Kekalahan Partai Politik Islam Dalam Pemilihan Umum 2009 (Analisis Menurunnya Hasil Perolehan Suara DPC PPP Kabupaten Mandailing Natal Pada Pemilu Legislatif 2009 Di Kabupaten Mandailing Natal)
KEKALAHAN PARTAI POLITIK ISLAM DALAM
PEMILIHAN UMUM 2009
(Analisis Menurunnya Hasil Perolehan Suara DPC PPP Kabupaten Mandailing Natal Pada Pemilu Legislatif 2009 Di Kabupaten Mandailing
Natal) D
I S U S U N O L E H :
ENDA MULIA NASUTION
NIM : 040906025
DEPARTEMEN ILMU POLTIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLTIK
MEDAN
(2)
Abstraksi
Sistem Politik Demokrasi yang diterapkan di Indonesia memang menghalalkan adanya persaingan atau kompetisi daripada aktor-aktor yang ikut bermain dalam kompetisi tersebut. Kompetisi dalam rangka meraih dan mempertahankan kekuasaan ini dijalankan oleh aktor-aktor berupa partai-partai politik sebagai kontestan yang memang secara sah terdaftar untuk ikut dalam ajang pertarungan yang sering disebut dengan Pesta Demokrasi atau Pemilihan Umum. Logika dalam sebuah persaingan atau kompetisi tersebut tentu saja harus ada yang dikorbankan dan dikompromikan, ada pemenang dan pecundang. Namun, dalam pengejaran kemenangan dan kekuasaan tidak ada yang sudi tertinggal.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di daerah Kabupaten Mandailing Natal, dengan mengambil objek kajian Partai Persatuan Pembangunan sebagai kontestan yang ikut serta dalam Pemilu Legislatif 2009 lalu. Alasan utama menjadikan Partai Persatuan Pembangunan menjadi objek penelitian adalah mengingat menurunnya perolehan suara PPP secara drastis pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 di daerah Mandailing Natal yang notabene daerah Mandailing Natal adalah lumbung suara PPP pada pemilu-pemilu sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kekalahan atau menurunnya perolehan suara PPP di daerah Madina Propinsi Sumatera Utara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori partai politik dengan melihat bagaimana mesin partai dijalankan, selain itu juga melihat prilaku politik pemilih di Mandailing Natal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan berupa wawancara dengan para pengurus DPC PPP Mandailing Natal beserta juga menggunakan angket (quesioner).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab kekalahan atau menurunnya perolehan suara PPP di Kabupaten Mandailing Natal adalah mesin partai yang tidak berjalan efektif yang disebabkan banyak hal, salah satu yang paling esensial adalah terjadinya konflik internal di dalam partai yang tidak dapat di manajemen dengan baik sehingga menghambat kerja-kerja partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan dalam menghadapi Pemilu Legislatif 2009. Perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 2009 lalu sebanyak 9.417 suara (5,08%) atau mendapat jatah hanya 2 kursi di DPRD dari 7 kursi yang ditargetkan di awal.
(3)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………...i
ABSTRAKSI………..…...………..…..…vi
BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah………..……….1
1. 2. Perumusan Masalah………...………..8
1. 3. Pembatasan Masalah …………..…………..……..……….9
1. 4. 1 Tujuan Penelitian .………9
1. 4. 2 Manfaat Penelitian ………..…..……….10
1. 5. Kerangka Teori………...…………...10
1.5.1 Partai Politik……….………10
1.5.2 Sistem Kepartaian …..……….……….12
1.5.3 Perilaku Politik ………..…..…...……….16
1.5.4 Partisipasi Politik …………...…………...………...………18
1.5.5 Perilaku Pemilih ………...22
1.5.6 Orientasi Pemilih ……….27
1.5.7 Jenis-Jenis Pemilih ………..28
1.6. Metodologi Penelitian………..……..…….30
1.6.1. Metode Penelitian……….………..………..30
1.6.2. Jenis Penelitian………..……...…28
1.6.3. Lokasi Penelitian ...……….………..……….28
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data………...………32
1.6.5. Teknik Analisa Data……….33
(4)
BAB II. DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN
II.1. Sejarah Singkat Kabupaten Mandailing Natal….………....35
II.2. Sejarah Singkat Partai Persatuan Pembangunan…...……..……….39
II.3. Perspektif Ideologi dan Program Partai………...…..…….….60
II.4. Cita-Cita Politik dan Visi Partai...………...…………..63
II.5. Prinsip-Prinsip Perjuangan Partai……..……..………69
II.6. Konsolidasi dan Pengembangan Partai ………..72
II.7. Struktur Partai Persatuan Pembangunan ………78
II.8 Susunan dan Personalia Pengurus Harian DPC PPP Kabupaten Madina ………....83
BAB III. ANALISA DATA III.1. Partai Persatuan Pembangunan Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009………...93
III.2. Persiapan Partai Persatuan Pembangunan dalam menghadapi Pemilu Legislatif 2009 ….……….……....95
III.3 Persyaratan Umum Calon Anggota Legislatif yang tertuang dalam UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 ...102
III.4 Persyaratan Bakal Calon Legislatif DPRD Mandailing Natal Berdasarkan UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 ...106
III.5 Perekrutan Bakal Calon Anggota Legislatif DPRD Kabupaten Mandailing Natal Oleh DPC PPP ...106
III.6 Pemilihan Umum Legislatif DPRD Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara Tahun 2009 ...109
(5)
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan……….………..……...138
B. Saran……….………..…….…143
(6)
Abstraksi
Sistem Politik Demokrasi yang diterapkan di Indonesia memang menghalalkan adanya persaingan atau kompetisi daripada aktor-aktor yang ikut bermain dalam kompetisi tersebut. Kompetisi dalam rangka meraih dan mempertahankan kekuasaan ini dijalankan oleh aktor-aktor berupa partai-partai politik sebagai kontestan yang memang secara sah terdaftar untuk ikut dalam ajang pertarungan yang sering disebut dengan Pesta Demokrasi atau Pemilihan Umum. Logika dalam sebuah persaingan atau kompetisi tersebut tentu saja harus ada yang dikorbankan dan dikompromikan, ada pemenang dan pecundang. Namun, dalam pengejaran kemenangan dan kekuasaan tidak ada yang sudi tertinggal.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di daerah Kabupaten Mandailing Natal, dengan mengambil objek kajian Partai Persatuan Pembangunan sebagai kontestan yang ikut serta dalam Pemilu Legislatif 2009 lalu. Alasan utama menjadikan Partai Persatuan Pembangunan menjadi objek penelitian adalah mengingat menurunnya perolehan suara PPP secara drastis pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 di daerah Mandailing Natal yang notabene daerah Mandailing Natal adalah lumbung suara PPP pada pemilu-pemilu sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kekalahan atau menurunnya perolehan suara PPP di daerah Madina Propinsi Sumatera Utara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori partai politik dengan melihat bagaimana mesin partai dijalankan, selain itu juga melihat prilaku politik pemilih di Mandailing Natal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan berupa wawancara dengan para pengurus DPC PPP Mandailing Natal beserta juga menggunakan angket (quesioner).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab kekalahan atau menurunnya perolehan suara PPP di Kabupaten Mandailing Natal adalah mesin partai yang tidak berjalan efektif yang disebabkan banyak hal, salah satu yang paling esensial adalah terjadinya konflik internal di dalam partai yang tidak dapat di manajemen dengan baik sehingga menghambat kerja-kerja partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan dalam menghadapi Pemilu Legislatif 2009. Perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 2009 lalu sebanyak 9.417 suara (5,08%) atau mendapat jatah hanya 2 kursi di DPRD dari 7 kursi yang ditargetkan di awal.
(7)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangSejak Abraham Lincoln mempopulerkan ungkapan bahwa demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the
people, by the people, and for the people), jargon tersebut kemudian menjadi
nilai-nilai universal sebagai indikator demokrasi dimana saja di permukaan bumi.
Demokrasi dari rakyat pada intinya menjadikan rakyat sebagai sumber kedaulatan
yang disalurkan melalui prosedur pemilu. Demokrasi oleh rakyat mensyaratkan
bahwa setiap proses politik, seperti pengambilan kebijakan pemerintah, harus
mengikut sertakan rakyat. Dan demokrasi untuk rakyat menjadi tolak ukur dimana
tujuan demokrasi itu dievaluasikan.
Untuk memilih sebahagian rakyat yang akan duduk di dalam pemerintahan
maupun parlemen maka perlu diadakannya suatu proses dan kegiatan, proses dan
kegiatan memilih itu disederhanakannya penyebutannya dengan pemilihan. Dalam
hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut tanpa ada pembedaan, maka dipakailah
istilah Pemilihan Umum (Pemilu).1
Pemilihan Umum adalah salah satu pilar penting dari demokrasi, dan
merupakan pengejawantahan sistem demokrasi itu sendiri. Melalui Pemilu, rakyat Dengan terlibat dalam proses pelaksanaan
pemilu, diharapkan warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung
selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Rakyat
diharapkan paham dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang
sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan Negara.
