PENGARUH JUMLAH PELARUT ETANOL DAN SUHU FRAKSINASI TERHADAP KARAKTERISTIK LEMAK KAKAO HASIL EKSTRAKSI NON ALKALIZED COCOA POWDER

(1)

PENGARUH JUMLAH PELARUT ETANOL DAN SUHU FRAKSINASI TERHADAP KARAKTERISTIK LEMAK KAKAO HASIL EKSTRAKSI

NON ALKALIZED COCOA POWDER

Oleh

CAROLINA MARIA SUSANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENGARUH JUMLAH PELARUT ETANOL DAN SUHU FRAKSINASI TERHADAP KARAKTERISTIK LEMAK KAKAO HASIL EKSTRAKSI

NON ALKALIZED COCOA POWDER

Oleh

CAROLINA MARIA SUSANTI

Kakao dan produk-produk turunannya merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Ekstraksi non alkalized cocoa powder pada skala industri menghasilkan produk utama berupa ekstrak kakao murni dan produk samping berupa lemak kakao. Hasil samping industri berupa lemak kakao belum dimanfaatkan lebih lanjut, baik sebagai bahan baku industry pangan maupun non pangan. Untuk mengetahui manfaat lemak kakao hasil samping ekstraksi ini perlu terlebih dahulu diketahui karakteristiknya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh karakteristik lemak kakao hasil samping ekstraksi non alkalized cocoa powder terbaik pada penambahan jumlah pelarut dan suhu fraksinasi yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor dan tiga kali pengulangan. Faktor pertama berupa penambahan pelarut etanol sebanyak 450 ml, 600 ml, dan 750 ml, faktor kedua adalah perlakuan suhu fraksinasi sebesar 15 oC, 18 oC,dan 21 oC. Data hasil percobaan dianalisis dengan


(3)

uji Barlett untuk homogenitas. Kemenambahan data dianalisis dengan uji Tuckey, kemudian dianalisis dengan ANOVA untuk melihat perbedaan perlakuan. Data dianalisis lebih lanjut dengan Beda Nyata Terkecil paa taraf 5% untuk mendapatkan perlakuan terbaik.

Perlakuan terbaik diperoleh pada penambahan jumlah pelarut etanol sebanyak 750 ml dan suhu fraksinasi 15oC dengan rendemen fraksi lemak sebanyak 35,0382%, kadar lemak sebesar 86,742%, aroma mendekati khas coklat, dan komposisi asam lemak tak jenuh sebesar 49,71% dari total asam lemak.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 2

1.4. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Kakao (Theobroma cacao L.) ... 6

2.2. Lemak Kakao Murni ... 8

2.3. Ekstraksi Non Alkalized Cocoa Powder ... 16

2.4. Produk Hilir Lemak Kakao Murni ... 19

III. BAHAN DAN METODE ... 20

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 20

3.2. Bahan dan Alat ... 20

3.3. Metode Penelitian ... 20


(8)

3.4.1. Pembuatan Lemak Kakao Hasil Samping Ektraksi Non

Alkalized Cocoa Powder ... 22

3.4.2. Karakterisasi Lemak Kakao ... 25

(a) Analisis Komposisi Asam Lemak ... 25

(b) Analisis Kadar Lemak ... 28

(c) Uji Organoleptik Aroma ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Rendemen Fraksi Lemak Kakao ... 30

4.2. Kadar Lemak ... 32

4.3. Aroma ... 35

4.4. Komposisi Asam Lemak ... 39

4.5. Penentuan Perlakuan Terbaik ... 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1. Kesimpulan ... 50

5.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(9)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara

pemasok utama kakao dunia setelah Pantai Gading (38,3%) dan Ghana (20,2%) dengan persentasi 13,6% (BPS, 2011). Produk-produk hasil olahan kakao yang utama saat ini adalah lemak kakao (cocoa butter) dan kakao bubuk (cocoa powder). Kedua produk industri kakao tersebut digunakan sebagai bahan baku industri makanan, farmasi, dan kosmetika. Menurut Soldan (1983) dalam Prawoto (2001), pemakaian lemak kakao dalam industri pangan dapat

memperbaiki struktur menjadi lebih lembut (fine), warna produk lebih menarik dengan warna coklat yang khas. Lemak dalam cokelat juga berperan dalam mengendalikan tekstur produk pangan.

Salah satu industri yang mengelola kakao menjadi produk hilir adalah industri ekstraksi bubuk kakao. Bahan baku yang digunakan oleh industri adalah non alkalized cocoa powder atau natural cocoa powder. Industri ini menghasilkan produk utama berupa ekstrak kakao murni yang mengandung banyak theobromine dan hasil samping berupa lemak kakao. Produk utama ekstrak kakao murni merupakan produk ekspor yang cukup menjanjikan, sedangkan hasil samping industri berupa lemak kakao belum dimanfaatkan lebih lanjut, baik sebagai bahan


(10)

2

baku industri pangan maupun non pangan. Dalam industri kosmetika, lemak kakao murni digunakan untuk pembuatan lipstick, krim pembersih, krim penyerap, minyak rambut, dan sabun. Untuk mengetahui manfaat lemak kakao hasil samping ekstraksi ini perlu terlebih dahulu diketahui karakteristiknya.

Non alkalized cocoa powder diekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% selama beberapa jam pada suhu tertentu. Jumlah pelarut etanol yang digunakan pada proses ekstraksi non alkalized cocoa powder dan suhu pendinginan pada fraksinasi (pemisahan) komponen lemak kakao (by product) dan ekstrak kakao murni (main product) tergantung pada karakteristik bahan baku yang digunakan. Sampai saat ini belum ditemukan penambahan jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi yang optimal. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan perlakuan dengan penambahan pelarut etanol dan suhu fraksinasi untuk diketahui

karakteristik lemak kakaonya.

1.2. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh karakteristik lemak kakao hasil samping ekstraksi non alkalized cocoa powder terbaik pada penambahan jumlah pelarut dan suhu fraksinasi yang berbeda.

1.3. Kerangka Pemikiran

Non alkalized cocoa powder merupakan kakao bubuk tanpa proses alkalisasi atau kakao bubuk natural dengan komposisi per 100 gramnya adalah mengandung kalori 228,49 Kkal, lemak 13,5 g, karbohidrat 53,35 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99


(11)

mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg, seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Non alkalized cocoa powder memiliki warna yang lebih terang dibandingkan alkalized cocoa powder. Berdasarkan standar perusahaan,

spesifikasi non alkalized cocoa powder memiliki kadar air maksimal 4%, kadar lemak sebesar 10-12%, kadar abu maksimal 9%, pH antara 5,5-5,9 dengan masa simpan hingga 2 tahun. Menurut penelitan Vogt et al. (1994), bahan baku cokelat bubuk yang digunakan biasanya memiliki kadar lemak yang tinggi, dengan kadar lemak antara 10%-12% dan ukuran partikel antara 15-30 um.

