Minimum dose of gamma irradiation for quarantine treatment against bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera Tephritidae)

DOSIS MINIMUM IRADIASI GAMMA
UNTUK PERLAKUAN KARANTINA
TERHADAP Bactrocera papayae (DREW & HANCOCK)
(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

RATIH RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dosis Minimum Iradiasi Gamma
untuk Perlakuan Karantina terhadap Bactrocera papayae (Drew & Hancock)
(Diptera: Tephritidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Jakarta, Mei 2012

Ratih Rahayu
A352100114

ABSTRACT
RATIH RAHAYU. Minimum Dose of Gamma Irradiation for Quarantine
Treatment Against Bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera:
Tephritidae). Supervised by ENDANG SRI RATNA, RULY ANWAR and
ACHMAD NASROH KUSWADI.
Bactrocera papayae is one of the most important fruit flies which is
distributed in several countries of Asia and Papua New Guinea, including
Indonesia. This fly has been given attention, particularly on the international trade
of the agricultural commodities, because it carry a risk of entry and spread pest to
free area. A quarantine treatment of gamma irradiation is suggested to alter a
common chemical fumigation such as methyl bromide (MB). The objective of this
research was to determine a minimum dose of 60Cobalt gamma rays applied on
egg and larval stages of this fly that were maintained on the artificial diet in-vitro.

There were two kind of treatments. First, egg, first instar larvae, second instar
larvae, and third instar larvae were irradiated at six level of doses 0 (control), 25,
50, 75, 100, 125 and 150 Gy. Second, the most tolerant stage of the fly based on
first treatment, were irradiated at nine level of doses 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120,
and 150 Gy including control. Our result showed that the third instar was the
most tolerant stage of the fly to irradiation treatment. The minimum quarantine
dose of irradiation to eradicate the third instar was 114.76 Gy.

Key words : Irradiation, Bactrocera papayae, quarantine treatments

RINGKASAN
RATIH RAHAYU. Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk Perlakuan Karantina
terhadap Bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae).
Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA, RULY ANWAR DAN ACHMAD
NASROH KUSWADI.
B. papayae merupakan salah satu spesies lalat buah penting dengan sebaran
wilayah dibeberapa negara Asia termasuk Indonesia dan Papua New Guinea.
Lalat buah ini berperan penting dalam lalu lintas perdagangan komoditas
pertanian antar negara yang membawa risiko masuk dan tersebarnya organisme
pengganggu tumbuhan ke wilayah yang masih bebas. Iradiasi merupakan salah

satu perlakuan yang berpotensi untuk menggantikan perlakuan karantina yang
umum digunakan yaitu fumigasi dengan methyl bromide (MB). Penelitian ini
bertujuan mendapatkan dosis minimum iradiasi sinar gamma dari 60Cobalt yang
diperlakukan pada telur dan larva B. papayae untuk mencegah pembentukan
imago secara in-vitro.
Penelitian dilakukan mulai bulan November 2011 sampai dengan bulan
April 2012 di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan
Tenaga Nuklir Nasional Jakarta. Penelitian terdiri dari 2 tahap pengujian yaitu:
(1) uji resistensi telur dan larva B. papayae terhadap iradiasi sinar gamma secara
in-vitro, dan (2) uji dosis minimum iradiasi sinar gamma secara in-vitro pada larva
instar tiga. Pada tahap pertama peengujian dilakukan dengan menggunakan stadia
lalat buah yang mungkin ada dalam komoditi inang, yaitu stadia telur, L1, L2 dan
L3 yang dipelihara dalam pakan buatan. Perlakuan iradiasi dilakukan dengan 6
taraf dosis yaitu 0 (kontrol), 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 Gy. Pengamatan
dilakukan terhadap pupa dan imago yan terbentuk pada masing-masing stadium
dan taraf dosis. Pengujian tahap kedua dilakukan dengan menggunakan larva
instar tiga sebagai stadium yang paling resisten terhadap iradiasi sinar gamma.
Perlakuan iradiasi dilakukan dengan 9 taraf dosis 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120, 150
Gy dan 0 Gy sebagai kontrol. Pengamatan dilakukan pada pupa dan imago yang
terbentuk pada setiap taraf dosis.

Berdasarkan jumlah pupa dan imago yang terbentuk pada telur, L1, L2 dan
L3 diketahui bahwa L3 merupakan stadium yang paling resisten terhadap iradiasi
sinar gamma dibandingkan telur, L1 dan L2. Hasil pengujian dosis minimum
iradiasi sinar gamma pada seluruh taraf dosis tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap pembentukan pupa. Imago yang muncul pada setiap taraf dosis di
analisis LD probit 9 dengan program Polo Plus.
Hasil analisis probit
menunjukkan bahwa dosis 114.76 Gy efektif dalam mencegah munculnya imago
B. papayae.

Kata Kunci: Iradiasi, Bactrocera papayae, perlakuan karantina.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

DOSIS MINIMUM IRADIASI GAMMA
UNTUK PERLAKUAN KARANTINA
TERHADAP Bactrocera papayae (DREW & HANCOCK)
(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

RATIH RAHAYU

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Turhadi Noerachman, M.Si.


Judul Tesis

:

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

:
:
:

Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk
Perlakuan Karantina terhadap Bactrocera papayae
(Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae)
Ratih Rahayu
A352100114
Entomologi


Disetujui
Komisi Pembimbing

Dra. Endang Sri Ratna, PhD
Ketua

Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si.
Anggota

Prof.(R). Ir. Achmad Nasroh Kuswadi, M.Sc.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.


Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 15 Mei 2012

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini adalah perlakuan karantina iradiasi,
dengan judul Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk Perlakuan Karantina
terhadap Bactrocera papayae (Drew & Hancock ) (Diptera: Tephritidae).
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Sains pada Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana IPB. Pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Dra. Endang Sri Ratna, PhD selaku ketua komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis ini
2.
Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan bantuan pustaka selama penyusunan

tesis ini
3.
Prof (R) Ir. Achmad Nasroh Kuswadi, M.Sc selaku anggota komisi
pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, masukan dan motivasi
yang bermanfaat bagi penulis
4.
Ir. Turhadi Noerachman, M.Si yang telah memberikan saran, masukan dan
menyediakan waktu untuk menguji tesis ini
5.
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional
yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini
6.
Ibu Murni dan Ibu Indah sebagai peneliti di BATAN yang telah membantu
dalam pelaksanaan penelitian ini
7.
Seluruh keluarga, Ayah, ibu, kakak-kakak, suami dan anakku tercinta atas
segala dukungan dan doa yang diberikan
8.
Rekan-rekan di Program Khusus Karantina, Dwi, Erna, Aulia, Aprida, Yuli,
Arif, Fitri, Joni, Nurul, Selamet, Riri, Lulu, Rahman, dan Catur atas

dukungan dan kebersamaannya
9.
Seluruh staf pengajar di Program Studi Entomologi/Fitopatologi Institut
Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga tesis ini beranfaat bagi pihak yang membutuhkan,
terutama dibidang Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Bogor, Mei 2012