(8)
memilih para wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur
pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan Pemilu hanya apabila memilih
wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen, namun ada pula negara yang
menyelenggarakan Pemilu untuk memilih para pejabat tinggi negara.2
Pemilu demokratis di Indonesia dilaksanakan pertama kali sejak tahun
1955 yang diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Pemilu tahun 1955
dikatakan sebagai pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan. Pemilu
tahun 1971 merupakan pemilu pertama zaman Orde Baru diikuti oleh 10 partai
politik sampai akhirnya tahun 1975 terjadi fusi partai politik menjadi 3 yaitu :
Golkar, Partai Demokrasi Indonesia & Partai Persatuan Pembangunan.
Selanjutnya Pemilu 1977-1997 sudah tidak ’seru’ lagi alias mengalami
kemunduran karena di jaman Orde Baru, slogan pemilu LUBER (Langsung,
Umum, Bebas & Rahasia) itu tidak disertai pemilu yang JURDIL (Jujur & Adil)
sehingga banyak juga rakyat yang enggan menggunakan hak pilihnya atau
golongan putih (golput) karena sering ditemukannya indikasi kecurangan dalam
Pemilu.
Di sini
wakil rakyat yang muncul adalah atas usungan sebuah partai politik, jadi melalui
parpol lah rakyat dapat mengenal calon wakil rakyat tersebut. Tentunya parpol
memperkenalkan calonnya dengan memakai fungsi yang ada padanya, setelah itu
rakyat selaku pemilih akan berprilaku menentukan siap calon yang berhak lolos
melalui pilihannya.
3
2 Teuku May Rudi, Pengantar Ilmu Politik. Bandung : PT Eresco, 1993, hal. 87
Barulah pada tahun 1999, Indonesia menyelenggarakan lagi Pemilu
demokratis yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu ini merupakan pemilu
3
(9)
pertama pasca reformasi yang merupakan suatu perwujudan dari pemilu yang
bersih dari kecurangan seperti pemilu sebelumnya.
Kemudian pemilu ketiga pasca reformasi tahun 2009 yang baru saja
diselenggarakan masyarakat Indonesia pada tanggal 9 April 2009 dengan diikuti
oleh 38 partai nasional dan 6 partai lokal yang ada di Aceh dan lebih kurang
11.868 caleg untuk memperebutkan 560 kursi di DPR 132 anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode
2009-2014. 4
Pemilu Legislatif yang dijadwalkan serentak diseluruh Indonesia pada
tanggal 9 april 2009, berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya dengan diikuti
oleh 38 Partai politik, serta mekanisme tentang sistem suara terbanyak,
berdasarkan pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon
legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak,
bukan berdasarkan nomor urut seperti berlaku selama ini.
Dengan keputusan tersebut, memberikan implementasi terhadap kebijakan
hukum penetapan suara di setiap propinsi dalam penetapan calon-calon legislatif
untuk duduk di DPR, DPD dan DPRD, termasuk juga Propinsi Sumatera Utara
dengan tiga zona pemilihan, yaitu : Sumatera Utara 1 (10 kursi) (Kab. Deli
Serdang, Serdang Bedagai, Kota Medan, Kota Tebing Tinggi) , Sumatera Utara
2 (10 kursi) (Kab. Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Nias, Labuhan Batu, Toba Samosir, Mandailing Natal, Nias Selatan, Humbang
Hasundutan, Samosir, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Kota Sibolga, Kota
4 Ibid.
(10)
Padang Sidempuan ), Sumatera Utara 3 (10 kursi) (Kab. Langkat, Karo,
Simalungun, Asahan, Dairi, Pakpak Bharat, Batubara, Kota Pematangsiantar,
Kota Tanjungbalai, Kota Binjai).5
Berdasarkan pertarungan besar memperebutkan kursi legislatif masih
didominasi oleh partai-partai politik besar. Survei-survei nasional yang dilakukan
lembaga-lembaga survei pada tahun 2007, 2008, dan 2009 menunjukkan tiga
tempat teratas kemungkinan akan diperebutkan oleh PDI Perjuangan, Partai
Golkar, dan Partai Demokrat, diikuti partai-partai Islam seperti Partai Keadilan
Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai
Persatuan Pembangunan, serta partai baru yakni Partai Hati Nurani Rakyat.6
Dari prediksi tersebut, kemungkinan di setiap daerah di Indonesia
partai-partai politik tersebut akan saling mendominasi dalam proses perolehan suara,
walaupun tingkat persentase suara disetiap daerah pastinya akan berbeda-beda.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi masing-masing partai politik
untuk bersaing dengan berbagai ideologi platform yang mereka usung.
Salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi, khususnya di
Sumatera Utara adalah keragaman suku bangsa yang tercermin dalam
pengelompokan berdasar agama dan wilayah permukiman terlihat cukup nyata
pula pengaruhnya dalam kehidupan sosial politik masyarakat Sumatera Utara.
Implikasi paling nyata terlihat dalam pergeseran komposisi penguasa politik di
wilayah Sumut sepanjang penyelenggaraan pemilu di wilayah ini.
5
(11)
Kabupaten Madina merupakan sebuah kabupaten yang masih berumur
muda di Indonesia. Setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan, Madina
mencoba berdiri sendiri dengan memajukan potensi daerahnya dan menjadi tuan
di ranah sendiri. Mandailing Natal sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara
adalah suatu daerah dengan jumlah persentase penduduk muslim di Sumut.
Mandailing Natal dengan mottonya “Madina yang Madani” jelas terlihat
mencita-citakan sebuah pencapaian tujuan dengan dilandaskan pada semangat kekuatan
religius yang fundamental, karena itulah relevan atau tidak maka Kab. Mandailing
Natal diberi julukan dan dikenal sebagai Serambi Makkahnya Sumut, pemberian
nama ini menjadi semakin relevan karena Madina merupakan tempat dimana
berdiri banyak pondok-pondok pesantren. Karena itulah Panyabungan sebagai
ibukota kabupaten dan kota-kota di Mandailing Natal dapat dikatakan sebagai
rangkaian kota santri di ruas jalur Lintas Sumatera.
Dengan jumlah mayoritas penduduknya adalah muslim, Madina dengan
tegas dikatakan merupakan basis dari Partai Persatuan Pembangunan bahkan
semenjak kebijaksanaan politik Orde Baru melakukan fusi-fusi terhadap partai
politik. Bahkan dapat dikatakan hampir dari seluruh pelaksanaan pemilu yang
pernah dilaksanakan, PPP di Madina selalu menjadi penyumbang suara yang
sangat signifikan. Karena itulah ketika reformasi digulirkan dengan tidak ingin
secara ekstrim menuduh bahwa pada masa lampau pelaksanaan pemilu adalah
merupakan sebuah dagelan politik semata, maka Madina dengan spontan pada
Pemilu 1999 meraup sembilan kursi di DPRD. Bahkan memasuki Pemilu 2004,
PPP berhasil mendudukkan kadernya sebagai ketua DPRD Kab. Madina dan
(12)
Daya pikat Partai Persatuan Pembangunan di Madina dapat dikatakan
kental terasa, hal ini dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan seperti “Ka’bah I ma
ita pili amang arana I do na maroban ita tu sarugo” ungkapan ini berarti
(Ka’bah/PPP itulah yang kita pilih nak karena itulah sebagai penghantar kita tuk
sampai ke surga), dari ungkapan tadi dapat kita tangkap betapa ideologisnya
rakyat Madina dengan PPP.
Namun realita di lapangan sangat jelas berbeda dan banyak sekali ditemui
perbedaan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang jelas merupakan partai
politik yang berplatform Islam, nyatanya hanya mendulang suara sangat kecil, dan
anehnya ini justru terjadi di daerah dengan basis massa Islam Tradisional. Di
kabupaten Mandailing Natal, yang notabene daerah basis terbesar suara di
Sumatera Utara perolehan suara PPP jatuh merosot drastis dari dua Pemilu
sebelumnya. Pada Pemilu Legislatif kemarin, PPP hanya mampu meraih 2 kursi,
Golkar berhasil meraih 6 kursi, Demokrat 5 kursi, Hanura 4 kursi, PKS 4 kursi,
PKB 4 kursi, PAN 3 kursi, PKPI 2 kursi, PDI Perjuangan 2 kursi, PDK 2 kursi,
Barnas 1 kursi, PKNU 1 kursi, pelopor 1 kursi, PBR 1 kursi, PMB 1 kursi dan 1
kursi untuk RepublikaN.
