PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena peredaran gelap narkotika merupakan permasalahan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan obat-obatan terlarang di seluruh dunia tidak pernah kunjung berkurang, Secara umum permasalahan obat-obatan terlarang dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi narkoba secara gelap (illicit drug production), adanya perdagangan gelap narkoba (illicit trafficking) dan adanya penyalahgunaan narkotika (drug abuse). Ketiga hal itulah sesungguhnya menjadi target sasaran yang ingin diperangi oleh masyarakat internasional dengan Gerakan Anti Madat Sedunia.1

Pertimbangan huruf (c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Selanjutnya menurut huruf (d), tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Kecenderungan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika berkaitan dengan kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk 1

Erwin Mappaseng.Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta 2002. hlm. 2


(2)

memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap baru dan penyalahgunaan narkotika lain akan semakin besar di masa mendatang. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan Narkoba ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah nasional, karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. Penyalah gunaan narkotika tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Bahaya penyalahgunaan narkotika berpangkal dari mengkonsumsi bahan atau jenis obat-obatan terlarang harus ditanggulangi. Hal ini disebabkan karena dampak yang ditimbulkan karena penyalah gunaan obat-obatan terlarang akan merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kejahatan dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum yang tegas dan komprehensif.2

2


(3)

Data Badan Narkotika Nasional, sampai dengan tahun 2011 menunjukkan sebanyak 3.265.344 pengguna narkotika di seluruh Indonesia3. Menyadari bahwa penyalahgunaan narkotika ini sama halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian dan pembunuhan yang sulit diberantas atau bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari muka bumi, maka apa yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan narkotika serta bagaimana kita melakukan upaya untuk mengurangi bahaya yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika ini. Penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten.

Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan dewasa ini dilakukan oleh para pelaku yang berstatus sebagai aparat penegak hukum, yaitu oknum kejaksaan. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan maka diketahui bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Setiap jaksa dalam institusi kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya secara merdeka dengan menjujung tinggi hak asasi manusia dalam negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan,

3


(4)

Kejaksaan memerlukan adanya satu tata pikir, tata laku dan tata kerja Jaksa dengan mengingat norma-norma agama, susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

Secara khusus mengenai kode etik dan perilaku Jaksa ini, Jaksa Agung telah memberlakukan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode Perilaku Jaksa. Kode etik ini mengatur serangkaian norma dan etika harus menjadi pedoman bagi seluruh jaksa di Indonesia dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi maupun dalam aktivitas serta perilaku sehari-hari, mengingat kedudukan mereka sebagai aparat penegak hukum. Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya, harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut

Selain itu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan penuh tanggungjawab, senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup. Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya melayani publik dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat publik lainnya. Jaksa sebagai anggota masyarakat selalu menunjukkan


(5)

keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang serta peraturan perundang-undangan.

Permasalahan yang melatar belakangi penelitian ini adalah seharusnya setiap jaksa dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, tetapi pada kenyataannya terdapat oknum jaksa yang terbukti menyalahgunakan narkotika. Salah satunya adalah sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa Tesar Esandra, SH., MKn Bin Novandra yang berstatus sebagai Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Dalam amar putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama satu tahun dan menyatakan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi medis.

Kronologis singkat kasus penyalahgunaan narkotika oleh oknum Jaksa tersebut adalah pada hari sabtu tanggal 21 Januari 2012 sekira pukul 01.00 WIB dini hari setidak-tidaknya pada bulan Januari 2012 bertempat di dekat pintu masuk PKOR Jl Sultan Agung Kelurahan Way Halim Kecamatan Kedaton Bandar Lampung atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih masuk dalam daerah hokum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, tanpa hak dan melawan hokum telah memiliki Narkotika Golongan I bukan tanaman. Dalam Putusan tersebut, saksi ahli yaitu dr. Woro Pramesti, SP. Kj, menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan keadaan kejiwaan pasien (akonic electroneoholography), menyimpulkan bahwa Terdakwa mengalami gangguan kejiwaan yang akan berpengaruh pada pengambilan keputusan yang kurang baik.


(6)

Berdasarkan putusan tersebut maka oknum Jaksa yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian dalam Skripsi yang berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan

narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

154/Pid.B/2012/PN.TK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor


(7)

154/Pid.B/2012/PN.TK. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Ruang lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku

penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum terhadap oknum aparat penegak hukum yang melakukan


(8)

pelanggaran hokum. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana di masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum4. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.5

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori kesengajaan sebagai berikut:

4

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.72 5

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44


(9)

1) Teori kehendak (wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang

2) Teori pengetahuan (voorstelling)

Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat.6

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan7

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

6

Ibid. hlm. 50 7

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(10)

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya8

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun jugaculpadipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat

8

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46


(11)

dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.9

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)10

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3 KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.11

2. Konseptual

9

Ibid. hlm. 48 10

Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

11


(12)

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian12. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah mekanisme hukum yang menggariskan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.13

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14

c. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia)

d. Kode etik jaksa adalah serangkaian norma dan etika harus menjadi pedoman bagi seluruh jaksa di Indonesia dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi maupun dalam

12

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.74 13

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44

14

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(13)

aktivitas serta perilaku sehari-hari, mengingat kedudukan mereka sebagai aparat penegak hukum.15

e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum16

f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

g. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

15

Marwan Effendy,Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. 2007. hlm. 65

16

Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 44


(14)

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, tindak pidana narkotika dan undang-undang yang mengatur, kode etik jaksa dan sanksi terhadap jaksa yang melanggar kode etik.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(15)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.1

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.3

1

P.A.F. LamintangDasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

2

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22

3

P.A.F. LamintangDasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996 hlm. 16.


