KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP IKLAN DI MEDIA TELEVISI YANG TIDAK MENGHENTIKAN LANGGANAN REGISTRASI (UNREG) ATAS PERMINTAAN PELANGGAN

(1)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP IKLAN DI MEDIA TELEVISI YANG TIDAK MENGHENTIKAN LANGGANAN REGISTRASI

(UNREG) ATAS PERMINTAAN PELANGGAN

Oleh

ELMI KHOLIYAH

Semakin banyak penggunaan handphone oleh masyarakat memunculkan modus operandi kejahatan yang dilakukan oleh segelintir orang untuk mencapai kepentingan pribadi, salah satunya adalah kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan metode Short Message Service (SMS). Pemakai jasa layanan tidak bisa menghentikan SMS walaupun sudah diketik sesuai dengan petunjuk. Adapun permasalahan dari skripsi ini adalah bagaimanakah kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan serta bagaimana kualifikasi delik kejahatan atas fenomena iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana.

Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan. Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpuln secara deduktif.

Dari hasil penelitian dan pembahasan kajian hukum pidana tidak dihentikannya langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan dapat dilihat di Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada Pasal 8 Ayat (1) huruf f tentang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam iklan barang dan/atau jasa, Pasal 16 tentang pelaku usaha yang ingkar janji, dan Pasal 17 Ayat (1) huruf c, d dan e tentang larangan pelaku usaha periklanan memuat informasi yang keliru, tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan jasa serta mengeksploitasi tanpa persetujuan. Perbuatan tidak dihentikannya langganan


(2)

Elmi Kholiyah registrasi merupakan kelalaian dari pihak perusahaan dan telkom sebagai penyedia jasa. Sehingga yang bertanggung jawab adalah perusahaan dan pihak telkom sebagai penyedia jasa. Proses pembuktiannya akan mengalami kesulitan karena saksi ahli dari kejadian tersebut adalah pihak telkom. Pelaku usaha dapat dikenai sanksi pidana yang termuat dalam Pasal 62, dan Pasal 63 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam kasus ini maka SMS dapat dijadikan alat bukti petunjuk untuk memperkuat keakuratan ahli agar hakim dalam pengambilan putusannya secara arif dan bijaksana. Kualifikasi kejahatan dalam kasus ini bukan termasuk dalam penipuan maupun pencurian. Hal itu didasarkan pada perumusan delik terhadap dua tindak pidana tersebut yang tidak sesuai. Perumusan delik yang sesuai adalah dirumuskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e yang menentukan adanya larangan memproduksi iklan yang: memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai jasa; tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian jasa; mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka penulis ingin memberikan saran sebagai bahan pertimbangan agar hukum pidana dapat terlaksana dengan baik adalah untuk segera dibuatkan aturan yang jelas dalam pembuktian. Karena dalam kasus tidak dihentikannya registrasi tersebut walau dalam undang-undang elektronika maupun undang-undang perlindungan konsumen sudah dibuat namun masih kurang untuk menjerat pelaku. Selain itu perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat luas untuk segera melapor apabila terjadi pelanggaran hukum.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pidana adalah keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang: perbuatan yang dilarang, orang yang melanggar peraturan tersebut pidana. Tindak pidana ialah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 1987: 56).

Kemajuan teknologi menjadikan manusia tidak perlu lagi melakukan pekerjaan dengan sulit karena perkembangan teknologi tersebut dapat membantu manusia dalam mengerjakan pekerjaan dengan mudah dan pasti. Segala urusan serta keperluannya, mulai dari transportasi, informasi, komunikasi, dan lain-lain menjadi semakin mudah diselesaikan. Selain itu juga kemajuan teknologi dapat mewujudkan komunikasi secara langsung antara dua orang atau lebih, yang masing-masing berada di tempat yang berbeda dan dibatasi oleh wilayah teritorial tertentu, sehingga mudah untuk mendapatkan informasi atau berita yang di inginkan. Kemajuan teknologi menghasilkan alat yang dapat dipergunakan untuk menempuh perjalanan jauh secara langsung misalnya saja saat ini sudah terdapat Handphone. Untuk memperoleh informasi dengan cepat saat ini sudah dapat di akses melalui jaringan internet atau berita di televisi.


(4)

2

Kemajuan teknologi yang dihasilkan handphone atau telepon seluler yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan HP, kini berkembang sangat hebat. Setiap orang yang menggunakan Handphone bisa melakukan komunikasi secara langsung dengan orang lain dimana saja dan kapan saja. Keunggulan dalam ponsel yang sering dikenal yaitu adanya aplikasi short messege service (SMS) yang diakui sangat populer di dunia. Short messege service (SMS) adalah layanan untuk mengirim dan menerima pesan tertulis (teks) dari manapun kepada perangkat bergerak (mobile device) yang tersusun dari huruf, angka atau karakter alfa numerik serta dikemas dalam satu paket/ frame yang berkapasitas maksimum 160 byte yang dapat di represikan berupa 160 karakter huruf latin atau 70 karakter alfabet arab atau cina. (Pertumbuhan SMS Didunia,2006. www.gsm.com,Januari)

Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 Ayat (1) UURI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. (Pasal 1 Ayat (2) UURI Noomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).

Penggunaan SMS yang mudah dan personal selain itu pengoperasiannya tidak terlalu mengganggu kesibukan pemakainya, karena mereka dapat mengirim atau


(5)

3

menerima pesan pada waktu yang mereka kehendaki. Dampak dari kemajuan teknologi tidak hanya semata-mata berdampak positif, namun juga berdampak negatif. Semakin banyak penggunaan handphone oleh masyarakat banyak memunculkan modus operandi kejahatan yang dilakukan oleh segelintir orang untuk mencapai kepentingan pribadi, salah satunya adalah kejahatan penipuan yang dilakukan dengan menggunakan metode Short Message Service (SMS) yang ada pada handphone.

Kejahatan penipuan tergolong kejahatan Crime as business karena perbuatan yang dilakukan secara terorganisir dan melibatkan berbagai pihak, serta melanggar KUHP Pasal 378 Bab XXV Buku II KUHP tentang penipuan dalam bentuk pokok yang aslinya disebut perbuatan curang. Modus operandi yang dilakukan biasanya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut seorang tertarik dengan layanan seperti ramalan, jodoh, game, zodiak, musik dan sebagainya. Untuk mendapatkan layanan tersebut orang yang tertarik akan mengetik reg ramalan, reg jodoh, reg game, reg zodiak, reg musik dan sebagainya kemudian dikirim ke nomor yang dituju, biasanya harga satu SMS adalah Rp 1000 per SMS dan di bawah iklan tersebut ditulis jika salah maka penerima layanan dapat mengetik UNREG. Seperti yang terjadi pada kejadian yang disadur dalam artikel sebagai berikut:

Bambang, warga Tanah Pasir, Penjaringan, Jakarta Utara, mengaku bahwa pulsanya berkurang karena dia menerima sms dari 3689. Setiap sms yang diterima dari short code itu akan menyedot Rp2000. Dan Rinto, warga Kampung Kamurang, Kebon Nanas, Tangerang juga kurang lebih mengalami hal yang sama. Dia mengikuti program Quit Smoking yang ditayangkan JakTV untuk minta ringtone ke nomor 7898. Namun pada hari berikutnya, ia mengaku mendapat SMS dari nomor yang sama dan pulsanya tersedot. Kedua orang itu komplain ke pihak operator. Tapi, nyatanya sms itu tidak berhenti dikirimkan dan pulsa terus tersedot. (http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)


(6)

4

Permasalahan yang terjadi bila dilihat dari kenyataan di atas adalah pemakai jasa layanan tersebut tidak bisa menghentikan SMS walaupun sudah mengikuti sesuai prosedur/petunjuk, namun jawaban yang diterima adalah maaf, kata yang anda masukkan salah silahkan kirim kembali. Kerugian terjadi pada penerima layanan tersebut, selain pulsa yang terpotong karena setiap mengirim SMS dikenai biaya Rp.1000,00/SMS yang dipotong langsung oleh providernya juga penerima layanan terus mendapat layanan yang sudah tidak ia inginkan.

Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin maju menjadikan eksistensi iklan dan hiburan mulai mempopulerkan diri hingga mempengaruhi khalayak serta makin diakui banyak kalangan. Media massa pun makin memperluas public sphere (ruang publik) terhadap berbagai kalangan. Sebab di era kebebasan ini, mereka berupaya untuk secara maksimal menjadi kancah sekaligus mata serta telinga masyarakat. Selain itu, media massa tentu membaca peluang serta berharap memperoleh keuntungan ekonomis demi perkembangan serta masa depan lembaganya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “Kajian Hukum Pidana terhadap Iklan di Media Televisi yang Tidak Menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan”.


(7)

5

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah:

a. Bagaimanakah kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan? b. Bagaimanakah kualifikasi kejahatan atas fenomena iklan di media televisi

yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana?

2. Ruang Lingkup.

Dalam gambaran permasalahan yang dibahas, maka ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian Hukum Pidana, khususnya dalam mengetahui kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan dan mengkualifikasi kejahatan atas fenomena tindakan hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana. Adapun lokasi penelitian dilakukan di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung, LBH Nasional Bandar Lampung, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bandar Lampung.


(8)

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian adalah: a. Untuk mengetahui kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang

tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan. b. Untuk mengetahui kualifikasi kejahatan atas fenomena iklan di media televisi

yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana.

2. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini di maksudkan untuk:

a. Secara teoretis adalah agar dapat digunakan sebagai kajian bagi kalangan hukum dalam rangka pengembangan ilmu hukum.

b. Secara praktis adalah dari hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi pembaca dan masyarakat untuk memperluas dan mengembangkan ilmu hukum khususnya mengenai kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual. 1. Kerangka Teoretis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau keragka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk


(9)

7

mengadakan identifikasi terhadap dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1984: 124).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan Pasal 1 Ayat (1):

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen".

Hukum pidana adalah keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang: perbuatan yang dilarang, orang yang melanggar peraturan tersebut pidana. Tindak pidana ialah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 1987: 56).

Tindak pidana ialah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana (Bambang Poernomo, 1981: 86). Dalam memberikan definisi mengenai pengertian tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam dua pandangan/ aliran yang saling bertolak belakang, yaitu:

a. Pandangan/aliran monistis, yaitu: pandangan/alirann yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

b. Pandangan/ aliran dualistis, yaitu: pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus ) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).


(10)

8

Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut aliran dualistik belum tentu karena harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu dapat dipidana atau tidak. Aliran dualistik dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Moeljatno merumuskan unsur-unsur tindak pidana/perbuatan pidana sebagai berikut:

a. perbuatan (manusia)

b. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil). c. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti arti yang berkaitan dengan istilah yang hendak diteliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 132).

Untuk itu penulis akan mencoba menganalisis pokok-pokok bahasan dalam tulisan ini, sekaligus memberikan batasan-batasan pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi, adapun pengertian dari istilah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Iklan ialah setiap bentuk pembayaran terhadap suatu proses penyampaian dan perkenalan ide-ade, gagasan layanan yang bersifat nonpersonal atas tanggungan sponsor tertentu ( The American Marketing Association, Liliweri, 1989: 21 ).


(11)

9

b. Hukum pidana ialah aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat tindak pidana. ( Sudarto: 1990)

c. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997:185).

d. Registrasi ialah mendaftar kembali/ulang. (Kamus Pintar Bahasa Indonesia, 1995: 129).

e. Pelanggan atau konsumen ialah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan. (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen)

f. Permintaan pelanggan adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu yang dilakukan oleh orang yang membeli secara tetap atau membayar secara tetap ( Sulchan Yasyin, 1995: 135).


(12)

10

E. Sistematika Penulisan

Agar dapat memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini secara keseluruhan maka penulis menerapkan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, Perumusan masalah dan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, sistematika penulisan dan metode penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman kedalam pengertian-pengertian penayangan, iklan supranatural, media Televisi, etika pariwara, kajian pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan penguraian metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang di gunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sample, cara pengumpulan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan analisis mengenai bagaimanakah kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan dan Bagaimanakah kualifikasi dari fenomena perbuatan terlarang itu ke dalam hukum pidana serta berisi karakteristik responden yang diambil dari permasalahan.


(13)

11

V. PENUTUP

Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan tentang hal yang telah di uraikan dalam bab-bab terdahulu, guna menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran berupa saran yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana ialah keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuh penerapan pidana (Moeljatno, 1987: 1). Keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan atau dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Menurut Mezger (Sudarto: 1990), Hukum Pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu maksudnya untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka perbuatan tertentu itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. perbuatan tertentu itu harus merupakan perbuatan yang dilarang; b. perbuatan tertentu itu harus dilakukan oleh orang.


(15)

14

Pidana merupakan suatu hal yang mutlak diperlakukan dalam hukum pidana. Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana. Pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Berdasarkan pengertian pidana tersebut, maka pengertian hukum pidana dapat dirumuskan sebagai keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang:

a. perbuatan yang dilarang;

b. orang yang melanggar larangan tersebut; c. pidana.

Stelsel pidana menurut hukum positif ditentukan dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda, pidana tutupan. Pidana Tambahan terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil.

a. Hukum Pidana Materiil adalah hukum pidana yang memuat:

1) Aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana;

2) Aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana; 3) Ketentuan mengenai pidana. Contohnya: KUHP


(16)

15

b. Hukum Pidana Formil adalah hukum pidana yang mengatur kewenangan Negara (melalui aparat penegak hukum) melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana. Contohnya: KUHAP

Selain itu juga dapat dibedakan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. hukum pidana umum (algemene strafrecht) memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku pada setiap orang. (KUHP, UULLAJ); hukum Pidana Khusus (bijzondere strafrecht) memuat aturan-aturan hukun pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum yang menyangkut:

1) Golongan atau orang tertentu, Misalnya: Golongan Militer diatur dalam KUHPM;

2) Berkaitan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu. Misalnya: Perbuatan Korupsi ditur dalam UU Korupsi.

B. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari. Mengenai istilah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sering dipakai berbagai istilah seperti: peristiwa pidana (konstitusi RIS maupun UUDS tahun 1950), perbuatan pidana (Undang-Undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1), atau tindak pidana itu sendiri (digunakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi), perbuatan yang boleh dihukum, dan lain sebagainya.


(17)

16

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yang normatif). Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987: 54). Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana (Bambang Poernomo, 1981: 56).

Menurut Pompe, pengertian tindak pidana dibedakan menjadi dua definisi, yaitu: a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/felt yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (Bambang Poernomo, 1981: 86).

