Keefektifan Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Bactrocera Carambolae (Drew & Hancock) In Vitro Dan In Vivo

KEEFEKTIFAN IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP
BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK)
IN VITRO DAN IN VIVO
KEEFEKTIFAN IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP
BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK)
IN VITRO DAN IN VIVO

KEMAS USMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Iradiasi
Sinar Gamma terhadap Bactrocera carambolae (Drew & Hancock) In Vitro dan
In Vivo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015
Kemas Usman
NIM A351130494

RINGKASAN
KEMAS USMAN. Keefektifan Iradiasi Sinar Gamma terhadap Bactrocera
carambolae (Drew & Hancock) In Vitro dan In Vivo. Dibimbing oleh ENDANG
SRI RATNA dan DADAN HINDAYANA.
Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan komoditas hortikultura yang
memiliki nilai ekonomis penting dalam pasar lokal maupun ekspor. Dalam rangka
akselerasi ekspor, Indonesia harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
World Trade Organization-Sanitary and Phytosanitary (WTO-SPS). Salah satu
OPT pada komoditas jambu biji adalah Bactrocera carambolae (Drew &
Hancock). Salah satu upaya membebaskan komoditas ekspor dari OPT melalui
tindakan perlakuan karantina berupa iradiasi sinar gamma [60Co]. Penelitian ini

bertujuan menentukan dosis lethal dan dosis efektif iradiasi sinar gamma [60Co]
untuk mengeradikasi lalat buah B. carambolae, serta mengamati implikasi
terhadap keloloshidupannya.
Penelitian ini dilakukan di di Laboratorium Phytosanitary, Pusat Aplikasi
Isotop Radiasi-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-Batan), Jakarta pada bulan
Agustus sampai dengan Desember 2014. Pelaksanaan penelitian meliputi metode
pengujian in vitro dan in vivo, masing-masing diaplikasikan terhadap telur dan
larva instar 3 B. carambolae hasil perbanyakan laboratorium. Sebelas dosis
perlakuan iradiasi diaplikasikan berturut-turut: 0, 30, 50, 75, 100, 125, 150, 175,
200, 300, 450, dan 600 Gy. Tingkat mortalitas 99% (LD99) ditentukan melalui
program probit, dan kemampuan keloloshidupan larva, pupa, dan imago
dibedakan melalui uji Tukey pada taraf 5%.
Hasil perlakuan menunjukkan bahwa dosis lethal iradiasi efektif pada
tingkat (LD99) berhasil mengeradikasi telur dan larva instar 3 berturut-turut
sebesar 2225 dan 2343 Gy in vitro, serta 3165 dan 3177 Gy in vivo. Hampir
seluruh larva perlakuan yang lolos hidup berhasil berkembang menjadi pupa,
namun hanya dosis iradiasi terendah, yaitu 30 Gy saja yang dapat berkembang
menjadi imago.
Kata kunci: Bactrocera carambolae, eradikasi, iradiasi, LD99


SUMMARY
KEMAS USMAN. Effect of Gamma Irradiation against Bactrocera carambolae
(Drew & Hancock) In Vitro and In Vivo. Supervised by ENDANG SRI RATNA
and DADAN HINDAYANA.
Guava (Psidium guajava L.) is one of the economic important horticultural
commodities mainly for fresh consumption in local and international markets. In
the last few years, the export volume of guava in Indonesia is increasing. Related
to export acceleration of horticultural commodities, Indonesia must follow the
World Trade Organization-Sanitary and Phytosanitary (WTO-SPS) regulation.
One of the most important pests on guava fruit, principally fruit flies,
Bactroceracarambolae (Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae). According to a
quarantine regulation in export-import commodities, irradiation treatment is a
suitable method for eradicating infested organism. The aim of this research to
perform mortality doses and an effective dose of [60Co] gamma ray irradiation for
the eradication purposed, and its implication on the survival of fruit fly B.
carambolae.
Two irradiation methods of in vitro dan in vivo were carried out, by
exposing egg and 3rd instar larvae of B. carambolae obtained from the laboratoryreared insects. Elevent doses of gamma ray irradiation of 0, 30, 50, 75, 100, 125,
150, 175, 200, 300, 450, and 600 Gy were applied, respectively. The level of 99%
frut fly mortality was estimated by the value of LD99 using probit analysis and the

number of larvae, pupae and adult survival were evaluated by analysis of variance
(ANOVA), and the means compared by Tukey’s test, at 5% of significance level.
This result showed that the effective lethal dose (LD99) of irradiation that
could be successful to eradicate eggs and 3rd instar larvae in vitro were 2225 and
2343 Gy and in vivo were 3165 dan 3177 Gy, respectively. Almost all treatments
resulted in the pupae survivorship, therefore the only minimum irradiation dose of
30 Gy allowed the pupae developed into adults.

Keywords: Bactrocera carambolae, eradication, irradiation, LD99

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KEEFEKTIFAN IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP
BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK)
IN VITRO DAN IN VIVO

KEMAS USMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Teguh Santoso, DEA


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Desember 2014
ini ialah perlakuan karantina, dengan judul Keefektifan Iradiasi Sinar Gamma
terhadap Bactrocera carambolae (Drew & Hancock) In Vitro dan In Vivo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra Endang Sri Ratna, PhD dan
Bapak Dr Ir Dadan Hindayana selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Antarjo Dikin, MSc selaku Kepala Pusat
Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati-Badan Karantina Pertanian
(Barantan), Kepala dan segenap pegawai Balai Uji Terap Teknik dan Metode
Karantina Pertanian (BUTTMKP), Ibu Ir Indah Arastuti Nasution, Ibu Dra Murni
Indarwatmi MSi, Bapak Dr Irawan Sugoro, dan Bapak Rochmani di Laboratorium
Phytosanitary, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi – Badan Tenaga Nuklir Nasional
(PAIR-Batan). Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr
Ir Pudjianto, MSi selaku Ketua Program Studi Entomologi, Ibu Prof Dr Ir Sri
Hendrastuti MSc selaku Ketua Program Studi Fitopatologi, dan Bapak Dr Ir
Teguh Santoso, DEA selaku dosen penguji tamu, serta segenap staf pengajar dan
staf administrasi Departemen Proteksi Tanaman atas dukungannya selama penulis
mengikuti pendidikan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, dan

seluruh keluarga tercinta, atas segala doa dan dukungannya, serta rekan-rekan
mahasiswa S2 kelas khusus karantina tumbuhan angkatan ke-3 atas saran serta
bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015
Kemas Usman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Permasalahan
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Klasifikasi Taksonomi
Morfologi Tanaman
Potensi Ekspor
Bactocera carambolae (Drew & Hancock)
Sistematika Lalat Buah B. carambolae
Persebaran
Biologi dan Morfologi
Kisaran Inang
Gejala Kerusakan
Pengendalian
Perlakuan Iradiasi
Iradiasi sebagai Alternatif Tindakan Perlakuan Karantina
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur
HASIL DAN PEMBAHASAN
Periode dan Lokasi Oviposisi B. carambolae
Pengaruh Iradiasi terhadap Mortalitas Telur dan Larva Instar 3

