Transformasi genetika dan regenerasi tanaman cabai transgenik (Capsicum annuum L.) dengan bantuan Agrobakterium

Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan komoditas yang sangat penting artinya bagi Indonesia,
khususnya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, sebagai salah satu sumber andaIan untuk ekspor, sumber minyak nabati, dan sarana peningkatan pendapatan petani
pekebua Di samping itu, usaha kebun kelapa sawit juga merupakan gantung-an hidup
jutaan tenaga keja perkebunan. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia sangat pesat dan diperkirakan akan mencapai tiga juta hektar pada tahun
2000. Pesatnya perkembangan luas areal ini pada gilirannya mengarah kepada peng-

gunaan tanah-tanahyang selama ini tergolong marginaL Tanah-tanah ini oleh Goenadi
(1984) dilaporkan sebagai tanah liat beraktivitas rendah

GAR),karena kadar bahan

organik sangat rendah dan didominasi oleh liat tipe 1 : 1 dan seskuioksida.
Tanah-tauah marginal di Indonesia potensi luasnya mencapai 115.965.000 ha,

yang umumnya terdiri dari tanah-tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning) dan Oksiiol
(Nasoetion, 1991). Sinukaban (1995) menyatakan bahwa tanah-tanah itu bereaksi
masam, h a n g subur, terdapat di wilayah berlereng cukup curam clan sebagian sudah

tergolong sebagai lahan kritis. Curah hujan yang cukup tinggi dan lereng yang curam

menyebabkan erosi yang cukup intensif. Anas dkk (1997) menyatakan bahwa proses
degradasi tanah merupakan penurunan kualitas sifat-siht tanah secara fisik, kimia dan
biologi Intensitas pelapukan yang tmggi memicu dekomposisi bahan organik berlangsung cukup cepat. Tanpa adanya pengembalian baban organik ke tanah dalam jumlah
yang memadai, kadar bahan organik tanah makin lama makin menurun. Rendahnya

bahan organik tanah ini diyakini sebagai faktor utama yang mengakibatkan terjadinya
degradasi sat-sifat tanah.
Lahan padang alang-alang/rumput di Sosa &pat dikelompokkan sebagai lahan

yang telah terdegradasi. Kebakaran yang terjadi setiap tahun di daerah ini menyebabkan permukaan tanah terbuka terhadap sinar matahari dan curah hujan. Sinar matahari
yang langsung ke permukaan tanah akan meningkatkan suhu tanah sehingga intensitas
proses dekomposisi bahan organik meningkat. Meningkatnya proses dekomposisi
bahan organik diperkirakan dapat menurunkan jumlah agregat yang stab& sehingga

agregat tanah mudah terdiipersi oleh butir-buti. hujan. Proses inilah yang diduga
meningkatkan erosi pada lapisan atas terutama yang mengakibatkan pemindahau
fiaksi liat dan unsw hara dari lapisan ini. Migrasi fiaksi liat dari lapisan atas ke lapisan
bawah menyebabkan lapisan yang terakhir ini bertekstur liat dan berkonsistensi teguh
sehingga terbentuk lapisan yang padat. Lapisan ini mengakibatkan pergerakan air ke
bawah berlangsung lambat. Akibatnya perkolasi air ke dalam tanah juga rendah clan

dampaknya persediaan air tanah juga rendah Hal ini terbukti dengan cepatnya permukaan tanah di daerah ini menjadi kering pada musirn kemarau sehingga alangalang/rumput mudah terbakar. Kebalikannya pada musim hujan sungai-sungai yang
melewati daerah ini selalu menimbulkm banji akibat tingginya aliran permukaan.

Hasil pengukuran awal pada areal yang tidak d i W menunjukkan bahwa

tanah-tanahdi daerah tersebut me*

-

kerapatan lindak 1,53 1,65 g/cm3; ketahanan

-

penetrasi 250 - 300 ~lcm';dan kadar liat 36 44 %. Kondisi sifat fisii tanah seperti

ini secara teoritis akan menghambat perkembangan akar tanaman, tennasuk kelapa
sawit. Menurut Russel (1982) titik laitis bagi akar untuk mampu tumbuh dan berkem-

bang secara optimal adalah pada kerapatan lindak 1,49 g/cm3untuk tanah bertekstur


liat dan 1,75 g/cm3 untuk tanah bertekstur pasir. Untuk ukuran ketahanan peoetrasi
pada tekanan sekitar 15 bar, akar yang mampu berkembang menurun hngga tinggal

20 %. Menurut Unger dan Kaspar (1994) pada tingkat ketahanan penetrasi pada 200
~ / c m 'kemampuan penetrasi akar hanya sekitar 20 % dan pada ketahanan penetrasi
'
sudah tidak mampu lagi melakukan penetrasi. Proses perkembangan
300 ~ / c m akar

akar di lapisan berkerapatan lindak tinggi ini diduga melibatkan reaksi fisik, kimia dan
biologi, yang dampaknya merubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang ber*tan.