Berdasarkan pengrtian tindak pidana yang dikemukakan oleh para para pakar, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat diantara pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana. Dalam memberikan definisi mengenai pengertian tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam dua pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu: aliran monistis dan aliran dualistis. Aliran monistis adalah aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan aliran dualistis adalah pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya


(18)

17

suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana terdiri dari: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil) (Sudarto, 1990: 43).

Untuk dapat dipidana, orang yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas) harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Jadi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana ini melekat pada orangnya atau pelaku tindak pidana.

Menurut Moeljatno, (dikutip Sudarto, 1990: 44), unsur-unsur pertanggungjawaban pidana terdiri dari:

a. Kesalahan;

b. Kemampuan bertanggungjawab.

Jenis-Jenis Tindak Pidana terdiri dari:

1. Kejahatan dan Pelanggaran. Berkaitan dengan pembedaan antara kejahatan dengan pelanggaran, maka ada dua pendapat mengenai pembedaan tersebut, yaitu:

a. Perbedaan secara Kualitatif.

1) Kejahatan adalah Rechtdelict (en), artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu perundang-undangan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar


(19)

18

dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misalny: pembunuhan, pencurian. Delik semacam ini disebut kejahatan. (mala per se); 2) Pelanggaran adalah wetsdelict (en), artinya perbuatan yang disadari oleh

masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran. (mala quia prohibita)

b. Perbedaan secara Kuantitatif

Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan.

2. Delik Formil dan Delik materiil

Delik formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Sedangkan delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang dikehendaki itu telah terjadi. Bila belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misalnya: Pasal 187 KUHP, Pasal 338 KUHP dan Pasal 378 KUHP.

3. Delik Commissionis, Delik Ommissionis, dan Delik Commissionis per Ommissionis Commissa.

Delik commissionis yaitu delik berupa pelanggaran terhadap larangan, misalnya berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. Delik ommissionis yaitu delik berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/diharuskan. Misalnya: tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan (Pasal 552 KUHP). Delik commissionis per


(20)

19

ommissionis commissa yaitu delik berupa pelanggaran larangan, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat, misalnya: seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak menyusuinya (Pasal 340 KUHP).

4. Delik Dolus (kesengajaan), misalnya Pasal 197, dan delik culpa (kealpaan), misalnya Pasal 195 KUHP dan Pasal 359 KUHP;

5. Delik tunggal (dilakukan satu kali) dan delik ganda (dilakukan beberapa kali), misalnya: Pasal 481 KUHP (penadahan);

6. Delik yang berlangsung terus, misalnya perampasan kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) dan delik yang tidak berlangsung terus;

7. Delik Aduan (klacht delicten) dan bukan delik aduan (niet klacht delicten). Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misalnya: penghinaan (Pasal 1310 jo Pasal 319 KUHP), perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerasan (Pasal 335 KUHP).

Delik aduan dibedakan menjadi:

a. Delik aduan absolut: yaitu delik yang hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan (memang benar-benar delik aduan). Contoh: Pasal 284 KUHP (perzinaan); Pasal 310 (pencemaran nama baik);

b. Delik aduan relative: yaitu delik yang merupakan delik biasa, tetapi ada hubungan-hubungan istimewa (keluarga) antara pembuat dann korban, lalu berubah menjadi delik aduan. Contoh: pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP);


(21)

20

Tindak pidana dalam KUHP mempunyai subjek berupa manusia. Adapun badan hukum, perkumpulan, atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam suatu Undang-undang (diluar KUHP) sedangkan mayat, hewan atau benda mati dipandang tidak dapat melakukan tindak pidana, sehingga secara otomatis tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Tindak pidana penipuan diatur pada KUHP Pasal 378 yaitu:

“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan maksud melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal atau tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat untung atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” (R. Soesilo, 1996: 261)

Berdasarkan Pasal tersebut terdapat beberapa unsur penipuan antara lain yaitu: a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau

menghapuskan piutang;

b. Maksud pembujukan itu adalah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

c. Membujuk itu dengan memakai: a) Nama palsu atau keadaan palsu, b) Akal cerdik (tipu muslihat), dan c) Karangan perkataan bohong.

Alat pembujuk atau penggerak di pergunakan dalam tindak pidana penipuan terdiri dari sebagai beriku (H.A.K Moch. Anwar, 1994: 41-42):


(22)

21

a. Pengetian membujuk berarti:

Melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutnya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat sedemikian itu.

b. Sesuatu barang ialah:

Segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya: uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang masuk pula daya listrik, meskipun tidak berwujud. Barang juaga tidak perlu mempunyai harga ekonomis.

c. Memberikan barang:

Barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedangkan yang menyerahkan itu pun tidak perlu harus orang yang membujuk itu sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

d. Keadaan palsu misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, atau pegawai kota praja, yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

e. Akal cerdik atau tipu muslihat berarti sesuatu tipu yang demikian liciknya, sehingga seseorang yang berpikiran normal dapat ditipu.

f. Karangan perkataan bohong ialah:

Suatu kata bohong tidak cukup, disini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun demikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.


(23)

22

g. Tipu muslihat adalah:

Perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atau kebenaran dari sesuatu kepada orang lain. Jadi tidak terdiri dari ucapan atau tindakan saja sudah dikatakan palsu, memperlihatkan barang-barang yang palsu adalah tipu muslihat.

C. Pengertian Iklan

Saat ini iklan tentang ramalan, jodoh, game, zodiak, musik dan lain sebagainya sering ditanyangkan di media televisi dimana dalam iklan disebutkan jika ada yang berminat untuk berlangganan maka orang tersebut harus memulainya dengan cara melakukan registrasi (reg ramalan, reg jodoh, reg game, reg zodiak, reg musik dan sebagainya) terlebih dahulu tujuannya agar mereka terdaftar sebagai pelanggan dalam iklan tersebut. Iklan merupakan setiap bentuk pembayaran terhadap suatu proses penyampaian dan perkenalan ide-ade, gagasan layanan yang bersifat nonpersonal atas tanggungan sponsor tertentu ( dikutip dari The American Marketing Association, Liliweri, 1989: 21 ).

Di Indonesia, masyarakat periklanan indonesia mengartikan iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk atau jasa yang disampaikan lewat suatu media dan ditunjukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sementara istilah periklanan diartikan sebagai keseluruhan proses yang meliputi persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyampaian iklan (Riyanto, 2001).

Dari pengertian iklan sebagaimana tersebut diatas sekalipun terdapat beberapa perspektif yang berbeda-beda, namun sebagian besar definisi mempunyai


(24)

23

kesamaan. Kesamaan tersebut dapat dirangkum dalam bentuk prinsip pengertian iklan, dimana dalam iklan mengandung enam prinsip dasar yaitu:

1. Adanya pesan tertentu

Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan, iklan tidak akan terwujud. Bila di media cetak, ia hanya ruang kosong tanpa tulisan, gambar atau bentuk apapun; bila di media radio, tidak akan terdengar suara apapun; bila di media televisi tidak akan terlihat gambar dan suara apapun; maka itu tidak dapat disebut iklan karena tidak terdapat pesan. Pesan yang disampaikan oleh sebuah iklan, dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan pesan nonverbal.

2. Dilakukan oleh komunikator.

Pesan iklan ada karena dibuat oleh komunikator. Sebaliknya, bila tidak ada komunikator, maka tidak akan ada pesan iklan. Dengan demikian, ciri sebuah iklan, adalah bahwa pesan tersebut dibuat disampaikan oleh komunikator atau sponsor tertentu secara jelas. Komunikator dalam iklan dapat datang dari perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi, bahkan negara. 3. Dilakukan dengan cara non personal.