Pengaruh Iradiasi terhadap Sintasan Pradewasa
Pengaruh Iradiasi terhadap Morfologi Tubuh Lalat
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
xi
xi
1
1
3
3
3
3
4
4
4
4
5

5
5
6
6
7
8
8
9
11
12
12
12
12
13
21
21
23
25
28
31

32
37

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8

Komposisi bahan media pakan buatan larva lalat buah B. carambolae
Waktu pemaparan berdasarkan dosis perlakuan iradiasi
Periode oviposisi B. carambolae
Kapasitas peneluran B. carambolae berdasarkan kombinasi pelepasan
pasangan dan lama pemaparan imago
Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] terhadap mortalitas telur dan larva
instar 3 B. carambolae secara in vitro dan in vivo
Dosis lethal iradiasi sinar gamma [60Co] pada stadia telur dan larva instar 3
B. carambolae secara in vitro dan in vivo
Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] pada stadia telur dan larva instar 3
B. carambolae terhadap kegagalan pembentukan pupa secara in vitro dan
in vivo
Pengaruh iradiasi sinar gamma [60Co] pada stadia telur dan larva instar 3
B. carambolae terhadap kegagalan pembentukan imago secara in vitro dan
in vivo

13
17
22
22
24
25

26

27

DAFTAR GAMBAR
1 Ciri morfologi spesies B. carambolae: (a) imago; (b) sayap; (c) femur; (d)
kepala; (e) toraks; (f) abdomen
2 Perangkat iradiator gamma chamber 4000 A PAIR-Batan: (a) perangkat
keseluruhan; (b) chamber; (c) panel kontrol
3 Perangkat pemeliharaan dan perbanyakan lalat buah: (a) kurungan; (b)
tempat tabung peneluran; (c) tabung peneluran; (d) ayakan pupa
4 Skema pengujian oviposisi B. carambolae
5 Skema perlakuan in vitro
6 Skema perlakuan in vivo
7 Telur B. carambolae pada buah jambu biji: (a) tampak luar;
(b) irisan membujur lubang tusukan; (c) kelompok telur
8 Perubahan morfologi lalat buah B. carambolae setelah perlakuan iradiasi:
A = telur, B = larva instar 3, C = pupa, D = imago, I = perlakuan iradiasi,
K = perlakuan kontrol (tanpa iradiasi)

8

12
14
16
18
20
23
29

DAFTAR LAMPIRAN
1 Skema irradiator gamma chamber 4000 A
2 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data mortalitas telur
secara in vitro
3 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data mortalitas larva
instar 3 secara in vitro
4 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data mortalitas telur
secara in vivo
5 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data mortalitas larva
instar 3 secara in vitro
6 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan pupa (perlakuan telur) secara in vitro
7 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan pupa (perlakuan larva instar 3) secara in vitro
8 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan pupa (perlakuan telur) secara in vivo
9 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan pupa (perlakuan larva instar 3) secara in vivo
10 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan imago (perlakuan telur) secara in vitro
11 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan imago (perlakuan larva instar 3) secara in vitro
12 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan imago (perlakuan telur) secara in vivo
13 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data kegagalan
pembentukkan imago (perlakuan larva instar 3) secara in vivo
14 Analisis probit dengan program SAS untuk data dosis lethal iradiasi
gamma terhadap telur B. carambolae berdasarkan mortalitas secara in
vitro
15 Analisis probit dengan program SAS untuk data dosis lethal iradiasi
gamma terhadap larva instar 3 B. carambolae berdasarkan mortalitas
secara in vitro
16 Analisis probit dengan program SAS untuk data dosis lethal iradiasi
gamma terhadap telur B. carambolae berdasarkan mortalitas secara in
vivo
17 Analisis probit dengan program SAS untuk data dosis lethal iradiasi
gamma terhadap larva instar 3 B. carambolae berdasarkan mortalitas
secara in vivo

39
40
43
46
49
52
55
58
61
64
67
70
73

76

77

78

79

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang memiliki nilai ekonomis penting karena tingkat kesukaan
penduduk dalam negeri dan luar negeri terhadap buah ini cukup tinggi. Cita rasa
yang enak dan kandungan vitamin A dan C yang tinggi pada buah menyebabkan
buah jambu biji digemari masyarakat (Sujiprihati 1985). Kandungan vitamin C
buah jambu biji dapat mencapai dua kali lipat dari buah jeruk manis. Satu buah
jambu biji seberat 275 gram dapat mencukupi kebutuhan harian akan vitamin C
pada tiga orang dewasa atau anak-anak (Parimin 2007). Beberapa manfaat buah
jambu biji, meliputi: menurunkan kadar kolesterol, antioksidan, serta
memperlancar sistem pencernaan, memicu peningkatan trombosit dan sirkulasi
darah. Daun jambu biji juga bermanfaat untuk memperbaiki sistem pencernaan,
sehingga masyarakat Indonesia banyak menggunakannya sebagai obat diare
(Soetopo 1992; Ashari 2006; Parimin 2007). Pada umumnya, di Indonesia, selain
dikonsumsi secara langsung, buah jambu biji diolah menjadi manisan yang
banyak digemari (Parimin 2007). Di banyak negara buah jambu biji dimanfaatkan
dalam bentuk konsumsi buah segar atau dalam bentuk produk olahan seperti sirup,
jus, jeli, selai, dan dodol (Popenoe 1974; Rismunandar 1989; Soetopo 1992;
Gould dan Raga 2002).
Selain menjadi komoditas hortikultura yang populer di dalam negeri, buah
jambu biji menjadi komoditas unggulan yang diekspor ke beberapa negara
diantaranya Arab Saudi, Belanda, Hongkong, Malaysia, Singapura, Swiss, dan
Uni Emirat Arab. Data Biro Pusat Statistik (BPS 2014) menyatakan bahwa
volume ekspor total buah jambu biji Indonesia mencapai 48 911 kg pada tahun
2013 atau senilai US $ 105 025. Dengan demikian, buah jambu biji merupakan
salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia.
Dalam rangka akselerasi ekspor komoditas hortikultura, termasuk buah
jambu biji, berbagai faktor sering mempengaruhi penghambatan kelancaran dan
perkembangan volume ekspor. Faktor-faktor tersebut seperti mahalnya biaya
transportasi, sewa gudang penyimpanan, dan lainnya mulai ditemukan dari aspek
hulu atau produksi pertanaman sampai hilir atau pascapanen. Faktor lain yang
menjadi kendala produksi buah jambu biji adalah terdapatnya Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau aspek kesehatan tumbuhan (Parimin 2007).
Pengiriman komoditas ekspor buah jambu biji dari Indonesia harus
memenuhi ketentuan kesehatan tumbuhan yang ditetapkan oleh World Trade
Organization (WTO-SPS) dari negara tujuan ekspor (negara pengimpor) yang
mempersyaratkan komoditas tersebut bebas dari OPT Karantina (OPTK) yang
belum terdapat di negara tujuan. Ketentuan ini akan saling bertautan dengan
kesepakatan timbal balik dari Indonesia yang memiliki sudut kepentingannya di
bidang penerapan pasar global. Dalam hal ini Indonesia bergabung atau bernaung
sebagai anggota WTO-SPS maupun konvensi lainnya (International Plant
Protection Convention (IPPC), ASEAN-China Free Trade Agreement, ASEANCanada Trade and Investment Framework Arrangement, ASEAN-Australia-New
Zealand Free Trade Area, ASEAN-EU Free Trade Agreement, ASEAN-Japan
Comprehensive Economic Partnership, dan ASEAN Trade in Goods Agreement)

