Ketahanan Beberapa Klon Kentang (Solanum Tuberosum L) Terhadap Fusarium Spp

KETAHANAN BEBERAPA KLON KENTANG (Solanum
tuberosum L.) TERHADAP Fusarium spp.

DEWI CITRA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketahanan Beberapa
Klon Kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Fusarium spp. adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015
Dewi Citra Sari
NIM A253130366

RINGKASAN
DEWI CITRA SARI. Ketahanan Beberapa Klon Kentang (Solanum tuberosum
L.) terhadap Fusarium spp.. Dibimbing oleh AGUS PURWITO, DINY DINARTI
dan WILLY BAYUARDI SUWARNO.
Salah satu penyakit yang menjadi kendala dalam budidaya kentang adalah
busuk kering umbi. Penyakit yang diakibatkan oleh cendawan Fusarium spp. ini
merupakan salah satu penyebab penting dari kerugian pascapanen kentang.
Fusarium spp. yang menyebabkan busuk kering umbi pada tanaman kentang
dapat berkembang pesat bila tanah bersuhu tinggi. Seleksi in vitro memberikan
peluang untuk mendapatkan klon kentang adaptif dengan sumber daya yang lebih
sedikit. Seleksi in vitro juga dilakukan pada lingkungan yang terkontrol sehingga
pengaruh kerusakan akibat pertumbuhan miselium Fusarium spp. atau toksinnya
dapat diketahui dengan jelas. Asam fusarat merupakan fitotoksin yang dihasilkan
Fusarium dan mempunyai peran penting dalam perkembangan penyakit busuk
kering umbi kentang. Pada penelitian ini dilakukan pengujian efektivitas
penggunaan asam fusarat dan suspensi konidia Fusarium solani sebagai agen

seleksi ketahanan kentang terhadap penyakit busuk kering umbi serta
membuktikan pengaruh suhu terhadap toksisitas asam fusarat.
Percobaan 1 bertujuan untuk mengevaluasi respon morfologi dan tingkat
ketahanan 10 klon kentang (Granola, Atlantik, Cipanas, DTO 28, DTO 33, Russet
Burbank, IPB 1, CIP 801040, CIP 801045, dan CIP 801050) terhadap asam
fusarat (0, 5, 10, dan 15 mg L-1) secara in vitro. Pengujian dilakukan
menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 4 ulangan. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa asam fusarat menyebabkan kematian sebagian
planlet kentang. Stek buku tunggal yang berhasil menginisiasi tunas dan akar
mampu bertahan hidup meskipun mengalami pertumbuhan yang terhambat.
Respon penghambatan tumbuh ini ditunjukkan oleh jumlah tunas, jumlah buku,
jumlah akar, tinggi tanaman, panjang akar, dan ukuran daun yang lebih rendah
dibanding kontrol. Selain Granola, klon Russet Burbank dan IPB 1 berpotensi
menjadi klon kentang unggul. Klon tersebut memiliki vigor dan ketahanan yang
baik.
Percobaan 2 bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu tinggi dan asam
fusarat dalam media pengumbian terhadap produksi umbi mikro kentang secara in
vitro. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap
teracak (RKLT) dengan 2 faktor, yaitu: suhu ruang (20–22 0C dan 27–30 0C) dan
klon kentang yang terdiri dari 10 klon. Komposisi media pengumbian cair yang

digunakan dalam pengumbian mikro kentang ini adalah media MS0, gula 90 g L-1,
CCC 400 mg L-1, air kelapa 20%, BAP 10 ppm, dan asam fusarat 20 mg L-1.
Hasil menunjukkan bahwa perlakuan suhu tinggi dapat menekan persentase hidup
planlet, pertumbuhan, dan produksi umbi mikro kentang. Kematian eksplan yang
hanya terjadi pada suhu tinggi menunjukkan indikasi bahwa asam fusarat bersifat
lebih toksik pada suhu tinggi. Asam fusarat berpengaruh pada pertumbuhan
tanaman tanpa menunjukkan gejala kelayuan pada planlet kentang. Klon CIP
801040 mampu menghasilkan umbi mikro dengan jumlah umbi terbanyak dan
kemampuan inisiasi umbi tercepat. Klon DTO 33 paling rentan terhadap cekaman
asam fusarat pada suhu tinggi. Klon DTO 33 tidak mampu membentuk umbi.

Percobaan 3 bertujuan untuk mempelajari tingkat ketahanan beberapa klon
kentang terhadap penyakit busuk kering umbi akibat infeksi cendawan Fusarium
spp. Pengujian dilakukan dengan menyuntikkan suspensi konidia dengan
kerapatan 106 spora ml-1. Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) 1 faktor yang terdiri dari 10 klon kentang dengan 5 ulangan dan
setiap satuan percobaan terdiri dari 6 umbi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
klon kentang Granola, Atlantik, Cipanas, DTO 28, DTO 33, Russet Burbank, IPB
1, CIP 801040, CIP 801045, dan CIP 801050 mempunyai keragaman pada
morfologi umbi dan ketahanan umbi terhadap penyakit busuk kering umbi akibat

infeksi F. solani. Russet Burbank termasuk kategori tahan (T). Granola, CIP
801040, CIP 801050, DTO 28, Cipanas dan IPB 1 termasuk agak tahan (AT).
Atlantik, CIP 801045, dan DTO 33 termasuk agak rentan (AR).
Berdasarkan hasil dari 3 percobaan, klon CIP 801040 dan Russet Burbank
menunjukkan respon yang baik, sedangkan CIP 801045 dan DTO 33 cenderung
menjadi klon yang paling rentan terhadap cekaman asam fusarat dan infeksi
Fusarium spp. pada tiga tahap pengujian. Tingkat ketahanan terhadap asam
fusarat secara in vitro dan infeksi F. solani pada umbi mempunyai korelasi linear
searah yang kuat. Pengujian menggunakan asam fusarat secara in vitro dapat
menggambarkan respon klon kentang terhadap Fusarium spp. di lahan. Oleh
karena itu, asam fusarat dapat digunakan sebagai agen seleksi pada kegiatan
pemuliaan tanaman kentang tahan terhadap Fusarium spp.
Kata kunci: busuk kering, resisten, spora, suspensi, umbi.

