FENOMENA GOLONGAN PUTIH DI KALANGAN MAHASISWA PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 (Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung)

(1)

ABSTRACT

THE PHENOMENON OF WHITE GROUP AMONG STUDENTS AT LEGISLATIVE ELECTIONS IN 2014

(Study on Student of Governmental Studies, Department of Social Sciences and Political Science, University of Lampung)

By

RIKE PRISINA

White Group is one of the less successful form of democracy in Indonesia. Especially if it is done by a student who is a change agent and a prospective future leaders. This study aims to determine how the phenomenon of white group among student of governmental studies, Department of Social Sciences and Political Science, University of Lampung in legislative elections in 2014. This research is descriptive qualitative research. This study uses “purposive sampling”, which is considered to know (key informants) and can be trusted to be a steady source of data and figure out the problem in depth.

Based on the results of the study, students who do abstentions included in the type of student that is: 1) Idealists confrontational, that they are active in the demonstrations for the rights of oppressed people and the non-cooperative nature of the government. 2) Idealists realistic, they are active in discussions and inclined to cooperate. 3) Opportunist, those who side with the government. 4) Professional, those who have no interest in politics. 5) Glamour, they are very fashionable.


(2)

Rike Prisina

Behavior abstentions students in this study are included in the category of technical abstention and politically abstention, but do not fall into the category of ideological abstention. Student status as migrants resulted in many students do not use their right to vote due to technical problems. Declining trust students to related parties in the elections also have an impact on the decision of the student chose abstention. Students in this study was not included in the category of ideological abstention. That's because the students do not subscribe to a particular ideology and not a fundamentalist religion.


(3)

ABSTRAK

FENOMENA GOLONGAN PUTIH DI KALANGAN MAHASISWA PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014

(Studi pada Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung)

Oleh RIKE PRISINA

Golongan Putih merupakan salah satu bentuk kurang berhasilnya demokrasi di Indonesia. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa yang merupakan agen perubahan dan merupakan calon pemimpin di masa depan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana fenomena golongan putih dikalangan mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung pada pemilu legislatif tahun 2014. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode “purposive sampling”, yang dianggap tahu (key informan) dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam.

Berdasarkan hasil penelitian, mahasiswa yang melakukan golput termasuk dalam tipe mahasiswa yaitu: 1) Idealis konfrontatif, yaitu mereka aktif dalam aksi-aksi demonstrasi memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas dan bersifat non kooperatif terhadap pemerintah. 2) Idealis realistis, yaitu mereka yang aktif dalam diskusi dan cenderung kooperatif. 3) Oportunis, yaitu mereka yang berpihak


(4)

Rike Prisina

kepada pemerintah. 4) Professional, yaitu mereka yang tidak memiliki ketertarikan dengan politik. 5) Glamour, yaitu mereka yang sangat mengikuti mode. Perilaku golput mahasiswa pada penelitian ini termasuk dalam kategori golput teknis dan golput politis, tetapi tidak termasuk ke dalam kategori golput ideologis. Status mahasiswa sebagai penduduk pendatang mengakibatkan sebagian mahasiswa tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan masalah-masalah teknis. Menurunnya kepercayaan mahasiswa terhadap pihak-pihak yang terkait pada penyelenggaraan pemilu juga berdampak pada keputusan mahasiswa memilih golput. Mahasiswa pada penelitian ini tidak termasuk dalam kategori golput ideologis. Hal itu dikarenakan mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak menganut ideologi atau paham tertentu dan bukan merupakan fundamentalis agama tertentu.


(5)

(6)

FENOMENA GOLONGAN PUTIH DI KALANGAN MAHASISWA PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014

(Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung)

(Skripsi)

Oleh RIKE PRISINA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(7)

(8)

(9)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Tidak Memilih (Non-Voting/Golput) ... 10

1. Definisi Golput (Non-Voting) ... 11

2. Kategori Perilaku Golput ... 12

3. Bentuk Perilaku Golput ... 13

4. Faktor Yang Mempengaruhi Tidak Memilih (Golput) ... 14

B. Mahasiswa ... 23

1. Ciri-Ciri Mahasiswa ... 24

2. Tipe Mahasiswa ... 24

3. Mahasiswa dan Politik ... 28

C. Badan Legislatif ... 29

1. Definisi Legislatif ... 29

2. Fungsi Legislatif ... 29

D. Pemilihan Umum Legislatif ... 30

E. Kerangka Pikir ... 32

III.METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 34

B. Fokus Penelitian ... 35

C. Lokasi Penelitian ... 36


(11)

ii

1. Data Primer ... 36

2. Data Sekunder ... 36

E. Penentuan Informan ... 37

F. Teknik Pengumpulan Data ... 39

3. Observasi ... 39

4. Wawancara ... 39

5. Dokumentasi ... 41

G. Teknik Pengolahan Data ... 41

1. Editing ... 41

2. Interpretasi ... 42

H. Teknik Analisis Data ... 42

1. Pengumpulan Data ... 42

2. Reduksi Data ... 42

3. DisplayData ... 43

4. Kesimpulan atau Verifikasi ... 43

IV.GAMBARAN UMUM A. Jurusan Ilmu Pemerintahan ... 45

1. Visi Program Studi Ilmu Pemerintahan ... 49

2. Misi Program Studi Ilmu Pemerintahan ... 49

3. Tujuan Program Studi Ilmu Pemerintahan ... 50

4. Sasaran Program Studi Ilmu Pemerintahan ... 51

B. Pemilihan Umum Legislatif di Indonesia ... 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Informan ... 55

1. Informan Mahasiswa ... 55

2. Informan Pihak Akademisi/Pengamat Politik ... 58

3. Informan Pihak KPU Kota Bandar Lampung... 58

B. Fenomena Golongan Putih di Kalangan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 ... 59

1. Berdasarkan Karakter Mahasiswa ... 60

a. Karakter Idealis Konfrontatif ... 60

b. Karakter Idealis Realistis ... 61

c. Karakter Oportunis ... 62

d. Karakter Profesional... 62

e. Karakter Glamour... 63

2. Berdasarkan Kategori Perilaku Golput ... 65

a. Golput Teknis ... 65

b. Golput Politis ... 82


(12)

iii

VI.SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 111 B. Saran ... 114 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilu di Indonesia ... 5 2. Data Informan Mahasiswa ... 64


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Golput Pada Pemilu di Indonesia ... 5 2. Kerangka Pikir ... 33


(15)

MOTO

“Fa inna ma’al usri yusraa, Inna ma’al usri yusraa. Maka

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan dan

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

(QS. Al Insyirah)

“Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutanlah

yang membuat kita sulit, karena itu jangan pernah mencoba

untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba.

Maka jangan katakan pada Allah aku punya masalah, tetapi

katakanlah pada masalah aku punya Allah yang Maha

Segalanya”

(Ali Bin Abi Thalib RA)

“Bahagia secukupnya. Sedih seperlunya. Mencintai sewajarnya.

Membenci sekedarnya. Tapi, bersyukurlah sebanyak-

banyaknya”

(UNKNOWN)

“Tidaklah penting seberapa lamban engkau bergerak asalkan

tidak berhenti

(CONFUCIUS)

“Your happiness is important, but

your mom must be your

priority”


(16)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada

Kedua orang yang paling penting dalam hidupku yaitu

orangtuaku Drs. Mat Akhir dan Nuraini atas seluruh

kerja kerasnya mendidikku selama ini, kasih sayang

yang tertandingi dan doa tiada henti kepada penulis.

All of word are not enough to tell that I love you.

Kedua kakakku yang telah memberikan banyak

pelajaran berharga kanjeng Rama Prastawa, S.STP,

M.M dan gusti Rinca Petisia, S.T .

Keluarga besar dan orang-orang yang ada di balik layar

perjalanan hidup ini yang menjadikan diri ini lebih baik

dan membuat perjalanan menjadi lebih berarti.


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro pada tanggal 01 Juli 1992, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara buah cinta dari pasangan Drs. Mat Akhir dan Nuraini. Jenjang akademik penulis dimulai dengan menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Pertiwi Teladan Kota Metro pada tahun 1998, lalu penulis melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Teladan Kota Metro diselesaikan tahun 2004. Pada tahun yang sama kembali melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Kota Metro yang diselesaikan pada tahun 2007, kemudian melanjutkan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Kota Metro yang diselesaikan pada tahun 2010.

Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswi S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN). dan selesai ditahun 2014. Pada awal tahun 2013 Penulis mengikuti pengabdian kepada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Nabang Baru, Kecamatan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur.


