FAKTOR PENGHAMBAT PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat)

(1)

ABSTRACT

THE FACTOR OF INHIBITOR PARTICIPATION WOMEN POLITIC IN PRESIDENT ELECTION 2009

(Study in Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat) By

DIAN NOVETA

This research with the title the factor of inhibitor participation women politic in president election in 2009, this research has background by the lack of participation women in president election in 2009 in Pekon Kampung Jawa we can see the presentation of women not choose has the high presentation until 29% if compare with others village in Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat.

The purpose of research to identification and expound the factor inhibitor participation women politic in president election 2009 in Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat. The method of research have used there is; descriptive quantitative. The writer use questioner, interview, and documentation to roundup the data. The technique of roundup the data use editing, coding, tabulation and interpretation data with analysis data use presentation technique.

The result of research factor inhibitor participation women politic there are; first, factor internal there are; from education view, culture view, family view, and women view it self, it can see from the result of interval presentation inhibitor as many 60% or people give answer in category “medium”, second, whereas the inhibitor of the external factor as many 55% 36 people the category answer “medium”. The result of presentation recapitulation factor inhibitor participation women politic in president election in Pekon Kampung Jawa it can see from the internal and external factor to be inhibitor categorize “high” from two of factors there are: see from internal factor and from women view it self.


(2)

ABSTRAK

FAKTOR PENGHAMBAT PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009

(Studi di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat) Oleh

DIAN NOVETA

Penelitian ini berjudul Faktor Penghambat Partisipasi Politik Perempuan dalam Pemilihan Presiden Tahun 2009, penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya partisipasi politik perempuan dalam pemilihan presiden tahun 2009 di Pekon Kampung Jawa terlihat dari persentase perempuan yang tidak memilih tergolong tinggi 29% dibandingkan dengan pekon-pekon yang lain yang ada di Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan Presiden tahun 2009 di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat. Metode penelitian yang digunakan yaitu: deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kusioner, wawancara dan dokumentasi. Teknik pengolahan data menggunakan editing, koding, tabulasi dan interprestasi data dengan analisis data yang menggunakan teknik persentase

Hasil penelitian menunjukan faktor penghambat partisipasi politik perempuan meliputi: petama, faktor internal yang terdiri dari segi pendidikan , segi keluarga, segi perempuan itu sendiri, hal ini dilihat dari hasil persentase interval penghambat dari faktor internal sebanyak 60 % atau 39 orang memberi jawaban dalam kategori “sedang”. Kedua, faktor eksternal yaitu segi pandangan politik. Hasil persentase interval dari faktor eksternal sebanyak 55% atau 36 orang yang kategori jawaban “sedang”. Hasil persentase rekapitulasi faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan presiden di Pekon Kampung Jawa dilihat dari faktor internal dan eksternal yang menjadi penghambat dikategorikan “tinggi” dari kedua faktor tersebut yaitu: terlihat dari faktor internal dari segi diri perempuan diri itu sendiri.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok tertentu. Penghargaan hak tersebut tercermin melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas yang mencakup adanya jaminan bagi semua warga.

Kesetaraan Hak Asasi Manusia menuntut adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, sehingga menuntut perempuan untuk mampu bersaing dengan kaum laki-laki, namun faktor budaya dan agama merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dan bersaing dalam forum publik. Peran politik sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan.

Demokrasi tidak akan berdiri dengan sesungguhnya jika masih terdapat pengingkaran kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berakibat tersingkirnya perempuan dari gelanggang politik. Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua warga mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan di dengar. Partisipasi bila di kaitkan dengan politik,


(4)

maka memiliki arti yaitu kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikutserta secara aktif dalam kehidupan politik.

Masalah peran dan posisi perempuan di wilayah publik, merupakan bagian dari hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami adanya hak-hak mereka sebagai warga negara. Kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana politik, sehingga peran dan posisi mereka di wilayahnya dalam mengambil kebijakan masih sangat minim sehingga politik menjadi wilayah yang tabu bagi kaum perempuan.

Gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan gender khususnya untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan ditandai dengan adanya, Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW) yang kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan.

Konvensi CEDAW mengandung prinsip-prinsip non diskriminatif, kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, persamaan substantif, realisasi hak-hak perempuan yakni bahwa perempuan punya akses yang sama dan mendapat manfaat yang sama dari negara yaitu menjamin hak asasi perempuan.

Kuatnya budaya patriakhi di dalam kehidupan kaum perempuan yang menyebabkan adanya bias gender dalam tatanan kehidupan masyarakat khususnya di dalam kancah politik dapat dilihat dari rendahnya keterwakilan perempuan di dalam dunia politik, hal ini merupakan akibat dari partisipasi perempuan dalam bidang politik di Indonesia masih jauh dari harapan dan keseimbangan, hal ini dapat dilihat dari terjadinya penurunan keterwakilan


(5)

perempuan di dalam keanggotaan DPR dan MPR dari tahun 1992-2004 yang dapat di lihat melalui tabel sebagai berikut :

Tabel 1 : Anggota DPR dan MPR Menurut Jenis Kelamin

Periode Nama badan

Perempuan Laki-laki Laki

laki+perempuan

Jumlah % Jumla

h

% Jumlah %

1992-1997 DPR 60 12.5 434 87.85 494 100.00

MPR 0 0.00 0 0.00 0 0.00

1997-1999 DPR 56 11.20 444 88.80 500 100.00 MPR 62 12.40 438 87.60 500 100.00 1999-2004 DPR 44 8.80 456 91.20 500 100.00 MPR 19 9.74 176 90.26 195 100.00 2004-2009 DPR 53 10,73 446 89,27 499 100.00 Sumber: Sekjen MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia 1999 dan 2004, BPS)

Terjadinya penurunan partisipasi perempuan dalam politik, sehingga pada tahun 2003 di tetapkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 pada pasal 65 yang memberi ruang bagi perempuan dengan menguatkan quota 30% untuk kaum perempuan berpartisipasi secara aktif dalam kancah politik, namun kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi yang di akibatkan rendahnya kecerdasan dan tingkat pendidikan kaum perempuan.

Setiap partai politik hendaknya mampu memberikan pendidikan politik, mencerdaskan, memajukan kaum perempuan terutama konstituennya. Apabila kaum perempuan masih relatif terbelakang dengan kaum pria, maka kaum perempuan harus diproses supaya siap untuk di lingkungan elit partai.

Pada gambaran di atas tentang rendahnya kualitas keterwakilaan perempuan di berbagai lembaga politik formal, khususnya di kader parpol menegaskan


(6)

bahwa kaum perempuan masih diterbelakangkan dalam kepartisipasiannya dalam politik. Problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali dengan di sahkannya UU Pemilu 2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30% bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

Peranan perempuan dalam partisipasi politik tidak hanya berpartisipasi secara langsung ke dalam dunia politik, tetapi partisipasi juga dapat berbentuk ikutserta dalam menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin negara. Terbukanya sistem demokrasi secara luas di Indonesia memberikan kesempatan yang baik bagi perkembangan perpolitikan bangsa.

Salah satu indikator berjalannya suatu sistem politik secara demokratis dan untuk mengukur tingkat partisipasi perempuan dalam bidang politik adalah adanya keterlibatan perempuan untuk turut berpartisipasi di dalam pemilu. Keterlibatan perempuan menjadi suatu syarat mutlak bagi sebuah bangsa untuk membangun negara dengan konsep demokrasi. Keterlibatan warga negara dapat dimaknai sebagai keterlibatan yang menyeluruh tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan.

Menurut Miriam Budihardjo (1992:5-6), partisipasi politik perempuan, terbagi ke dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, aktivis, dan apolitis. Partisipasi politik sebagai pengamat di tunjukan dalam bentuk memberikan suara, partisipasi politik perempuan sebagai partisipan yaitu dengan ikutserta dalam diskusi informal, partisipasi politik perempuan sebagai aktivis yaitu


(7)

menjadi anggota penyelenggara pemilu dan sebagai pengurus partai politik, apolitis adalah tidak ikut dalam pemilihan umum dan bersifat acuh tak acuh terhadap dunia politik.

Partisipasi politik perempuan dalam pemilihan kepala negara ataupun daerah baik di kabupaten/kota maupun provinsi ternyata partisipasi politik perempuan masih sangat minim, hal ini dilihat dari hasil prariset di sebuah salah satu Pekon di Kabupaten Lampung Barat dan dapat dilihat dalam lembar tabel.