Pada pemilu sebelumya (tahun 2004) keberadaan PPP di Sumatera Utara
dan Kabupaten Mandailing Natal yang menjadi basis PPP ternyata goyah pada
Pemilu 2009. Posisi PPP di daerah ini turun ke nomor dua dengan perolehan
17.814 suara. Padahal, pada Pemilu 1999 Mandailing Natal bisa mendulang suara
untuk PPP hingga 47.231 suara. 7
(13)
Pada Pemilu legislatif DPRD tahun 2004, PPP di kabupaten Mandailing
Natal hanya berhasil meraih 5 kursi sama dengan perolehan partai Golkar dengan
jatah 5 kursi juga. Sisanya kursi legislatif dibagi pada partai-partai baru. Hal ini
sangat kontras kita lihat pada Pemilu Legislatif 2009 lalu, dimana PPP hanya
mampu meraih 9.417 suara atau 5,86 % dengan hanya mendapatkan 2 kursi di
DPRD Kabupaten Madina.
Dari hasil perolehan suara tersebut, menjadi tanda tanya besar, mengapa
justru partai politik yang beraliran nasionalis yang menang di wilayah yang
notabene berbasis massa Tradisionalis Islam, Bukan Justru PPP atau partai
lainnya yang benar-benar berplatform Islam sebagai ideologi partai. Hal ini dapat
dilihat bahwa dalam dua pemilu terkahir (2004 dan 2009) Golkar yang notabene
beraliran nasionalis lah yang menang di daerah yang mayoritas mandailing
muslim tersebut. Bukankah selama ini Kabupaten Mandailing Natal merupakan
Basis Massa Islam terbesar PPP di Sumatera Utara.
Sekilas dari paparan latar belakang diatas, maka ketertarikan saya dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kekalahan PPP sebagai Partai dengan Ideologi Islam di Kabupaten Mandailing
Natal yang selama ini menjadi basis massa kekuatan PPP di Sumatera Utara.
Penelitian ini selanjutnya difokuskan pada usaha-usaha mengetahui,
afiliasi kecenderungan paradigma perubahan Perilaku Pemilih masyarakat,
khususnya masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal ( Sumatera Utara ).
Selanjutnya untuk memperoleh data-data konkret dan signifikan dengan penelitian
(14)
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa
masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang
menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau
dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan
pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan
diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.8
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah
diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah :
“ Faktor-faktor apa yang menyebabkan kekalahan PPP di Kabupaten
Mandailing Natal yang selama ini merupakan basis suara dari PPP.”
1.3 Pembatasan Masalah
Suatu penelitian membutuhkan pembatasan masalah dengan tujuan untuk
dapat menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan
masalah dalam penelitian ini, adalah ;
“ Meneliti kecenderungan pergeseran Perilaku Pemilih masyarakat dari
sebelumnya massa tradisionalis Islam ke massa nasionalis dari tolak ukur
Pemilu-pemilu sebelumnya (2004-2009)”
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah :
8 Husani Usman dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara. 2004, hal.
(15)
1. Untuk mengetahui, faktor-faktor apa yang mempengaruhi Perilaku
Pemilih Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal terhadap
kecenderungannya memilih Partai beraliran Nasionalis ketimbang Partai
yang beraliran Islam.
2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang terkait sehingga menyebabkan
Kekalahan Partai PPP Di Kabuapaten Mandailing Natal yang
sebelumnya merupakan lumbung suara dari partai PPP.
3. Secara akademis, hasil penelitian diharapkan ini menjadi media bagi
penulis untuk mengaplikasikan pengetahuan yang didapat di Departemen
Ilmu Politik dan memberikan kontribusi dalam pengembangan penelitian
dalam kajian-kajian Ilmu Politik.
4. Sebagai salah satu persyaratan bagi penulis untuk meraih gelar Sarjana
di bidang Ilmu Politik pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian, diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi
untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari
penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan
penulis dalam meneliti Fenomena Politik yang terjadi, sehingga
menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
2. Secara teoritis hasil penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat menambah
Khazanah kepustakaan politik
(16)
1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Partai Politik
Menurut Joseph Laporambara dan Myron Weiner yang dikutip oleh
Koiruddin dalam bukunya Parai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, partai
politik merupakan a creature of modern and modernizing political system. Partai
politik memang lahir dan berkembang ketika gejala modernisasi sedang
berkembang di Eropa, setelah revolusi industri. Dalam awal perkembangan partai
politik dapat diuraikan sebagai berikut :9
a. Ia merupakan salah satu indikator gejala modernisasi masyarakat,
dimana telah terjadi ledakan partisipasi masyarakat dan pemindahan
hak-hak politik kepada masyarakat semakin luas.
b. Teori situasi historis, dimana kemudian partai politik berkaitan
dengan krisis yang terjadi di dalam suatu masyarakat.
Proses pembentukan dan latar belakang berdirinya partai politik menurut
Maurice Duverger, dapat dilihat menjadi dua karakter :
1. Partai politik yang berdiri atas dorongan individu per individu yang
memiliki kesepahaman, kesamaan pandangan, dan suatu ideologi, maka
mereka sepakat mendirikan partai politik tersebut. Keanggotaannya, orang
per orang mendaftar mewakili dirinya sebagai unsur insan politik.
2. Partai politik merupakan penjelmaan dari banyak unsur organisasi yang
karena merasa perlu untuk membangun kekuatan politik bersama
(beraliansi) untuk tujuan suatu perjuangan politik maka
organisasi-organisasi yang sepemahaman itu sepakat mendirikan partai politik.
(17)
Keanggotaannya, semua anggota organisasi-organisasi yang berhimpun
tersebut otomatis dinyatakan sebagai anggota partai politik, kecuali secara
perorangan yang tidak setuju dapat saja tidak mengakui keberadaan partai
politik dan ia menyalurkan aspirasi kepada partai lain.
Adapun pengertian partai politik dari berbagai tokoh dapat disebutkan
antara lain menurut Miriam Budiarjo, yaitu :
”Suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) secara konstitusional untuk melaksanakan beberapa kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.”10
Sedangkan menurut Sigmund Newman, partai politik adalah
“organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.”11
Pengertian tentang partai politik lainnya secara normatif dimuat dalam
berbagai peraturan kepartaian yang ada dan pernah ada. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 pasal 1 ayat 1 pada Bab I ( Ketentuan
Umum), yang bunyinya sebagai berikut :
” Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
10 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978, hal
160
(18)
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”.12
1.5.2 Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian adalah pola prilaku dan interaksi di antara sejumlah
partai politik dalam sebuah sistem politik. Mengacu pada pendapat Maurice
Duverger dalam bukunya yang berjudul Political Parties,13
Bentuk partai tunggal otoriter adalah suatu sistem partai yang di dalamnya
terdapat lebih dari satu partai besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat
untuk memobilisasi masyarakat dan mengesahkan kekuasaannya sedangkan
partai-partai lain kurang dapat menampilkan diri karena ruang gerak dibatasi oleh
penguasa. Bentuk partai tunggal yang otoriter biasanya diterapkan di
negara-negara berkembang yang menghadapi masalah-masalah integrasi nasional dan
keterbelakangan ekonomi. Partai tunggal yang otoriter digunakan sebagai wadah
persatuan segala lapisan dan golongan masyarakat, dan sebagai alat untuk menggolongkan
sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan
sistem multi partai. Penggolongan sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai
dapat dikemukakan seperti berikut. Bentuk partai tunggal (totaliter, otoriter dan
dominan), sistem dua partai dominan dan bersaing dan sistem multi partai. Dalam
negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter terdapat satu partai yang
tak hanya memegang kendali atas militer terdapat satu partai yang tidak hanya
memegang kendali atas militer dan pemerintah, tetapi juga menguasai seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya merupakan partai
doktriner dan diterapkan di negara-negara komunis dan fasis.
12 UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 13 Koirudin, Op.Cit., hal.167
(19)
memobilisasi masyarakat untuk mendukung kebijakan yang dibuat oleh penguasa.
Apabila dalam bentuk partai tunggal totaliter, partailah yang menguasai
pemerintahan dan militer maka dalam bentuk tunggal otoriter pemerintahan dan
militer yang menguasai partai. Partai Uni Nasional Afrika Tanzania (UNAT), dan
Partai Aksi Singapura merupakan contoh partai otoriter.