-

Sifat kimia tanah di Sosa dicirikan oleh pH 4,4 4,6 (masam); C-organik 0,3

-

- 0,05 % (sangat rendah); kapasitas tukar kation 3,6 9,8 me/lOO g (rendah); kejenuhan basa 12,32 - 34,38 % (rendah); kalium 0,11 - 0,30
d l 0 0 g (rendah); natrium 0,06 - 0,12 d l 0 0 g (rendah); magnesium 0,15 - 0,45

me1100 g (sangat rendah); clan kalsium 0,52 - 1,48 me/100 g (sangat rendah) (Tabel
1,9 % (rendah); N-total 0,01

Lampiran 86). Fenomena ini merupakan indikasi bahwa tanah pada lahan padang
alang-alang/rumput di Sosa telah mengalami tingkat pelapukan yang cukup lanjut.
Pada tahun 1985 PT. Perkebunan VII yang sekarang dikenal dengan PT. Perkebunan Nusantara 4, memperluas areal kelapa sawitnya ke daerah padang alangalang/rumput di Kecamatan Sosa, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera

Utara. Areal seluas 80.000 Ha di wilayah ini merupakan lahan yang h a n g subur.

Hasil evaluasi lahan menunjuMcan bahwa lahan tersebut tergolong ke dalam kelas I11
bagi tanaman kelapa sawit (Pusat Penelitian Marihat, 1983). Faktor pembatas utama-

.

nya adalah curah hujan yang tidak merata, tekstur halus, kerapatan lindak tinggi dan

kesuburan tanah rendah. Namun dalam kenyataannya tanaman kelapa sawit yang
kiembangkan di areal tersebut mampu turnbuh dan berproduksi sebaik pada layaknya
produksi di lahan kelas I. Fenornena ini menarik untuk dikaji, karena kelapa sawit
yang dikelola secara tepat terbukti dapat berproduksi baik, walaupun kondisi tanah

marginal.
Keberhasilan penanaman kelapa sawit di Sosa ditunjukkan oleh produktivitas
tanaman kelapa sawit yang mencapai rata-rata 26 ton TBS/Ha/tahun, walaupun kondisi tanahnya tergolong buruk. D
i samping itu kelapa sawit mempunyai keunggulan
lain apabila ditanam pada lahan yang rawan kebakaraa Tanaman ini jika terbakar di

lapangan tidak akan mati selama titik tumbuhnya tidak ikut hangus, sedangkan tam-

man lainnya secara umum akan mati apabila terbakar. Hal ini tampak pada tanaman
kelapa sawit yang telah berkali-kali terbakar di daerah ini clan temyata tetap dapat
tumbuh kembali danberproduksi dengan baik.
Pada umumnya areal kebun rawan terhadap kebakaran pada saat kelapa sawit be-

-

rumur 0 6 tahun. Apabila periode ini &pat dikdui, maka areal tersebut akan selarnat
dari dampak negatif akibat kebakaran l a b Keadaan ini terjadi karena pada musim

kemarau rerumputan di bawah pohon kelapa sawit tidak cepat k e ~ g yang
,

berarti
bahwa kelembaban tanah di kgkungan ini cukup optimal. Hal ini diduga sebagai
&bat dari perubahan porositas tanah yang ditirnbulkan oleh terbentuknya sistem
perakaran kelapa sawit. Akar kelapa sawit yang tumbuh normal akan mencapai keda-

-

laman 2 5 m, tergantung pada berat ringannya tekstur tanah ( T i e r , 1976; Hartley,
1977; Fatmawaty dan Ginting, 1987) dan secara horizontal dapat mencapai lebih dari
4,s m dari batang pada lapisan tanah bagian atas (Jourdan dan Rey, 1997).