(8)

6 1 Jumlah Pemilih yang

menggunakan

hak pilih berdasarkan daftar salinan pemilih tetap untuk TPS

Lampung Lampung Barat Lampung Lampung Barat Laki-laki 1.915.991 '106.724 1.854. 102.826 Perempuan 1.784.222 87270 1.731.631 84.050 Jumlah 3.700.213 139.994 3.586.201 186.876

2 Jumlah Pemilih yang tidak menggunakan hak pilih

Laki-laki 492.661 31.172 540.467 34.693 Perempuan 466.375 28.952 497.841 31.587 Jumlah

959.036 60.124 1.038.308 66.280

Sumber : Pra riset Tanggal 7 Desember 2009, Pukul 11.00 Wib- Pukul 12.00 Wib di Kantor KPU Pusat Provinsi Lampung ( Rekapitulasi Data Hasil Pemilihan Presiden Putaran I dan II)


(9)

7 Tahun 2008

1

Jumlah Pemilih yang menggunakan hak pilih berdasarkan

daftar salinan pemilih tetap untuk TPS

Lampung Lampung Barat

Laki-laki 1.837.079 101.672

Perempuan 1.755.220 82.949

Jumlah 3.592.299 184.621

2 Jumlah Pemilih yang tidak menggunakan hak pilih

Laki-laki 944.770 55.873

Perempuan 840.739 49.279

Jumlah

1.785509 105.152

Sumber : Pra riset Tanggal 7 Desember 2009, Pukul 11.00 Wib- Pukul 12.00 Wib di Kantor KPU Pusat Provinsi Lampung ( Rekapitulasi Data Hasil Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Lampung)


(10)

Pada tahun 2004 perolehan suara dalam rekapitulasi lebih banyak yang berperan dalam partisipasi pemberian suara pada pemilihan presiden seperti yang terjadi di Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Barat khususnya Pekon Kampung Jawa yang dapat dilihat dalam tabel rekapitulasi jumlah pemilih dan suara serta tabel rekapitulasi partisipasi perempuan dalam memberikan hak suara di pemilu presiden tahun 2009, dengan tabel sebagai berikut :

Tabel 4 : Rekapitulasi Jumlah Pemilih Pemilu Presiden Tahun 2009 Jumlah Pemilih Pemilu Presiden Tahun 2009

No Uraian Provinsi

Lampung

Lampung Barat

Pekon Kampung Jawa 1. Jumlah Pemilih

Dalam Daftar Pemilih Tetap

Laki-laki 2.829.203 163.030 748 Perempuan 2.667.633 139.144 619 Jumlah 5.496.836 302.144 1.367 2. Jumlah Pemilih

dalam DPT yang

Menggunakan Hak Pilih

Laki-laki 2.122.127 124.612 462 Perempuan 2.005.866 103.385 478 Jumlah 4.127.993 227.997 940

Sumber : Rekapitulasi Pemilih dan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dan Pra riset Tanggal 7 Desember 2009 Pukul 11.00-12.00 di kantor KPU Provinsi Lampung.

Berdasarkan data hasil perolehan suara menurut DPT yang ada di Provinsi Lampung bahwa partisipasi politik masyarakat dalam memberikan hak pilih masih tergolong minim khususnya partisipasi perempuan dalam memberikan hak pilih.


(11)

Tabel 5. Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden di Panitia Pemilihan Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat

No Pekon Jumlah DPT Perempuan

Jumlah Yang Tidak Menggunakan Hak Pilih

Perempuan %

1 B. Kencana 586 81 13

2 W. Suluh 507 90 17

3 W. Napal 328 90 27

4 Pdg. Halu 236 52 22

5 Lintik 596 137 22

6 Pemerihan 228 50 21

7 Walur 180 21 11

8 W.Redak 304 80 26

9 Seray 525 140 26

10 Kampung Jawa

619 182 29

11 Rawas 452 86 19

12 Ps Krui 300 25 8

13 S.K.Negara 362 104 28

14 Pahmung 401 99 24

15 Pj. Bulan 111 13 11

16 B. Waras 149 29 19

17 Pr. Ilir 538 153 28

18 B.Agung 143 25 17

19 U. Ilir 963 180 18

20 Gn.Kemala 1.027 181 17

Sumber : Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Pemilihan Umum PresidenTingkat Panitia Pemilihan Kecamatan Tahun 2009

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Dina Melisa yang berusia 20 Tahun yang berlatar belakang pendidikan SMP, dan Ibu Maryamah yang berusia 47 Tahun yang berjenjang pendidikan SD adalah salah satu kaum perempuan yang tidak berpartisipasi memberikan hak pilihnya pada pemilu 2009. Hasil wawancara dengan narasumber tersebut bahwa tidak menggunakan hak pilih karena kurang dukungan kepala keluarga serta tidak memahami betapa pentingnya menggunakan hak pilih.


(12)

Prariset: 22 September 2009 pukul 11.00-13.00 pada Kantor Peratin Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat.

Uraian di atas menjadi latar belakang untuk mengkaji faktor hambatan perempuan di Pekon Kampung Jawa berpartisipasi politik dalam pemilihan Presiden 2009.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:”Apa saja yang menjadi faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan Presiden Tahun 2009 di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat?”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menjelaskan tentang faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan Presiden Tahun 2009 di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi dalam kajian ilmu politik khususnya pada sistem politik di Indonesia serta sistem kepartaian dan Pemilu di Indonesia.


(13)

2. Secara praktis penelitian ini di harapkan dapat memberi masukan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Organisasi-organisasi swadaya untuk mengoptimalkan sosialisasi dalam rangka meningkatkan partisipasi perempuan.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Faktor Penghambat Partisipasi Politik Perempuan 1. Partisipasi Politik Perempuan

Menurut Surbakti (1992:141) partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi. Demokrasi di dasari oleh nilai–nilai partisipasi seperti keikutsertaan warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik dalam proses pemilihan pemimpin baik secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Menurut Budihardjo (1992:1), partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dengan cara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (Publik Policy). Kegiatan ini mencangkup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,

Menurut Mc Closky dalam International Encyclopedia of the Social Siences (Budihardjo, 2008:367) “partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat secara sukarela mengambil bagian dari proses pemilihan pemimpin langsung atau tidak langsung dalam proses pengambilan kebijakan umum.”


(15)

(The term political participation will refer those voluntary activities by wich members of a society share in the selection of rules and directly, in the formation of public policy).

Partisipasi dalam politik tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki namun kaum perempuan pun ikutserta berpatisipasi dalam politik. Partisipasi politik yang dilakukan oleh para aktivis perempuan baik di partai politik maupun organisasi kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam upaya meningkatkan peran sekaligus mengembangkan sumber daya yang di miliki oleh para perempuan.

Partisipasi yang dilakukan oleh para aktivis perempuan pada hakekatnya adalah usaha untuk menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang di miliki oleh perempuan. Secara umum kepartisipasiannya tidak hanya pada bidang politik, tetapi dalam segala bidang kehidupan perempuan mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta atau berpartisipasi aktif.

Keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik pada masa sekarang sudah tidak terhindarkan lagi, wacana dan isu perempuan menjadi isu strategis dalam setiap program baik di tingkat Internasional, Nasional maupun Lokal. Keterlibatan perempuan dalam struktur kekuasaan formal tidak serta merta mengindikasikan adanya keadilan dan kesetaraan gender, tetapi harus dilihat lebih jauh terhadap produk-produk kebijakan atau keputusan yang ada sudah mempunyai perspektif gender.

Partisipasi dan akses kaum perempuan pada kehidupan publik adalah baik meskipun tidak terlalu signifikan, tetapi pasca 1999 kualitas kinerja hak


(16)

dan institusi tersebut mengalami perkembangan yang membaik, khususnya berkaitan dengan kebebasan dan keterbukaan bagi kaum perempuan untuk lebih mengaktualisasikan diri mereka di ranah publik.

Partai politik belum secara serius memfokuskan usahanya untuk memperdayakan perempuan atau meningkatkan partisipasi di bidang politik. Perdebatan mengenai penerapan quota untuk perempuan yang berlangsung saat pembahasan Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 hanya menghasilkan kuota sukarela 30 % perempuan dalam daftar calon partai politik.

Undang-Undang tentang Partai Politik Nomor 12 Tahun 2003 walaupun telah memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan gender, serta Undang-Undang Pemilu Nomor 31 Tahun 2002 yang memberi peluang terwakilinya perempuan dalam lembaga legislatif minimal 30% merupakan peluang bentuk affirmative action dari pengambilan kebijaksanaan negara sebagai jaminan awal terakomodasinya kepentingan perempuan sebagai populasi mayoritas bangsa, secara kuantitatif angka tersebut belum cukup proporsional. Kedua rumusan undang-undang tersebut adalah :

1. Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan di pilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik yang sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender (Undang-Undang tentang Partai Politik pasal 31 ayat 3).

2. Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan


(17)

sekurang-kurangnya 30 % (Undang-Undang tentang Pemilu pasal 65 ayat 1). Meski kedua Undang-Undang tersebut tidak bersifat imperatif, namun semangat yang ada di dalamnya patut di respon oleh kaum perempuan. Bentuk tindakan dan aktifitas yang positif sebagai tanggung jawab atas peluang yang di berikan, karena selama ini partisipasi perempuan menunjukkan representasi yang rendah atau under represented.

Minimnya representasi perempuan di bidang politik selama ini sering kali dikaitkan dengan alasan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perempuan yang lebih rendah, meskipun alasan tesebut tidak sepenuhnya salah, tetapi realitas menunjukkan bahwa potensi perempuan di bidang politik tidaklah tepat bila di anggap lebih rendah dari laki-laki.

Menurut Mulia (2005:28) dalam http://arifsusanto.blogspot.com, ada beberapa faktor yang merupakan penyebab perempuan terkucil dari lembaga politik. Mulai dari kendala budaya, agama, ekonomi, dukungan keluarga, hingga sistem politik itu sendiri yang memang tidak ramah terhadap perempuan.