2

baik saat ini maupun mendatang (Barantan 2014). Kesepakatan perjanjian tersebut
menjadikan Indonesia harus membuat suatu sistem perkarantinaan yang
kompleks, efektif, dan efisien dalam pengaturan sistem pengawasan lalu lintas
barang termasuk komoditas pertanian. Hal ini mengingat resiko masuk dan juga
menyebarnya OPTK dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia yang semakin
meningkat. Salah satu OPT yang banyak menyerang buah jambu biji dan terdapat
di Indonesia namun belum terdapat di beberapa negara lain (dapat berstatus
OPTK bagi negara tujuan) adalah lalat buah Bactrocera carambolae (Drew &
Hancock) (Diptera: Tephritidae) (CAB International 2007).
Lalat buah B. carambolae merupakan salah satu OPT pada buah. Lalat buah
ini berperilaku polifag, banyak menyebabkan kerusakan pada berbagai buah
seperti jambu biji (Psidium guajava L.) dan mangga (Mangifera indica L.),
walaupun inang utamanya dilaporkan pada belimbing (Averrhoa carambola L.)
dan jambu air (Syzygium samarangense (Blume) Merr. & L. M. Perry)) (Kapoor
2005; Siwi et al. 2006; Lemos et al. 2014). Berdasarkan daerah persebarannya,
lalat buah ini merupakan serangga karantina penting berkaitan dengan ekspor
buah-buahan (CAB International 2007). Dalam upaya membebaskan komoditas
ekspor buah jambu biji dari infestasi lalat, maka tindakan eradikasi diberlakukan
dalam peraturan karantina untuk menghindari perkembangan populasi lebih lanjut
hingga pelabuhan tujuan (IPPC 2008; Hallman 2011).
Perlakuan eradikasi yang umum digunakan terhadap OPTK pada komoditas
pertanian adalah fumigasi metil bromida (MB), namun berdasarkan Protokol
Montreal, fumigan MB dikategorikan sebagai bahan perusak ozon. Oleh karena
itu, International Standard Phytosanitary Measures (ISPM) merekomendasikan
beberapa alternatif teknik perlakuan yang dapat dilakukan terhadap komoditas
buah dan sayuran yang akan diekspor, antara lain: perlakuan udara panas,
perlakuan air panas, perlakuan uap panas, perlakuan suhu dingin, dan perlakuan
iradiasi. Perlakuan iradiasi merupakan salah satu tindakan perlakuan yang
potensial untuk mengeradikasi lalat buah, menurut ISPM nomor 18 tahun 2003
tentang Guidelines for the Use of Irradiation as Phytosanitary Measures
(petunjuk penerapan perlakuan iradiasi sebagai tindakan phytosanitary) yang
dijadikan acuan standar tindakan kesehatan tanaman (phytosanitary) (IPPC 2008).
Perlakuan pemaparan sinar radioaktif (iradiasi) pancaran sinar gamma
merupakan metode eradikasi yang cepat dan praktis diaplikasikan bagi buah
kemasan ekspor, relatif tidak menyebabkan fitotoksisitas atau kerusakan bahan
seperti pada perlakuan suhu panas dan dingin, dan tidak meninggalkan residu
yang berbahaya seperti perlakuan fumigasi, sehingga relatif lebih aman terhadap
kesehatan dan lingkungan (Dόria et al. 2007; Follet et al. 2008; Hallman 2011).
Besarnya paparan iradiasi biasanya dinyatakan dalam satuan dosis Gray (Gy).
Hallman (2011) melaporkan bahwa beberapa negara telah mengadopsi metode
perlakuan iradiasi untuk tindakan phytosanitary terhadap beberapa lalat buah,
antara lain: Amerika Serikat, Australia, India, Pakistan, Thailand, dan Vietnam.
Berdasarkan dokumen konvensi internasional standar penggunaan iradiasi, dosis
minimum iradiasi untuk lalat buat Tephritidae adalah sebesar 150 Gy (Hallman
2012).
Kinerja iradiasi sinar gamma telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Odai
et al. (2014) melaporkan bahwa iradiasi sinar gamma efektif digunakan untuk
mengeradikasi lalat buah karantina B. invadens pada buah mangga. Menurut

3

Mansour dan Franz (1996), iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan sterilitas
telur, kegagalan pembentukan pupa dan imago Ceratitis capitata pada buah
mangga. Perlakuan dosis minimum iradiasi sinar gamma dilaporkan mampu
menghambat perkembangan telur dan instar pradewasa, serta reproduksi imago
Anastrepha spp., B. jarvisi, B. tryoni (Hallman dan Loaharanu 2002), dan
perkembangan pupa C. capitata pada buah mangga (Torres-Rivera dan Hallman
2007). Iradiasi sinar gamma dilaporkan menghambat perkembangan pupa B.
correcta (Puanmanee et al. 2010) dan menekan infestasi larva Ceratitis spp. dan
Bactrocera sp. pada buah jambu biji (Dόria et al. 2007; Kabbashi et al. 2012).
Pengujian penerapan dosis perlakuan iradiasi sinar gamma untuk tindakan
karantina terhadap B. carambolae pada buah jambu biji belum pernah dilaporkan
di Indonesia, sehingga pengujian efikasi iradiasi terhadap keberadaan lalat
tersebut perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan dosis lethal dan
mengevaluasi keefektifan dosis minimum iradiasi sinar gamma [60Co] untuk
keperluan eradikasi lalat buah B. carambolae.

Rumusan Permasalahan
Perlakuan karantina yang umum diaplikasikan pada komoditas pertanian
adalah fumigasi MB, namun dikarenakan sifatnya sebagai perusak ozon, maka
dibutuhkan alternatif perlakuan lain. Iradiasi sinar gamma merupakan proses
fisika yang dapat diterapkan untuk mengendalikan B. carambolae karena sifatnya
yang efektif, tidak meninggalkan residu pada komoditas yang diberi perlakuan,
dan relatif aman terhadap lingkungan. Iradiasi dapat digunakan sebagai alternatif
perlakuan karantina pengganti fumigasi MB pada komoditas pertanian.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan dosis lethal dan dosis efektif iradiasi
sinar gamma [60Co] untuk mengeradikasi lalat buah B. carambolae, serta
mengamati implikasi terhadap sintasannya.

