Ruang Lingkup Kelemahan Regulasi UU Pemberantasan Terorisme dan Revisi UU Tidak ada pencantuman pengertian korban yang memadai. Tidak ada pencantuman hak korban terorime secara spesifik

27 Dalam UU No 31 Tahun 2014, terhadap korban terorisme akhirnya mendapat perkembangan layanan khususnya mengenai bantuan atau layanan medis, psikologis dan psikososial dari Negara. Dinyatakan: Pasal 6 1 Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. 2 Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan berdasarkan Keputusan LPSK. Meski masih dalam tahap percobaan, dalam praktiknya Pasal 6 bagi korban terorisme sudah mulai dijalankan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK Sedangkan Pasal 7 ayat 1 dan 4 UU No 31 Tahun 2014, praktis tidak mengubah ketentuan mengenai kompensasi dalam UU pemberantasan terorisme, dinyatakan : Pasal 7 1 Setiap Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan Korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas Kompensasi. 4 Pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

3.4. Ruang Lingkup Kelemahan Regulasi UU Pemberantasan Terorisme dan Revisi UU

Pemberantasan Terorisme Tahun 2016 Dari pemetaan regulasi diatas maka ditemukan beberapa problem serius terkait pengaturan hak korban terkait UU Pemberantasan terorisme. Namun kelemahan itu pun tidak diupayakan pula oleh pemerintah dalam hal ini para perumus RUU Pemberantasan Terorisme tahun 2016. Tidak ada satupun hak korban yang diperkuat dalam RUU. Justru RUU lebih mengatur mengenai tersangka atau terpidana sampai dengan urusan mengenai radikalisasi. Untuk lebih jelasnya akan di paparkan masing-masing kelemahan mendasar tersebut.

a. Tidak ada pencantuman pengertian korban yang memadai.

UU Pemberantasan terorisme tidak per ah e jelaska apa pe gertia dari kor a . Walaupu dalam berbagai regulasi setelahnya pengertian korban telah diakomodasi, terutama oleh UU No 13 tahun 2006 dan No 31 tahun 2014. Tidak adanya pengertian korban yang memadai tersebut harusnya direspons dalam RUU tahun 2016. RUU sebaiknya mengadopsi standar minimal korban terorisme seperti dalam UU No 31 Tahun 2014 pasal 1 angka 3 Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Atau lebih jauh lagi RUU juga mengakomodir definisi korban terorisme yang di rekomendasikan oleh Pelapor Khusus PBB seperti yang telah dipaparkan di atas.

b. Tidak ada pencantuman hak korban terorime secara spesifik

28 Lebih memprihatinkan lagi baik dalam UU pemberantasan terorisme tahun 2003 dan RUU Pemberantasan terorisme 2016, tim perumus juga tidak mencantumkan hak-hak korban terorisme secara lebih spesifik. Pengaturan serba minimalis terkait kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pun tidak berupaya diperjelas pasal 36-42. Padahal dalam perkembangan terbaru, respons Negara atas Korban terorisme sudah sangat spesifik. Rekomendasi pelapor khusus PBB maupun Memrorandum Madrid justru tidak masuk dalam revisi UU pemberantasan Terorisme tersebut.

c. Kompensasi masih tergantung kepada pengadilan