Menurut MariaEtty(2004:11)dalam http://Nongmahmada.blogspot.com “bahwa perempuan cenderung mengikuti pilihan laki-laki baik itu ayah maupun suami, sebagai pemilih, perempuan lebih di tekankan kepada budaya yang melekat yang mengatakan bahwa perempuan adalah pelayan bagi laki-laki serta tidak berhak mengambil keputusan termasuk dalam pilihan politik saat pemilu masih terus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.

Partisipasi politik perempuan tidak hanya berperan dalam perlemen atau ikutserta kedalam dunia politik secara langsung, namun kaum perempuan pun berpartisipasi politik dalam memberikan hak pilihnya dalam pemilihan umum.


(18)

2. Hah-hak Politik Perempuan

UUD 1945 yang menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki yang dinyatakan pada pasal 27 UUD 1945 dan negara pun telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Konvensi Hak-hak Politik Perempuan melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958.

Norma budaya masih tetap mengklasifikasikan aktifitas politik sebagai monopoli kaum laki-laki dan juga melanggengkan gagasan bahwa kekuasaan adalah tidak feminin, laki-laki mendominasi kebudayaan kita dan menganggap perempuan sebagai mahluk tak berdaya, adanya hal-hal tersebut maka Konvensi wanita memuat antara lain:

1. Jaminan persamaan hak untuk memilih dan dipilih

2. Jaminan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya.

3. Memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat.

4. Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan.

5. Berpartisipasi dalam perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat

Sebelumnya Pemerintah Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1956 yang di antaranya memuat :


(19)

Pemilihan dengan ketentuan syarat-syarat sama dengan pria tanpa diskriminasi

2. Wanita dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan pemilihan umum yang di dirikan nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan pria tanpa adanya suatu diskriminasi

3. Wanita mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum yang di tetapkan oleh hukum nasional dengan syarat yang sama dengan pria tanpa adanya diskriminasi

Semua aturan tersebut menyatakan bahwa tidak didapat satu peraturan pun yang mendiskriminasikan perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik maupun di kehidupan publik lainnya.

3. Gender dan Politik

Kata „gender’ dapat di artikan sebagai peran yang di bentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin.

Gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan dalam tingkatan yang berbeda-beda dan di butuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan tersebut.


(20)

Suasana ketidakadilan tersebut terkadang bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi.

Istilah „kesetaraan gender’ bisa diartikan secara berbeda-beda tergantung pada konteks kesetaraan. Tiap-tiap budaya dan masyarakat dapat mengambil jalan yang berbeda dalam upaya umtuk mencapai kesetaraan gender. Kesetaraan gender secara implisit berarti kebebasan bagi perempuan dan laki-laki untuk memilih peran dan akibat-akibat yang berbeda, tergantung pada pilihan-pilihan dan tujuan-tujuan per individu.

Konseptualisasi gender dalam pendekatan konstruksi sosial, gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultur yang membedakan karakteristik maskulin dan feminim.

Menurut Chafetz (1991) ketidakseimbangan berdasarkan gender (Gender Inquality) mengacu pada ketidakseimbangan akses pada sumber daya manusia yang langka pada kalangan masyarakat. Keseimbangan ini berdasarkan pada keanggotaan kategori gender. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan serta kebebasan tampaknya kurang memperhatikan aspek sosial dan budaya yang mengkonstruksikan ketimpangan gender.

Konstruksi sosial menjelaskan kecenderungan, ketimpangan gender yang dilihat dari realitas yang dibentuk secara sosial, dalam hal ini konstruksionisme sosial menekankan realitas keadaan dan pengalaman mengenai aktivitas sosial.

Menurut Burger dan Lukman (1990 : 30:5), masyarakat adalah produk manusia antar masyarakat dengan manusia maka terjadilah proses dialektual. Manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai pencari makna, memperoleh makna kehidupan dari proses dialektika yang melibatkan dua proses yaitu :


(21)

a. Eksternalisasi merupakan proses atau ekspresi diri manusia di dalam membangun tatanan kehidupan sebagai konstruksi budaya, gender terbentuk dari sejarah pengalaman manusia yang diinterpretasikan dan dimaknai berdasrkan pengetahuan lembaga sosial, agama dan nilai-nilai budaya.

b. Internalisasi merupakan proses pembelajaran tentang nilai-nilai general atau realitas objektif oleh individu, dan dijadikan bagian dari hidup yang menyangkut identifikasi dari individu kedalam realitas objektif. Untuk mencapai taraf objektif setiap individu secara terus menerus berinteraksi dalam bersosialisasi dengan lingkungan sosial dan budaya sehingga kaum peempuan dibentuk suatu pribadi dengan suatu identitas yang dikenal secara subjektif dan objektif.

Gender menjadi aspek dominan dari definisi politik dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas. Hubungan gender dengan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan keluarga antara suami dan istri sampai pada tataran kemasyarakatan yang lebih luas, misalnya dalam politik praktis. Tataran hubungan kekuasaan pun bervariasi, mulai dari tataran simbolik, penggunaan bahasa dan wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan, migrasi, kekerasan, tanah, dan keterwakilan perempuan dalam partai politik.

Dimensi-dimensi yang dapat menjadi dasar analisis terhadap relasi gender dan politik pun beragam, mulai dari dimensi kultural, ideologis, sampai historis. Politik secara umum sering didefinisikan ke dalam beberapa hal, disatu sisi politik didefinisikan sebagai ilmu dan di sisi lain politik didefinisikan sebagai seni dan praktik tentang pemerintahan yang di dalamnya terdapat aspek kekuasaan yang terorganisasi. Institusi-institusi kekuasaan, ataupun perlawanan kekuasaan.


(22)

Konsep politik hampir selalu dihubungkan dengan pemerintahan negara. Ketika berbicara politik, orang kemudian merujuk pada partai politik, lembaga eksekutif atau legislatif. pada dasarnya manusia adalah homo politicus, yang berarti bahwa mereka memiliki kecenderungan berpolitik dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mempraktikkan perjuangan, perlawanan, pertentangan, kompetisi, serta strategi-strategi untuk mencapai tujuan tertentu.

Hubungan kekuasaan antara aktor-aktor sosial yang berbeda dalam masyarakat dalam bentuk hubungan individual maupun kolektif baik secara vertikal maupun horisontal. Konsep politik mengacu pada hubungan kekuasaan yang lebih luas, tidak hanya pada tataran elit politik, tetapi pada masyarakat umum dengan berbagai kategori berbeda yang terimplikasi di dalamnya misalnya gender, kelas, golongan usia, etnisitas, dan sebagainya.

4. Bentuk Partisipasi Politik Perempuan

Menurut Miriam Budihardjo (1992:5-6) partisipasi politik perempuan terbagi ke dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, aktivis, dan apolitis.

a. Partisipasi politik perempuan sebagai pengamat ditunjukan dalam bentuk memberikan suara.

b. Partisipasi politik perempuan sebagai partisipan adalah dengan ikut serta dalam diskusi informal, sebagai peserta kampanye, menjadi juru kampanye, menjadi saksi dalam pemilu.


(23)

c. Partisipasi politik perempuan sebagai aktivis adalah menjadi anggota penyelenggara pemilu dan sebagai pengurus partai politik. d. Sedangkan partisisipasi politik perempuan sebagai apolitis adalah

tidak ikut dalam pemilihan umum dan bersifat acuh tak acuh terhadap dunia politik.

(http//www.partisipasipolitikperempuan.com) dalam Wahyudi, Bambang. 2007.(PartisipasPolitkiElitPolitikPerempuanKotaSemarangdalamPemiluTa hun2004)

5. Hambatan Perempuan Berpartisipasi Politik

Menurut kamus besar bahasa Indonesia ( 1990:235), menjelaskan bahwa hambatan ataupun penghambat adalah hal yang menjadi penyebab atau karenanya, tujuan atau keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan.

Faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan kepala negara ataupun daerah ada dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor penghambat internal yaitu faktor segi pendidikan, segi kultur budaya, segi keluarga, segi diri perempuan itu sendiri sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar yang melingkupi sosialisasi atau pengarahan, segi pandangan politik, dan segi peran lokal.

Pembagian peran gender secara biologis antara laki-laki dan perempuan dibangun di atas konstruk budaya patriarkis. Interpretasi agama yang disalahartikan merupakan hambatan karir perempuan dalam politik, sehingga perempuan berpartisipasi di wilayah politik tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya atau bahkan dirinya sendiri.