/

Dalarn perturnbuhannya, akar tanaman akan rnengeluarkan senyawa-senyawa or-

ganik yang terdm dari mucigel sel-sel akar yang mati, clan eksudat. Komposisi bahan
organik ini menurut Russel (1982) adalah karbohidrat, protein (asam-asam amino),
asam organik, enzim, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menjadi penghambat mau-

pun perangsang bagi pertumbuhan fungii bakteri dan nematoda. Senyawa organik ini

biianya langsung dimadaatkan oleh mikroba pelapuk tanah sebagai sumber energi.
lceadaan inilah yang menyebabkan populasi mikroba rhizosfer lebii besar jumlahnya

dibardmgkan dengan tanah yang jauh jaraknya dari akar tanaman (Rao, 1994). Aktivitas mikroba dan hasil akhir dekomposisi bahan organik yang berupa asam-asarn
organik inilah yaag diyakini aktif dalam mengubah sifat-sifat baik kimia maupun fisik
tanah. Perubahan ini diduga akan menciptakan suatu lingkungan yang sesuai bagi akar
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Berdasarkan uraian di atas timbul satu dugaan bahwa pada dasamya tanaman
kelapa sawit me*

kemampuan tumbuh yang tinggi pada tanah-tanah berkesu-

buran rendah dan memiliki kerapatan lindak yang tinggi. Masalah rendahnya kesuburan tanah dapat diatasi melalui penerapan sistem pemupukan baku. Hambatan
mekanis terhadap pertumbuhan akar akibat kondisi kerapatan lindak tanah yang tinggi
diperkecil dengan penerapan sistem penanaman dengan lubang tanam yang cukup
besar. Dengan pembuatan lubang tanam ini kerapatan lindak di dalam lubang ditu'iunkan dan diseragamkan sehingga lebii optimal guna menyediakan media pertumbu-

han akar tanaman dalam periode awal sebelum menghasilkan. Bagaimanapun juga,
tingkat kemampuan akar kelapa sawit untuk tumbuh dan berkembang tanpa hambatan
pada zona lapisan tanah berkerapatan lindak tinggi belum banyak diketahui khusus-


nya dalam ha1 perkembangan akar setelah akar mulai tumbuh di luar lubang tanam. Di
samping itu, sebagai salah satu jenis tanaman palrna, sistem perakarannya sangat eksqensif. Luasnya zona perakaran tanaman ini diduga memberikan sumbangan terhadap
pembahan sifat-sifat tanah, terutama yang terkait de-ngan dinarnika bahan organik

tanah yang berasal dari sisa-sisa jaringan akar yang melapuk dan atau pengaruh fisik-

mekanik selama proses pertumbuhan akar berlangsung.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dhksamkan dengan tujuan (1) mempelajari perkembangan akar
tanaman kelapa sawit pada tanah terdegradasilmginal, dan (2) mengkaji pengaruh

pengwxbmnya terhadap perubahan sifat-sifat fkik dan kimia tanah Tujuan ini
ditetapkan guna mencapai sasaran berupa informasi tentang dampak pemanfaatan

lahan terdegradasi/margid sebagai kebun kebpa sawit dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan sifat-sifat tanahnya.
Hipotesis

Dalam penelitian inibeberapa hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
1.


Akar kelapa sawit mampu berkembang tanpa mengalami hambatan pada tanah
terdegradasi dan memiliki sub-horizon dengan kerapatan lindak tinggi. Kernampuan
akar kelapa sawit untuk berkembang di bawah kondisi tanah ini sampai tingkat ter-

tentu diduga berkaitan erat dengan umur tanaman.
2. Pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit yang ekstensif mampu meningkatkan mutu

beberapa sifat fisik tanah seperti indeks stabilitas agregat, persentase ruang pori clan
persentase air tersedii dan atau kerapatan lindak tanah.

3. Sistem baku yang diterapkan dalam budidaya kelapa sawit berdampak positif dalarn
memperbaiki beberapa sifat kimia tanah seperti kernasaman, kadar hara, kapasitas
tukar kation, clan atau kejenuhan basa tanah.