(18)

SANWACANA

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidah-Nya skripsi yang berjudul “Fenomena Golongan Putih di Kalangan Mahasiswa pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi pada Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung)” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dari awal pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini, karena bantuan, bimbingan, dorongan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pembimbing dan pembahas yang sudah memberi banyak masukan, kritik dan saran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung sekaligus Pembimbing Akademik.


(19)

3. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A. selaku Pembimbing Utama yang telah menyempatkan waktu di sela kesibukannya untuk membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Arizka Warganegara, S.IP, M.A. selaku Pembimbing Kedua yang telah meluangkan waktu dan banyak memberikan masukan, saran, semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Maaf telah banyak merepotkan. 5. Bapak Dr. Suwondo, M.A. selaku penguji dan pembahas yang telah

memberikan kritik, saran dan masukan yang sangat berguna kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6.

Seluruh dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unila, Bapak Amantoto, Yana Ekana, Budiharjo, Robby Cahyadi, Maulana , Ibu Dwi serta dosen-dosen yang lain terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan. Semoga ilmu yang diberikan akan bermanfaat di masa mendatang.

7. Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan, Ibu Rianti, Mbak Nurma, Mbak Mila, Pakde dan Kiyay Samsuri, Kiyay Hendri dan Kiyay Herman yang telah banyak membantu.

8. Para informan yang tanpa mereka skripsi ini tidak akan ada. Alam Patria, Betty D. Sirait, Cakra Gumelar, Dewi Astriya, Komang J. Ferdian, Novandra Yudha Satria dan Resti Agustina (2010); Leni Olandari (2011); Galih Ramadhan, Juliandi Sinuhaji, Oktanina B. Sembiring dan Rian Rinanda (2012); Rian Adi Saputra dan Tiara Dhayu Prameswari (2013). Bapak Budi Harjo, M.I.P, Bapak Tuyono dan Ibu Hasbiyah dari pihak KPU Kota Bandar


(20)

Lampung. Terimakasih telah menyempatkan waktunya dan memberikan informasi yang berguna bagi penelitian ini. Maaf merepotkan 

9. Kedua orang yang paling penting dalam hidupku Pepep Drs. Mat Akhir dan Memem Nuraini. Terimakasih atas kerja keras, tetesan keringat, dan curahan doa yang tak terputus untuk ike. Terimakasih telah menjadi orang tua yang sempurna, yang selalu mendidik anak-anaknya untuk selalu dekat dengan Allah SWT., yang tidak membenarkan ketika anak-anaknya salah, yang mengupayakan apapun agar hidup anak-anaknya cukup, yang menjadi guru kehidupan untuk anak-anaknya.

10.Kedua kakakku kanjeng Rama Prastawa, S.STP, M.M dan gusti Rinca Petisia S.T yang selalu menjadi acuan bagi penulis untuk lebih baik lagi. Semoga kita bisa menjadi kebanggaan memem dan pepep ya.

11. Buat teman di segala cuaca dan suasana Retno Mahdita “onter”, Resti Agustina “entis”, Rini Wulandari “indro”, Dewi Astriya “awi”, Nur Asriani, Ayu Mira Asih “mamih”, Eka Mala “teteh”, Agus Priyadi “sule”, Rizki Prianggi “my mentor”, Edo, Ahlan dan Mas Syarif terimakasih sudah mau berteman dengan orang yang menyebalkan dan banyak merepotkan ini. Maaf telah mengganggu hidup kalian.

12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila dari masa ospek, propti, makrab, kuliah, mulai ngajuin judul, bimbingan, revisi, seminar sampai kompre Dita Purnama, Yosita Manara, Fitri Oki, Shiawlin Ratu Ajeng, Dwi Rosa Evaliani, Dinda, Ety, Reddiyah Renata Suharno, Yoan Yunita, Riska Ersi, Tiffany „Dhea’, Dwi Haryanti, Oktia Nita, Novi, Cakra Gumelar, Robby Ruyudha, Ade, Rendra, Adit, Jaseng, Ricky Ardhian,


(21)

Andrialius, Prananda, Ryan, Ido Jupanter, Uda, Novrico, Ali, Antarizki, Prananda, Dicky Rinaldy, Angga Ferdiansyah, Ardy, Aditya, Angga Jevi, Aris, Riendi, Indra, Dani, Budi, Putra, Iin Tajudin, Okta Purnama, Tano Gupala, Harizon, Ikhwan, Alam dan semua teman yang tidak dapat penulis tulis satu persatu Semoga kita semua selalu sehat dan sukses. Maaf banyak merepotkan.

13. Abang-abang dan mbak-mbak senior Ilmu Pemerintahan yang banyak memberi pengetahuan dan pengalaman berharga. Serta adik-adik yang baik hati, spesial untuk Cici dan Nur Halimah yang telah membantu.

14. Teman-teman kosan tanpa nama yang memberikan banyak cerita, Ekadina Meirisa “nenek”, Mbak Esti, Rahmawati, Kakak Indah, Silvi dan Lina.

15. Keluarga kedua di Bandar Lampung. Ibu Daryanti, Bapak Kodir, Yudi, Mbak Ani, Kak Toto, Tuan Fahri, Mami, dan Papi. Terimakasih banyak. 16. Spesial untuk keponakan tantri Akhdan Yafi. Terimakasih untuk senyum

paginya. Sehat terus ya nak. Jadi anak yang sholeh dan pintar.

17. Sahabat seperjuangan SMA Negeri 1 Kota Metro Pradita Sendy “darl”, Primasari “uwak”, Nurma “pela”, Arum “emot”, Khoulah “ebol”, Novita “tante”, Marini “kutil”, Erin “eyin”, Muhdi “babeh”, Yahya, Faldo, Rifan, Alfian, Agung, Ghazi terimakasih atas support dan motivasinya.

18. Sahabat yang bertemu hitungan tahun Sapta, Septian “opung”, Retnandiyah “dedek”

19. Teman-teman Paskibra SMAN 1 Metro Ghazi, Onilia, Susi, Pemi, Meisanti, Fiqih dan Hana.


(22)

20. Wanita-wanita baik hati Nita Arifani, Rini, Dila, Ayu, Marta, Ceka, atu Rizka Amalina, Eka R.

21. Pria-pria baik hati Dedi Setiadi , Anggardi dan Riza Novalera. Terimakasih sudah banyak membantu.

22. Bujang Gadis KKN Desa Nabang Baru Kabupaten Lampung Timur yang selama 40 hari full sama-sama dari pagi sampai pagi lagi Nurmala, Dian, Mbak Resti, Melia, Fani, Kecel, Arif, Rangga dan Agung.

23. Teman-teman Ferdita, Dwi, Dita, Vera, Erik, Ewew, Kocil, Ferdi dan Kenjen. Terimakasih untuk semua hal gilanya.

24. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala kontribusi kebersamaan dan pembelajaran selama berproses mengenal hidup dan mencapai kehidupan.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan pada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat di masa mendatang.

Bandar Lampung, Oktober 2013 Penulis


(23)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dimana rakyat memiliki hak untuk dapat memilih secara langsung wakilnya baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sejalan dengan undang-undang tersebut Rodee (2011: 218) menyatakan “ukuran demokrasi yang paling jelas ialah hak pilih universal, hak setiap warga untuk memilih”. Pemilihan Umum atau Pemilu yang dilakukan secara teratur dan berkala merupakan cara atau sarana yang tersedia bagi rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan pemerintahan guna menjalankan kedaulatan rakyat.

Pemilu merupakan salah satu kegiatan politik yang menunjukkan bahwa rakyat mempunyai peran strategis dalam kekuasaan politik. Pemilu tersebut diselenggarakan untuk memilih dan menentukan wakil rakyat untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejarah mencatat Indonesia sebagai


(24)

2

salah satu negara demokrasi telah melaksanakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Berdasarkan pemilu yang telah dilaksanakan tersebut, partisipasi masyarakat merupakan indikator keberhasilan pemilu.

Budiardjo (2010: 368) menyatakan partisipasi politik tiap orang berbeda-beda. Tingginya partisipasi politik menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik. Seseorang semakin sadar bahwa dirinya berada di bawah kekuasaan negara, kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui berbagai kegiatan politik. Mereka yang ikut berpartisipasi terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya dapat diperhatikan dan bahwa mereka sedikit banyak dapat memengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan-keputusan yang mengikat. Mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek (political efficacy). Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah mengindikasikan seseorang tidak memiliki perhatian terhadap masalah kenegaraan. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan pemimpin negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan aspirasi masyarakat. Partisipasi yang rendah dianggap menunjukkan legitimasi yang rendah pula.