Hipotesis
Dosis efektif iradiasi sinar gamma [60Co] dapat diterapkan sebagai
tindakan perlakuan untuk mengeradikasi B. carambolae pada komoditas buah
jambu biji berdasarkan acuan dosis generik iradiasi sesuai dengan konvesi IPPC.

Manfaat Penelitian
Data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pustaka acuan
untuk mendukung kebijakan penentuan dosis minimum iradiasi perlakuan sinar
gamma [60Co] pada buah jambu biji sebagai dosis generik pada perlakuan
karantina lalat buah B. carambolae di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.)
Klasifikasi Taksonomi
Buah jambu biji (Psidium guajava L.) adalah tanaman buah jenis semak
atau perdu yang berasal dari Brazilia (Amerika tengah), kemudian menyebar dan
dapat tumbuh di daerah tropis seperti Thailand dan negara benua Asia lainnya
termasuk Indonesia (Popenoe 1974; Soetopo 1992). Klasifikasi taksonomi
tanaman jambu biji adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub. Divisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Psidium
Spesies
: Psidium guajava L.
Pada awalnya, jambu biji di Indonesia ditanam sebagai tanaman
pekarangan atau pembatas kebun saja sehingga tidak mendapat banyak perhatian.
Kemudian di Pasar Minggu (Jakarta Selatan) tanaman ini ditanam dalam skala
komersial. Pada tahun 1970-an mulai banyak ditanam jambu biji yang berukuran
besar, terkenal dengan sebutan “jambu Bangkok” (Semangun 1994).
Morfologi Tanaman
Tanaman jambu biji merupakan tanaman jenis perdu bercabang banyak
yang memiliki batang berwarna hijau sampai merah muda dengan bentuk
penampang membujur segiempat (Popenoe 1974; Rismunandar 1989; Soetopo
1992). Batang tua berbentuk bulat, berkayu keras, tidak mudah patah, kuat, padat,
dan kulit batang licin berwarna coklat kemerahan dengan lapisan yang tipis dan
mudah terkelupas jika sudah mengering. Apabila kulit batang dikelupas, maka
akan terlihat bagian dalam batang berupa jaringan yang berwarna hijau dan
sukulen (Ashari 2006; Parimin 2007).
Tanaman jambu biji dapat dibudidayakan dengan cara stek, okulasi, dan
ditanam dari biji. Tanaman yang berasal dari hasil stek dan okulasi memiliki
kanopi pendek dengan pola percabangan bebas dari bawah ke atas batang, dan
sering tumbuh tunas liar di dekat pangkal batang. Tinggi tanaman dapat mencapai
3-10 m. Tanaman yang tumbuh dari biji biasanya berumur lebih panjang
dibandingkan hasil stek dan okulasi. Tanaman tumbuh baik pada kondisi suhu 2328 °C. Tanaman jambu biji berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Umumnya
umur tanaman dapat mencapai 30 hingga 40 tahun (Parimin 2007).
Daun berbentuk jorong (oval) dengan ujung yang melancip, berupa daun
tunggal, dan bertangkai pendek. Warna daun beragam mulai dari hijau muda,
hijau tua, hijau berbelang kuning, hingga merah tua. Kedudukan daun pada
tangkai daun berhadapan. Panjang daun berkisar 5-15 cm sedangkan lebar daun
berkisar 3-6 cm. Panjang tangkai daun berkisar 3-7 cm (Rismunandar 1989;
Parimin 2007).

5

Bunga jambu biji berpangkal pada ketiak daun atau pada ujung ranting
berjumlah satu atau dapat lebih dalam kelompok kecil. Jumlah bunga di setiap
tangkai 1-3 bunga. Bunga jambu biji berwarna putih, berbau agak harum. Kelopak
dan mahkota bunga masing-masing berjumlah lima helai. Waktu yang diperlukan
dari kuncup hingga mekar penuh antara 14-29 hari. Bunga akan mekar penuh
pada pagi hari (Sujiprihati 1985; Morton 1987; Parimin 2007). Bunga jambu biji
termasuk bunga sempurna (hermaprodit) yaitu benang sari (sekitar 250 helai) dan
putik terdapat pada satu bunga, sehingga pembuahan terjadi melalui penyerbukan.
Ada pula yang tanpa penyerbukan (partenokarpi) yang menghasilkan buah tanpa
biji. Penyerbukan bunga pada tanaman jambu biji dapat bersifat menyerbuk
sendiri maupun menyerbuk silang (Sujiprihati 1985; Nakasone dan Paull 1999;
Parimin 2007). Penyerbukan dapat terjadi melalui bantuan faktor luar seperti
angin, serangga, dan manusia (Rismunandar 1989).
Buah jambu biji umumnya bervariasi dalam hal ukuran, bentuk, maupun
warnanya. Ukuran diameter buah berkisar antara 2.5-10 cm. Buah jambu biji
berbentuk bulat atau lonjong. Kulit buah berwarna hijau saat muda dan berubah
menjadi kuning muda mengkilap setelah matang. Untuk jenis tertentu, kulit buah
berwarna hijau berbelang kuning saat muda dan berubah menjadi kuning saat
matang. Ada pula yang berkulit merah muda saat muda dan menjadi merah tua
saat matang (Nakasone dan Paull 1999; Panhwar 2005; Parimin 2007). Variasi
buah tersebut bergantung pada sifat bawaan (genetik), umur pohon, kesuburan
tanah, dan ketersediaan air (Rismunandar 1989). Daging buah bagian luar
bertekstur kasar, berwarna putih, kuning, merah muda, merah menyala, atau
merah tua, dan rasanya asam hingga manis (Soetopo 1992; Parimin 2007). Daging
buah bagian dalam bertekstur lunak, berwarna lebih gelap, berasa lebih manis
dibanding daging luarnya, dan umumnya dipenuhi biji-biji yang keras berwarna
kuning. Buah jambu biji matang 90 hingga 150 hari setelah pembungaan, hal ini
bergantung pada kondisi suhu selama perkembangan buah serta varietas buah
(Morton 1987).
Potensi Ekspor
Buah jambu biji pascapanen dapat bertahan disimpan sampai dengan 12
bulan pada kondisi suhu 8 °C dalam kelembapan rendah (Soetopo 1992; Ashari
2006). Buah jambu biji termasuk ke dalam buah-buahan unggulan ekspor
Indonesia, selain buah lainnya seperti: pisang, nenas, alpukat, mangga, manggis,
jeruk, pepaya, rambutan, duku (langsat), durian, semangka, dan melon (BPS
2014).