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia
Kelapa sawit masuk di Indonesia pada tahm 1848 yang ditanam di Kebun Raya
Bogor. Kebun kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu oleh

Maskapai Oliepalmen Cultuur clan di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de Sumatera-RCMA kemudian oleh Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij,
Mapoli, Tanjung Genteng oleh Palmbomen Chltuur Mij, Medang Ara Cultuur Mij,
Deli Muda Oleh Hulleries de Deli dan lain-lain. Sampai tahun 1915 baru mencakup
areal seluas 2.715 ha, ditanam bersama dengan Mtura lain seperti kopi, kelapa, karet
dan tembakau. Pada tahun 1916 ada 16 perusahaan di Sumatera Utara dan 3 di pulau
Jawa. Pada tahun 1920 sudah ada 25 perusahaan yang menanam kelapa sawit di Sumatera T i ,8 di Aceh dan 1 di Surnatera Selatan yaitu Taba Pingin dekat Lubuk
Linggau. Sampai tahun 1939 telah tercatat ada 66 perkebunan dengan luas areal
100.000 ha (Lubis, 1992).
Pada Tabel 1 dapat dilihat perkembangan luas areal kelapa sawit, dan produksi

dari tahun 1916 sampai dengan 1940 yaitu masa sebelum perang dunia ke 11. Masa ini
merupakan awal industri komoditas ini yaitu sejalan dengan pengembangan perkebu-

nan di Indonesia khususnya di Sumatera Timur dan Aceh. Diawali pada tahun 1911
maka pada tahun 1940 telah ada 66 perkebunan dengan luas 109.000 ha. Masa Jepang
me~pakanyang paling sulit dan haI ini berlanjut sampai masa amb'i alih (1942
1957).

-


Tabel 1 : Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Sebelum Perang Dunia I1
(Lubis, 1992)

Tahun
1916
1917
1918
1919
1920
1921
1922
1923
1924
1925
1926
1927
1928
1929
1930
1931
1932
1933
1934
1935
1936
1937
1938
1939
1940
Sumber : Lubis (1992).

Luas (ha)
Total
I Menghasiilkan
1.172
2.500
5.745
7.396
9.602
12.945
16.706
19.041
24.193
31.645
26.523
43.267
50.324
57.711
61.229
68.430
70.075
72.081
73.829
74.919
79.318
83.273
92.307
105.100
109.600

-

I

Produksi (ton)
Minyak
I Inti

-

Rehabilitasi yang dilakukan pemiliknya tidak banyak dapat mengembalikan situasi
seperti sebelum perang. Walaupun luas areal sudah dapat dikembalikan tetapi produksi per ha sangat rendah. Jika sebelum perang lebii 3 t o d m maka sampai 1957
belum mencapai 2 ton minyak per ha. Masa ambil alih yang tejadi pada Desember
1957 - 1968 dan sampai sekarang merupakan era baru bagi Indonesia untuk mandiri

(Tabel 2).

'Tabel 2 : Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1967
Kepemilikan
Tahun
Rakyat

-

1993 Menurut Pola

Luas Areal (ha)
PTP
I Swasta
65.573
40.235
79.209
40.451
84.640
34.880
86.640
46.658
91.153
47.950
96.562
55.497
98.033
59.747
117.513
64.223
120.940
67.885
141,133
69.772
148.775
71.626
163.465
86.651
176.408
81.406
199.538
88.847
213.264
100.008
224.440
96.924
261.339
107.264
340.51 1
130.958
335J95
143.603
332.694
144.182
365.575
160.040
406.369
225.095
366.000
383.700
372.200
463.200
384.100
547.800
392.400
640.000
395.700
697.600

1967
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
3.125
1980
6.175
1981
5.695
1982
8.537
1983
37.403
1984
40.552
1985
118.564
1986
129.904
1987
203.047
1988
258.459
1989
227.200
1990
291.300
1991
361.400
1992
438.100
1993
510.400
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Surnber : Lubis, 1992;Simanjuntak, 1992; Dirjenbun, 1992.
Catatan : Angka tahun 1994 - 2005 adalah angka perkiraan.

-

-

-

-

I

Jumlah
105.808
1 19.660
119.520
133.298
139.103
152.059
157.780
181.736
188.825
211.105
220.401
250.1 16
260.939
294.560
318.967
329.901
405.646
512.021
597.362
606.782
728.662
889.924
976.900
1.126.700
1.293.300
1.470.500
1603.700
1.700.000
1.800.000
1.900.000
2.000.000
2.100.000
2.144.000
2.354.000
2.558.000
2.786.000
3.005.000
3.254.000
3.304.000