Bentuk partai tunggal dominan tetapi demokratis adalah suatu sistem
kepartaian yang di dalamnya terdapat lebih dari satu partai, namun satu partai saja
yang dominan (secara terus menerus mendapat dukungan untuk berkuasa),
sedangkan partai-partai lain tidak mampu menyaingi partai yang dominan,
walaupun terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui
pemilihan umum. Partai yang dominan itu biasanya lebih dahulu muncul untuk
membina bangsa dan mengorganisasikan pembangunan ekonomi, dibandingkan
dengan partai-partai lain yang muncul beberapa dekade kemudian untuk
mengoreksi dan menyaingi partai dominan. Ketika partai-partai oposisi muncul,
partai dominan sudah berakar dalam masyarakat dan organisasinya sudah
melembaga. Partai liberal di Jepang merupakan contoh partai dominan tetapi
demokratik.
Sistem dua partai merupakan sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat
dua partai yang saling bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan
kewenangan pemerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat
pembagian tugas diantara kedua partai yaitu partai yang memenangkan pemilihan
umum menjadi partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah dalam
pemilihan umum mengambil peran sebagai kekuatan oposisi yang loyal sebagai
(20)
bersaing adalah Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat) dan
Australia (Partai Liberal dan Partai Buruh).
Sistem multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas dua partai
yang dominan. Sistem ini merupakan produk sari struktur masyarakat yang
majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan
masyarakat cederung memelihara keterkaitan dengan asal-usul budaya dan
memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik sendiri. Karena banyak partai
bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan
umum maka yang sering terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau
lebih partai yang sama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen. Untuk
mencapai konsensus diantara partai yang berkoalisi itu memerlukan
tawar-menawar (bargaining) dalam hal program dan kedudukan menteri.
Partai politik pada umumnya juga dapat diklasifikasikan menurut
komposisi dan fungsi keanggotaannya ke dalam dua bagian, yaitu :
a. Partai Massa
Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah
anggota dengan elite kepemimpinan yang diseleksi secara ketat, oleh karena
itu partai ini biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari aliran-aliran
politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam
memperjuangkan program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan
dari partai massa adalah bahwa masing-masing aliran atau kelompok yang
bernaung di bawah partai ini cenderung untuk memaksakan kepentingan
(21)
dapat melemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu golongan
memisahkan diri dan mendirikan partai baru.
b. Partai Kader
Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja
anggotanya. Proses seleksi terhadap anggota-anggota partai dilakukan secara
ketat dengan memperhatikan berbagai aspek seperti keterampilan, prestise,
pengalaman politik, serta pengaruh-pengaruhnya yang diharapkan bisa
menarik pendukung/pemilih sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Pimpinan
partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan
mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggotanya
yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan.14
1.5.3 Prilaku Politik
Prilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Prilaku politik dapat
dijumpai dalam berbagai bentuk. Dalam suatu negara, ada pihak yang
memerintah, ada pula yang menaati pemerintah, yang satu mempengaruhi, yang
lain menentang, dan hasilnya kompromi, yang satu menjanjikan, yang lain merasa
kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan tawar menawar, yang satu
memaksakan putusan berhadapan dengan pihak yang lain, yang mewakili
kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan, yang satu menutupi kenyataan
yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat atau yang akan mempermalukan),
pihak lain berupaya memaparkan yang sesungguhnya, dan mengajukan tuntutan,
14 Ibid., hal.166
(22)
memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang akan terjadi. Semua hal
diatas merupakan prilaku politik.15
Dalam pelaksanaan pemilu di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan
pilkada langsung di suatu deaerah, prilaku politik dapat berupa prilaku masyarakat
dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada
tersebut hal ini juga yang membuat digunakannya teori prilaku politik dalam
proposal penelitian ini.
Prilaku politik dapat dibagi menjadi dua, yaitu :16
1. Prilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah
2. Prilaku politik warga negara biasa (baik individu maupun kelompok)
Yang disebutkan pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan
menegakkan keputusan politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi
pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan
pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang
dilakukan oleh warga negara biasa (individu maupun kelompok) disebut sebagai
partisipasi politik.
Dalam melakukan kajian terhadap prilaku politik, dapat dipilih tiga unit
analisis, yakni :
1. Aktor Politik yang meliputi aktor politik, aktivis politik, dan
individu warga negara biasa.
2. Agregasi Politik yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti
partai politik, birokrasi, lembaga-lembaga pemerintah.
15 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Grasindo, 1999, hal 15-16 16 Ibid., hal 16
(23)
3. Tipologi Kepribadian Politik yaitu kepribadian pemimpin, seperti
otoriter, Machiavelist dan demokrat.
Ada empat faktor yang mempengaruhi prilaku politik aktor politik
(pemimpin, aktivis, dan warga biasa). Pertama, lingkungan tidak langsung, seperti
sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Faktor kedua,
lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk
kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok
pergaulan. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu merupakan
faktor yang ketiga, faktor keempat adalah faktor sosial politik langsung yang
berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika
akan melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, kehadiran
seseorang, keadaan ruang, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala
bentuknya.17
1.5.4 Partisipasi Politik
Digunakannya teori partisipasi politik dalam proposal penelitian ini adalah
karena, tingkat partisipasi politik adalah yang menentukan apakah pemilu ataupun
pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi
pemilih, maka tingkat keberhasilan pemilu ataupun pilkada semakin tinggi.
Dalam analisa politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah
yang penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan
negara-negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik hanya
memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan
berkembangnya demokrasi, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin
17 Ibid., hal 132
(24)
berpartisipasi dalam bidang politik khususnya dalam hal pengambilan
keputusan-keputusan mengenai kebijakan-kebijakan umum.18
Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik.
Herbert McClosky berpendapat bahwa :
”partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian-bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.”19
Berikut ini dikemukakan sejumlah ”rambu-rambu” dalam proses Partisipasi Politik :20
Pertama, partisipasi politik berupa kegiatan atau prilaku luar individu
warga negara biasa yang dapat diamati, bukan prilaku dalam yang berupa sikap
dan orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam
prilakunya.
Kedua, kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah
selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternatif
kebijakan umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik
yang dibuat pemerintah.
Ketiga, kegiatan berhasil (efektif) maupun gagal mempengaruhi
pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
Keempat, kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung
yaitu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan
18 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2008. hal 367 19 Ibid.
(25)
dengan cara tidak langsung yaitu mempengaruhi pemerintah dengan
menggunakan perantara yang dapat meyakinkan pemerintah.
Kelima, mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa
kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka,
dan menulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan,
demonstrasi, mogok, kudeta, revolusi, dan sebagainya.
Pada negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak
partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat
partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik
dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat
partisipasi politik juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki
keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu
negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga
terhadap masalah politik, selain itu rendahnya pastisipasi politik juga
menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa.
Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu
:21
1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input
politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan
perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih
pemimpin pemerintahan.
21 Ibid., hal.143
(26)
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada output
politik. Pada masyarakat yang termasuk ke dalam jenis partisipasi ini
hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.
Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk ke dalam kedua
kategori ini, yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan
sistem politik dari apa yang mereka cita-citakan. Kemudian kelompok tersebut
apatis (golput).
Kategori partisipasi politik menurut Milbrath adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan Gladiator meliputi :
a. memegang jabatan publik atau partai
b. menjadi calon pejabat
c. menghimpun dana politik
d. menjadi anggota aktif suatu partai
e. menyisihkan waktu untuk kampanye politik
2. Kegiatan transisi meliputi :
a.mengikuti rapat atau pawai politik
b. memberi dukungan dana partai atau calon
c. jumpa pejabat publik atau pemimpin politik
3. Kegiatan menonton meliputi :
a. memakai simbol/identitas partai/organisasi politik
b. mengajak orang untuk memilih
c. menyelenggarakan diskusi politik
(27)
4. Kegiatan apatis/masa bodoh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah :
1. kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara
2. kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap
pemimpinnya.
Beradasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu :22
1. Partisipasi politik aktif kiha memiliki kesadaran dan kepercayaan politik
yang tinggi
2. Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik
rendah
3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan
kepercayaan politiknya tinggi.
4. Partisipasi politik militan radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi,
sedangka kepercayaan politiknya rendah.
1.5.5 Perilaku Pemilih
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para
kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan.23
Dinyatakan sebagai pemilih dalam pilkada yaitu mereka yang telah
mendaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih
dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya.
Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi
22 Ibid., hal.144
(28)
tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai
politik dan seorang pemimpin.24
Menurut Brennan dan Lomasky serta Fiorina menyatakan bahwa
keputusan memilih selama pemilu adalah perilaku ”ekspresif”. Perilaku ini tidak
jauh berbeda dengan perilaku suporter yang memberikan dukungan pada sebuah
tim sepakbola. Menurut mereka, perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh
loyalitas dan ideologi.25
Keputusan politik untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan
terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon
pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan
suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin
tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yan telah mereka
berikan.
