Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

(1)

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PENGAMBILAN

KEPUTUSAN PERKAWINAN USIA REMAJA

(Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan

keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang,

Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

PUTRI WULANDARI

110904052

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI MEDAN


(2)

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PENGAMBILAN

KEPUTUSAN PERKAWINAN USIA REMAJA

(Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan

keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang,

Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Starata 1 (S1) Pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

PUTRI WULANDARI

110904052

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika

dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Putri Wulandari

Nim : 110904052

Tanda Tangan :


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan. Nama : Putri Wulandari

Nim : 110904052 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PERKAWINAN USIA REMAJA (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Masdalifah, M. Si., Ph. D Dra. Fatma Wardy Lubis, MA (NIP. 196507831989032001) (NIP.195102191987011001)

Dekan FISIP USU

Prof.Dr.Badaruddin, M.Si (NIP.196805251992031002)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat iman dan kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa pula saya hantarkan kepada junjungan umat Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam penelitian ini, peneliti dapat belajar dan menerapkan teori-teori yang pernah didapat selama perkuliahan di Jurusan Ilmu Komunikasi khususnya mengenai komunikasi pemasaran dan minat beli, selain itu penelitian ini juga membuat peneliti semakin tertarik untuk tetap mendalami Ilmu Komunikasi dikemudian hari.

Terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu saya sejak awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya: Agus Setiawan yang sudah menjadi super hero bagi penulis; Ibunda Sumiati serta adik-adik saya tersayang: Ramadanti Setia Pratiwi, Sevi Luthfiyah Tsabita yang telah memberikan dukungan moril dan materil yang sangat berarti dari segala apapun dalam penyelesaian skrispsi ini.

Dengan segala kerendahan hati tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik.

2. Ibu Dra.Fatma Wardy Lubis, M.A selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi serta ibu Dra.Dayana Manurung, M.Si selaku sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuan yang diberikan.

3. Ibu Dra. Hj. Masdalifah, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang setia memberikan ilmu waktu Dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.


(6)

4. Bapak Drs. Safrin, M.Si Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang membantu selama perkuliahan

5. Seluruh Dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

6. Ketiga Informan: Mayang Indah Putri, Sri Susi Nirmala Sari dan Lina Indahyani atas bantuan informasi yang telah diberikan serta telah meluangkan waktu bersedia diwawancara bahkan hal yang sangat bersifat pribadi.

7. Keluarga penulis bang Budi, Bang Octo, kak Yeti, Om Ade, Ibu Sri, Kak Suci Amalia, Nenek angkat penulis yang sudah dianggap seperti nenek sendiri yang telah banyak membantu baik materi maupun moril

8. Sepupu tersayang Deby Andriani, Ardhan Maulana, dan Kak Mala yang selalu memberi motivasi dan memberi dukungan.

9. Untuk Para Sahabat tercinta Nukleous Mirza, Fadla, Ulan, Adhe, Ghassani, Pita, Ika, Nita, Kartika yang telah membantu dan memberikan semangat yang tiada henti bagi penulis dalam proses penyelesaian skripsi. 10. Para pengurus dan tenga pendamping lapang YP2M (Yayasan Perempuan

Perkotaan Medan) yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis.

11. Teman-teman Remaja Mesjid Tawakkal Diski (RMTk), yang telah mendoakan, menghibur dan senantiasa memberi semangat bagi penulis. 12. Para sahabat sedari SMP Mega Tari, Ilham Affandi dan Ledy Astantia

Siregar, Irsan Fauzi Lubis yang selalu memberi dukungan dan semangat selama proses perkuliahan.

13. Seluruh keluarga, para tetangga penulis dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu terimakasih karena telah banyak memberi semangat, motivasi dan membantu untuk menemukan para responden dalam penelitian.

14. Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi khususnya angkatan 2011 FISIP USU yang selama ini setia menjadi teman, untuk saling berbagi dan memberikan dukungan dari awal hingga selsainya penelitian skripsi ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai titik kesempurnaannya karena adanya kekurangan atau apapun. Penulis mengaharapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan kritikan dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan skripsi ini sehingga penulis dan para pembaca dapat menjadikan skripsi ini sebuah pengetahuan yang dapat dipahami oleh banyak pihak.

Penulis


(8)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Putri Wulandari Nim : 110904052 Departemen : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas dan Royalty Non Eksklusif (Non-Eksklusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PERKAWINAN USIA REMAJA (Studi Kasus Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja Di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang).

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti non eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, Mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : ... Pada Tanggal : ... Yang Menyatakan


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja: Sebuah studi Kasus Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, ingin mengkaji mengenai pola komunikasi keluarga dan pengambilan keputusan keluarga dalam pengambilan keputusan menikah usia remaja. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma positivist dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Paradigma positivisment mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat. Melalui metode deskriptif, peneliti ingin memberi gambaran pola komunikasi keluarga yaitu mengenai pengambilan keputusan perkawinan usia remaja. Pemilihan informan dilakukan dengan Purposive Sampling Techniqe yaitu cara penentuan sejumlah informan sebelum penelitian di laksanakan dengan menyebutkan secara jelas siapa yang dijadikan informan serta informasi apa yang diinginkan dari masing-masing informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang melakukan pernikahan di usia remaja di Desa Sei Semayang cenderung kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua. Mereka cenderung dibebaskan dalam mengambil keputusan sendiri. Kehamilan diluar nikah menyebabkan pada orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya pada usia yang belum matang atau pada usia remaja.


(10)

ABSTRACT

Research titled the communication family in decision-making marriage early adolescence: a case study the communication family in decision-making marriage early adolescence in the village Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, want to study on the communication family and decision-making family in decision-making married early adolescence. The paradigm that used in this research was paradigm positivist by using the method research descriptive qualitative who describes and elaborate on deep about the problems that are being investigated. Positivisment paradigm equate communication as a process linear or process of and effect . Through a method of descriptive, researchers want to give a sense of the communication family is about decision-making marriage early adolescence. Election informants done with purposive sampling techniqe the way the determination of a number of informants before research carried out by mentioning clear definition of who used as informants and the information what is wanted of each informants. The research results show that teens who do marriage in early adolescence in the village Sei Semayang tend to be get attention and affection from both parents.They tend to be free in take your own decisions. Pregnancy out marriage cause in older people forced to judge to marry his son at the age of immature or on early adolescence.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah... 1

1.2 Fokus Masalah ... 7

1.3 Pembatasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 9

2.2 Uraian Teoritis ... 10

2.2.1 Komunikasi ... 10

2.2.2 Komunikasi Antarpribadi... 12

2.2.3 Pola Komunikasi Keluarga ... 20

2.2.4 Pengambilan Keputusan... 34

2.2.5 Remaja ... 37

2.3 Model Teoritik ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 44

3.2 Objek Penelitian ... 45

3.3 Subjek Penelitian ... 45

3.4 Studi Kasus ... 46

3.4.1 Jenis-jenis Penelitian Studi kasus ... 47

3.5 Teknik Pengumpulan Data... 47

3.5.1 Penentuan Informan ... 49

3.5.2 Keabsahan Data ... 50

3.6 Teknik Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 53

4.1.1 Lokasi Penelitian ... 53

4.1.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 54

4.1.3 Deskripsi Informan Dalam Keluarga ... 55


(12)

4.2 Pembahasan ... 82 4.2.1 Pola Komunikasi Keluarga ... 82 4.2.2 Pengambilan Keputusan... 86 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 93 5.2 Saran ... 95 DAFTAR REFERENSI


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Deskripsi Informan 57 4.2 Klasifikasi Pola Komunikasi Keluarga 72

Para Informan

4.3 Klasifikasi Pengambilan Keputusan 81 Para Informan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(15)

DAFTAR LAMPIRAN • Biodata Informan

• Surat Pernyataan • Biodata Peneliti • Daftar Bimbingan


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja: Sebuah studi Kasus Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, ingin mengkaji mengenai pola komunikasi keluarga dan pengambilan keputusan keluarga dalam pengambilan keputusan menikah usia remaja. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma positivist dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Paradigma positivisment mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat. Melalui metode deskriptif, peneliti ingin memberi gambaran pola komunikasi keluarga yaitu mengenai pengambilan keputusan perkawinan usia remaja. Pemilihan informan dilakukan dengan Purposive Sampling Techniqe yaitu cara penentuan sejumlah informan sebelum penelitian di laksanakan dengan menyebutkan secara jelas siapa yang dijadikan informan serta informasi apa yang diinginkan dari masing-masing informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang melakukan pernikahan di usia remaja di Desa Sei Semayang cenderung kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua. Mereka cenderung dibebaskan dalam mengambil keputusan sendiri. Kehamilan diluar nikah menyebabkan pada orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya pada usia yang belum matang atau pada usia remaja.