Bactrocera carambolae (Drew & Hancock)
Sistematika lalat buah B. carambolae
Bactrocera merupakan genus dari famili Tephritidae yang banyak
menyerang dan berasosiasi dengan komoditas buah tropis. Famili Tephritidae
yang tersebar di kawasan Asia terdiri atas 160 genus, yang beranggotakan 180
spesies. Beberapa anggota spesies dari genus tersebut di atas memiliki kemiripan
morfologi, sehingga dikelompokkan ke dalam spesies B. dorsalis complex (Hardy
1977 dalam Siwi et al. 2006). Lalat B. carambolae termasuk di antara kelompok

6

spesies ini dan sebelumnya sempat dikenal sebagai Bactrocera sp. near B.
dorsalis (Siwi et al. 2006).
Lalat buah B. carambolae dikelompokkan ke dalam sistem tata nama
sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Divisi
: Artropoda
Sub. Divisi
: Entognatha
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diptera
Famili
: Tephritidae
Genus
: Bactrocera
Spesies
: Bactrocera carambolae (Drew & Hancock)
Persebaran
Lalat buah B. carambolae diketahui tersebar di Malaysia, Thailand bagian
tenggara, dan Indonesia bagian Barat (CAB International 2007). Lalat buah ini
merupakan hama penting di Indonesia disamping spesies lainnya seperti B.
albistrigata (de Meijere), B. caudata (Fabricius), B. cucurbitae (Conquillet), B.
dorsalis Hendel, B. papayae (Drew and Hancock), B. umbrosa (Fabricius), dan
Dacus longicornis (Orr 2002).
Status B. carambolae telah teridentifikasi meluas di beberapa kawasan
benua Asia seperti: India terbatas di Kepulauan Andaman dan Nicobar, Thailand,
Malaysia termasuk semenanjung Malaysia dan Sabah, Singapura, Brunei
Darussalam, dan Indonesia terbatas di Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.
Persebaran serangga kini dilaporkan lebih meluas lagi ke beberapa kawasan
terbatas di Amerika selatan seperti Guyana, French Guiana, Suriname dan
Brazilia daerah Amapa. Namun, lalat ini ditetapkan sebagai hama karantina di
Guyana (CAB International 2007).
Biologi dan Morfologi
B. carambolae memiliki tipe perkembangan sempurna (holometabola), yang
terdiri atas telur, larva, pupa, dan imago. Siklus hidup B. carambolae
membutuhkan waktu 14-27 hari dari telur hingga imago (Siwi et al. 2006).
Telur. Telur B. carambolae diletakkan oleh imago betina dengan cara
disisipkan sebagian pada jaringan di bawah permukaan kulit buah yang telah
matang. Bentuk telur silindris, berwarna putih, berukuran 0.8 × 0.2 mm. Salah
satu ujung telur yang berbatasan dengan permukaan udara meruncing dan pada
bagian tersebut terdapat lubang mikropil (Siwi et al. 2006). Stadia telur 2-4 hari.
Imago betina dapat menghasilkan telur dengan kisaran 300 hingga 1000 butir
(Ditlin Hortikultura 2006; Noor et al. 2011).
Larva. Larva B. carambolae terdiri atas tiga instar dengan tipe vermiform.
Secara umum larva berbentuk jorong, berwarna putih keruh kekuningan, dengan
bagian ujung kepala meruncing tempat melekat alat mulutnya yang berbentuk
kait. Tubuh larva terdiri atas bagian kepala, toraks, dan delapan ruas abdomen.
Larva yang muncul dari telur melakukan aktifitas makan di dalam jaringan buah.
Larva membuat saluran-saluran di dalam buah dan mengisap cairan buah sehingga
dapat menyebabkan buah menjadi busuk. Keberadaan larva dalam buah juga dapat
menstimulasi pertumbuhan dan kehidupan mikrorganisme pembusuk lainnya

7

(Drew dan Lloyd 1987; Siwi et al. 2006; CAB International 2007). Larva instar 3
paling aktif makan dan membuat lubang pada jaringan buah tempat jalan keluar
loncatan prepupa sebelum menjadi pupa di tanah. Larva instar 3 berukuran
panjang 7.0-9.0 mm dan lebar 1.5-1.8 mm (White dan Harris 1994). Stadium larva
berkisar antara 6-11 hari, setiap instar membutuhkan waktu dua hari atau lebih,
bergantung jenis buah sebagai inangnya (Siwi et al. 2006; CAB International
2007). Menurut Noor et al. (2011), stadium larva pada buah jambu biji adalah
sekitar 12 hari.
Pupa. Pupa B. carambolae bertipe eksarata terbungkus di dalam puparium.
Puparium berbentuk oval, berukuran panjang 5-6 mm, berwarna kuning
kecoklatan (Ditlin Hortikultura 2006). Stadium pupa berkisar antara 4-10 hari. Di
alam, pupa terdapat pada tanah atau media tumbuh tanaman inang (Siwi et al.
2006; CAB International 2007; Noor et al. 2011).
Imago. Imago B. carambolae berwarna oranye kecoklatan dan berukuran
8-10 mm. Mata dan kepala berwarna coklat gelap. Bagian kepala terdapat bintik
hitam di sekitar garis antena, 2-3 pasang seta di bagian depan (frons) kepala.
Bagian toraks berwarna coklat gelap, scutum berwarna coklat kemerahan dengan
garis lateral dan medial berwarna kuning, dan scutelum berwarna kuning.
Postpronotal lobe berwarna kuning atau oranye pucat. Abdomen umumnya
memiliki dua pola pita melintang dan satu pola pita membujur warna hitam atau
bentuk huruf „T‟ yang jelas pada tergum III-V dengan garis hitam tipis melintang
pada anterior margin dari tergum III dan melebar menutupi sisi bagian samping.
Tergum V berwarna coklat kemerahan, memiliki sepasang bintik (ceromae)
berbentuk oval berwarna coklat hingga oranye mengkilap. Ujung abdomen imago
betina meruncing dan mempunyai alat peletak telur (ovipositor) yang cukup kuat
untuk menembus kulit buah, sedangkan pada imago jantan ujung abdomennya
membulat. Stadium imago berkisar antara 10 bulan hingga bertahun-tahun (Siwi
et al. 2006; CAB International 2007).
Lalat buah B. carambolae dikenali dengan tanda khas ciri morfologi
spesies yang ditunjukkan pada Gambar 1. Sayap tembus pandang (transparan)
dengan panjang 12-15 mm dan terdapat bagian pola pita berwarna coklat buram
mulai dari costa menuju ke ujung (apex) sayap. Letak pola pita ini sedikit
melewati R2+3 dan sedikit melebar di ujung (apex) dari R2+3 yang juga melewati
ujung (apex) dari R4+5. Pola pita ini juga terdapat antara garis anal dan cubitus dan
vena melintang dm-cu (Siwi et al. 2006; CAB International 2007). Bagian
preapical dari permukaan femur depan memiliki bintik hitam berbentuk jorong.
Semua tibia berwarna hitam kecoklatan kecuali tibia tengah lebih pucat di bagian
apical (Siwi et al. 2006; AQIS 2008; CAB International 2007).
Kisaran Inang
B. carambolae bersifat polifag (Kapoor 2005; Ginting 2009; Faridah 2011;
Lemos et al. 2014). Lalat buah ini hidup pada inang utama belimbing (Averrhoa
carambola), jambu air (Syzgium jambos) (Kapoor 2005; Siwi et al. 2006;). Inang
lainnya adalah jambu biji (Psidium guajava), kluwih (Artocarpus altilis), cabai
(Capsicum annuum), nangka (Artocarpus heterophyllus), jambu bol (S.
malaccense), tomat (Lycopersicon esculentum), mangga (Mangifera indica), dan
pepaya (Carica papaya) (Siwi et al. 2006).