Ekstraksi merupakan metode pemisahan senyawa diantara dua pelarut. Prinsip dasar ekstraksi ialah perbedaan kelarutan suatu komponen pada berbagai pelarut dan atau adanya perbedaan kelarutan beberapa komponen dalam suatu pelarut. Metode ekstraksi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair yang dikenal sebagai ekstraksi sokhlet (Khopkar, 1990)

Etanol merupakan salah satu pelarut yang umum yang banyak digunakan pada industri lemak. Etanol memiliki titik didih rendah dan cenderung aman digunakan. Etanol mempunyai titik didih 70oC sehingga suhu ekstraksi yang digunakan dapat menarik seluruh komponen dalam bahan baku (Kealey et al., 2004). Menurut penelitan Vogt et al. (1994), ekstraksi 50 kg kakao bubuk menggunakan etanol sebanyak 200 liter. Temperatur yang digunakan antara 60oC-80oC, namun pada umumnya temperatur yang digunakan 70oC. Etanol pada proses ini dapat mengekstrak theobromine dan/atau lemak dari bahan baku coklat bubuk yang digunakan. Menurut Shahidi (2002) dalam Hernawati (2008) pelarut yang biasa digunakan untuk mengekstrak lemak adalah golongan alkohol


(12)

4

(methanol, etanol, isopropanol, n-butanol), aseton, eter (dietil eter, isopropyl eter,dioksan), halocarbon (kloroform, diklorometan), hidrokarbon (heksana, benzene, sikloheksan, isooktan), atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Dalam Ketaren (1986) diungkapkan bahwa minyak dan lemak memiliki sifat umum larut dalam pelarut organik, seperti eter, benzene, aseton, kloroforn, dan sedikit larut dalam etanol. Sumardjo (2006) mengungkapkan semakin banyak pelarut organik yang digunakan maka semakin tinggi jumlah komponen

terlarutnya. Kealey et al. (2004) juga menyatakan bahwa ektraksi lemak dengan pelarut tertentu, dalam hal ini etanol berpengaruh terhadap komponen ekstraksi yang dihasilkan, semakin banyak pelarut dengan penggunakan suhu tertentu akan mengalami peningkatan rendemen.

Menurut penelitan Vogt et al. (1994), setelah ekstraksi dengan etanol dilakukan pemisahan theobromine dan lemak dengan pendinginan pada suhu 5oC–20 oC. Theobromine merupakan zat yang diinginkan dalam produk ekstraksi kakao. Proses fraksinasi menurut Winarno (1997) terjadi karena adanya mekanisme dimana lemak didinginkan sehingga menyebabkan hilangnya panas dan memperlambat gerakan molekul. Jarak antar molekul menjadi lebih kecil dan akan timbul gaya tarik menarik antara molekul yang disebut gaya Van der Waals. Akibat adanya gaya ini radikal-radikal asam lemak saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik tergantung jenis asam lemaknya dan terjadilah pemisahan. Fraksinasi pada suhu rendah dilakukan berdasarkan perbedaan titik leleh dan kelarutan komponen lemak yang akan dipisahkan. Hamilton (1995) dalam Hernawati (2008) mengungkapkan proses fraksinasi dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama proses kristalisasi dengan cara mengatur suhu dan tahap


(13)

kedua yaitu pemisahan fraksi cair dan padat. Ketaren (1986) juga mengungkapkan lemak yang memiliki massa jenis lebih kecil akan dibandingkan air dan senyawa polar lainnya akan naik ke permukaan (terapung). Vogt et al. (1994) selanjutnya perbedaan massa jenis menyebabkan fraksi lemak muncul ke permukaan dan memudahkan proses pemisahan. Jika suhu yang digunakan lebih rendah, lemak akan membentuk gumpalan atau mengkristal sehingga akan menyulitkan proses pemisahan lemak dari cacao extract murni (theobromine), akan tetapi suhu di atas 25oC tidak dapat digunakan sebagai suhu fraksinasi karena tidak terjadi

pemisahan fraksi.

Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan perlakuan dengan penambahan pelarut etanol sejumlah 450 ml (S1), 600 ml (S2), dan 750 ml (S3), dan suhu

fraksinasi 15°C (T1), 18°C (T2), dan 21°C (T3)untuk diketahui karakteristik lemak

kakaonya.

1.4. Hipotesis

Pada penelitian ini diduga bahwa :

1. Jumlah pelarut etanol yang berbeda akanmenghasilkan karakteristik lemak kakao by product yang berbeda.

2. Suhu fraksinasi yang berbeda akan menghasilkan karakteristik lemak kakao by product yang berbeda.

3. Jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi tertentu pada ekstraksi non alkalized cocoa powder akan menghasilkan karakteristik lemak kakao by product terbaik.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kakao (Theobroma cacao L.)

Biji kakao merupakan salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar/meningkatkan devisa negara serta penghasilan petani kakao. Produksi biji kakao di Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan tidak konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao Indonesia yang relatif rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan harga produk sama dari negara produsen lain (Haryadi dan Supriyanto, 2001). Komposisi pulp kakao disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Pulp Biji Kakao

Komponen Kandungan Rata-rata (%)

Air

Albuminoid, Astringents dsb Glukosa

Sukrosa Pati

Asam non-volatil Besi oksida Garam-garam

80-90 0,5-0,7 8-13 0,4-1,0 - 0,2-0,4 0,03 0,4-0,45 Sumber : Haryadi dan Supriyanto (2001).


(15)

Kakao dibagi tiga kelompok besar yaitu Criollo, Forestero, dan Trinitario. Sifat kakao Criollo adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah

daripada Forestero, relatif gampang terserang hama dan penyakit, permukaan kulit buah Criollo kasar, berbenjol dan alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak

sehingga mudah dipecah. Kadar lemak dalam biji lebih rendah daripada Forestero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe Forestero. Berdasarkan tata niaga, kakao Criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured), sementara itu kakao Forestero termasuk kelompok kakao lindak (bulk). Kelompok kakao Trinitario merupakan hibrida Criollo dengan Forestero. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya (Wood, 1975 dalam Prawoto dan Sulistyowati. 2001).

Biji kakao mengandung berbagai macam komponen kimia, zat gizi, dan senyawa bioaktif di dalamnya. Komposisi kimia ini bervariasi setelah mengalami proses pengolahan menjadi produk. Komposisi kimia bubuk kakao berbeda dengan mentega kakao dan pasta coklat. Komposisi kimia bubuk kakao (natural) per 100 gram adalah mengandung kalori 228,49 Kkal, lemak 13,5 g, karbohidrat 53,35 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99 mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg, seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Komponen senyawa bioaktif dalam bubuk kakao adalah senyawa polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi dibandingkan dalam anggur maupun teh. Kelompok senyawa polifenol yang banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid yaitu senyawa yang mengandung 15 atom karbon yang


(16)

8 terdiri dari dua cincin benzene yang dihubungkan oleh rantai karbon (Wahyudi et al. 2008).