Morfologi Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tumbuhan yang dengan nyata memperlihatkan deferensiasi dalam tiga bagian pokok yaitu akar (radix), batang (caulis), dan dam (folium).
Bagian-bqii lain dari tanaman ini dapat dipandang sebagai suatu perubahan dari
sahh satu atau mungkin dari dua bagian pokok tadi, artinya setiap b a g i i lainnya dari

tanaman ini dapat dianggap berasal dari bagian pokok yang telah mengalami metamorfosa (berganti bentuk, sifat dan mungkin juga fungsinya bagi tanaman). Seperti
kuncup (gemma) dianggap sebagai perubahan dari batang dan daun, bunga (flos)
sebagai p e ~ b a h a ndari batang dan daun, duri (spina) merupakan perubahan dari
bat-

dan dam dan lain-lainnya (Fatmawaty dan Ginting, 1989).

Daun (Folium)
Kelapa sawit termasuk golongan tanaman yang berdaun lengkap. Bagian-bagian
dam terdiri dari : (1) upih dam atau pelepah dam (vagina), (2) tangkai daun
(petiolus), dan (3) helaian daun (lamina). Upih dam berfUngsi sebagai pelindung dari
kuncup serta memberi kekuatan pada batang. Tangkai daun merupakan bagian daun
yang mendukung h e h y a dan bertugas untuk menempatkan helaian tadi
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh cahaya matabari sebanyak-banyaknya.
Helaian daun berbentuk bangun pita (ligulatus) yang pada penampang melintang pipih

dan helaian daun mernanjang (Fatmawaty dan Ginting, 1989; Corley dan Gray, 1976).
Helaian daun terdiri dari ujung daun, pangkal daun, tepi daun, daging daun, per-

mukaan daun dan susunan tulang daun. Ujung dam (apex folii) runcing (acutus), jika
kedua tepi daun di kanan km ibu tulang sedikit demi sedikit menuju ke atas dan pada
pertemuannya pada puncak daun membentuk suatu sudut yang tajam (500 mm unfavourable (Lubii,

1992;Marioyo, 1992).
Temperatur yang optimal 24 - 28 "C dan tertinggi 32 "C. Kelembaban 80 % clan
penyinaran rnatahari 5 - 7 jammari Kelembaban rata-rats yang tinggi akan merangsang perkembangan penyakit. Ketinggian y a optimal
~
adalah 0 - 400 m, pada ketinggian yang lebii pertumbuhan akan terhambat dan produksi lebii rendah. Kecepatan angm 5

- 6 krnljam untuk membantu proses penyerbukan, angin yang terlalu

kencang akan menyebabkan tanaman baru doyong atau miring (Lubis, 1992;Martoyo,

1992).
Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti podsolik, latosol,
hidromofik kelabu, regosol andosol organosol dan alluvial. Sifat tisik tanah yang

baik untuk kelapa sawit adalah solurn tebal80 cm. Solum tebal akan merupakan media yang baik bagi perkembangan akar sehingga ebiensi penyerapan hara tanaman

akan lebih baik. Tekstur rmgan, dikehendaki memiliki pasir 20 - 60 % debu 10 - 40 %
dan liat 20

- 50 %. Perkembangan struktur baik,

konsistensi gembur sampai agak

teguh dan penneabilitas sedang. Sifat kimia tanah pH 4,O

- 6,O namun yang terbaik

dalah 5 - 5,5. Kandungan unsur bara tinggi, CiN mendekati 10 dengan C 1%, Mg-dd
0,4

- 1,O me/100g, clan perbandingan Mg-dd dan K-dd berada pada batas normal

(Lubis, 1992). Selanjutnya Purba, Lubis dan Tobing (1989) dalam surveynya seluas
100.975 ha menemukan kelapa sawit yang tumbuh pada tanah podsolik 73,29%;
hidromofik kelabu 9,74%; alluvial 7,86%; regosol 7,60%, gley humuk, 0,93%; dan
organosolO,58%.