(17)

ABSTRACT

Research titled the communication family in decision-making marriage early adolescence: a case study the communication family in decision-making marriage early adolescence in the village Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, want to study on the communication family and decision-making family in decision-making married early adolescence. The paradigm that used in this research was paradigm positivist by using the method research descriptive qualitative who describes and elaborate on deep about the problems that are being investigated. Positivisment paradigm equate communication as a process linear or process of and effect . Through a method of descriptive, researchers want to give a sense of the communication family is about decision-making marriage early adolescence. Election informants done with purposive sampling techniqe the way the determination of a number of informants before research carried out by mentioning clear definition of who used as informants and the information what is wanted of each informants. The research results show that teens who do marriage in early adolescence in the village Sei Semayang tend to be get attention and affection from both parents.They tend to be free in take your own decisions. Pregnancy out marriage cause in older people forced to judge to marry his son at the age of immature or on early adolescence.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 KONTEKS MASALAH

Komunikasi adalah hubungan kontak antar dan antara manusia, baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia. Setiap orang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur lagi manusia senantiasa terlibat dalam komunikasi. Bahkan manusia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannya.

Lingkungan pertama seorang anak mengenal orang-orang di sekitarnya sebelum berafiliasi ke masyarakat secara luas adalah lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat dimana anak berinteraksi sosial dengan orang tua yang paling lama. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas bapak, ibu, anak dan lain-lain (kakek, nenek dan sebagainya) yang hidup dibawah satu atap dan saling berhubungan (Kertamuda, 2009:47).

Secara psikologis keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling meyerahkan diri. Pengertian keluarga secara umum menurut Friedman dan Suprajitno, keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang saling hidup bersama dengan ketertarikan aturan emosional dan memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Solaeman, 1994:5-10).

Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik dan silih berganti, bisa dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua, atau dari anak ke anak. Awal terjadinya komunikasi karena ada suatu pesan yang ingin disampaikan. Siapa yang berkepentingan untuk menyampaikan suatu pesan berpeluang untuk memulai komunikasi, yang tidak berkepentingan untuk meyampaikan suatu pesan cenderung menunda komunikasi.


(19)

Komunikasi berpola stimulus-respons adalah model komunikasi yang masih terlihat dalam kehidupan keluarga. Komunikasi seperti ini terjadi pada saat orang tua mengasuh bayi. Orang tua lebih aktif dan kreatif memberikan stimulus (rangsangan), sementara bayi berusaha memberikan respons (tannggapan). Pola komunikasi stimulus-respons berbeda dengan pola komunikasi interaksional. Dalam pola komunikasi interaksional, kedua belah pihak yang terlibat dalam komunikasi sama-sama aktif dan kreatif dalam menciptakan arti terhadap ide atau gagasan yang disampaikan via pesan, sehingga jalannya komunikasi terkesan lebih dinamis dan komunikatif (Djamarah, 2004:2).

Pola komunikasi yang dibangun akan mempengaruhi pola asuh orang tua. Dengan pola komunikasi yang baik diharapkan akan tercipta pola asuh yang baik pula. Kegiatan pengasuhan anak akan berhasil dengan baik jika pola komunikasi yang tercipta dihiasi dengan cinta dan kasih sayang dengan memposisikan anak sebagai subyek yang harus dibina, dibimbing, di didik dan bukan sebagai objek semata. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun di atas dasar sistem interaksi yang kondusif sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan terciptanya hubungan akrab dalam keluarga.

Hubungan baik yang tercipta dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya, faktor pendidikan, kasih sayang, profesi, pemahaman terhadap norma agama dan mobilitas orang tua. Hubungan baik antara orang tua dan anak tidak hanya di ukur dengan pemenuhan kebutuhan materiil saja, tetapi kebutuhan mental spiritual merupakan ukuran keberhasilan dalam menciptakan hubungan tersebut. Kasih sayang yang diberikan orang tua terhadap anaknya adalah faktor yang sangat penting dalam keluarga. Tidak terpenuhinya kebutuhan kasih sayang dan seringnya orang tua tidak berada dirumah menyebabkan hubungan dengan anaknya kurang intim.

Orang tua sebagai pemimpin adalah faktor penentu dalam menciptakan keakraban dalam hubungan keluarga. Tipe kepemimpinan yang diberlakukan dalam keluarga akan memberikan suasana tertentu dengan segala dinamikanya. Interaksi yang berlangsung pun bermacam-macam bentuknya. Oleh karena itu, karateristik seorang pemimpin akan menentukan pola komunikasi yang berlangsung dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang dipimpin oleh


(20)

seorang pemimpin yang otoriter akan melahirkan suasana yang berbeda dengan kehidupan keluarga yang dipimpin oleh seorang pemimpin demokratis (laissez faire). Perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh kedua tipe kepemimpinan tersebut (Djamarah, 2004:5).

Persoalan muncul ketika kepemimpinan yang diterapkan oleh orang tua tidak mampu menciptakan suasana kehidupan keluarga yang kondusif misalnya, sering terjadi konflik antara orang tua dan anak. Implikasinya adalah renggangnya hubungan antara orang tua dan anak. Kesenjangan demi kesenjangan selalu terjadi. Komunikasi yang baik akhirnya sukar diciptakan. Inilah awal kehancuran hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga.

Kegagalan orang tua dalam mendidik anak yang selama ini terjadi bukan tidak mungkin disebabkan komunikasi yang dibangun beralaskan kesenjangan tanpa memperhatikan sejumlah etika komunikasi. Padahal etika komunikasi sangat penting dalam rangka mengakrabkan hubungan orang tua dan anak. Komunikasi keluarga yang bagaimana pun bentuknya harus memperhatikan etika komunikasi. Sebab hanya dengan memperhatikan etika komunikasi itulah, komunikasi keluarga yang harmonis dapat dibangun dalam rangka mendidik anak dan keluarga.

Setiap keluarga menghadapi masalah yang berbeda-beda dengan yang lain. Masalah yang timbul juga bervariasi, misalnya masalah yang dihadapi keluarga yang memiliki anak remaja. Keluarga dengan anak yang sudah remaja sering kali menimbulkan stress terutama pada kedua orang tuanya. Keluarga yang memiliki anak remaja menghadapi situasi yang tidak mudah baik bagi remaja itu sendiri maupun keluarga terutama ayah dan ibu. Perbedaan dalam cara pandang dan ingin kebebasan, tetapi masih bergantung pada orang tua, remaja ingin dianggap dewasa, sementara masih diperlakukan seperti anak kecil.

Masa remaja merupakan masa yang sangat sulit dan kritis dalam kehidupan manusia. Perubahan dari fisologis, psikologis dan sosial merupakan perubahan yang terjadi sangat pesat dalam kehidupan dimasa ini. Secara psikologi (Ahmadi, 2007:221), remaja adalah suatu periode transisi dari awal masa dewasa yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada 18 tahun hingga 22 tahun. Dari batas sudut usia saja tampak bahwa golongan remaja


(21)

sebenarnya tergolong kalangan yang transasional. Artinya, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa sedangkan oleh orang dewasa mereka masih dianggap anak-anak.

Pada awal masa remaja, anak berpikir ego-centris yang menganggap orang lain seperti dirinya dalam hal yang dipikirkan, dirasakan, disenangi dan lain-lain. Perilaku yang umum bagi para remaja adalah keinginan untuk diperhatikan, tampil dan menonjolkan diri. Selain dari itu remaja juga memiliki rasa ingin beda (unik). Perkembangan sosio emosional remaja juga dapat diperhatikan dari hubungan orang tua dengan remaja yang dimitoskan dengan: (1) remaja melepaskan diri dari orang tua dan masuk pada dunia dengan teman-teman sebaya secara tertutup; (2) Hubungan intense dengan orang tua terisi dengan konflik dan stress yang tinggi (Sumanto, 2002:85).

Konflik yang terjadi pada keluarga yang memiliki anak remaja menyebabkan orang tua menjadi lebih emosional terhadap anak remajanya. Hal ini yang dapat menurunkan kualitas komunikasi, atau dapat juga menyebabkan anak remaja kurang terbuka dan tertarik pada orang tua mereka. Situasi dan kondisi antara remaja dan orang tua tersebut menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua pihak sehingga hal ini mempengaruhi kualitas dalam keluarga. Hubungan yang tidak harmonis dan kualitas yang tidak baik dalam keluarga membuat remaja mencari cara atau pelarian dengan melakukan tindakan yang negatif. Misalnya menggunakan narkoba dan pergaulan bebas (free sex) yang berdampak kehamilan pada remaja putri.

Konflik dalam keluarga dapat menjadikan remaja mencari tempat baru yang mampu menenangkan gundah hatinya. Hubungan pertemanan menjadi salah satu alternatif remaja untuk menjalani masa sulitnya, sehingga akan mudah bagi remaja terpengaruh oleh lingkungan pertemanan. Pengaruh yang positif tentunya menjadi harapan dari orang tua dan keluarga. Sebaliknya, pengaruh negatif dari pertemanan remaja, misalnya dengan pergaulan bebas (free sex) dapat berdampak pada terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan.


(22)

Kehamilan diluar nikah menyebabkan para orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya pada usia yang belum matang atau pada usia remaja. Menurut Gubhaju (dalam www.bkkbn.go.id)., menyatakan bahwa pernikahan dini secara frekuen merefleksikan pernikahan yang telah diatur atau karena kehamilan diluar nikah. Choe (2001) menyatakan bahwa pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita Indonesia di pedesaan dan pendidikan perempuan yang lebih tinggi terkait erat dengan perkawinan usia remaja yang lebih lambat. Erica (2004) menyatakan bahwa pernikahan usia dini menyebabkan angka kejadian drop out, hak kesehatan produksi rendah, kematian ibu tinggi, kekerasan dalam rumah tangga dan subornasi keluarga.