Gambar 1. Produk turunan buah coklat (Cacao) Sumber : Wahyudi et al. (2008)

2.1. Lemak Kakao Murni

Lemak merupakan komponen termahal dari biji kakao. Biji kakao yang berasal dari pembuatan musim hujan umumnya mempunyai kadar lemak tinggi (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012).

Buah Coklat (Cacao)

Biji Coklat (Cacao

Bean)

Pod Coklat (Cacao Pod)

Kulit/Sekam (Cacao Shell)

Lemak Coklat Murni (Cacao Butter)

Bubuk Coklat (Cacao Powder)

Pasta Coklat Berlemak (Cacao Pasta)

Pasta Coklat Tanpa Berlemak

(Cacao Pasta)

Coklat olahan lain (Other Processed)


(17)

Selain oleh bahan tanam dan musim, kandungan lemak dipengaruhi oleh perlakuan pengolahan, jenis bahan tanaman dan faktor musiman, sedangkan karakteristik fisik biji kakao pasca pengolahan seperti kadar air, tingkat fermentasi dan kadar kulit berpengaruh pada rendemen lemak biji kakao (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012).

Kebanyakan konsumen menyukai produk-produk kakao karena cita rasa yang khas, rasa manis-pahit, dan aroma yang selalu menggugah selera. Kekhasan tersebut dikarenakan komponen kimia yang menyusun biji kakao, sehingga menghasilkan satu kesatuan rasa yang lezat dari produk-produk olahan kakao yang utamanya berasal dari komponen lemak biji kakao yang dapat mencapai 57% (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012). Berikut disajikan komposisi kimia biji kakao kering pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Kakao Kering

Komponen Persentase (%)

Lemak Air Total Abu Nitrogen

- Total Nitrogen - Theobromin - Kafein Pati Serat kasar 57 3.2 4.2 2.5 1.3 0.7 9 3.2 Sumber: Pearson (1981) dalam Wahyudi et al. (2008)

Kadar lemak umumnya dinyatakan dalam persen berat kering keping biji. Komponen terbesar dari biji kakao adalah lemak, dimana lemak menjadi tolok ukur untuk menentukan harga jual biji kakao dipasaran. Lemak pada biji kakao


(18)

10 Forastero sekitar 56% sedang pada biji kakao Criollo lebih rendah dibanding Forastero yakni <56%. Kisaran kadar lemak biji kakao Indonesia adalah antara 49% - 52% (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012). Menurut O’Brien (2003) dalam Nur (2012), bahwa komposisi lemak suatu bahan nabati ataupun hewani sangat erat kaitannya dengan kondisi cuaca, jenis tanah, musim tanam,

kematangan buah, kesuburan tanaman, mikroba, pembungaan dan variasi genetika tumbuhan.

Lemak kakao dikeluarkan dari inti biji dengan cara dikempa. Inti biji kakao yang masih panas dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis dengan dinding silinder diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan lemak akan keluar melewati lubang-lubang tersebut, sedang bungkil inti biji akan tertahan didalam silinder. Rendemen lemak yang diperoleh dari pengempaan antara lain dipengaruhi oleh suhu inti biji, kadar air, ukuran partikel inti biji, kadar protein inti biji, tekanan kempa dan waktu pengempaan. Lemak kakao merupakan lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu dibawah titik bekunya. Lemak kakao mempunyai warna putih kekuningan dan mempunyai bau khas cokelat. Lemak ini mempunyai sifat rapuh (brittle) pada suhu 25oC dan tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dingin, angka penyabunan 188-198, angka iod 35-40. Lemak kakao larut sempurna dalam alkohol murni panas dan sangat mudah larut dalam kloroform, benzene, dan petroleum eter (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012).

Lemak kakao berwarna putih kekuningan, berbentuk padat, dan menunjukkan retakan nyata pada suhu dibawah 200C. Titik leleh yang sangat tajam adalah pada


(19)

suhu 350C dengan peleburan atau pelunakan pada suhu sekitar 300C-320C. Lemak kakao terdiri atas sejumlah gliserida dari asam-asam lemak lemak stearat, palmitat dan oleat serta sedikit linoleat. Lemak kakao mempunyai sifat penting, yaitu volumenya berkurang pada saat pemadatan yang memungkinkan pencetakan blok-blok coklat menjadi lebih mudah. Berkurangnya volume tergantung seeding yang tepat pada lemak cair atau tempering coklat. Pemadatan lemak kakao untuk mencapai volume yang diinginkan dan mendapatkan kristal padat lembut yang stabil tanpa perubahan warna, tergantung pada produksi bentuk polimorfik lemak yang mantap selama pendinginan dan pencetakan. Bentuk polimorfik yang menghasilkan kristal lemak kakao yang paling stabil adalah bentuk β yang mempunyai titik leleh sekitar 340C-350C (Haryadi dan Supriyanto, 2001).

Lemak kakao yang digunakan dalam pembuatan permen cokelat harus memiliki ciri-ciri yakni akan mencair pada suhu 32oC-35oC, mempunyai tekstur yang keras dan sedikit rapuh, serta warnanya tidak buram dan tetap cerah jika dicampur pada bahan lain serta memadat pada suhu kamar. Retensi waktu untuk penyimpanan juga harus disesuaikan dengan kondisi cokelat, karena jika tidak maka dapat menyebabkan cokelat akan melekat pada cetakan, menghasilkan warna yang buram serta menimbulkan blooming di permukaan cokelat. Dimana fungsi dari lemak kakao pada pembuatan cokelat yakni untuk memadatkan (Ketaren, 1986). Struktur lemak adalah sebagai berikut :


(20)

12

Gambar 2. Struktur Trigliserida (Lemak)

Sumber : Nur (2012)

Penggunaan lemak umumnya dikombinasikan dengan penggunaan emulsifier seperti soya lesitin atau glyceril monostearate, yang berguna menjaga tingkat stabilitas yaitu dengan menjaga distribusi lemak yang merata yang terkandung di dalam adonan. Dengan adanya kandungan lemak yang tinggi akan cukup riskan terhadap mutu permen cokelat, dimana jika tidak terikat dengan baik lemak akan mudah keluar dari adonan dan permukaan permen, yang dapat mendorong terjadinya oksidasi dan akan menjadi tengik. Lemak yang digunakan juga harus tahan terhadap oksidasi. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan lemak, maka akan semakin mudah terjadi reaksi oksidasi (Faridah, 2008 dalam Nur, 2012).