Iklan merupakan penyampaian pesan yang dilakukan secara non personal. Non personal artinya tidak dalam bentuk tatap muka. Penyampaian pesan dapat disebut iklan bila dilakukan melalui media (yang kemudian disebut dengan media periklanan).

4. Disampaikan untuk khalayak tertentu.

Iklan diciptakan oleh komonikator karena ingin ditunjukan kepada khalayak tertentu. Dalam dunia periklanan khalayak cenderung bersifat khusus. Pesan yang disampaikan tidak dimaksudkan untuk diberikan pada semua orang, melainkan


(25)

24

kelompok target audience tertentu. Sasaran khalayak yang dipilih tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa pada dasarnya pada setiap kelompok khusus audience memiliki kesukaan, kebutuhan, keinginan, karakteristik, dan keyakinan yang khusus.

5. Dalam penyampaian pesan tersebut, dilakukan dengan cara membayar.

Dalam kegiatan periklanan harus dimaknai secara luas. Sebab, kata membayar tidak saja dilakukan dengan alat tukar uang, melainkan dengan cara barter berupa ruang, waktu dan kesempatan.

6. Penyampaian pesan tersebut, mengharapkan dampak tertentu.

Semua iklan yang dibuat oleh pengiklan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu di tengah khalayak.

Iklan memiliki banyak fungsi sesuai dengan yang dikehendaki oleh pengiklan diantaranya yaitu:

1. Fungsi pemasaran;

Adalah fungsi iklan yang diharapkan untuk membantu pemasaran atau menjual produk. Artinya iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli dan mengkonsumsi produk.

2. Fungsi komunikasi;

Artinya, bahwa iklan sebenarnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator kepada khalayaknya.


(26)

25

3. Fungsi pendidikan;

Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu, agar mengetahui, dan mampu melakukan sesuatu.

4. Fungsi ekonomi;

Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan mampu menjadi penggerak ekonomi agar kegiatan ekonomi tetap berjalan. Bahkan dengan iklan, ekonomi dapat berkembang dan ekspansi.

5. fungsi sosial.

Dalam fungsi ini, iklan telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis yang cukup besar. Iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat, misalnya munculnya budaya konsumerisme, menciptakan status sosial baru, dan sebagainya.

D. Pengertian Langganan Registrasi

Registrasi di dalam kamus pintar bahasa Indonesia karya Sulchan Yasyin mempunyai arti mendaftar kembali/ulang. Registrasi merupakan prosedur (tata cara) administrasi yang wajib dilakukan oleh setiap orang (calon pengguna jasa) dari sebuah provider. Orang tersebut memutuskan untuk bergabung dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh content provider dengan cara melengkapi persyaratan administrasi dan melunasi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh provider. Registrasi ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi seluruh persyaratan sebagai pelanggan baru dalam program yang telah diselenggarakan oleh content provider. Dalam berlangganan kita sebagai pelanggan harus tahu terlebih dahulu bagaiman cara menghentikan


(27)

26

atau cara berhenti dari layanan berlangganan tersebut. Langganan adalah mereka yang membeli secara tetap atau membayar secara tetap. Dibawah ini disebutkan hal yang merupakan suatu tips untuk berlangganan sms premium, yaitu:

1. Jangan mudah tergiur oleh iklan-iklan yang mengajak untuk berlangganan SMS premium. Ingat, SMS jenis ini harganya berlipat-lipat dibanding harga SMS normal.

2. Pelajari dulu jenis content SMS yang akan ada langgan. Apakah Anda benar-benar membutuhkan SMS itu atau tidak.

3. Pelajari juga harga tiap SMS dan frekwensi pengirimannya per hari. Ini berhubungan dengan jumlah pulsa Anda yang tersedot atau jumlah uang yang harus Anda bayar jika Anda pengguna layanan pascabayar.

4. Pelajari cara melakukan unsubscribing atau tidak berlangganan. Biasanya iklan-iklan SMS premium mencantumkan cara melakukan unsubscribing dan juga nomor telepon content provider. Jika brosur dan iklan tidak menjelaskan caranya, teleponlah content provider premium SMS itu. Jika iklan itu tidak mencantumkan cara unsubscribing dan tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi, lupakan content provider itu.

5. Hentikan berlangganan SMS premium segera setelah Anda merasa tidak

membutuhkan content yang mereka kirimkan.

(http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)

Dalam hal berlangganan seorang pelanggan (konsumen) mempunyai hak dan kewajiban seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UURI No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:


(28)

27

Pasal 4

Hak Konsumen adalah:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkosumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/konsumen/asiamaya uu perlindungan konsumen bab3 bagian1.htm)


(29)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian (Abdulkadir Muhamad, 2004 : 112).

Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif di lakukan dengan cara mempelajari perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan. Secara operasional pendekatan ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi literatur.

Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan cara mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan baik berupa data, informasi, dan pendapat yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum, yang didapat melalui wawancara dengan akademisi yang berkompeten yang terkait dengan masalah yang ditulis dalam penulisan.

B. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data

Sumber data adalah tempat dimana data tersebut diperoleh. Sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan.


(30)

30

Sedangkan jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil studi lapangan atau masyarakat, sedangkan data sekunder adalah data yang diperolah dari studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum.

2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian lapangan, diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dari narasumber yang berhubungan dengan objek permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku, makalah-makalah, media cetak maupun media elektronik dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada. Kemudian data tersebut dipelajari dan dianalisis yang kemudian disebut sebagai bahan hukum. Bahan hukum tersebut dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu terdiri dari:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang Hukum Pidana di luar KUHP, misalnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Telekomunikasi.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dalam hal ini yaitu bahan hukum yang erat


(31)

31

hubungannya dengan bahan hukum primer seperti: hasil penelitian, petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksanaan.

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari: kamus, ensiklopedia, literatur-literatur dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Ronny Hanitjo Soemitro, 1998: 14). Populasi dalam penelitian ini yaitu Penyidik Kepolisian, Jaksa, Advokat, Lembaga Perlindungan Konsumen.

Sampel adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987:152). Dalam penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode pengambilan sampel Porposive Sampling yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu.

Berdasarkan metode pengambilan sampel, maka sampel yang dijadikan responden adalah:

1. Penyidik pada Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung : 1 orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 3. Advokat pada Kantor Advokat LBH Nasional : 1 orang 4. Lembaga Perlindungan Konsumen Bandar Lampung : 1 orang +


(32)

32

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha untuk mendapatkan data-data primer dan dalam hal penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang ada dalam skripsi. Pertanyaan telah disiapkan dan diajukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk memperoleh data, tanggapan dan jawaban dari responden dan untuk melengkapi skripsi ini penulis juga melakukan observasi untuk mendapatkan data-data dan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan hukum primer berupa undang-undang maupun dari bahan hukum sekunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur maupun pendapat para sarjana maupun ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini.

2. Pengolahan Data

Dari data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi kepustakaan digunakan metode antara lain sebagai berikut:


(33)

33

a. Seleksi data yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapannya, kejelasan, kebenaran sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan;

b. Klasifikasi data yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan sesuai dengan pokok bahasan;

c. Sistematika data yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sesuai dengan tujuan penulisan.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian, kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang di dasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian di simpulkan secara khusus, yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.