Beberapa hal yang terkait dengan fenomena mengenai jumlah pernikahan remaja menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terdapat 2,3 juta pasangan menikah dalam setahun dan 4,5 juta kehamilan dalam setahun, di mana pasangan yang menikah pada usia 15-19 tahun sebesar 46% dan yang menikah di bawah usia 15 tahun sekitar 5%. (m.tribunnews.com/kesehatan, 29 April 2014). Data ini menunjukan bahwa angka kejadian pernikahan di usia remaja atau istilah populernya pernikahan dini cukup besar yaitu sekitar 1,1 juta pernikahan dalam setahun. Pokja Analisis Dampak Sosial Ekonomi BKKBN dalam kajian Pernikahan Dini pada beberapa provinsi di Indonesia menyatakan bahwa pendidikan yang rendah, kebutuhan ekonomi, kultur nikah muda, pernikahan yang diatur dan seks bebas pada remaja adalah faktor yang paling berperan untuk terjadinya pernikahan usia remaja atau pernikahan usia dini.

Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan perkawinan adalah berapa usia yang tepat bagi seorang pria maupun seorang perempuan untuk melangsungkan pekawinan. Undang-undang Republik Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974 bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Sudarsono, 2005:8).

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan tersebut tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan


(23)

mental. Namun tentu saja pelaksanaan undang-undang tersebut tidak bisa dimaknai dan dilaksanakan secara langsung begitu saja, karena dalam prakteknya usia 19 tahun bagi pria dan perempuan, masih masuk dalam kategori usia dewasa muda (lead adolescent). Pada usia ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa dan memasuki tahapan proses penemuan jati diri. Sehingga, perkawinan dengan batasan usia 19 tahun untuk pria atau bahkan 16 tahun untuk perempuan agak kurang relevan lagi jika dikategorikan sebagai pernikahan yang cukup matang, meski secara hukum dianggap tidak melanggar Undang-Undang Perkawinan.

Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Pertama, mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur dalam pasal 45 Undang-Undang Perkawinan. Kedua, mengatur tentang kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46). Ketiga, mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua dalam segala perbuatan hukum yang diatur didalam pasal 47 yaitu : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Penelitian ini lebih mengkhususkan pada pola komunikasi orang tua terhadap pengambilan keputusan perkawinan usia remaja. Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Setiap keputusan yang diambil akan disusul oleh keputusan-keputusan lainnya yang berkaitan. Tanda-tanda umum dari pengambilan keputusan adalah: (1) keputusan merupakan hasil berpikir; hasil usaha intelektual; (2) keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif;


(24)

(3) keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya ditangguhkan atau dilupakan (Rakhmat, 2007:71). Pola komunikasi dalam keluarga berpengaruh dalam menentukan dan mengambil suatu keputusan. Beberapa peneliti memberikan saran bahwa kehangatan dan keterlibatan orang tua pada anak yang sangat kurang akan menimbulkan problem, sedangkan terlalu banyak keterlibatan orang tua dan kendali yang dilakukan terhadap anak juga akan menimbulkan masalah bagi anak. Pada akhirnya, komunikasi antara orang tua dan anak sangat menentukan bagaimana cara seseorang mengambil keputusan termasuk keputusan untuk menikah di usia remaja.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan, peneliti tertarik meneliti mengenai Pola Komunikasi Orang Tua Terhadap Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja dengan menggunakan studi Deskriptif Kualitatif. Informan dalam penelitian ini berlokasi di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten deli Serdang. Desa Sei Semayang terdiri dari 18 dusun dengan jumlah penduduk sampai dengan desember 2014 sebanyak 27.382 jiwa (Laporan Pelaksanaan Pengelolaan Dana Keuangan Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal, 2014).

Desa Sei Semayang merupakan salah satu desa yang penduduknya masih banyak melakukan perkawinan di usia remaja. Hasil wawancara pada bulan Maret 2015 dengan petugas KUA desa Sei Semayang, setiap tahunnya terjadi peningkatan hampir 50% dari jumlah penduduk usia 15-24 tahun sebanyak 4.261 (per tahun 2014). Sebanyak 98% kasus perkawinan usia remaja yang terjadi di Desa Sei Semayang akibat hamil di luar nikah”(Sumber: Petugas KUA Desa Sei Semayang, Senin, 2 februari 2015).

1.2. FOKUS MASALAH

Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan, maka dapat dirumuskan fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pola komunikasi keluarga dalam mempengaruhi pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli serdang ?”


(25)

1.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk memperjelas lingkup permasalahan yang akan di teliti agar tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini hanya terbatas pada remaja perempuan yang sudah menikah pada usia 15 s/d 19 tahun di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli serdang. Usia remaja secara Psikologis bermula dari usia 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Ahmadi, 2007:221)

2. Penelitian ini ingin mengetahui pola komunikasi di dalam keluarga, terutama antara orang tua dan anak serta ingin mengetahui bagaimana pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di dalam keluarga.

3. Penelitian ini dilakukan pada Juli 2015-September 2015

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pola komunikasi keluarga antara orang tua dan anak dalam perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, , Kecamatan sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

2. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan perkawinan usia remaja didalam keluarga di Desa Sei Semayang, Kecamatan sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pembuktian terhadap beberapa teori mengenai pola komunikasi keluarga khususnya yang terjadi terhadap anak yang menikah pada usia remaja. 2. Manfaat secara akademis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat

memperluas keanekaragaman wacana penelitian di FISIP USU khususnya Departemen ilmu komunikasi.


(26)

3. Manfaat secara praktis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi pembaca dam mampu meberikan masukan kepada beberapa pihak yang memiliki kepentingan.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 PARADIGMA KAJIAN

Paradigma adalah pandangan mendasar mengenai pokok persoalan, tujuan dan sifat dasar bahan kajian. Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum. Konseptualisasi, katagorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Paradigma kulitatif menerangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tenatng kehidupan sosial dan paradigma kulitatif ini memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu. Oleh karena itu, melalui paradigma kualitatif dapat menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara objektif dan dapat diketahui yang melakukan interaksi sosial. Menurut Maxwell, kelebihan paradigma adalah pemahaman makna, dimana makna merujuk pada kognisi, afeksi, intense dan apa saja yang berada dalam perspektif partisipan (Ghony dan Almanshur, 2012:73).

Penelitian ini menggunakan paradigma positivist sebagai pandangan mendasar dalam kasus penelitian ini. Positivis dibidangi oleh dua pemikir Perancis, Henry Sain Simon (1760-1825) dan muridnya Augus Comte (1798-1857). Henry merupakan penggagas utama sedangkan Comte adalah penerus dan pengembang gagasan ini (dalam Ardianto dan Q-aness, 2007:88).

Ardianto dan Q-anees (dalam Ardianto dan Q-aness, 2007:87) dalam bukunya mengatakan bahwa paradigma positivisment mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat, yang mencerminkan pengiriman pesan (komunikator, encoder) untuk mengubah pengetahuan (sikap atau perilaku) penerima pesan (komunikan, decoder) yang pasif. Batasan komunikasi pada paradigma ini berlangsung satu arah, yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau lembaga) kepada seseorang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi ini menurut


(28)

Burgoon disebut defenisi berorientasi sumber (source oriented defenition). Ini berarti komunikasi terjadi secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menyampaikan rangsangan dalam membangkitkan respons orang lain. Penggunaan paradigma pada penelitian ini dikarenakan adanya hubungan sebab akibat dari pola komunikasi dalam keluarga dalam pembentukan perilaku para remaja pelaku pernikahan usia remaja. Pola asuh kedua orang tua diartikan sebagai sebab dan respon berupa perilaku anak di maknakan sebagai akibat.

2.2 URAIAN TEORITIS 2.2.1 KOMUNIKASI

Pengertian komunikasi secara etimologi dapat disebutkan bahwa istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu communication berasal dari kata latin communis, artinya sama. Maksudnya bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan suatu pihak, maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh suatu kesepakatan arti. Kesepakatan arti disini dibatasi kepada pengertian bahasa dan makna dari objek yang diperbincangkan. Kehadiran komunikasi menurut perjalanan sejarah sama tuanya dengan umur peradaban manusia dipermukaan bumi ini. Perkembangan kegiatan komunikasi itu sendiri sejak permulaan sejarah hingga sekarang ini secara sistematis selalu diiringi dengan kemajuan yang dicapai manusia. Semakin maju peradaban kehidupan manusian itu maka semakin maju pula kegiatan komunikasi tersebut, yang selalu berorientasi kepada pola kehidupan manusia tersebut ( Lubis, 2011:6-7).

Beberapa pakar komunikasi memberikan definisi komunikasi diantaranya Carl I. Hovland dalam karyanya “Social Communication” ( Lubis, 2011:9) menjelaskan Communication is the process by which an individual (the communication) transmits stimuli (usually verbal symbol) to midife the behavior of other individuals (communication). (Komunikasi adalah prosese seseorang


(29)

menyampaikan rangsangan (biasanya dengan lambang kata/gambar) guna merubah tingkah laku orang lain).