Menurut Fennema (1976) dalam Prawoto dan Sulistyowati (2001) lemak kakao tersusun atas senyawa gliserol dan tiga asam lemak dalam bentuk trigliserida, dimana hampir 70% dari gliserida mengandung senyawa tidak jenuh tunggal yaitu oleodipalmitin (POP), oleodistearin (SOS), dan oleopalmistearin (POS). Lemak kakao mengandung juga di-unsaturated trigliserida dalam jumlah yang sangat terbatas. Trigliserida adalah ester dari gliserol dengan asam-asam lemak rantai panjang, mempunyai sifat tidak berwarna, tidak berbau (odorless) dan tidak ada rasanya (tasteless). Sebagian trigliserida disusun oleh dua atau tiga asam lemak


(21)

yang berbeda. Hidrolisis trigliserida menghasilkan 3 molekul asam lemak dan 1 molekul gliserol. Komposisi gliserida lemak kakao dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Gliserida Lemak Kakao Murni

Nama Gliserida Persentase

Oleopalmitin 3.7

Oleopalmitostearin 57.6

Oleodistearin 22.0

Palmitodioleio 7.4

Stearodiolein 5.8

Triolein 1.1

Gliserida jenuh 2.6

Sumber : Fennema (1976) dalam Prawoto dan Sulistyowati (2001).

Titik leleh dan tingkat kekerasan pada produk kakao erat kaitannya dengan komponen penyusun asam lemaknya. Sehingga bagi produk-produk makanan cokelat, titik leleh lemaknya yang baik adalah mendekati suhu badan manusia dan memiliki tingkat kekerasan minimum pada suhu kamar. Kakao adalah hasil pertanian yang kaya akan lemak. Walaupun kandungan lemak yang relatif tinggi pada kakao, namun lemaknya tidak mudah tengik karena kakao mengandung polifenol 6% sebagai antioksidan pencegah ketengikan (Prawoto dan Sulistyowati, 2001). Komposisi kimia lemak kakao dapat dilihat pada Tabel 4.

Cokelat memiliki cita rasa yang khas, teksturnya berbentuk padat pada suhu kamar, cepat meleleh di mulut, menjadi cair dan terasa lembut di lidah. Karakteristik produk cokelat ini dipengaruhi oleh karakteristik kristal lemak cokelat yang terbentuk (Susanto, 1994). Karakteristik sensori lemak cokelat dapat dilihat pada Tabel 5.


(22)

14 Tabel 4. Komposisi Kimia Lemak Kakao per 100 gram

Komponen Kadar

Trisaturated (3 asam lemak jenuh)

Triunsaturated (3 asam lemak tidak jenuh) Diunsaturated (2 asam lemak tidak jenuh: - Stearo-diolein

- Palmito-diolein

Monounsaturated ( 1 asam lemak tidak jenuh): - Oleo-distearin

- Oleo-palmitostearin - Oleo-dipalmitin

2,5 – 3,0 1,0 6 – 12 7 – 8 18 – 22 52 – 57 4 – 6 Sumber : Rohan (1963) dalam Prawoto dan Sulistyowati (2001).

Tabel 5. Karakteristik Sensori Lemak Kakao Kristal Suhu Leleh Efek Rasa

I 170C (630 F) Lunak, mudah hancur, terlalu mudah melumer II 210C (700 F) Lunak, mudah hancur, terlalu mudah melumer III 260C (780 F) Padat, patah kurang sempurna, terlalu mudah lumer IV 280C (820 F) Padat, patah kurang sempurna, terlalu mudah lumer

V 340C (940 F) Mengkilap, padat, renyah, leleh pada suhu tubuh (370C)

VI 360C (970 F) Keras, sulit menjadi cair Sumber : Susanto (1994).

Metode ekstraksi lemak dengan pelarut memiliki kelemahan yaitu terlarutnya sebagian komponen yang tidak diinginkan dari lemak kakao, seperti phospolipida. Selain itu diperlukan proses pemisahan kembali antara lemak dan pelarut.

Pemisahan ini kadang kala tidak bisa murni dan dapat mengurangi aroma coklat yang khas. Selain itu, proses pemurnian lemak ini juga membutuhkan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, teknik pengepresan mekanis tetap menjadi pilihan. Penggunaan teknik pengepresan dipandang juga jauh lebih praktis dan murah terutama untuk pemakaian oleh industri kecil dan menengah. Berdasarkan kebutuhan kandungan lemak pada bubuk kakao yang berkisar 10%-22%


(23)

(bergantung pada jenis bubuk kakao yang diinginkan), maka recovery lemak menjadi lemak kakao seharusnya mencapai 78%-90% (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012).

Lemak kakao yang akan digunakan pada berbagai produk olahan kakao harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Standar SNI lemak kakao disajikan pada Tabel 6. Pengujian kimiawi lemak dipakai untuk mencirikan asal lemak dan komponen-komponen pendukungnya. Beberapa tolak ukur yang perlu diuji adalah bilangan penyabunan (saponification value), bilangan iod (iod value), Bilangan asam (acidvalue), bilangan Reichert Meissle (Reichert Meissle value), dan bilangan polenske (polenske value). Nilai beberapa tolak ukur pengujian kimiawi lemak kakao tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Syarat Mutu Lemak Kakao (SNI.01-3748-1995).

Sumber : (SNI.01-3748-1995). No.

Test Kriteria Satuan Persyaratan

A Keadaan (Bau, Rasa dan

Warna -

normal, khas lemak kakao

B Indeks Bias Nd4O - 1.456 – 1.459

C Titik Leleh Awal 0 C, Akhir

0 C C

awal = 30 – 34; akhir = 31 – 35 D Asam Lemak Bebas (Sebagai

Asam Oleat) % maks 1.75

E Bilangan Penyabunan Mg KOH/g lemak 181 – 198 F Bilangan Iod (Wijs) g/100 g 33 – 42

G Bahan Tak Tersabunkan % maks 0.35

H Cemaran Logam (Pb, Cu, Fe) - maks 0.5, maks 0.4, maks 2.0

I Arsen - maks 0.5

J Kandungan Timbal (Pb) mg/kg maks 0.5 K Kandungan Tembaga (Cu) mg/kg maks 0.4

L Kandungan Besi mg/kg maks 2.0


(24)

16 Tabel 7. Beberapa Sifat Kimia Lemak Kakao Murni

Karakteristik Nilai

Bilangan asam 1-4

Bilangan penyabunan 190-198

Bilangan iod 33-34

Bilangan Reichert Meissle 1

Bilangan polenske 0.2-0.5

Sumber : Ketaren (1986)

2.3. Ekstraksi Non Alkalized Cocoa Powder

Coklat bubuk atau cocoa powder terbuat dari bungkil/ampas biji coklat yang telah dipisahkan lemak coklatnya. Bungkil ini dikeringkan dan digiling halus sehingga terbentuk tepung coklat. Terdapat 2 jenis coklat bubuk, yaitu melalui proses natural (non alkalized cocoa powder) dan yang kedua melalui proses dutch (alkalized cocoa powder). Natural cocoa powder memiliki warna lebih terang, sedangkan Dutch cocoa powder memiliki warna lebih gelap. Kebanyakan coklat bubuk yang dijual dipasaran adalah jenis natural cocoa powder. Coklat bubuk natural dibuat dari bubur coklat atau balok coklat pahit, dengan menghilangkan sebagian besar lemaknya hingga tinggal 18%-23%. Coklat jenis ini berbentuk tepung, mengandung sedikit lemak, dan rasanya pahit (Vogt et al., 1994).