(34)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Penulis melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah responden. Adapun responden tersebut terdiri dari Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bandar Lampung, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu & patner.

Adapun keempat responden tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nama : Cahyono Priyo Santoso

Umur : 29 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Jabatan : Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung

2. Nama : Ganefli

Umur : 46 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki


(35)

36

3. Nama : Hirda S.H

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

4. Nama : Sumarsih , S.H.

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu di Bandar Lampung

Pemilihan responden di atas dengan pertimbangan bahwa responden tersebut memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penelitian ini memperoleh sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

B. Kajian Hukum Pidana terhadap Iklan di Media Televisi yang tidak menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan. Globalisasi telekomunikasi dan informasi sedang melanda di dunia yang ditandai dengan perkembangan bisnis media massa yang begitu pesatnya, sehingga telah ikut mendorong tumbuhnya bisnis reklame, iklan, dan promosi secara signifikan. Bentuk dan jenis promosi semakin atraktif, media yang digunakan beragam, promosi bisnis dapat dikemas dan dimuat dalam surat kabar dan majalah atau melalui radio, televisi, dan internet.


(36)

37 Gejala ini menunjukkan adanya tingkat persaingan yang ketat di antara pelaku usaha dalam arti luas. Sementara itu bisnis media cetak dan elektronik hingga saat ini masih mengandalkan sumber pemasukan keuangan dari iklan. Oleh karena itu setiap tampilan yang ada pada halaman cetak maupun program acara televisi dipenuhi oleh iklan yang menyita ruang dan durasi yang lama.

Di satu pihak pelaku usaha gencar melakukan promosi dan iklan karena merupakan bagian dari proses pemasaran atas produk yang dihasilkan. Di lain pihak, konsumen memerlukan produk untuk dikonsumsi. Arti pentingnya promosi dan iklan dalam era globalisasi ini adalah meningkatnya persaingan karena salah satu motivasi dari globalisasi adalah perluasan pasar, sehingga pasar domestik menjadi terbuka.

Propaganda tidak hanya berdampak terhadap konsumen saja, tetapi juga pelaku usaha. Dampaknya, dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif dari iklan adalah memberikan pesan dan informasi kepada siapa pun yang melihat, membaca, dan mendengarnya; sedangkan dampak negatif bagi konsumen adalah jika propaganda bisnis tersebut tidak sesuai dengan produk atau dalam pengungkapannya melanggar nilai dan norma etika, moral, dan sopan santun, salah satu contohnya adalah kasus tidak bisa dihentikannya layanan registrasi atas iklan yang ada di media televisi.

Para konsumen yang membaca iklan di media televisi dapat terpengaruh, namun tingkat pendidikan dan pemahaman atas isi dan bentuk peragaan iklan tersebut sangat beragam, sehingga dikhawatirkan para konsumen dapat terkecoh atau tertipu atas iklan tersebut. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan


(37)

38 Konsumen mengatur tentang promosi dan iklan yang layak ditampilkan dalam media massa. Ada tujuh pasal yang secara khusus mengatur tentang hal itu, yaitu Pasal 10, 12, 13, 15, 16, d an 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 10

“Pelaku usaha dalam menawarkan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a.harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b.kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c.kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e.bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.

Pasal 12

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan”.

Pasal 13 Ayat (1)

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya”.

Pasal 15

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”.


(38)

39 Pasal 16

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

a.tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b.tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi”.

Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e

Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

a.Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; b.Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

Menurut responden Cahyono Priyo Santoso di Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung belum pernah menerima laporan atau pengaduan mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan. Namun beliau mengatakan meskipun belum pernah, pihak kepolisian tetap bisa menerima laporan pengaduan tersebut. Proses pelaporan dari kasus tersebut prosedurnya sama dengan pelaporan kasus yang lainnya. Dalam hal terjadinya kasus ini, polisi sebagai penyidik tunggal dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dijadikan saksi ahli di kepolisian. Apabila ada konsumen yang mengalami kejadian tersebut maka bisa saja konsumen yang menjadi korban dari iklan itu langsung melaporkan ke pihak kepolisian. Namun bila masih bisa diselesaikan melalui lembaga YLKI maka sebaiknya diselesaikan dan dicari solusi terbaik dari permasalahan yang terjadi. YLKI dapat melakukan tugas tersebut karena YLKI merupakan tempat antara konsumen yang menjadi korban (atau yang merasa dirugikan) dengan perusahaan sebagai penyedia jasa untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. YLKI dapat dijadikan sebagai tempat mediasi antara konsumen dan perusahaan.


(39)

40 Kasus tidak dihentikannya registrasi menurut YLKI menyebutkan bahwa pihak pengusaha telah melanggar hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajibannya yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang dilanggar meliputi:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini memiliki cakupan yang luas. Konsumen sebagai pemilik atau pengguna barang dan/atau jasa tidak boleh diganggu dalam menikmati haknya. Arti terganggu mencakup dari tuntutan hak pihak lain; b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat mendidik konsumen untuk waspada atas informasi yang diungkapkan pada kemasan atau label;

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak ini dapat dianggap sebagai realisasi atau turunan dari hak untuk menyampaikan pendapat dalam hak asasi manusia;

d. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak ini merupakan risiko yang dipikul pelaku usaha.

Dalam hubungan hukum dua arah dan timbal balik, maka hak konsumen dapat menjadi kewajiban pelaku usaha. Dalam transaksi pembelian barang, hak konsumen memperoleh barang dan sekaligus kewajiban pelaku usaha untuk menyerahkan barang. Kewajiban pelaku usaha meliputi pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, ditambah dengan kewajiban lainnya yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan konsumen.


(40)

41 Adapun kewajiban pelaku usaha yang dilanggar berdasarkan kasus di atas yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kewajiban pelaku usaha ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ketentuan tegas tentang prinsip nondiskriminatif dalam perlakuan terhadap konsumen. Larangan bagi pelaku usaha untuk membedakan konsumen dalam memberikan pelayanan dan dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen;

d. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kewajiban ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen; e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Ketidaksesuaian barang yang diterima oleh konsumen dengan yang diperjanjikan terjadi, jika pelaku usaha dan konsumen tidak bisa bertemu secara langsung, misal pembelian barang melalui internet. Selain itu juga transaksi konsumen yang tidak sekaligus dengan penyerahan barang, misal pembelian barang dengan cara pesanan (by order).


(41)

42 Kedudukan hukum yang setara atau sederajat antara konsumen dan pelaku usaha merupakan posisi yang ideal menurut hukum. Karena hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat secara timbal-balik. Tetapi tidak semua transaksi konsumen bersifat timbal balik. Oleh karena itu, Undang-Undang perlindungan konsumen menambahkan adanya perbuatan yang dilarang (prohibited) bagi pelaku usaha dan tanggungjawab (liability) yang dapat diajukan kepada pelaku usaha. Pada kasus mengenai tidak dihentikannya langganan registrasi atas permintaan pelanggan, pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 huruf a, c, d, h dan e. Kewajiban pelaku usaha yang dilanggar terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, f dan g.