SUMMARY
DEWI CITRA SARI. Resistance of Several Clones of Potato (Solanum tuberosum
L.) against Fusarium spp. Supervised by AGUS PURWITO, DINY DINARTI
and WILLY BAYUARDI SUWARNO.
One of the diseases that become obstacles in the potato cultivation was
tuber dry rot caused by Fusarium spp. The malignancy of Fusarium spp.

increased due to rise in temperature. In vitro selection had a chance to get adaptive
potato clones with fewer resources. In vitro selection was also done at controlled
environment so that the damage caused mycelium growth or the toxin can be seen
clearly. Fusaric acid is a phytotoxin produced by Fusarium spp. and has been
known to play a major role in the development of dry rot in potato tubers. The aim
of this research was to evaluate effectivity the use of fusaric acid and conidia
suspension of Fusarium solani as a selection agent to identify resistant clones.
The aim was also to prove the effect of temperature on the toxicity of fusaric acid.
The aim of experiment 1 was to evaluate the morphological responses of
10 potato clones (Granola, Atlantic, Cipanas, DTO 28, DTO 33, Russet Burbank,
IPB 1, CIP 801040, CIP 801045, dan CIP 801050) and their resistance level
against fusaric acid (0, 5, 10, dan 15 mg L-1) on in vitro culture. The experiment
was arranged in a randomized completely block design with four replications. The
result showed that fusaric acid caused death of many planlets. The resistant
planlets could initiate adventive buds and roots, but the growth was inhibited. The
inhibitory effect was showed by data of bud number, internode number, root
number, plant height, root length, and leaf area which were lower those of control.
Besides Granola, Russet Burbank dan IPB 1 were potential clones because they
had good vigour and good resistance.
The aims of experiment 2 was to evaluate the effect of heat and fusaric

acid stress on in vitro potato-microtuberization. This experiment was arranged in
a randomized complete block design with 2 factors, temperature (20–22 0C dan
27–30 0C) and potato clones that consist of 10 clones. The liquid medium used to
induce the microtuber was contain of MS0, sugar 90 g L-1, CCC 400 mg L-1,
coconut water 20%, BAP 10 ppm, dan fusaric acid 20 mg L-1. The result showed
that heat stress reduce planlets life rate, growth, and microtuber production. The
dumping off of potato explants which happened just in high temperature showed
that the toxicity of fusaric acid was higher in high temperature. Fusaric acid
suppressed the plant growth without showing the wilt. CIP 801040 induced the
greatest number of microtuber and initiate tuber faster than others. DTO 33 was
susceptible to fusaric acid on high temperature. That clone could’t induced the
microtuber.
The aims of experiment 3 was to determine the resistance level of several
potato clones against dry rot caused by Fusarium spp. The experiment was done
by injecting conidia suspension. The density of suspension was 106 spore ml-1.
This experiment was arranged in a completely randomized design (CRD) with 1
factors which consist of 10 clones with 5 replications and 6 tubers for each
experimental unit. The result showed that clone Granola, Atlantik, Cipanas, DTO
28, DTO 33, Russet Burbank, IPB 1, CIP 801040, CIP 801045, and CIP 801050
had various morphology of tuber and resistance to dry rot caused by F. solani.


Russet Burbank was categorized into resistant; Granola, CIP 801040, CIP 801050,
DTO 28, Cipanas and IPB1 were categorized into moderately resistant; while,
Atlantic, CIP 801045, and DTO 33 were categorized into susceptible.
Based on the results of the three experiments, CIP 801040 and Russet
Burbank showed their durability, but CIP 801045 and DTO 33 were tend to be
susceptible to fusaric acid and F. solani infection. Correlation analysis between in
vitro resistance to fusaric acid and F. solani infection on tuber showed positive
and tangible results. The results showed that using fusaric acid on in vitro
selection was usefull to identify resistant clones against Fusarium spp.
Keywords: dry rot, resistant, spore, suspension, tuber.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KETAHANAN BEBERAPA KLON KENTANG (Solanum
tuberosum L.) TERHADAP Fusarium spp.

DEWI CITRA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS


Judul Tesis : Ketahanan Beberapa Klon Kentang (Solanum tuberosum L.)
terhadap Fusarium spp.
Nama
: Dewi Citra Sari
NIM
: A253130366

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua

Dr Ir Diny Dinarti, MSi
Anggota

Dr Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Yudiwanti Wahyu, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini ialah
Ketahanan Beberapa Klon Kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Fusarium
spp. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Departemen

Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Agus Purwito MScAgr, Dr Ir
Diny Dinarti MSi, dan Dr Willy Bayuardi Suwarno, MSi selaku komisi
pembimbing atas segala pengarahan dan bimbingan dalam perencanaan penelitian
tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS
selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan perbaikan dalam penyempurnaan
tesis ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Siti
Kholifah dari Laboratorium Kultur Jaringan 3, dan juga rekan mahasiswa baik S1
dan S2 yang sedang melaksanakan penelitian di laboratorium tersebut yang telah
membantu memberikan informasi dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi dalam
pengembangan genotipe kentang unggul selanjutnya.

Bogor, November 2015
Dewi Citra Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
5
Kentang (Solanum tuberosum L.)
5
Mekanisme Pembentukan Umbi Kentang secara In Vivo dan In Vitro
6
Busuk Kering Umbi Kentang dan Mekanisme Infeksi Fusarium spp.
7
Pemuliaan Klon Kentang Tahan Fusarium spp.
9
Klon dan Kultivar Kentang yang Digunakan dalam Penelitian
10
3 RESPON MORFOLOGI BEBERAPA KLON KENTANG TERHADAP
ASAM FUSARAT SECARA IN VITRO
12
Abstract
12
Abstrak
12
Pendahuluan
13
Bahan dan Metode
14
Hasil dan Pembahasan
15
Kesimpulan
21
4 INDUKSI UMBI MIKRO KENTANG PADA MEDIA TERCEKAM ASAM
FUSARAT DAN SUHU TINGGI
22
Abstract
22
Abstrak
22
Pendahuluan
23
Bahan dan Metode
24
Hasil dan Pembahasan
25
Kesimpulan
30
5 KETAHANAN BEBERAPA KLON KENTANG TERHADAP PENYAKIT
BUSUK KERING UMBI AKIBAT INFEKSI Fusarium solani
31
Abstract
31
Abstrak
31
Pendahuluan
32
Bahan dan Metode
33
Hasil dan Pembahasan
35
Kesimpulan
40
6 PEMBAHASAN UMUM
41
7 SIMPULAN DAN SARAN
44
Simpulan
44
Saran
44
DAFTAR PUSTAKA
45
RIWAYAT HIDUP
50

DAFTAR TABEL
1 Kriteria ketahanan planlet kentang terhadap asam fusarat menurut Purwati
et al. (2007) dengan modifikasi.
2 Persentase kejadian penyakit (KP) dan tingkat ketahanan klon kentang
pada 3 MST.
3 Rata-rata tinggi, panjang akar, dan ukuran daun tanaman kentang in vitro
berumur 4 MST pada perlakuan asam fusarat
4 Respon beberapa klon kentang terhadap perlakuan asam fusarat 20 mg L-1
pada 4 MST
5 Rata-rata jumlah umbi kentang per eksplan (5–14 MST)
6 Skoring infeksi F. solani pada umbi kentang
7 Kriteria ketahanan umbi terhadap infeksi F. solani pada kentang menurut
Leach dan Webb (1981) dengan modifikasi.
8 Rata-rata produksi umbi pada klon kentang yang diuji di lapang
9 Persentase skor hasil pengamatan busuk kering umbi kentang pada 3
minggu pengamatan.
10 Rataan skor kejadian busuk kering umbi kentang setelah inokulasi F.
solani pada 3 masa inkubasi yang berbeda.