(24)

Menurut Ramlan Surbakti dalam Liza Hadis (404:2004) beberapa hambatan yang dirasakan oleh perempuan yaitu:

a. Segi Pendidikan (internal)

Adanya pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdampak pada perbedaan pada penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK, sehingga tertinggal dalam memperoleh informasi dan keterbatasan komunikasi, sehingga perempuan terhambat dalam membangun jaringan di wilayah publik. Informasi tentang politik selalu diterima melalui perspektif laki-laki, sehingga perempuan tereliminasi karena beranggapan bahwa politik menjadi fenomena di luar dirinya. Hal ini dapat menjadi kendala terbesar dalam mengangkat keterpurukan dan ketertindasan perempuan dalam nuansa budaya patriarkhi sehingga menjadi penghambatan yang besar bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

b. Segi Kultur Budaya (internal)

Segi kultur budaya bahwa terdapat perbedaan kemampuan antara perempuan dan laki-laki dalam memimpin, bahkan perempuan selalu menilai bahwa kebudayaan suku/etnis mempengaruhi kepartisipasiaanya dalam politik bahkan segi kultur budaya pun perempuan cendrung mengikuti pilihan laki-laki baik itu ayah ataupun suami. Perempuan lebih ditekankan kepada budaya yang melekat, yang mengatakan bahwa perempuan adalah pelayan bagi laki-laki serta perempuan tidak berhak mengambil keputusan termasuk dalam pilihan politik.

c. Segi Keluarga (Internal)

Segi keluarga adalah masih terikat dengan adanya faktor budaya yang menyatakan perempuan di dalam mengambil keputusan harus berdasarkan suami/ayah karena perempuan dianggap sebagai pelayan bagi laki-laki serta tidak berhak mengambil keputusan termasuk dalam pilihan politik, sehingga kurangnya dukungan keluarga di dalam perempuan berpartisipasi.

d. Segi diri Perempuan Sendiri (Internal)

Hambatan berpartisipasi secara politis berasal dari perempuan sendiri. Pencitraan perempuan sebagai mahluk lemah, tidak mandiri, kurang tanggung jawab yang sudah meresap di alam bawah sadar, dirasakan oleh perempuan sebagai fitrah, bawaan dan kodrati. Inferioritas (rendah diri) akibat konstruk masyarakat juga menjadi hambatan perempuan dalam proses aktualisasi potensi dirinya. Kurang mampunya perempuan mengukur potensi diri menyababkan perempuan seolah kehilangan jati


(25)

dirinya. Sebagai akibatnya adalah pola pikir perempuan menjadi sangat akrab dengan kepasrahan, sengaja atau tidak akan dimanfaatkan oleh kekuatan superioritas laki-laki.

e. Sosialisasi atau Pengarahan (Eksternal)

Sosialisasi atau pengarahan tentang politik atau tentang pemilihan umum kaum perempuan terkadang menganggap bahwa sosialisasi tersebut dianggap tidak perlu untuk dihadiri, karena perempuan lebih mementingkan kepentingan yang bersifat pribadi. Perbedaan sosialisasi antara kaum perempuan dan laki-laki adalah di dalam pemberian pengarahan politik selalu mengutamakan laki-laki di dalam pemberian pengarahan politik. Perempuan selalu dianggap tidak perlu mengikuti sosialisasi tersebut karena dianggap sebagai second class bahkan karena rendahnya tingkatan pendidikan kaum perempuan maka di dalam sosialisasi pun kaum perempuan diterbelakangkan

f. Pandangan tentang Politik (eksternal)

Pandangan politik adalah bahwa kaum perempuan tidak dapat berpartisipasi politik karena perempuan terkadang memandang politik itu tidak terlalu penting. Perempuan lebih mementingkan urusan rumah tangganya daripada politik. Sebagian perempuan beranggapan bahwa memasuki wilayah politik adalah memasuki wilayah yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan luar biasa. Sebagian perempuan beranggapan bahwa memasuki wilayah politik adalah memasuki dunia yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Kurangnya kaum perempuan yang memiliki naluri juang untuk berpolitik untuk membela kaum perempuan yang lemah dan tertindas yang dikenal dengan politik androsendtris, politik androsentris dengan ciri khasnya adalah memarginalisasi perempuan, semestinya menjadi agenda untuk dihapuskannya dan mempopulerkan politik androgini agar siapapun baik laki-laki atau perempuan dapat menyuarakan suara perempuan.

g. Segi Peran Lokal (eksternal)

Peran lokal adalah dimana peran lingkungan seperti tokoh masyarakat dalam partisipasi politik tidak medukung kaum perempuan berpartisipasi dikarenakan faktor lingkungan yang memandang kaum perempuan hanya sebagai pelayan bagi suami serta keterbelakangan pendidikan di kalangan lingkungan sekitar bahkan tokoh masyarakat jarang memberikan saran sebagai dukungan agar perempuan bisa dan yakin jika perempuan itu sendiri mampu berpartisipasi politik.


(26)

B. Pemilihan Umum Presiden 1. Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan perwujudan dari demokrasi dan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 yang memiliki tujuan untuk memilih presiden, gubernur dan bupati/walikota serta para wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam DPR, MPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Secara umum fungsi pemilu adalah :

1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin dalam pemerintahan.

2. Mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembaga DPR/MPR.

3. Sebagai sarana menggalang dukungan rakyat pada negara dan pemerintahan melalui keikutsertaannya dalam proses politik. (Kamus Istilah Politik dan Kewarganegaraan, 2006:155-156)

Menurut Eep Saefullah Fatah ( 1977:14-15) menyatakan bahwa praktik pemilu dalam sistem politik modern, pemilu di bedakan menjadi dua tipe pemilu, yakni:

a. Pemilu sebagai formalitas Politik, pemilu yang hanya dijadikan sebagai alat legalisasi pemerintahaan non-demokratis. Pemilunya sendiri tidak

di jalankan secara demokratis atau setidaknya pura-pura demokratis (pseudo demokratis).

b. Pemilu sebagai alat demokrasi yang egaliter adalah pemilu yang di jalankan secara jujur, bersih, bebas, kompetitif, dan adil. Pemerintahan yang

menyelenggarakan pemilu kerap menerima kenyataan bahwa pemilu yang mereka adakan justru menjatuhkan mereka dari tampuk pemerintahan dan memunculkan kelompok politik lain yang di kehendaki rakyat. Keadaan pemilu ini bisa menjadi alat ukur yang valid untuk menentukan kualitas demokrasi sebuah sistem politik.


(27)

Ada empat kerangka konsepsional dalam pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia yang berdasarkan UUD 1945, yaitu : Pertama, konstitusi kita menghendaki agar pemilihan umum di laksanakan setiap lima tahun sekali dan dihindari Pemilu yang lebih dari satu kali dalam lima tahun, kecuali karena keadaan darurat. Kedua, memberikan kedaulatan kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan presidennya, tanpa ada censorship baik dari lembaga perwakilan maupun dari partai politik. Ketiga, yaitu jalan tengah antara pemberian peran kepada partai politik dan calon perseorangan; dan Keempat, terkait dengan pembangunan partai politik dan sistem pemerintahan presidensial yang kuat, yaitu dengan memberi peran eksklusif kepada partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ikut dalam pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat.

(Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No. 51-52-59/PUU-VI/2008).

Pemilihan umum menurut Haris G. Warren yang dikutif dalam

Haryanto (1994) yakni pemilihan adalah merupakan kesempatan bagi warga negara untuk memilih pejabat pemerintah dan memutuskan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah dan keputusan para warga negara menentukan yang mereka inginkan untuk dimiliki warga.

Bardasarkan pemaparan di atas dapat diartikan bahwa pemilu merupakan serana legitimasi masyarakat kepada penguasa, pemilu juga sering dikatakan sebagai jantung dari kehidupan demokrasi, bukan berarti terlaksananya pemilu disuatu negara berarti cerminan tegaknya demokrasi. Pemilu dapat juga di


(28)

artikan sebagai partisipasi warga negara untuk memilih pemimpin negara yang akan bertindak sebagai penyelenggara negara.

2. Sistem Pemilihan Umum

Sistem pemilihan umum merupakan suatu konsep yang berkaitan erat dengan badan perwakilan rakyat dengan fungsi sistem pemilihan umum yang mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan. Sistem pemilhan umum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengandung tiga pokok variabel, yaitu:

Pertama, penyuaraan (balloting) yang artinya tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Kedua, daerah pemilihan (electorate district) yang artinya ketentuan yang mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilih. Ketiga, formula pemilihan yang artinya rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Formula pemilihan dibedakan menjadi tiga yakni: formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang (proportional refresentation). (Ramlan Surbakti, 1999:176-181).

3. Pengertian Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum yang diselenggarakan secara demokratis dan


(29)

beradab yang melalui partisipasi masyarakat luas yang berdasarkan asas langsung, umum, bebas, jujur, rahasia dan adil untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemilihan presiden dan wakil presiden meliputi beberapa tahap yaitu ;

a. Penyusunan daftar pemilih,

b. Pendaftaran bakal pasangan calon, c. Penetapan pasangan calon,

d. Masa kampanye, e. Masa tenang,

f. Pemungutan dan penghitungan suara,

g. Penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden, h. Pengucapan sumpah /janji presiden dan wakil presiden.

Penetapan calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :

a. Bertakwa kepada tuhan yang maha esa,

b. Warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,

c. Tidak pernah menghianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya,

d. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden,


(30)

e. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),

f. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara,

g. Tidak sedang memilki tanggungan secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara,

h. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, i. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela,

j. Terdaftar sebagai pemilih;

k. Memilih nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama lima tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi,

l. Belum Pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama,

m. Setia kepada pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945,

n. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, o. Berusia sekurang-kurang 35 tahun,


(31)

p. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrayah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat, q. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia

atau organisasi massanya serta bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan

r. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan Negara Republik Indonesia.

