • Rencana kerja termasuk membahas penurunan emisi antara 2013 - 2020
  • Penyelesaian mandat Bali Action Plan, dengan beberapa keputusan yang terkait dengan implementasinya, termasuk mengenai pendanaan, teknologi, dan adaptasi.

  Keputusan utamanya adalah sebagai berikut:

  • Implementasi aksi penanganan perubahan iklim melalui beberapa institusi yang disepakati di

  Cancun dan Durban termasuk Green Climate Fund, Standing Committee on Finance, Adaptation dan Climate Technology Center

  Committee

  • • Qualitative reassurance dari negara maju untuk realisasi komitme pendanaan jangka panjang,

  antara lain melalui mid-term inancing 2013 - 2015.

  • Diberikannya mandat kepada SBSTA dan/atau SBI untuk membahas elemen - elemen dari Bali

  Action Plan yang belum selesai termasuk ReDD+

  Keputusan-keputusan ini memberikan beberapa peluang bagi Indonesia, diantaranya adalah:

  • Pengembangan kegiatan untuk pasar karbon dapat semakin ditingkatkan; demikian juga jenis kegiatan lain yang akan dapat berperan dalam berbagai pendekatan.
  • Pengembangan aksi mitigasi di bawah Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) untuk selanjutnya disampaikan melalui NAMAs Registry • Peluang dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi
  • Peluang dalam pengembangan dan alih teknologi dengan disepakatinya CTC (Climate Technology Center ) serta jaringannya.

  Berdasarkan laporan dari DNPI 2012, hasil perundingan CoP 18/CMP 8 di Doha yang terkait pasar karbon dan pengembangannya di Indonesia adalah sebagai berikut:

  • CMP (Conference Meeting of the Parties), hasil pertemuan ini adalah telah diambil beberapa keputusan terkait peningkatan eisiensi dari tata kelola CDM. Keputusan - keputusan ini antara lain adalah sebagai berikut.
  • Meminta para pihak untuk mengirimkan submission terkait eisiensi tata kelola CDM.
  • Implementasi dari hasil keputusan sidang CDM Executive Board/CDM - eB ke 70, yang terkait dengan masalah lembaga veriikasi (DOE), panduan pembangunan berkelanjutan, dan metode melakukan pemeriksaan bagi DNA termasuk wewenang pencabutan LoA.

  • Metode pemantauan untuk baseline proyek CDM.
  • Metode pendaftaran dan penerbitan CeR. SBSTA (

  Subsidary Body on Scientiic and Technology Advice), hasil pertemuannya adalah menunda

  pembahasan LULUCF dalam CDM untuk tahun depan dan menunda pembahasan CCS lintas batas negara sampai empat tahun mendatang. SBI (Subsidary Body for Implementation), hasil pertemuan yang terkait pasar karbon belum disetujui, terutama yang berkaitan dengan struktur keanggotaan dari proses banding untuk CDM (CDM

  ) yang direncanakan untuk didiskusikan tahun 2013.

  appe als board

  KP (Kyoto Protocol), hasil keputusan yang terkait terutama adalah mengenai boleh/tidaknya negara non - KP atau yang tidak mempunyai ambisi penurunan emisi (pledges) dalam KP menggunakan CDM untuk memenuhi target penurunan emisinya. Berdasarkan teks keputusan AWG-KP outcomes (paragraf: 12 – 13), maka hasilnya adalah sebagai berikut.

  1. Periode komitmen kedua dimulai dari 1 januari 2013, dimana negara non - Annex I (termasuk Indonesia) diperbolehkan untuk melanjutkan kegiatan CDM yang sedang berjalan maupun proyek yang sudah akan didaftarkan setelah tanggal 31 Desember 2012.

  2. Selain negara non - Annex I, negara Annex I yang boleh melanjutkan kegiatan CDM nya adalah hanya negara yang telah menyampaikan dan mencantumkan target penurunan emisinya dalam dokumen Protokol Kyoto II. Dalam hal ini, negara Annex I yang ikut Protokol Kyoto II tapi tidak mencantumkan ambisi penurunan emisinya (QeLRos) adalah Rusia, Selandia Baru, Kanada, dan jepang.