8

b

a

d

c

e

f

Gambar 1 Ciri morfologi spesies B. carambolae: (a) imago; (b) sayap; (c) femur;
(d) kepala; (e) toraks; (f) abdomen (sumber: Ginting 2009)
Gejala Kerusakan
Imago B. carambolae betina meletakkan telur dalam jaringan buah
tanaman atau terkadang juga dalam jaringan batang, sehingga larva yang keluar
dari telur akan hidup dalam jaringan buah serta memakan jaringan buah tersebut.
Tempat peletakan telur ditandai dengan adanya noda atau titik kecil hitam. Akibat
aktivitas makan larva tersebut pada jaringan buah, bercak-bercak kecil pada
daging buah akan berkembang menjadi bercak yang lebih luas dan berwarna
kecoklatan. Selanjutnya larva akan merusak daging buah sehingga buah menjadi
busuk dan gugur sebelum masak (sering disebut buah berulat). Buah yang gugur
ini, apabila tidak segera dikumpulkan dan dimusnahkan, akan menjadi sumber
infeksi atau perkembangan lalat buah generasi berikutnya. Pembusukan buah
tersebut terjadi seiring berkembangnya bakteri yang terbawa bersama telur dari
tubuh lalat. Pada umumnya B. carambolae lebih memilih buah matang, namun
dapat juga menyerang buah yang masih muda terutama bila kondisi kelembapan
tinggi. Hal ini dikarenakan buah matang memiliki berbagai kandungan nutrisi,
seperti gula, asam, dan lain-lain dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
buah muda. Selain itu, pada buah muda lebih banyak terdapat kandungan senyawa
fenol yang dapat bersifat racun bagi stadia pradewasa lalat buah (Drew dan Lloyd
1987; Siwi et al. 2006; CAB International 2007).
Pengendalian
Pengendalian lalat buah B. carambolae dibedakan menjadi pengendalian
ketika buah masih di pertanaman (pre harvest) dan setelah buah dipanen (post
harvest). Pengendalian ketika buah masih di pertanaman (pre harvest) dapat
dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya: mekanis (penyungkupan buah),
sanitasi (membersihkan lahan dari sumber lalat buah), biologis (mendatangkan
musuh alami), dan kimiawi (insektisida) (Siwi et al. 2006; CAB International
2007). Pengendalian pasca panen (post harvest) adalah semenjak buah dipanen
sampai dengan hendak didistribusikan ke pasaran, termasuk diekspor. Teknik
pengendalian yang dilakukan biasanya berupa perlakuan. Perlakuan buah untuk
mengeradikasi lalat buah famili Tephritidae, meliputi: perlakuan udara panas,
perlakuan air panas, perlakuan uap panas, perlakuan suhu dingin, dan perlakuan
iradiasi. Teknik perlakuan harus disesuaikan dengan hama sasaran, komoditas
buah, kondisi lingkungan, dan lain-lain (IPPC 2008).

9

Perlakuan Iradiasi
Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam
bentuk panas, partikel, atau gelombang elektromagnetik (foton) dari suatu sumber
energi. Iradiasi adalah perlakuan pemaparan sinar terhadap suatu bahan untuk
berbagai keperluan khusus, dimana besarnya paparan radiasi dapat ditentukan
dalam suatu dosis tertentu. Dengan kata lain, iradiasi adalah suatu istilah yang
digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara terukur dan terarah (Batan
2008).
Pengendalian hama pasca panen dapat dilakukan dengan cara fisika, kimia,
biologi dan sistem pengendalian hama terpadu. Sejak tahun 1986, teknik iradiasi
sudah diterapkan sebagai perlakuan untuk membunuh atau mengeradikasi OPT
suatu komoditas pertanian (Hallman 2012). Iradiasi yang berkaitan dengan
pengendalian OPT pada komoditas pertanian dilakukan dengan cara memaparkan
sumber radioaktif (misalnya partikel alfa (α), partikel beta ( ), sinar gamma ( ),
sinar X, atau berkas elektron) tanpa merusak kualitas materi. Partikel α dan
memiliki daya tembus yang pendek dibandingkan sinar gamma, sinar X, dan
berkas elektron (electron beam). Hal ini berarti daya rusak partikel α dan
terhadap materi lebih tinggi dibandingkan sinar gamma, sinar X, dan berkas
elektron (electron beam) (Batan 2008). Prinsip kerja antara sinar gamma dan sinar
X berbeda, berkas sinar X terkonsentrasi pada arah yang sama (searah), sedangkan
sinar gamma dipancarkan ke segala arah secara merata (Hallman 1999).
Keefektifan penyinaran materi dipengaruhi oleh dosis lintasan penyinaran dari
sumber radio aktif tertentu misalnya sinar gamma di dalam kamar contoh (sample
chamber) yang berada dalam sistem instalasi mesin irradiasi sinar gamma
(Gambar Lampiran 1).
Dampak perlakuan iradiasi akan muncul melalui fungsi ionisasi pada materi
yang diberi penyinaran. Sinar yang dipancarkan akan menembus ke bagian dalam
materi yang disinari dan akan merusak molekul sel organisme hidup di dalamnya
(Crowder 1986). Muatan-muatan listrik yang dihasilkan memiliki potensi untuk
mematikan organisme atau mikroorganisme sasaran, yakni melalui pemutusan
DNA sel-sel organisme atau mikroorganisme sasaran secara langsung yang
berakibat pada ketidakmampuan untuk bereplikasi atau berkembangbiak
(Marnada 2010). Sasaran perlakuan sinar biasanya berpengaruh pada jaringan
reproduksi serangga (Ferrier 2010; Kuswadi 2011).
ISPM nomor 18 tahun 2003 telah merekomendasikan iradiasi sebagai salah
satu teknik yang dapat digunakan dalam tindakan karantina untuk kesehatan
tumbuhan (phytosanitary). Variabel sasaran dalam perlakuan iradiasi meliputi:
kematian (mortalitas), kegagalan perkembangan imago, kemandulan (sterilitas),
dan sifat dorman (inaktivasi) (IPPC 2003).
Saat ini lebih dari 46 negara di dunia telah mengizinkan penerapan iradiasi,
antara lain: Amerika Serikat, Australia, India, Pakistan, Thailand, dan Vietnam
Hallman (2011), termasuk Indonesia (Diehl 2001). Landasan peraturan iradiasi
pangan di Indonesia antara lain Peraturan Menteri Kesehatan RI yaitu Permenkes
No: 826/MENKES/PER/XII/1987 dan diperbaharui pada tahun 1995 yaitu
Permenkes No: 152/MENKES/SK/II/1995. Peraturan tersebut dijadikan bahan
acuan dalam penyusunan Undang-undang Pangan No: 7 tahun 1996.