Ratih Rahayu

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Betung (Musibanyuasin) pada tanggal 8 April 1982
dari ayah Sulaiman Effendi dan ibu Ami Hartini. Penulis merupakan anak ke-4
dari empat bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus pendidikan sarjana program studi Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Tahun 2006
sampai dengan 2009 penulis bekerja sebagai petugas karantina di Stasiun
Karantina Pertanian Kelas I Timika. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana

diperoleh dari Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian Republik
Indonesia. Saat ini penulis bekerja sebagai petugas karantina di Badan Karantina
Pertanian Jakarta.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ....................................................................................

Halaman
xv

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

xvii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................

xix

PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang ..................................................................................
Tujuan ..............................................................................................
Manfaat ............................................................................................

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
Bactrocera papayae (Drew & Hancock) .........................................
Distribusi .................................................................................
Morfologi .................................................................................
Biologi dan Ekologi ................................................................
Kisaran Inang ..........................................................................
Aplikasi Iradiasi Gamma pada Bahan Makanan dan Komoditas
Pertanian...........................................................................................
Iradiasi sebagai Perlakuan Karantina ...............................................
Sejarah Perkembangan Perlakuan Iradiasi untuk Buah dan
Sayuran.....................................................................................
Efek Iradiasi terhadap Lalat Buah dan Implementasinya
terhadap Keamanan Komoditas ...............................................

3
3
3
4
5
5
6
7
9
10

BAHAN DAN METODE ........................................................................
Tempat dan Waktu ...........................................................................
Alat dan Bahan ................................................................................
Metode Penelitian ............................................................................
Perbanyakan Massal Lalat Buah B. papayae ..........................
Uji Keberhasilan Hidup Lalat Buah di Dalam Pakan Buatan
Aplikasi Iradiasi Gamma terhadap Telur dan Larva
B. papayae ...............................................................................
Pengujian Dosis Minimum Iradiasi terhadap L3 B. papayae
secara in-vitro ........................................................................
Analisis Data ...................................................................................

12
12
12
12
13
13

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
Pertumbuhan dan Perkembangan Stadia Larva B. papayae pada
Pakan Buatan ................................................................................ ...
Pengaruh Iradiasi Gamma terhadap Perkembangan B. papayae .....
Pengujian Dosis Minimum Iradiasi secara in-vitro ..........................

16

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................

25

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

26

LAMPIRAN ...............................................................................................

31

13
14
15

16
17
21

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Komposisi pakan buatan lalat buah B. papayae ..............................

12

2

Jumlah larva B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur pada
pakan buatan ...................................................................................

16

3 Pupa B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan
buatan yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda ..............

17

Dosis lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva B. papayae
berdasarkan mortalitas larva ...........................................................

18

Jumlah imago B. papayae yang muncul setelah perlakuan iradiasi
gamma stadia telur dan larva pada pakan buatan .............................

20

Jumlah pupa dan imago yang muncul dari 100 ekor L3 B. papayae
dalam pakan buatan setelah mendapat perlakuan iradiasi gamma
pada taraf dosis yang berbeda ..........................................................

22

Tiga taraf dosis lethal iradiasi gamma pada L3 B. papayae dalam
pakan buatan berdasarkan mortalitas imago ....................................

23

4

5
6

7

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Peta persebaran B. papayae di Asia Tenggara .................................

3

2

Ciri morfologi imago B. papayae, seta praskutelar (a), seta
skutelar (b), lateral postsutural vittae (c), sel bc dan c (d),
abdomen terga ruas ke 3 – 5 . ...........................................................

4

Ukuran pradewasa lalat buah B. papayae, telur (a), larva instar
satu (b), larva instar dua (c), dan larva instar tiga (d) .....................

13

4

Iradiator gamma chamber 4000 A ..................................................

14

5

Bentuk-bentuk imago setelah perlakuan iradiasi: kedua sayap
tidak berkembang sempurna (a), imago muncul sebagian (b), salah
satu sayap tidak berkembang sempurna (c), bentuk imago normal
(d) ....................................................................................................

20

3

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

2

3

4

5

6

Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah larva
B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur pada pakan
buatan ............................................................................................

31

Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data pupa
B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan
buatan yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda ..........

32

Analisis probit dengan program POLO-PC untuk data dosis
lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva B. papayae
berdasarkan mortalitas larva .........................................................

38

Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah
imago B. papayae yang muncul setelah perlakuan iradiasi
gamma stadia telur dan larva pada makanan buatan .....................

45

Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah pupa
dan imago yang muncul dari 100 ekor L3 B. papayae dalam
pakan buatan setelah mendapat perlakuan iradiasi gamma pada
taraf dosis yang berbeda.................................................................

47

Analisis probit dengan program POLO-Plus untuk data Tiga
taraf dosis lethal iradiasi gamma pada L3 B. papayae dalam
pakan buatan berdasarkan mortalitas imago .................................

51

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lalat buah famili Tephritidae merupakan salah satu organisme pengganggu
tumbuhan (OPT) penting di Asia dan Pasifik yang seringkali berasosiasi dengan
buah tropika. Serangan larva lalat yang tumbuh dan berkembang di dalam buah
mengakibatkan pembusukan bagian daging buah yang dapat mengurangi nilai
estetika dan higienis makanan, sehingga buah tidak dapat dipasarkan (Siwi et al.
2006; Clarke et al. 2005).
Keberadaan lalat buah Bactrocera papayae di Indonesia telah dilaporkan
oleh Siwi et al. (2006). Persebaran serangga ini meliputi beberapa wilayah di
Asia dan Papua New Guinea. Lalu lintas perdagangan komoditas pertanian yang
dinamis saat ini menimbulkan dampak peningkatan risiko masuk dan tersebarnya
OPT karantina ke wilayah yang masih bebas (CAB International 2007). Oleh
karena itu, negara pengimpor memberlakukan persyaratan impor yang ketat antara
lain dengan perlakuan yang efektif dalam mengeradikasi OPT.
Perlakuan karantina yang umum digunakan untuk mengeradikasi serangga
pada makanan dan komoditas pertanian adalah fumigasi metil bromida (MB).
Berdasarkan Montreal Protocol, fumigan MB dikategorikan sebagai bahan
perusak ozon. Oleh karena itu, National Plant Protection Organization (NPPO)
menganjurkan upaya pembatasan penggunaan bahan tersebut melalui perlakuan
karantina alternatif, diantaranya adalah perlakuan iradiasi (IPPC 2008). Perlakuan
iradiasi telah dimasukkan sebagai bagian dari peraturan perkarantinaan yang
aplikasinya disahkan secara internasional (IPPC 2003). Hossain et al. (2011)
melaporkan bahwa secara umum berbagai komoditas bahan pertanian yang
dikonsumsi segar paling toleran terhadap perlakuan karantina iradiasi. Beberapa
negara, seperti Amerika Serikat, Australia, India, Vietnam, Thailand dan Pakistan
dilaporkan telah mengadopsi metode tersebut untuk mencegah lolosnya serangga
di dalam komoditas bahan segar. Keuntungan penggunaan iradiasi dibandingkan
perlakuan karantina lain adalah aplikasi cepat, praktis, tidak menimbulkan residu
bahan kimia dan berbagai jenis buah toleran terhadap iradiasi (Hallman 2011).