15
17
17
20
28
34
35
36
37
38

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka berpikir penelitian ketahanan beberapa klon kentang (solanum
tuberosum L.) terhadap Fusarium spp.
2 Umbi kentang yang terserang penyakit busuk kering akibat infeksi
Fusarium spp.
3 Karakter morfologi Fusarium spp. a. konidiafora, b. makrokonidia, c.
mikrokonidia, dan d. klamidospora (Chehri et al. 2011)
4 Gejala pada tanaman kentang yang terinfeksi Fusarium spp.
5 Pertumbuhan eksplan kentang pada media tercekam asam fusarat. Eksplan
mati (kiri) dan eksplan hidup (kanan).
6 Kejadian penyakit planlet kentang berdasarkan konsentrasi asam fusarat
7 Rata-rata tinggi planlet dan panjang akar 10 klon kentang pada beberapa
konsentrasi asam fusarat.
8 Perbedaan tinggi tanaman, panjang akar, dan ukuran daun planlet kentang
IPB 1 in vitro pada 4 MST akibat perlakuan asam fusarat
9 Rata-rata jumlah tunas (A), buku (B), akar (C) dan stolon per eksplan
kentang (D) pada 4 konsentrasi asam fusarat.
10 Rata-rata tunas, buku, dan akar per eksplan 10 klon kentang pada beberapa
konsentrasi asam fusarat.
11 Penampang melintang akar (atas) dan batang (bawah) planlet kentang
Granola pada perlakuan asam fusarat 0 (A), 5 (B), 10 (C), dan 15 mg L-1
(D).
12 Rata-rata persentase hidup planlet kentang pada 2 suhu ruang yang
berbeda.
13 Rata-rata jumlah tunas, buku, akar, dan stolon planlet kentang pada 2
kondisi suhu ruang kultur.

4
7
8
9
15
16
18
18
19
20

21
25
26

14 Rata-rata jumlah tunas dan stolon per eksplan saat 13 MST pada 2 kondisi
suhu ruang kultur.
15 Rataan jumlah umbi mikro kentang per eksplan
16 Regresi dan korelasi antara kejadian penyakit akibat asam fusarat dan
pengumbian.
17 Umbi mikro kentang CIP 801040 pada media tercekam asam fusarat pada
suhu rendah (kiri) dan suhu tinggi (kanan)
18 Umbi kentang (kiri), kondisi tanaman saat 10 MST (tengah), dan kondisi
tanaman saat 12 MST (kanan).
19 Keragaman bentuk dan ukuran umbi antar klon kentang yang diuji
20 Gejala busuk kering umbi kentang akibat infeksi F. solani
21 Hubungan antara kriteria ketahanan planlet terhadap asam fusarat dan
kriteria ketahanan umbi terhadap infeksi F. solani.

27
28
29
30
35
36
37
39

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman
pangan bernilai gizi baik. Umbi kentang memiliki kandungan vitamin terutama B1
dan C, karbohidrat yang tinggi (347 kalori dalam 100 g kentang), serta kadar
protein yang rendah (0.3 g dalam 100 g kentang) (Samadi 2007). Kentang juga
mengandung niasin 1.5 mg, tiamin 0.1 mg, riboflavin 0.04 mg, asam askorbat 20
mg, kalsium 9 g, fosfor 50 mg, kalium 410 mg, dan Fe 0.8 mg (Flach & Rumawas
1996). Kentang banyak dimanfaatkan sebagai sayuran, makanan pokok pengganti
nasi, dan bahan baku makanan olahan seperti keripik atau biskuit kentang.
Salah satu penyakit yang menjadi kendala dalam budidaya kentang adalah
penyakit yang diakibatkan oleh cendawan Fusarium spp. Penyakit ini merupakan
salah satu penyebab penting dari kerugian pascapanen kentang. Infeksi Fusarium
spp. tidak hanya menyerang tanaman di lahan tetapi juga umbi yang tersimpan di
gudang sehingga menyebabkan kerugian hingga 25% (Duriat 2006). Gejala awal
pada umbi yang terserang berupa munculnya bercak-bercak berlekuk coklat atau
hitam dan memperlihatkan gejala mummifikasi, yaitu kering, berkerut, dan keras
(Wharton et al. 2007). Tanaman juga menjadi layu kering (El Kot 2008).
Fusarium spp. pada tanaman kentang dapat berkembang pesat bila tanah bersuhu
tinggi (21–33 0C) serta kelembaban tinggi (Rukmana et al. 1997). Daami-Remadi
et al. (2006) menyatakan bahwa aktivitas pertumbuhan miselium dan
perkembangan penyakit busuk kering umbi juga meningkat akibat kenaikan suhu.
Selain berdampak pada perkembangan penyakit, suhu lingkungan yang
tinggi juga dapat menurunkan produksi kentang. Pada suhu yang tinggi pada
malam hari, pertumbuhan lebih banyak pada bagian tajuk. Tanaman akan lebih
banyak menghasilkan daun baru, cabang, dan bunga. Stolon berkembang menjadi
batang dan jumlah umbi yang terbentuk berkurang. Suhu yang tinggi juga
menyebabkan peningkatan kadar giberelin yang mengakibatkan terhambatnya
pembentukan umbi. Suhu tinggi dapat menghambat perkembangan umbi karena
laju respirasi yang tinggi menyebabkan jumlah karbohidrat yang tersedia
berkurang (Fernie & Willmitzer 2001). Suhu lingkungan yang lebih tinggi juga
dapat berpengaruh pada morfologi umbi. Ginzberg et al. (2009) menyatakan
bahwa lapisan periderm pada kentang akan semakin tebal dan kasar sehingga
menurunkan kualitas umbi. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Sari
(2013) yang menyatakan bahwa periderm umbi mikro kentang yang diinduksi
pada suhu 28–31 0C nyata lebih tebal daripada periderm umbi pada suhu optimal
pengumbian. Dobranszki et al. (2008) menyatakan bahwa kentang merupakan
salah satu jenis umbi yang bernilai ekonomi tinggi. Penurunan kualitas dapat
menurunkan nilai ekonomi kentang.
Dalam upaya peningkatan produksi kentang, pengembangan klon adaptif
suhu tinggi dan tahan terhadap serangan penyakit mulai banyak dikembangkan.
Pengembangan klon adaptif suhu tinggi juga merupakan langkah antisipasi
penurunan produksi akibat perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh efek
pemanasan global (global warming). Parry et al. (2007) menyatakan bahwa ratarata kenaikan suhu permukaan bumi secara global meningkat 0.6 oC sejak 1850.