Membahas norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam periklanan, bukanlah hal yang mudah dengan dasar dua pertimbangan. Pertama, kegiatan periklanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, dalam hal ini pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha pengiklan, organisasi profesi periklanan (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), dan media periklanan. Disamping itu, juga melibatkan konsumen selaku penerima informasi yang disajikan melalui iklan dan pemerintah, dalam hal ini departemen penerangan. Kedua, tempat periklanan sendiri dalam pembidangan hukum di Indonesia lebih banyak dikelompokkan dalam bidang hukum admiistrasi Negara, khususnya kelompok hukum pers.

Seperti yang dikemukakan Oemar Sono Adji, dalam kata tanggung jawab terkandung dua aspek yaitu, aspek etik dan aspek hukum. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Jadi, sistem tanggung jawab dapat


(42)

43 diartikan sebagai metode atau prosedur agar seseorang/badan hukum tidak dapat mengelakkan diri dari akibat perilaku/perbuatannya (Yusuf Shofie, 2009:179).

Masalah tanggung jawab iklan muncul dalam hal:

a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;

b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan seperti yang telah dikemukakan (Yusuf Shofie, 2009:82).

Kasus tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi maka masalah tanggung jawab iklan itu lebih berpusat pada poin a (informasi produk), dimana pelanggaran pada poin a yang bertanggung jawab ialah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan. Kualifikasi perbuatan melawan hukum dapat saja digunakan meskipun terdapat hubungan kontraktual, sepanjang unsur-unsur perbuatan melawan hukumnya yang menonjol.

Sebaliknya, dalam poin b (kreativitas), yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Dua yang terakhir ini tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih: kami hanya membuat dan menayangkan iklan, materinya tanggung jawab perusahaan pengiklan. Analog dengan ajaran penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak, tetapi juga ada pelaku lainnya.


(43)

44 Di dalam mendesain iklan, praktisi periklanan hendaknya memperhatikan juga asas-asas umum kode etik periklanan sebagai berikut:

a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku;

b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan;

c. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat (Yusuf Shofie, 2009:177).

Self-regulation ini memang kewenangan masyarakat profesi periklanan sendiri untuk melakukan tindakan atas berbagai praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik. Tidak dihentikannya registrasi melangggar asas-asas umum kode etik periklanan pada poin a. Kenyataan pelanggaran praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik mendorong campur tangannya instrumen hukum berupa kejelasan kaidah/norma hukum di bidang periklanan, yaitu melarang penggunaan iklan yang disampaikan dengan cara (Yusuf Shofie, 2009:180): a. Mengemukakan hal-hal yang tidak benar (false statement);

b. Mengemukakan hal-hal yang menyesatkan atau tidak proporsional (mislead statement);

c. Menggunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery).

Kaidah/norma hukum demikian diharapkan merupakan muatan atau materi Undang-Undang Periklanan yang belum pernah ada di Indonesia. Dalam teori dan praktik penegakan hukum telah sering dikemukakan bahwa untuk meminta suatu pertanggungjawaban hukum tehadap seseorang/badan hukum, harus ada kejelasan kaidah hukum/norma-norma hukum apa yang dilanggar.


(44)

45 Pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang belum efektif karena masih disosialisasikan, campur tangan instrumen hukum untuk menyelesaikan praktik periklanan yang melanggar self-regulation dilakukan dengan menerapkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/delik penipuan. Penggunaan instrumen ini belum tentu mengembalikan kerugian yang dialami konsumen, malahan konsumen justru harus keluar masuk ke kantor polisi. Belum lagi ancaman pengusaha kepada konsumen dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik.

Hukuman pidana tersebut dapat dikenakan terhadap individu sebagai pengurus suatu korporasi. Sanksi pidana dalam hukum perlindungan konsumen diharapkan dapat efektif untuk menimbulkan pengaruh atau efek pencegahan (deterrent effect) agar tidak dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan.

Deskripsi mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen itu dapat dijumpai jika pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu ditelusuri satu demi satu. Tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi melanggar 3 norma perlindungan konsumen dalam sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 16; serta Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);


(45)

46 Semuanya memuat jenis-jenis pidana pokok yaitu:

1. Pidana penjara maksimal 5 tahun dan 2 tahun;

2. Pidana denda maksimal Rp2 miliar dan Rp500 juta (Pasal 62 jo. Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; dan pencabutan izin usaha).

Dari kasus tidak dihentikannya registrasi terhadap iklan di media televisi melanggar tiga norma yang penulis uraikan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Pada kegiatan produksi ini maka melanggar norma ke-1 (Pasal 8 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen), yaitu larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Sanksi pelanggaran pasal ini berupa:

a. Sanksi administrative, yaitu kewajiban menarik dari peredaran barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen); b. Sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2

miliar (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 16; serta Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);


(46)

47

Norma ke-2 (Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) bergantung pada pemahaman perkembangan teknologi informasi dalam penawaran produk barang dan/atau jasa. Normanya yaitu larangan penawaran barang dan/atau jasa melalui pesanan untuk:

a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b. Tidak menepati janji atas sesuatu pelayanan dan/atau prestasi.

Sanksinya pidana penjara maksimal dua tahun atau pidana denda maksimal Rp500 juta (Pasal 62 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Masih menyangkut promosi produk melalui sarana iklan, norma ke-3 (Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e Undang-Undang Perlidungan Konsumen) menentukan adanya larangan memproduksi iklan yang:

a. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

b. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; c. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

Seperti dalam kasus yang dialami oleh Bambang, warga Tanah Pasir, Penjaringan, Jakarta Utara, mengaku bahwa pulsanya berkurang karena dia menerima sms dari 3689. Setiap sms yang diterima dari short code itu akan menyedot Rp2000. Dan Rinto, warga Kampung Kamurang, Kebon Nanas, Tangerang juga kurang lebih mengalami hal yang sama. Dia mengikuti program Quit Smoking yang ditayangkan JakTV untuk minta ringtone ke nomor 7898. Namun pada hari


(47)

48 berikutnya, ia mengaku mendapat SMS dari nomor yang sama dan pulsanya tersedot. Kedua orang itu komplain ke pihak operator. Tapi, nyatanya sms itu tidak berhenti dikirimkan dan pulsa terus tersedot. (http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)

Sanksi pidana yang diancamkan pada norma ini, yaitu sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar atas pelanggaran pasal 17 ayat (1) butir c, d dan e (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Menyangkut hak konsumen atas informasi dan keamanan produk, terdapat hubungan yang erat antara iklan/informasi produk dengan tingkat keamanan produk. Tampaknya, hal ini menjadi perhatian khusus pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk memberikan rumusan norma-normanya dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pengalaman di negara-negara lain dan juga di Indonesia sendiri kiranya menjadi perhatian pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen meskipun itu tak dinyatakan dalam konsideransinya. Tragedi konsumen sebagai korban tindak pidana korporasi memang tak mengenal batas-batas negara yang dikenal dalam hukum internasional.

Peran hukum pidana dalam hukum perlindungan konsumen tetap penting. Nasution mengatakan bahwa aspek hukum pidana dari hukum perlindungan konsumen juga menjadi perhatian hukum perlindungan konsumen, baik berbagai ketentuan pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Pasal 202-206, 258,382 bis, 386 dan sebagainya maupun diluar Kitab


(48)

49 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan sebagainya) (Yusuf Shofie, 2008: 256).