2
Iradiasi terhadap serangga dapat mengakibatkan penghentian aktivitas hidup,
penghambatan pertumbuhan dan perkembangan stadia pradewasa, penghambatan
reproduksi imago, dan mortalitas serangga (IPPC 2003). Respon iradiasi ini pada
serangga bergantung pada dosis yang diaplikasikan. Berdasarkan fakta di atas,
penentuan dosis efektif aplikasi iradiasi terhadap setiap spesies penting di teliti
untuk mengefisiensikan dosis minimum dalam mengeradikasi OPT/OPTK yang
akan digunakan dalam skala komersial. Pada umumnya, skala pengamatan
perlakuan karantina yang digunakan berupa mortalitas serangga, yaitu untuk
membatasi kemungkinan serangga lolos hidup pada bahan komoditas ekpor-impor.
Aplikasi iradiasi dengan dosis minimum dapat mengurangi kerusakan pada
komoditas, mengurangi biaya dan aplikasi menjadi lebih cepat. Penentuan dosis
minimum iradiasi yang efektif mengeradikasi spesies lalat buah telah banyak
dilakukan di luar negeri (Rivera dan Hallman 2007; Hallman dan Martinez 2001).
Dosis 60 dan 100 Gy iradiasi sinar gamma dilaporkan efektif mencegah
pembentukan stadia imago Anastrepha ludens pada buah jeruk dan Ceratitis
capitata pada buah mangga. Namun hingga saat ini belum dilaporkan tentang
dosis minimum aplikasi iradiasi untuk mengeradikasi lalat buah B. papayae.
Oleh karena itu, penentuan dosis minimum radiasi sinar gamma terhadap B.
papayae perlu diteliti sebagai dasar pertimbangan yang dapat direkomendasikan
dalam pengendalian OPT karantina.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan menentukan dosis minimum iradiasi sinar gamma,
sumber radio aktif

60

Cobalt yang di aplikasikan pada telur dan larva B. papayae

terhadap lolos hidup stadia pradewasa dan mortalitas imago.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam
merekomendasikan dosis minimum perlakuan iradiasi sinar gamma sebagai
perlakuan karantina di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Bactrocera papayae (Drew & Hancock)
Distribusi
Lalat buah famili Tephritidae merupakan hama utama pada bebuahan dan
sesayuran di wilayah tropis dan subtropis (CAB International 2007).

Genus

Bactrocera menjadi salah satu genus utama di wilayah Asia dan Pasifik (Clarke et
al. 2005; Clarke et al. 2001) dan B. dorsalis complex menjadi salah satu hama
paling penting dikawasan Asia Tenggara (Adsavakulchai et al. 1999).
Persebaran lalat buah B. papayae telah meluas di Thailand, Malaysia,
Singapura, Indonesia, Christmas Island (Drew dan Hancock 1994), Papua New
Guinea dan Brunei Darussalam (Gambar 1; EPPO 2011; CAB International 2007).
Lalat buah ini dilaporkan sebagai hama baru di Cairns (Queensland Utara,
Australia) pada bulan Oktober 1995, populasi berkembang mapan di daerah
tersebut dan dilaporkan menjadi hama 2 tahun kemudian. Serangga ini berhasil
dieradikasi dengan menggunakan jantan mandul yang berasal dari perbanyakan
massal di Queensland (SPC 2011).

Legend
Present (national record)
Present (subnational record)
Transient

Gambar 1 Peta persebaran B. papayae di Asia Tenggara (EPPO 2011)

4
Morfologi
B. papayae memiliki tipe metamorfosis holometabola. Pertumbuhan dan
perkembangan stadia serangga meliputi telur, larva, pupa dan imago.

Telur

berwarna putih bening, putih keruh atau putih kekuningan. Bentuk telur silindris
dan menyempit ke arah posterior. Panjang telur 1.09 – 1.15 mm, dan lebar telur
0.20 mm. Stadia larva B. papayae dilalui dengan tiga instar. Panjang larva instar
akhir 7.69 – 7.85 mm dan lebar 1.81 – 1.87 mm. Pupa eksarata terbungkus di
dalam puparium.

Puparium pada awalnya berwarna kuning pucat, kemudian

berangsur-angsur berubah hingga coklat kehitaman. Panjang puparium 6.62 6.94 mm dan lebar 2.89 – 2.92 mm (Noor et al. 2011; CAB International 2007).
Ciri karakter morfologi Imago B. papayae sebagai berikut (Gambar 2),
memiliki rentang sayap 6.2 mm. Kepala hipognatus, panjang permukaan kepala
arah vertikal 1.8 mm.

Skutum toraks dominan berwarna hitam dengan pita

berwarna kuning disisi lateral (lateral postsutural vittae) dan tidak terdapat pita
(postsutural vittae) di tengah. Pada bagian tepi posterior skutum dan anterior
skutelum terdapat masing-masing 2 seta praskutelar dan 2 seta skutelar.
Abdomen berbentuk oval, pola warna hitam berbentuk huruf T membentang di
bagian terga ruas abdomen ruas ke 3 - 5. Femur berwarna kuning kemerahan.
Pertulangan sayap, khususnya pita kostal tidak tumpang tindih dengan Radius 2+3
dan tidak meluas pada ujung sayap, sel bc dan c jelas (Drew dan Hancock 1994;
Rahardjo et al. 2009; Sukarmin 2011; Siwi et al. 2006)

c

d

a
b
e

Gambar 2 Ciri morfologi imago B. papayae, seta praskutelar (a), seta skutelar (b),
lateral postsutural vittae (c), sel bc dan c (d), abdomen terga ruas ke 3
– 5 (e)

5
Ciri

morfologi

spesies

B.

papayae

memiliki

kemiripan

dengan

B. carambolae, B. dorsalis, B. occipitalis, dan B. philippinensis, yaitu memiliki
lateral postsutural vitae yang lebar, pita costal sempit, terga abdomen ruas ke 3 5 dengan garis lateral dan pita longitudinal bagian tengah yang gelap dan sempit,
bercak oval berwarna pucat pada tergum ruas ke-5, aculeus (ruas ujung ovipositor
yang mengeras) berbentuk seperti jarum.