2
Menurut Las (2007), pemanasan global menimbulkan berbagai dampak negatif,
yaitu terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang semakin ekstrim. Perubahan
iklim dan cuaca yang ekstrim berdampak pada bidang pertanian.
Pemanfaatan seleksi sifat tertentu pada kultur in vitro memiliki peluang
untuk mendapatkan kultivar atau klon kentang adaptif dengan waktu, tenaga,
biaya, dan bahan tanam yang lebih sedikit. Seleksi in vitro juga dilakukan pada
lingkungan yang terkontrol sehingga pengaruh kerusakan akibat pertumbuhan
miselium Fusarium spp atau toksinnya dapat diketahui dengan jelas. Adanya
korelasi positif antara karakter produksi umbi dan ketahanan penyakit kentang
pada kondisi in vivo dan in vitro juga telah membuktikan bahwa seleksi in vitro
mampu menggambarkan kondisi tanaman di lapangan. Pemanfaatan seleksi pada
kultur in vitro sudah banyak dilakukan pada tanaman kentang seperti yang
dilakukan oleh Maharijaya et al. (2008) untuk menguji ketahanan beberapa klon
kentang terhadap penyakit layu bakteri dan busuk lunak.
Pada beberapa spesies tanaman, seleksi sifat ketahanan terhadap Fusarium
spp. secara in vitro dilakukan dengan menggunakan komponen seleksi toksin
murni asam fusarat. Asam fusarat (5-n-butylpicolinic acid) merupakan fitotoksin
yang dihasilkan Fusarium yang menyebabkan gejala layu serta busuk pada
berbagai tanaman (Landa et al. 2002). Metode seleksi dengan asam fusarat sudah
digunakan dalam pemuliaan pisang kepok (Damayanti 2010), vanili (Nurcahyani
et al. 2012), dan markisa (Flores et al. 2012). Beberapa penelitian tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif antara gejala dan kejadian penyakit akibat
perlakuan asam fusarat secara in vitro dan infeksi Fusarium spp. di lapangan.
Venter dan Steyn (1998) menyebutkan bahwa terdapat korelasi positif antara
produksi asam fusarat oleh Fusarium spp. dengan perkembangan penyakit busuk
kering umbi kentang. Spesies Fusarium dengan produksi asam fusarat yang tinggi
menyebabkan busuk kering umbi dengan tingkat keparahan yang tinggi pula. Hal
ini menunjukkan bahwa asam fusarat mempunyai peran penting dalam
perkembangan penyakit busuk kering umbi kentang. Berdasarkan informasi ini
diharapkan metode seleksi dengan menggunakan asam fusarat secara in vitro
memiliki peluang untuk dapat digunakan dalam kegiatan seleksi kentang yang
tahan terhadap penyakit busuk kering umbi.
Dalam upaya peningkatan produksi kentang, berdasarkan pengujian
beberapa klon kentang dengan menggunakan asam fusarat dan perlakuan suhu
pada kultur in vitro diharapkan dapat diketahui metode pengujian terbaik untuk
menghasilkan klon kentang yang dapat tumbuh dengan baik pada suhu tinggi dan
tahan terhadap serangan Fusarium spp.
Perumusan Masalah
Penelitian ini didasarkan pada penyelesaian masalah penyebaran penyakit
busuk kering umbi dan pengaruh suhu tinggi yang dapat memperparah intensitas
serangan penyakit busuk kering umbi kentang sebagai upaya untuk meningkatkan
produksi kentang. Selain produksi umbi yang rendah, resiko tanaman terserang
Fusarium spp. juga lebih tinggi pada suhu tinggi (Daami-Remadi et al. 2006).
Penelitian sebelumnya telah berhasil menentukan beberapa klon yang tahan
terhadap suhu tinggi. Klon tersebut antara lain: Cipanas, DTO 28 (Rustianingsih

3
2000; Delfiani 2003), dan DTO 33 (Hetherington et al. 1983, Bensalim et al.
1998). Klon Cipanas, DTO 28, dan DTO 33 diketahui masih mampu berumbi
pada suhu tinggi pada penelitian tersebut, tetapi belum terbukti tahan terhadap
penyakit busuk kering umbi akibat infeksi Fusarium spp.
Peters et al. (2008) menyatakan bahwa penyakit busuk kering kentang
akibat infeksi Fusarium spp. disebabkan oleh beberapa strain Fusarium spp. yang
memiliki patogenitas yang berbeda pada setiap klon. Penelitian lain menyebutkan
bahwa beberapa strain Fusarium spp. penyebab busuk kering umbi kentang antara
lain: F. sambucinum (Al-Mugharabi 2010), F. sulphureum (Sun et al. 2008, Li et
al. 2009, Yin et al. 2010), F. solani var coeruleum (Lin et al. 1996, Mecteau et al.
2008), dan F. graminearum (Delgado et al. 2010). Jenis Fusarium spp. yang
beragam dan tingkat patogenitas yang berbeda mengakibatkan seleksi klon tahan
terhadap penyakit busuk kering umbi sulit dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan
optimasi metode salah satunya melalui seleksi in vitro dengan menggunakan asam
fusarat. Asam fusarat merupakan toksin murni yang dihasilkan oleh semua strain
Fusarium spp. penyebab busuk kering umbi (Bacon et al. 1996).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat ketahanan beberapa klon
kentang terhadap cekaman asam fusarat dan Fusarium spp. serta mempelajari
efektivitas penggunaan asam fusarat sebagai agen seleksi ketahanan tanaman
terhadap Fusarium spp. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari respon
klon terhadap perlakuan asam fusarat pada suhu tinggi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi seleksi beberapa klon kentang terhadap asam
fusarat dan Fusarium spp. Penelitian ini juga melakukan pengujian terhadap
produksi, keragaan tanaman dan kualitas umbi. Pengujian in vitro hanya
dilakukan menggunakan asam fusarat, sedangkan pengujian in vivo dilakukan
menggunakan suspensi konidia Fusarium spp. Penelitian ini juga mengukur
efektivitas dan pendugaan korelasi respon pengujian dengan menggunakan asam
fusarat dan suspensi konidia cendawan untuk mengetahui metode pengujian
terbaik untuk menghasilkan kentang tahan terhadap Fusarium spp. Selain itu,
penelitian ini juga mempelajari pengaruh suhu tinggi pada terhadap pertumbuhan
dan produksi umbi mikro kentang pada media tercekam asam fusarat yang
merupakan toksin murni Fusarium spp. Kerangka berpikir pelaksanaan penelitian
ini digambarkan dalam Gambar 1.