Perilaku pemilih juga syarat dengan ideologi antara pemilih dengan partai
politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang
saling berinteraksi. Selama periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan
pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan
mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi yang sama
dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang
berseberangan dengan mereka.
Him Melwit menyatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan
keputusan yang bersifat instan, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak
24 Ibid.,
(29)
berbeda dengan pengambilan keputusan lain.26 Jadi tidak tertutup kemungkinan
adanya pengaruh dari faktor-faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusan
memilih, seperti faktor partai politik yang mendukung pasangan calon, citra
kandidat ataupun figur kandidat tersebut.
Perilaku Pemilih dapat dianalisis dengan menggunakan empat pendekatan,
yaitu :27
1. Pendekatan Sosiologis
Di lingkungan ilmuwan sosial di Amerika Serikat, model sosiologis
awalnya dikembangkan oleh Mazhab Columbia, yaitu The Columbia School of
Electoral Behavior. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa
karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang.
Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam
respon politiknya adalah status sosio ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain,
pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama,
keluarga dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis.
2. Pendekatan Psikologis
Model ini dikembangkan oleh Mazhab Michigan. The Michigan Survey
Research Centre. Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai
determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakter
sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan refleksi
26 Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, dalam Jurnal Ilmu
Politik Edisi no. 16. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal.52
27 Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : Gramedia
(30)
dan kepribadian seseorang yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam
mempengaruhi perilaku politik seseorang, karena itu pendekatan ini menekankan
pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada
suatu partai politik, isu-isu dan kandidat-kandidat.
3. Pendekatan Rasional
Pendekatan ini menempatkan pemilih pada suatu keadaan yang bebas, di
mana pemilih pemilih melaksanakan perilaku politik dengan pikiran rasionalnya
dalam menilai calon/kandidat yang terbaik menurut rasionalitas yang dimilikinya.
Model ini ingin melihat perilaku pemilih sebagai produk kalkulasi untung rugi.
Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan faktor untung rugi
dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih
rasional adalah pemilih yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih
calon.
Sebuah pilihan tindakan dikatakan menguntungkan bila ongkos yang
dikeluarkan untuk mendapatkan hasil dari tindakan tersebut lebih rendah daripada
hasil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan tersebut rugi bila ongkos
untuk mendapatkan hasil itu lebih tinggi nilainya ketimbang hasil yang diperoleh.
Berbeda dengan 2 pendekatan di atas yang menempatkan pemilih pada
ruang kosong, di mana pemilih tidak menentukan perilaku politik pada saat di
bilik suara, akan tetapi perilaku politik telah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya
dengan mengacu pada dua pendekatan di atas. Pada pendekatan rasional, perilaku
politik dapat terjadi kapan saja, dan dapat berubah sesuai dengan rasionalitasnya,
(31)
4. Pendekatan Domain Kognitif
Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksi perilaku
pemilih. Newman dan Sheth mengembangkan model perilaku pemilih
berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing.28
Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif
yang berbeda dan terpisah, yaitu :
a. Isu dan Kebijakan Politik
Komponen ini mempresentasikan kebijakan atau program yang
diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang
pemilu.
b. Citra Sosial
Komponen ini adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai
”berada” di dalam kelompok sosial mana atau tergabung sebagai apa sebuah partai
atau kandidat politik. Citra sosial dapat terjadi oleh banyak faktor, diantaranya
demografi (meliputi usia, gender, dan agama). Sosio ekonomi (meliputi pekerjaan
dan pendapatan). Kultural dan etnik dan politis-ideologi.
c. Perasaan emosional
Yaitu dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau
kontestan yang ditunjuk oleh kebijakan politik yang ditawarkan.
d. Citra kandidat
Yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan yang dianggap
sebagai karakter kandidat.
28 Adman Nursal, Ibid., hal. 69
(32)
e. Peristiwa mutakhir
Hal ini mengacu pada himpunan peristiwa, isu dan kebijakan yang
berkembang menjelang dan selama kampanye.
f. Peristiwa personal
Ini mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami secara
pribadi oleh seorang kandidat misalnya skandal seksual, bisnis dan sebagainya.
g. Faktor-faktor epistemik
Yaitu isu-isu pemilihan yang sfesifik yang dapat memicu keingintahuan
para pemilih mengenai hal-hal baru.
1.5.6 Orientasi Pemilih29
1. Orientasi Policy-Problem-Solving
Ketika pemilih menilai seorang kontestan dari kacamata
policy-problem-solving yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana kontestan mampu
menawarkan program kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih
akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kontestan yang
memiliki kepekaan terhadap masalah nasional (daerah) dan kejelasan-kejelasan
program kerja partai politik atau kontestan pemilu yang arah kebijakannya tidak
jelas akan cenderung tidak terpilih.
2. Orientasi Ideologi
Pemilih yang cenderung mementingkan ideologi suatu partai atau
kontestan, akan lebih mementingkan ikatan ”ideologi” suatu partai atau kontestan,
akan lebih menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya,
norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kontestan
29 Agung Wibawanto, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, Yogyakarta : Pembaruan, 2005,
(33)
pemilu, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau
kontestan tersebut.
1.5.7 Jenis-Jenis Pemilih30 1. Pemilih Rasional
Pemilih jenis ini memiliki orientasi yang tinggi terhadap
policy-problem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih
mengutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dalam
program kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut melalui kinerja partai
atau kontestan dimasa lampau, dan tawaran program yang ditawarkan sang calon
atau partai politik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang
terjadi.
Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan
ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Hal yang
terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan
oleh sebuah partai atau seorang kontestan pemilu.
2. Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pemilih
pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan
permasalahan yang sedang dihadapi sebuah negara atau daerah manapun
tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis.
Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua hal yaitu
pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk
menentukan kepada partai atau kontestan pemilu mana mereka akan berpihak dan
30 Ibid., hal. 65
(34)
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah
dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya di mana pemilih tertarik terlebih
dahulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai politik/kontestan
baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi
pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya
mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi)
dengan kebijakan yang dibuat.
3. Pemilih Tradisional
Pemilih jenis ini memiliki oreintasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu
melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang
terpenting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat
mengutamakan kedekataan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama
sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik atau kontestan pemilu.
Kebijakan seperti yang berhubungan dengan masalah ekonomi, kesejahteraan,
pendidikan, dan lainnya, dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jenis ini
sangat mudah dimobilisasi selama masa kampanye, pemilih jenis ini memiliki
loyalitas yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang dikatakan oleh
seorang kontestan pemilu atau partai politik merupakan suatu kebenaran yang
tidak bisa ditawar lagi.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan
sebuah partai politik atau kontestan pemilu, pemilih ini juga tidak menjadikan
sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi
(35)
bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya sama saja, tidak
akan ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi kondisi daerah/negara.
Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kontestan pemilu nanti harus
bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara pemilih tersebut,
yaitu tentunya melalui kampanye dalam berbagai cara. Karena dengan memahami
jenis pemilih yang ada, kemungkinan untuk memenangkan pemilu menjadi
semakin kuat. Mereka harus mampu meraih suara dari setiap jenis pemilih yang
ada. Untuk itu mereka pada umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh
ataupun hal-hal yang membuat setiap jenis pemilih diatas mau mendukung
mereka dalam pemilu.
I. 6 METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang
perlu diterapkan dan diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan analisis.31
Pembahasan langkah prosedural yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran
dan tujuan penelitian harus memasukkan pembenaran atas metode yang dipilih
dan juga harus memperlihatkan kesesuaian antara tujuan, metode, dan sumber
daya yang tersedia.32
1.6.1. Metode Penelitian
Oleh sebab itu peneliti menggunakan metodologi penelitian
sebagai berikut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif diartikan sebagai prosedur masalah yang diselidiki, dengan
menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian baik individu,
31Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Grasindo, 2000, hal. 1. 32Bruce A. Chadwick, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh Dr. Sulistia, M.L.
(36)
lembaga masyarakat dan sebagainya berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan
sebagaimana adanya.
1.6.2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif. Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya.33 Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan.
Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan
kenyataan-kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung
hakikat hubungan antara peneliti dengan responden; dan ketiga, metode ini lebih
peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.34
Penelitian kualitatif berakar pada latar ilmiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya
pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan
proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat
kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat
sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak.
35
33Anslelm Strauss, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 4. 34Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 1991, hal. 5 35Ibid, hal. 27.