Bahan baku cokelat bubuk biasanya memiliki kadar lemak yang tinggi, dengan kadar lemak antara 10%-12% dan ukuran partikel antara 15-30 um. Bahan baku yang dicampur dengan alkohol, yaitu etanol. Temperatur yang digunakan antara 60 oC -80oC, namun pada umumnya temperatur yang digunakan 70 oC.

Pencampuran dilakukan selama 30 menit, pada temperatur optimal menghasilkan hasil yang terbaik. Kemudian, fase alkohol akan dipisahkan ke dalam sebuah


(25)

wadah (decanter). Ektraksi yang optimal dapat ditingkatkan jika residu dari ekstraksi alkohol ditambahkan dengan alkohol pada ektraksi kedua. Sisa hasil diperoleh dari sisa alkohol yang tidak terpakai akibat dikeringkan, apabila perlu digunakan vacum. Alkohol hasil ekstraksi pada proses selanjutnya dibutuhkan untuk mengekstrak kembali alkohol, theobromine, dan lemak kakao. Alkohol dapat diperoleh dengan distilasi untuk kemudian digunakan pada ekstraksi selanjutnya. Pemisahan theobromine dan lemak kakao dilakukan dengan menurunkan suhu. Suhu yang digunakan antara 5oC-20oC. Sementara alkohol hasil akhir yang tidak terpakai ini dikeringkan, selanjutnya ditambahkan pada perlakuan enzim (Vogt et al., 1994).

Penurunan komponen theobromine pada kakao bubuk juga berpengaruh selama proses pemisahan lemak terhadap rasa terakhir produk. Hal ini disebabkan oleh karakteristik rasa dan efek stimulant dari theobromine. Theobromine merupakan zat yang diinginkan dalam produk olahan kakao. Pada konsentrasi tinggi, rasa pahitnya muncul dan mempengaruhi respon terhadap produk secara negatif. Pada keadaan ini disebabkan oleh konsentrasi ekstraksi menggunakan air pada kakao bubuk yang tidak dipisahkan lemaknya. Theobromine dapat terlarut dalam air melalui ekstraksi. Ketika ekstrak pekat, komposisi theobromine meningkat dibandingkan komponen lainnya dalam kakao (Vogt et al.,1994).


(26)

18

Gambar 3. Diagram Alir Ekstraksi Lemak Kakao Enzimatis + air

Decanter Separator Ekstraksi

kedua

Residu (60% air)

Pengeringan

Filler

pengkonsentrasian

Spray drying

Kakao bubuk non fat

Decanter Separator Ekstraksi pertama

Residu (60% air)

Pencampuran + air Residu (60% alkohol)

Pengeringan Kondensasi adsorpsi

Theobromine

Alkohol Distalasi

Kristalisasi

Lemak kakao (hasil samping) larutan

Kakao bubuk + Alkohol


(27)

Sumber : Vogt et al. (1994)

2.4. Produk Hilir Lemak Kakao Murni

Biji kakao merupakan produk hulu yang dihasilkan oleh perkebunan kakao di Indonesia. Sementara itu, liquor, mentega, butter, serta bubuk kakao merupakan produk antara atau setengah jadi yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri hilir seperti cokelat makanan, permen yang mengandung cokelat, susu cokelat, dan sebagainya. Cocoa butter yang berharga paling mahal merupakan lemak cokelat hasil ekstraksi cocoa liquor dari pembentukan bubuk cokelat. Cocoa butter sering kali digunakan sebagai campuran pembuatan permen cokelat dan bahan baku kosmetik seperti lipstik dan pelembab (Wahyudi et al., 2008).

Minyak atau lemak kakao juga umum dimanfaatkan dalam pembuatan sabun. Lemak kakao memiliki aroma khas coklat. Walaupun harganya cukup mahal, lemak kakao disukai karena memiliki manfaat yang bagus sebagai pelembab dan pelembut kulit, serta mengandung vitamin E, tokoferol, dan polifenol sebagai antioksidan. Lemak kakao juga dapat membantu mengeraskan sabun dan menunda proses ketengikan (Wahyudi et al., 2008).


(28)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium instrumen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada, Laboratorium THP Politeknik Negeri Lampung pada bulan Desember 2012 sampai Maret 2013.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan meliputi non alkalized cocoa powder, pelarut etanol 96%, pelarut heksan, NaOH, metanol, BF3, NaCl, dan Na2SO4.

Alat yang digunakan antara lain labu leher tiga, hot plate, kondensor, soxhlet, cawan, timbangan, oven, kertas saring, tabung ukur, pipa kapiler, refrigerator, thermometer, erlenmeyer, pipet tetes, dan Gas Chromatography (GC).

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan 2 faktor yaitu jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi. Masing-masing faktor perlakuan terdiri dari 3 taraf yaitu jumlah pelarut etanol sebanyak 450 ml (S1), 600 ml (S2), dan 750 ml (S3), dan suhu

fraksinasi yang digunakan adalah 15°C (T1), 18°C (T2), dan 21°C (T3). Setiap


(29)

dilakukan pengamatan berupa komposisi asam lemak, kadar lemak, dan uji organoleptik aroma. Rancangan perlakuan dalam penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Analisis data kadar lemak, rendemen, dan uji organoleptik diuji kesamaan ragamnya degan uji Barlet. Kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Analisis ragam untuk melihat adanya perbedaan data diolah lebih lanjut dengan Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Analisis data komposisi asam lemak yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan ekstraksi non alkalized cocoa powder yang

menghasilkan lemak kakao hasil samping proses ekstraksi. Perlakuan dilakukan pada penambahan jumlah pelarut etanol dalam ekstraksi non alkalized cocoa powder sebanyak 450 ml (S1), 600 ml (S2), dan 750 ml (S3), dan suhu fraksinasi

dalam pemisahan lemak kakao dan ekstrak kakao murni yang digunakan adalah 15°C (T1), 18°C (T2), dan 21°C (T3 ). Masing-masing perlakuan dilakukan

sebanyak 3 ulangan. Kemudian dilakukan pengamatan untuk mengetahui karakteristik sampel lemak kakao dari masing-masing perlakuan. Pengamatan yang dilakukan berupa analisis komposisi asam lemak, analisis kadar lemak, dan uji organoleptik aroma.