Perbedaan B. papayae dengan

B. carambolae, B. dorsalis, dan B. occipitalis adalah aculeus yang lebih panjang
(1.77 – 2.12 mm) dan pita costal umumnya tidak tumpang tindih dengan
Radius 2+3 .

B. papayae dibedakan dari B. carambolae dengan ciri tidak

dijumpainya bercak hitam pada permukaan femur.
dibedakan dengan

Begitu pula B. papayae

B. philippinensis dengan ukuran sisik pada ruas ujung

dan tengah ovipositor yang lebih panjang (Ebina dan Ohto 2006; Drew dan
Hancock 1994; Mahmood 2004).

Biologi dan Ekologi
B. papayae merupakan hama polifagus menyerang buah dan sayuran
berdaging. Imago betina biasanya meletakkan telur di bawah kulit buah inang
secara berkelompok berisi 10 – 50 telur. Telur menetas dalam waktu 1.16 hari.
Larva makan dan hidup menggerek di dalam daging buah sehingga menimbulkan
gejala serangan buah busuk dan jatuh. Larva terdiri atas 3 instar. Stadia larva
berlangsung 6 hingga 35. Larva instar akhir akan keluar dari dalam buah dan
berpupa di permukaan tanah dekat tanaman inang. Stadia pupa berkisar 8 hingga
12 hari, namun dalam suhu rendah dapat mencapai 90 hari. Imago mulai kawin
pada hari ke-8 hingga 12 setelah eklosi. Lama hidup imago mencapai 1 hingga 3
bulan, bahkan dapat mencapai 12 bulan di daerah bersuhu rendah (Noor et al.
2011; Clarke et al. 2001; CAB International 2007).

Kisaran Inang
Spesies B. papayae merupakan hama polifagus dengan kisaran inang yang
luas, meliputi 209 spesies dari 51 famili tanaman inang (Clarke et al. 2005).
Menurut Allwood et al. (1999) di Asia Tenggara, B. papayae tercatat memiliki
193 spesies inang dari 114 genus dan 50 famili tanaman. Lalat buah ini memiliki

6
perbedaan

preferensi

inang

di

setiap

wilayah.

Terminalia

catappa,

Psidium guajava, Syzygium samarangense dan Averrhoa carambola menjadi
inang yang disukai di Thailand dan Malaysia (Clarke et al. 2001). Pepaya jarang
diserang B. papaye di Brunei Darusalam, dan mangga merupakan inang utama
saat terjadi outbreak di Queensland Australia (CAB International 2007).

Aplikasi Iradiasi Gamma pada Bahan Makanan dan Komoditas Pertanian
Iradiasi adalah perlakuan pemaparan sinar terhadap suatu bahan untuk
berbagai keperluan khusus. Teknologi iradiasi umumnya dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan antara lain: terapi penyakit kanker, mendeteksi barang di
pelabuhan udara, mengewetkan ban, mensterilkan pupuk, membuat peralatan
masak anti lengket, membersihkan wol, sterilisasi peralatan medis, dan
membunuh bakteri pada kosmetik (Brennand 1995). Iradiasi dapat digunakan
terhadap bahan pangan dengan tujuan membunuh bakteri merugikan seperti E.
coli dan Salmonella, mencegah pertunasan umbi, memperpanjang waktu simpan
komoditas, dan mencegah perkembangan OPT (Ferrier 2009).

Iradiasi yang

berkaitan dengan pengendalian OPT pada bahan pangan dan hasil pertanian
dilakukan dengan cara memaparkan sinar gamma, e-beam (elektron berenergi
tinggi), atau sinar X tanpa merusak kualitas bahan. Sinar yang di pancarkan akan
menembus ke bagian dalam bahan yang disinari dan akan merusak molekul sel
organisme hidup termasuk OPT di dalamnya.

Pada serangga OPT sasaran

perlakuan sinar biasanya berpengaruh pada jaringan reproduksi (Ferrier 2010).
Sumber radiasi yang umum diaplikasikan untuk iradiasi bahan makanan
adalah: (1) sinar gamma yang dipancarkan oleh unsur radioaktif
dan

60

Cobalt

137

Cesium, (2) berkas elektron yang dihasilkan di dalam mesin berkas

elektron (MBE), dan (3) sinar X dihasilkan oleh mesin sinar X. Sinar gamma dan
sinar X memiliki kemiripan dalam kemampuan daya tembus yang tinggi
melampaui bahan kemasan. Namun, cara kerja di antara keduanya berbeda, yaitu
berkas sinar terkonsentrasi pada arah yang sama (searah), sedangkan sinar gamma
dipancarkan ke segala arah secara merata. Radiasi berkas elektron hanya dapat
menembus beberapa sentimeter ke dalam bahan perlakuan, sehingga penggunaan
cara tersebut hanya terbatas pada komoditas bahan berukuran kecil.

Cara

7
pengoperasian iradiasi yang dikembangkan untuk keperluan skala komersial ada
dua tipe: (1) komoditas yang akan diradiasi dimasukkan ke dalam ruang radiasi
dan bahan sumber radioaktif diarahkan ke ruang radiasi sesuai dengan waktu yang
diperlukan hingga mencapai dosis tertentu, (2) sistem konveyor yang melalukan
komoditas melewati sumber penyinaran dengan kecepatan tertentu sesuai dengan
dosis serap yang dibutuhkan.

Sinar X dan berkas elektron yang keduanya

memancarkan sinar searah sesuai diaplikasikan melalui metode sistem konveyor
(Hallman 1999; IPPC 2003).
Keamanan iradiasi terhadap kualitas bahan makanan dipengaruhi oleh dosis
penyinaran yang diaplikasikan. WHO (1992) menyatakan bahwa makanan hasil
iradiasi dibawah dosis 10 KGy dinyatakan aman dari infestasi OPT dan masih
memiliki kandungan gizi yang memadai. Keamanan penggunaan bahan makanan
hasil iradiasi tersebut didukung oleh sebagian besar lembaga kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, yaitu dengan mencantumkan pelabelan pada produk
makanan.