(37)
1.6.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing
Natal Provinsi Sumatera Utara.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah segala keterangan atau informasi yang mengenai segala hal
yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Ada beberapa metode yang biasa
digunakan untuk mengmpulkan data antara lain library research (penelitian
pustaka) sering juga disebut dengan metode documenter/dokumentasi, dan field
research (penelitian lapangan) seperti : wawancara (interview), observasi
(observasion)36
1. Observasi: yaitu pengumpulan data dengan cara mengamati secara
langsung terhadap kegiatan-kegiatan terjadi dilapangan sehingga didalam
penelitian ini didapat gambaran mengenai kondisi objek penelitian.
. Untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini maka
dilakukan dengan cara :
2. Wawancara mendalam, merupakan upaya menggali informasi dengan
melakukan tanya jawab secara lisan dan terhadap individu-individu yang
nantinya akan dijawab dengan jawaban-jawaban yang lisan juga. Tanya
jawab yang dilakukan bersifat bebas yang dilakukan kepada masyarakat
yang bersangkutan dengan menanyakan pandangan mereka tentang
Pemilu legislatif 2009
3. Dokumentasi adalah data yang mendukung penelitian ini baik berupa
buku, bulletin, foto,yang semua untuk memudahkan penulisan ini.
(38)
1.6.5 Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan dengan penyusunan data dengan naratif, dan mereduksi
data yang telah didapatkan, menyajikan kembali data, mentabulasi data dengan
matrik, dan memverifikasikan data dengan deskriptif.
Data-data dan informasi yang telah didapatkan disusun dalam pola kategori
dan satuan uraian dasar sehingga dapat menemukan tema. Data-data yang
diperoleh dari observasi, interview maupun data-data pelengkap, dikumpulkan
dan diklasifikasikan sesuai dengan tema kajian permasalahan. Setelah itu
dilakukan analisis berupa penginterpretasian data tersebut dengan bantuan
data-data sekunder, dan diuraikan dalam bentuk diagram dan matrik sehingga bisa
(39)
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan yang akan dilakukan dalam pembuatan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan
permasalahan, pembatasan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II : DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN
Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum
deskripsi lokasi penelitian seperti sejarah PPP, ideologi,
keanggotaan, struktur organisasi DPC PPP Kabupaten
Madina Sumatera Utara, pengambilan keputusan pada.
Serta juga turut melampirkan kondisi objektif di
Kabupaten Madina
BAB III : ANALISA HASIL PENELITIAN
Bab ini berisikan hasil analisa dari penelitian yang telah
dilakukan, antara lain tentang analisa mengapa terjadi
kekalahan di tubuh PPP dalam Pemilu Legislatif 2009 di
Kab. Madina.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari
(40)
BAB II
DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN II. 1. Sejarah Singkat Kabupaten Mandailing Natal
Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dengan ibukota Panyabungan
dibentuk berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1998 tanggal 23
Nopember 1998 sebagai bagian dari proses pemekaran Kabupaten Tapanuli
Selatan dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 19 Maret 1999.
Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal adalah perwujudan aspirasi
masyarakat dalam mengembangkan potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Manusia serta tekad pemerintah dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di
wilayah paling selatan provinsi Sumatera Utara.
Pada saat pembentukannya, Kabupaten Madina dengan luas wilayah
6.620,70 Km2 atau 9,23% dari luas provinsi Sumatera Utara, terdiri dari 8
kecamatan kemudian dimekarkan menjadi 23 kecamatan dengan jumlah desa pada
saat ini sebanyak 354 desa dan 32 kelurahan.37
Gambaran secara geografis, kabupaten Mandailing Natal terletak antara
000’10” - 100’500 Lintang Utara dan 9080’50” – 10000’10” Bujur Timur dan
merupakan bagian dari wilayah Sumatera Utara, dengan batas – batas wilayah :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan;
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pasaman Timur Provinsi
Sumatera Barat;
37
(41)
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman Barat Provinsi
Sumatera Barat;
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia
Luas daerah Kabupaten Mandailing Natal adalah 662.070 Ha, seperti dapat
dilihat pada Tabel berikut ini :
Kecamatan, ibukota Kecamatan dan Luas Wilayah Kabupaten Mandailing Natal
NO. KECAMATAN IBUKOTA KECAMATAN LUAS (Ha)
1. Siabu Siabu 34.536,48
2. Bukit Malintang Malintang Julu 12.743,52
3. Panyabungan Utara Mompang 6.372,64
4. Huta Bargot Huta Bargot 11.620,97
5. Penyabungan Panyabungan 25.977,43
6. Panyabungan Timur Gunung Baringin 39.787,40
7. Panyabungan Barat Longat 8.721,83
8. Panyabungan Selatan Tano Bato 8.759,72
9. Lembah Sorik Marapi Maga 3.472,57
10. Puncak Sorik Marapi Sibanggor 5.553,79
11. Tambangan Pasar Laru 15.859,86
12. Kotanopan Kotanopan 32.514,72
13. Ulu Pungkut Huta Nagodang 29.529,06
14. Muarasipongi Muarasipongi 13.570,31
15. Pakantan Pakantan 9.359,69
16. Batang Natal Muarasoma 65.150,99
17. Lingga Bayu Simpang Gambir 19.267,50
18. Ranto Baek Manisak 15.271,70
19. Batahan Batahan 49.707,30
20. Sinunukan Sinunukan 17.263,70
(42)
22. Muara Batang Gadis Singkuang 143.502,00
23. Naga Juang Banua Simanosor _
Jumlah 662.070,00
Sumber: Data Revisi RTRW Kabupaten Mandailing Natal38
Secara geografis, Kabupaten Madina terbagi atas wilayah dataran rendah
yang merupakan daerah pesisir yang merupakan daerah pesisir dengan elevasi
00-20 seluas 180.500 Ha (24,24%), wilayah dataran landai dengan elevasi 00-20-150
seluas 36.585 Ha (5,49%) dan wilayah dataran tinggi yang dibedakan atas daerah
perbukitan dengan elevasi 150 - 200 seluas 112.000 Ha ( 16,91%) dan daerah
pegunungan dengan elevasi 200 - 400 seluas 353.185 Ha (53,34%).39
Topografi Kabupaten Mandailing Natal
NO. KECAMATAN TOPOGRAFI
1. Siabu 250 – 600 M, bergelombang s/d berbukit 2. Bukit Malintang 250 – 400 M, datar s/d berbukit
3. Panyabungan Utara 250 – 500 M, datar s/d berbukit 4. Panyabungan 250 – 800 M, datar s/d berbukit
5. Panyabungan Timur 250 – 800 M, berbukit s/d pegunungan 6. Panyabungan Barat 400 – 800 M, datar s/d berbukit
7. Panyabungan Selatan 400 – 800 M, berbukit s/d pegunungan 8. Lembah Sorik Marapi 400 – 600 M, berbukit s/d pegunungan 9. Tambangan 400 – 600 M, berbukit s/d pegunungan 10. Kotanopan 400 – 800 M, berbukit s/d pegunungan 11. Ulu Pungkut 600 – 800 M, berbukit s/d pegunungan
12. MuaraSipongi 800 – 1000 M, berbukit s/d pegunungan
38 KPUD Kabupaten Mandailing Natal, Data Revisi RTRW Kabupaten Mandailing Natal, 2009,
Hal 35 - 37
(43)
13. Batal Natal 500 – 700 M, bergelombang s/d berbukit 14. Lingga Bayu 500 – 700 M, bergelombang s/d berbukit 15. Batahan 0 – 300 M, datar s/d bergelombang 16. Natal 0 – 300 M, datar s/d bergelombang 17. Muara Batang Gadis 0 – 300 M, datar s/d bergelombang
Sumber : Mandailing Natal Dalam Angka Tahun 2007
Daerah dalam rendah dan dataran landai adalah daerah yang subur,
kelembaban tinggi dengan curah hujan relatif tinggi pula. Wilayah ini memiliki
ekonomi yang tinggi sehingga terus cenderung semakin padat. Banjir juga dapat
melanda daerah ini akibat berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan
sungai. Sedangkan pada musim kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air
sebagai konsekuensi dari kondisi hutan yang semakin kritis.
Wilayah Madina mempunyai dua iklim yaitu musim hujan dan kemarau.
Musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai bulan September dimana arus
angin berasal dari Australia yang tidak mengandung uap air, sebaliknya musim
hujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret karena arus angin banyak
mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini
seperti silih berganti setiap tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan
April – Mei dan Oktober – Nopember.40
Tinggi atau rendahnya suhu udara di suatu tempat dipengaruhi oleh
ketinggian daerah di atas permukaan laut. Daerah Mandailing Natal yang terletak
di ketinggian antara 0 – 1000 meter di atas permukaan laut mengakibatkan
suhunya berkisar antara 2300C – 3200C dengan kelembaban antara 80 – 85%.