Melalui mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara terbuka yang diikuti oleh seluruh warga negara. Setiap warga negara diberikan hak pilih untuk memilih presiden seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden dalam pasal 27: 1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap

berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah mempunyai hak memilih. 2. Warga Negara Indonesia yang dimaksud yaitu didaftar oleh

penyelenggara pemilu presiden dan wakil presiden dalam daftar pemilih.

C. Kerangka Pikir

Partisipasi politik perempuan dapat diartikan sebagai keikutsertaan kaum perempuan dalam bidang politik, baik berpartisipasi secara langsung di dalam dunia politik seperti aktif di dalam keanggotaan partai politik maupun kegiatan sosial yang berbau politik. Partisipasi politik perempuan dapat ditunjukkan melalui ikut berpartisipasi dalam memberikan hak suaranya di dalam pemilihan umum seperti pada pemilihan presiden tahun 2009.


(32)

Partisipasi politik perempuan dalam memberikan hak pilihnya dalam pemilu memiliki beberapa faktor penghambat yang menyebabkan perempuan tidak menggunakan hak pilihnya yaitu dari segi internal dan eksternal. Faktor penghambat dari segi internal yaitu dari segi pendidikan, segi kultur budaya, segi keluarga, segi diri perempuan itu sendiri yang bermental minor sedangkan penghambat dari segi eksternal yaitu segi sosialisasi atau pengarahan tentang politik di saat menjelang pemilu, segi pandang politik, dan segi peran lokal.

Persentase perempuan yang tidak menggunakan hak pilihnya di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat yaitu sebesar 29%, dan penulis akan melihat faktor penghambat dari segi internal dan eksternal yang menjadi kendala bagi perempuan untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden Tahun 2009 di kampung ini.


(33)

Gambar 1. Kerangka Pikir

Hambatan

Partisipasi Perempuan pada Pemilihan Presiden Internal:

- Segi Pendidikan - Segi Kultur Budaya - Segi Keluarga - Segi Perempuan Itu

Sendiri

External:

- Sosialisasi atau Pengarahan - Segi Pandangan Politik - Segi Peran Lokal


(34)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Nasir (2003:54) metode deskriptif adalah metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di teliti yaitu tentang Faktor Penghambat Partisipasi Politik Perempuan dalam pemilihan presiden tahun 2009 di Pekon Kampumg Jawa.

Menurut Nawawi (1991:63) penelitian deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan masalah keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya.

Berdasarkan pendapat di atas, maka penelitian ini menggunakan penelitian yang menggambarkan atau mendiskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu dengan penjelasan yang bersifat kuantitatif atau fakta yang ada dalam


(35)

menjelaskan tentang partisipasi politik permpuan dalam pemilihan presiden 2009 di Pekon Kampung Jawa.

B. Definisi Konseptual dan Operasional 1. Definisi Konseptual

Definisi Konseptual merupakan pemaknaan dari konsep yang digunakan sehingga akan memudahkan peneliti untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di lapangan. Definisi konseptual pada penelitian ini adalah:

a. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990:235) menjelaskan bahwa hambatan ataupun penghambat adalah hal yang menjadi penyebab tujuan atau keinginan tersebut tidak dapat di wujudkan.

b. Hambatan perempuan berpartisipasi antara lain terbagi menjadi dua yaitu eksternal dan internal. Hambatan yang tergolong internal yaitu: Segi pendidikan, segi kultur budaya, segi keluarga, segi diri perempuan sendiri. Hambatan yang tergolong eksternal yaitu: Sosialisasi atau pengarahan, segi pandangan politik, dan segi peran lokal.

c. Pemilihan presiden dan wakil presiden adalah sarana pelaksanaan dari kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden secara lansung oleh rakyat dalam pemilu yang diselenggarakan secara demokratis dan


(36)

beradab melalui partisipasi rakyat berdasarkan azas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER).

2. Definisi Operasional

Menurut M. Tatang Arifin (1995:215) definisi operasional ialah petunjuk tentang bagaimana variabel diukur. Definisi operasional dapat memudahkan peneliti untuk meneliti suatu variabel. Definisi operasional berkaitan dengan faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan presiden di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penghambat partisipasi politik perempuan dalam faktor internal dan eksternal, maka di lakukan pengkategorian atas hambat-hambatan tersebut:

a. Faktor Internal

1. Segi pendidikan (SDM) adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang politik perempuan masih sangat rendah sehingga banyak dari kaum perempuan yang tidak memahami politik dan mengabaikan partisipasi terhadap politik.

2. Segi kultur budaya adalah tingkat keyakinan warga pada nilai-nilai tertentu yang mengarah pada peternalistik dan primordialisme, dimana perempuan di tempatkan setelah laki-laki dalam beberapa hal seperti halnya dalam pengambilan keputusan perempuan hanya mengikuti keputusan kepala keluarga sedangkan kepala keluarga dari kaum perempuan di Pekon Kampung Jawa sangat rendah


(37)

dukungannya untuk memberikan kesempatan dalam berpartisipasi sehingga banyak dari kaum perempuan di Pekon Kampung Jawa yang tidak menggunakan hak pilihnya.

3. Segi keluarga masih terikat dengan adanya faktor budaya yang menyatakan perempuan didalam mengambil keputusan harus berdasarkan suami/ayah ataupun dari pihak keluarga yang lainnya, sehingga kurangnya dukungan keluarga untuk memberikan peluang bagi perempuan berpartisipasi politik dalam menggunakan hak pilihnya.

4. Segi diri perempuan itu sendiri yang bermental minor yaitu dimana kaum perempuan yang memiliki mental dimana mereka tidak dapat menghadapi suatu tekanan dari persaingan politik serta kaum perempuan selalu menonjolkan aktivitas di sektor domestik bahkan perempuan memiliki beban ganda yang harus terbebani sehingga menghambat kaum perempuan berpartisipasi.

b. Faktor Eksternal

1. Sosialisasi atau pengarahan tentang politik atau tentang pemilihan umum, dimana kaum perempuan terkadang menganggap bahwa sosialisasi tersebut dianggap tidak perlu untuk dihadiri, karena perempuan lebih mementingkan kepentingan yang bersifat pribadi.

2. Pandangan politik adalah bahwa kaum perempuan tidak dapat berpartisipasi politik karena perempuan terkadang memandang


(38)

politik itu tidak terlalu penting, karena perempuan lebih mementingkan urusan rumah tangganya. Sebagian perempuan beranggapan bahwa memasuki wilayah politik adalah memasuki wilayah yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan luar biasa.

3. Peran Lokal dimana peran lingkungan dalam partisipasi politik tidak mendukung kaum perempuan berpartisipasi karena faktor lingkungan yang memandang kaum perempuan hanya sebagai pelayan bagi suami serta keterbelakangan pendidikan di kalangan lingkungan sekitar.

C . Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini bertempat di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat dengan pertimbangan bahwa permasalahan yang ada relevan dengan judul yakni tingginya jumlah perempuan yang tidak menggunakan hak pilih dibandingkan dengan pekon lain.

Waktu penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu: prariset dan riset. Pada tahap prariset peneliti telah turun ke lokasi untuk mendapatkan data-data yang sangat berguna untuk penelitian diantaranya kegiatan mengindentifikasi masyarakat Pekon Kampung Jawa yang tidak memilih untuk dijadikan responden dalam penelitian ini, sedangkan pada tahap riset peneliti melakukan penyebaran kuesioner terhadap 65 orang responden yang berlangsung dari tanggal 13 sampai dengan 18 April 2010.


(39)

D. Jenis Data

Sumber data pada pelaksanaan penelitian ini di bedakan menjadi dua yaitu:

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui kuesioner dengan 27 pertanyaan yang diajukan secara langsung kepada responden yang tidak menggunakan hak pilih, responden dalam penelitian ini tidak hanya berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) tetapi beberapa responden juga tidak terdaftar dalam DPT yakni sebanyak 15 orang. Mereka yang tidak terdaftar dalam DPT telah diidentifikasi pada saat prariset yang berlangsung sejak tanggal 22 sampai dengan 30 September 2009, alasan mengambil responden diluar DPT yakni untuk melihat apakah ada alasan lain yang menyebabkan responden tidak memilih, hal ini dikarenakan adanya alternatif bagi mereka untuk memilih dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) dan 50 orang responden lainnya adalah perempuan yang tidak memilih yang terdaftar dalam DPT. Proses penyebaran kuesioner penelitian berlangsung dari tanggal 13 sampai dengan 18 April 2010.

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber pendukung berupa arsip-arsip Undang Nomor 42 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Aspek dan Keadilan Gender, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Pemilu (Keterwakilan


(40)

Perempuan) Tentang Pemilihan Presiden, jurnal perempuan untuk politik, rekapitulasi hasil perolehan suara pada pemilu 2004 dan 2009, artikel yang berkaitan dengan penelitian.

E. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Menurut Bambang Prasetyo (2005:119) yang dimaksud populasi adalah keseluruhan gejala atau satuan yang ingin diteliti. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka populasi dalam penelitian faktor penghambat partisipasi politik perempuan yang ada di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat adalah perempuan yang tidak ikut serta berpartisipasi dalam memberikan hak pilihnya dalam pemilihan Presiden.