Rachim dMc (1995) menyatakan podsolik termasuk golongan tanah merah, yang
terdiri dari bermuatan bersih negatif clan positif, dengan ciri KTK tanah rendah, basabasa rendah dan C-organik rendah. Tanah bermuatan negatif memiliki KB yang ren-

dah, Al-dd dan kejenuhan A1 cenderung tinggi, sedangkan tanah bermuatan positif
memiliki KB dan besi oksida tinggi, Al-dd clan kejenuhan A1 tidak terukur. Menurut
talcsonomi tanah, tanah merah terlapuk lanjut tergolong A&ol Ultisol, dan Oxisol.
yang kesemuanya rnemiliki sifat oksik. Kreteria penentu sifat humik, eutrik dan penciri

Oxisol bermuatan positip perlu ditelaah. Pengelolaan tanah merah memerlukan peningkatan KTK dan unsur hara tanah, p e n e h unsw racun (Al, Mn, dan besi oksida), peningkatan bahan organik tanah, penggunaan varietas tanaman yang toleran
terhadap kondisi masam, serta sistem pengelolaan yang tepat.
Adiwiganda, Lubis dan Purba (1994) menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan
dan produksi kelapa sawit adalah berbeda-beda pada setiap jenis tanah Klasifikasi
tanah pada tingkat ordo, sub ordo sampai great group, ternyata belum menggambar-

kan karakteristik specifik di areal perkebunan kelapa sawit. Pada tingkat sub group
adalah batas tertinggi dari pengklmiiian tanah yang sat-sifat pada taksa ini telah
dapat memberikan data yang lebih konkrit dalam rangka pengelolaan kebun kelapa

sawit secma umum.Kebun akan dikelola dengan rasional jika kelas kesesuaian lahannya secara tepat dapat diketahui dan rekomendator pemupukan telah memberikan
rekomendasi yang tepat. Dalam kaitan ini maka informasi &sub group akan sangat
berguna.
Adiwiganda, Chan, dan Siahaan (1995) membuat pengelompokan status kesuburan tanah di meal kelapa sawit didasarkan kepada data survei dan penelitian tanah
sampai tahun 1995. Kesuburan Tmggi (T) terdapat pada tanah Euiric Tropopuvent
(Aluvial Coklat). Kesubwan Agak T i g i (AT)terdapat pada tanah Aquic Hapludand
(Andosol Coklat Kekelabuan) dan Typic Dyshopept (Podsolik Coklat Kemerahan,
Podsolik Coklat Kekuningan, dan Podsolik Coklat). Kesuburan Sedang (S) terdapat
pada tanah Aeric Tropaqept (Gley Humus Rendah) dan Typic Hapludult (Podsolik
Merah Kekunhgan). Kesuburan Agak Rendah (AR) terdapat pada tanah Typic
Ochraquult (Hidromoriik Kelabu), Aeric Tropaquent (Aluvial Kelabu) dan Typic
Troposamment (Regosol CoMat Kekelabuan). Kesuburan Rendah ( R) terdapat pada
tanah Typic Paleudult, Typic Paleaquult, Psammentic Paleudult, Typic Plinyhudult/Plinthic Paleudult (Podsolik Kuning), dan tanah-tanah gambut (Fluvaquentic
Troposaprist, Typic Troposaprist, dan Hemic Troposaprist).
Koedadiri, Adiwiganda, dan Poeloengan (1995) melaporkan bahwa tanaman
kelapa sawit pada tanah Typic Paleudult temyata menunjukkan perkembangan vegetatif dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah Psammentic Paleudult

dan Tropohumol. Ketiga jenis tanah ini tergolong merniliki tingkat kesuburan potensial yang rendah Hasil pengamatan produksi Tandan Buah Segm (TBS)selama satu

tahun pada tanaman kelapa sawit berumur 9 tahun, pada tanah Tropohumods hanya

rnencapai 5,4 ton TBSh,tanah Psammentic Paleudult mencapai 16,4 ton TBSh,

dan tanah Typic Paleudult mencapai 21,lO ton TBSh.
I

Chan dan Purba (1989) melaporkan lahan gambut (organosol) cukup potensil

ilntuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia Pertumbuhan clan pro-

duksi secara agronomis masih dalam kisaran normal, narnun lebih rendah dari pada
tanah mineral. Kendalanya adalah tingginya kasus tanaman miring atau tumbang
berkaitan dengan kurang berkembangnya sistem perakaran yang dipengaruhi oleh
jeleknya drainase atau reaksi tanah gambut selama drainase berlangsung seperti pengerutan, penurunan atau pengeringan talc balik pada tanah. Gejala kahat K merupakan gejala umum terlihat dalam rendahnya kandungan K dalam daun, berkaitan
dengan rendahnya cadangan K tanah, dan tingginya ratio MgK tukar. Purba dan
Lubis (1 989) menya-