4
Seleksi beberapa klon kentang terhadap Fusarium spp. serta pengujian
terhadap produksi, keragaan tanaman dan produksi umbi secara in vitro pada
lingkungan dengan suhu tinggi

Pengujian in vitro
ketahanan tanaman
terhadap cekaman
asam fusarat 1-4 MST

Pengujian asam
fusarat dalam
pengumbian kentang
in vitro 5-12 MST
pada suhu 18–22 0C
dan 27–30 0C

Klon kentang yang tahan terhadap cekaman
asam fusarat dan mampu menghasilkan umbi
secara in vitro pada suhu tinggi

Perlakuan suspensi
konidia Fusarium spp.
pada umbi G0 kentang

Klon kentang yang tahan
terhadap infeksi Fusarium
spp secara in vivo

1. Klon kentang tahan terhadap cekaman suhu tinggi serta tahan terhadap
asam fusarat secara in vitro dan infeksi Fusarium spp. secara in vivo
2. Efektivitas penggunaan asam fusarat sebagai agen seleksi ketahanan
tanaman terhadap Fusarium spp.
Keterangan

Gambar 1

: output yang diharapkan

Kerangka berpikir penelitian ketahanan beberapa klon kentang
(Solanum tuberosum L.) terhadap Fusarium spp.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kentang (Solanum tuberosum L.)
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman setahun yang
berbentuk semak. Dalam sistem taksonomi, kentang termasuk dalam Kingdom
Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae,
Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus Solanum dan Spesies Solanum
tuberosum (Rubatzky & Yamaguchi 1998).
Spesies ini berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan tepatnya di
daerah pegunungan Andes (Flach & Rumawas 1996; Rubatzky & Yamaguchi
1998). Pada awal penyebaran, budidaya kentang di Asia Tenggara dilakukan pada
ketinggian di atas 1500 meter di atas permukaan laut (m dpl) (Flach & Rumawas
1996). Di Indonesia, tanaman kentang dapat tumbuh pada ketinggian 900-2000
mdpl (Wattimena 1995). Tanaman kentang memerlukan curah hujan 500-700 mm
selama masa pertumbuhannya 3–4.5 bulan. Namun demikian, kentang termasuk
tanaman yang tidak tahan terhadap genangan sehingga drainase yang baik sangat
diperlukan. Tingkat keasaman tanah optimal adalah antara 4.8-7.0, pH diatas 7.0
menyebabkan umbi kentang rawan terhadap penyakit scab (Flach & Rumawas
1996).
Menurut Tindall (1986), tanaman kentang memiliki batang yang tumbuh di
bawah tanah (underground). Batang yang tumbuh di bawah tanah ini terdiri dari
stolon yang dapat berkembang menjadi umbi. Daun kentang berupa daun
majemuk dengan anak daun yang tersusun pada tangkai daun utama. Susunan
daun primer terdiri dari 3–4 pasang anak daun dan diakhiri dengan daun tunggal
pada ujung tangkai. Bunga kentang berwarna putih, kuning, biru, atau ungu
dengan ukuran mahkota 3.5–4 cm. Pada daerah yang beriklim tropis jarang
dijumpai tanaman kentang yang dapat berbunga. Pembentukan umbi kentang
dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara, lingkungan, bibit, genetik, luas daun,
translokasi asimilat, dan zat pengatur tumbuh (Dobranszki et al. 2008).
Umbi kentang mengandung 20–25 % bahan kering dengan kandungan 65–
80 % tepung. Warna daging umbi biasanya kuning muda atau putih, tetapi ada
juga kultivar yang berwarna kuning cerah, jingga, merah, atau ungu (Rubatzky &
Yamaguchi 1998). Umbi kentang memiliki kandungan vitamin terutama B1 dan C,
karbohidrat yang tinggi (347 kalori dalam 100 g kentang), serta kadar protein
yang rendah (0.3 g dalam 100 g kentang) (Samadi 2007). Kentang juga
mengandung niasin 1.5 mg, tiamin 0.1 mg, riboflavin 0.04 mg, asam askorbat 20
mg, kalsium 9 g, fosfor 50 mg, kalium 410 mg, dan Fe 0.8 mg (Flach & Rumawas
1996). Kentang banyak dimanfaatkan sebagai sayuran, makanan pokok pengganti
nasi, dan bahan baku makanan olahan seperti keripik atau biskuit kentang.
Kentang juga memiliki kandungan senyawa alkaloid yaitu solanin yang
berbahaya apabila dikonsumsi (Phillips & Rix 1993). Keracunan senyawa
glikoalkaloid termasuk solanin dengan konsentrasi rendah dapat menyebabkan
gangguan gastrointestinal berupa diare, muntah-muntah dan nyeri perut,
sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan demam, penurunan
tekanan darah, dan kerusakan syaraf.

6
Mekanisme Pembentukan Umbi Kentang secara In Vivo dan In Vitro
Inisiasi dan perkembangan umbi kentang terjadi karena perubahan
morfologi dan biokimia yang terjadi pada tanaman. Dalam proses pembentukan
umbi, pertumbuhan panjang stolon berhenti dan berkembang secara radial, terjadi
akumulasi pati yang diiringi dengan pembentukan patatin yang merupakan
senyawa glikoprotein yang ditemukan pada kentang, serta terjadi penurunan
pembelahan sel (Arteca 1996). Kondisi lingkungan dengan fotoperiode yang
pendek, gelap, suhu dingin dan rendah nitrogen merupakan kondisi optimum
pengumbian pada kentang. Pada kondisi optimum tersebut, tunas aksilar pada stek
akan berkembang menjadi stolon yang berpotensi menjadi umbi sehingga jumlah
buku pada tanaman kentang secara in vitro dapat menggambarkan potensi tumbuh
stolon yang dapat berkembang menjadi umbi (Viola 2000).
Saat ini perbanyakan dan pelestarian tanaman banyak dilakukan secara in
vitro. Metode ini selain dapat dilakukan dengan bahan tanam yang sedikit, juga
dapat menghasilkan tanaman yang bebas penyakit (Widyastuti 2000). Produksi
umbi mikro kentang didahului dengan produksi tunas mikro selama 4 minggu
kemudian dilanjutkan dengan induksi umbi mikro selama 8 minggu. Umbi mikro
diinduksi dari tunas mikro kentang dengan menggunakan media yang mempunyai
kadar gula yang tinggi (sukrosa 80 g l-1) dan zat pengatur tumbuh (Karjadi dan
Bukhory 2007). Konsentrasi gula yang tinggi dapat merangsang terbentuknya
umbi (Gibson 2005), meningkatkan jumlah umbi, dan mempertahankan ukuran
umbi meskipun lingkungan dalam keadaan suboptimum (Dobranszki et al. 2008).
Pembentukan umbi kentang dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara,
lingkungan, bibit, genetik, luas daun, translokasi asimilat, dan zat pengatur
tumbuh (Dobranszki et al. 2008). Peran zat pengatur tumbuh cukup besar dalam
pembentukan umbi secara in vitro. Zat pengatur tumbuh yang berperan dalam
pembentukan umbi antara lain giberelin, sitokinin, dan inhibitor seperti abscisic
acid (ABA) (Arteca 1996). Zat Pengatur tumbuh yang digunakan dalam induksi
umbi adalah sitokinin (Widyastuti 2000).
Sitokinin merupakan suatu senyawa yang mampu memacu pembelahan sel.
Sitokinin alami banyak ditemukan pada air kelapa atau filtrat dari jaringan
pembuluh. Pada awalnya senyawa yang ditemukan adalah kinetin yaitu sitokinin
endogen yang ada pada filtrat jaringan pembuluh tembakau. Selain itu, ditemukan
pula zeatin yang diekstrak dari jagung yang memiliki kemampuan yang sama
dalam proliferasi sel. Secara khusus, sitokinin berperan dalam pembelahan sel,
perkecambahan dan pendewasaan organ, inisiasi dan pertumbuhan akar,
perkembangan tunas dan tajuk, menunda senescen dan memacu translokasi nutrisi
dan pembentukan sugar sink (Arteca 1996). Penambahan sitokinin yaitu BAP
pada media pengumbian dapat meningkatkan produksi dan rata-rata bobot umbi
(Anjum dan Villiers 1997), mempercepat pembentukan umbi dan stolon serta
menstimulasi enzim metabolisme pati (Aslam dan Iqbal 2010), menghambat
pemanjangan stolon dan meningkatkan pembentukan umbi (Dobranszki et al.
2008). Selain sitokinin, dalam induksi umbi mikro juga diperlukan zat
penghambat pertumbuhan antara lain paclobutrazol atau chloroethyltrimethylammonium chloride (CCC). Retardan juga berperan untuk menghambat
pertumbuhan sehingga translokasi asimilat terkonsentrasi untuk pembentukan
umbi (Arteca 1996).