Menurut Lewis Caroll, Komunikasi merupakan suatu proses memindahkan, mengoperkan atau menyampaikan sesuatu secara teliti dari jiwa yang satu kepada jiwa yang lain, dan hal itu adalah tepat seperti pekerjaan yang harus kita ulangi dan ulangi lagi (Praktikto, 1983: 10). Untuk mencapai komunikasi yang efektif dan efisien tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan agar pesan atau pernyataan yang disampaikan kepada orang lain bisa dimengerti serta dipahami.

Berbicara mengenai defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar ataupun salah. Seperti juga model atau teori, defenisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefenisikan dan mengevaluasinya. Beberapa defenisi mungkin terlalu sempit, misalnya “komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik,” atau lebih luas, misalnya “komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih.” Tidak dipungkiri bahwa komunikasi adalah istilah yang begitu populer di zaman sekarang ini . Manusia modern disuguhkan dengan pesan-pesan komunikasi dari berbagai jurusan, baik secara terang-terangan, halus, verbal maupun non verbal.

2.2.1.1 Tujuan dan Fungsi Komunikasi

Tujuan Komunikasi ( Effendy, 2005 : 55 ) yaitu : a. Mengubah sikap (to change the attitude)

b. Mengubah opini / pendapat / pandangan (to change the opinion) c. Mengubah perilaku(to change the behavior)

d. Mengubah masyarakat (to change the society)

Sedangkan fungsi komunikasi ( Effendy , 2005 :55) yaitu : a. Menginformasikan (to inform)

b. Mendidik (to educat ) c. Menghibur (to entertain) d. Mempengaruhi (to influence)


(30)

2.2.1.2 Ruang Lingkup Komunikasi

Kegunaan dari ruang lingkup pengetahuan untuk mempermudah mempelajari pengertian suatu pengetahuan. Dengan kata lain fungsi dari ruang lingkup untuk memberikan jawaban yang tegas meliputi apa saja studi ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini pun berlaku dengan ilmu komunikasi yang juga membutuhkan ruang lingkupnya sehingga lebih mudah dimengerti dan dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah komunikasi.

Ruang lingkup komunikasi menurut pendapat Little John (dalam Lubis, 2011:31) mencakup beberapa hal:

1. Komunikasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks dalam segi kehidupan manusia karena untuk memberikan batasan komunikasi itu merupakan suatu yang sulit da abstrak sifat inflikasinya. Komunikasi bukan sekedar proses penyampaian pertukaran kesamaan menggunakan lambang-lambang yang berarti.

2. Beberapa pengertian sederhana mengenai komunikasi sering ditampilkan sebagai berikut :

a. Merupakan proses penyampain komunikasi dengan menyampaikan lambang-lambang yang berarti.

b. Komunikasi merupakn proses penglihatan lambang-lambang berarti kedalamnya meliputi: ide-ide, pemikiran, sikap, pendapat, tingkah laku, sejumlah pengetahuan yang ditujukan kepada sejumlah orang. c. Merupakan proses dengan menggunakan antara sumber dan

pandangan.

d. Komunikasi adalah pertukaran informasi

Berdasarkan uraian tentang ruang lingkup ilmu komunikasi dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan proses sosial yang batasannya tidak terlepas dari multidispliner. Maksudnya, perekembangan studi komunikasi didukung oleh ilmu sosial lainnya.

2.2.2 KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

Komunikasi Antarpribadi didefenisikan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya “Interpersonal Communication Book” (Devito, 1989: 4) sebagai berikut :


(31)

“Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik”. Berdasarkan defenisi devito, komunikasi antarpribadi berlasngsung antara dua orang yang sedang berduaan seperti suami-istri yang bercakap-cakap, atau antara dua orang dalam suatu pertemuan. Pentingnya komunikasi antarpribadi adalah proses memungkinkan secara dialog.

Effendi (dalam Liliweri, 1991:12) mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Menurut Vandeber (1986) bahwa komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan atau perasaan.

Tekanan ulasan komunikasi antarpribadi terletak pada unsur-unsur, ciri-ciri, situasi terjadinya peristiwa komunikasi, jumlah orang yang terlibat dalam prosese komunikasi (untuk membedakannya dengan komunikasi kelompok maupun massa), jarak fisik dalam suatu pesan dari penerima kepada pengirimnya. Banyak ahli berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya bermuara pada perspektif situasi, yaitu suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antar pribadi sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua orang atau sebagian kecil orang dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga dari pada memperhatikan umpan balik yang tertunda (misalnya dalam hal komunikasi antar manusia bermedia seperti surat menyurat, percakapan, telepon).

Defenisi komunikasi antarpribadi memberikan tekanan terhadap kebebasan dalam mengembangkan konsep komunikasi antar pribadi berdasarkan situasi. Tekanan pada situasi ini digambarkan oleh Miller dan Stenberg (1975), namun keduanya pun beranggapan bahwa jika mendefenisikan komunikasi antar pribadi hanya dengan memperhatikan situasi maka hal itu sifatnya statik, tidak seorang pun dapat mengembangkannya lagi. Pada halnya situasi hubungan antar


(32)

manusia demikian bebasnya dan selalu dapat berubah-ubah. Komunikasi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaan, maupun menanggapi tingkah laku, seseorang yang sudah saling mengenal secara mendalam lebih baik ketimbang yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban (Liliweri, 1991:30).

2.2.2.1Ciri-Ciri Komunikasi Antarpribadi

Ciri-ciri komunikasi antarpribadi menurut De Vito (dalam Liliweri 1991:13) yaitu:

a. Keterbukaan (openes), yakni komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas ( tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu.

b. Empati (emphaty), yaitu kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain.

c. Dukungan (suppotiveness), yakni setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang di dambakan.

d. Rasa positif (positiveness), adalah setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka, sehingga menggangu jalinan interaksi.

e. Kesamaan (equality), yakni suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antar pribadi lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, usia, ideologi, dan sebagainya.

2.2.2.2Sifat-Sifat Komunikasi Antapribadi

Ada tujuh sifat yang menunjukan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antar pribadi dan bukan komunikasi lainnya yang


(33)

terangkum dari Reardon, Effendy, Porter dan samovar (dalam Liliweri 1991:31). Secara ringkas sifat sifat tersebut adalah:

a. Komunikasi antarpribadi melibatkan didalamnya perilaku verbal maupun non verbal.

b. Komunikasi antarpribadi melibatkan perilaku yang spontan, scripted dan contrived.

c. Komunikasi antarpribadi sebagai suatu proses yang berkembang.

d. Komunikasi antarpribadi harus menghasilkan umpan balik, mempunyai interaksi dan koherensi.

e. Komunikasi antarpribadi biasanya diatur dengan tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.

f. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. g. Komunikasi antarpribadi merupakan persuasi antar manusia.

2.2.2.4 Konsep Komunikasi Antarpribadi dalam Hubungan keluarga

Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan pria dan wanita, hubungan yang berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Cara orang tua berinteraksi dengan anaknya akan tercermin dengan sikap dan perilaku seorang anak, meskipun dampaknya tidak terlihat secara langsung. Teman sepermainan pertama seorang anak adalah saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Dari interaksi tersebut seorang anak akan memperoleh pelajaran berharga tentang bagaimana ia menjalin hubungan dengan teman dan orang lain nantinya.

Banyak masyarakat yang kurang mengerti bagaimana cara yang baik dalam berkomunikasi dengan anggota keluarganya sendiri khususnya antara suami dan istri serta orang tua dan anak. Sering terjadi kesalahpahaman antara kedua belah pihak dikarenakan belum mengetahui sebenarnya tipe keluarganya dan cara berkomunikasi dari tipe-tipe keluarga yang ada. Sehingga kesalah pahaman akan sering terjadi di dalam berkomunikasi antar anggota keluarga.


(34)

Kemampuan keluarga untuk bertahan hidup perubahan ini menujukkan bahwa keluarga yang fleksibel dan bahwa fleksibilitas mereka dibantu oleh anggota keluarga bagaimana berkomunikasi. Selanjutnya, meskipun jumlah fungsi keluarga telah didelagasikan kepada lembaga sosial lainnya, keluarga yang diharapkan untuk memelihara satu sama lain dan memberikan pengasuhan dan dukungan. Apakah dipahami sebagai sebuah proses pembuatan fakta saling nyata atau pengembangan dan mempertahankan defenisi realitas dalam hubungan, komunikasi memainkan peran sentral dalam keluarga (Kurniawati, 2014:48).

Menurut Fitzpatrick dan koleganya (dalam Kurniawati, 2014:48-49), komunikasi keluarga tidak terjadi secara acak, tetapi sangat berpola berdasarkan skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana keluarga saling berkomunikasi. Skema-skema ini terdiri atas pengetahuan tentang:

1. Seberapa dekat keluarga tersebut; 2. Tingkat individualitas dalam kelurga;

3. Faktor-faktor eksternal terhadap keluarga, misalnya teman, jarak geografis, pekerjaan dan masalah-masalah lain di luar keluarga.

Disamping pengetahuan tersebut, sebuah skema keluarga akan mencakup bentuk orientasi atau komunikasi tertentu. Ada dua tipe yang menonjol: pertama adalah orientasi percakapan (conversation orientation) dan kedua, orientasi kesesuaian (conformity orientation). Beragam skema akan menciptakan tipe-tipe keluarga yang berbeda. Fitzpatick dan koleganya (dalam Kurniawati, 2014:49-52) mengenali empat tipe keluarga :

1. Konsensual, yaitu tipe keluarga yang memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering berbicara, tetapi pemimpin keluarga biasanya salah satu orang tua yang membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghadapi komunikasi yang terbuka, sementara mereka juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Para orang tua biasanya menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan selanjutnya menjelaskan kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran dibalik keputusan tersebut.