Di Amerika Serikat eksistensi hukum pidana (criminal law) tetap memiliki tempat dalam hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Sejumlah perilaku yang menyangkut transaksi konsumen (consumer transaction) merupakan tindak pidana dimana pelakunya diancam denda yang berat (serious fines) atau penjara. Penipuan terhadap konsumen merupakan tindak pidana yang jarang diproses, kecuali mengakibatkan kerugian yang besar. Tuntutan pidana mungkin tidak menguntungkan konsumen korban penipuan. Kadang-kadang terdakwa dipidana untuk membayar restitusi, yaitu membayar kerugian orang yang dirugikan oleh kejahatannya, tetapi sering kali baru dibayarkan lama sesudahnya.

Untuk melindungi konsumen, pekerja, dan publik dari penipuan-penipuan (frauds) yang disebabkan oleh kelalaian perdagangan (a neglect trading) atau ketentuan-ketentuan keselamatan (safety regulations), yang berakibat kerugian fisik (physical harm) dimana pelakunya (the offender) adalah badan korporasi (corporate body), penegakan hukum pidana dilakukan atas pelanggaran tersebut (the breach of criminally enforced regulations). Kejahatan korporasi (corporate crime) tersebut sebagai bagian dari white collar crime tidak dapat dilihat oleh orang sebagai suatu problem kejahatan pada umumnya ( a major crime problem).


(49)

50 Ada empat alasan mengapa kejahatan ini tidak terlihat, yaitu:

1. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terlihat kurang berat dan mengancam dibandingkan pembunuhan, perkosaan, dan perampokan;

2. Bentuk pelanggarannya sering kurang terbuka (less public) daripada kejahatan-kejahatan lainnya yang terjadi di jalanan (on the steet) karena terjadi di kantor-kantor (in office);

3. Hubungan korban (victims) dengan pelaku (offenders) bersifat tidak langsung. Dalam hal mana terjadi pelanggaran-pelanggaran ketentuan keselamatan, pelaku tidaklah bermaksud membuat celaka atau membunuh korbannya sekiranya terjadi pada korban (eventual victims); dan

4. Bentuk pelanggarannya sering melibatkan masalah-masalah teknologi dan keuangan yang kompleks, tidak mudah di deteksi oleh korban ataupun institusi-institusi penegakan hukum (enforcement agencies) (Yusuf Shofie, 2008: 257-258).

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, tidak satupun korporasi dipidana kendati sejumlah undang-undang, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Situasi kebijakan pidana (criminal policy) penegakan hukum ini memerlukan jawaban akademik dari sisi ilmu hukum serta upaya pemecahan atas hambatan-hambatan penegakannya. Penyebabnya diperkirakan beragam dan perlu dilakukan identifikasi terhadapnya. Pertama, menyangkut aplikasi teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia dari kalangan profesi hukum, baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Ketiga, masih dominannya


(50)

51 pandangan tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) dalam hukum pidana di Indonesia dalam wacana teoretik dan praktik penegakan hukum. Praktis dijumpai kesulitan-kesulitan untuk membuktikan kesalahan pada korporasi. Dan seandainya pun korporasi dijatuhi sanksi pidana, pengadilan masih dihadapkan pada pilihan sanksi pidana apa sajakah yang layak dan proporsional dijatuhkan pada korporasi tersebut.

Keterbatasan ketentuan-ketentuan hukum standar keamanan produk barang dan/atau jasa di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tampak seolah-olah bukan pelanggaran hukum pidana (criminal offences), padahal di negara-negra maju merupakan ancaman serius terhadap keamanan dan keselamatan konsumen. Ada tarik menarik perlu tidaknya kriminalisasi pada satu sisi dan deskriminalisasi pada sisi lainnya.

Pertimbangan bahwa produk massal korporasi tersebar di berbagai segmen masyarakat lokal, bahkan masyarakat internasional, mendorong tampilnya hukum pidana untuk mendorong dipatuhinya standar-standar keamanan dan keselamatan produk barang dan/atau jasa. Dilanggarnya standar-standar tersebut akan membawa akibat kerugian-kerugian materiil, baik fisik maupun psikis konsumen.

Korporasi pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran-pelanggaran pidana (criminal offences) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Meskipun begitu, tidak ada penjelasan resmi mengenai tampilnya hukum pidana (criminal law) dalam norma-norma perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dari perspektif penegakan hukum, ditempatkannya korporasi pelaku usaha sebagai


(51)

52 subjek tindak pidana tidak serta merta akan dengan sendirinya diikuti proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan korporasi atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pertama, perlu peran aktif dari masyarakat konsumen dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam mendorong kepatuhan hukum (compliance) pelaku usaha melalui penegakan hukum. Peran aktif ini masih mendapatkan hambatan dalam bentuk diskresi penyidik untuk lebih memprioritaskan penyidikan atas laporan pidana pencemaran nama baik pelaku usaha dari pada penyidikan atas laporan pelanggaran-pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen. Belum lagi jika proses penyidikan dilanjutkan pada proses penuntutan dan peradilan. Diperlukan kearifan penyidik memprioritaskan penyidikan pada pelanggaran-pelanggaran publik, seperti halnya pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen tersebut (Tongat, 2008: 108).

Kedua, kendala sistematik yang berasal dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sendiri dengan tidak diterapkannya konsep strict lability dan masih dominannya asas kesalahan dalam hukum pidana yang tercermin pada doktrin geen straaf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).

Menurut konsep liability, suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (opzet; intention) atau kelalaian (culpa; negligence). Di amerika serikat, pelanggaran-pelanggaran pidana pertanggungjawaban seketika/ mutlak (strict liability offencenses) sudah dikenal sejak tahun 1909. tidak disyaratkannya mens rea dalam konsep strict liability akan berseberangan dengan adagium/asas hukum tidak tertulis. Tiada pidana tanpa kesalahan (geen staf zonder schuld).


(52)

53 Menurut Andi Zainal Farid, ajaran mens rea erat sekali hubungannya dengan adagium/asas tersebut. Baik di Indonesia maupun negara-negara Barat, seperti Inggris, dan Amerika Serikat merupakan asas hukum tidak tertulis dimana substansi dari mens rea, yaitu menyangkut sikap batin pelaku yamg menyebabkan pelaku dipidana jika unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata) dan tidak adanya dasar pemaaf terbukti (Yusuf Shofie, 2008: 262-263).

Hampir tidak pernah terdengar kasus periklanan sampai masuk ke pengadilan, sebagai indikator rendahnya keluhan konsumen atas iklan. Adanya keengganan konsumen untuk memejahijaukan pengusaha jika dirugikan. Jika pendapat ini betul, hal ini merupakan peringatan dini tentang apa yang dicanangkan sebagai kesadaran hukum masyarakat, pembinaan hukum, dan yang sejenis dengan itu.

Data-data mengenai kasus periklanan sebenarnya bisa ditelusuri secara periodik melalui surat-surat pembaca berbagai media massa. Data resmi atas pengaduan konsumen tentang iklan ke YLKI selama sembilan tahun terakhir (1992-2010) tergolong rendah. Rendahnya data kuantitas pengaduan iklan dapat diasumsikan: a. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat konsumen;

b. Masih adanya kesenjangan ekonomi dikalangan masyarakat luas; c. Iklan bukanlah komoditas yang diperjualbelikan.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 menyebutkan tentang cara penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang merasa dirugikan yaitu: setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan


(53)

54 pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa tersebut dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada pasal diatas tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang.