7
Dalam induksi umbi mikro secara in vitro, produksi umbi mikro secara in
vitro baik secara kualitas maupun kuantitas juga dipengaruhi oleh suhu (Gopal et
al. 2004). Suhu yang tinggi menyebabkan peningkatan kadar giberelin (Viola
2000, Fernie & Willmitzer 2001), padahal giberelin harus tersedia dengan jumlah
yang rendah selama inisiasi umbi kentang (Dobranszki et al. 2008). Tanaman
akan lebih banyak menghasilkan daun baru, cabang, dan bunga. Stolon
berkembang menjadi batang dan jumlah umbi yang terbentuk berkurang. Suhu
tinggi dapat menghambat perkembangan umbi karena laju respirasi yang tinggi
menyebabkan jumlah karbohidrat yang tersedia berkurang (Fernie & Willmitzer
2001). Aktivitas enzim dalam sistem metabolisme pati terganggu pada suhu 300C
sehingga konversi glukosa terhambat dan kandungan pati atau bahan kering umbi
rendah (Burke 1990). Pada suhu tinggi memungkinkan terjadi reduksi fotosintat
pada umbi yang sudah terbentuk untuk pertumbuhan tajuk kembali (Vayda 1994).
Suhu lingkungan yang lebih tinggi juga dapat berpengaruh pada morfologi umbi.
Pada suhu tinggi, lapisan periderm pada kentang akan semakin tebal dan kasar
sehingga menurunkan kualitas umbi (Ginzberg et al. 2009). Dobranszki et al.
(2008) menyatakan bahwa kentang merupakan salah satu jenis umbi yang bernilai
ekonomi tinggi. Penurunan kualitas dapat menurunkan nilai ekonomi kentang.
Busuk Kering Umbi Kentang dan Mekanisme Infeksi Fusarium spp.
Infeksi Fusarium spp. salah satunya menyebabkan penyakit busuk kering
pada umbi kentang. Gejala awal pada umbi yang terserang berupa bercak-bercak
berlekuk berwarna tua yang nantinya akan semakin meluas. Permukaan umbi
yang terinfeksi diselimuti oleh miselium cendawan berwarna putih hingga merah
jambu dan membentuk banyak konidium. Bagian umbi yang terserang umumnya
memperlihatkan gejala mummifikasi, yaitu kering, berkerut, dan keras. Umbi
yang terserang busuk kering biasanya juga diikuti oleh infeksi bakteri yang
menyebabkan busuk lunak (Wharton et al. 2007). Gambar 2 menunjukkan
kerusakan umbi akibat infeksi Fusarium spp.
(a)

Gambar 2

(b)

(c)

Umbi kentang yang terserang penyakit busuk kering akibat infeksi
Fusarium spp.
(a) Penampakan umbi busuk kering dari luar. (b) Penampang
melintang umbi terserang busuk kering. (c) Bagian umbi yang
terserang Fusarium spp. (F) dan bagian umbi yang terserang busuk
lunak akibat infeksi bakteri (LB+SR) (Wharton et al. 2007).

Beberapa spesies Fusarium spp. yang menjadi penyebab penyakit busuk
kering umbi kentang antara lain adalah F. oxysporum (Gandjar et al. 1999), F.

8
sambucinum (Al-Mugharabi 2010), F. sulphureum (Sun et al. 2008, Li et al. 2009,
Yin et al. 2010), F. solani var coeruleum (Lin et al. 1996, Mecteau et al. 2008),
dan F. graminearum (Delgado et al. 2010). Fusarium spp. termasuk dalam
kategori mikroorganisme yang tidak berklorofil, berbentuk hifa, berdinding sel
dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Sebagian besar tubuh
cendawan termasuk Fusarium spp. terdiri atas benang-benang yang disebut hifa
yang saling berhubungan seperti jala disebut miselium (Gandjar et al. 1999).
Aktivitas pertumbuhan miselium Fusarium spp. dapat meningkat akibat kenaikan
suhu (Daami-Remadi et al. 2006).
Fusarium spp. yang ditemukan pada tanaman kentang, dapat membentuk
koloni dengan diameter 3.5–5 cm pada media OA atau PDA (250 C). Miselia
aerial tampak seperti kapas, kemudian seperti beludru, berwarna putih atau salem
dan biasanya agak keunguan. Koloni berwarna kekuningan hingga keunguan.
Konidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana atau
terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, berjumlah
banyak, aneka bentuk dan ukuran, berbentuk ovoid-elips sampai silindris, lurus
atau sedikit membengkok, dan berukuran (5.0–12) x (2.2–3.5) µm. Mikrokonidia
jarang terdapat pada beberapa strain, terdapat pada fialid (sel pembentuk konidia)
yang terdapat pada konidiofor bercabang, atau dalam sporodokhia, berbentuk
fusiform, sedikit membengkok, dan meruncing pada kedua ujungnya dengan sel
kaki berbentuk pediselata. Khlamidospora (spora aseksual) terdapat dalam hifa
atau dalam konidia, berwarna hialin (transparan), berdinding halus atau agak kasar,
berbentuk semi bulat, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau
tunggal (Gandjar et al. 1999). Karakter morfologi Fusarium spp. ditunjukkan
pada Gambar 3.