10

Penerapan iradiasi terhadap komoditas pertanian biasanya berupa
pemaparan
gelombang
elektromagnetik
sinar
gamma.
Gelombang
elektromagnetik sinar gamma dapat berasal dari beberapa unsur radioaktif, antara
lain Cobalt [60Co], Cesium [137Cs], sinar X berenergi lebih dari 50 MeV, dan
mesin berkas elektron berenergi lebih dari 10 MeV (Kuswadi 2008). Seperti yang
telah diketahui bahwa besarnya paparan perlakuan iradiasi dinyatakan dalam suatu
dosis. Dosis iradiasi yaitu jumlah energi radiasi yang diserap kedalam bahan,
untuk setiap jenis bahan diperlukan dosis khusus untuk memperoleh hasil yang
diinginkan (Hermana 1991). Dosis iradiasi dikenal dengan istilah Gray (Gy)
(Batan 2008). Metode pengukuran besarnya dosis yang diserap oleh suatu materi
(serangga, buah, dan lain-lain) dikenal dengan istilah dosimetri (McLauhlin et al.
1989).
Sejak tahun 1986 banyak laporan penelitian yang merekomendasikan dosis
iradiasi untuk serangga hama. Dosis yang direkomendasikan bersifat generik
dimana suatu dosis iradiasi berlaku untuk suatu kelompok serangga hama tertentu
(Tephritidae, Curculionidae, Agromyzidae, Lepidoptera, Hemiptera, dan lain-lain)
(Hallman 2012). Menurut data yang dilaporkan Hallman (2012) terdapat beberapa
dosis generik di antaranya: IPPC merekomendasikan dosis generik 150 Gy untuk
lalat buah Tephritidae. Mitcham (1999) melaporkan negara USA
mempersyaratkan dosis iradiasi 250 untuk lalat buah pada komoditas jambu biji
yang masuk ke negara bagian California. United States Department of Agriculture
- Animal and Plant Health Inspection Service (USDA-APHIS)
merekomendasikan dosis generik 400 Gy untuk seluruh serangga kecuali pupa
dan larva Lepidoptera. IPPC tahun 2011 merekomendasikan dosis generik 165 Gy
untuk serangga hama famili Curculionidae. Puanmanee et al. (2010) melaporkan
bahwa dosis iradiasi sinar gamma 30 Gy dapat menyebabkan sterilitas B. correcta
98.37%. ISPM nomor 28 tahun 2007 tentang Phytosanitary Treatments for
Regulated Pests annex 14 merekomendasikan bahwa dosis 100 Gy dapat
mencegah munculya imago C. capitata (IPPC 2007).
Berdasarkan prinsip dosis generik tersebut, beberapa negara
mempersyaratkan tindakan perlakuan iradiasi pada komoditas pertanian yang
dilalulintaskan dengan sasaran utama OPTK yang terdapat pada komoditas
tersebut. Australia menerapkan tiga dosis generik yakni pada komoditas mangga
dan pepaya yang diekspor ke New Zealand (250 Gy), mangga ke Malaysia (300
Gy), dan lychee ke New Zealand (350 Gy). Hal ini dikembangkan untuk
pelaksanaan ekspor dari Australia ke negara tertentu yang mempersyaratkan.
Dosis minimum 300 Gy untuk komoditas mangga yang dikirimkan ke Malaysia
lebih tinggi dibandingkan ke New Zealand, yakni 250 Gy, karena negara Malaysia
mempersyaratkan hal tersebut. Dosis generik 350 Gy untuk lychee ke New
Zealand bertujuan untuk mencegah salah satu spesies tungau pada lychee yang
belum terdapat di New Zealand (Hallman 2012).
Seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai perlakuan iradiasi,
terdapat pemikiran bahwa penelitian selanjutnya difokuskan terhadap dosis efektif
yang spesifik terhadap suatu spesies serangga hama karantina sehingga dapat
menjadi bahan rekomendasi pada protokol perlakuan karantina (phytosanitary).
Hal ini dapat meyakinkan bahwa perlakuan tersebut dapat diaplikasikan. Selain
itu, pengujian dosis efektif ini akan menunjang penerapan dosis generik dalam
skala komersial.

11

Dosis iradiasi dapat mempengaruhi kualitas komoditas pertanian atau bahan
makanan yang diberi penyinaran. World Health Organization (WHO) pada tahun
1992 menyatakan bahwa makanan hasil iradiasi bahan pangan di bawah dosis 10
KGy dinyatakan aman dari infestasi OPT dan masih memiliki kandungan gizi
yang layak. Bahan pangan yang telah diberi perlakuan iradiasi akan diberi label
(Delincee 1998; IPPC 2003; Ferrier 2010).