  LCA (Long Commitment Agreement), yang membahas mengenai rencana pembentukan pasar karbon dan mekanisme penurunan emisi ke depan berbasis pasar telah menghasilkan beberapa keputusan penting terkait pembentukan Framework on Various Approaches (FVA) dan New Market

  (NMM). Berdasarkan hasil yang tercantum di dalam teks AWG-LCA outcomes, maka

  Mechanism

  keputusannya sebagai berikut:

  Framework on Various Approaches (FVA) di LCA, yang termaktub dalam teks keputusan AWG-LCA,

  paragraf 41 – 45): Para pihak secara individu maupun bersama, —dapat mengembangkan serta menerapkan berbagai pendekatan untuk penurunan emisi berdasar pendekatan pasar maupun non-pasar, guna peningkatan kegiatan mitigasi dan efektivitas biaya. Sesuai dengan keputusan CoP di Durban, Decision 2/CP.17, paragraf: 79, semua metode penurunan mitigasi harus memenuhi standar yang memberikan hasil mitigasi yang nyata, permanen, tambahan, dan dapat diveriikasi. Hal ini untuk mencegah terjadinya penghitungan ganda dalam pencapaian

  SBSTA selanjutnya diminta untuk membahas dan menguraikan program kerja untuk pendekatan tersebut, termasuk laporan serta masalah teknis berdasar pengalaman dari mekanisme yang ada. Mempertimbangkan bahwa setiap FVA tersebut akan dikembangkan di bawah otoritas dari CoP.

  New Market Mechanism (NMM) di LCA keputusan utamanya terutama termaktub dalam teks AWG

  • LCA, paragraf 51. Dalam paragraf ini disebutkan bahwa program kerja yang akan dibahas dalam SBSTA untuk pertemuan berikutnya akan terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut : • operasi kegiatan NMM yang akan berada di bawah otoritas CoP.
    • Partisipasi dari voluntary dalam mekanisme.
    • Standarisasi yang memberikan hasil mitigasi yang nyata, permanen, memiliki nilai tambah dan dapat diveriikasi hasilnya.
    • Memenuhi persyaratan dalam melaporkan, mengukur secara akurat dan veriikasi pengurangan emisi.
    • NMM akan sebagai sarana untuk merangsang mitigasi dari segi ekonomi. Kriteria NMM, termasuk penerapan metode konservatif untuk pendirian, persetujuan serta penyesuaian secara berkala (batas crediting).

  Kriteria untuk merekam keakuratan dan konsistensi unit.

  • • Supplementarity<
  • Pembagian untuk menutupi biaya administrasi dan membantu mengembangkan ketahanan adaptasi negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
  • Peningkatan pembangunan berkelanjutan;
  • Partisipasi secara efektif dari badan swasta dan publik; • Fasilitasi awal dari mekanisme.

  Dampak dan implikasi dari hasil perundingan CoP 18/CMP 8 di Indonesia diperkirakan akan cukup luas dalam pengembangan pasar karbon ke depan. Secara umum, sebenarnya hasil perundingan tersebut kurang menggembirakan dan malah diperhitungkan akan menurunkan pengembangan pasar karbon di Indonesia. Hasil dari perundingan tersebut tidak menambah secara riil ambisi penurunan emisi, sehingga pasar karbon tidak memiliki tambahan permintaan. Lebih jauh, tidak dibolehkannya negara jepang, Kanada, Selandia Baru, dan Rusia untuk menggunakan CDM sebagai mekanisme mitigasi perubahan iklim, menyebabkan juga tidak adanya tambahan permintaan untuk CDM sampai dengan periode komitmen kedua Protokol Kyoto berakhir (DNPI, 2012).

  III KoMITMeN NASIoNAL MeNYIKAPI KeSePAKATAN

  INTErNaSIONaL TENTaNG PErUbahaN IkLIM

  Dalam pertemuan para pihak (CoP) di Kopenhagen, November 2009, ada lima poin penting yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia dan diakomodir dalam Copenhagen Accord, yaitu :

  • Perlunya melakukan upaya bagi seluruh negara di dunia untuk menahan agar dampak perubahan iklim tidak sampai menaikkan suhu global sampai dua derajat Celcius pada tahun 2050.
  • Perlunya negara maju menyebutkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara ambisius
  • Perlu adanya pembiayaan dari negara maju untuk penanganan dampak perubahan iklim oleh negara maju dan negara tertinggal.
  • Perlu adanya MRV (measurement, reporting, and verifying) pelaksanaan komitmen penanganan perubahan iklim, dan masalah kehutanan.
  • Perlunya penerapan pola pembangunan yang ramah lingkungan. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca telah di sampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada tanggal 25 September 2009 dalam pertemuan G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia sedang menyusun rangkaian kebijakan yang dapat menurunkan emisi Indonesia sebesar 26% dari skenario “business as usual” (BAU) pada tahun 2020. Presiden juga menjelaskan bahwa dengan dukungan dana internasional Indonesia bahkan dapat menurunkan emisi sampai dengan sebesar 41% pada tahun 2020.
Selanjutnya Presiden menjelaskan bahwa kebijakan tersebut akan terdiri dari peningkatan investasi dalam energi terbarukan seperti pembangkit listrik dari tenaga panas bumi dan menurunkan emisi dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan (land use). Selain itu Presiden menjelaskan bahwa Indonesia sedang mengkaji kemungkinan menurunkan 1 miliar ton Co2 pada tahun 2050 dari skenario BAU, dan mengubah status hutan Indonesia dari penyumbang emisi bersih menjadi penyerap emisi bersih pada tahun 2030

  Gambar 5 . Skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020 (Bappenas, 2012) Gambar 6.