Gambar 3 Karakter morfologi Fusarium spp. a. konidiafora, b. makrokonidia,
c. mikrokonidia, dan d. klamidospora (Chehri et al. 2011)
Fusarium spp. berpenetrasi ke dalam sel tanaman secara pasif melalui luka.
Fusarium spp. dapat berpenetrasi secara aktif dengan membentuk tempat
penetrasi dengan memproduksi kutinase untuk mendegradasi kutin atau enzim lain
yang dapat mendegradasi dinding sel tanaman (Urbank 1989). Fusarium spp. juga

9
memproduksi fitotoksin yang disekresikan setelah proses penetrasi. Sekresi
fitotoksin berhubungan erat dengan virulensi cendawan patogen. Sekresi
fitotoksin dapat menghambat proses pengaktifan mekanisme pertahanan tanaman
dan metabolisme sel hingga berlanjut pada kematian sel (Wakuliński 1989).
Fitotoksin merupakan senyawa dengan berat molekul rendah dari hasil
metabolisme sekunder cendawan. Salah satu fitotoksin yang dihasilkan oleh
Fusarium spp. adalah asam fusarat (Bacon et al. 1996). Venter dan Steyn (1998)
menyatakan bahwa terdapat korelasi produksi asam fusarat dengan tingkat
virulensi pada setiap spesies Fusarium spp. Penelitian yang dilakukan oleh El-Kot
(2008) menyebutkan bahwa pada tanaman kentang yang terinfeksi Fusarium spp.
juga mengalami gejala tanaman layu dan mengering. Penampakan tanaman yang
terinfeksi Fusarium spp. ditunjukkan pada Gambar 4.
Fitotoksin dari Fusarium spp. berperan menjadi penyebab penyakit pada
tanaman kentang yang terinfeksi Fusarium spp. El-Hassan et al. (2007) berhasil
mengidentifikasi empat jenis fitotoksin yang diproduksi oleh Fusarium spp. yang
menginfeksi kentang. Empat jenis fitotoksin tersebut adalah fumonisin, asam
fusarat, zaeralenon dan trichothecene. Hasil pengujian menyatakan bahwa hanya
asam fusarat yang berkorelasi positif nyata terhadap perkembangan penyakit
akibat infeksi Fusarium spp.

Gambar 4 Gejala pada tanaman kentang yang terinfeksi Fusarium spp.
A dan B : tanaman mengalami busuk akar. C dan D : busuk kering
pada umbi. E : umbi sehat (El-Kot 2008).

Pemuliaan Klon Kentang Tahan Fusarium spp.
Penggunaan varietas kentang tahan Fusarium yang mampu berproduksi
tinggi merupakan salah satu usaha untuk menekan kerugian akibat infeksi
Fusarium spp. Perbaikan tanaman kentang dapat dilakukan antara lain melalui
metode seleksi baik menggunakan faktor biotik yaitu dengan Pseudomonas
fluorescens atau Enterobacter cloacae (Al-Mughrabi 2010) maupun penguatan
katahanan tanaman dengan bahan abiotik, yaitu: chitosan (Sun et al. 2008, Li et al.
2009), alumunium klorida (Mecteau et al. 2008), atau β-aminobutyric acid (ABA)
(Yin et al. 2010). Metode-metode tersebut mampu menurunkan resiko tanaman
kentang terserang Fusarium spp.

10
Seleksi dan peningkatan sifat ketahanan tanaman melalui metode seleksi
juga dapat dilakukan dengan menggunakan komponen seleksi toksin murni asam
fusarat atau filtrat dari F. oxysporum. Metode seleksi menggunakan asam fusarat
ini sudah digunakan dalam pemuliaan pisang kepok (Damayanti 2010), melon
(Sujatmiko 2013), vanili (Nurcahyani et al. 2012), markisa (Flores et al. 2012),
dan abaka (Sukmadjaja et al. 2003) secara in vitro.
Asam fusarat (5-n-butylpicolinic acid) merupakan fitotoksin non-spesifik
yang dihasilkan Fusarium spp. yang menyebabkan gejala layu serta busuk pada
berbagai tanaman (Landa et al. 2002). Selain itu asam ini dapat menyebabkan
klorosis pada daun muda, menghambat oksidasi sitokinin, menghambat respirasi
pada mitokondria, menurunkan pembentukan ATP pada plasma membran serta
mereduksi aktivitas polifenol oksidasi sehingga menghambat pertumbuhan dan
regenerasi (Sukmadjaja et al. 2003). Metode seleksi dengan menggunakan asam
fusarat dapat digunakan karena memiliki korelasi positif antara ketahanan planlet
terhadap toksin dengan ketahanan tanaman terhadap Fusarium spp. Bouizgarne et
al. (2006a) menyatakan bahwa konsentrasi asam fusarat toksik menyebabkan
kematian tanaman, tetapi konsentrasi non toksik justru mempengaruhi sintesis
fitoaleksin yang merupakan suatu bentuk respon tanaman untuk menghambat
aktivitas patogen. Nurcahyani et al. (2012) menyatakan bahwa penambahan asam
fusarat dalam media agar pada tanaman vanili in vitro mampu meningkatkan
kriteria ketahanan terhadap penyakit busuk batang dari moderat ke tahan dan
menekan intensitas penyakit hingga 25%. Perlakuan asam fusarat dapat
meningkatkan kandungan total fenol dan ketebalan lignin di daerah xilem. Pada
tanaman di lapangan, lignifikasi dapat menghambat perkembangan hifa patogen
sehingga dapat disimpulkan bahwa lignifikasi dapat meningkatkan ketahanan
terhadap Fusarium spp. Son et al. (2007) juga menyatakan bahwa penggunaan
asam fusarat diatas 100 ppm juga berperan menekan aktivitas Phytophthora
infestans yang dapat menyebabkan busuk daun tomat dan karat daun gandum
hingga 67 % baik secara in vivo maupun in vitro.
Klon dan Kultivar Kentang yang Digunakan dalam Penelitian
Klon adalah nomor-nomor seleksi kentang yang diperbanyak secara
vegetatif serta masih dalam taraf pengujian dan belum dilepaskan, sedangkan
kultivar adalah klon yang sudah dilepaskan dan diterima secara komersial (Chahal
& Gosal 2006). Penelitian ini menggunakan 10 klon kentang baik yang sudah
dilepas maupun belum dilepas. Klon tersebut yaitu Atlantik, Granola, CIP 801040,
CIP 801045, CIP 801050, DTO 28, DTO 33, Cipanas, IPB 1, dan Russet Burbank.
Kultivar Atlantik merupakan hasil persilangan dari kultivar Wauseon dan
Lenape. Kentang Atlantik berbentuk bulat dan memiliki umur panen sedang (tidak
genjah) (Kusmana & Sofiari 2007). Kulit umbi berwarna coklat dengan daging
umbi berwarna putih. Clough (2014) menyatakan bahwa Atlantik tahan terhadap
virus PVA dan PVX serta penyakit scab. Kentang Atlantik mempunyai persentase
berat kering yang tinggi sehingga sesuai dengan kriteria kentang sebagai bahan
baku industri.
Kultivar Granola dirakit pada tahun 1975 di Jerman. Granola memiliki
ketahanan terhadap serangan virus namun agak peka terhadap layu bakteri
(Rukmana 1997). Granola tahan terhadap Fusarium spp., Erwinia spp., dan