Huntington (1994: 226) mengungkapkan “partisipasi politik merupakan komponen penting dari pembangunan nasional”. Adanya Pemilu diharapkan dapat melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang amanah, bertanggung jawab, dan tanggap atas kondisi rakyat. Tetapi, pada pelaksanaannya banyak


(25)

3

hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah perilaku tidak memilih masyarakat yang sering disebut fenomena golongan putih. Putra dalam Arianto (2011: 53) menyatakan istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman orde baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan dan cenderung diinjak-injak. Sedangkan Sanit dalam Arianto (2011: 53) mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput, Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Daripada nanti kecewa”.

Fenomena golput akan selalu hadir dalam pemilihan langsung sepanjang massa. Jumlah golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat bila dilihat dari jumlah tingkat partisipasi pemilih. Namun, di setiap periode pemilu, golput memiliki motivasi yang berbeda-beda. Gerakan golput yang dilakukan oleh Arief Budiman bukanlah kejadian pertama di Indonesia. Lebih lanjut Arianto (2011: 51) memaparkan fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Sedangkan di era orde baru, golput lebih diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa.


(26)

4

Setelah orde baru, golput telah menjadi hal yang biasa terjadi pada setiap pemilu karena pada saat itu memilih bukan lagi menjadi kewajiban melainkan hak sebagai warga negara. Tingkat partisipasi masyarakat pemilih dalam pemilu legislatif sepanjang empat kali pemilu pasca reformasi, ternyata cenderung menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah golput terus meningkat.

Efriza (2012: 555) memaparkan data tingkat partisipasi pemilih pada pemilu tahun 1999 sebanyak 89,85 persen; tahun 2004 sebanyak 76,66 persen dan tahun 2009 diikuti 60,78 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah golput dari pemilu ke pemilu pasca reformasi mengalami kenaikan. Pada Pemilu 1999 golput sekitar 10,15 persen; tahun 2004 naik menjadi 23,34 persen dan tahun 2009 melonjak menjadi 39,22 persen. Golput dalam data tersebut adalah para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ditambah dengan suara yang tidak sah karena golput bukan hanya pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, tetapi juga pemilih yang secara sengaja atau tidak sengaja membuat kertas suaranya tidak sah. Secara lebih terperinci data partisipasi pemilu tiap periode tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan grafik berikut:


(27)

5

Tabel 1. Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilu di Indonesia Pemilu

(tahun)

Pemilih

Terdaftar Suara Sah Golput

1955 43.104.464 37.875.299 87,87% 5.229.165 12,13%

1971 58.558.542 54.669.509 93,36% 3.889.033 6, 64%

1977 70.378.750 63.998.304 90,93% 6.380.446 9,07%

1982 82.134.195 75.126.306 91,47% 7.007.889 8,53%

1987 93.737.633 85.869.816 91,61% 7.867.817 8,39%

1992 107.565.569 97.789.534 90,91% 9.776.035 9,09%

1997 124.740.987 112.991.150 90,58% 11.749.837 9,42%

1999 117.738.000 105.786.000 89,85% 11.952.000 10,15%

2004 148.000.369 113.462.414 76,66% 34.537.955 23,34%

2009 171.265.442 104.099.785 60,78% 67.165.657 39,22%

Sumber: Efriza (2012: 555) dan KPU

Gambar 1. Golput pada Pemilu di Indonesia

Data di atas menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap calon anggota legislatif dan partai politik menurun dari tahun ke tahun. Hal ini dipercaya merupakan akibat dari tidak adanya kemajuan yang dilakukan oleh legislatif. Meningkatnya angka golput membuat pemerintah khususnya pihak yang terkait tidak tinggal diam. Hal tersebut dapat dilihat dari strategi

0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00%

1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 2009

P

er

sent

a

se


(28)

6

sosialisasi dan pendidikan politik yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui berbagai kegiatan. Pihak akademisi pun turut melakukan seminar dan survei di berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan yang sama, yaitu meningkatkan angka partisipasi masyarakat.

Menurut data KPU, pada pemilu 2014 dari jumlah 188 juta orang yang termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), diperkirakan terdapat sekira 22 juta orang yang akan mengikuti pemilu pertama kalinya. Sedangkan jumlah pemilih pada usia 17-23 tahun sekitar 30 juta orang. Mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan pekerja muda yang baru masuk kerja, sehingga totalnya sekitar 52 juta orang (www.okezone.com diakses pada 15 Februari 2014 pukul 09.34)

Mahasiswa ikut berperan dalam pelaksanaan pemilu baik secara langsung maupun tidak langsung. Juliantara dalam Silahi (2004: 4) menyatakan mahasiswa memiliki pemikiran kritis dengan pola pikir yang lebih terbuka dalam memandang suatu fenomena yang ada dalam masyarakat. Mahasiswa sebagai salah satu variabel penting dalam proses pemilu, mempunyai persepsi tersendiri dimana persepsi tersebut merupakan bagian integral dari pembentukan sistem politik di masa mendatang.

Perilaku politik mahasiswa sangat menarik untuk dicermati karena mereka juga turut ambil bagian dalam pelaksanaan pemilu yang akan diselenggarakan. Suara mahasiswa juga ikut menentukan keberlangsungan negara dalam jangka waktu lima tahun kedepan. Keberadaan mereka sangat potensial untuk menentukan pemimpin yang akan terpilih.


(29)

7

Pada pemilu 2004 lalu, ada sekitar 50 juta orang pemilih pemula dari jumlah 147 orang pemilih. Jumlah itu mencapai 34 persen dari keseluruhan pemilih dalam pemilu. Penelitian yang dilakukan Bakti (2012) mencatat pemilih pemula mencapai 19 persen atau 36 jutaan dari 189 juta penduduk yang memiliki hak pilih. Potensi suara pemilih pemula tersebut tetap lebih besar dibandingkan perolehan suara partai politik terbesar saat itu, yakni Partai Demokrat yang memperoleh 21,6 juta suara. Di sisi lain, yang patut dicermati adalah rendahnya tingkat patisipasi pemilih pemula. Dari dua pemilu sebelumnya, ternyata malah cenderung menurun. Pada tahun 1999 partisipasinya sebesar 92,7 persen. Tahun 2004 sebesar 84,07 persen, dan tahun 2009 sebesar 71 persen (www.okezone.com diakses pada15 Februari 2014 pukul 09.34)

Mahasiswa sebagai kelompok sosial yang sering diistimewakan oleh masyarakat karena dianggap sebagai pihak netral dan memiliki idealisme tinggi pada kenyataannya tingkat kesadaran dalam menggunakan hak suara dan ketertarikan untuk ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan pemilu masih rendah. Data KPU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyebutkan bahwa hanya ada 3.849 pemilih dari belasan ribu kalangan mahasiswa yang berasal dari luar daerah yang akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014. Hal itu membuat belasan ribu mahasiswa dipastikan golput pada Pileg 2014 (http://m.liputan6.com/indonesia-baru/read/2034110/belasan-ribu-mahasiswa-di-diy-jadi-golput diakses pada 10 April 2014 pukul 13.08). Data tersebut menunjukkan rendahnya antusiasme mahasiswa dalam menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2014.

Hal tersebut juga berlangsung di Provinsi Lampung. Sikap apatis juga dialami mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Berdasarkan pra riset yang dilakukan peneliti, beberapa mahasiswa memilih untuk tidak menyumbangkan hak suaranya pada pemilu legislatif 2014. Seperti yang dinyatakan salah satu mahasiswa: “Kayaknya gak


(30)

8

bakal milih deh, kampungku jauh, udah gitu cuman satu hari pula.” (Sumber: Hasil wawancara dengan Betty D. Sirait, IP 2010 tanggal 28 Maret 2014). Peneliti mengambil obyek mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung khususnya Jurusan Ilmu Pemerintahan dikarenakan para mahasiswa tersebut telah diajarkan konsep dan teori tentang politik maupun pemerintahan pada masa perkuliahan serta ikut berperan dalam kegiatan politik baik di tingkat organisasi yang diikuti, jurusan, fakultas, dan universitas sehingga penulis merasa mahasiswa tersebut memiliki bekal pengetahuan yang cukup dari segi formal maupun non formal serta tingkat rasionalitas yang melebihi masyarakat pada umumnya.

Terkait pemaparan-pemaparan tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai “Fenomena Golongan Putih di Kalangan Mahasiswa pada Pemilihan Umum Legislatif 2014” dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung khususnya Jurusan Ilmu Pemerintahan merupakan salah satu perguruan tinggi formal dan memiliki mahasiswa yang sebagian besar termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan umum legislatif 2014 yang pada dasarnya telah diajarkan teori dan praktek dasar politik serta pendidikan politik yang didapat dari bangku perkuliahan maupun organisasi yang mereka ikuti dapat dijadikan gambaran fenomena golput di kalangan mahasiswa.