(35)

Orang tua dalam keluarga konsensual cenderung memilki orientasi pernikahan yang tradisional. Ini berarti bahwa mereka akan lebih konvensional dalam cara memandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran daripada keragaman dan spontanitas. Data penelitian menyatakan bahwa tidak terlalu banyak konflik dalam pernikahan tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dibagikan menurut norma-norma yang biasa. 2. Pluralistis, yaitu tipe keluarga yang tinggi dalam percakapan, tetapi rendah

dalam kesesuaian. Tipe keluarga pluralistis memilki banyak kebebasan percakapan, tetapi apada akhirnya setiap orang akan membaut keputusan sendiri tentang tindakan apa yang harus diambil berdasarkan pada pembicaraan tersebut. Orang tua merasa tidak perlu untuk mengendalikan anak-anaknya.Opini di nilai berdasarkan kelayakan dan setiap orang ikut serta dalam pengambilan keputusan keluarga.

Orang tua dari keluarga pluralistis cenderung digolongkan sebagai orang tua yang mandiri, karena mereka biasanya tidak kaku dalam memandang pernikahan. Ada banyak konflik dalam pernikahan mandiri yang umum. Masing-masing saling berlomba untuk mendapatkan kekuasaan, menggunakan berbagai teknik persuasif dan tidak segan untuk saling menyangkal argumen.

3. Protektif, yaitu tipe keluaraga yang cenderung rendah dalam percakapan, tetapi tinggi dalam dalam kesesuaian, terdapat banyak kepatuhan, tetapi sedikit berkomunikasi. Orang tua dalam tipe keluarga ini tidak melihat perlunya menghabisakn banyak waktu untuk membicarakan segala sesuatu, mereka juga tidak meberikan penjelasan pada anak-anaknya tentang apa yang mereka putuskan. Untuk alasan ini, orang tua tersebut cenderung digolongkan sebagai orang tua yang terpisah. Mereka tampaknya saling bertentangan dalam peran dan hubungan mereka. Mereka memilki pandangan pernikahan yang konvensional, tetapi mereka tidak terlalu bergantung dan tidak banyak berbagi. Fitzpatrick menyebut orang tua terpisah sebagai “bercerai secara emosional”.


(36)

4. Laissez-faire atau toleran, yaitu tipe keluarga yang rendah dalam percakapan dan rendah dalam kesesuaian. Tipe keluarga ini tidak suka ikut campur dan keterlibatan yang rendah. Anggota keluarga ini sangat tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain dan mereka benar-benar tidak mau membuang-buang waktu untuk membicarakannya. Orang tua dalam tipe keluarga ini cenderung memiliki orientasi yang bercampur, yang berarti bahwa mereka tidak memiliki skema yang ssama dari mana mereka akan bekerja. Mereka merupakan kombinasi dari orang tua yang mandiri dan terpisah atau kombinasi lain.

2.2.2.5 Faktor-faktor Hubungan Interpersonal dalam Keluarga

Komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi interpersonal (face to face communication) yang pada intinya merupakan komunikasi langsung dimana masing-masing peserta komunikasi dapat beralih fungsi, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Selain itu yang lebih penting lagi adalah bahwa reaksi yang diberikan masing-masing peserta komunikasi dapat diperoleh langsung. Karena itulah keluarga dapat dikategorikan sebagai satuan sosial terkecil dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam membicarakan komunikasi orang tua dan anak melalui komunikasi interpersonal, formula dari George Gebner dapat menjadi pedoman. Model yang dibuatnya meskipun sedikit komplek tetapi mempunyai banyak kegunaan karena model ini lebih memberikan suatu pemikiran yang seksama (accurate) dari apa komunikasi interpersonal itu, yaitu : proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau dari sejumlah orang-orang dalam suatu kelompok dengan sejumlah efek yang dapat diketahui dengan segera (Devito, 1986:4).

Komunikasi interpersonal merupakan salinan dari bentuk-bentuk lain dari pemikiran komunikasi yang mempunyai bagian atau elemen-elemen interpersonal. Disini Gebner menggambarkan perbandingan komunikasi interpersonal sebagai interaksi atau hubungan langsung antara individu-individu. Komunikator membagi aturan-aturan dari sumber ke penerima, dan didalam interaksinya mereka menciptakan arti-arti dan pemahaman-pemahaman ( Little John, 1988:152). Dalam perkembangan selanjutnya komunikasi interpersonal


(37)

digambarkan sebagai komunikasi yang memerlukan tempat antara keduanya, dan orang menyebutnya sebagai “koneksi”, yang dicontohkan dengan hubungan antara ayah ibu dan anak, dua saudara, guru dan murid, insane bercinta, dua teman dan sebagainya ( Devito, 1986:13).

Dalam kaitannya dengan komunikasi orang tua dan anak, maka faktor-faktor yang berperan dalam hubungan interpersonal adalah bagaimana anak mempunyai persepsi (pandangan) terhadap orang tua dan kemampuan menampilkan diri sebagai orang tua yang baik, yaitu:

1. Persepsi anak terhadap orang tua.

Kualitas hubungan interpersonal antara orang tua dan anak dimulai dari bagaimana persepsi anak terhadap orang tua. Kalau seorang anak beranggapan bahwa orang tua adalah sosok yang memiliki sifat-sifat yang baik, ramah, menyayangi, bertanggung jawab dan sebagainya biasanya anak akan menaruh hormat terhadap orang tua.

2. Kemampuan menjadi orang tua yang baik

Selain faktor pembentukan kesan terhadap anak, kemampuan anak memiliki kesan yang baik terhadap orang tua adalah hal yang sangat menentukan keberhasilan dari hubungan interpersonal, antara lain dengan memberikan kebutuhan-kebutuhan anak seperti kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, pendidikan dan sebagainya.

3. Prinsip hubungan interpersonal

Apa yang dikembangkan diatas adalah upaya awal untuk membina hubungan interpersonal yang baik. Hubungan-hubungan yang telah terbentuk tersebut akan berlangsung dengan baik atau tidak, tergantung pada interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak. Hubungan Interpersonal akan berlangsung lama apabila dalam interaksi antara dua orang terjadi interaksi yang adil. Dalam arti bahwa masing-masing yang terlibat dalam interaksi social sama-sama memberikan dan menerima proporsi yang seimbang.


(38)

2.2.3 POLA KOMUNIKASI KELUARGA 2.2.3.1 Pemahaman tentang Pola Komunikasi

Dalam kamus besar bahasa indonesia, pola diartikan sebagai bentuk(struktur) yang tetap. Sedangkan (1) komunikasi adalah proses penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. (2) Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dengan demikian, pola komunikasi dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1)

2.2.3.2Pengertian Komunikasi Keluarga

Wursanto (dalam Djamarah 2004:36) mengatakan bahwa komunikasi dapat berlangsung setiap saat, dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan siapa saja. Semenjak lahir manusia sudah mengadakan hubungan dengan kelompok masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami individu yang baru lahir, ialah keluarga. Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan.

Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan. Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga adalah pasti membicarakan hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan komunikasi yang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik.


(39)

2.2.3.3Pola Komunikasi Keluarga

Banyak teori mengenai komunikasi keluarga yang menyatakan bahwa anggota keluarga menjalankan pola interaksi yang sama secara terus menerus. Pola ini bisa negatif ataupun positif, tergantung dari sudut pandang dan akibat yang diterima anggota keluarga. Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam keluarga tersebut.

Keluarga membuat persetujuan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dikomunikasikan dan bagaimana isi dari komunikasi itu di interpretasikan. Keluarga juga menciptakan peraturan kapan bisa berkomunikasi, seperti tidak boleh bicara bila orang sedang mencoba tidur, dan sebagainya. Semua peraturan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikomunikasikan melalui cara yang sama secara terus menerus sehingga membentuk suatu pola komunikasi keluarga.

Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Keluarga perlu mengembangkan kesadaran dari pola interaksi yang terjadi dalam keluarganya, apakah pola tersebut benar-benar diinginkan dan dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga, apakah pola itu membantu dalam menjaga kesehatan dan fungsi dari keluarga itu sendiri, atau malah merusak keutuhan keluarga. Kesadaran akan pola itu dapat dibedakan antara keluarga yang sehat dan bahagia dengan keluarga yang dangkal dan bermasalah. Pola-pola komunikasi yang lebih kompleks berkembang pada waktu si anak mulai tumbuh dan menempatkan diri ke dalam peranan orang lain. “Menurut Hoselitz, dengan menempatkan pribadi ke dalam peranan orang lain maka si anak juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang lain”. (Liliweri, 1997 : 45).

Berdasarkan pandangan Klinger, Gillin dan Gillin yang dikutip Soekanto, maka kita dapat mengetahui bahwa setiap proses komunikasi didorong oleh faktor-faktor tertentu. Misalnya pada waktu bayi menangis, tangisan itu mempengaruhi ibu sehingga sang ibu segera datang membawa botol susu. Sang bayi mulai belajar dari pengalamannya bahwa setiap tangisan merupakan tanda


(40)

(sign) yang selalu dapat digunakan untuk menyatakan kebutuhan makan dan minum (Liliweri, 1997 : 45).

Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana dilakukan anggota keluarga mereka. Akibatnya mereka belajar menyesuaikan pada kehidupan atas dasar landasan yang diletakkan ketika lingkungan untuk sebagian besar terbatas pada rumah. Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah, mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari.C. H. Cooley berpendapat bahwa keluarga sebagai kelompok primer, setiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam kelompok” (Daryanto, 1984 : 64).

Anggota-anggota sebuah keluarga, suami isteri dan anak-anaknya mempunyai status dan peranan masing-masing, sehingga interaksi dan inter-relasi mereka menunjukkan pola yang jelas dan tetap. Status anggota-anggota keluarga ini sedemikian pentingnya, sehingga bila salah seorang anggota keluarga keluar dari ikatan atau hubungan keluarga, maka anggota-anggota yang lain akan merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam hatinya, di samping itu pola relasi di dalam keluarga itu akan berubah. Tiap anggota keluarga merupakan kepribadian yang khas dan diperlukan sama oleh anggota-anggota yang lain. “Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di dalam keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk kehidupan sosial” (Daryanto, 1984 : 64).

Selain itu, kelompok primer bersifat fundamental karena membentuk titik pusat utama untuk memenuhi kepuasan-kepuasan sosial, seperti mendapat kasih sayang atau afeksi, keamanan dan kesejahteraan, dan semuanya itu diwujudkan melalui komunikasi yang dilakukan terus menerus dan membentuk sebuah pola.


(41)

Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986) mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu :

1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)

Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersonal lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran yang sama.

Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang sederhana seperti film yang akan ditonton maupun yang penting seperti sekolah mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal balik dan seimbang.

2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)

Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Tiap orang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak


(42)

dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri.

3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern) Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang kurang menarik atau berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberitahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan.

4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)

Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat, dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan itulah maka bila ada konflik masing-masing tidak tahu bagaimana mencari solusi bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat atau mengungkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya


(43)

hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama.

2.2.3.4Interaksi Sosial dalam Keluarga

Setiap keluarga adalah suatu sistem- suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan tidak pernah berlangsung hanya satu arah. Contohnya, interaksi antara ibu dan bayinya terkadang dilambangkan sebagai tarian di mana tindakan yang sinambung dari pasangan dikoordinasikan secara ketat. Tarian terkoordinasi ini bisa diartikan sebagai mutual syncrony, yang berarti bahwa perilaku setiap orang bergantung pada perilaku sebelumnya dari mitranya (Santrock, 2007:157).

Pendidikan dasar yang baik harus diberikan kepada anggota keluarga sedini mungkin dalam upaya memerankan fungsi pendidikan dalam keluarga, yaitu menumbuhkembangkan potensi laten anak, sebagai wahana untuk mentrnasfer nilai-nilai dan ebagai agen trasformasi kebudayaan. Ada beberapa bentuk interaksi dalam keluarga, yaitu interaksi antara suami dan istri, interaksi antara ayah, ibu dan anak, interaksi antara ayah dan anak, interaksi antara ibu dan anak dan interaksi antara anak dan anak (Djamarah, 2004:49-60)

1. Interaksi antara suami dan istri

Interaksi sosial antara suami dan istri selalu saja terjadi, dimana dan kapan saja. Tetapi interaksi sosial dengan intensivitas yang lebih tinggi lebih sering terjadi dirumah, karena berbagai kepentingan. Misalnya karena masalah kehangatan cinta, karena ingin berbincang-bincang, karena ada permasalahan keluarga yang harus dipecahkan, karena masalah anak, karena masalah sandang pangan, dan sebagainya.

Dalam kehidupan berumah tangga, pernikahan boleh saja semakin berumur, tetapi bara cinta harus tetap menyala. Kapan dan dimana pun berada,


(44)

pasangan suami istri selalu mendambakan kehangatan cinta dari lawan jenisnya. Ada beberapa indikator yang dapat menghantarkan kepada kehangatan cinta, yaitu ungkapan cinta, efek sentuhan, beri bantuan, siap dengan dukungan, jangan pelit pujian, munculkan segala kebaikannya, sisihkan waktu berdua serta panggilan khusus antara suami dan istri.

2. Interaksi antara Ayah, Ibu dan Anak

Suatu ketika ayah dan ibu sering terlibat dalam perbincangan mengenai masalah anak. Mereka bermusyawarah sikap dan perilaku bagaimana yang sebaiknya ditampilkan untuk memberikan pengalaman yang baik kepada anak di dalam rumah. Walaupun tanpa disadari sikap dan perilaku negatif ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Mendidik anak memang tidak mudah, karena banyak faktor yang ikut terlibat dalam memberikan pengalaman. Sumber informasi dalam bentuk media elektronik dan media cetak memberikan efek psikologis terhadap anak. Ayah dan ibu sering resah karena anaknya sering menonton perilaku yang berbau seks dan adegan kekerasan di TV. Ayah dan ibu merasa khawatir karena anaknya sering melihat gambar pornografi yang dipajang di cover depan kora-koran picisan.

Orang tua yang baik adalah ayah-ibu yang pandai menjadi sahabat sekaligus sebagai teladan bagi anaknya sendiri. Karena sikap bersahabat dengan anak mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi jiwanya. Sebagai sahabat, tentu saja orang tua harus menyediakan waktu untuk anak. Menemani anak dalam suka dan duka, memilihkan teman yang baik untuk anak dan bukan membiarkan nak memilih teman sesuka hatinya tanpa petunjuk bagaimana cara memilih teman yang baik.

Dalam keluarga, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak. Mendidik anak berarti mempersiapkan anak untuk menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang. Orang tua yang ingin mempersiapkan anak-anak dalam kehidupan yang akan datang harus mengajarkan kepada mereka bagaimana mengembangkan sikap yang menarik sebagai cara hidup. Memberikan nasihat kepada anak mesti dilakukan jika dalam sikap dan perilakunya terdapat gejala


(45)

yang kurang baik bagi perkembangnnya. Pemberian nasihat perlu waktu yang tepat dan dengan sikap yang bijaksana, jauh dari kekerasan dan kebencian.

Untuk mendukung ke arah pengembangan diri anak yang baik salah satu upayanya adalah pendidikan disiplin. Pendidikan disiplin dapat diberikan dalam bentuk keteladanan dalam rumah tangga. Ayah dan ibu harus memberikan teladan dalam hal disiplin yang baik dengan bijaksana dan dengan menggunakan pujian, buak selalu dengan kritik atau hukuman. Sebab anak yang tumbuh dalam suasana pujian dan persetujuan akan tumbuh lebih bahagia, lebih produktif dan lebih patuh daripada anak yang terus menerus di kritik.

Untuk melahirkan anak dengan disiplin yang baik tidak mungkin da[at terbentuk dalam waktu singkat, tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dalam siklus proses. Karenanya mendidik anak perlu kesabaran dan memiliki kepekaan terhadap anak. Kesabaran ada, tetapi tidak peka terhadap anak, akan melahirkan anak dengan kepribadian yang labil.

Hal lain yang juga penting untuk diberikan kepada anak adalah menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Caranya memperkuat kemauan anak, menumbuhkan kepercayaan sosial, menumbuhkan kepercayaan ilmiah, dan menumbuhkan kepercayaan ekonomi dan bisnis. Keprcayaan diri dapat melahirkan kepribadian yang unggul dengan keyakinan yang kuat terhadap apa yang pernah diucapkan atau yang dilakukan. Jauh dari ketergantungan orang lain. Punya sikap yang konsisten. Bahkan yang terpenting adalah tidak membeo.

3. Interaksi antara ibu dan anak

Peranan seorang ibu terhadap proses sosialisasi anak sangat besar (lebih besar daripada seorang ayah). Proses sosialisasi tersebut mengantarkan anak kedalam sistem kehidupan sosial yang berstruktur. Anak diperkenalkan dengan kehidupan kelompok yang saling berhubungan dan saling ketergantungan dalam jalinan interaksi sosial.

Hubungan antara ibu dan anak tidak hanya terjadi pasca kelahiran anak, tetapi sudah berlangsung ketika anak sedang dalam kandungan ibu. Hubungan ibu


(46)

dan anak bersifat fisiologis dan psikologis. Secara fisiologis makanan yang dimakan oleh ibu yang sedang hamil akan mempengaruhi pertumbuhan fisik anak. Kalau tidak ada kelainan karena fakto lain diluar perkiraan, maka anak akan tumbuh dengan organ-organ tubuh yang sempurna.

Secara psikologis, antara seorang ibu dan anak terjalin hubungan emosional. Ada tali jiwa yang turbuhul utuh dan tidak bisa diceraiberaikan. Sentuhan kasih sayang seorang ibu dapat meredakan tangisan anak. Sambil menyusui, seorang ibu tidak pernah lupa memandangi sekujur tubuh anaknya dan berusaha berdialog denagn anak. Rabaan dan belaian adalah saluran naluri insani serang ibu kepada anak kesayangannya.