(16)

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten)

dan tindak pidana materil(Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana. c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja

(dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal4

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

4

Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27


(17)

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.5

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan6

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

5

Ibid. hlm. 30

6

Barda Nawawi Arief.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23


(18)

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya7

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.8

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak

7

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46

8


(19)

pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.9

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan10

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat. b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan

kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai

9

Ibid.hlm. 49

10

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49


(20)

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat11

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa 11


(21)

tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman12

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)

yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

C. Tindak Pidana Narkotika dan Undang-Undang Yang Mengatur

12

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 51


(22)

Tindak pidana narkotika secara umum terbagi menjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Menurut Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan. Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan

Undang-Undang yang mengatur narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, undang-undang ini bertujuan:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;


(23)

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.


(24)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

b. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1


(25)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari:

(1) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode Perilaku Jaksa Putusan

(2) Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.


(26)

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 2). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:


(27)

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang

telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.


(28)

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian2.

2


(29)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Tesar Esandra yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana selama satu tahun dan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi medis. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya unsur kesengajaan oleh pelaku (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya menyalahgunakan narkotika dilarang oleh undang-undang, tetapi ia tetap melakukan perbuatan tersebut, sehingga tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf baginya untuk terhindar dari pemidanaan.

2. Dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh


(30)

31

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan terdakwa berstatus sebagai aparat penegak hukum. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.


(31)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

RIFKI APRIANSYAH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(32)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

Oleh

RIFKI APRIANSYAH

Setiap jaksa dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, tetapi pada kenyataannya terdapat oknum jaksa yang terbukti menyalahgunakan narkotika. Salah satunya adalah sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa Tesar Esandra, SH., MKn Bin Novandra yang berstatus sebagai Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Jaksa yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Tesar Esandra yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana selama satu tahun dan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi medis. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib


(33)

Rifki Apriansyah

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan terdakwa berstatus sebagai aparat penegak hukum. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

Berdasarkan penelitian maka saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.


(34)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 16

B. Pertanggungjawaban Pidana ... 18

C. Tindak Pidana Narkotika dan Undang-Undang Yang Mengatur ... 23

III METODE PENELITIAN... 25

A. Pendekatan Masalah... 25

B. Sumber dan Jenis Data ... 25

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 27

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 28

E. Analisis Data ... 29

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 30

A. Karakteristik Responden ... 30

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK) ... 31

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)... 58


(35)

V PENUTUP... 70 A. Kesimpulan ... 70 B. Saran... 71

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Effendy, Marwan.2007.Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006.Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana.Bina Aksara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang - Undang Nomor 73 Tahun

1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika


(37)

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Per-067/A/JA/07/2007 Tentang

Tentang Kode Perilaku Jaksa Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK www.bnn.go.id. Diakses Rabu, 22 November 2012.


(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

Oleh

RIFKI APRIANSYAH

Setiap jaksa dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, tetapi pada kenyataannya terdapat oknum jaksa yang terbukti menyalahgunakan narkotika. Salah satunya adalah sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa Tesar Esandra, SH., MKn Bin Novandra yang berstatus sebagai Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Jaksa yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Tesar Esandra yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana selama satu tahun dan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi medis. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib


(2)

Rifki Apriansyah

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan terdakwa berstatus sebagai aparat penegak hukum. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

Berdasarkan penelitian maka saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.


(3)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 16

B. Pertanggungjawaban Pidana ... 18

C. Tindak Pidana Narkotika dan Undang-Undang Yang Mengatur ... 23

III METODE PENELITIAN... 25

A. Pendekatan Masalah... 25

B. Sumber dan Jenis Data ... 25

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 27

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 28

E. Analisis Data ... 29

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 30

A. Karakteristik Responden ... 30

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK) ... 31

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)... 58


(4)

V PENUTUP... 70 A. Kesimpulan ... 70 B. Saran... 71 DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Effendy, Marwan.2007.Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006.Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana.Bina Aksara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang - Undang Nomor 73 Tahun

1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika


(6)

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Per-067/A/JA/07/2007 Tentang

Tentang Kode Perilaku Jaksa Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK www.bnn.go.id. Diakses Rabu, 22 November 2012.


Dokumen yang terkait

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.95/Pid/B/2010/PN.TK)

1 5 34

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) WAN ABDUL RACHMAN DI PESAWARAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK)

0 7 50

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 508/ PID/B 2011/PN.TK)

3 17 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Perkara Nomor 35/Pid. B/2011/PN.M)

0 2 52

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

1 19 58

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENJUALAN OBAT-OBATAN TIDAK TERDAFTAR DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 801/PID/SUS/2010/PN.TK)

0 4 43

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

0 8 37

PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK)

0 5 55

PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan PT Tanjung Karang No. 138/PID/2012/PT. TK)

0 14 54