(30)

22 3.4.1. Pembuatan Lemak Kakao Hasil Samping (by product) Ekstraksi

natural/non alkalized cocoa powder

Bahan baku yang digunakan dalam ekstraksi lemak kakao ini adalah 100 gram natural/non alkalized cocoa powder yang mengandung 10%-20% lemak. Bahan baku ini dicampurkan dengan pelarut etanol 96 % sebanyak 300 ml, 400 ml, dan 500 ml, kemudian direndam selama 16 jam pada suhu kamar. Ekstraksi diakukan pada suhu 70°C selama kurang lebih 2 jam. Hasil ekstraksi kemudian disaring untuk memisahkan dengan ampas padat. Pada proses ini didapatkan dua fase berupa ampas padat dan konsentrat cair. Ampas padat kemudian diflushing dengan sejumlah setengah dari masing-masing jumlah etanol awal ekstraksi pertama, sehingga etanol yang digunakan untuk masing-masing taraf perlakuan adalah 450 ml (300 ml+150 ml) (S1), 600 ml (400ml+200ml) (S2), dan 750 ml (500 ml+250 ml) (S3). Proses ekstraksipertama ini dilakukan pada suhu 70°C selama 1 jam. Hasil ekstraksi petama disaring untuk memisahkan ampat padatnya. Pada proses ini didapatkan dua fase berupa ampas padat dan konsentrat cair. Ampas pada kemudian diekstraksi kembali dengan penambahan konsentrat cair hasil flushing pertama. Ekstraksikedua ini dilakukan pada suhu 70°C selama 1 jam. Hasil ekstraksi kedua disaring untuk memisahkan ampas padat. Konsentraat hasil ekstraksi kedua dicampurkan pada hasil ekstraksi awal untuk selanjutnya dilakuan peningkatan total solid dengan menghilangkan residu alkohol dalam oven dengan suhu 70-80°C. Penambahan jumlah pelarut etanol yang berbeda membutuhkan waktu penghilangan/penguapan residu alkohol yang berbeda. Setelah semua pelarut etanol menguap, dilakukan pemisahan lapisan lemak dan ekstrak murni dengan perlakuan suhu. Pemisahan dilakukan dengan menurunkan


(31)

suhu (mendinginkan). Suhu yang digunakan adalah 15°C (T1), 18°C (T2), dan

21°C (T3 ). Lapisan atas yang terbentuk tampak agak mengental dan lapisan

bawah berupa cairan ekstrak yang merupakan produk ekspor di beberapa

perusahaan. Lapisan atas hasil fraksinasi/pemisahan ini diambil dengan pipet tetes dan dipisahkan dalam botol-botol kecil berukuran 10 ml. Lapisan ini merupakan lemak kakao hasil samping yang akan dianalisis untuk diketahui karakteristiknya.


(32)

24

Gambar 4. Prosedur Pembuatan Lemak Kakao Hasil Samping Ekstraksi Non Alkalized Cocoa Powder (Lucy, 2012 yang telah dimodifikasi)

Ekstraksi 70°C , 2 jam

disaring

Fraksinasi

15°C (T1), 18°C (T2), 21°C (T3 )

300 ml (S1) 400 ml (S2) 500 ml (S3) Etanol 96%

Pure Cacao extract

By product Lemak kakao 100 gram Non alkalized cocoa powder

Pemisahan bagian atas rendemen

Pengamatan

(analisis komposisi asam lemak, kadar lemak, uji organoleptik aroma) Maserasi (perendaman) 16 jam, suhu ruang

Ampas padat Filtrat cair

Ekstraksi I T = 70°C , 1 jam

150 ml (S1) 200 ml (S2) 250 ml (S3) Etanol 96%

disaring

Ampas padat Filtrat cair

dicampurkan

Ekstraksi 2 T = 70°C , 1 jam

disaring

Ampas padat Filtrat cair

Total Filtrat


(33)

3.4.2. Karakterisasi Lemak Kakao

Pengamatan yang dilakukan terhadap lemak kakao hasil samping pengolahan ekstraksi non alkalized cacao powder ini meliputi analisis komposisi asam lemak kakao, analisis kadar lemak, dan uji organoleptik aroma

(a) Analisis Komposisi Asam Lemak

Analisis asam lemak dilakukan dengan metode AOAC No. 996.06 tahun 2005. Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi. Gas Chromatography (GC) memiliki prinsip kerja pemisahan antara gas dan lapisan tipis cairan berdasarkan perbedaan jenis bahan. Jenis alat kromatografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Shimadzu CG 9A. Hasil analisis akan terekam dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak. Sebelum melakukan injeksi metil ester, terlebih dahulu lemak dilakukan metilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yang didapat.


(34)

26 (i) Metilasi asam lemak

Gambar 5. Prosedur hidrolisis dan metilasi asam lemak

Sumber : Laboratorium Instrumen FTP UGM (2013)

(ii) Analisis asam lemak dengan Kromatografi Gas

Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada kromatografi gas Shimadzu CG 9A dengan kondisi sebagai berikut: gas yang digunakan sebagai fase bergerak adalah gas nitrogen dengan aliran bertekanan 3 kg/cm2, kolom yang digunakan adalah kolom kapiler (capillary column) CP-SIR 88sepanjang 50 m dengan diameter dalam

Sampel ditimbang

Dimasukkan ke dalam tabung bertutup teflon

Pemanasan pada suhu 80oC selama 20 menit

Pemanasan pada suhu 80oC selama 20 menit Diangkat dan dibiarkan dingin

Pendinginan

Lapisan Heksana dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi Na2SO4 anhidrat

Didiamkan selama 15 menit 1 mL NaOH

0,5 N

±2 mL BF3

2mL NaCl

jenuh 1 mL Heksan


(35)

1,22 mm, dengan tebal lapisan film 0,25 μm. Jenis detector FID. Suhu operasi sebesar 120°C - 200°C dengan suhu dinaikkan 8°C per menit, suhu injektor 210°C, dan suhu detektor 230°C.

Gambar 6. Prosedur analisis asam lemak dengan Kromatografi Gas Sumber : Laboratorium Instrumen FTP UGM (2013) (iii) Perhitungan jumlah asam lemak

Prinsip analisis komposisi asam lemak dengan kromatografi gas adalah dengan mengubah komponen asam lemak pada lemak/minyak menjadi senyawa volatil metil ester lemak yang akan dideteksi oleh detektor ionisasi nyala api dalam bentuk respon berupa peak kromatogram. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada contoh dapat diidentifikasi dengan membandingkan peak kromatogram contoh dengan peak kromoatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis dan konsentrasinya, kemudian diketahui komposisi asam lemaknya dalam total asam lemak yang ada. Pengujian asam lemak ini menggunakan metode eksternal standar.