Hubungan darah antara ibu dan anak melahirkan pendidikan yang bersifat kodrati. Karenanya secara naluriah, meskipun mendidik anak merupakan suatu kewajiban, tetapi seorang ibu merasa terpanggil untuk mendidik anaknya dengan cara mereka sendiri. Bagi seorang ibu yang terbiasa hidup dalam alam tradisional, mendidik anaknya berdasarkan pengalaman yang diberikan oleh leluhurnya atau berpedoman pada warisan budaya tradisional setempat. Bagi seorang ibu yang hidup dalam alam modern, juga mendidik anaknya berdasarkan pengalaman atau ilmu pengetahuan yang pernah diterimanya dalam kehidupan modern.

Dari kultur kehidupan keluarga yang kontradiktif di atas melahirkan perilaku pendidikan yang berlainan, sehingga upaya pendidikan yng diberikan kepada anak dengan pendekatan yang tidak selalu sama. Pada umumnya pendekatan pendidikan yang sering dilakukan dalam suatu keluarga berkisar pada pendekatan individual, pendekatan kelompok, pendekatan edukatif, pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional, pendekatan fungsional dan pendekatan keagamaan.

Sedangkan pendidikan dasar yang baik yang harus dibelrikan dalam keluarga adalah pendidikan dasar agama, pendidikan dasar akhlak, pendidikan dasar moral, pendidikan dasar sosial, pendidikan dasar susila dan pendidikan dasar etika.


(47)

Di indonesia, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempnyai sifat-sifat kepemimpinan yang baik. Sesuai dengan ajaran-ajaran tradisional (jiwa), maka seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan yang baik (ing ngarso sung tulodo), memberi semangat sehingga pengikut itu kreatif (ing madyo mangun karso), dan membimbing (tut wuri handayani). Sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya.

Pada fase awal dari kehidupan anak, dia tidak hanya berkenalan dengan ibunya, tetapi juga berkenalan dengan ayahnya sebagai orang tuanya. Keduanya sama-sama memerikan cinta, kasih dan sayang serta berusaha memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. Karena setiap pengalaman baik atau pun buruk yang dimiliki seorang anak akan menjadi referensi kepribadian anak pada masa-masa selanjutnya, maka yang harus diberikan kepada anak adalah pengalaman yang baik-baik saja. Karenanya menjadi tugas dan tanggung jawab orang tau untuk memberikan pengalaman yang baik kepada anak melalui pendidikan yang diberikan dalam keluarga.

Dengan posisi dan peranan yang sedikit berbeda, antara ibu dan ayah melahirkan hubungan yang bervariasi dengan anak. Meski begitu, baik ibu maupun ayah sama-sama berusaha berda sedekat mungkin dengan anaknya, seolah-olah tidak ada jarak. Karena hanya dengan begitu, orang tua dapat memberikan pendidikan lebih intensif kepada anaknya di rumah.

Seorang ayah dengan kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anaknya akan berusaha meluangkan waktu dan mencurahkan pikiran untuk memperhatikan pendidikan anaknya serta menjadi pendengar yangn baik ketika anak menceritakan berbagai pengalaman yang didapatkannya diluar rumah.

Ketika sedang di tengah perjalanan, entah di atas kendaraan bermotor atau ketika berjalan kaki, ayah tidak hanya memandang-mandang sesuatu ke kiri dan ke kanan tidak karuan, tetapi pada kondisi tertentu sebaiknya dimanfaatkan untuk


(48)

berdialog dan diselingi tanya jawab dalam perspektif kependidikan tentang sesuat dengan anak, agar dia memperoleh pelajaran yang baik dari ayahnya.

5. Interaksi antara anak dan anak

Kehidupan keluarga di masa lalu mencerminkan keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak dala rumah tangga. Tetapi bukan semata-mata didasari oleh persepsi bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Kekurangan pengetahuan tentang cara-cara pengendalian kelahiranlah yang menjadi pangkal penyebabnya. Program KB yang dicanangkan pemerintah belum dikenal di masa lalu, sehingga wajar saja masyarakat tradisional tidak mengenal NKKBS ( Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera ). Tradisi memiliki banyak anak untuk keluarga tertentu dirasakan sebagai kebanggan tersendiri.

Sampai sekarang tradisi banyak anak masih ada di kalangan keluarga tertentu. Meskipun mereka sudah hidup dalam kehidupan mpdern dengan tingkat pengendalian kelahiran yang tidak diragukan. Tetapi, karena berhasilnya program KB di Indonesia, kebanyakan kehidupan keluarga di huni oleh ayah, ibu, dan dua orang anak.

Dengan hadirnya anak-anak dalam keluarga berarti komunitas keluarga bertambah. Di sini interaksi semakin meluas. Semula hubungan antara suami dan istri, kemudian meluas hubungan antara anak dan anak. Hubungan antara anak tidak selalu melibatkan orang tuanya. Bisa saja berlangsung antara sesama anak. Mereka bermain bersama, saling membantu antara sesama mereka, atau melakukan apa saja yang dapat menyenangkan hati.

Interaksi antara sesama anak bisa berlangsung di mana dan kapan saja. Banyak hal yag menjadi penghubung jalannya interaksi antara sesama anak. Misalnya masalah pelajaran, masalah bermain, masalah rekreasi dan sebagainya. Pertemuan antara kakak dan adiknya untuk membicarakan rencana untuk berkunjung kerumah teman atau seorang adik yang meminta bantuan kepada kakaknya bagaimana cara belajar yang baik adalah bentuk interaksi sesama anak. Interaksi yang berlangsung diantara mereka tidak sepihak, tetapi secara timbal balik. Pada suatu waktu, mungkin saja seorang kakak yang memulai pembicaraan


(49)

yang memulai untuk membicarakan suatu hal kepada adiknya. Tetapi dilain kesempatan bisa saja seorang adik yang memulai pembicaraan untuk membicarakan sesuatu hal kepada kakaknya. Mereka berbicara antar sesama mereka, tanpa melibatkan orang tua. Bahasa yang mereka pergunakan sesuai dengan alam pemikiran dan tingkat pengusaan bahasa yang dikuasai. Mereka bertukar pengalaman, bersenda gurau, bermain atau melakuka aktivitas apa saja menurut cara mereka masing-masing dalam suka dan duka.

2.2.3.5Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi dalam Keluarga Sukarnya berkomunikasi dengan baik, karena yanng berkomunikasi itu adalah manusia dengan segala perbedaannya. Setiap orang mempunya ciri-ciri khas tertentu dalam bersikap, bertingkah laku, memandang orang lain, melihat keadaan dunia ini ataupun dalam merasa diri. Dalam keluarga, ketika dua orang berkomunikasi, sebetulnya mereka berada dalam perbedaan untuk mencapai kesamaan pengertian dengan cara mengungkapkan dunia sendiri yang khas, mengungkapkan dirinya yang tidak sama dengan siapa pun. Sekalipun yang berkomunikasi itu adalah antara suami dan istri, antara ayah dan anak, antara ibu dan anak dan antara anak dan anak, hanya sebagian kecil mereka itu sama-sama tahu, sama-sama mengalami, sama pendapat dan sama pandangan. Pada bidang tertentu selalu ada perbedaan, tidak dialami oleh pihak lain. Oleh karena itu, berkomunikasi mengenai bidang yang sama jauh lebih komunikatif dari pada berkomunikasi mengenai bidang yang berbeda (Djamarah, 2004:62).

Dalam konteks itulah, diyakini ada sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga, seperti yang akan diuraikan berikut ini :

1. Citra Diri dan Citra Orang lain

Citra diri atau merasa diri, maksudnya sama saja. Ketika orang berhubungan dan berkomunikasi dengan seorang lain, dia mempunyai citra diri, dia merasa dirinya sebagai apa dan bagaimana. Setiap orang mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, statusnya kelebihan dan kekurangannya. Gambaran itu lah yang menentukan apa dan bagaimana ia


(50)

berbicara, menyaring bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannnya terhadap segala yang berlangsung disekitarnya. Dengan kata lain, citra diri menunjukka ekspresi dan persepsi orang.

Tidak hanya citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Orang lain mempunyai gambaran yang khas bagi dirinya. Jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia yang lemah, ingusan tidak tahu apa-apa, harus diatur, harus diawasi, maka ia berbicara kepada anaknya itu secara otoriter, yaitu lebih banyak mengatur, melarang atau memerintah. Tetapi jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia cerdas, kreatif dan berpikiran sehat, maka ia mengkomunikasikan sesuatu kepada anaknya dalam bentuk anuran daripada perintah, pertimbangan dari pada larangan, kebebasan terpimpin daripada banyak mengatur.

2. Suasana Psikologis

Suasana psikologis di akui mempengaruhi komunikasi. Komunikasi sulit berlangsung apabila seseorang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka, dan suasana psikologis lainnya. Seseorang dalam keadaan sedih karena di tinggal ayah atau ibunya misalnya, sulit diajak bicara karena suasana hati dalam keadaan duka cita, seseorang tidak mampu mengungkapkan kalimat dengan sempurna. Derasnya air mata yang keluar karena tangis kesedihan sebagai pertanda bahwa gejolak emosinya lebih dominan daripada akal pikirannya sehingga dia lebih banyak menampilkan luapan emosinya yang terkadang tak terkendali, dan ketika itu sulit diajak bicara.