Berdasarkan hasil prariset populasi dalam penelitian ini berjumlah 182 perempuan yang tidak memberikan hak pilihnya, hasil ini diperoleh dari rekapitulasi perolehan suara pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009 pada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Pesisir Tengah.

2. Sampel

Burhan Bungin (2001:101) menyebutkan sampel adalah bagian yang mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat yang tidak menggunakan hak pilih.


(41)

Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 182 orang. Menurut Burhan Bungin (2001:106) untuk mendapatkan jumlah sampel digunakan rumus:

1 . 2 

d N N n Keterangan:

n = Banyaknya sampel N = Jumlah populasi d = Nilai Presisi (0,10)

Maka dengan menggunakan rumus tersebut banyaknya sampel adalah:

1 . 2 

d N N n 1 ) 10 , 0 ( 182 182 ` 2   n n = 82 , 2 182 = 64,53

dibulatkan menjadi 65 orang.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa responden yang diteliti sebanyak 65 orang perempuan di Pekon Kampung Jawa yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan presiden tahun 2009, selanjutnya teknik pengambilan sampel atau proses penyebaran sampel menggunakan random sampling terhadap perempuan yang tidak memilih di pekon Kampung Jawa yang diambil secara acak.


(42)

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kuesioner

Kuesioner dimaksudkan untuk mendapatkan data penelitian yang berupa jawaban atas 27 pertanyaan tertulis yang terdiri atas beberapa pertanyaan terbuka dan juga tertutup. Kuesioner disebar kepada 65 orang responden (perempuan Kampung Jawa yang tidak memilih) baik yang berdasarkan DPT maupun yang berada diluar DPT. Proses penyebaran kuesioner berlangsung dari tanggal 13 sampai 18 April 2010 dengan cara mendatangi responden yang telah dipilih secara acak berdasarkan DPT dan mendatangi responden yang telah diidentifikasi pada saat prariset (mereka yang tidak terdaftar dalam DPT).

2. Wawancara

Teknik wawancara atau interview bertujuan untuk memperoleh informasi lebih mendalam mengenai masalah penelitian. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara tidak berstruktur. Peneliti mencoba menggali permasalahan mengenai alasan kaum perempuan tidak menggunakan hak pilih pada pemilihan presiden tahun 2009. Kegiatan wawancara lebih banyak dilakukan pada saat prariset tanggal 22-30 September 2009, hal ini dikarenakan data hasil wawancara digunakan untuk menganalisis permasalah penelitian.


(43)

3. Dokumentasi

Peneliti menggunakan beberapa dokumen dan literatur sebagai media untuk memahami permasalahan dan hasil penelitian yang terdiri atas buku-buku, jurnal perempuan, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden, rekapititulasi hasil perolehan suara pemilu 2004 dan 2009, artikel serta data yang tertulis lainnya terkait penelitian tentang faktor penghambat partisipasi politik dalam pemilihan presiden tahun 2009.

G. Teknik Pengolahan Data

Setelah data diperoleh melalui pengumpulan data, selanjutnya data diolah dengan cara sebagai berikut:

1. Tahapan Editing

Tahap editing dilakukan dengan memeriksa kembali kuesioner yang sudah terkumpul diisi oleh responden lalu mengenai kelengkapan dan kejelasan jawaban alasan responden yang didapat dari lapangan. Pada kuesioner terdapat alasan responden yang menggunakan kata-kata tidak baku sehingga diperlukan proses editing untuk menata ulang bahasa penulisan agar mudah dipahami.

2. Tahap Koding

Tahap koding di lakukan dengan mengkode atau mengganti item jawaban responden yang terdiri atas pilihan jawaban a, b, dan c dengan angka atau


(44)

nilai 3, 2, dan 1 dimana penentuan angka ini di sesuaikan dengan jenis jawaban dan nilai hubungannya dengan rumusan masalah yang ada, tahap ini di perlukan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan perhitungan dan analisis data pada proses selanjutnya.

3. Tabulasi

Hasil jawaban kuesioner dari 65 orang responden yang telah beri nilai atau telah melalui tahap koding di masukkan ke dalam tabel (entry data) dimana pengolahan data dilakukan menggunakan program SPSS 16, untuk melihat frekwensi dan besarnya persentase dari faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan presiden di Pekon Kampung Jawa.

4. Tahap Interpretasi Data

Menginterprestasikan data agar lebih mudah dipahami untuk menarik kesimpulan dari hasil perhitungan yang dideskripsikan dalam bentuk tabel. Berdasarkan hasil yang diperoleh dan melihat keterkaitannya pada teori yang digunakan dalam penelitian faktor penghambat partisipasi politik perempuan di Pekon Kampung Jawa (untuk megetahui faktor apa saja yang menjadi penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan presiden tahun 2009).


(45)

H. Teknik Analisis Data

Tehnik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif untuk mengolah dan mendeskripsikan data yang lebih bermakna dan mudah dipahami maka dilakukan dengan memasukkan data dari kuisioner kedalam kerangka tabel, maka untuk mempermudah menghitung frekuensi dan persentase menggunakan SPSS 16.

Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentasenya menurut Soerjono Soekamto (1986:268) yaitu:

P= x100% N

F

Keterangan : P : Persentase

F : Frekuensi pada klasifikasi kategori yang bersangkutan N : Jumlah frekuensi dari seluruh klasifikasi atau kategori variasi

Selanjutnya setelah data diolah dengan menggunakan rumus prensentase, maka penyajian data hasil penelitiannya akan menggunakan tabel tunggal .

Teknik penentuan skor yaitu dengan menggunakan skala interval. Untuk mengetahui hasil pertanyaan dalam kuisioner setiap item pertanyaan dalam penelitian ini meliputi 3 alternatif jawaban yaitu A, B, dan C. Selanjutnya penilaian jawaban dikualifikasikan dengan skor yaitu:

1. Untuk Jawaban A diberikan Skor 3 2. Untuk Jawaban B diberikan Skor 2 3. Untuk Jawaban C diberikan Skor 1


(46)

Setelah semua data-data yang di butuhkan telah di dapatkan dan dalam penentuan skor jawaban yang didapat, langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Tujuan menganalisis data adalah untuk mempermudah dalam penyusunan dan menginterpretasikan data secara kuantitatif yang sudah di peroleh.

Perhitungan dengan menggunakan rumus interval Sutriso Hadi (1981:45)

I = K

Nr Nt Keterangan : Nt = Nilai Tinggi Nr = Nilai Rendah K = Kategori Jawaban I = Interval Nilai Skor


(47)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil penelitian tentang faktor penghambat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan presiden tahun 2009 di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 faktor penghambat partisipasi politik perempuan yaitu: faktor penghambat yang bersifat internal dan eksternal. Dari beberapa aspek faktor internal diperoleh faktor dominan yang menjadi panghambat partisipasi politik perempuan yaitu: segi pendidikan dimana wawasan dan pengetahuan responden tergolong rendah, segi keluarga dimana peran ayah atau suami mendominasi partisipasi politik perempuan dan segi perempuan itu sendiri, adanya kecendrungan ketidakpercayaan diri responden terhadap kemampuannya dalam bidang politik. faktor internal dilihat dari persentase secara interval sebanyak 65 responden 60 % atau 39 orang memberi jawaban dalam kategori ”sedang”.

Faktor penghambat eksternal yang dominan adalah segi pandangan politik kurangnya pemahaman responden tentang kondisi politik. Faktor eksternal memiliki persentase interval dalam kategori “sedang” dengan responden sebanyak 55% atau 36 orang.


(48)

Faktor penghambat partisipasi politik perempuan dari segi internal dan eksternal dilihat dari hasil persentase rekapitulasi faktor penghambat partisipasi politik perempuan menyatakan bahwa faktor penghambat yang tinggi sebanyak 61,5 % responden terlihat pada faktor penghambat dari segi internal yaitu pada diri perempuan sendiri.

B. Saran

1. Peratin Kampung Jawa perlu memberikan motivasi kepada perempuan dengan melakukan pendekatan dan memberikan pengarahan tentang pentingnya partisipasi dalam Pemilu.

2. Ayah/suami perlu memberi kesempatan kepada perempuan untuk mengeluarkan pendapatnya khususnya dalam Pemilu tanpa melakukan intervensi.

3. KPUD atau lembaga sosialisasi lainnya perlu melakukan sosialisasi secara rutin dan berkala.

4. Perempuan perlu meningkatkan wawasannya tentang pentingnya partisipasi politik yakni dengan aktif mengikuti sosialisasi atau kegiatan politik lainnya.


(49)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan pada 65 orang perempuan yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan presiden tahun 2009 di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat, didapat Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Tabel 7: Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

No Umur Responden Jumlah Persentase

1 47-56 16 25%

2 37-46 20 31%

3 27-36 12 18%

4 17-26 17 26%

Jumlah 65 100%

Sumber: Data primer diolah tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa umur responden 47-56 tahun sebanyak 25% atau 16 orang, golongan umur 37-46 tahun berjumlah sebanyak 31% atau sebanyak 20 orang, golongan umur 27-36 tahun berjumlah 18% atau sebanyak 12 orang, sedangkan untuk golongan umur 17-26 tahun sebanyak 26% atau 17 orang.