Makanan hasil iradiasi tersebut biasanya diberi label treated with

irradiation atau treated by irradiation (IPPC 2003; Ferrier 2010; Delincee 1998).

Iradiasi sebagai Perlakuan Karantina
Lalulintas komoditas hasil pertanian serta kehutanan dalam perdagangan
global memberi peluang terjadinya perpindahan atau penyebaran OPT dari suatu
daerah atau negara ke negara lain yang terbawa bersama komoditas tersebut. Oleh
karena itu, peraturan karantina diperlukan sebagai upaya pencegahan masuk dan
penyebaran OPT baik melalui darat, laut maupun udara. Upaya tersebut berupa
perlakuan karantina yang bertujuan untuk membunuh, membuang ataupun
mencegah perkembangbiakan OPT pada komoditas tersebut. Metode perlakuan
karantina tumbuhan dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi.

Contoh

perlakuan fisik adalah aplikasi suhu tinggi atau rendah, kontrol atmosfer, iradiasi
dan kombinasi dari perlakuan tersebut (Follet dan Neven 2006).

Sedangkan

contoh perlakuan kimiawi adalah aplikasi pestisida fumigan. Perlakuan suhu
tinggi pada kisaran 43 – 48 oC dan suhu rendah pada kisaran 0 – 3 oC serta
perlakuan fumigan etilen dibromida dan metil bromida pada komoditas bahan
pertanian telah dilaporkan untuk keperluan eradikasi lalat buah (Hallman 1999).

8
Demikian pula, penyimpanan bahan di ruang pendingin dan berbagai perlakuan
panas dengan kombinasi pencelupan insektisida juga dilaporkan untuk
mengeradikasi lalat buah Tephritiae (Hallman dan Loaharanu 2002). Setiap
metode perlakuan karantina memiliki kekurangan dan kelebihan. Tiga perlakuan
suhu tinggi, suhu rendah maupun kimia efektif dalam mengendalikan OPT,
namun seringkali faktor kerugian yang ditimbulkan menjadi kendala operasional.
Perlakuan suhu tinggi dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa komoditas
seperti terjadi pada buah pome dan alpukat, perlakuan suhu rendah membutuhkan
waktu aplikasi yang lama yaitu kurang lebih 12 hari, sedangkan perlakuan kimia
mulai dihindari karena efek negatif yang ditimbulkan terhadap kesehatan dan
lingkungan (Hallman 1999).

Sekarang ini perlakuan iradiasi mulai banyak

diminati karena memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) aplikasi cepat; (2)
dapat diaplikasikan pada komoditas dikemas; (3) tidak meninggalkan residu bahan
kimia; (4) berbagai jenis buah toleran pada aplikasi dosis yang sesuai; dan (5)
dosis efikasi tidak dipengaruhi oleh ukuran buah. Walaupun demikian, iradiasi
memiliki beberapa kelemahan antara lain (1) diperlukan biaya yang besar untuk
membangun fasilitas iradiasi; (2) aplikasi pada komoditas yang sudah dikemas
dalam skala komersial membutuhkan dosis yang lebih tinggi, sehingga
menimbulkan risiko kerusakan pada komoditas; (3) tidak menimbulkan mortalitas
yang akut pada serangga; dan (4) untuk alasan keamanan dan biaya yang tinggi
iradiasi dilaksanakan di lokasi yang tersentralisasi, sehingga tidak dapat
dilaksanakan di lokasi pengemasan setempat (Hallman dan Martinez 2001).
Iradiasi telah diakui sebagai perlakuan karantina terhadap produk bahan segar
oleh The International Consultative Group on Food Irradiation (ICGFI) dan The
Regional Plant Protection Organizations (RPPO).

RPPO yang mendukung

iradiasi untuk keperluan karantina adalah The North American Plant Protection
Organization (NAPPO), The European Plant Protection Organization (EPPO),
The Asia and Pacific Plant Protection Commission (APPPC) (Limohpasmanee et
al. 2005).

9

Sejarah Perkembangan Perlakuan Iradiasi untuk Buah dan Sayuran
Penggunaan iradiasi sinar X sebagai perlakuan karantina telah diperkenalkan
sejak tahun 1930 (Koidsumi 1930 dalam Burditt 1994). Berikutnya Balock et al.
(1966) mengemukakan bahwa sinar gamma dari radioaktif

60

Cobalt

telah

digunakan untuk eradikasi lalat buah asal Hawai. Macfarlane (1966) menyatakan
bahwa iradiasi sinar gamma digunakan sebagai perlakuan karantina untuk
mencegah masuknya B. tryoni di Australia. Follet (2006), melaporkan bahwa
iradiasi telah digunakan sebagai perlakuan fitosanitari untuk mengeradikasi kutu
perisai pada buah peach.
Pada tahun 1970 Food dan Agriculture Organization (FAO) dan
International Atomic Energy Agency (IAEA) menyelenggarakan panel ahli di
Honolulu, Hawai USA,

yang membahas megenai (1) potensi iradiasi sebagai

perlakuan karantina untuk buah sayuran segar terutama yang terserang oleh lalat
buah dan penggerek buah mangga; (2) penentuan dosis yang dibutuhkan; (3)
kriteria yang dibutuhkan untuk keamanan karantina; (4) metode implementasi;
dan (5) teknik disinfestasi dengan iradiasi.
Pada tahun 1984 United States Environmental Protection Agency (USEPA)
melarang penggunaan fumigan ethylene dibromide (EDB) diaplikasikan pada
makanan.

Maka FAO, IAEA dan World Health Organization (WHO)

menindaklanjuti

aksi

tersebut

dengan

mendirikan

ICGFI.

ICGFI

menyelenggarakan dua pertemuan yang membahas mengenai iradiasi sebagai
perlakuan karantina.

Pada pertemuan tersebut ICGFI memberikan beberapa

rekomendasi antara lain: (1) pelaksanaan perlakuan dimasukkan dalam panduan
internasional karantina tumbuhan (International Plant Quarantine Treatment
Manual); (2) penelitian dilakukan untuk mengembangkan perlakuan iradiasi
untuk OPT penting lainnya; (3) evaluasi toleransi dosis untuk komoditas lainnya;
(4) program pelatihan dikembangkan untuk petugas karantina.