Iradiasi sebagai Alternatif Tindakan Perlakuan Karantina
ISPM nomor 18 tahun 2003 merupakan salah satu kebijakan yang
merekomendasikan teknik iradiasi sebagai salah satu tindakan perlakuan
karantina. Parameter sasaran perlakuan iradiasi meliputi kematian (mortalitas),
kegagalan perkembangan imago, kemandulan (sterilitas), dan sifat dorman
(inaktivasi) (IPPC 2003). Perlakuan iradiasi mulai banyak diminati karena
memiliki beberapa keunggulan antara lain: aplikasi cepat, dapat diaplikasikan
pada komoditas dalam kemasan, tidak bersifat meninggalkan residu bahan kimia
(non residual), dan berbagai jenis buah toleran pada aplikasi dosis yang sesuai
(Hallman dan Martinez 2001; Kuswadi 2008). Pada tahun 1986, badan
pengawasan obat dan makanan Amerika (Food and Drug Administration) telah
menyatakan keamanan perlakuan iradiasi hingga 1000 Gy pada buah-buahan dan
sayuran. Penggunaan iradiasi pada buah-buahan dan sayuran diketahui bertujuan
memperpanjang masa simpan dan mengurangi pembusukan karena iradiasi efektif
dalam membunuh, mensterilkan atau mencegah perkembangan lebih lanjut
berbagai hama serangga penting karantina (Mitcham 1999). Implementasi
perlakuan iradiasi di Indonesia telah dikembangkan terhadap bahan pangan
dengan tujuan mengeradikasi OPT dan memperpanjang masa simpan. Dosis
perlakuan iradiasi terhadap buah segar berkisar antara 150 hingga 1000 Gy untuk
tujuan eradikasi OPT, sedangkan dosis 1000 hingga 7000 Gy dapat diterapkan
pada rempah-rempah dan sayuran kering untuk tujuan memperpanjang masa
simpan dan mencegah pembusukan akibat mikroorganisme (Irawati 2008).
Semakin berkembangnya manfaat perlakuan iradiasi maka teknik ini
dianggap sebagai alternatif perlakuan karantina. Pada tahun 2006, USDA-APHIS
mempublikasikan petunjuk peraturan dalam menyediakan generik radiasi sebagai
perlakuan karantina. Iradiasi telah diakui sebagai perlakuan karantina terhadap
produk bahan segar oleh The International Consultative Group on Food
Irradiation (ICGFI) dan The Regional Plant Protection Organizations (RPPO).
RPPO yang mendukung iradiasi untuk keperluan karantina adalah The North
American Plant Protection Organization (NAPPO), The European Plant
Protection Organization (EPPO), The Asia and Pacific Plant Protection
Commission (APPPC) (Limohpasmanee et al. 2005; Hossain et al. 2011). Kendati
demikian, perlakuan iradiasi memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
membutuhkan biaya besar dalam membangun fasilitas iradiasi, aplikasi pada
komoditas dalam kemasan membutuhkan dosis yang lebih tinggi sehingga resiko
kerusakan komoditas cukup besar, dan untuk alasan keamanan dan biaya yang
tinggi iradiasi dilaksanakan di lokasi yang terpusat (sentralisasi), sehingga tidak
dapat dilaksanakan di lokasi pengemasan setempat, misalnya pelabuhan atau
bandar udara (Hallman dan Martinez 2001).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Phytosanitary, Pusat Aplikasi
Isotop Radioaktif - Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-Batan), Jakarta.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2014 sampai dengan Desember
2014.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas lalat buah spesies B.
carambolae, buah jambu biji (P. guajava) berdaging buah merah muda (pink
guava), sumber iradiasi sinar gamma [60Co], pakan buatan untuk perbanyakan
lalat buah (Tabel 1), dan bahan laboratorium lainnya. Lalat buah diperoleh dari
hasil pembiakan massal di Laboratorium Fitosanitari, PAIR-Batan, Jakarta.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas perangkat iradiator
gamma chamber 4000 A BRIT‟s Laboratory Irradiators milik PAIR-Batan,
instalasi tahun 1992 (kapasitas 4 liter atau 4000 cc dengan sumber radiasi gamma
[60Co] Shelf shield/portable dengan laju dosis 45.0763 krad/jam) (Gambar 2),
kurungan lalat buah, peralatan pakan lalat buah, miskroskop stereo, dan alat
laboratorium lainnya.

b

a

c

Gambar 2 Perangkat iradiator gamma chamber 4000 A PAIR-Batan:
(a) perangkat keseluruhan; (b) chamber; (c) panel kontrol

13

Prosedur
Persiapan Penelitian
Persiapan media pemeliharaan. Buah jambu biji, P. guajava, berdaging
buah merah muda (pink guava) dengan kematangan 75% diambil dari perkebunan
petani di daerah Bojong Gede, Jawa Barat. Buah jambu biji dibungkus di dalam
kantung plastik, kemudian disimpan di dalam lemari es pada suhu 15 °C. Buah
dengan umur simpan satu hari digunakan sebagai media peneluran lalat pada
pengujian in vitro.
Pemeliharaan dan perbanyakan serangga uji. Serangga uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah spesies lalat buah B. carambolae yang
diperoleh dari stok pemeliharaan di Laboratorium Fitosanitari, PAIR-Batan. Lalat
buah kemudian dipelihara di laboratorium yang sama. Pemeliharaan dan
perbanyakan lalat buah dilakukan dengan metode pembiakan massal mengacu
pada teknik yang telah dimodifikasi oleh Kuswadi et al. (1999).
Dalam rangkaian kegiatan perbanyakan lalat buah dilakukan beberapa
kegiatan, di antaranya: pemeliharaan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan
pupa, dan pemeliharaan imago. Khusus untuk pemeliharaan larva, diperlukan
media pakan buatan yang diformulasikan khusus seperti tertera pada Tabel 1.
Pemeliharaan lalat buah dilakukan dalam kondisi suhu ± 26 °C dan kelembapan
nisbi 70%.
Tabel 1 Komposisi bahan media pakan buatan larva lalat buah B. carambolae
Bahan
Satuan
Bekatul gandum (Wheat germ)
223.00 g
Ragi roti
28.00 g
Gula tebu
1000.00 g
Sodium benzoat
0.79 g
Nipagin
0.79 g
HCl (sampai pH 4-4.5)
0.75 g
Air
0.60 ml
Sumber: Kuswadi et al. (1999).

Kurungan perbanyakan terbuat dari terbuat dari kawat kasa pada bagian
samping dan atas, sedangkan bagian bawah dan belakang terbuat dari triplek.
Imago yang terbentuk dipelihara hingga bertelur dan menghasilkan telur yang
usianya sama (homogen) dalam jumlah yang besar dengan pemberian pakan
buatan. Bagian dalam kurungan dipasang rumbai-rumbai kertas secukupnya,
sebagai tempat hinggap lalat. Dinding depan berbentuk pintu untuk memasukkan
pupa dan makanan lalat. Pada pintu/dinding tersebut dibuat dua buah lubang bulat
berukuran diameter 5 cm, tempat pemasangan botol pengumpul telur (Gambar 3).
Pemeliharaan telur dilakukan dengan terlebih dahulu mengumpulkan telur
yang dihasilkan imago betina dari kurungan perbanyakan. Botol pengumpul telur
dipasang pada lubang yang telah tersedia pada kurungan. Botol pengumpul telur,
yang dianggap sebagai buah tiruan, adalah botol plastik berukuran diameter 5 cm
dan tinggi 30 cm, pada bagian dinding tabung dibuat lubang berukuran diameter
± 0.3 mm dengan kerapatan 1 cm × 1 cm. Sebelum dipasang, botol diisi potongan
karet busa jenuh air atau jus buah untuk menarik lalat buah dan mempertahankan

14

kelembapan di dalam botol, sehingga telur yang diletakkan tidak mengalami
kekeringan. Botol dipasang pada pagi hari (mulai 08:00) selama 24 jam. Telur
diletakkan oleh imago lalat buah betina dengan ovipositornya kedalam lubanglubang pada dinding botol tersebut. Panen telur dilakukan pagi hari berikutnya.
Telur dikumpulkan dengan cara membasuh permukaan dalam botol, dan
menampungnya di atas nampan, kemudian disaring. Massa telur yang dihasilkan
dapat diukur secara volumetrik, satu cc telur berisi ± 18 000 butir.
Pemeliharaan larva lalat buah dilakukan pada media pakan buatan. Media
pakan buatan sebanyak 1.5 kg ditempatkan dalam sebuah nampan plastik
berukuran 20 cm × 30 cm × 4 cm sehingga membuat lapisan setebal ± 2.5 cm.
Sebanyak 1.5-2.0 cc massa telur lalat buah diinokulasikan pada permukaan media
pakan buatan secara merata. Nampan-nampan yang telah diinokulasi diletakkan
berlapis-lapis di dalam rak yang berada dalam ruangan dengan suhu 26-27 ºC.
Proses inkubasi telur dilakukan sampai berkembang menjadi larva instar 3. Stadia
larva lalat buah membutuhkan waktu 5-7 ha