Kromatografi gas dikondisikan terlebih dahulu sesuai standar dan jenis sampel

Pelarut sebanyak 2 µL diinjeksikan ke dalam kolom

Setelah pena kembali ke garis nol, larutan standar asam lemak diinjeksikan sebanyak 5 µL

Puncak pelarut akan terlihat dalam waktu ± 1 menit

Bila semua puncak standar sudah keluar, waktu retensi dan luas puncak dari masing-masing komponen dapat dilihat


(36)

28 Konsentrasi tiap komponen asam lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Konsentrasi Asam Lemak = × 100 %

(b) Analisis Kadar Lemak

Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode SNI 3748 tahun 2009. Sampel ditimbang 3 g lalu dimasukkan ke thimble. Labu lemak yang telah bersih dimasukkan ke dalam oven, lalu ditambahkan batu didih dan ditimbang sebagai bobot kosong. Thimble dimasukkan ke dalam soklet, kemudian labu lemak dihubungkan dengan soklet dan ditambahkan pelarut heksan 150 ml melewati soklet. Labu lemak dan soklet dihubungkan dengan penangas dan diekstrak selama 6 jam. Setelah ekstraksi selesai, labu lemak dievaporasi untuk menghilangkan pelarut. Selanjutnya labu lemak dimasukkan ke dalam oven 1 suhu 105oC selama 1 jam. Setelah dingin ditimbang sebagai bobot akhir (bobot labu dan lemak). Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan

rumus :

c - b

Kadar lemak = x 100% a

Keterangan: a = bobot contoh

b = bobot labu lemak dan labu didih


(37)

(c) Uji Organoleptik aroma

Uji organoleptik aroma dilakukan oleh 20 panelis. Penilaian organoleptik dilakukan dengan uji skoring. Penilaian skoring dilakukan untuk karakterisasi sampel berdasarkan sifat fisiknya yaitu aroma. Skala yang digunakan adalah skala 1 hingga 4 untuk aroma.

Gambar 7. Format kuisioner uji organoleptik aroma Kuesioner Uji Sensor

Nama :

Tanggal : Sampel : Lemak kakao

Dihadapan anda terdapat 9 buah sampel lemak kakao dari ekstraksi coklat bubuk dengan etanol. Anda diminta untuk mengamati aroma sampel sesuai dengan parameter yang tersedia. Beri nomor pada table kode sampel sesuai dengan aromanya.

Kode Sampel

517 632 283 178 236 671 377 496 725 1 = sedikit khas coklat, banyak aroma etanol

2 = sedikit khas coklat, sedikit aroma etanol 3 = khas coklat, sedikit aroma etanol


(38)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Faktor jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi masing-masing berpengaruh nyata terhadap aroma lemak yang dihasilkan. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan penambahan jumlah etanol 750 ml (S3) dengan skor aroma 2,504 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol) dan dengan skor aroma 2,494 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol).

2. Kombinasi jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi berpengaruh nyata pada rendemen fraksi lemak kakao, kadar lemak, dan komposisi asam lemak yang dihasilkan. Hasil terbaik diperoleh dari perlakuan penambahan jumlah pelarut etanol sebanyak 750 ml dan suhu fraksinasi 15oC (S3T1) dengan rendemen lemak 35,0382%, kadar lemak 86,742%, skor aroma 2,504 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol) pada perlakuan penambahan jumlah etanol 750 ml (S3), skor aroma 2,412 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol) pada perlakuan suhu fraksinasi 15oC (T1), dan komposisi asam lemak tak jenuh sebesar 49,71% dalam total asam lemak.


(39)

5.2. Saran

Perlu dilakukan perbaikan prosedur dengan dalam penggunaan alat, antara lain penggunaan rotary evaporator untuk memaksimalkan hasil evaporasi dan vacuum atau penyedot untuk menarik dan memisahkan fraksi lemak yang terbentuk setelah proses fraksinasi. Selain itu perlu juga dilakukan analisis kualitas produk utama yang berupa ekstrak kakao murni yang diduga banyak mengandung theobromine dan komponen polar lainnya.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Djatmiko, B. & A.P. Widjaja. 1985.Teknologi Lemak dan Minyak I. Agro Industri Press. Fateta-IPB. Hlm 92.

Elisabeth, D.A. 2002.Keragaman mutu biji kakao kering dan produk setengah jadi cokelat pada berbagai tingkatan fermentasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Bali. Hlm 36-45.

Faridah, A., Kasmita, S.P., Yulastri, A., Yusuf, L. 2008.Patiseri jilid 3dalam Nur, Z. 2012.Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Hamilton, R.I. 1995. Development in Oil and Fats dalam Hernawati. 2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Haryadi, M. dan Supriyanto. 2001.Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hlm 56-70.

Hernawati. 2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Indarti, E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendemen lemak pada proses pengepresan biji kakao.Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan.Vol:6 (2). Hlm 50-54.

Kealey, K.S., Rodney M., Leo J Firk., John F., Margaret, dan Giovani. 2004. Cocoa extract prepared from cocoa solids having high cocoa polyphenol content. United States Patent. Hlm 1-7.

Ketaren, S. 1986.Pengantar Teknologi Lemak dan Minyak Pangan. UI-Press. Jakarta. 311 hlm.

Khopkar, S.M. 1990.Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta. Hlm 274-277.

Lucy, K. 2012. Ekstraksi Non Alkalized Cocoa Powder. PT.Lakta Aroma. Cibitung. Jawa Barat. Wawancara lisan pada Agustus 2012–Februari 2013.


(41)

Minifie dan Bernard W. 1999.Chocolate, Cocoa, and Confectionery : Science and Technology Third Editiondalam Nur, Z. 2012. Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Moran, D. P. J. and K.K. Rajah. 1994. Fats in Food Products dalam Hernawati. 2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi, dan Suharyanto, E. 2005.Pengolahan produk primer dan sekunder kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember dalam Indarti, E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendemen lemak pada proses pengepresan biji kakao.Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan.Vol:6 (2). Hlm 50-54.

Mulato, S., Widyotomo, S., dan Handaka., 2002.Desain teknologi pengolahan pasta, lemak, dan bubuk cokelat untuk kelompok tanidalam Nur, Z. 2012. Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Nur, Z. 2012.Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

O’Brien, Richard.D., 2003.Fats and Oils Formulating and Processing for Applicationdalam Nur, Z. 2012.Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Prasetyo, S dan Irene, W. 2004. Pengaruh jenis pelarut dan ukuran biji kakao terhadap ekstraksi lemak biji kakao (Theobroma cacao) secara batch. Unpar. Bandung. Hlm 4-5

Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001.Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.

Rohan, T. A. 1963.Processing of raw, cacao for the market dalam Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001. Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.

Setyawardhani, D.A. 2009.Acid pre treatment terhadap minyak biji karet untuk pembuatan biodiesel. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia


(42)

54

Shahidi, F dan P.K.J.P.D Wanasundara. 2002. Extraction and Analisis of Lipids. dalam Hernawati. 2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Sumardjo, D. 2006.Pengantar Kimia:Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata 1 Fakultas Bioesakta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 654 hlm.

Susanto, F.X., 1994.Tanaman Kakao. Kanisius, Yogyakarta. 137 hlm.

Terink, J.L. 1984.Some differences in cocoa bean quality requirements between chocolate manufacturers.Int conf. on Cocoa and Coconutsdalam

Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001.Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.

Vogt, S, W.Krempel, dan J.Suchard. 1994.Process for Producing A Soluble Cocoa Product. Food Chemistry. United States Patent. Hlm 1-6

Wahyudi, T., Pangabean, T.R., dan Pujiyanto. 2008.Panduan Lengkap Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta. 366 hlm.

Winarno, F.G. 1992.Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm 91-92.

Wood, G.A.R and R.A. Alass. 1985.Cocoa. 4-theddalam Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001.Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.