(50)

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 8 : Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Responden Jumlah Persentase

1 Swasta/Wiraswasta 23 35%

2 Ibu Rumah Tangga 13 8%

3 Tani 5 20%

4 Buruh 9 14%

5 Dan Lain-Lainya 15 23%

Jumlah 65 100%

Sumber: Data Primer diolah tahun 2010

Berdasarkan tabel pengelompokkan karakteristik pekerjaan responden di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan responden yaitu terdiri dari swasta/wiraswasta sebanyak 35% atau 25 orang, ibu rumah tangga sebanyak 8% atau sebanyak 13 orang, tani sebanyak 20% atau sebanyak 5 orang, buruh sebanyak 14% atau sebanyak 9 orang, sedangkan sisanya 23% atau 15 orang berpekerjaan yang lain.

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Tabel 9 : Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan No Pendidikan Responden Jumlah Persentase

1 SD 22 34%

2 SMP/Sederajat 17 26%

3 SMA/Sederajat 21 32%

4 > SMA 5 8%

Jumlah 65 100%

Sumber: Data Primer diolah tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan responden sangat beragam yaitu terdiri dari SD sebanyak 34% atau sebanyak 22 orang, SMP/sederajat sebanyak 26% atau sebanyak 17 orang,


(51)

SMA/sederajat sebanyak 32% atau sebanyak 21 orang sedangkan yang berpendidikan di atas SMA sebanyak 8% atau sebanyak 5 orang. Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan responden dengan persentase tertinggi berpendidikan SD.

B. Hasil dan Pembahasan

1. Analisis Tabel Tunggal tentang Faktor Penghambat Partisipasi Politik Perempuan dari Sisi Internal.

Faktor penghambat partisipasi politik perempuan di Pekon Kampung Jawa Kabupaten Lampung Barat dalam pemilihan presiden tahun 2009 dapat di lihat dari faktor internal yaitu :

a. Segi Pendidikan

Segi pendidikan merupakan bagian dari faktor pengetahuan awal tentang politik khususnya pertimbangan dalam menggunakan hak pilih. Faktor internal dari segi pendidikan dapat di lihat dari pendidikan atau pengetahuan politik di masa sekolah, intensitas memperbincangkan masalah politik dalam kehidupan sehari-hari, pernah tidaknya menyaksikan diskusi antar calon melalui televisi menjelang pemilu. Untuk mengetahui frekuensi tanggapan responden mengenai pengelompokan segi pendidikan dapat di lihat pada tabel berikut ini:


(52)

Tabel 10: Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pendidikan Politik yang Diperoleh pada Masa Sekolah

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Tidak Pernah 3 31 47,7

2 Pernah 2 21 32,3

3 Sering 1 13 20

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 47,7% atau 31 responden menjawab tidak pernah mendapatkan pelajaran atau pengetahuan tentang politik di masa sekolah, 32,3% atau 21 responden menjawab pernah mendapatkan pelajaran atau pengetahuan tentang politik di masa sekolah, sedangkan 20% atau 13 responden menjawab sering mendapatkan pelajaran atau pengetahuan tentang politik di masa sekolah.

Berdasarkan pada jawaban responden dapat dipahami bahwa responden dengan persentase tertinggi menjawab tidak pernah mendapatkan pelajaran atau pengetahuan tentang politik di masa sekolah. Pentingnya pendidikan/pengetahuan tentang politik di masa sekolah merupakan proses awal untuk mendapatkan pengetahuan tentang politik.

Responden di Pekon Kampung Jawa dalam pemahaman tentang politik masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari persentase jawaban responden melalui pertanyaan tentang pengetahuan politik.


(53)

Tabel 11: Distribusi Jawaban Responden Mengenai Intensitas Membincangkan Masalah Politik dalam Kehidupan

Sehari- hari

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Tidak Pernah 3 36 55,4

2 Pernah 2 23 35,4

3 Sering 1 6 9,2

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 55,4% atau 36 menjawab tidak pernah membincangkan masalah politik di kehidupan sehari-hari, 35,4% atau 23 responden menjawab pernah membincangkan masalah politik di kehidupan sehari-hari, sedangkan 9,2% atau 6 responden menjawab sering membincangkan masalah politik di kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pada jawaban responden tersebut di atas, maka dapat di pahami bahwa sebagian besar responden menjawab bahwa tidak pernah membincangkan masalah politik di kehidupan sehari-hari.

Alasan responden menjawab tidak pernah membincangkan masalah politik dalam kehidupan sehari-hari di antaranya meliputi kesibukan responden dalam berkerja yang kebanyakan sebagai ibu rumah tangga, wiraswasta/swasta dan pekerja buruh, sehingga kurang memperbincangkan masalah politik.


(54)

Tabel 12: Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pernah Mengikuti atau Menyaksikan Diskusi antar Calon Presiden di Televisi pada Saat Menjelang Pemilu Tahun 2009

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Tidak Pernah 3 29 44,6

2 Pernah 2 25 38,5

3 Sering 1 11 16,9

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa 44,6% atau 29 responden menjawab tidak pernah mengikuti atau menyaksikan diskusi antar calon presiden di televisi pada saat menjelang pemilu tahun 2009, 38,5% atau 29 responden menjawab pernah mengikuti atau menyaksikan diskusi antar calon presiden di televisi pada saat menjelang pemilu tahun 2009, sedangkan 16,9% atau 11 responden menjawab sering mengikuti atau menyaksikan diskusi antar calon presiden di televisi pada saat menjelang pemilu tahun 2009.

Berdasarkan pada jawaban tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menjawab tidak pernah menonton/menyaksikan diskusi antar calon presiden di televisi.

Alasan responden menjawab tidak pernah menyaksikan diskusi antar calon presiden di televisi karena responden kurang tertarik pada acara diskusi tersebut, responden kebanyakan lebih memilih menyaksikan acara lain yang dianggap lebih menarik.

Berdasarkan uraian-uraian jawaban responden dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor pendidikan merupakan faktor


(55)

penghambat partisipasi politik perempuan, hal tersebut terlihat dari tingkat pengetahuan atau pemahaman tentang politik yang tergolong rendah. Kesibukan kaum perempuan dalam rumah tangga, maupun swasta menyebabkan kaum perempuan kurang memperoleh informasi tentang politik.

Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan diketahui bahwa persentase tertinggi mencapai 34% dengan latar belakang pendidikan responden berpendidikan SD. Tingkat pendidikan responden yang rendah mengindifikasikan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi menganalisis, menunjukan sikap, dan menilai suatu fenomena politik.

Pendidikan perempuan yang rendah karena ada pola pikir yang menilai perempuan tidak perlu mendapatkan bekal pendidikan yang tinggi. Kesetaraan hak antara perempuan telah ada sejak lama, hanya saja kesempatan masih terhalang oleh pikiran-pikiran yang telah tertanam dalam masyarakat yang belum memandang pentingnya politik bagi perempuan.

b. Segi Kultur Budaya

Segi kultur budaya merupakan segi penghambat partisipasi politik perempuan dari faktor internal. Faktor internal dari segi kultur budaya yang mempengaruhi perempuan dalam menggunakan hak pilih dapat dilihat dari perbedaan kemampuan memimpin suku/etnis tertentu melebihi suku lain, ketidakcocokan suku/etnis calon yang ada,


(56)

pandangan perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan. Untuk mengetahui frekuensi tanggapan responden mengenai faktor penghambat dari segi kultur budaya dapat dilihat pada tabel sebagi berikut:

Tabel 13 : Distribusi Jawaban Responden Mengenai Kemampuan Memimpin Suku atau Etnis Tertentu Melebihi Suku yang Lain

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Sangat Setuju 3 1 1,5

2 Setuju 2 13 20

3 Tidak Setuju 1 51 78,5

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 1,5% atau 1 responden menjawab sangat setuju bahwa terdapat suku atau etnis tertentu yang memiliki kemampuan memimpin melebihi suku yang lain, 20% atau 13 responden menjawab setuju bahwa terdapat suku atau etnis tertentu yang memiliki kemampuan memimpin melebihi suku yang lain, 78,5% atau 51 responden menjawab tidak setuju bahwa terdapat suku atau etnis tertentu yang memiliki kemampuan memimpin melebihi suku yang lain.

Berdasarkan pada jawaban responden di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menjawab tidak setuju jika terdapat suku atau etnis tertentu yang memiliki kemampuan memimpin melebihi suku yang lain.


(57)

Alasan responden menjawab tidak setuju bahwa terdapat suku atau etnis tertentu yang memiliki kemampuan memimpin dari suku atau etnis lain karena kemampuan di dalam memimpin tidak tergantung atau dipandang dari suatu suku atau etnis tertentu.

Tabel 14: Distribusi Jawaban Responden Mengenai

Ketidakcocokan Terhadap Etnis Atau Suku Calon yang Ada

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Sangat Setuju 3 3 4,6

2 Setuju 2 14 21,5

3 Tidak Setuju 1 48 73,8

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan Tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 4,6% atau 3 responden menjawab sangat setuju bahwa tidak memilih karena tidak cocok terhadap etnis atau suku calon yang ada, 21,5% atau 14 responden menjawab setuju bahwa tidak memilih karena tidak cocok terhadap etnis atau suku calon yang ada, 73,8% responden menjawab tidak setuju jika tidak memilih karena ketidakcocokan terhadap etnis atau suku calon yang ada.