40 Ibid Hal :37
(44)
II.2. Sejarah Singkat Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Ketika dideklarasikan, warna Islam yang menjadi unsur dominan
pembentukan partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukuwah dan
perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi pada tahun 1973 sepakat
menerima Islam sebagai asas PPP. Bahkan, untuk memudahkan identifikasi
sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam
lalu diusung menjadi lambang partai.
Partai Persatuan Pembangunan sendiri adalah partai jelmaan dari empat
partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU),
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan
Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Jika ditelusuri, pengalaman
politik keempat partai ini sudah dirintis sejak lama. Nahdlatul Ulama, secara
formal didirian pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan faham
Ahlussunah Wal Jamaah. Kendati sebagai organisasi keagamaan peran politik NU
terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat
berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi
bentukan KH Hasyim Asy’ari ini bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) tahun 1939. MIAI ini sendiri adalah organisasi yag bertujuan untuk
memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang
MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).41
Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945 yang isinya antara lain pemerintah mengizinkan rakyat
untuk mendirikan partai politik dalam menyalurkan segala paham dalam
41
(45)
masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden
Muhammad Hatta itu, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam
langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi, dimana partai ini berbeda
dan terlepas sama sekali dengan nama organsasi yang sama pada zaman Jepang.
Karena partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan
peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk
NU.
Sebagai organsasi konfederasi kedudukan kelompok-kelompok Islam
dalam partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur
organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU pada posisi yang kurang bergengsi
cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan. Hal ini membuat
NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh
NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Perpecahan ini lalu
berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi pada
pemilu tersebut menempati posisi kedua setelah PNI, sedangkan NU di tempat
ketiga di atas PKI. Peran politik NU terus berkembang hingga terbentuknya rezim
Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik,
NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.214.795 suara (18,68 %) dari
54.651.770 pemilih dalam Pemilu 1971. Posisi ini persis dibawah Golkar, partai
binaan pemerintah saat itu.
Partai Syarikat Islam Indonesia sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Sarekat Islam (SI) yang dibentuk HOS Tjokroaminoto pada 1912. Sarekat Islam
sendiri merupakan kelanjutan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk H.
(46)
orientasi perjuangan partai ini dari persoalan-persoalan politik SI bergerak secara
terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam
untuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.
Ketika Masyumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia,
suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai
terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Para tokoh SI ini tidak banyak berperan
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika
kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan,
Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian
menjadi populer di masyarakat ketimbang induk semangnya, SI dan SDI. Pada
pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih.
Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah
PKI.
Partai Islam Perti sebetulnya cikal bakal dari Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 30 Mei 1930 di Bukit Tinggi, Sumatera
Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan agama. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan
golongan Islam tradisional terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam
modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan
yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi (MIT), sebuah partai Islam di
Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Pada elite Perti beranggapan
dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih
(47)
dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan
kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai
politik yang diizinkan hidup oleh Soekarno. Selain Perti, ada PNI; NU; PKI;
Partai Katolik; Partai Murba; PSII; IPKI dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan tahun 1968
yag diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang
sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai
Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap
terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati baru,
reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi membuat partai ini
tampil memikat di kalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara
dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan
NU.
Ketika Soeharto baru berkuasa, hubungan pemerintah dan partai politik
saat itu masih berlangsung dengan baik. Pemerintah lalu mengadakan Pemilu
tahun 1971 dengan mengakomodasi semua partai yang ada saat itu. Hubungan
baik tersebut tidak berlanjut dengan baik karena dua tahun setelah Pemilu,
Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik seperti yang dilakukan
Soekarno tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokan partai politik berdasarkan
garis agama (baca: Islam), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis
nasionalis dan Kristen, yaitu : Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa pakasaan, secara
internal hubungan antarunsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan
(48)
Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh KH Idham
Khalid (NU), HMS Mintaredja (Parmusi), Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli
Halil (Perti) dan KH Masykur (NU) dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan
wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung
jawab tokoh-tokoh umat dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu membahu
membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT melalui perjuangan partai politik.
Dengan meleburkan diri ke dalam PPP itu berarti segala aktifitas politik
dikonsentrasikan untuk PPP. Sementara segala kegiatan yang bukan kegiatan
politik tetap dikerjakan organisasi masing-masing sebagaimana sediakala. Partai
NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi Muslimin Indonesia (MI), Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII) menjadi Syarikat Islam (SI), dan Partai Islam Perti menjadi
Perti.
Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan politik yang sudah lama
berkiprah dalam politik reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya sangat
dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi tersebut.
Sebut saja peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah
tahun 1973. Dari semua anggota DPR hanya PPP yang berani menyatakan sikap
menolak RUU tersebut karena bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan yang
diikuti dengan aksi walkout itu berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk
melanjutkan gagasannya dalam RUU tersebut.
Selain itu, sebagai wadah dari partai-partai yang sudah memiliki basis
(49)
1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dihitung
perolehan kursi berdasarkan pemilu 1971, Partai NU memperoleh 58 kursi,
Parmusi 26, PSII 10, dan Perti 2 kursi. Itu artinya ketika akan menghadapi Pemilu
1977 partai yang dipimpin oleh H. MS. Mintaredja ini sudah dimodali 96 kursi.
Pada Pemilu 1977 partai yang membawa panji Islam ini berhasil meraup
18.745.592 (29,29 %) suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Dengan
demikian, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil merebut 99 kursi
untuk mendudukkan wakilnya di DPR. Penambahan tiga kursi ini bertolak
belakang dengan rivalnya Golkar yang kehilangan empat kursi, dan PDI satu
kursi. Sukses PPP kali ini tidak lepas dari sokongan NU sebanyak 56 kursi,
Parmusi 25, PSII 14, dan Perti 4 kursi.
Sikap kritis PPP terhadap pemerintah kembali terlihat ketika muncul
gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978. Perlawanan PPP yang
populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman itu membuat citra PPP semakin
baik di mata masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. Perlawanan lain yang
dilakukan juga oleh PPP adalah rencana pemerintah untuk memasukkan aliran
kepercayaan, dan Pedoman Pengahayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke
dalam TAP MPR.
Kekompakan dalam PPP mulai terganggu ketika pemerintah
menyampaikan RUU penyempurnaan UU Pemilu yang akan digunakan untuk
Pemilu 1982. Pergesekan terjadi ketika kelompok NU yang merupakan mayoritas
dalam Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) DPR menolak hadir dalam sidang
(50)
No.2/1980. Ketidakhadiran NU tersebut berkaitan dengan persoalan keanggotaan
dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Untuk diketahui tanggal 21 Februari 1980, FPP DPR memasukkan materi
duduknya parpol dan Golkar dalam KPPS sebagai wakil ketua untuk menjamin
terselanggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber).
Usulan tersebut ditolak oleh Soeharto, presiden saat itu. Akhirnya DPP PPP
memutuskan menerima kedudukan parpol dan Golkar dalam KPPS hanya sebagai
pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto.
Keputusan ini kemudian membuahkan perselisihan antara kelompok NU
di DPR (yang mendapat dukungan dari PBNU) dengan Ketua Umum DPP PPP
Dr. J. Naro, SH maupun pimpinan lain dari NU yang mengikuti kebijakannya.
Perselisihan ini ternyata berbuntut pada pengurangan jatah kursi NU dalam
penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk Pemilu berlarut-larut yang
akhirnya bermuara pada konflik antara kubu NU dan kubu non-NU.
Konflik tersebut membawa benih-benih perpecahan di dalam tubuh PPP.
Pada Pemilu 1982, perolehan suara PPP hanya 94 kursi. Hilangnya lima kursi
tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari
mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal
kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan NU.
Untuk mengakhiri konflik tersebut, dalam Muktamarnya yang ke 27 di
Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan untuk kembali ke Khiitah 1926 sebagai
organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan tidak lagi mempunyai hubungan
organisatoris dengan PPP. Keputusan yang dibuat pada akhir tahun 1984 itu lalu
(51)
Secara operasional, keputusan kembali ke Khittah 1926 oleh para kiai lokal
diartikan sebagai tindakan “balas dendam” kepada PPP dengan cara menarik
dukungan mereka dari partai yang menjadi satu-satunya saluran aspirasi politik
mereka selama ini. Para kiai di Jawa malah mengkampanyekan kepada para
pengikut mereka agar memilih Golkar atau PDI.
Aksi penggembosan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU lokal ini
merupakan pukulan telak buat PPP. Perolehan suara partai pimpinan J. Naro ini
pada Pemilu 1987 langsung anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 %) kursi. Kendati
posisinya masih di atas PDI, secara politis kekuasaan PPP saat itu sudah
benar-benar keropos. Reputasinya sebagai partai Islam pun memudar. Maklum, warga
NU yang menjadi basis massa terbesar ijo royo-royo ini banyak yang hengkang ke
Golkar dan PDI mengikuti preferensi politik para kiai mereka.