Kemudian

beberapa pertemuan diselenggarakan untuk membahas topik tersebut pada tahuntahun berikutnya (Burditt 1994; Loaharanu 1992).
Iradiasi secara komersial pertama kali dilaksanakan pada tahun 1986 yaitu
dengan mengaplikasikan iradiasi gamma dosis 750 Gy pada komoditas mangga

10
yang dikirim dari Puerto Rico ke Florida. Kemudian tahun 1989, buah pepaya
hasil perlakuan iradiasi amma dosis 150 Gy diekspor dari Hawaii ke California.
Penggunaan iradiasi sebagai sarana perlakuan karantina berlangsung terus
menerus dan semakin meluas ke Negara-negara lain seperti Australia, Vietnam,
Thailand, dan Pakistan. Fasilitas iradiasi komersial untuk perlakuan karantina
pertama kali didirikan tahun 1992 di Florida, kemudian diikuti pada tahun 1995 di
Hawaii (Dowdy 2001; Hossain et al. 2011).

Efek Iradiasi terhadap Lalat Buah dan Implementasinya terhadap
Keamanan Komoditas
Iradiasi pada perlakuan karantina bahan pertanian umumnya tidak
menimbulkan mortalitas akut pada serangga sasaran, sehingga dosis iradiasi yang
diaplikasikan untuk mendapatkan respon mortalitas tinggi dikhawatirkan akan
menimbulkan kerusakan pada komoditas. Faria (1989) dalam Bustos et al. (2004)
menyatakan bahwa dosis iradiasi gamma yang diperlukan untuk mortalitas larva
C. capitata mencapai 1.190 Gy, namun dosis tersebut mempengaruhi kualitas
buah. Oleh karena itu dosis rekomendasi pengendalian diturunkan cukup untuk
mencegah perkembangan atau reproduksi serangga, dosis tersebut dianggap setara
dengan mortalitas dan memberikan jaminan keamanan karantina. Sebagai contoh
dosis 1000 Gy dapat membunuh stadium dewasa penggerek kentang, namun batas
dosis 400 Gy dapat merusak komoditas sehingga dosis rekomendasi menjadi 200
Gy yang hanya memberikan efek sterilitas pada serangga tersebut (Dowdy 2001;
Hossain et al. 2011).
Dosis minimum perlakuan iradiasi yang direkomendasikan oleh IPPC
terhadap lalat buah family Tephritidae adalah 150 Gy.

Sasaran dosis yang

diberikan adalah mortalitas larva instar tiga yang dianggap berukuran paling besar
dan paling bertahan hidup. Meskipun pada prakteknya petugas karantina masih
mungkin menemukan serangga lolos hidup dalam bentuk pupa maupun imago
yang kemungkinan besar tidak produktif atau steril.

Perlakuan iradiasi tidak

selalu menyebabkan perubahan morfologi (bentuk) tubuh baik pada larva maupun
imago yang lolos hidup. Nation et al. (1995) melaporkan perlakuan iradiasi dapat
menurunkan aktivitas fenoloksidase pada larva Anastrepha suspensa. Dosis ≥ 20

11
Gy menyebabkan penghambatan proses melanisasi yang ditandai dengan
perubahan warna kelabu pada lapisan integumen dibandingkan kontrol yang
berwarna hitam setelah melalui periode pembekuan dan pelelehan spesimen.
Pengujian fenoloksidase melalui metode simple spot test pada transparansi film
dengan menggunakan penanda 2-methyl-DOPA tidak menghasilkan perubahan
warna integumen pada larva yang diradiasi dengan dosis ≥ 25 Gy, sebaliknya
perubahan warna merah terjadi pada larva perlakuan kontrol.

Rahman et al.

(1990; 1992) melaporkan bahwa terjadi pengurangan ukuran ganglion
supraesophageal pada larva C. capitata, B. cucurbitae, dan B. dorsalis yang diberi
pelakuan iradiasi.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan mulai bulan November 2011 sampai dengan bulan
April 2012 di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR),
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta.

Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah lalat buah spesies
B. papayae, Iradiator gamma chamber 4000A pemasangan tahun 1992 (kapasitas
2 liter dengan sumber radiasi gamma Co-60, Shelf shield/potrable dengan
aktivitas maksimum ± 10.000 Ci) dan pakan untuk perbanyakan lalat buah. Lalat
buah diperoleh dari hasil pembiakan massal di Laboratorium Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN Jakarta. Pakan buatan
dibuat dengan komposisi bahan yang diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi pakan buatan lalat buah B. papayae (Kuswadi et al. 1999)
Bahan- bahan

Jumlah

Sekam gandum

223 g

Ragi roti
Gula pasir

28 g
1000 g

Sodium benzoat

0.79 g

Nipagin

0.79 g

HCl teknis

0.75 g

Air

600 ml

Metode Penelitian
Uji penentuan kisaran dosis perlakuan mengacu pada pedoman dosis
minimum dalam ISPM No.18 (IPPC 2003) tentang pedoman penggunaan iradiasi
sebagai ketentuan fitosanitari (Reseach Protocol). Laju dosis iradiasi gamma
chamber 4000A sebesar 64.8 krad/jam atau 10 Gy/55 detik (1 krad = 10 Gy).

13
Perbanyakan Massal Lalat Buah B. papayae
Perbanyakan lalat buah dilakukan dengan teknik pembiakan massal yang
telah dikembangkan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan
Radiasi (Kuswadi et al. 1999). Telur dari hasil perbanyakan digunakan sebagai
stok serangga uji pada perlakuan selanjutnya.

Uji Keberhasilan Hidup Lalat Buah di Dalam Pakan Buatan
Setiap 100 telur B. papayae berasal dari stok pembiakan massal
diinokulasikan pada 300 gram pakan buatan di wadah plastik berukuran 5 cm x 10
cm x 8 cm. Pakan buatan dimasukkan dalam wadah berukuran 10 cm x 8 cm,
dengan volume pakan kurang lebih 300 gram. Inokulasi dilakukan dengan cara
meletakkan telur di atas potongan kain hitam ukuran 3.5 cm x 3.5 cm yang berada
di permukaan pakan buatan. Telur dipelihara pada suhu 25 oC. Media pakan
berisi inokulum telur dibongkar berturut-turut pada hari ke-3, ke-4 dan ke-5
setelah inokulasi, untuk diamati dan dihitung jumlah populasi L1, L2 dan L3 yang
berhasil hidup. Pemilihan telur yang digunakan pada perlakuan serta pengamatan
setiap instar larva ditentukan berdasarkan pedoman ukuran panjang tubuh larva
(Gambar 3). Perlakuan tersebut diulang lima kali.