(31)

9

B.Rumusan Masalah:

Berdasarkan latar belakang diatas maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana fenomena golongan putih yang terjadi di kalangan mahasiswa pada pemilu legislatif tahun 2014 (Studi pada Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung)?”

C.Tujuan Penelitian:

Sesuai dengan permasalahan yang diungkapkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

“Untuk mengetahui fenomena golongan putih di kalangan mahasiswa pada pemilu legislatif tahun 2014 (Studi pada Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung)

D.Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan salah satu kajian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang diharapkan mampu membantu pemahaman khususnya mengenai golongan putih pada pemilu legislatif di kalangan mahasiswa. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pihak yang terkait dalam meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya mahasiswa dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu mendatang.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Perilaku Tidak Memilih (Non-Voting/Golput)

Budiardjo (1982: 01) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Lebih lanjut Surbakti (1999: 140) menambahkan keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan segala isi keputusan politik.

Di konstitusi Indonesia, kebebasan dasar manusia secara politik juga diakui, hal itu tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E yang berbunyi:

1. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pemilihan umum legislatif merupakan penentu masa depan Indonesia yang dilakukan tiap lima tahun. Masyarakat yang telah memenuhi syarat berhak memilih wakil-wakilnya yang akan mewakili aspirasinya. Tetapi terdapat masyarakat secara sadar tidak ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraannya. Keengganan pemilih untuk berpartisipasi ditanggapi oleh Marijan (2010: 126)


(33)

11

yang berpendapat jika dibandingkan dengan negara-negara yang sudah mapan demokrasinya, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu masih cukup tinggi. Tetapi mengingat Indonesia yang sedang melakukan proses demokratisasi, kecenderungan menurunnya partisipasi pemilih patut menjadi perhatian. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih terperinci mengenai golput.

1. Definisi Golput (Non-Voting)

Menurut Dulay dalam Efriza (2012: 535) golongan putih diakronimkan menjadi golput adalah sekelompok masyarakat yang lalai dan tidak bersedia memberikan hak pilihnya dalam even pemilihan dengan berbagai macam alasan, baik pada pemilu legislatif, pilpres, pilkada maupun pemilihan kepala desa (pilkades). Sedangkan menurut Budiman dalam Efriza (2012: 535) golput adalah orang yang sengaja datang ke TPS dan membuat pilihannya tidak sah dengan mencoblos gambar putih. Kita bisa memperluas definisi golput dengan orang yang tidak percaya dengan hasil pemilu dan tidak mau berpartisipasi. Ia bisa tidak datang ke TPS atau dia datang, tapi membuat suaranya tidak sah.

Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat diasumsikan bahwa golongan putih (golput) adalah individu atau masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum karena berbagai macam alasan. Pada penelitian ini, yang dimaksud golput adalah para mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila yang termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 dikarenakan berbagai alasan.


(34)

12

2. Kategori Perilaku Golput

Saefullah dalam Efriza (2012: 546) menyatakan golput terpilah ke dalam tiga kategori besar, yaitu teknis, politis, dan ideologis.

1. Golput teknis, terdiri dari tiga kelompok, yaitu: a. Mereka yang berhalangan hadir.

b. Pemilik suara tidak sah karena keliru mencoblos. c. Yang tak tahu apa yang dia mau.

2. Golput politis terdiri atas beberapa kelompok, antara lain tak punya pilihan, tak percaya formalisme sekalipun bersahabat dengan elitisme, dan tak percaya formalisme sekaligus elitisme. Berbeda dengan dengan golput teknis yang nirmotif poltik, mereka menjadikan golput sebagai ekspresi politik. Bagaimanapun, golput politis tidak permanen. Mereka berhenti menjadi golput manakala pilihan tersedia atau demokratisasi mencapai kemajuan berarti sehingga tak lagi hanya bertumpu pada lembaga formal serta semakin egalitarian dan partisipatoris.

3. Golput ideologis, baik dari sayap kanan maupun sayap kiri. Bagi mereka, golput bukan hanya sekedar ekspresi politik, melainkan lebih terhadap perwujudan keyakinan ideologis.

a. Di sayap kiri, terdapat golput ideologis yang menolak berpartisipasi dalam pemilu sebagai konsekuensi dari penolakan mereka atas demokrasi liberal. Bagi mereka, pemilu dan demokrasi liberal adalah anak kandung kapitalisme yang memproduksi kesenjangan, eksploitasi, dan ketidakadilan.


(35)

13

b. Di sayap kanan, tersedia golput ideologis dari kalangan fundamentalisme agama terutama Islam. Menurut mereka, demokrasi dan pemilu bertentangan dengan syariat agama, pemilu menyerahkan kedaulatan kepada rakyat, kepada manusia, padahal hanya Tuhan yang berhak memilikinya.

Berdasarkan uraian di atas, perilaku golput dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu golput teknis, golput politis dan golput ideologis. Ketiga kategori tersebut sangat sesuai untuk menggambarkan secara terperinci mengenai golput yang terjadi di kalangan mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila.

3. Bentuk Perilaku Golput

Efriza (2012: 547) mengatakan di Indonesia perilaku golput pada umumnya dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, yaitu:

1. Orang yang tidak menghadiri TPS sebagai aksi protes terhadap pelaksanaan pemilu dan sistem politik yang ada.

2. Orang yang menghadiri TPS namun tidak menggunakan hak pilihnya secara benar dengan menusuk lebih dari satu gambar. 3. Orang yang menggunakan hak pilihnya dengan jalan menusuk

bagian putih dari kartu suara. Dalam konteks semacam ini perilaku golput adalah refleksi protes atas ketidakpuasan terhadap sistem politik yang sedang berkembang.

4. Orang yang tidak hadir di TPS dikarenakan mereka memang tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak suara. Pada konteks semacam ini perilaku golput lebih disebabkan alasan administratif. Biasanya kelompok ini disebut golput pasif.

Berdasarkan keempat bentuk perilaku golput yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini lebih berfokus pada perilaku golput mahasiswa yang tidak


(36)

14

menggunakan hak pilihnya karena berbagai penyebab yang terjadi sebelum maupun saat hari pemungutan suara.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Tidak Memilih (Golput)

Ada beberapa alasan mengapa orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam politik, Dahl dalam Rahman (2002: 53) menyebutkan alasannya sebagai berikut:

1. Orang mungkin kurang tertarik dalam politik karena memandang rendah terhadap segala manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik dibanding dengan manfaat yang diperoleh dari berbagai aktivitas lainnya. Terdapat dua kategori kepuasan dari keterlibatan dalam aktivitas politik, yakni kepuasan langsung yang diterima dari aktivitasnya sendiri berupa kegembiraan dengan adanya interaksi sosial dengan kawan atau kenalannya yang dapat meningkatkan martabat dari pergaulan dengan orang penting, mendapatkan peluang informasi terbatas, daya teknik politik dan sebagainya. Yang kedua adalah keuntungan instrumental yaitu keuntungan khusus bagi orang-orang tertentu atau keluarga yang dapat memperoleh pekerjaan dari pimpinan partai.

2. Orang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas antara keadaan sebelumnya.

3. Seseorang merasa bahwa tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat mengubah dengan jelas hasilnya.

4. Seseorang merasa bahwa hasil-hasilnya relatif akan memuaskannya sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.


(37)

15

5. Jika pengetahuan seseorang tentang politik terlalu terbatas untuk dapat menjadi efektif.

6. Semakin besar kendala yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil kemungkinannya bagi seseorang untuk terlibat dalam politik.

Perilaku golput disebabkan oleh beberapa faktor yang melatarbelakanginya. McClosky dalam Budiardjo (1982: 14) berpendapat bahwa orang yang tidak ikut memilih dikarenakan sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau kurang paham mengenai masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil atau sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji.

Dewi (2009: 32) mengungkapkan golput pada pelaksanaan pemilu tahun 2009 disebabkan oleh:

1. Persoalan administratif. Banyak konstituen yang namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

2. Kejenuhan pemilih.

3. Belum berhasilnya pendidikan politik rakyat. 4. Apatisme atau apriori pemilih.

5. Pelampiasan atas perasaan kecewa terhadap sistem maupun penyelenggaraan pemilu.

6. Tiadanya atau kuranggnya jumlah TPS khususnya bagi pemilih yang sedang sakit, sedang mengalami hukuman, sedang bepergian dan lain sebagainya.


(38)

16

Sedangkan menurut Soebagio (2008: 84) golput disebabkan oleh:

1. Pemilu dan pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2. Menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform

politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepetingan kelompok atau golongannya.

3. Merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elitpolitik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan atau kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik.

4. Tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang mendukungnya.

5. Kejenuhan pemilih karena sering adanya pemilu atau pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.

6. Kurang netralnya penyelenggara pemilu atau pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, disamping juga kurangnya intensitas sosialisasi pemilu secara terprogram dan meluas.

Moon dalam Efriza (2012: 535) menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih (turnout) atau ketidakhadiran pemilih (non-voting) dalam suatu pemilu. Pendekatan pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu. Sementara itu, pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih. Hanya saja, kedua pendekatan tersebut di dalam dirinya sama-sama memiliki kesulitan dan mengandung kontroversi masing-masing. Untuk memahami perilaku golput secara lebih mendalam dibutuhkan penjelasan-penjelasan yang digali dari faktor-faktor psikologis, seperti ciri-ciri kepribadian, predisposisi-predisposisi dasar, dan sikap-sikap jangka pendek pemilih golput.


(39)

17

a. Faktor Psikologis

Penjelasan golput dari faktor psikologis pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku golput disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi dan semacamnya. Hal itu dikarenakan apa yang diperjuangkan kandidat atau parpol tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan yang lebih luas. Pada konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tidak acuh cenderung untuk tidak memilih. Ciri-ciri kepribadian dari perilaku golput berdasarkan faktor psikologis ini umumnya diperoleh sejak lahir (bahkan lebih bersifat keturunan) dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku. Faktor lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini adalah keefektifan personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya. Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian. Sherman dalam Efriza (2012: 538) melihat bahwa perilaku golput disebabkan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomali, dan alienasi. Secara teoritis, perasaan apatis sebenarnya merupakan penjelmaan atau


(40)

18

pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi menunjukkan pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa dan kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih, tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada di luar kontrol para pemilih.

Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan alienasi berada di luas apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya.

b. Faktor Sistem Politik

Tingsten dalam Efriza (2012: 539) menjelaskan ada hubungan antara sistem pemilu atau sistem perwakilan yang diterapkan sangat


(41)

19

berpengaruh pada persentase kehadiran dan ketidakhadiran seseorang dalam bilik suara. Hasil studi yang dilakukan Tingsten menyimpulkan, di negara-negara yang menerapkan sistem pemilu atau sistem perwakilan berimbang (proporsional), rata-rata jumlah pemilih yang hadir cukup tinggi. Sementara itu negara yang menerapkan sistem distrik ( single-member district) jumlah kehadiran pemilih relatif rendah. Hal ini dikarenakan, dalam sistem perwakilan berimbang, perolehan kursi sangat bergantung pada proporsi jumlah suara pemilih. Sementara itu, dalam sistem proporsional mempunyai semangat yang lebih besar untuk memilih betapapun mereka menyadari partai atau kandidat yang dipilihnya akan kalah di wilayah distrik atau dapil-nya, sebab suaranya tidak hilang karena digabungkan dengan perolehan suara di daerah pemilihan lainnya.

c. Faktor Kepercayaan Politik

Pada literatur ilmu politik, konsep kepercayaan oleh para ahli banyak digunakan untuk menjelaskan ketidakaktifan (inactivity) seseorang dalam dunia politik. Menurut Khoirudin dalam Efriza (2012: 540), fenomena meningkatnya golput harus dipandang dalam dua perspektif. Pertama, munculnya ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk partai, yang kemudian berakibat pada perspektif kedua, keinginan warga negara untuk melakukan delegitimasi politik terhadap kekuasaan. Padahal, tanpa legitimasi warga negara sesungguhnya sebuah kekuasaan dapat dianggap tidak ada.


(42)

20

Sedangkan menurut Asfar dalam Efriza (2012: 541), golput disebabkan karena beberapa hal, yaitu:

1. Ketidakhadiran diinterpretasikan sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sistem politik, berbeda dengan kehadiran yang sering diinterpretasikan sebagai bentuk “loyalitas” atau kepercayaan pada sistem politik yang ada

2. Ketidakhadiran pemilih dianggap sebagai reaksi/ekspresi dari ketidaksukaan masyarakat terhadap rezim yang berkuasa. Asumsi tersebut menyiratkan kondisi bahwa ketidakhadiran pemilih dimaknakan sebagai indikator lemahnya legitimasi rezim yang berkuasa

3. Ketidakpercayaan anggota masyarakat terhadap parpol dan kandidat d. Faktor Latar Belakang Status Sosial-Ekonomi

Setidaknya ada tiga indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial-ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan pekerjaan. Tingginya tingkat kehadiran pemilih dari pemilih yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Hasil temuan Verba dalam Efriza (2012: 543) memaparkan “the best known about turnout is that citizens of higher social and economic status participate more in politics...” (yang utama tentang kehadiran bahwa warga negara yang status sosial dan ekonomi lebih berpartisipasi politik...)


(43)

21

Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, seperti dijelaskan Wolfinger dalam Efriza (2012: 543), yaitu:

1. Tingkat pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut, disamping memungkinkan seseorang menguasai aspek-aspek birokrasi, baik pada saat pendaftaran maupun pemilihan.

“in high school and college, we learn the political system and about how the issue affect our lives, are exposed to peer pressure to participate in the political process, and an acquire a sense of efficacy, of control over our fate. All these influences predispose us to vote. The poorly educated, by contrast, are predisposed to avoid politics because of their lack of interest in the political process, their unawareness of its relevance to their lives,and their lack of the skills necessary to deal with the bureaucratic aspects of voting and registration.” (di sekolah dan perkuliahan, kita belajar mengenai sistem politik dan bagaimana suatu isu mempengaruhi hidup kita, dan diterangkan untuk menekan teman sebayanya untuk berpartisipasi dalam proses politik, dan suatu perolehan dari rasa keberhasilan, dari mengambil alih takdir kita. Segala pengaruh ini mempengaruhi kita untuk memberikan suara. Yang kurang berpendidikan dengan perbedaan terpengaruh untuk menghindari politik karena kekurangan mereka terhadap kepentingan dalam suatu proses politik, ketidakpedulian atas hubungannya terhadap kehidupan mereka, dan kekurangan kemampuan mereka perlu dihadapkan pada aspek-aspek birokratik dari memilih dan mendaftar).

2. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. 3. Pendapatan tinggi memudahkan orang menanggung beban finansial


(44)

22

pendapatannya rendah cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran cukup tinggi. Sebaliknya, pemilih yang berlatarbelakang pendapatan tinggi cenderung menunjukkan angka ketidakhadiran dalam pemilu rendah”.

Angka golput yang terus naik di setiap periode menyebabkan beberapa pihak melakukan upaya-upaya menekan angka golput, seperti yang ditulis Efriza (2012: 554) pada pemungutan suara 2009 untuk menekan angka golput dikeluarkan fatwa haram golput saat musyawarah Ijtima Fatwa Ulama Indonesia 24-25 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

1. Pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. 3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat

sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Selanjutnya, fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi yakni, (1) umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan


(45)

23

pemilu agar pasrtisipasi masyarakat dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.

B.Mahasiswa

Adnan (1999: 76) berpendapat bahwa mahasiswa merupakan kelompok generasi muda elit dalam masyarakat yang mempunyai keberanian, kepeloporan, sifat dan watak yang kritis. Berperan sebagai kekuatan moral dan berfungsi sebagai kontrol sosial serta sebagai duta-duta pembaharu masyarakat. Selanjutnya Juliantara dalam Silahi (2004: 04) menyatakan universitas atau yang sering disebut kampus adalah dunia akademisi yang memiliki pemikiran kritis dengan pola pikir yang lebih terbuka dalam memandang suatu fenomena yang ada dalam masyarakat.

Karim dalam Nazmi (2010: 18) menyatakan ketika menjelang pemilu, kaum muda senantiasa menjadi objek rebutan partai politik dalam pemilu. Kaum muda ialah kaum yang sulit didikte, bahkan ada dugaan generasi muda merupakan salah satu kelompok yang sulit untuk didekati oleh partai politik karena memiliki makna yang strategis terutama setiap menghadapi dan melaksanakan pemilu.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan tersebut terlihat bahwa mahasiswa merupakan generasi muda yang kritis, independen, dan merupakan salah satu pihak yang berperan strategis dalam penyelenggaraan pemilu.


(46)

24

1. Ciri-Ciri Mahasiswa

Damanhuri dalam Mediastutie (2006: 25) memaparkan ciri-ciri mahasiswa sebagai berikut:

1. Mereka adalah kelompok muda, oleh karena itu karakteristik ini diwarnai oleh sifat pada umumnya tidak selalu puas dengan lingkungannya, dimana mereka menginginkan berbagai perubahan yang cepat (dinamik) dan mendasar (radikal).

2. Mereka adalah kelompok yang menjalani sistem pendidikan tinggi, oleh karenanya nafas dan sikap akademis akan memberi ciri yang kuat dalam gerak langkahnya. Sikap objektif, rasional, kritis dan skeptis yang menjadi ciri keilmuan amat mempengaruhi pandangannya dalam mengamati setiap masalah

3. Mereka adalah kelompok yang relatif “independen” karena relatif belum memiliki keterkaitan finansial dan birokratis terhadap pihak manapun, ciri spontan dan lugas dalam bersikap akan memberi pandangan amat kuat

4. Mereka adalah kelompok yang juga menjadi sub sistem masyarakat secara keseluruhan, baik itu lokal, regional, nasional maupun mondial. Oleh karenanya dengan menatap konstelasi yang berkembang dengan latar belakang kemudian, keilmuan dan keindependenan mereka senantiasa menempatkan pada sudut pandang yang tidak mengulang kelompok masyarakat lainnya

Berdasarkan penjabaran di atas dapat dilihat bahwa mahasiswa memiliki ciri-ciri umum yaitu termasuk dalam bagian masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, berwawasan luas, rasional, berjiwa muda, memiliki sikap kritis dalam mengamati setiap masalah dan cenderung independen. Ciri-ciri tersebut telah melekat bahkan sejak zaman sebelum kemerdekaan.

2. Tipe Mahasiswa

Selanjutnya Adnan (1999: 131) mengklasifikasikan mahasiswa dalam lima tipe, yaitu:


(47)

25

1. Kelompok idealis konfrontatif

Mereka adalah mahasiswa yang aktif dikelompok diskusi atau lembaga swadaya masyarakat, kegiatan mereka senantiasa bernuansa pemikiran kritis mengenai perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta teori yang mendasarinya. Mereka ikut aktif dalam aksi-aksi demonstrasi memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas. Ciri khas kelompok ini adalah non kooperatif, kelompok ini bersikap menolak posisi pemerintah dikarenakan keyakinan mereka bahwa pemerintah yang berkuasa saat itu tidak sesuai dengan norma, nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan hak asasi manusia.

2. Kelompok idealis realistis

Kelompok ini juga aktif di berbagai diskusi dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Kelompok ini banyak menggagas ide-ide perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok ini cenderung kompromistis dan kooperatif, mereka terang-terangan menentang pemerintah tetapi berusaha mencari jalan ditengah kesumpekan iklim politik di tanah air.

3. Kelompok oportunis

Kelompok ini menunjukkan keberpihakannya kepada penguasa, mereka adalah para mahasiswa yang berkecenderungan untuk mendukung program-program pemerintah dan berpihak pada pemerintah.


(48)

26

4. Kelompok profesional

Mereka adalah para mahasiswa yang berorientasi profesionalisme dan kurang berminat terhadap masalah-masalah ekonomi dan politik bangsa. Mereka memilih untuk menyelesaikan studi secepatnya, kemudian memperoleh pekerjaan yang dapat menjamin masa depannya. 5. Kelompok glamour

Kelompok ini sama seperti kelompok keempat, yang kurang berminat terhadap masalah-masalah sosial dan politik bangsa. Perbedaannya mereka memiliki kecenderungan rekreatif, ciri yang menonjol dari mereka ialah kemampuan berbusana yang cenderung glamour dan gaya hidup yang sangat mengikuti mode.

Lebih jauh Mas’oed dalam Silahi (2004: 14) menjelaskan karakteristik dari mahasiswa sendiri merupakan pendorong bagi meningkatnya peranan mahasiswa dalam kehidupan politik:

1. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan.

2. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah sampai universitas, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda.

3. Kehidupan kampus membuat gaya hidup yang unik dikalangan mahasiswa, mahasiswa berasal dari beberapa daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kehidupan kampus sehari-hari.


(49)

27

4. Mahasiswa sebagai kelompok yang memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan struktur perekonomian dan prestise di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elit dikalangan angkatan muda.

5. Meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan kecenderungan-kecenderungan orientasi universitas.

Selama masa perkuliahan, mahasiswa diajarkan dan dilatih dengan berbagai aktifitas ataupun kegiatan. Mahasiswa sebagai salah satu kaum akademisi yang dengan pengalamannya yang diperoleh, baik dari bangku pendidikan formal atau perkuliahan maupun non formal yakni melalui kegiatan organisasi yang digelutinya memiliki sifat kritis dalam menyikapi suatu fenomena dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa mahasiswa adalah pemilih yang memiliki kekhasan dibanding masyarakat pada umumnya. Mahasiswa sebagai pemilih pemula juga memiliki hak menggunakan suaranya pada pelaksanaan pemilu sesuai ketentuan undang-undang. Peneliti memilih mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung karena dalam perkuliahan mahasiswa mendapatkan teori dan praktek dasar mengenai politik, sosial dan pemerintahan. Selain pengetahuan dari bangku perkuliahan, mahasiswa juga mendapat pengetahuan dari luar khususnya mahasiswa yang berkecimpung dalam organisasi. Pengetahuan dasar tersebut diharapkan dapat merespon mahasiswa untuk peka terhadap fenomena-fenomena yang terjadi secara lebih mendalam dan kritis.


(50)

28

3. Mahasiswa dan Politik

Sanit (2007: 78) menjabarkan karakteristik mahasiswa merupakan faktor pendorong pula bagi meningkatnya peranan mereka di dalam kehidupan politik angkatan muda. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas di antara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak pada lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang di antara angkatan muda. Mahasiswa merupakan kelompok dari angkatan muda yang mempunyai pengetahuan sosial dan politik yang relatif lebih banyak. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise di dalam masyarakat sehingga termasuk elit di kalangan angkatan muda. Kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas daripada perubahan kecenderungan orientasi universitas. Mahasiswa sebagai komponen universitas termasuk terkemuka dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara nasional.

Mahasiswa memiliki peran yang strategis dalam dunia politik. Mahasiswa yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, memiliki pengetahuan yang luas dan merupakan oknum perubahan. Maka dari itu mahasiswa juga merupakan cikal bakal pemimpin di masa mendatang. Keberadaan


(51)

29

mahasiswa-mahasiswa di Indonesia diharapkan mampu menggerakkan roda pembangunan di berbagai bidang, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan politik

C.Badan Legislatif 1. Definisi Legislatif

Budiardjo (2010: 315) menyatakan badan legislatif atau Legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul”. Lalu ada istilah Parliament yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan People’s Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi intinya badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.

2. Fungsi Legislatif

Budiardjo (2010: 322) menyatakan fungsi badan legislatif ialah:

a. Fungsi legislasi yaitu menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang-undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan terutama di bidang budget atau anggaran.

b. Fungsi kontrol yaitu badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang telah


(52)

30

ditetapkannya. Pengawasan dilakukan melalui siding panitia-panitia legislatif dan melalui hak-hak kontrol yang khusus meliputi:

1) Pertanyaan parlementer: hak untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai suatu masalah.

2) Interpelasi: hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di suatu bidang.

3) Angket (Enquete): hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri.

4) Mosi

c. Fungsi lainnya yaitu sebagai sarana pendidikan politik yang bertujuan mendidik rakyat ke arah kewarganegaraan yang sadar, bertanggung jawab dan partisipasi politiknya dapat dibina.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa badan legislatif mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan negara. Badan legislatif merupakan badan perwakilan rakyat yang memiliki beberapa fungsi dan cerminan dari kedaulatan rakyat dalam suatu negara.

D.Pemilihan Umum Legislatif

Pemilihan umum (pemilu) menjadi salah satu syarat demokrasi bagi suatu negara karena dengan diadakannya pemilu masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung untuk memilih wakil-wakilnya selama lima tahun kedepan. Dahl dalam Suaib (2010: 02) menyatakan secara konseptual, pemilu bertujuan memilih wakil rakyat (bukan wakil partai) untuk duduk di lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat, membentuk pemerintahan,


(53)

31

melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan dan senantiasa tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan tujuan membentuk pemerintahan perwakilan atau gambaran ideal bagi sebuah pemerintahan demokrasi di zaman modern.

Tidak berbeda dengan pendapat tersebut, Beetham (2000: 63) mengatakan bahwa tujuan pemilu tingkat nasional ada dua yaitu:

1. Untuk memilih kepala pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menggolkan kebijakan umum yang akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih.

2. Untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan legislatif atau parlemen yang akan menetapkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan serta mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat.

Lebih lanjut Suaib (2010: 02) mengemukakan bahwa ada beberapa alasan mengapa pemilu menjadi penting bagi sebuah negara. Pertama, melalui pemilu dapat dibangun basis dan konsep demokrasi, karena tanpa pemilu, tanpa persaingan terbuka di antara kekuatan sosial dan kekuatan kelompok politik, maka tidak ada demokrasi. Kedua, pemilu melegitimasi sistem politik. Ketiga, pemilu mengabsahkan kepemimpinan politik. Keempat, pemilu sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara yang berdemokrasi.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Bab 1 Pasal 1 yang dimaksud pemilu legislatif adalah:

“Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan


(54)

32

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pemilihan umum (pemilu) legislatif adalah pemilu yang diselenggarakan setiap lima (5) tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD.

E.Kerangka Pikir

Pemilihan umum (pemilu) legislatif yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali merupakan penentu wakil-wakil dari partai politik yang akan memperjuangkan aspirasi rakyat di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD. Masyarakat yang telah memenuhi syarat dapat ikut andil memberikan suaranya melalui hak pilihnya termasuk kalangan mahasiswa yang termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat mahasiswa yang tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai macam alasan. Padahal mahasiswa dikenal sebagai kelompok yang kritis dalam menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Terlebih lagi dengan latar belakang mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unila yang mendapat pendidikan politik dan pemerintahan di bangku kuliah.

Penelitian tentang fenomena golongan putih di kalangan mahasiswa pada pemilu legislatif tahun 2014 (Studi Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung) ini bertujuan untuk menggolongkan mahasiswa dalam beberapa kategori yaitu golput teknis, golput politis dan golput ideologis. Kategori tersebut didasarkan penyebab atau


(55)

33

alasan perilaku tidak memilih mahasiswa. Untuk lebih mempermudah pemahaman, dapat dilihat pada gambar kerangka pikir berikut:

Gambar 2. Kerangka Pikir

PemilihanUmum (Pemilu) Legislatif 2014

Golongan Putih di Kalangan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP

Universitas Lampung

Berdasarkan kategori perilaku golput: 1. Golput Teknis 2. Golput Politis 3. Golput Ideologis Berdasarkan karakter

mahasiswa:

1. Karakter Idealis Konfrontatif 2. Karakter Idealis

Realistis

3. Karakter Oportunis 4. Karakter

Profesional 5. Karakter Glamour


(56)

III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan dekriptif. Whitney dalam Nazir (1988: 63) berpendapat bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.

Lebih lanjut Bodgan dan Taylor dalam Basrowi (2008: 21) mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Individu dipandang sebagai bagian dari suatu keutuhan, bukan sebagai variabel atau hipotesis.

Penelitian ini menyajikan analisis terhadap fenomena melalui kata-kata, bukan angka-angka. Hasil penelitian merupakan gambaran dari fakta yang ditemukan di lapangan yang akan diolah secara lebih dalam dan terperinci. Pada penelitian ini, penulis ingin mendapatkan gambaran yang jelas dan mendalam mengenai golongan putih di kalangan mahasiswa pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 (Studi pada Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu


(57)

35

Politik Universitas Lampung). Selain itu, dengan menggunakan tipe penelitian kualitatif, diharapkan data yang telah didapat dan diolah mampu memudahkan peneliti untuk menarik kesimpulan yang tepat dan akurat dalam penelitian ini.

B.Fokus Penelitian

Moloeng (2006: 92) menyatakan fokus penelitian merupakan pedoman untuk mengambil data apa saja yang relevan dengan permasalahan penelitian. Fokus penelitian harus konsisten dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang diterapkan terlebih dahulu.

Untuk membatasi lingkup penelitian agar tidak meluas dan tetap fokus terhadap tujuan dan hasil yang ingin diperoleh, penelitian ini difokuskan pada perilaku tidak memilih (golput) mahasiswa yang memiliki latar belakang karakter yang berbeda, yaitu:

a. Karakter Idealis Konfrontatif b. Karakter Idealis Realistis c. Karakter Oportunis d. Karakter Profesional e. Karakter Glamour

Kemudian golput tersebut akan dibagi berdasarkan tiga kategori, yaitu: a. Golput Teknis

b. Golput Politis c. Golput Ideologis


(58)

36

C.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah lingkungan, tempat, atau wilayah yang direncanakan oleh peneliti untuk dijadikan sebagai objek penelitian dalam rangka mengumpulkan data-data yang dibutuhkan. Tempat merupakan daerah atau wilayah di mana subjek atau objek penelitian yang hendak diteliti. Penelitian ini berada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

D.Jenis Data

Data yang dipakai melalui proses pertimbangan sehingga sesuai dengan teori dan masalah yang akan ditelaah, sehingga akan didapat informasi yang akan menjawab tujuan dari penelitian ini. Data yang dipakai dalam penelitian ini meliputi:

1. Data Primer

Lofland dalam Moloeng (2006: 157) menyatakan data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh peneliti dari lapangan. Data primer penelitian ini adalah hasil wawancara mendalam yang dilakukan antara peneliti dan informan. Informan yang dipilih adalah informan yang dianggap mengetahui kebenaran yang terjadi di lapangan dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan terkait golongan putih di kalangan mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Lofland dalam Moloeng (2006: 157) menyatakan data sekunder merupakan data yang diperlukan dalam penelitian ini untuk melengkapi informasi yang


(59)

37

diperoleh dari data primer. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data tambahan yang diperoleh dari sumber lain yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini yang dimaksud data sekunder adalah buku, skripsi, jurnal, website dan undang-undang.

E.Penentuan Informan

Untuk memilih dan menentukan informan, peneliti mengacu pada teknik “purposive sampling”, peneliti memilih informan yang dianggap tahu (key informan) dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung Angkatan 2010 sampai angkatan 2013. Hal itu disebabkan universitas merupakan tempat mahasiswa mendapat pendidikan formal dan Jurusan Ilmu Pemerintahan lebih banyak mempelajari mata kuliah politik dan pemerintahan secara lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan jurusan lainnya. Mahasiswa jurusan ilmu politik juga secara langsung dan tidak langsung melakukan praktek politik mulai dari tingkat jurusan, fakultas dan universitas. Peneliti menilai bahwa mahasiswa dengan latar belakang pendidikan tinggi memiliki rasionalitas dan dapat memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengapa mereka memilih tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dibandingkan masyarakat biasa.

Informan yang dipilih adalah mahasiswa yang termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu legislatif 2014 tetapi tidak menggunakan hak pilihnya atau dengan kata lain mahasiswa yang secara langsung melakukan


(60)

38

golput. Informan di ambil dari berbagai latar belakang seperti umur, jenis kelamin, agama, suku dan karakter di setiap angkatan (angkatan 2010-2013). Informan tidak dibatasi jumlahnya dan penentuan informan dilakukan saat memulai penelitian sampai peneliti mendapatkan data yang dibutuhkan. Selain informan utama (mahasiswa), peneliti juga mencari informan dari pihak-pihak lain yang memiliki kaitan dengan fenomena golput, sehingga data yang diperoleh dapat menjawab tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya secara lebih terperinci dan menyeluruh. Informan dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Informan dalam penelitian ini adalah:

1. Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, yang terdiri dari: a. Angkatan 2010, yaitu Alam Patria, Betty D. Sirait, Cakra Gumelar, Dewi

Astriya, Komang J. Ferdian, Novandra Yudha Satria dan Resti Agustina b. Angkatan 2011, yaitu Leni Olandari

c. Angkatan 2012, yaitu Galih Ramadhan, Juliandi Sinuhaji, Oktanina B. Sembiring dan Rian Rinanda

d. Angkatan 2013, yaitu Rian Adi Saputra dan Tiara Dhayu Prameswari 2. Akademisi/Pengamat Politik

Drs. Budi Harjo, M.I.P

3. Pihak KPU Kota Bandar Lampung, yang terdiri dari: a. Staf Program dan Data, yaitu Tuyono


(61)

39

F. Teknik Pengumpulan Data

Herdiansyah (2010: 116) menyatakan pada penelitian kualitatif, bentuk data berupa kalimat dari subjek penelitian yang diperoleh melalui suatu teknik pengumpulan data yang kemudian data tersebut akan dianalisis dan diolah yang akan menghasilkan suatu temuan atau hasil penelitian yang akan menjawab pertanyaan penelitian. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi

Cartwright dalam Herdiansyah (2010: 131) mendefinisikan observasi sebagai suatu proses melihat, mengamati dan mencermati serta merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi dalam penelitian ini adalah mengamati perilaku atau karakter dari mahasiswa-mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila angkatan 2010-2013 yang melakukan golput.

2. Wawancara

Gorden dalam Herdiansyah (2010: 118) mengatakan “wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu”. Wawancara pada penelitian ini merupakan suatu cara mendapatkan informasi secara langsung kepada informan. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab lisan secara langsung dan mendalam dengan sasaran atau obyek penelitian untuk mendapatkan


(62)

data-40

data dan keterangan yang berkaitan dengan topik penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan dengan cara tatap muka. Pertanyaan yang diajukan kepada informan penelitian dipandu dengan interview guide yang disusun sebelumnya terkait fokus penelitian dan pertanyaan tersebut bisa berkembang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan dan kedalaman data yang ingin diperoleh. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan agar peneliti lebih mudah memahami fenomena golput dengan mendapatkan informasi dari objek yang terlibat secara langsung.

Wawancara mendalam dilakukan dengan seluruh informan di berbagai tempat. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat janji terlebih dahulu dengan seluruh informan. Peneliti melakukan wawancara dengan masing-masing informan dengan cara tanya jawab. Wawancara dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan yang telah dibuat pedoman wawancaranya terlebih dahulu. Peneliti juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan tambahan untuk menggali jawaban informan secara lebih mendalam.

Wawancara dimulai dari pihak mahahsiswa, lalu pihak akademisi/pengamat politik dan terakhir dengan pihak KPU Kota Bandar Lampung. Untuk informan mahasiswa, wawancara dilakukan di lingkungan FISIP Unila mulai tanggal 19 Mei 2014 sampai tanggal 27 Juni 2014. Wawancara dengan pihak akademisi/pengamat politik dilakukan tanggal 30 Juni 2014 di lingkungan yang sama. Sedangkan untuk pihak KPU, wawancara


(63)

41

dilaksanakan tanggal 02 September 2014 di Kantor KPU Kota Bandar Lampung.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder seperti buku, skripsi, jurnal, website dan undang-undang yang berkaitan dengan objek penelitian.

G.Teknik Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari lapangan terlebih dahulu diolah sebelum dianalisis. Hal itu bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisis data. Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data yang meliputi:

1. Editing

Editing, yaitu suatu kegiatan memeriksa data yang terkumpul, memeriksa kelengkapan data dan memeriksa kesesuaian data yang diperoleh dari lapangan guna menghindari kekeliruan dan kesalahan penulisan sehingga akan mendukung proses penelitian selanjutnya. Data yang diedit dalam penelitian ini berupa data hasil wawancara dengan mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung angkatan 2010-2013, pihak akademisi/pengamat politik dan pihak KPU Kota Bandar Lampung.


(64)

42

2. Interpretasi

Interpretasi, yaitu mendeskripsikan hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti dari lokasi penelitian berupa data primer dan kemudian diinterpretasikan untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan sebagai hasil penelitian. Interpretasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan menjabarkan kesimpulan yang didapat dari hasil wawancara.

H.Teknik Analisis Data

Agar mendapatkan hasil penelitian yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, seorang peneliti harus mampu melakukan analisis data secara tepat. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif (Interactive Model of Analysis). Menurut Miles dan Huberman dalam Herdiansyah (2010: 164) analisis data terdiri atas empat tahapan yang harus dilakukan, yaitu:

1. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan sebelum penelitian, pada saat penelitian dan di akhir penelitian. Dengan kata lain pengumpulan data dilakukan sepanjang penelitian. Pengumpulan data dilakukan sampai peneliti merasa data yang terkumpul sudah menjawab tujuan penelitian.

2. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan yang akan dianalisis. Semua


(1)

113

Dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan peneliti, dapat diketahui bahwa mereka tidak memiliki ketertarikan dengan isu pemilu, mereka menganggap pemilu bukanlah event penting yang harus mereka ikuti.

e. Kelompok glamour

Kelompok ini sama seperti kelompok keempat, yang kurang berminat terhadap masalah-masalah sosial dan politik bangsa. Perbedaannya mereka memiliki kecenderungan rekreatif, ciri yang menonjol dari mereka ialah kemampuan berbusana yang cenderung glamour dan gaya hidup yang sangat mengikuti mode. Terdapat dua informan yang termasuk kelompok ini.

2. Perilaku golput mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila dianalisis melalui tiga kategori seperti yang dikemukakan Saefullah dalam Efriza (2012: 546) yaitu:

a. Golput Teknis. Golput dalam kategori ini adalah golput yang disebabkan masalah teknis, baik yang sengaja dilakukan maupun tidak. b. Golput Politis. Golput politis merupakan wujud ekspresi politik

mahasiswa terhadap pelaksanaan pemilu, sistem politik dan pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan penyelenggaraan pemilu.

c. Golput Ideologis. Golput ideologis tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat didalamnya entah karena alasan nilai-nilai agama atau alasan politik-ideologi lain.


(2)

114

3. Status mahasiswa sebagai penduduk pendatang mengakibatkan sebagian mahasiswa tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan masalah-masalah teknis. Merosotnya kepercayaan mahasiswa terhadap pihak-pihak yang terkait pada penyelenggaraan pemilu juga berdampak pada keputusan mahasiswa memilih golput. Sedangkan mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan tidak termasuk dalam kategori golput ideologis. Hal itu dikarenakan mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak menganut ideologi atau paham tertentu dan bukan merupakan fundamentalis agama tertentu.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran sebagai berikut:

1. Mahasiswa harus berperan aktif dan mempunyai inisiatif untuk mencari informasi terkait penyelenggaraan pemilu.

2. KPU sebagai penyelenggara memberikan informasi dan sosialisasi secara keseluruhan. Menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat mengenai pentingnya menyumbangkan hak suara pada pemilu.

3. Penyelenggara memberikan kemudahan bagi pemilih yang berada di luar daerah dalam menggunakan hak pilihnya.

4. Mekanisme penyelenggaraan pemilu lebih disederhanakan agar masyarakat tertarik untuk menyumbangkan hak pilihnya.

5. Partai politik dapat lebih selektif dalam melakukan pengkaderan bagi bakal calon legislatif agar calon-calon yang akan dipilih dapat menarik


(3)

115

simpati masyarakat terutama mahasiswa dan nantinya dapat mengemban amanah rakyat.

6. Pemilu dengan menggunakan KTP Elektronik dapat mengurangi golput teknis.

7. Kerjasama dari seluruh masyarakat Indonesia sangat diperlukan untuk menekan angka golput di Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, S Richard dan Arvan Pardiansyah. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas: Pemilu Legislatif. Rajawali Pers. Jakarta.

Basrowi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta. Jakarta.

Beetham, David dan Kevin Boyle. 2000. Demokrasi: 80 Tanya-Jawab. Kanisius. Yogyakarta.

Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai. Gramedia. Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Djuhandar, Erom. 2005. Sosiologi Politik. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Efriza. 2012. Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Alfabeta. Bandung. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu

Sosial. Salemba Humanika. Jakarta.

Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta. Jakarta.

Maksudi, Beddy Iriawan. 2012. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik. Rajawali Pers. Jakarta.

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana. Jakarta.

Moleong, J.L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Posdakarya. Bandung. Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Graha Indonesia. Jakarta.


(5)

Papasi, J. M. 2010. Ilmu Politik: Teori dan Praktik. Graha Ilmu. Yogyakarta. Rahman, Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia. SIC. Surabaya.

Rodee, dkk. 2011. Pengantar Ilmu Politik. Rajawali Pers. Jakarta.

Sanit, Arbit. 2007. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sitepu, P. Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Suaib, Eka. 2010. Problematika Pemutakhiran Data Pemilih Di Indonesia. Koekoesan. Depok.

Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta.

Varma, S.P. 2001. Teori Politik Modern. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Yani, Ahmad. 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi. Rajawali Pers. Jakarta.

Skripsi:

Mediastutie, Mega. 2006. Orientasi Politik Mahasiswa Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung 2005.

Nazmi, Nicko Rifan. 2010. Perilaku Memilih Pemilih Pemula Pada Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009.

Silahi, Imam. 2004. Persepsi Mahasiswa Terhadap Kampanye Partai Politik Pada Pemilu 1999 dan 2004.

Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(6)

Jurnal:

Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1. Dewi, Dyah Adriantini Sintha. 2009. Fenomena Golput Dalam Pemilu. Jurnal

Konstitusi Voll II, No. 1.

Soebagio. 2008. Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di Indonesia.

Website:

www.okezone.com 15 Februari 2014 pukul 09.34 WIB.

http://www.antara.net.id/index.php/2014/01/02/pemilih-pemula-pemilu-2014-potensi-besar-sosialisasi-program-yang-belum-merata/id/ 15 Februari 2014 pukul 10.06 WIB.

www.indonesiamemilih.com 15 Februari 2014 pukul 09.47 WIB.

http://m.liputan6.com/indonesia-baru/read/2034110/belasan-ribu-mahasiswa-di-diy-jadi-golput 10 April 2014 pukul 13.08 WIB.