(1)

29 (c) Uji Organoleptik aroma

Uji organoleptik aroma dilakukan oleh 20 panelis. Penilaian organoleptik dilakukan dengan uji skoring. Penilaian skoring dilakukan untuk karakterisasi sampel berdasarkan sifat fisiknya yaitu aroma. Skala yang digunakan adalah skala 1 hingga 4 untuk aroma.

Gambar 7. Format kuisioner uji organoleptik aroma Kuesioner Uji Sensor

Nama :

Tanggal : Sampel : Lemak kakao

Dihadapan anda terdapat 9 buah sampel lemak kakao dari ekstraksi coklat bubuk dengan etanol. Anda diminta untuk mengamati aroma sampel sesuai dengan parameter yang tersedia. Beri nomor pada table kode sampel sesuai dengan aromanya.

Kode Sampel

517 632 283 178 236 671 377 496 725

1 = sedikit khas coklat, banyak aroma etanol 2 = sedikit khas coklat, sedikit aroma etanol 3 = khas coklat, sedikit aroma etanol


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Faktor jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi masing-masing berpengaruh

nyata terhadap aroma lemak yang dihasilkan. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan penambahan jumlah etanol 750 ml (S3) dengan skor aroma 2,504 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol) dan dengan skor aroma 2,494 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol).

2. Kombinasi jumlah pelarut etanol dan suhu fraksinasi berpengaruh nyata pada

rendemen fraksi lemak kakao, kadar lemak, dan komposisi asam lemak yang dihasilkan. Hasil terbaik diperoleh dari perlakuan penambahan jumlah pelarut

etanol sebanyak 750 ml dan suhu fraksinasi 15oC (S3T1) dengan rendemen

lemak 35,0382%, kadar lemak 86,742%, skor aroma 2,504 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma etanol) pada perlakuan penambahan jumlah etanol 750 ml (S3), skor aroma 2,412 (mendekati aroma khas coklat sedikit aroma

etanol) pada perlakuan suhu fraksinasi 15oC (T1), dan komposisi asam lemak


(3)

51

5.2. Saran

Perlu dilakukan perbaikan prosedur dengan dalam penggunaan alat, antara lain

penggunaan rotary evaporator untuk memaksimalkan hasil evaporasi dan vacuum

atau penyedot untuk menarik dan memisahkan fraksi lemak yang terbentuk setelah proses fraksinasi. Selain itu perlu juga dilakukan analisis kualitas produk utama yang berupa ekstrak kakao murni yang diduga banyak mengandung theobromine dan komponen polar lainnya.


(4)

Djatmiko, B. & A.P. Widjaja. 1985.Teknologi Lemak dan Minyak I. Agro Industri Press. Fateta-IPB. Hlm 92.

Elisabeth, D.A. 2002.Keragaman mutu biji kakao kering dan produk setengah

jadi cokelat pada berbagai tingkatan fermentasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Bali. Hlm 36-45.

Faridah, A., Kasmita, S.P., Yulastri, A., Yusuf, L. 2008.Patiseri jilid 3dalam

Nur, Z. 2012.Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy)

Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Hamilton, R.I. 1995. Development in Oil and Fats dalam Hernawati. 2008.Kajian

Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Haryadi, M. dan Supriyanto. 2001.Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan.

Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hlm 56-70.

Hernawati. 2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut

Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Indarti, E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendemen lemak pada proses

pengepresan biji kakao.Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan.Vol:6 (2). Hlm 50-54.

Kealey, K.S., Rodney M., Leo J Firk., John F., Margaret, dan Giovani. 2004.

Cocoa extract prepared from cocoa solids having high cocoa polyphenol content. United States Patent. Hlm 1-7.

Ketaren, S. 1986.Pengantar Teknologi Lemak dan Minyak Pangan. UI-Press.

Jakarta. 311 hlm.

Khopkar, S.M. 1990.Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta. Hlm

274-277.

Lucy, K. 2012. Ekstraksi Non Alkalized Cocoa Powder. PT.Lakta Aroma.

Cibitung. Jawa Barat. Wawancara lisan pada Agustus 2012–Februari


(5)

53

Minifie dan Bernard W. 1999.Chocolate, Cocoa, and Confectionery : Science

and Technology Third Editiondalam Nur, Z. 2012. Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Moran, D. P. J. and K.K. Rajah. 1994. Fats in Food Products dalam Hernawati.

2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut

Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi, dan Suharyanto, E. 2005.Pengolahan

produk primer dan sekunder kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao

Indonesia. Jember dalam Indarti, E. 2007. Efek pemanasan terhadap

rendemen lemak pada proses pengepresan biji kakao.Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan.Vol:6 (2). Hlm 50-54.

Mulato, S., Widyotomo, S., dan Handaka., 2002.Desain teknologi pengolahan

pasta, lemak, dan bubuk cokelat untuk kelompok tanidalam Nur, Z. 2012.

Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Nur, Z. 2012.Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis

Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

O’Brien, Richard.D., 2003.Fats and Oils Formulating and Processing for

Applicationdalam Nur, Z. 2012.Studi Pembuatan Permen Cokelat (Chocolate Candy) Berbasis Gula Berkalori Rendah. Unhas. Makasar. Hlm 4-24.

Prasetyo, S dan Irene, W. 2004. Pengaruh jenis pelarut dan ukuran biji kakao

terhadap ekstraksi lemak biji kakao (Theobroma cacao) secara batch. Unpar. Bandung. Hlm 4-5

Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001.Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan

faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.

Rohan, T. A. 1963.Processing of raw, cacao for the market dalam Prawoto, A.

dan Sulistyowati. 2001. Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan

faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.

Setyawardhani, D.A. 2009.Acid pre treatment terhadap minyak biji karet untuk

pembuatan biodiesel. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. Bandung. Hlm 4.


(6)

Shahidi, F dan P.K.J.P.D Wanasundara. 2002. Extraction and Analisis of Lipids.

dalam Hernawati. 2008.Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar

dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karatenoid. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hlm.

Sumardjo, D. 2006.Pengantar Kimia:Buku Panduan Kuliah Mahasiswa

Kedokteran dan Program Strata 1 Fakultas Bioesakta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 654 hlm.

Susanto, F.X., 1994.Tanaman Kakao. Kanisius, Yogyakarta. 137 hlm.

Terink, J.L. 1984.Some differences in cocoa bean quality requirements between

chocolate manufacturers.Int conf. on Cocoa and Coconutsdalam

Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001.Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao

dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember. Hlm 39-46.

Vogt, S, W.Krempel, dan J.Suchard. 1994.Process for Producing A Soluble

Cocoa Product. Food Chemistry. United States Patent. Hlm 1-6

Wahyudi, T., Pangabean, T.R., dan Pujiyanto. 2008.Panduan Lengkap Kakao:

Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta. 366 hlm.

Winarno, F.G. 1992.Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hlm 91-92.

Wood, G.A.R and R.A. Alass. 1985.Cocoa. 4-theddalam Prawoto, A. dan

Sulistyowati. 2001.Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan faktor-faktor