Gambar 3 Ukuran pradewasa lalat buah B. papayae, telur (a), larva instar
satu (b), larva instar dua (c), dan larva instar tiga (d)
Aplikasi Iradiasi Gamma terhadap Telur dan Larva B. papayae
Pengujian dilakukan pada seluruh stadia lalat buah yang mungkin ada dalam
komoditi inang, yaitu stadia telur, L1, L2 dan L3 yang dipelihara dalam pakan
buatan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mendapatkan stadia yang paling
toleran terhadap perlakuan iradiasi gamma.

14
Setiap kelompok berisi 100 telur B. papayae yang berasal dari stok
pembiakan massal diinokulasikan pada media pakan buatan. Inokulasi telur dan
pemeliharaan larva dilakukan dengan cara yang sama seperti diuraikan di atas.
Media pakan buatan yang telah diinokulasi telur, masing-masing diberi perlakuan
iradiasi gamma berturut-turut pada hari ke-1, ke-3, ke-4 dan ke-5 setelah inokulasi
dengan asumsi bahwa 3 hari pemeliharaan tersebut merupakan waktu
pembentukan L1, L2 dan L3. Dosis iradiasi yang diujikan adalah 0 (kontrol), 25,
50, 75, 100, 125 dan 150 Gy. Setiap perlakuan tersebut diulang sebanyak 5 kali.
Jika telah diiradiasi, telur dan larva lalat buah tersebut kemudian dialasi
pakan buatan yang berisi serbuk gergaji sebagai media berpupa. Setelah lalat
buah memasuki stadia pupa, pupa tersebut dipisahkan dari serbuk gergaji
kemudian dipindahkan pada kurungan imago.

Mortalitas pupa hasil masing-

masing perlakuan telur, L1, L2 dan L3 dianalisis menggunakan prorgram probit
POLO-PC. Dosis efektif iradiasi terhadap mortalitas pupa tersebut dinyatakan
dalam LD 50. Data tersebut dibandingkan dengan analisis ragam Anova dan uji
Tukey dengan program Minitab 16. Jumlah imago yang terbentuk dihitung dan
diamati gejala morfologi tubuhnya akibat iradiasi gamma.

Gambar 4 Iradiator gamma chamber 4000A

Pengujian Dosis Minimum Iradiasi terhadap L3 B. papayae secara In-vitro
Pengujian dilakukan dengan menggunakan stadium lalat buah yang paling
toleran terhadap radiasi sinar gamma. Berdasarkan hasil uji toleransi telur dan

15
larva, diketahui bahwa stadium L3 merupakan stadium yang paling toleran
terhadap radiasi sinar gamma.
Larva instar tiga diperoleh dari pemeliharaan telur hingga stadium larva
instar tiga dalam pakan buatan. Pemeliharaan pada nampan berukuran kurang
lebih 5 cm x 30 cm x 20 cm dengan suhu ruangan 25 o C. Enam hari setelah
inokulasi telur, lalat buah telah memasuki stadium L3.
Pengujian dilakukan dengan memindahkan 100 ekor L3 akhir yang berasal
dari stok pemeliharaan larva ke dalam wadah plastik berisi pakan buatan
berukuran 5 cm x 10 cm x 8 cm. Larva dibiarkan kurang lebih 6 jam sebelum
pelaksanaan iradiasi. Iradiasi L3 dalam pakan buatan dengan dosis 0 (kontrol), 10,
20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 150 Gy. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali.
Pemeliharaan larva setelah iradiasi gamma hingga terbentuknya imago dilakukan
dengan cara yang sama seperti diuraikan di atas. Jumlah pupa hasil perlakuan
dosis iradiasi dihitung dan dianalisis ragam Anova dan uji Tukey dengan program
Minitab 16. Imago yang terbentuk setelah perlakuan dosis iradiasi dianalisis
probit POLO-Plus.

Dosis efektif iradiasi gamma terhadap mortalitas imago

tersebut dinyatakan dalam LD 50, LD 99 dan LD Probit 9. LD probit 9 merupakan
standar yang digunakan untuk memenuhi dosis minimum keperluan eradikasi
pada perlakuan karantina.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam eka
arah (Oneway Anova), dilanjutkan dengan uji Tukey pada tingkat kepercayaan
95%. Pengolahan data menggunakan program statistik Minitab 16.
Data mortalitas imago di analisis probit untuk mendapatkan LD 99.9969
(Probit 9) dengan menggunakan program Polo-Plus.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan Perkembangan Stadia Larva B. papayae
pada Pakan Buatan
Sebelum dilakukan uji toleransi telur dan larva lalat buah terhadap iradiasi
sinar gamma, perlu diketahui pertumbuhan dan perkembangan B. papayae stadia
larva dalam pakan buatan. Pengaruh perlakuan pakan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan B. papayae ditunjukkan pada Tabel 2 dan Lampiran 1. Perlakuan
iradiasi telur terhadap L1, L2 dan L3 terbentuk berturut-turut pada hari ke-4, ke-5
dan ke-6, yaitu rata-rata sebesar 74%, 62% dan 50%.

Tabel 2 Jumlah larva B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur
pada pakan buatan
Stadia

Rata-rata jumlah larva (ekor)

Larva instar 1

73.6 ± 1.67 a

Larva instar 2

62.0 ± 7.31 b

Larva Instar 3

49.6 ± 1.52 c

Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Tukey pada taraf 5%.

Dari pengujian ini diketahui bahwa dalam setiap tahap perkembangannya
mulai stadia telur yang diinokulasikan hingga jumlah L1 sampai dengan L3 yang
terbentuk semakin berkurang. Penurunan jumlah larva juga dilaporkan Noor et al.
(2011) terjadi saat pemeliharaan larva B. papayae pada media buah jambu biji,
masing-masing L1, L2 dan L3 sebesar 74%, 55% dan 26%.

Namun, bila

dibandingkan dengan hasil percobaan ini pakan buatan relatif lebih baik
dibandingkan inang asli pada buah jambu biji, ditunjukkan dengan hasil
perkembangan L2 dan L3. Noor et al. (2011) menyebutkan bahwa keberhasilan
perkembangan telur hingga mencapai larva instar tiga dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain: jenis inang, temperatur, serta infeksi mikroba pada individu
lalat buah dan kontaminan mikroba pada pakan.