Berdasarkan pada jawaban responden di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menjawab tidak setuju tidak memilih karena tidak cocok terhadap etnis atau suku calon yang ada.

Alasan responden menjawab setuju tidak memilih karena tidak cocok terhadap etnis atau suku calon yang ada, responden beranggapan masih ada suku yang lebih memiliki kriteria dalam memimpin dari pada suku


(58)

calon yang ada, selain itu juga ada responden yang beranggapan bahwa suku calon yang ada memiliki latar belakang kriteria yang kurang baik sebagai pemimpin, kemudian alasan responden menjawab tidak setuju bahwa tidak memilih karena tidak cocok terhadap etnis atau suku calon yang ada, karena semua suku memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama.

Tabel 15: Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pandangan Perbedaan Kemampuan Memimpin antara Laki-laki dan Perempuan

No Alternatif Jawaban F %

1 Sangat Setuju 3 22 33,8

2 Setuju 2 24 36,9

3 Tidak Setuju 1 19 29,2

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 33,8% atau 22 responden menjawab sangat setuju bahwa terdapat perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan, 36,9% atau 24 responden menjawab setuju bahwa terdapat perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan, sedangkan 29,2% atau 19 responden menjawab tidak setuju bahwa terdapat perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan pada jawaban responden di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebanyakan responden menjawab setuju bahwa terdapat perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan.


(59)

Alasan responden sangat setuju bahwa terdapat perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan, karena perempuan merasa kurang yakin terhadap kemampuannya di bandingkan laki-laki.

Berdasarkan uraian-uraian jawaban responden tentang indikator faktor penghambat partisipasi politik perempuan dari segi kultur budaya, dapat disimpulkan bahwa faktor penghambat dari segi kultur budaya bukan merupakan faktor dominan karena hanya satu pertanyaan yang mempengaruhi faktor penghambat partisipasi politik perempuan, yaitu pertanyaan tentang perbedaan kemampuan perempuan dan laki-laki dalam memimpin.

Kaum perempuan terkadang merasa kurang yakin terhadap kemampuannya untuk menjadi pemimpin. Hasil dari responden menunjukan bahwa budaya paternalistik di Pekon Kampung Jawa masih sangat kental dalam mewarnai kehidupan politik warga Kampung Jawa terkait pada partisipasinya.

c. Segi Keluarga

Segi keluarga juga merupakan segi penghambat partisipasi politik perempuan dari faktor sisi internal. Faktor internal dari segi Keluarga dapat dilihat dari adanya anggota keluarga yang lain yang tidak menggunakan hak pilih, tidak memilih karena disarankan keluarga, tidak menggunakan hak pilih karena anjuran kepala keluarga. Untuk


(60)

mengetahui frekuensi tanggapan responden mengenai faktor penghambat dari segi keluarga dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 16 : Distribusi Jawaban Responden Mengenai Adanya Anggota Keluarga yang Lain Tidak Memilih

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Sangat Setuju 3 30 46,2

2 Setuju 2 27 41,5

3 Tidak Setuju 1 8 12,3

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 46,2% atau 30 responden menjawab sangat setuju ada anggota keluarga yang lain tidak memilih, 41,5% atau 27 responden menjawab bahwa setuju ada anggota keluarga yang lain tidak memilih, 12,3% atau 8 responden menjawab tidak setuju bahwa ada anggota keluarga jawaban responden tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menjawab sangat setuju bahwa ada juga anggota keluarga yang lain tidak memilih.

Tabel 17 : Distribusi Jawaban Responden Mengenai Tidak Memilih karena Mengikuti Saran Keluarga

No Alternatif Jawaban Skor F %

1 Sangat Setuju 3 29 44,6

2 Setuju 2 8 12,3

3 Tidak Setuju 1 28 43,1

Jumlah 65 100,00

Sumber : Data Primer diolah Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 44,6% atau 29 responden menjawab sangat setuju bahwa tidak memilih karena mengikuti saran keluarga, 12,3% atau 8 responden menjawab


(1)

(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kampung Jawa pada tanggal 17 November 1985, merupakan buah cinta dari Ayahanda Azhar (Alm) dengan Ibunda Indan Putri, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, Andes Saputra, Meileci Iniarti, dan Dian Noveta.

Jenjang akademis penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Tebakak Karya Penggawa dan lulus pada tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Mengah Pertama Negeri 2 Pesisir Tengah Krui dan lulus pada tahun 2003. Memasuki jenjang berikutnya, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Pesisir Tengah Krui dan menamatkannya pada tahun 2006. Pada tahun yang sama (2006), penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB).

Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Bagian Tata Praja Sekretariat Daerah Kabupaten Pesawaran.


(3)

SANWACANA

Alhamdulillahhirobbil ’alamin....

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah serta izin-Nya, penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. Sholawat beriring salam senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang syafa’atnya selalu kita nanti hingga yaumilakhir kelak, Amin...

Skripsi dengan judul ”Faktor Penghambat Partisipasi Politik Perempuan dalam Pemilihan Presiden Tahun 2009” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan di Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang tersaji dalam skripsi ini masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga membawa ke arah pemikiran yang lebih baik. Tidak akan terselesaikan skripsi ini tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung;

2. Bapak Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung;


(4)

3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan perhatian, bimbingan, kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini;

4. Bapak Robi Cahyadi K, S.I.P, MA selaku pembimbing pembantu yang telah memberikan perhatian, bimbingan, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini;

5. Ibu Endry Fatimaningsih, S. Sos, M. Si selaku dosen pembahas yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini;

6. Ibu Tabah Maryanah, S.IP, M.Si selaku pembimbing akademik penulis; 7. Seluruh Dosen FISIP Unila yang telah membekali penulis dengan ilmu

dan pengetahuan selama menjalani masa perkuliahan;

8. Seluruh Staf Administrasi dan Karyawan TU FISIP Unila yang membantu dan melayani urusan administrasi perkuliahan;

9. Aparat Pemerintah Kecamatan Pesisir Tengah dan Aparat Pemerintah Pekon Kampung Jawa Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat, terima kasih atas informasi dan bantuannya.

10.Masyarakat Pekon Kampung Jawa Kecamatan Pesisir Tengah selaku informan dan responden yang telah memberikan informasi dan bantuannya.

11.Kedua orangtuaku yang saya cintai, ayahanda Azhar (Alm) saya yakin walaupun kita sudah tidak bersama lagi tetapi ayah tetap mendoakan dan menantikan keberhasilanku, ibunda Indan Putri yang tak henti mencurahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materiil


(5)

serta yang tidak ada hentinya berdoa untuk keberhasilan anaknya dan tidak akan terbalaskan oleh apapun.

12.Untuk udo Andes dan Wo eci yang mendukung semua langkahku selama ini, kalian adalah bagian dari kesuksesanku, terimakasih juga kuucapkan buat temudo Mir.

13. Keponakan tersayang (Dani), walaupun kita belum pernah ketemu tapi saya yakin dani selalu mendoakan bungah berhasil.

14.Seluruh keluarga besar, alak, nabalak, awan, uda, datuk uncu, uncu Tina dan seluruh sepupu saya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. 15.Terimakasih buat kak chieko yang atas dukungan, bantuan dan motivasi

yang tak henti-hentinya diberikan.

16. Anak koss kiss band, Lia, Mita, Mbak Nia, Mbak Umi, Mbak Eka, Mita B, serta alumni kossan, terimakasih atas kebersamaanya dan banyak hal yang menjadi pelajaran selama ini.

17.Teman-teman Pemerintahan 2006: Indah Putri dan Mevi Septina terima kasih atas dukungan dan bantuanya selama ini (kalian adalah sahabat terbaik saya), Mbak Irma terima kasih atas nasehatnya selama ini dan semoga perjuangannya bisa cepat berakhir, Desi Fathonah semangat terus jangan pernah menyerah semuanya pasti akan berakhir, Estin, Suryanti, Wilda, Meliana Anggraini tetap semangat ya angga, Septa terima kasih atas bantuanya dan pinjeman skripsinya, Agus dan Ully, Henny terima kasih atas bantuannya, Fidha, Resi, Merry, Yoan, Lina, Kevi, Suciningtyas, Erick Sidauruk, Adhi Ksatria, Gito, Saipul, Rahmat, Tian, Syaelendra, Rizki, Hardian, Ryo, Rizon, Achyar, Fajri, Amri, Frenky,


(6)

Reza, Arif Munandar, Bendy, Yustio, Adhiyatma, Bagas, Fariez, Alfian, Dimas, Dias, Tyas, Adi Suhendra, Ade Arihanka, Budiyanto (semangat ya);

18.Kak Rapon terima kasih atas bantuannya maaf kalau sudah merepotkan, Dongah Rian ( Semangat), Mbak Anis terima kasih atas pinjeman buku-bukunya.

19.Adik–adikku yang tidak dapat disebutkan satu persatu mulai dari 2007, 2008, 2009, tetap semangat ya perjuangan kalian masih jauh.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, begitu juga dalam skripsi ini yang tentunya banyak terdapat kekurangan. Namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Mei 2010 Penulis