11
Rhizoctonia solani (ECPD 2015). Granola mempunyai daging umbi berwarna
kuning, mata umbi dangkal, bentuk umbi bulat, dan umur panen genjah (Kusmana
& Sofiari 2007). Kentang varietas granola memiliki kandungan gula reduksi
tinggi dan persentase berat kering rendah (16-17 %) sehingga tidak sesuai dengan
kriteria kentang sebagai bahan baku industri (Sugiarto 2001).
Klon-klon CIP merupakan klon hasil introduksi dari International Potato
Center (CIP) (Delfiani 2003). Pada tahun 2011, evaluasi 30 klon kentang unggul
dari CIP telah dilakukan dan hasil dari evaluasi tersebut menunjukkan bahwa
lebih dari 50% klon yang diuji memberikan umbi yang lebih tinggi dari varietas
Granola sebagai varietas pembanding untuk kentang konsumsi dan varietas
Atlantik sebagai varietas pembanding untuk kentang olahan (Gunadi et al. 2012).
Pada criteria ketahanan penyakit, tiga klon yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu CIP 801040, CIP 801045, dan CIP 801050 diketahui rentan terhadap
Phytophthora infestans. Ketahanannya terhadap Fusarium spp. belum diketahui
(Rosmayati et al. 2006).
Kultivar DTO 28 merupakan hasil silangan dari International Potato Center
(CIP) yang berasal dari Peru. Persilangan ini menghasilkan sifat-sifat seperti
produksi tinggi, kandungan berat kering rendah, tahan penyakit layu bakteri, dan
peka terhadap penyakit hawar daun serta tahan terhadap suhu tinggi
(Rustianingsih 2000; Delfiani 2003). Klon kentang lain yang tahan terhadap suhu
tinggi selain DTO 28 adalah DTO 33 (Hetherington et al. 1983, Bensalim et al.
1998). Klon DTO 33 diketahui tahan terhadap Globodera rostochiensis, namun
ketahanannya terhadap Fusarium spp. belum diketahui (Clough 2015).
Kultivar Cipanas merupakan salah satu kultivar yang dirakit oleh Balai
Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA). Kentang Cipanas memiliki potensi
hasil 13–34 ton ha-1 dengan umur panen 95–105 hari. Kulit umbi berwarna coklat
muda dengan daging umbi berwarna kuning. Kentang Cipanas memiliki
ketahanan terhadap busuk daun, tetapi agak peka terhadap nematoda Meloidogyne
sp. dan penyakit layu bakteri (Setiawati et al. 2007).
Klon kentang IPB 1 merupakan salah satu klon kentang hasil persilangan
Atlantik dan Granola. Bahan tanaman diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman
Sayuran (BALITSA) di Lembang, Bandung. Ketahanan klon kentang ini terhadap
Fusarium spp. belum diketahui.
Russet Burbank merupakan kultivar kentang yang dikembangkan pada
tahun 1914. Kultivar yang sering dikenal juga dengan nama kentang Idaho ini
dikembangkan oleh Lou Sweet dari kimera yang terjadi pada salah satu kultivar
kentang (PAA 2015). Russet Burbank mempunyai warna kulit coklat dengan
daging umbi berwarna putih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NCSU
pada 10 lokasi di Amerika diketahui bahwa kultivar ini tahan terhadap scab dan
busuk kering akibat Fusarium spp. (Clough 2015).

12

3 RESPON MORFOLOGI BEBERAPA KLON KENTANG
TERHADAP ASAM FUSARAT SECARA IN VITRO
Abstract
Fusaric acid is a phytotoxin produced by Fusarium spp. and has been
known to play a major role in the development of dry rot in potato tubers. Using
fusaric acid as a selection agent may be useful to identify resistant clones. The aim
of this study was to evaluate the morphological responses of 10 potato clones
(Granola, Atlantic, Cipanas, DTO 28, DTO 33, Russet Burbank, IPB 1, CIP
801040, CIP 801045, dan CIP 801050) and their resistance level against fusaric
acid (0, 5, 10, dan 15 mg L-1) on in vitro culture. The experiment was arranged in
a randomized completely block design with four replications. The result showed
that fusaric acid caused death of many planlets. The resistant planlets could
initiate adventive buds and roots, but the growth was inhibited. The inhibitory
effect was showed by data of bud number, internode number, root number, plant
height, root length, and leaf area which were lower those of control. Besides
Granola, Russet Burbank dan IPB 1 were potential clones because they had good
vigour and good resistance.
Keywords : dry rot, resistant, selection, tuber, vigour
Abstrak
Asam fusarat merupakan fitotoksin yang dihasilkan Fusarium spp dan
mempunyai peran penting dalam perkembangan penyakit busuk kering umbi
sehingga memiliki peluang untuk dapat digunakan dalam kegiatan seleksi
kentang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respon morfologi dan
tingkat ketahanan 10 klon kentang (Granola, Atlantik, Cipanas, DTO 28, DTO 33,
Russet Burbank, IPB 1, CIP 801040, CIP 801045, dan CIP 801050) terhadap
asam fusarat (0, 5, 10, dan 15 mg L-1) secara in vitro. Pengujian dilakukan
menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 4 ulangan. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa asam fusarat menyebabkan kematian sebagian
planlet kentang. Stek buku tunggal yang berhasil menginisiasi tunas dan akar
mampu bertahan hidup meskipun mengalami pertumbuhan yang terhambat.
Respon penghambatan tumbuh ini ditunjukkan oleh jumlah tunas, jumlah buku,
jumlah akar, tinggi tanaman, panjang akar, dan ukuran daun yang lebih rendah
dibanding kontrol. Selain Granola, klon Russet Burbank dan IPB 1 berpotensi
menjadi klon kentang unggul. Klon tersebut memiliki vigor dan ketahanan yang
baik.
Kata kunci : busuk kering, resistan, seleksi, umbi, vigor

13
Pendahuluan
Penyakit busuk kering yang diakibatkan oleh cendawan Fusarium spp.
merupakan salah satu penyebab penting dari kerugian pascapanen kentang.
Penyakit ini tidak hanya menyerang tanaman di lahan tetapi juga umbi yang
tersimpan di gudang sehingga menyebabkan kerugian hingga 25% (Duriat, 2006).
Gejala awal pada umbi yang terserang berupa munculnya bercak-bercak berlekuk
coklat atau hitam dan memperlihatkan gejala mummifikasi, yaitu kering, berkerut,
dan keras (Wharton et al., 2007).
Penggunaan varietas tahan Fusarium yang mampu berproduksi tinggi
merupakan salah satu usaha untuk menekan kerugian. Hingga saat ini, pengujian
untuk mengetahui respon ketahanan terhadap busuk kering umbi biasanya
dilakukan dengan cara inokulasi cendawan pada umbi kentang. Inokulasi
dilakukan dengan metode pelukaan (Daami-Remadi et al. 2006).
Pemanfaatan seleksi sifat tertentu pada kultur in vitro memberikan peluang
untuk mendapatkan kultivar atau klon kentang adaptif dengan waktu, tenaga,
biaya, dan bahan tanam yang lebih sedikit. Seleksi in vitro juga dilakukan pada
lingkungan yang terkontrol sehingga pengaruh kerusakan akibat pertumbuhan
miselium Fusarium spp atau toksinnya dapat diketahui dengan jelas. Adanya
korelasi positif antara karakter produksi umbi dan ketahanan penyakit kentang
pada kondisi in vivo dan in vitro juga telah membuktikan bahwa seleksi in vitro
mampu menggambarkan kondisi tanaman di lapangan. Pemanfaatan seleksi pada
kultur in vitro sudah banyak dilakukan pada tanaman kentang seperti