17
Pengaruh Iradiasi Gamma terhadap Perkembangan B. papayae
Pengaruh dosis irradiasi pada setiap stadia lalat buah terhadap pembentukan
pupa B. papaya ditunjukkan pada Tabel 3 dan Lampiran 2. Dosis iradiasi gamma
25 Gy hingga 150 Gy sangat nyata menghambat perkembangan telur yang
ditunjukkan dengan keberhasilan pembentukan pupa sangat rendah, yaitu rata-rata
berkisar antara 0 - 8% dibandingkan kontrol sebesar 76%. Kematian telur pada
perlakuan kontrol sebesar 24% diduga bukan akibat iradiasi melainkan faktor
kematian alami atau infertilitas telur, dengan pertimbangan bahwa telur yang
ditetaskan berhasil hidup hingga L1 sebesar 74% pada percobaan sebelumnya
(Tabel 2).
Pembentukan pupa cenderung sedikit meningkat pada perlakuan iradiasi L1
rata-rata berkisar antara 3 - 22% nyata berbeda dengan kontrol sebesar 75%.
Penghambatan pertumbuhan L1 secara umum masih nyata pada perlakuan dosis
tinggi 75 - 150 Gy dengan perkecualian pada dosis 25 Gy yang hanya mencapai
6%. Rendahnya pembentukan pupa pada dosis terendah ini diduga karena terjadi
perbedaan respon variasi di antara individu populasi larva uji.
Pertahanan larva terhadap perlakuan iradiasi semakin meningkat pada
perkembangan L2 dibandingkan L1. Pupa yang terbentuk rata-rata berkisar antara
26 - 41% berbeda nyata dengan perlakuan kontrol sebesar 62%, namun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan dosis terendah yang mencapai 49%. Pertahanan
pupa terlihat nyata pada perlakuan dosis rendah mulai 25 - 100 Gy dengan tingkat
Tabel 3 Pupa B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan buatan
yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda
Dosis
perlakuan
(Gy)
0
25
50
75
100
125
150
Ket:

Jumlah pupa hasil iradiasi pada stadia (ekor)
Telur
75.81 a
7.80 b
0.40 b
1.00 b
0.00 b
0.40 b
0.00 b

L1
75.40 a
5.71c
22.01 b
13.59 bc
4.62 c
3.53 c
2.72 c

L2
61.69 a
49.35 ab
40.65 bc
35.16 bc
40.32 bc
28.06 c
26.45 c

L3
90.32 a
87.50 a
80.65 a
83.06 a
45.56 b
60.08 b
52.42 b

Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Tukey pada taraf 5%.

18
persentase keberhasilan pembentukan pupa yang lebih tinggi 35 - 49%
dibandingkan dosis 125 – 150 Gy yang berkisar antara 26 - 28%. Hal ini berarti
bahwa L2 cenderung lebih tahan terhadap perlakuan iradiasi dibandingkan L1
maupun telur.
Perlakuan iradiasi L3 menghasilkan pupa yang relatif jauh lebih tinggi
dibandingkan perlakuan telur maupun instar larva sebelumnya, yaitu berkisar
antara 52 - 88%. Perlakuan dosis rendah 25 - 75 Gy menghasilkan pupa 83 - 87%
tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol sebesar 90%. Peningkatan pertahanan
larva juga ditunjukkan dengan persentase pupa yang dihasilkan pada perlakuan
dosis tinggi 100 - 150 Gy sebesar 46 - 60% yang relatif hampir sama pada
perlakuan dosis rendah 25 Gy terhadap L2, yaitu sebesar 49%. Keadaan tersebut
menunjukkan bahwa semakin berkembang stadium perkembangan serangga,
maka semakin meningkat pertahanannya terhadap respon irradiasi. Dari hasil
percobaan ini dapat disimpulkan bahwa L3 memiliki respon pertahanan paling
tinggi atau lebih toleran terhadap perlakuan iradiasi.
Peningkatan ketahanan larva ditunjukkan lebih jelas dengan peningkatan
dosis efektif atau LD 50 terhadap mortalitas larva (Tabel 4 dan Lampiran 3). Data
hasil analisis Probit menunjukkan bahwa LD 50 tertinggi diperoleh pada perlakuan
iradiasi terhadap L3 sebesar 167.7 Gy, berturut-turut menurun pada L2 sebesar
128.3 Gy dan terendah pada L1 sebesar 2 Gy. Hal ini berarti bahwa L3 merupakan
larva paling toleran terhadap perlakuan iradiasi gamma. LD 50 hasil perlakuan telur
terhadap mortalitas pupa relatif lebih tinggi dari perlakuan larva instar I. Hal ini
diduga bahwa kulit telur membantu proses perlindungan terhadap perkembangan
embrio dari pengaruh luar seperti contoh iradiasi gama. Ketahanan L3 terhadap
Tabel 4 Dosis lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva
B. papayae berdasarkan mortalitas larva
Perlakuan

LD 50 (Gy)

Persamaan regresi

Telur

7.19

y = -2.08 + 2.43 x

L1

1.96

y = -0.22 + 0.75 x

L2

128.33

y = -2.46 + 1.16 x

L3

167.65

y = -5.36 + 2.41 x

19
iradiasi gamma ditunjukkan pada berbagai spesies lalat buah B. latifrons,
B. jarvisi, B. tryoni, A. suspense, maupun C. capitata (Follet et al. 2011; Bustos et
al. 2004; Heather dan Corcoran 1992; Jessup et al. 1992). Menurut Hallman dan
Loaharanu (2002), ) secara umum tingkat toleransi serangga terhadap iradiasi
akan meningkat sejalan dengan perkembangan serangga. Stadium L3 merupakan
stadium yang paling toleran pada lalat buah yang mungkin ditemukan pada inang,
sehingga stadium L3 dapat digunakan pada pengujian iradiasi untuk keperluan
karantina terhadap Tephritidae. Namun berbeda dengan hasil penelitian Hallman
dan Worley (1999) bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat toleransi antara L3 dan
prepupa A. obliqua secara in-vitro. Follet dan Lower (2000) menyebutkan bahwa
pada Cryptophlebia illepida instar awal lebih toleran daripada instar tengah.
Nimpha Pseudaulacaspis pentagona lebih toleran terhadap iradiasi dibandingkan
stadium dewasa dalam mencegah terbentuknya F1. Bagaimanapun juga Hallman
(1999) dan Hallman et al. (2010) menyatakan bahwa sebelum pelaksanaan
perlakuan karantina, stadia yang paling toleran yang mungkin ada di dalam
komoditas perlu diidentifikasi sehingga dosis efektif yang diperlakukan pada
stadia yang paling toleran akan efektif pula untuk stadia yang lebih rentan.
Hallman et al. (2010) menyatakan bahwa perlakuan fitosanitari harus
menunjukkan keefektifan terhadap stadia yang paling toleran yang ada pada
media pembawa sehingga perlakuan akan efektif pada stadia yang lain.
Pupa yang terbentuk hasil perlakuan iradiasi sebagian besar tidak berganti
kulit menjadi imago (Tabel 5 dan lampiran 4). Imago dapat eklosi hanya pada
perlakuan dosis rendah iradiasi ga