Selain aksi penggembosan, runtuhnya kekuasaan PPP juga disebabkan
oleh tindakan pemerintahan Orde Baru yang memberlakukan UU No.3/1985
tentang Perubahan atas UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golonga Karya
yang mewajibkan perubahan lambang partai dan penetapan Pancasila sebagai
satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Tahun itu juga PPP langsung mengganti
lambangnya dari Ka’bah menjadi bintang, sekaligus menanggalkan Islam sebagai
asasnya. Sejak saat itu PPP dibiarkan sebagai partai yang tergantung-gantung
tanpa akar.
Di bawah pimpinan Ismail Hasan Metareum, PPP tampil dengan
pembawaan yang lebih kalem. Pribadi Buya – panggilan akrab Ketua Umum PPP
– yang tenang turut membentuk karakter PPP menjadi partai yang sejuk.
(52)
gejolak di dalam PPP, tampaknya Buya berusaha untuk mengakhiri situasi seperti
itu dan segera menciptakan ketenangan dan kesejukan. Salah satu caranya adalah
dengan meningkatkan demokratisasi di lingkungan partai dan melanjutkan
konsolidasi dalam rangka menyatukan kembali seluruh umat PPP.
Konsolidasi yang dibangun oleh Buya ini secara internal berhasil meredam
munculnya gejolak di dalam partai bintang. Namun, secara eksternal langkah yang
ditempuh Buya itu belum mengubah citra PPP sebagai satu partai yang sarat
konflik. Kendati demikian, dalam Pemilu 1992 PPP bisa tampil lebih “kompak”
dibanding Pemilu 1987 dan 1982. Dari 107.565.697 pemilih yang terdaftar pada
Pemilu 1992, PPP bisa meraih 17,07 persen suara, atau sebanyak 62 kursi di DPR
(15,5 %). Perolehan kursi tersebut menunjukkan PPP hanya berhasil menambah
satu kursi dibanding perolehannya pada Pemilu 1987. Perolehan tersebut terpaut
jauh di bawah Golkar yang berhasil meraup 67,98 % suara pemilih, atau 282 kursi
DPR (70,5 %).
Tidak terangkatnya suara pemilih PPP dalam pemilu kali ini secara politis
melengkapi kekalahan PPP pada dua pemilu sebelumnya. Kekalahan dalam tiga
pemilu secara berturut-turut agaknya membuat para petinggi partai pemegang
nomor urut satu ini menjadi gamang untuk menghadapi Pemilu 1997.
Kegamangan ini bisa dimaklumi mengingat ketidakberdayaan mereka
menghadapi rekayasa politik eksternal – terutama dari penguasa, baik dalam
bentuk keberpihakan aparat pemerintah terhadap salah satu organisasi peserta
pemilu (OPP) atau propaganda untuk memutuskan hubungan antara 42
.
(1)
penulis menganalisa kekalahan Partai Persatuan Pembangunan dalam pemilihan legislatif tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1. Kekalahan PPP di Kabupaten Mandailing Natal disebabkan karena adanya konflik intenal ditubuh Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten Madina. Hal ini disebabkan karena Kepengurusan Harian DPC PPP Kabupaten Madina perode 2006-2011 tidak menjalankan kepengurusan harian dengan baik (vakum), penyebabnya adalah Ketua DPC PPP Kab. Madina periode 2006-2011 ini Bapak H.Misbahuddin Batubara sakit dan tidak bisa menjalankan kepengurusan DPC PPP Kab. Madina sehingga pada tahun 2008 kepengurusan ini digantikan oleh Bapak Akhirudin Nasution S.E,. Pada kepengurusan yang baru ini beliau tidak bisa menjalankan kepengurusan DPC PPP Kabupaten Madina dengan baik dikarenakan sebagai berikut:
a. Adanyanya konflik internal ditubuh kepengurusan yang ia pimpin, karena sebahagian besar kepengurusan dan anggota-anggota DPC PPP Kabupaten Mandailing Natal tidak mau bekerja sama dalam menjalankan program partai, sehingga kepengurusan yang baru ini terkesan lambat bahkan jalan ditempat.
b. Terputusnya bantuan aliran dana dari DPP PPP, dan DPW PPP Sumatera Utara, sehingga dalam melakukan kegiatan ataupun program-program partai tidak bisa maksimal bahkan cenderung program tersebut tidak berjalan karena kekurangan aliran dana dari pengurus pusat dan pengurus wilayah PPP.
(2)
2. Kekalahan PPP di Kabupaten Mandailing Natal khususnya di Kecamatan Panyabungan disebabkan karena:
a. Terjadi pergeseran pemilih di masyarakat Kabupaten Madina, karena semakin bertakembangnya proses informasi dan keterbukaan masyarakat dalam menerima perkembangan demokrasi dan partai poitik masyarakat sekarang telah beralih kepada partai-partai nasional yang memunculkan figur-figur yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dan mewakili mereka dalam pemerintahan,dan meninggalkan Partai Islam Tradisional, proses kedewasaan demokrasi ini menyebabkan warga di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Madina tidak lagi memilih partai yang berlandaskan Islam (PPP) sebagai pilihan mereka dalam pemilu legislatif tahun 2009 lalu tetapi mereka lebih percaya dan memilih partai-partai nasional seperti Golkar, Demokrat, Hanura, PKB dan PKS. Pergeseran pemilih ini menyebabkan masyarakat tidak lagi memilih Partai yang berasaskan Islam seperti yang dilakukan oleh orang-orang tua mereka terdahulu yang kental dengan partai yang berlandaskan Islam Tradisional, tetapi sudah memilih kepada Partai yang Nasional. Biasanya pergeseran pemilih ini terjadi kepada muda-mudi di Kecamatan-Kecamatan yang tergolong maju dan lebih terbuka kepada informasi seperti di Kecamatan Panyabungan, dan kecamatan lain yang sudah maju pada umumnya.
(3)
b. Pada masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan kepada partai yang berlandaskan Islam Tradisonal, masih terdapat pemilih-pemilih setia Partai Persatuan Pembangunan, masyarakat ini biasanya yang berada disekitar wilayah-wilayah pondok pesantren dan wilayah-wilayah yang tergolong primordial, patronage dan jauh dari akses keterbukaan informasi seperti di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kecamatan Siabu ,Kecamatan Panyabungan Utara, Kecamatan Kotanopan.
(4)
Daftar Pustaka
Undang-Undang :
UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Buku :
Amir, Syafruddin, Transformasi Energi PPP, Bandung : Idea Publishing, 2007
Amirin, Tatang M, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000
Asfar, Muhammad, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, dalam Jurnal Ilmu Politik Edisi no. 16. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008
Chadwick, Bruce A, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh Dr. Sulistia, M.L. (penerjemah), Semarang: IKIP Semarang Press, tp.thn.
Donald, Parulian, Menggugat Pemilu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997 Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007
Koirudin, Parpol dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 1991 Nursal, Adman, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2004
Rudi, Teuku May, Pengantar Ilmu Politik. Bandung : PT Eresco, 1993
Strauss, Anslelm, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Grasindo, 1999
Usman, Husani dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara. 2004
(5)
Wibawanto, Agung, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, Yogyakarta : Pembaruan, 2005.
Internet :
PPP dan Eksistensinya Yang Kian tergerus ) diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.
Andri. Di akses pada 3 februari 2010 .
Sejarah PPP ) diakses pada tanggal 14 februari 2010.
23 Maret 2010)
Diakses 30 Maret 2010
Mestika. Diakses11 Januari 2010
Referensi Lain :
KPUD Kabupaten Mandailing Natal, Data Revisi RTRW Kabupaten Mandailing Natal, 2009, Hal 35 – 37
Tim Litbang Kompas. Partai-Partai Politik Indonesia: ideologi dan program: PT Kompas Media Nusantara 2005 Hal 177
Tim Litbang Kompas. Partai-Partai Politik Indonesia: ideologi dan program: PT Kompas Media Nusantara 2005 Hal 180
(6)
Tim Litbang Kompas. Partai-Partai Politik Indonesia: ideologi dan program: PT Kompas Media Nusantara 2005 Hal 185
Tim Litbang Kompas. 2004. Partai-Partai Politik Indonesia
Pemaparan dalam pertemuan terbatas dan sosialisasi mengenadi Visi dan Misi PPP dalam Pemilu Legislatif 2009 di Madina
Haris, S. Psi, M.Si, Politik Organisasi Perspektif Mikro Diagnosa Psikologis, Yokyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Hal. 136-138
Dikutip dari Ketetapan-ketetapan Muktamar VI Partai Persatuan Pembangunan Tentang Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, hal, 9-11.