Namun penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pendapat senada diungkapkan oleh responden Hirda yang menjabat sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Bahwa benar di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung belum pernah menerima pelimpahan tentang kasus tersebut. Meskipun belum pernah ada laporan, beliau menegaskan bahwa pada dasarnya proses pelaporannya sama seperti proses pelaporan kasus yang lain yaitu dengan cara melaporkan secara langsung ke pihak yang berwajib (pihak kepolisian) tempat dimana terjadinya peristiwa. Sebelum melaporkan, pihak konsumen sebagai korban harus terlebih dulu memiliki alat bukti yang lengkap. Alat bukti yang


(1)

8. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu pengetahuan, bantuan dan kerjasamanya;

9. Bapak Cahyono Priyo Santoso selaku Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, Bapak Ganefli selaku Staf YLKI Bandar Lampung, Ibu Hrda, S.H., selaku jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, serta Ibu Sumarsih, S.H., selaku Advokat dan Konsultan Hukum pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Nasional di Bandar Lampung yang telah memberikan informasi, data, saran, dan masukan selama penulis melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian penulisan skripsi ini; 10.Keluarga besar penulis: Bude Sobirah dan keluarga, bulek Nur Fadillah dan

keluarga, Mas Anwar dan keluarga, Mas bowo dan keluarga, Akang Rudin dan keluarga, Ca Hiz dan keluarga, Mas Agus dan Mb Solihah, Bapak Hi. Rais Abdillah (Alm) beserta Keluarga yang penulis sayangi, terima kasih yang tak terhingga atas doa, kasih sayang, bantuan, dukungan, perhatian, dan keceriaan yang selama ini telah dihadirkan,

11.Bapak Hi. Muib Bidianto (Alm) beserta keluarga, yang penulis sayangi, terima kasih yang tak terhingga atas doa, kasih sayang, perhatian, kepada penulis dan keluarga;

12.Sahabat Penulis: Laura, Gledis, Windy, dan Temmy, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil, dukungan, semangat dalam suka dan duka serta selalu bersedia disusahkan penulis, kalian adalah salah satu pendorong dan motivasi, semoga kita kompak selalu; Kak Eko JS, Mb Gina, Hotlina Siregar, Gieska, Florens, April, Icha, Viqhy, Fayin, Aan, Yatno, Ocha, Lia, Fauzia, Erlangga (Nduts), Jo2, Yuni, Nia, Asri, Noca, Wina, Rian,


(2)

Lidia, Iis, Dewi (Amor), Mifta, Mita, Firman, Nila, Onta (Dwi), Dedi R, Kak Beki, Gugus, Terima kasih atas kebersamaan dan semua kebaikannya selama ini kepada penulis; dan seluruh teman-teman satu angkatan yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu

13.Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya, baik moril maupun materil.

Akhir kata, Penulis berharap kepada para pembaca agar dapat kiranya memberikan saran dan kritik yang dapat menambah ilmu pengetahuan Penulis agar dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga segala yang kita lakukan menjadi amal yang dicatat sebagai suatu keikhlasan. Amin Yaa Robbal’Alamiin...

Bandar Lampung 09 Mei 2010 Penulis,


(3)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat Ridho dan Rahmat yang dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung dengan judul : Kajian Hukum Pidana terhadap Iklan di Media Televisi yang tidak Menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan.

Selain ungkapan rasa syukur yang dalam, penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mengkritik serta memberi dukungan moril kepada penulis, sehingga tujuan dari dibuatnya skripsi ini dapat tercapai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang-orang yang penulis sayangi dan penulis hormati, semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat terutama kepada kedua orang tua yaitu Ayahanda Hi. Muhammad Syukron dan Ibunda Hj. Hayatun, atas segalanya yang tercurahkan kepada penulis hingga saat ini, Kakakku Umu Kholifah dan Mas Suliyono, Adikku Ahmad Kholili serta keponakanku tercinta Ahmad Nadzief Faizul Akbar yang mendukung penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.


(4)

Selanjutnya ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada orang-orang yang penulis hormati, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT terutama kepada Komisi Pembimbing terima kasih atas bimbingan, saran, dan kebaikan yang diberikan selama menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati M., S.H., M.H., selaku ketua bagian Hukum Pidana; 3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah memberikan

waktu, mencurahkan fikiran, dan dengan sabar dalam memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Heni Siswanto, S.H., M.H., Pembimbing II yang telah memberikan bantuan, arahan, nesehat serta bimbingannya kepada Penulis baik dalam penulisan skripsi ini maupun selama penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah meluangkan waktu untuk mengkritisi dan memberikan masukan, saran, dan arahan kepada Penulis demi perbaikan skripsi ini;

6. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah memberikan saran masukan dan arahan kepada Penulis untuk memperbaiki penulisan skripsi ini;

7. Bapak Prof. Dr. I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik atas kesediaannya memberikan bimbingan kepada penulis;


(5)

8. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu pengetahuan, bantuan dan kerjasamanya;

9. Bapak Cahyono Priyo Santoso selaku Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, Bapak Ganefli selaku Staf YLKI Bandar Lampung, Ibu Hrda, S.H., selaku jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, serta Ibu Sumarsih, S.H., selaku Advokat dan Konsultan Hukum pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Nasional di Bandar Lampung yang telah memberikan informasi, data, saran, dan masukan selama penulis melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian penulisan skripsi ini; 10.Keluarga besar penulis: KH. Qusyairi Abdillah (alm) dan Hj. Sobirah beserta

keluarga, bulek Nur Fadillah dan keluarga, Mas Anwar dan keluarga, Mas bowo dan keluarga, Akang Rudin dan keluarga, Ca Hiz dan keluarga, Mas Agus dan Mb Solihah, Bapak KH. Rais Abdillah (Alm) beserta Keluarga yang penulis sayangi, terima kasih yang tak terhingga atas doa, kasih sayang, bantuan, dukungan, perhatian, dan keceriaan yang selama ini telah dihadirkan, 11.Bapak Hi. Muib Bidianto (Alm) beserta keluarga, yang penulis sayangi, terima kasih yang tak terhingga atas doa, kasih sayang, perhatian, kepada penulis dan keluarga;

12.Kak Eko JS, S.Pd., terima kasih atas cinta dan kasih sayang serta dukungan, semangat dalam suka dan duka, kau adalah salah satu pendorong dan motivasi dalam penulisan skripsi ini, (love you dech);

13.Sahabat Penulis: Laura, Gledis, Windy, dan Temmy, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil, dukungan, semangat dalam suka dan duka serta selalu bersedia disusahkan penulis, kalian adalah salah satu


(6)

pendorong dan motivasi, semoga kita kompak selalu; Mb Gina, Hotlina Siregar, Gieska, Florens, April, Icha, Viqhy, Fayin, Aan, Yatno, Ocha, Lia, Fauzia, Erlangga (Nduts), Jo2, Yuni, Nia, Asri, Noca, Wina, Rian, Lidia, Iis, Dewi (Amor), Mifta, Mita, Firman, Nila, Onta (Dwi), Dedi R, Kak Beki, Gugus, Terima kasih atas kebersamaan dan semua kebaikannya selama ini kepada penulis; dan seluruh teman-teman satu angkatan yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu

14.Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya, baik moril maupun materil.

Akhir kata, Penulis berharap kepada para pembaca agar dapat kiranya memberikan saran dan kritik yang dapat menambah ilmu pengetahuan Penulis agar dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga segala yang kita lakukan menjadi amal yang dicatat sebagai suatu keikhlasan. Amin Yaa Robbal’Alamiin...

Bandar Lampung, 28 April 2010 Penulis,