  Graik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020n (sumber : Bappenas, 2012 ) Gambar 7. Proyeksi Emisi Bussiness As Usual dari sektor Kehutanan Tabel 1. Target Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sampai dengan Tahun 2020 (sumber: Perpres No. 61 Tahun 2011)

  Target Pengurangan Emisi (Gton CO2e) Sektor Target 26% Target 41% (dengan usaha sendiri) (dengan dukungan internasional)

  Hutan dan Gambut 0,672 87,6% 1,039 87,4% Pertanian 0,008 6,3% 0,011 6,6% energi dan Transportasi 0,036 1,0% 0,056 0,9% Industri 0,001 0,1% 0,005 0,4% Pengelolaan Persampahan 0,048 5,0% 0,078 4,7% Total 0,767 100,0% 1,189 100,0%

  Walaupun telah disampaikan kesangggupan pengurangan emisi karbon sebesar 26% dari Bussiness (BAU) sejak tahun 2009 dan meskipun serangkaian perangkat hukum telah diterbitkan,

  As Usual

  belum ada hasil-hasil yang terukur dari pemerintah untuk melihat sampai seberapa jauh capaian yang diperoleh sampai saat ini. Satu-satunya yang bisa diketahui adalah pengakuan prestasi penurunan laju deforestasi selama lebih dari 10 tahun terakhir ini. Badan Planologi Kehutanan (2008) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia dari tahun 2003-2006 sebesar 1,17 juta ha/tahun. Angka deforestasi 1,17 juta ha/tahun ini berasal dari kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha (64,8%) dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) dari luar kawasan hutan.

  Sumber: Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2008) Gambar 8. Diagram angka deforestasi rata-rata tahun 2003-2006

  Beberapa laporan terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia cenderung semakin menurun. Santosa (2012) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia periode 2006-2009 sebesar 0,83 juta ha/tahun dan pada kurun waktu tahun 2009-2011 menurun menjadi 0,45 juta ha/ tahun. Sayangnya prestasi penurunan angka laju deforestasi ini tidak serta merta dapat diakui sebagai angka pengurangan emisi GRK karena metodologi perhitungan dan sistem MRV yang digunakan masih diperdebatkan oleh berbagai pihak.

  Gambar 9. Laju Deforestasi Indonesia dari tahun 1990 – 2011 (Sumber: Santosa, 2012) Memperhatikan kondisi tersebut diatas maka salah satu wujud upaya dan komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti dan mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) adalah ditandatanganinya letter of intent (LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (ReDD) pada tanggal 26 Mei 2010. Ada tiga tahap kerja sama dalam kerangka LoI tersebut (DNPI 2010) yaitu :

  Tahap Persiapan (juli – Desember 2010)

  • Penyusunan Strategi Nasional ReDD+
  • Pembentukan Lembaga ReDD+
  • Penetapan Lembaga Independen MRV
  • Penetapan Instrumen Pembiayaan • Penetapan Provinsi Percontohan Tahap Transformasi (2011-2013)
  • operasionalisasi instrumen pembiayaan
  • MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3
  • Moratorium izin baru konversi hutan alam dan gambut
  • Pengembangan database hutan yang terdegradasi untuk investasi
  • Penegakan hukum illegal logging, timber trade dan pembentukan Satuan Tindak Kriminal Kehutanan • Penyelesaian konlik lahan/masalah tenurial Tahap Pembayaran Kontribusi (mulai 2014) Mekanisme ReDD+ merupakan pengembangan dari mekanisme ReDD yang tidak hanya berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup aspek yang lebih luas yakni sustainable forest management (SFM), carbon stock enhancement, dan forest restoration &amp; .

  rehabilitation

  KeRANGKA KeBIjAKAN DAN ACUAN NoRMATIF PeMeRINTAH INDoNeSIA DaLaM MEwUJUDkaN

kOMITMEN NaSIONaL TErkaIT

DENGaN PErUbahaN IkLIM

  IV Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI) telah menghasilkan beberapa peraturan dan

  kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim antara lain adalah :

  • Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi

  Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

  • Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional • Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan