Strategi Komunikasi Keluarga Dalam Mempertahankan Identitas Etnik Remaja Bali (Studi Pada Remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan)
COMMUNICATIONS STRATEGY IN A FAMILY TO KEEP THE ETHNIC IDENTITY OF BALI’S ADOLESCENTS. (STUDY ON BALI’S ADOLESCENTS AT BATARANILA, HAJIMENA, SOUTH LAMPUNG)
By
FAJRIATI MEUTIA
As the immigrant ethnic in Lampung, Bali ethnics is the minority ethnic in some part of Lampung, one of those is Bataranila housing complex. Bali’s identity is the unique ethnic which is tightly related with hinduism and the culture, that was different with the others ethnic in Bataranila that mostly consist of Islam. The differences of ethnic identity are probably influence the habitual pattern, attitude, values, culture of Bali’s adolescent. The research problems were how the forming process of adolescents ethnic identity and how communications strategy to keep the ethnic identity of Bali’s adolescents. The Purpose of this study were to know a forming process of ethnic identity and communications strategy in a family to keep the ethnic identity of Bali’s adolescents. The basis theory of this study are identity management theory (IMT) by Cupach and Imahori, social identity by Heneri Tajfel and ethnic identity development theory by Phinney. This study used qualitative methods. The results of this study was known that the more adolescents getting older the more ethnic identity of adolescents formed of themselves or in the other word called as a depersonalization process. In maintaining the ethnic identity of Bali’s adolescents, the role of parents were substansial enough to accompanying them and also active to have a communication interpersonal and intracultural to keep the values of ethnic indetity of themselves.
Keywords : Communication Strategy, Family Communication, Bali ethnics, ethnic identity.
(2)
ABSTRAK
STRATEGI KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIK REMAJA BALI (STUDI PADA REMAJA ETNIK BALI DI PERUMAHAN BATARANILA, DESA HAJIMENA LAMPUNG
SELATAN) Oleh
FAJRIATI MEUTIA
Sebagai etnik pendatang di Lampung etnik Bali merupakan etnik minoritas yang tersebar di beberapa daerah di Lampung, salah satunya di perumahan Bataranila desa Hajimena Lampung Selatan. Identitas etnik Bali merupakan etnik unik yang kental dengan nilai agama Hindu dan kebudayaan, berbeda dengan etnik lainnya yang berada di Perumahan Bataranila yang mayoritas beragama Islam. Perbedaan identitas etnik dikhawatirkan berdampak pada perubahan pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya etnik Bali pada remaja Bali. Rumusan masalah Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja dan bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila. Tujuan untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali serta untuk mengatahui strategi dalam komunikasi keluarga untuk mempertahankan identitas etnik remaja Bali. Penelitian ini didukung oleh teori manajemen identitas (IMT) Cupach dan Imahori, identitas sosial oleh Henri Tajfel dan teori perkembangan identitas etnik oleh Phinney. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian adalah diketahui bahwa semakin bertambah usia remaja Bali maka semakin terbentuk identitas etnik pada diri remaja Bali atau disebut dengan proses depersonalisasi. Dalam mempertahankan identitas etnik remaja Bali peran orangtua cukup besar dalam mendampingi dan aktif dalam melakukan interaksi komunikasi antar pribadi dan intrabudaya untuk mempertahankan nilai-nilai etnik Bali di dalam diri remaja Bali
Kata kunci : Strategi Komunikasi, Komunikasi Keluarga, Etnik Bali, Identitas Etnik
(3)
Oleh Fajriati Meutia
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Pada
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG 2015
(4)
Strategi Komunikasi Keluarga Dalam Mempertahankan Identitas Etnik Remaja Bali (Studi Pada Remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten
Lampung Selatan) (Skripsi)
Oleh: Fajriati Meutia
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
(5)
Halaman
(6)
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP MOTTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFATAR ISI DAFTAR BAGAN DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... ... ...1
1.2 Rumusan Masalah ...6
1.3 Tujuan Penelitian ...7
1.4 Manfaat Penelitian ...7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Sebelumnya...9
2.2 Tinjauan Tentang Strategi ...12
2.3 Tinjauan Komunikasi Antar Pribadi ...14
2.3.1 Pengertian Komunikasi Antar Pribadi ...14
2.3.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi Antar Pribadi ...16
2.3.3 Komponen-komponen komunikasi Antar Pribadi ...17
2.4 Tinjauan Komunikasi Keluarga ...19
2.4.1 Tipe-tipe Keluarga ...21
2.5 Tinjauan Identitas Etnik ...26
2.6 Tinjauan Etnik Bali dan Budaya Bali ...27
2.7 Tinjauan Awig-awig...30
2.8 Tinjauan Psikologi Remaja ...31
2.9. Landasan Teori...32
2.9.1Tinjauan Teori Manajemen Identitas ...32
(7)
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian ...46
3.2 Fokus Penelitian ...47
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ...47
3.4 Informan Penelitian...49
3.5 Teknik Pengumpulan Data ...49
3.6 Sumber Data Dalam Penelitian ...51
3.7 Teknik Analisis Data...52
BAB IV GAMABARAN UMUM 4.1 Latar Belakang Perumahan Batranila Dan Lokasi ...55
4.2 Jumlah Penduduk Perumahan Bataranila...56
4.3 Jumlah Penduduk Menurut Umur ...56
4.4 Jumlah Penduduk Menurut Agama ...57
4.5Gambaran Etnis Masyarakat Perumahan Bataranila...58
4.6 Struktur Kepengurusan Perumahan Batranila ...58
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identitas Informan ...61
5.2 Data Informan ...63
5.3 Hasil Wawancara ...65
5.3.1 Hasil Wawancara dasar etnik Bali di perumahan bataranila ...65
5.3.2 Hasil Wawancara pembentukan identitas etnik remaja Bali ...73
5.3.3 Hasil Wawancara strategi pemertahanan identitas etnik remaja Bali...92
5.4 Pembahasan Hasil ...120
5.4.1 Pembahasan pembentukan identitas etnik remaja Bali ...120
5.4.2 Pembahasan strategi pemertahanan identitas etnik remaja Bali...132
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...143
6.2 Saran...145
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(8)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu ...10
Tabel 4.1 Tabel Jumlah Warga di Bataranila ...56
Tabel 4.2 Tabel Usia Warga Bataranila ...56
Tabel 4.3 Tabel Agama Warga Bataranila ...57
Tabel 5.1 Data Informan ...64
Tabel 5.2 Hasil Wawancara proses adaptasi etnik Bali ...65
Tabel 5.3 Hasil Wawancara pemegang awig-awig diperumahan Bataranila ...68
Tabel 5.4 Hasil Wawancara landasan hidup peraturan agama Budaya yang digunaka etnik Bali dalam keseharian...70
Tabel 5.5 Hasil Wawancara relasi etnik Bali dengan alam dilingkungan Bataranila ...71
Tabel 5.6 Hasil Wawancara pada informan remaja Bali tentang pentingnya Identitas etnik pada remaja Bali ...74
Tabel 5.7 Hasil Wawancara pada orangtua tentang pentingnya membentuk identitas etnik remaja Bali...75
Tabel 5.8 Hasil Wawancara pada remaja Bali tentang Pengadopsian identitas etnik pada proses pembentukan identitas etnik remaja Bali ...78
Tabel 5.9 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai proses Pembentukan identitas pada remaja Bali ...82
Tabel 5.10 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai Strategi yang digunakan dalam membentuk Identitas etnik remaja Bali ...84
Tabel 5.11 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai Kedekatan remaja Bali dengan Orangtua dan keluarganya ...88
Tabel 5.12 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai Hal yang memperat hubungan keluarga Beretnik ...90
Tabel 5.13 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai Mempertahankan identitas etnik Bali...93
(9)
Tabel 5.15 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai instensitas Komunikasi remaja Bali dan orangtua dalam
Mengkomunikasikan identitas etnik ...99 Tabel 5.16 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai
Komunikasi keluarga dalam strategi Pemertahanan
identitas etnik remaja Bali oleh orangtua...102 Tabel 5.17 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai
Pentingnya identitas etnik bagi diri remaja Bali ...105 Tabel 5.18 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai
Penunjukan identitas etnik Bali di
Lingkungan tempat tinggalnya...108 Tabel 5.19 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai
Penunjukan identitas etik keluarga Bal
Lingkungan sekitar rumah...112 Tabel 5.20 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai
Tanggapan remaja Bali tentang identitas
Etnik yang dimilikinya ...115 Tabel 5.21 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai
Kerberhasilan strategi yang diterapkan pada
(10)
(11)
(12)
(13)
LAA TAHZAN
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.
” (
QS. Alam Nasyroh: 5)
“
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan
tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap
kali kita jatuh." (Confusius)
Pekerjaan yang paling mulia adalah mengukir
senyuman bahagia di bibir kedua orangtua dan
meringkangkan bebannya.
(14)
PERSEMBAHAN
Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan hidayahnya, saya dapat menyelesaikan karya tulisku yang pertama ini. Dengan penuh syukur, bangga dan bahagia kupersembahkan karya kecilku ini
untuk:
Mamaku dan ayahku tercinta yang selalu kusayangi dan ku hormati di sepanjang hidupku
Adiku tercinta dan satu-satunya yang selalu ku sayangi Nadira Meutia Serta saudara, sahabat dan teman-teman yang ku sayangi
Semoga karya kecilku ini berguna bagi banyak orang dan bukan menjadi karya tulisku yang terakhir, melainkan menjadi awal dari karya-karyaku lainnya dimasa
(15)
Penulis memiliki nama lengkap Fajriati Meutia. Dilahirkan di Lampung, pada tanggal 2 September 1993. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan drh. Azhar dan Mailani, SH. Menempuh pendidikan di TK Pembina Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, SDN 003 Tarakan Kalimantan Timur, SMP Al-Kautsar Bandar Lampung, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung. Menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung pada tahun 2011. Selama kuliah aktif sebagai anggota HMJ Ilmu Komunikasi. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Bumi Asih, Palas, Lampung Selatan pada Januari 2014 dan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Lampung pada bulan Agustus 2014.
(16)
SANWACANA
Alhamdulillahhirobbil’alamin. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan karunia, berkah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan semangat. Skripsi ini dapat diselesaikan tidak semata hanya berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penulisi. Tanpa adanya dukungan, motivasi, bantuan dan semangat dari berbagai pihak tidak mungkin skripsi ini bisa terselesaikan, maka dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, Selaku dekan Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Komunikasi.
3. Ibu Dr. Nina Yudha Aryanti, S.Sos, M.Si. selaku dosen pembimbing dan pembimbing akademik, yang senantiasa meluangkan waktunya untuk sabar membimbing saya, bertukar pikiran, berbagi banyak ilmu yang bermanfaat. Saya sangat berterimakasih bu, atas ilmu, bimbingan, semangat dan motivasinya selama ini.
(17)
yang membangun guna perbaikan skripsi saya menjadi lebih baik lagi.
5. Kedua orang tuaku tercinta, Azhar & Mailani, serta adikku tersayang Nadira Meutia. Ku ucapkan terimakasih dari hati yang paling dalam atas doa dan dukungan semangat penuh cinta yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini, aku sayang ayah, mama dan dek Dira.
6. Almarhumah nenek ku tersayang, nenek Jalisah yang sempat menemaniku pada saat mengerjakan skripsi ini, walaupun dalam kondisi sakit tetap memberikan doa dan dukungan dengan senyuman cantiknya, semoga nenek bahagia disana bersama atok.
7. Mbak Lena dan Dila tersayang, terimakasih atas bantuan, doa dan semangatnya buatku selama mengerjakan skripsi ini, selalu siap mendengarkan keluh kesahku, dan motivasi yang bermanfaat buatku, Love you sist.
8. Sahabat SMA tersayang Fatwa, Mizaany, Tanty, Annisa Ika, Lera, Yosi, dan Puraka terimakasih atas doa, dukungannya, dan waktunya yang selalu siap kapanpun dibutuhkan, aku sayang kalian semoga kita sukses semuanya amin.
9. Yang tersayang cuyung-cuyungkuh Ayu, Hesti, Mayang, Lidya, Pipit, Ida, Ade, Fikri, Syahid Dan Reza makasih yah untuk semangat, doa, bantuanya, dan hiburan yang menyenangkan selama kuliah ini, selalu ada
(18)
kapanpun dan dimanapun makasih yah bantuannya selama ini, aku sayang kalian.
10. Temen-temen komsebelas Cita, Imel, Arum, Tere, Amel, Apin, Bowo, Aji, Bang Jaya, Fajri, Manda, Bayu, Rizal, Yessy, Riksa, Riski, Hamham, Ami, Ayu Agustina, Alif, Dimas, Novian, Fahriadli, Imam, Prita, Mifta, Rizka, Fitri, Uwi, Adel, Hilda, Inka, Yazid, Day, Ageta, Sartika, Arta, Okta, Diki, Nanang, Gigih, Yoga, Pije, Irwin, Sade, Meta, Satya, Shela, Teddy, Metal, Ricky, Wahyu Eka, Vio, Uti, dan seluruh komsebelas yang sudah banyak membantu selama masa perkuliahan dan masa-masa skripsi kita yang makin akrab banget karena sering banget nungguin dosen bareng dan berbagi informasi, terimakasih untuk masa kuliah yang paling seru
11. Keluarga KKN Desa Bumi Asih tahun 2011 Dina, Audi, Felis, Dian, Epi, Eka, kak Egi, kak Edi dan kak Ekin. Terimakasih sudah menjadi orang terdekat yang siap bahu membahu memberi pertolongan, kasih sayang, dan kehangatan selayaknya keluarga, semoga kita selalu menjadi satu keluarga yang hangat yang saling berbagi rasa sayang.
12. Kakak-kakak komunikasi, terutama untuk kak Dendi, mba Rina, dan Ahong, yang mau direpotkan dengan berbagi informasi dan pengalaman selama proses perkuliahan dan skripsi
13. Adik-adik komunikasi 2012, 2013, 2014, 2015, dst. terimakasih untuk dukungan semangatnya selama ini, semoga kalian menjadi generasi yang penuh akan semangat
(19)
untuk penelitian ini terima kasih sudah ikut mendukung saya
15. Untuk orang-orang di sekeliling saya, yang tak bisa saya sebutkan satu-satu yang telah memberikan semangat dan doa untuk kelancaran saya dalam mengerjakan skripsi ini saya ucapkan terimakasih semoga Allah membalas kebaikan kalian semua dengan rahmat dan berkah dari Allah SWT amin.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semuan, amin.
Bandarlampung, 17 Desember 2015
(20)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera, tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut membuat Lampung pada masa pemerintahan terdahulu sering didatangi oleh para pedagang-pedagang yang berasal dari luar daerah Lampung, seperti daerah Pulau jawa dan daerah-daerah lainya yang ada di Indonesia. Lampung yang berada di ujung pulau Sumatera dahulunya di jadikan tujuan transmigrasi penduduk yang berasal dari pulau Jawa dan pulau Bali. Program Transmigrasi tersebut membuat etnik Jawa dan Bali sering di jumpai di daerah Lampung, dan begitu juga dengan etnik Bali yang memiliki ciri khusus dan unik tersendiri dibanding dengan etnik lainnya di daerah Lampung.
Awal mula kedatangan etnik Bali di daerah Provinsi Lampung diawali dari program pemerintah yaitu transmigrasi, yang diadakan oleh pemerintah pada tahun 1953 hingga puncaknya yaitu pada tahun 1963. Pada saat Gunung Agung yang berlokasi di daerah kepulauan Bali meletus sebanyak dua kali pada 17 Maret dan 16 Mei 1963, yang mengakibatkan kerusakan di daerah tersebut seperti gagal
(21)
panen dan kelaparan yang disebabkan oleh rusaknya sawah-sawah di kawasan meledaknya gunung tersebut dan krisis ekonomi sosial yang akhirnya menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Peristiwa meledaknya Gunung Agung tersebut menjadi momen terpenting bagi masyarakat Bali Nusa yang berada di Nusa Penida untuk bertransmigrasi ke Lampung, yang merupakan daerah Sumatera bagian selatan (Wirawan,A.A 2008: 32). Masyarakat Bali Nusa merupakan kalangan etnik Bali yang sudah terbiasa untuk melakukan transmigrasi, pada saat itu masyarakat Bali Nusa terpaksa melakukan transimgrasi karena terkena imbas dari meletusnya Gunung Agung. Saat itu etnik Bali kekurangan pasokan bahan pangan dari daerah pusat yang berada di kawasan sekitaran Gunung Agung, Hal tersebut membuat masyarakat Bali Nusa juga mengikuti program transmigrasi bersama masyarakat Bali Agung ke daerah Lampung.
Pada saat itu mereka sudah merasa yakin untuk bertransmigrasi ke Lampung, faktor alam yang mendukung di daerah Lampung. Ekonomi dan faktor lainnya yang tak kalah penting yaitu adanya kerabat-kerabat yang telah berada di Lampung setelah transmigrasi pertama pada tahun 1953. Berbekal surat jalan dan contact person para transmigrasi Bali Nusa bertransmigrasi ke tanah Sumatera. Saat itu daerah yang dituju yaitu daerah Seputih Raman (Lampung Tengah), dan Sidomulyo (Lampung Selatan) yang pada saat itu adalah lokasi terdekat dari pelabuhan Panjang. Pada tahun 1968 munculah desa Balinuraga yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan, yang berawal dari banjar yang dikembangkan. Kemudian pada tahun 1970 situasi etnik Bali di kawasan Balinuraga mulai membaik mulai dari segi ekonomi dan sosial. Mereka bisa pulang kampung ke
(22)
3
daerah asal yaitu Bali Nusa untuk mengajak keluarga bertransmigrasi ke daerah Lampung.
Pada tahun 1980 juga Etnik Bali yang bertempat di Desa Balinuraga mulai bertransimgrasi keluar dari desa Balinuraga ke daerah Lampung Timur dan Sumatera Selatan (perbatasan Lampung). Masyarakat etnik Bali yang bertransmigrasi keluar dari desa Balinuraga memiliki alasan yang mendasari perpindahan tersebut diantaranya adalah lapangan pekerjaan, lingkungan tempat tinggal dan alasan lainya. Awalnya warga Bali hanya ada di tiga Kabupaten di Lampung. Kini warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Lampung dan jumlah total warga beretnik Bali di Lampung kini mencapai 1,1 juta lebih dan saat ini sudah masuk generasi yang ketiga. Jumlah warga Bali terbesar ada di Lampung Tengah, menyusul Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di Lampung Selatan memiliki beberapa titik daerah yang ditinggali oleh masyarakat etnik Bali salah satunya Perumahan Bataranila yang berada di kecamatan Natar, dusun Hajimena.
Hasil data prariset menunjukan bahwa masyarakat Bali di perumahan Bataranila hanya berjumlah 106 orang dari 2.097 jiwa. Masyarakat perumahan Bataranila, dari 106 orang beretnik Bali, dikelompokan menjadi 20 keluarga etnik Bali di Perumahan Bataranila yang termasuk ke dalam kelompok minoritas, karena Perumahan Bataranila ditinggali oleh masyarakat dari berbagai budaya. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila berbaur dengan masyarakat lainnya disekitar lingkungannya, begitu juga dengan remaja beretnik Bali. Hal itu membuat identitas etnik remaja Bali di Perumahan Bataranila dipengaruhi oleh kebudayaan lainnya yang berada di perumahan
(23)
Bataranila. Banyaknya pengaruh dari luar etnik Bali membuat kekhawatiran akan memudarnya identitas etnik remaja Bali di perumahan Bataranila, dan dapat berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya masyarakat Bali. Bataranila merupakan perumahan yang sudah mulai menganut sistem modern di dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berbeda jauh dengan ciri khas etnik Bali yang selalu menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan kebudayaan yang berasal dari etnik mereka dan diturunkan dari leluhur etnik Bali.
Penelitian ini tertuju pada keluarga asli beretnik Bali yang terdiri dari, Ayah dan Ibu, serta anak berusia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan waktu dimana masa pencarian identitas dimulai. Pengertian identitas sendiri secara umum adalah gambaran diri seseorang. Identitas juga terbagi dalam berbagai bentuk salah satunya adalah identitas etnik. Spencer dan Dornbusch dalam Papalia (2008: 593) menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan sesuatu yang rumit dan membingungkan bagi remaja kelompok minoritas. Perbedaan bahasa, dan stereotip kedudukan sosial dapat sangat mempengaruhi dalam membentuk konsep diri remaja minoritas.
Etnik Bali merupakan etnik yang membagi kalangan mereka ke dalam empat jenis kasta yang dibagi sesuai dengan garis keturunan. Kasta tersebut terbagi atas; kasta Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisya, kasta Sudra. Dalam penelitian ini, kasta yang dimiliki oleh subyek penelitian adalah kasta Sudra yang lebih dominan terdapat di Bali, dan kelas sosial yang paling rendah di dalam sistem kasta di Bali. Kasta Sudra biasa dimiliki oleh orang Bali yang memiliki nama berawalan I
(24)
5
untuk awalan nama laki-laki dan Ni untuk awalan nama perempuan, setelah itu baru diikuti nama Wayan, Made, Nyoman, Putu dan Ketut.
Remaja Bali dalam mempertahankan identitas etniknya memerlukan peran keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan pendidikan pertama bagi anak hingga berkembang menjadi remaja kemudian dewasa. Keluarga berperan untuk memperkokoh nilai spritual dan budaya seperti halnya dengan etnik Bali di Perumahan Bataranila lakukan dalam mempertahankan identitas etnik remajanya. Peran anggota keluarga yang paling berpengaruh dalam mempertahankan identitas etnik remaja adalah peran ayah dan ibu.
Strategi diperlukan bagi orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya, karena dengan adanya strategi diharapkan mudah bagi orangtua untuk mengenalkan, menanamkan dan menganjarkan nilai-nilai budaya etnik, yang identik dengan nilai religi sebagai dasar budaya. Orangtua beretnik Bali akan membentuk identitas etnik remaja Bali dengan proses komunikasi dalam keluarga. Keberhasilan peran orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Dengan strategi ini, tujuan keluarga atau orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anak akan lebih mudah untuk dicapai.
Mempertahankan identitas etnik minoritas di dalam suatu lingkungan yang memiliki keberagaman budaya bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dengan adanya strategi diharapkan mampu untuk tetap menjaga identitas etnik remaja Bali dan juga keluarga beretnik Bali. Sehingga remaja-remaja Bali dapat
(25)
mengenal dan mempertahankan identitas etnik Balinya dan dapat melestarikan budaya Bali sebagai salah satu budaya yang memiliki keunikan tersendiri di Indonesia.
Peneliti memilih Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila merupakan kelompok etnik minoritas dibanding dengan lingkungan tempat tinggal Etnik Bali lainnya. Di daerah sekitar perumahan Bataranila seperti daerah Bandarlampung, hasil survei menunjukan bahwa etnik Bali di daerah Bandarlampung mayoritas tersebar di daerah Labuhan Dalam dan Wayhalim. Wilayah Labuhan Dalam dan Wayhalim sudah memiliki banjar (Desa adat Bali atau Perkumpulan etnik Bali) sendiri, sedangkan etnik Bali di Perumahan Bataranila belum membentuk banjar. sehingga butuh strategi bagi keluarga beretnik Bali di perumahan Bataranila untuk mempertahankan identitasnya di lingkungan masyarakat dengan beragam budaya. Bataranila juga sudah menganut sistem kehidupan modern sehingga masyarakat sudah mulai meninggalkan kebudayaan dalam kehidupannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan ?
(26)
7
2. Bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan ?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
2. Untuk mengetahui strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
1.1 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu strategi komunikasi dalam keluarga dan pemertahanan identitas etnik.
2. Secara Praktis
a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi dalam keluarga dan komunikasi antarpribadi.
(27)
b) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada tingkat srata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.
3. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.
(28)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera, tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut membuat Lampung pada masa pemerintahan terdahulu sering didatangi oleh para pedagang-pedagang yang berasal dari luar daerah Lampung, seperti daerah Pulau jawa dan daerah-daerah lainya yang ada di Indonesia. Lampung yang berada di ujung pulau Sumatera dahulunya di jadikan tujuan transmigrasi penduduk yang berasal dari pulau Jawa dan pulau Bali. Program Transmigrasi tersebut membuat etnik Jawa dan Bali sering di jumpai di daerah Lampung, dan begitu juga dengan etnik Bali yang memiliki ciri khusus dan unik tersendiri dibanding dengan etnik lainnya di daerah Lampung.
Awal mula kedatangan etnik Bali di daerah Provinsi Lampung diawali dari program pemerintah yaitu transmigrasi, yang diadakan oleh pemerintah pada tahun 1953 hingga puncaknya yaitu pada tahun 1963. Pada saat Gunung Agung yang berlokasi di daerah kepulauan Bali meletus sebanyak dua kali pada 17 Maret dan 16 Mei 1963, yang mengakibatkan kerusakan di daerah tersebut seperti gagal
(29)
panen dan kelaparan yang disebabkan oleh rusaknya sawah-sawah di kawasan meledaknya gunung tersebut dan krisis ekonomi sosial yang akhirnya menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Peristiwa meledaknya Gunung Agung tersebut menjadi momen terpenting bagi masyarakat Bali Nusa yang berada di Nusa Penida untuk bertransmigrasi ke Lampung, yang merupakan daerah Sumatera bagian selatan (Wirawan,A.A 2008: 32). Masyarakat Bali Nusa merupakan kalangan etnik Bali yang sudah terbiasa untuk melakukan transmigrasi, pada saat itu masyarakat Bali Nusa terpaksa melakukan transimgrasi karena terkena imbas dari meletusnya Gunung Agung. Saat itu etnik Bali kekurangan pasokan bahan pangan dari daerah pusat yang berada di kawasan sekitaran Gunung Agung, Hal tersebut membuat masyarakat Bali Nusa juga mengikuti program transmigrasi bersama masyarakat Bali Agung ke daerah Lampung.
Pada saat itu mereka sudah merasa yakin untuk bertransmigrasi ke Lampung, faktor alam yang mendukung di daerah Lampung. Ekonomi dan faktor lainnya yang tak kalah penting yaitu adanya kerabat-kerabat yang telah berada di Lampung setelah transmigrasi pertama pada tahun 1953. Berbekal surat jalan dan contact person para transmigrasi Bali Nusa bertransmigrasi ke tanah Sumatera. Saat itu daerah yang dituju yaitu daerah Seputih Raman (Lampung Tengah), dan Sidomulyo (Lampung Selatan) yang pada saat itu adalah lokasi terdekat dari pelabuhan Panjang. Pada tahun 1968 munculah desa Balinuraga yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan, yang berawal dari banjar yang dikembangkan. Kemudian pada tahun 1970 situasi etnik Bali di kawasan Balinuraga mulai membaik mulai dari segi ekonomi dan sosial. Mereka bisa pulang kampung ke
(30)
3
daerah asal yaitu Bali Nusa untuk mengajak keluarga bertransmigrasi ke daerah Lampung.
Pada tahun 1980 juga Etnik Bali yang bertempat di Desa Balinuraga mulai bertransimgrasi keluar dari desa Balinuraga ke daerah Lampung Timur dan Sumatera Selatan (perbatasan Lampung). Masyarakat etnik Bali yang bertransmigrasi keluar dari desa Balinuraga memiliki alasan yang mendasari perpindahan tersebut diantaranya adalah lapangan pekerjaan, lingkungan tempat tinggal dan alasan lainya. Awalnya warga Bali hanya ada di tiga Kabupaten di Lampung. Kini warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Lampung dan jumlah total warga beretnik Bali di Lampung kini mencapai 1,1 juta lebih dan saat ini sudah masuk generasi yang ketiga. Jumlah warga Bali terbesar ada di Lampung Tengah, menyusul Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di Lampung Selatan memiliki beberapa titik daerah yang ditinggali oleh masyarakat etnik Bali salah satunya Perumahan Bataranila yang berada di kecamatan Natar, dusun Hajimena.
Hasil data prariset menunjukan bahwa masyarakat Bali di perumahan Bataranila hanya berjumlah 106 orang dari 2.097 jiwa. Masyarakat perumahan Bataranila, dari 106 orang beretnik Bali, dikelompokan menjadi 20 keluarga etnik Bali di Perumahan Bataranila yang termasuk ke dalam kelompok minoritas, karena Perumahan Bataranila ditinggali oleh masyarakat dari berbagai budaya. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila berbaur dengan masyarakat lainnya disekitar lingkungannya, begitu juga dengan remaja beretnik Bali. Hal itu membuat identitas etnik remaja Bali di Perumahan Bataranila dipengaruhi oleh kebudayaan lainnya yang berada di perumahan
(31)
Bataranila. Banyaknya pengaruh dari luar etnik Bali membuat kekhawatiran akan memudarnya identitas etnik remaja Bali di perumahan Bataranila, dan dapat berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya masyarakat Bali. Bataranila merupakan perumahan yang sudah mulai menganut sistem modern di dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berbeda jauh dengan ciri khas etnik Bali yang selalu menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan kebudayaan yang berasal dari etnik mereka dan diturunkan dari leluhur etnik Bali.
Penelitian ini tertuju pada keluarga asli beretnik Bali yang terdiri dari, Ayah dan Ibu, serta anak berusia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan waktu dimana masa pencarian identitas dimulai. Pengertian identitas sendiri secara umum adalah gambaran diri seseorang. Identitas juga terbagi dalam berbagai bentuk salah satunya adalah identitas etnik. Spencer dan Dornbusch dalam Papalia (2008: 593) menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan sesuatu yang rumit dan membingungkan bagi remaja kelompok minoritas. Perbedaan bahasa, dan stereotip kedudukan sosial dapat sangat mempengaruhi dalam membentuk konsep diri remaja minoritas.
Etnik Bali merupakan etnik yang membagi kalangan mereka ke dalam empat jenis kasta yang dibagi sesuai dengan garis keturunan. Kasta tersebut terbagi atas; kasta Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisya, kasta Sudra. Dalam penelitian ini, kasta yang dimiliki oleh subyek penelitian adalah kasta Sudra yang lebih dominan terdapat di Bali, dan kelas sosial yang paling rendah di dalam sistem kasta di Bali. Kasta Sudra biasa dimiliki oleh orang Bali yang memiliki nama berawalan I
(32)
5
untuk awalan nama laki-laki dan Ni untuk awalan nama perempuan, setelah itu baru diikuti nama Wayan, Made, Nyoman, Putu dan Ketut.
Remaja Bali dalam mempertahankan identitas etniknya memerlukan peran keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan pendidikan pertama bagi anak hingga berkembang menjadi remaja kemudian dewasa. Keluarga berperan untuk memperkokoh nilai spritual dan budaya seperti halnya dengan etnik Bali di Perumahan Bataranila lakukan dalam mempertahankan identitas etnik remajanya. Peran anggota keluarga yang paling berpengaruh dalam mempertahankan identitas etnik remaja adalah peran ayah dan ibu.
Strategi diperlukan bagi orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya, karena dengan adanya strategi diharapkan mudah bagi orangtua untuk mengenalkan, menanamkan dan menganjarkan nilai-nilai budaya etnik, yang identik dengan nilai religi sebagai dasar budaya. Orangtua beretnik Bali akan membentuk identitas etnik remaja Bali dengan proses komunikasi dalam keluarga. Keberhasilan peran orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Dengan strategi ini, tujuan keluarga atau orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anak akan lebih mudah untuk dicapai.
Mempertahankan identitas etnik minoritas di dalam suatu lingkungan yang memiliki keberagaman budaya bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dengan adanya strategi diharapkan mampu untuk tetap menjaga identitas etnik remaja Bali dan juga keluarga beretnik Bali. Sehingga remaja-remaja Bali dapat
(33)
mengenal dan mempertahankan identitas etnik Balinya dan dapat melestarikan budaya Bali sebagai salah satu budaya yang memiliki keunikan tersendiri di Indonesia.
Peneliti memilih Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila merupakan kelompok etnik minoritas dibanding dengan lingkungan tempat tinggal Etnik Bali lainnya. Di daerah sekitar perumahan Bataranila seperti daerah Bandarlampung, hasil survei menunjukan bahwa etnik Bali di daerah Bandarlampung mayoritas tersebar di daerah Labuhan Dalam dan Wayhalim. Wilayah Labuhan Dalam dan Wayhalim sudah memiliki banjar (Desa adat Bali atau Perkumpulan etnik Bali) sendiri, sedangkan etnik Bali di Perumahan Bataranila belum membentuk banjar. sehingga butuh strategi bagi keluarga beretnik Bali di perumahan Bataranila untuk mempertahankan identitasnya di lingkungan masyarakat dengan beragam budaya. Bataranila juga sudah menganut sistem kehidupan modern sehingga masyarakat sudah mulai meninggalkan kebudayaan dalam kehidupannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan ?
(34)
7
2. Bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan ?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
2. Untuk mengetahui strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
1.1 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu strategi komunikasi dalam keluarga dan pemertahanan identitas etnik.
2. Secara Praktis
a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi dalam keluarga dan komunikasi antarpribadi.
(35)
b) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada tingkat srata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.
3. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.
(36)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tinjauan pustaka harus mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam pendekatan permasalahan penelitian seperti teori, konsep-konsep, analisa, kesimpulan, kelemahan, dan keunggulan pendekatan yang dilakukan orang lain. Peneliti diharapkan belajar dari peneliti lain, untuk menghindari duplikasi dan pengulangan penelitian atau kesalahan yang sama seperti yang dibuat oleh peneliti sebelumnya.
Penelitian sebelumnya berjudul Negosiasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim dan Kelompok Etnisnya Dalam Interaksi Antarbudaya. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2014. Akan tetapi penelitian sebelumnya memfokuskan pemaknaan dan pengalaman Tionghoa muslim terhadap identitas kulturalnya, dan bagaimana pengalaman menegosiasikannya. Adapun keterangan dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
(37)
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
1. Judul Negosiasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim Dan Kelompok Etnisnya dalam Interaksi Antarbudaya Penulis Isti Murfia
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponogoro, 2004
Hasil Menunjukkan bahwa proses negosiasi identitas kultural yang terjadi dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengungkapkan dirinya. Pengungkapan individu dalam proses menuju negosiasi identitas juga dipengaruhi faktor pengungkapan diri itu sendiri, seperti: besar kelompok, topik, dan jenis kelamin. Kemudian, faktor kondisi dari intercultural communication ini, seperti kecenderungan interaksi dan pemahaman (lebih) terhadap suatu hal, ikut serta memengaruhi penunjukkan identitas kultural. Selain itu, kecenderungan informan dalam penelitian ini memiliki upaya pengolahan stereotip melalui sikap proaktif, sehingga memberikan pemahaman yang cukup baik dalam memaknai Islam, kultural Tionghoa, dan posisi diri mereka masing-masing. Akhirnya, pemahaman tersebut membantu mereka dalam proses negosiasi identitasnya sesuai dengan tujuan yang mereka harapkan. Di antara ketiga kategori tujuan yang diungkapkan Orbe dalam Co Cultural Theory, menunjukkan bahwa kedua informan Tionghoa muslim berhasil mencapai tujuan akomodasi, satu informan Tionghoa muslim memilih tujuan asimilasi, dan satu informan lainnya menetapkan tujuannya. Kemudian, hal yang dianggap sebagai penyebab terhambatnya negosiasi.
(38)
11
Deskripsi Penelitian :
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pemaknaan dan pengalaman Tionghoa muslim terhadap identitas kulturalnya.
2. Bagaimana pengalaman menegosiasikannya.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah tipe kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang berupaya menjelaskan proses pengalaman Tionghoa muslim dalam menegosiasikan identitas kulturalnya dengan kelompok etnisnya. Penelitian ini juga didukung oleh Teori Pengelolaan Identitas, Teori Negosiasi Identitas dari Stella Ting - Toomey, dan Co Cultural Theory. Selain ketiga teori tersebut, terdapat penambahan konsep yaitu pengungkapan diri. Informan dalam penelitian ini, terdiri dari Tionghoa muslim dan Tionghoa non muslim.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses negosiasi identitas kultural yang terjadi dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengungkapkan dirinya. Pengungkapan individu dalam proses menuju negosiasi identitas juga dipengaruhi faktor pengungkapan diri itu sendiri, seperti: besar kelompok, topik, dan jenis kelamin. Kemudian, faktor kondisi dari intercultural communication ini, seperti kecenderungan interaksi dan pemahaman (lebih) terhadap suatu hal, ikut serta memengaruhi penunjukkan identitas kultural. Selain itu, kecenderungan informan dalam penelitian ini memiliki upaya pengolahan stereotip melalui sikap proaktif, sehingga memberikan pemahaman yang cukup baik dalam memaknai Islam, kultural Tionghoa, dan posisi diri mereka masing-masing.
(39)
Akhirnya, pemahaman tersebut membantu mereka dalam proses negosiasi identitasnya sesuai dengan tujuan yang mereka harapkan. Di antara ketiga kategori tujuan yang diungkapkan Orbe dalam Co Cultural Theory, menunjukkan bahwa kedua informan Tionghoa muslim berhasil mencapai tujuan akomodasi. Satu informan Tionghoa muslim memilih tujuan asimilasi, dan satu informan lainnya menetapkan tujuannya ke separasi. Kemudian, hal yang dianggap sebagai penyebab terhambatnya negosiasi tidak terlalu memengaruhi karena minimnya interaksi di antara kedua belah pihak.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada jenis teori yang digunakan dimana menggunakan teori pengelolan identitas atau teori manajemen identitas. walaupun berbeda pelopornya karena dalam penelitian ini peneliti lebih memilih teori pengelolaan identitas Imahori sebagai landasan teori peneliti yaitu etnik remaja Bali yang berada dalam kondisi lingkungan etnik minoritas.
2.2 Tinjauan Tentang Strategi
Strategi memiliki beberapa pengertian, seperti yang dijelaskan oleh beberapa para ahli pada bukunya. Pada dasarnya kata strategi berasal dari kata strategos dalam bahasa Yunani merupakan kata gabungan dari katastratosatau tentara denganego atau pemimpin. Strategi memiliki landasan atau rancangan untuk mencapai sasaran yang dituju atau diinginkan. Pada dasarnya strategi dapat diartikan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan sentral strategi komunikasi R. Wayne Pace dalam (Effendy, 1990: 32) terdiri atas tiga tujuan utama yaitu
(40)
13
pertama adalahto secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti dan menerima pesan yang disampaikan. Jika komunikan sudah dapat mengerti dan menerima, maka penerimaan itu harus dibina( to establish acceptance). Pada akhirnya kegiatan di dimotivasikan(to motivate action).
Effendy (2000: 30) mengatakan bahwa kaitan antara strategi dengan sistem komunikasi, jika kita membicarakan sistem komunikasi maka hal itu berkaitan dengan sistem masarakat dan berbicara tentang manusia. Oleh sebab itu pendekatannya dilakukan secara makro dan mikro baik prosesnya secara vertikal maupun secara horizontal. Secara Makro sistem komunikasi menyangkut sistem pemerintahan dan secara mikro menyangkut dengan nilai kelompok. Yang dimaksud dengan sistem komunikasi mikro horizontal adalah komunikasi sosial antar manusia dalam tingkatan status sosial yang hampir sama dan terjadi dalam unit-unit yang relatif kecil. Lebih Lanjut, strategi komunikasi, baik secara makro (planned multi-media strategy) maupun secara mikro (single communication medium strategy) mempunyai fungsi ganda yaitu :
1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil optimal.
2. Menjembatani “cultural gap” akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya.
Dalam perumusan strategi, khalayak memiliki kekuatan penangkal yang bersifat psikologi dan sosial bagi setiap pengaruh yang berasal dari luar diri dan
(41)
kelompoknya. Di samping itu khalayak, tidak hanya dirangsang oleh hanya satu pesan saja melainkan banyak pesan dalam waktu yang bersamaan. Artinya, terdapat juga kekuatan pengaruh dari pesan-pesan lain yang datang dari sumber (komunikator) lain dalam waktu yang sama, maupun sebelum dan sesudahnya. Dengan demikian pesan yang diharapkan menimbulkan efek atau perubahan pada khalayak bukanlah satu-satunya kekuatan, melainkan, hanya satu di antara semua kekuatan pengaruh yang bekerja dalam proses komunikasi, untuk mencapai efektivitas yang dituju. Hal ini mengartikan pesan sebagai satu-satunya yang dimiliki oleh komunikator yang harus mampu mengungguli semua kekuatan yang ada untuk menciptakan efektivitas. Kekuatan pesan ini, dapat didukung oleh metode penyajian, media dan kekuatan kepribadian komunikator sendiri.
2.3 Tinjauan Komunikasi Antarpribadi 2.3.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilakukan oleh dua orang dengan tujuan untuk menyampaikan informasi secara langsung. Dalam komunikasi antarpribadi orang yang terlibat di dalamnya memilki ikatan yang dekat. Komunikasi antarpribadi juga merupakan komunikasi utama yang menggambarkan individu yang saling terlibat bergantungan satu sama lain dan memiliki pengalaman yang sama. Mulyana (2003: 24) menyatakan bahwa komunikasi antara pribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun non-verbal. Komunikasi antarpribadi merupakan proses sosial yang dimana individu-individu yang terlibat didalam saling
(42)
15
mempengaruhi. Devito dalam Liliweri (1991:13) mengungkapkan komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan yang Balik yang bersifat langsung (Liliweri, 1991: 13).
Komunikasi antarpribadi sering disebut juga dengan dyadic communication yang dimaksud adalah komunikasi antara dua orang, dimana terjadi kontak dalam bentuk percakapan. Komunikasi antara pribadi juga bisa terjadi secara tatap muka (face to face) atau dapat juga melalui media telepon. Ciri khas dari komunikasi antarpribadi adalah sifatnya yang dua arah atau timbal Balik (two ways communication). Komunikasi antarpribadi melalui tatap muka mempunyai suatau keuntungan dimana melibatkan prilaku non-verbal, ekspresi fasial, jarak fisik, prilaku paralinguistik yang sangat menentukan jarak sosial dan keakraban (Liliweri, 1991: 67).
Fungsi dan tujuan dari komunikasi antarpribadi untuk berusaha meningkatkan hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian serta berbagai pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2004: 33). Dengan melakukan komunikasi antarpribadi manusia dapat membina dan meningkatkan hubungan yang baik dengan individu lainnya. Fungsi komunikasi antarpribadi berpeluang sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna karena komunikasi tatap muka (face to face) membuat individu yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi menjadi lebih akrab dengan sesamanya berbeda dengan komunikasi melalui media. Komunikasi antarpribadi juga dipengaruhi oleh persepsi antarpribadi, konsep diri, atraksi
(43)
antarpribadi, dan hubungan antarpribadi. Komunikasi dianggap efektif apabila jika orang lain memahami pesan yang disampaikan dengan benar, dan memberikan respon sesuai dengan yang komunikator inginkan, komunikasi yang efektif berfungsi sebagai membentuk dan menjaga hubungan baik antara individu, menyampaikan pengetahuan atau informasi, mengubah sikap dan prilaku, pemecah masalah dalam hubungan manusia, dan jalan menuju sukses. Dalam semua aktivitas tersebut esensi komunikasi interpersonal yang berhasil proses saling berbagi (sharing) informasi yang menguntungkan kedua belah pihak yaitu komunikan dan komunikator (Suranto Aw, 2011: 80).
Dari definisi yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang paling efektif. Dalam mengubah sikap, pendapat, dan prilaku seseorang, hal ini disebabkan oleh komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang dialogis atau adanya timbal Balik yang secara langsung.
2.3.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi Antarpribadi
Dalam (Suranto Aw, 2011: 93) bentuk dari komunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang sebagai media penyampaian pesan, yaitu:
1. Lambang verbal, biasanya berbentuk dalam bentuk bahasa, dengan bahasa komunikator dapat menyampaikan sebuah pesan yang berupa informasi, dan isi pemikirannya semua hal yang telah terjadi, yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi dengan baik kepada komunikannya.
2. Lambang non verbal, lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang berupa isyarat dengan menggunakan anggota tubuh seperti mata, jari dan
(44)
17
lainnya. Contohnya seperti gerak gerik tubuh, lirikan mata dan lainnya. Pada dasarnya dengan isyarat non verbal
3. seseorang individu dapat memahami orang lain yang takut berbicara dan menulis bahasanya untuk menyatakan sesuatu tentang dirinya.
2.3.3 Komponen-Komponen Komunikasi Antarpribadi
Menurut (Suranto, 2011: 7-9) komponen-komponen komunikasi antarpribadi dikemukakan dari suatu asumsi bahwa proses komunikasi antarpribadi akan terjadi apabila ada pengirim yang menyampaikan pesan informasi berupa lambang verbal maupun non verbal kepada penerima dengan menggunakan medium suara manusia (human voice), maupun dengan medium tulisan. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut terdapat komponen-komponen komunikasi secara intergratif saling berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri, yaitu adalah:
1. Sumber atau komunikator, yaitu orang yang mempunyai kebutuhan untuk melakukan komunikasi, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain. Dalam konteks komunikasi antarpribadi komunikator adalah individu yang menciptakan, memfokuskan dan menyampaikan pesan.
2. Encoding adalah suatu aktivitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan non-verbal. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran ke dalam simbol-simbol, kata-kata, dan lainnya sehingga komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaiannya.
(45)
3. Pesan adalah hasil dari encoding. pesan merupakan seperangkat simbol-simbol baik verbal maupun non verbal atau gabungan keduanya. Pesan merupakan unsur yang sangat penting yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
4. Saluran merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima. Dalam komunikasi antarpribadi penggunaan saluran atau media komunikasi dilakukan jika kondisi tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya komunikasi tatap muka. Pada prinsipnya sepanjang masih dimungkinkan untuk dilaksanakan komunikasi secara tatap muka, maka komunikasi tatap muka lebih efektif.
5. Penerima/komunikan adalah seseorang yang menerima, memahami dan menginterprestasi pesan. Dalam komunikasi antarpribadi komunikan bersifat aktif. Selain menerima pesan juga melakukan interaksi dan memberikan umpan Balik. Berdasarkan umpan Balik inilah kita dapat menilai keefektifan komunikasi antarpribadi tersebut.
6. Decoding merupakan kegiatan internal dalam penerima. Melalui indranya penerima mendapatkan bermacam-macam data dalam bentuk mentah, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna secara bertahap.
7. Respon yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral dan negatif. Respon positif apabila di sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator, respon netral adalah respon tersebut tidak menolak atau
(46)
19
tidak menerima keinginan komunikator dan respon negatif apabila bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator
8. Gangguan (noise) merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk hal yang bersifat fisik dan psikis.
9. Konteks komunikasi, konteks komunikasi terbagi dalam tiga dimensi yaitu ruang, waktu dan nilai.
2.4 Tinjauan Komunikasi Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan masing – masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri yang dijalin oleh kasih sayang. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak, dimana keluarga akan mengajarkan dan menanamkan nilai nilai sosial serta budaya pada anak untuk pertama kali. (Djamarah, 2004: 16)
Keluarga juga berfungsi sebagai pembentuk identitas anak. Dimana dalam penelitian ini keluarga merupakan sebuah kelompok etnik dalam skala kecil, Keluarga beretnik Bali memiliki anggota yang terdiri dari etnik yang sama dan komunikasi keluarga berperan dalam pembentukan identitas etnik remaja Bali dan merupakan strategi yang digunakan untuk mempertahankan identitas etnik remaja Bali.
Komunikasi keluarga dapat diartikan sebagai membicarakan segalanya dengan terbuka baik sebuah hal yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan.
(47)
Komunikasi keluarga juga dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam keluarga ataupun masalah yang terjadi pada salah satu anggota keluarga untuk ditemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan untuk mengambil solusi terbaik.
C. H. Cooley dalam (Daryanto, 1984: 64) berpendapat bahwa keluarga sebagai kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam kelompok. Murdok dalam (Dloyana, 1995: 11) menyatakan bahwa keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masarakat, yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan. Perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di dalam keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk kehidupan sosial (Daryanto, 1984: 64).
Dalam komunikasi keluarga kejujuran dan keterbukaan menjadi dasar sebuah hubungan. Adanya komunikasi dalam keluarga penting karena dapat mengkokohkan fungsi‐fungsi keluarga yang mencakup delapan fungsi, mulai dari
fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, hingga fungsi ekonomi dan pembinaan lingkungan. Tidak cukup hanya diwacanakan atau menjadi tanggung jawab para pemangku
(48)
21
kepentingan saja, tetapi juga fungsi tersebut harus dengan upaya sistematis yang melibatkan pihak‐pihak terkait termasuk keluarga sebagai sasaran. Orangtua
sebagai tokoh sentral dalam keluarga semestinya memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menjalankan fungsi‐fungsinya dengan baik, dengan komunikasi
di dalam keluarga (Daryanto, 1984:65).
2.4.1 Tipe-tipe Keluarga
Fitzpatrick telah mengidentifikasi empat tipe keluarga, yaitu konsensual, plularist, protektif, dan laaissez faire (Morissan, 2013: 184-187). Masing-masing tipe keluarga ini memiliki tipe orang tua tertentu yang ditentukan oleh cara-cara mereka menggunakan ruang, waktu dan energi mereka serta derajat mereka dalam mengungkapkan perasaan, dan penggunaan. Berikut adalah penjelasan tentang tipe keluarga tersebut :
1. Tipe Konsensual
Tipe konsensualis, yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, dan juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali ngobrol bersama, tetapi pemegang otoritas keluarga, dalam hal ini orang tua adalah pihak yang membuat keputusan. Keluarga jenis ini sangat memnghargai komunikasi secara terbuka, namun tetap menghendaki kewenangan orang tua yang jelas. Orang tua tipe ini biasanya sangat mendengarkan apa yang dikatakan anak-anaknya, dan berupaya menjelaskan alsan keputusan itu agar anak-anak mengerti alasan suatu keputusan.
(49)
Orang tua yang berada dalam tipe keluarga kosensual ini cenderung tradisional dalam hal orientasi perkawinannya. Ini berarti mereka cenderung konvensional dalam memandang lembaga perkawinan dengan lebih menekankan pada stabilitas dan kepastian daripada keragaman dan spontanitas. Mereka memilih rasa saling ketergantungan yang besar dan sering menghabiskan waktu bersama. Walaupun mereka tidak tegas dalam hal perbedaan pendapat, tetapi mereka tidak menghindari konflik. Menurut Fitzpatrick, istri dengan orientasi perkawinan tradisional suka menggunakan nama suaminya dibelakang namanya, suami atau istri dengan orientasi perkawinan tradisional ini memiliki perasaan yang sangat sensitif terhadap perselingkuhan dan mereka sangat sering bersama-sama. Mereka kerap merancang jadwal kegiatan bersama dan berusaha menghabiskannya sebanyak pekerjaan mereka masing-masing.
Riset menunjukan tidak terdapat banyak konflik dalam tipe perkawinan tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dibagi-bagi menurut norma-norma yang biasa berlaku. Suami, misalnya, berwenang mengambil keputusan-keputusan tertentu, sedangkan istri memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dibidang lainnya. Pembagian kewenangan ini menyebabkan negoisasi tidak terlalu dibutuhkan atau dengan kata lain, terdapat sedikit kebutuhan untuk bernegoisasi sehingga tidak terdapat banyak konflik yang disebabkan perbedaan pendapat. Namun, pada saat yang sama, terdapat sedikit dorongan untuk perubahan tegas satu sama lainnya, tetapi masing-masing pasangan cenderung mendukung keinginan masing-masing demi kebaikan hubungan mereka daripada saling menjatuhkan argumen masing-masing.
(50)
23
Pasangan tradisional sangat ekspresif dan terbuka dalam mengapa mereka menghargai komunikasi terbuka yang menghasilkan tipe keluarga konsensual ini.
2. Tipe Plularistis
Tipe plularistis, yaitu keluarga yang saling melakukan percakapan, dan memiliki kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga tipe ini sering sekali berbicara secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusannya masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak mereka karena setiap pendapat dinilai berdasarkan ada kebijakannya, yaitu pendapat mana yang terbaik, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan.
Suami dan istri berasal dari tipe kelurga plularistis cenderung independen dalam hal orientasi perkawinannya karena mereka memiliki pandangan yang tidak konvesioanl (nonkonvesional). Sebagai suami atau istri yang independen maka mereka tidak terlalu mengandalkan pasangannya dalam banyak hal. orangtua cenderung mendidik anak-anak mereka untuk berpikir secara bebas. Walaupun pasangan suami istri tipe ini juga sering menghabiskan waktu bersama, namun mereka menghargai otonomi masing-masing dengan memiliki ruangan terpisah di rumah, untuk mengerjakan tugas masing-maisng. Mereka memiliki minat dan teman mereka masing-masing yang terpisah dengan minat dan teman bersama.
Karena tipe keluarga plularistis memiliki pandangan yang tidak konvesional, maka pasangan independen semacam ini akan terus-menerus melakukan negoisiasi. Pasangan independen biasanya memiliki banyak konflik. Suami atau istri saling berebut kekuasaan. Mereka sering menggunakan berbagai macam teknis persuasi dan tidak segan-segan untuk menjelek-jelekan atau menjatuhkan
(51)
argumen masing-masing. Sebagaimana pasangan tradisional, pasangan independen juga bersifat ekspresif. Mereka akan menanggapi setiap petunjuk nonverbal pasangannya, biasanya memahami pasangannya dengan baik dan menghargai komunikasi yang terbuka.
3. Tipe Protektif
Tipe protektif, yaitu keluarga yang jarang melakukan percakapan, namun meiliki kepatuhan yang tinggi. Jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga, tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tipe dari keluarga ini tidak melihat alasan penting mengapa mereka harus harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau ngobrol. Karena alasan inilah orang tua atau suami istri semacam ini dikategorikan sebagai ‘terpisah’ (seperate) dalam hal orientasi perkawinannya.
Pasangan semacam demikian cenderung tidak yakin mengenai peran dan hubungannya. Mereka Memiliki padangan konvensional dalam hal perkawinan, tetapi mereka tidak saling bergantung dan tidak terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Fitzpatrick dalam (morissan, 2013: 186) menyebut pasangan ini sebagai emotionally divorced (bercerai secara emosional).
Suami istri pada tipe ini memiliki sifat gigih dalam mempertahankan pendapatkan, tetapi konflik tidak bertahan lama karena mereka cepat menarik diri dari konflik. Mereka tidak mampu mengelola tindakan mereka untuk waktu yang cukup lama untuk mempertahankan konflik. Upaya mereka untuk mendapatkan kepatuhan jarang sekali menggunakan daya tarik hubungan, tetapi lebih sering mengemukakan hal-hal buruk yang akan terjadi jika pasangan mereka tidak patuh. Pasangan tipe ini memiliki sikap yang suka memperhatikan, dan mengajukan
(52)
25
banyak pertanyaan, tetapi jarang sekali memeberikan saran. Mereka tidak memiliki sifat ekspresif sehingga tidak memahami perasaan pasangan mereka dengan baik.
4. Tipe Laissez-faire
Tipe yang jarang melakukan percakapan dan juga memiliki kepatuhan yang rendah laissez-faire, lepas tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga dari tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakan anggota keluarga lainnya, karena tidak ingin membuang wkatu mereka untuk membicarakannya. Suami istri dari tipe keluarga ini cenderung memiliki orientasi perkawinan campuran (mixed), artinya mereka tidak memiliki pikiran yang sama untuk menjadi dasar bagi mereka untuk berinteraksi. Mereka memiliki orientasi yang merupakan kombinasi dari orientasi terpisah dan independen atau kombinasi lainnya.
Sebenarnya tipe keluarga semacam ini cukup banyak ditemui di masarakat. Diketahui dalam (Morissan, 2013:187) sekitar 40 persen dari keseluruhan pasangan yang menjadi objek penelitian Fitzpatrick menunjukan sejumlah kombinasi dari tipe-tipe: terpisah-tradisional, tradisional-independen, atau independen-terpisah. Pada dasarnya, pasangan tipe ini memiliki sifat yang lebih kompleks dari pasangan yang telah kita bahas sebelumnya. Pada akhirnya, kesimpulan yang dapat kita tarik dari teori ini adalah bahwa setiap keluarga memiliki perbedaan dalam hal kebersamaan (togetherness) dan jarak pemisah (separateness)yang ada di antara para anggota suatu keluarga.
(53)
2.5 Tinjauan Identitas Etnik
Istilah “etnik” berasal dari bahasa yunani kuno, yaituethnosyang berarti sejumlah orang yang “berbeda” yang tinggal dan bertindak bersama-sama. Kelompok etnik dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok masarakat yang tinggal disuatu negara yang memiliki budaya, sejarah, mata uang, kepercayaan dan norma yang berbeda dengan budaya nasional negara tersebut. Sedangkan identitas sendiri merupakan konsep abstrak, kompleks dan dinamis. Tiny Tomey dalam (Samovar, 2010: 187) beranggapan bahwa identitas merupakan gambaran seorang individu dan konsep dari individu yang direfleksikan. Pada dasarnya identitas itu sendiri merujuk kepada pandangan reflektif pada pandangan tentang diri sendiri maupun persepsi orang lain tentang gambaran diri sendiri.
Isajiw, W.W. (1999: 413) menerangkan bahwa identitas etnik mengacu pada identifikasi dan pengalaman etnik pada tingkat individu, dimana tiap-tiap individu berbagai dan merasakan hal yang sama dan beda budaya yang ada sekarang dan masa lalu. Dalam hal ini kebudayaan adalah sebuah hal yang penting dari identitas etnik dan tidak hanya mengacu pada adat/kebiasaan yang berbeda, kepercayaan bahasa dan mengidentifikasi dengan pengalaman unik dari sebuah kelompok. Dalam definisi lainnya identitas etnik atau disebut juga etnisitas, berasal dari sejarah, tradisi, warisan, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah dan bahasa yang sama. Masarakat yang memiliki etnik yang sama di daerah tempat perpindahan akan membentuk komunitas etniknya sendiri. Pada komunitas etnik ini, identitas etnik cenderung tetap kuat. Hal ini dikarenakan praktik, kepercayaan, dan bahasa dari bahasa tradisional yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar, 2010: 189). Identitas etnik merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting Toomey
(54)
27
dalam (Rahardjo, 2005: 1-2) mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi terhadap kultur tertentu.
Aspek internal dari identitas etnik mengacu pada gambaran, ide, sikap, perasaan, dan termasuk empat dimensi seperti: aktif, kepercayaan (fiducial), kesadaran/pengertian(cognitive), dan moral.
2.6 Tinjauan Etnik Bali dan Budaya Bali
Manusia Bali adalah manusia etnik Bali, yaitu sekumpulan orang-orang yang memiliki kesadaran tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan kesatuan agama Hindu. Etnik Bali memiliki emosi etnosentris keBalian relatif lebih kuat, dan sifat lain dari etnik Bali yaitu terbuka, ramah dan luwes, jujur, kreatif dan estetis, kolektif, kosmologis, religius, dan moderat. Manusia Bali memiliki keyakinan ajaran agama yang kompleks. Keyakinan terhadap agama Hindu melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya, kesenian, dan lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik tersebut mewujudkan diri kedalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial, maupun karya fisik orang Bali
Dalam kehidupan kesehariannya, perilaku etnis Bali juga mendasarkan pada nilai-nilai Agama Hindu dan falsafahTri Hita Karana. Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaranTri Hita Karana(tiga penyebab kesejahteraan). Filosofi Tri Hita Karana
(55)
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan Tiga unsur tersebut (Institut Hindu Dharma, 1996:3), yaitu :
1. Sanghyang
2. Jagatkarana(Tuhan SangPencipta)
3. Bhuana(alam semesta)
4. manusa (manusia)
Secara umum dapat dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur tuhan, manusia, dan alam di atas, yaitu sebagai berikut :
1. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
3. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana atau Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik sebagai individu maupun kelompok.
(56)
29
Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran tradisional masarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis, relegius magis dan komunal. Manusia dilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat dipisahkan dengan penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan serta berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma), maka masarakat Bali yang beragama Hindu senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya suasana yang harmonis dalam masarakat, baik vertikal yaitu dalam hubungan manusia dengan Tuhan, maupun horisontal, yaitu hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkunagan alamnya. Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan bagian dari cita-cita masarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam konteks hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masarakat dapat diterjemahkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala(Sudantra, 2001: 2).
Etnis Bali memiliki struktur sosial yang dibagi ke dalam empat kelompok strata yang dikenal dengan catur wangsa sebagai pengelompokan manusia Bali terdiri dari kelompok atau golonganbrahmana wangsa, ksatrya wangsa, weisya wangsa, dan sudra wangsa (jaba wangsa). Tiga strata pertama termasuk kedalam golongan tri wangsa dan golongan sudra wangsa sering disebut jaba wangsa. Keempat wangsa ini menunjukan adanya perbedaan strata secara tradisional yang didasarkan atas keturunan (Wiana dan Raka). Masarakat Bali mengakui adanya
(57)
perbedaaan (rwa bhineda), yang sering ditentukan oleh faktor ruang (desa), waktu (kala) dan kondisi riil di lapangan (patra). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar.
2.7 TinjauanAwig-awig
Etnik Bali memiliki beberapa landasan dalam kehidupan mereka, landasan hidup tersebut berupa peraturan yang berasal dari dasar agama Hindu Bali dan kelompok etnik Bali tersebut. Salah satu landasan hidup yang berasal dari kelompok tersebut disebut sebagaiawig-awigsuatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali. Umunya awig-awig dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian,awig-awigadalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masarakat yang bersangkutan (Astiti, 2005: 19). Bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig adalah desa pakraman. Tidak hanya desa pakraman, tetapi masih banyak lagi organisasi tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas kesamaan leluhur), dan sebagainya. Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara
(58)
31
musyawarah mufakat oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa).
2.8 Tinjauan Psikologi Remaja
Tahap Perkembangan masa remaja ada tiga tahap yaitu masa remaja awal (11-15 tahun), dengan ciri khas antara lain lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. Masa remaja tengah (16-18 tahun), dengan ciri khas antara mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan berkhayal tentang aktivitas seks. Masa remaja akhir (19-22 tahun), dengan ciri khas antara lain pengungkapan identitas diri, Lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, dan mampu berfikir abstrak (Monks, 2002: 37).
Remaja merupakan masa transisi ke masa dewasa, dimana masa remaja sering dianggap sebagai masa yang penuh frustasi dan konflik, masa yang harus dilakukannya penyesuaian diri, masa pencitraan dan roman. Pada saat itu juga terjadi masa pemisahan diri dari masarakat dan kebudayaan orang dewasa. Pada masa remaja sangat wajar kalau mereka mengalami perubahan-perubahan dalam lingkungan sosial dan ingin selalu mencoba peran sosial dan prilaku sosial. Proses percobaan peran ini normal dianggap dengan tujuan untuk menemukan jati diri dan identitasnya dirinya. Masa remaja merupakan masa terjadinya krisis identitas dan jati diri. Pada pekermbangannya, remaja di dunia sosial dan di lingkungan sosial berupaya, mencapai hubungan yang lebih matang dengan lingkungannya, mencapai perilaku yang bertanggung jawab, mengembangkan kemampuan
(59)
intelektual untuk hidup sebagai warga negara, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
2.9 Landasan Teori
2.9.1 Teori Manajamen Identitas
Identity Management Theory (IMT)atau Teori Manajemen Identitas oleh Cupach dan Imahory dibentuk berdasarkan kompetensi atas hubungan relasi dan juga sinergi budaya. Layaknya dalam teori-teori mengenai identitas, kompetensi komunikasi mengharuskan individu untuk memiliki kemampuan menegosiasikan identitas yang dapat diterima oleh kedua belah pihak saat berinteraksi. Lebih lanjuta, terdapat dua keunikan IMT dibanding teori lainnya, yakni yang pertama, kompetensi komunikasi memerlukan manajemen hubungan dan manajemen identitas kultural yang efektif. Kedua, face merupakan refleksi dari identitas seseorang yang dikomunikasikan.
Teori manajemen identitas yang efektif memerlukan facework yang kompeten. Sementara itu, dalam (Littlejohn & Foss. 2008: 204) dikatakan bahwa manajemen identitas merupakan suatu “teori yang menunjukkan bagaimana sebuah identitas diciptakan, diatur, dan diubah dalam sebuah ikatan hubungan.” Dalam proses untuk membentuk identitas, seseorang tidak akan bisa lepas dari sebuah hasrat untuk membentuk identitas itu sendiri. mendefinisikan lebih spesifik mengenai hasrat tersebut dengan istilah face, dan kinerja face yang dikembangkan dalam hubungan dengan pasangan disebut sebagai facework face dapat didukung atau diancam, keduanya dapat terjadi dalam suatu hubungan). Karena negosiasi identitas budaya seringkali terjadi dalam sebuah hubungan yang berbeda budaya,
(60)
33
maka banyak potensi terjadinyaface threateningyang terkait pada masing-masing individu yang berbeda budaya tersebut.
IMT mencoba menjelaskan bagaimana identitas kultural dinegosiasikan melalui pengembangan hubungan interpersonal. Manajemen identitas didapat melalui tahapan dalam pengembangan hubungan, dimulai dari perkenalan awal hingga hubungan memiliki keintiman dan komitmen. Teori ini tidak hanya membahas mengenai identitas kultural seseorang, tetapi juga pada mengenai hubungan antarabudaya karena identitas kultural hadir di berbagai tipe hubungan-intrakultural (intracultural), antar budaya (intercultural), maupun antarpribadi (interpersonal). Dalam penerapannya, batasan dari teori ini adalah komunikasi antar dua individu, bukan kelompok. Berdasarkan budaya, IMT dapat diaplikasikan dalam beragam dan tipe budaya, termasuk bangsa, etnik, wilayah, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, dan lainnya.
Konsep Utama dari Identity Management Theory antara lain kompetensi, identitas, budaya dan budaya , face, facework. Identitas didefinisikan sebagai
sebuah ‘konsepsi diri”, teori mengenai diri seseorang. Identitas digunakan untuk memahami diri seseorang dan dunia sekitar. Identitas dibentuk melalui mekanisme seperti kategorisasi diri kedalam beberapa kelompok sosial serta peran sosial yang dijalankannya. Identitas merupakan sebuah bentukan yang kompleks atas beberapa aspek dari beberapa banyak subidentitas. Identitas dapat dihubungkan dengan kewarganegaraan, etnik, wilayah, jenis kelamin, usia, pekerjaan, serta kelompok sosial seperti kelompok orang yang memiliki hobi maupun pengalaman yang sama.
(61)
Cultural identity atau identitas kultural didefinisikan sebagai identifikasi dan perasaan diterimanya seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok yang berbagi tanda dan makna serta norma/aturan yang membentuk perilaku tertentu. Sementara itu, relational identity atau identitas relasional timbul dari adanya relational culture yang dibagi, yakni sistem pertukaran pengertian yang memudahkan orang untuk menyelaraskan makna dan perilaku. Singkatnya, dalam hubungan ini, yang lebih ditekankan adalah ‘kami’ dibanding ‘kamu dan saya.’
Collier dan Thomas (2006: 83) menjelaskan mengenai kompleksitas identitas melalui tiga dimensi: cakupan (scope), ciri khas (salience), dan intensitas (intensity). Berdasarkan cakupan, relational identity berada di tataran yang kecil karena hanya antara dua individu dalam hubungan yang spesifik (suami istri, teman baik, dll). Ciri khas berhubungan dengan psikologis dan perasaan individu dalam berbagai aspek identitas ketika berinteraksi, sementara intensitas menyangkut seberapa terbuka dan terang-terangan seseorang mengungkapkan identitasnya saat berinteraksi.
IMT tidak secara spesifik memberi batasan. IMT dapat diaplikasikan dalam hubungan antarpribadi, intracultural, maupun intercultural. Hal inidikarenakan dalam setiap hubungan tersebut mengandung komunikasi interpersonal, intracultural dan intercultural. Dalam interaksi antarpribadi, intracultural, maupun intercultural, identitas ditampilkan oleh individu sebagai sesuatu yang mewakili dirinya dan orang lain pun menganggap seperti itu juga.
(1)
✆✝✝
11 tahun hingga 14 tahun Pada masa ini remaja Bali menggap identitas etnik penting karena orangtua yang menanamkan. Dalam masa ini remaja Bali hanya mengerjakan apa yang telah diajarkan oleh orangtua dalam kelompoknya dan lembaga pendidikan agama Hindu Bali.
b) Tahap kedua atau Examined adalah masa remaja Bali mulai memahami identitas etnik yang mereka miliki, dipengaruhi oleh berbagai stimulus, seperti dari kelompok etnik yang mereka miliki yang terdiri orangtua, dan saudara kandung Masa ini terjadi pada remaja Bali yang berusia 15 tahun hingga 17 tahun. Pada masa itu remaja Bali melakukan eksplorasi dengan belajar lebih mendalam tentang latar belakang kebudyaannya dibantu dengan ajaran yang telah orangtua mereka ajarkan, Remaja Bali juga mulai melibatkan diri mereka kedalam kelompok etniknya.
c) Tahap ketiga atau Achieved ini adalah masa dimana remaja Bali sudah sangat memahami dan tahu pasti akan identitas etniknya. Masa ini terjadi pada remaja Bali berusia 20 tahun keatas dimana pada masa ini remaja Bali sudah menjadi lebih matang dan lebih memahami dengan apa yang telah disampaikan oleh orangtuanya melalui proses komunikasi, hal-hal baik yang dipahami itulah yang ditanamkan oleh remaja Bali dewasa di dalam hidup mereka dan selanjutnya dijadikan sebuah jati diri atau identitas yang ia miliki, dan ditunjukan dengan rasa bangga sebagai seorang etnik Bali.
2. Dalam strategi mempertahankan identitas etnik Bali peran orangtua sangat besar, Hubungan antara remaja Bali dengan orangtuanya, dipererat dengan
(2)
✞✟ ✠
adanya hubungan komunikasi. Dengan komunikasi antarpribadi oranngtua etnik Bali melakukan interaksi dengan anak remaja mereka dan menanamkan nilai-nilai luhur, adat istiadat, nilai etnik Bali, norma-norma yang ada di etnik Bali pada diri remaja Bali tersebut agar remaja Bali terbiasa dan dapat mempertahankan identitas etniknya didalam kehidupannya. Untuk mempertahankan identitas etnik remajanya, orangtua beretnik bali tidak melepaskan ciri khas yang ia miliki ketika berinteraksi dengan anak remajanya, agar anak remaja Bali dapat mengikuti yang mereka lakukan. Orangtua etnik Bali memiliki strategi komunikasi dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, yaitu dengan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh orangtua kepada masing-masing anaknya untuk membangun motivasi pada diri anak. Motivasi itu dibentuk dengan menanamkan nilai-nilai etnik Bali yang positve pada diri remaja Bali tersebut agar remaja Bali tidak merasa minder dengan lingkungan tempat tinggalnya.
6.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Sebaiknya remaja Bali yang masih dalam proses pembentukan identitas etnik terutama remaja awal dan remaja pertengahan lebih mendalami identitas etnik yang mereka miliki, agar identitas tersebut lebih melekat didalam diri mereka sebagai etnik Bali.
2. Untuk orangtua yang memiliki remaja Bali yang masih dalam proses pembentukan identitas etnik terutama remaja awal dan remaja pertengahan
(3)
✡☛ ☞
lebih memperhatikan anak remajanya karena pada masa itu remaja Bali belum seutuhnya memiliki identitas etnik dan masih harus lebih diarahkan.
3. Untuk masyarakat di sekitar etnik Bali seharusnya lebih membuka diri terhadap etnik Bali, karena setiap etnik memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya di lingkungan tempat tinggalnya.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Andik, Purwasito. 2003.Komunikasi Multikutural.Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
AW Suranto. (2011).Komunikasi Interpersonal.Yogyakarta: Graha Ilmu. Arikunto, S. 2010.Prosedur Penelitian.Rineka Cipta, Jakarta.
Baron, Robert A. & Donn Byrne (2000). Social Psychology (9th edition). USA: Allyn & Bacon.
Branscombe, N. R., Ellemers, N., Spears, R., & Doosje, B. 2002. The context and content of Social identity threat. In N. Ellemers, R. Spears, & B. Doodje (Eds), Social Identity: Context, commitment Content. Oxford: Blackwell.
Budiana I Nyoman, 2009.Perkawaninan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali. PT. Graha Ilmu, Jakarta.
Burke, PJ. 2006. Contemporary Social Psychological Theories. California Stanford University Press.
Canggara, Hafid. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Remaja Grafindo Persada, Jakarta.
H, Rumondor, Alex. 1995. Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya. Universitas Terbuka, Jakarta.
Hogg, Michael A., & Abrams, Dominic. Social motivation, self-esteem, and social identity, Social Identity Theory.Ed. Micheal A. Hogg dan Dominic Abrams. Hertfordshire Harvester Wheatsheaf, 1990. 28-47
Isajiw, W, W. 1999.understanding Diversity : Ethnicity And Canandian Context, Thompson Educational Publishing inc.
Krisyanto, Rachmat. 2008,Teknik Praktek Riset Komunikasi,PT. Rosda Karya, Bandung.
Liliweri, Alo. 2002. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, PT. Pustaka Pelajar,Jakarta.
(5)
Little John, Stephen W, Karen A Foss, 2008. Teori Komunikasi, Theories of Human Communication, Terjemahan Muhammad Yusuf Hamdan, Salemba Humanika, Jakarta.
Lexy J Moleong, 2004,Metode Penelitian Kualitatif,PT. Rosda Karya, Bandung. Milles, M.B, dan Huberman, A.M. 2009.Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber
Tentang Metode-metode Baru, UIIPress. Jakarta
Mongks, F. J. 2002. Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pawito. 2008.Penelitian Komunikasi Kualitatif,PT. Pelangi Aksara, Yoyakarta. Phinney Jean S. 1989. Stages of Ethnic Identity Development in Minority Group
Adolescents.Journal of Early Adolescence, Vol. 9, Hal 34–49.
Raharjo, Turnomo. 2005.Menghargai Perbedaan Kultural : mindfulness dalam Komunikasi Antar Etnis. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 2001.Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Samovar, A Larry, Porter E Richard & McDaniel R Edwin. 2010. Komunikasi Lintas Budaya : Communication Between Cultures. Salemba Humanika, Jakarta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Pt. Alfabeta, Jakarta.
Tajfel, Henri., & Turner, John. 2004. An Integrative theory of intergroup conflict. Organizational Identity : a reader,Ed. Mary Jo Hatch and Majken Schultz (Ed). Oxford : Oxford University Press. hal 56-65. books.google.co.id/books?id=Q3ClkIkkJ4C&pg=PA56&lpg=PA56&dq=J ohn+Turner+and+theory+of+idenitty&source=bl&ots=zoruJwAo8C&sig=
JyHn0fX4yWd7OjwWuCxswAeIwPU&hl=id&ei=rMKES6-UE5HssQOCyanEDw&sa=X&oi=book_result&ct=result#v=onepage&q& f=false. Diakses pada 2 agustus 2015
Walgito, Bimo. 2003.Pengantar Psikoligi Umum.Andi offset, Yogyakarta. Wirawan, A.A Bagus.2008, Sejarah Sosial Migran : Transmigrasi Bali di
(6)
Jurnal
Murfia, Isti. 2014. Negoisasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim Dan Kelompok Etnisnya Dalam Interaksi Antarbudaya,2014
Tarakanita, Irene & Cahyono, M, Maria. 2013.Komitmen Identitas Etnik dalam Kaitannya Dengan Eksistensi Budaya Lokal.Jurnal Zenit Vol. 2 No 2, Agustus 2013.
Penelitian
Yulianto, 2011. Membali Di Lampung (Studi Kasus Pada Identitas Kebalian di Desa Balinuraga Lampung Selatan).Disertasi