3. Lingkungan Fisik

Komunikasi dapat berlangsung kapan saja dan dimana saja, dengan gaya dan cara yang berbeda. Komunikasi yang berlangsung dalam keluarga berbeda dengan komunikasi yang terjadi di sekolah. Karena memang kedua lingkungan ini berbeda. Suasana dirumah bersifat informal, sedangkan suasana disekolah bersifat formal. Dalam etnik keluarga tertentu memilki tradisi tersendiri yang harus ditaati. Kehidupan kelarga yang menjunjung tinggi norma agama memiliki tradisi kehidupan yang


(51)

berbeda dengan kehidupan keluarga yang meremehkan norma agama. Kehidupan keluarga dengan segala perbedaannya itu memiliki gaya dan cara berkomunikasi yang berlainan. Oleh karena itu, lingkungan fisik, dalam hal ini lingkungan keluarga, mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi.

4. Kepemimpinan

Dinamika hubungan dalam keluarga dipengaruhi oleh pola kepemimpinan. Karakteristik seorang pemimpin akan menentukan pola komunikasi bagaimana yang akan berproses dalam kehidupan yang membentuk hubungan-hubungan tersebut. Kepeimpinan adalah faktor yang paling menentukan keefektifan komunikasi kelompok. Dinamika kelompok bagaimana akan terjadi ditentukan oleh gaya-gaya kepemimpinan. Tetapi bisa juga sebaliknya, kelompok bagaimana yang dipimpin, akan mempengaruhi pola kepemimpinan. Tipe-tipe kepemimpinan melahirkan bermacam-macam sikap dan perilaku seseorang dalam memimpin kelompoknya. Karenanya, cara-cara kepemimpinan yang berlainan yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya mempunyai akibat-akibat berlainan terhadap interaksi kelompok. Cara-cara kepemimpinan itu bisa otoriter, demokratis, atau laissez faire.

5. Bahasa

Dalam komunikasi verbal orang tua atau anak pasti menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan sesuatu. Pada suatu kesempatan bahasa yang dipergunakan oleh orang tua ketika berbicara kepada anaknya dapat mewakili suatu objek yang dibicarakan secara tepat. Seringkali penafsiran seseorang bermacam-macam terhadap bahasa yang digunakan itu, disebabkan penggunaan bahasa (dalam konteks budaya) dengan maksud agar lebih sopan atau untuk menghilangkan kesan jelek, atau supaya tidak menyinggung perasaan suatu kelompok. Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh budaya keluarga di daerah tertentu. Berbagai bahasa yang dipergunakan di daerah lain sering tersisip dalam komunikasi, karena bahasa yang dipakai itu terasa asing dan tidak pernah mendengar, seseorang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara.


(1)

ada. Aku dari kelas 6 Sd udah ngurus hidup sendiri. Mulai nyuci baju, nyiapin perlengkapan sekolah sampai makan ku juga aku urus sendiri. Abang dan kakakku ada, tapi mereka Cuma ngasih uang aja, kadang-kadang juga aku nyari tambahan sendiri. Di sekolah aku sering ngerjain tugas temen aku, tapi aku minta upah. Dari situ lah dapat uang tambahan, bisa aku simpan untuk beli-beli apa yang aku mau”

Apakah anda mempunyai teman dekat?

“Punya, satu orang rumahnya dibelakang rumah ini. Dia lah yang tau semua tentang kehidupanku. Tentang keluarga ku, sedihnya aku semualah dia tau aku ceritanya sama dia aja. Kalau sama kakak atau abang aku ngga ada” 5. Siapa yang paling berperan untuk mengambil keputusan didalam

keluarga anda?

Suara siapa yang lebih dominan dalam keluarga anda ketika mengambil

suatu keputusan untuk keluarga ataupun anak-anaknya? Ayah atau ibu? “Untuk mengambil keputusan biasanya aku sendiri. Misalnya aku mau sekolah dimana pokoknya yang menyangkut hidup aku, biasanya aku putuskan sendiri. Keputusan yang aku ambil juga melihat kondisi disekeliling aku. Kalau keputusan yang menyangkut keluarga, entah itu warisan atau usaha peninggalan bg sulis lebih berperan, karena dia anak yang paling besar. Bapak udah ngga mau ikut campur lagi dengan kehidupan kami. Diluar itu kami urus hidup kami masing-masing.

Bagaimana pengambilan keputusan keluarga anda untuk memilih

sekolah atau pun hal lainnya?

“Aku sendiri. Tapi kalau udah menyangkut keluarga, yang bertindak mengambil keputusan biasanya bang Sulis, karena dia anak pertama”

Pada usia berapa anda menikah dan apa yang menyebabkan anda

menikah pada usia muda?

“Aku menikah umur 18 tahun. aku nikah karena kemauan aku sendiri. Tapi, aku minta izin sama bapak, abang-abang aku dan kak Devi. Mereka setuju, bapak juga setuju. Malah seneng pun. Langsung ditanya, kapan mau nikahnya? Bapak kan udah tau pacar ku..ngga ada dihalang-halangi. Yang kurang setuju kemaren kak Devi, karena dia mikir aku masih umur 18 tahun, kerja aja dulu katanya. Tapi aku lihat mereka nikah kayanya enak, ada yang perhatiin, di sayang, enak lah ku lihat. Dari kecil aku udah kurang kasih sayang, ngga diperhatiin jadi yaudalah aku nikah aja lagian aku malu juga tamat sekolah jaga anak, nyuci-nyuci, dirumaaaah aja. Untuk menghindari itu aku milih nikah”

Bagaimana keluarga anda mengambil keputusan bahwa anda harus

menikah walaupun usia anda masih remaja?

“Aku ngambil keputusan karena pemikiran ku terhadap suatu hal. Kaya misalnya tadi, mamak sama bapakku ngga nyuruh aku untuk pindah sekolah, tapi sebagai anak yaa harus ngerti kalau udah dibilangin gitu. Keputusan aku


(2)

nikah karena itu tadi, kayanya kakak sama abang-abangku nikah ada yang ngasih perhatian dan kasih sayang lagian aku ngga kerja Cuma jaga anak kak devi. Lagian pun mantan pacar haha (tertawa) alias suami ku sekarang umurnya udah 30 an jadi waktu dia ngajak nikah aku mau, karena aku anggap dia lebih dewasa dibandingkan aku. Semua yaa karena keadaan. Aku pikir kalau aku menikah bakalan ada yang perhatian sama ku, kalau dari dahulu aku dapat kasih sayang yang cukup, mungkin aku ngga mau menikah muda. Mau menikmati masa-masa muda. Kerja cari uang untuk menghidupi diri sendiri. Sekarang aku kerja bukan untuk aku sendiri hasilnya tapi untuk suami juga. Kalau aku masih sendiri aku bisa beli apa aja yang aku mau, jalan-jalan kesana-kemari, main-main bareng kawan-kawan. Aku ngga menyesal udah menikah, tapi menurutku sekarang tanggunganku jadi double ngga Cuma mikir diri sendiri”


(3)

BIODATA PENELITI

Nama : Putri Wulandari

Nim : 110904052

Departemen : Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Program Studi : Hubungan Masyarakat (HUMAS)

Tempat/Tanggal Lahir: Medan, 06 Agustus 1993

Usia : 22 Tahun

Anak ke : 1 (Satu) Dari: 2 (Dua) Bersaudara

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : SDN 107393 SM. Diski

SMPN 1 Sunggal

SMK-BM Panca Budi Medan

No HP : 085763627273


(4)

BIODATA INFORMAN

Nama : Mayang Indah Putri

Tempat/Tanggal Lahir : Diski, 1 Mei 1998

Alamat : Dusun V Kalirejo Desa Sei Semayang

Usia : 17 tahun

Anak Ke : 1 (Satu) dari 4 (Empat) Bersaudara

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SMP (Sekolah Menengah Pertama)

Usia Menikah : 16 tahun


(5)

BIODATA INFORMAN

Nama : Sri Susi Nirmala Sari

Tempat/Tanggal Lahir : Diski, 17 Februari 1991

Alamat : Dusun VI Sridadi Desa Sei Semayang

Usia : 24 tahun

Anak Ke : 4 (Satu) dari 4 (Empat) Bersaudara

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : S1 (Strata satu) Teknik Informatika


(6)

BIODATA INFORMAN

Nama : Lina Indahyani

Tempat/Tanggal Lahir : Diski, 13 April 1995

Alamat : Dusun VIII Desa Sei Semayang

Usia : 20 tahun

Anak Ke : 5 (Satu) dari 5 (Empat) Bersaudara

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)

Usia Menikah : 18 tahun


Dokumen yang terkait

KELUARGA PASANGAN PERKAWINAN USIA MUDA/ REMAJA DALAM PERSPEKTIF PERTUKARAN SOSIAL

0 3 17

Pola komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh pada mahasiswa pascasarjana IPB

0 4 214

PERILAKU REMAJA PADA KELUARGA MISKIN (STUDI KASUS KENAKALAN REMAJA DI DESA HELVETIA KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG).

0 4 20

PARTISIPASI IBU RUMAH TANGGA DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN EKONOMI KELUARGA DI DESA SEI SEMAYANG KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG.

0 2 27

PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENIKAH DI USIA REMAJA.

1 8 112

Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten

0 0 9

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PERKAWINAN USIA REMAJA (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

0 1 15

Komunikasi Keluarga dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja - Repository Universitas Al Azhar Indonesia

0 0 13