kondisi lahan dan tanah suatu lokasi pengembangan sangat

menentukan tingkat produksi yang akan dicapai. Variasi lahan yang terlalu besar
terutama keadaan topogrd akan mengalami kesulitan di dalam pemeliharaan tanaman

dan panen. Data iklirn merupakan pendukung dalam berbagai pekejaan di lapangan
dan apabii disuaikan dengan tindakan kultur teknis di lapangan, maka tingkat pro-

cluksi dari lahan yang b e ~ & i tersebut dapat diperkecil perbedaannya. Purba dkk,
(1989) sehjutnya melaporkan keadaan yang cukup banyak diamati adalah curah
liujan, sedangkan data lainnya seperti temperatur, penyinaran matahari dan lain-lain
sangat s e d i t sekali.
Lubis (1992) adapun potensi produksi dari masing-masing kelas lahan tersebut
ditentukan oleh keunggulan dari bahan tanaman yang digunakan dan tindakan kultur

teknis yang diterapkan. Pusat Penelitii Perkebunau Marihat membagi potensi pro-

Tabel 3 : Produksi Tandan Buah Segar Rata-rata Selama Satu Siklus (25 Tahun)

Kelas
Lahan
I
I1

Produksi Rata-ratalsiklus (ton)
Produksi Tertinggi (ton)
Tandan
Minyak
Inti
Tandan
Minyak
Inti
26
5,95
1,51
32
7,86
1,92
5,47
1,39
30
7,20
1,80
24
111
22
5,Ol
1,27
27
6,48
1,62
IV
20
4,80
25
6,OO
1,50
1,16
Keterangan : Produksi tertinggi ini terjadi pada umur 7 - 15 tahun.

I

Kondisi Yang Mempengaruhi Perkembangan Akar

Klepper dan Kaspar (1994) menyatahn dalam mempelajari sistem perakaran
suatu tanaman cara terbaik adalah membangun rhizotron, yaitu bangunan permanen

yang me*

permukaan yang transparan untuk dipakai meIihat secara langsung

perkembangan akar tanaman. Di sini seluruh W o r hgkungan dapat diatur sehingga
dapat diketahui secara semi kuantitatif perkembangan akar. Dengan demikian dapat
dilakukan penelitian tentang pergerakan air, unsw hara dan lain-lainnya. Kelemahannya membangm rhizotron membutuhkan b i investasi yang besar. Chan (1977) cara
yang lebih mudah dan murah adalah dengan memakai bor atau pembuatan pro6l
tanah. Kelemahannya cara ini akan m e 4 pertumbuhan akar tanaman tersebut.

Barber (1984) melaporkan pertumbuhan akar tanaman sangat bergantung pada
tekanan fisi tanah, semakin besar tekanan 6sik tersebut berarti semakim padat tanah
itu dan peltumbuhan akar semakin terhambat atau sebaliknya semakin kecil tekanan
h i k tanah berarti semakii longgar tanah itu dan penumbuhan akar semakin baii.
Torbert dan Wood (1992) melaporkan bahwa pemadatan tanah akan menumkan
aktivitas mikroba tanah.

Terdapat hubungan yang positif antara sifat fisik tanah dengan perkembangan

tanaman yaitu semakin baik s&t &ik tanah semakin baik pula pertumbuhaa dar?
perkembangan tanaman Tanah yang mempunyai agregat stabil dengan diameter 2 - 6

mm akan lebih mudah ditembus akar tanaman dari pada tanah yang sama tetapi tidak
teragregasi ( Martoyo, 1992). Selanjutnya Chan (1977) dalam penelitiannya terhadap
perakaran kelapa sawit memperoleh hubungan yang positif antara ma-nagemen pemupukan dan tipe tanah dengan distribusi perakaran. Veprashas, Miner dan Peedm
(1986) melaporkan bahwa pengolahan tanah dalam dengan memecah lapisan subsoil

yang padat, akan meningkat perkembangan akar tanaman. Tindakan ini hanya mengubah fisik tanah, sementara siht kimia tanah hampii tidak berubah.
Martoyo (1992) melaporkan bahwa analisis regresi berganda pada kedalaman 0

-

25 cm kerapatan akar berhubungan erat dengan kerapatan hdak, pori drainase, ruang
pori total, dan permeabiitas. Pa& kedalaman 25 - 50 cm kerapatan akar berhubungan
erat dengan kerapatan lindak, ruang pori total, permeabilitas, persentase agregasi,

-

persentase debu dan kemantapan agregat. Pada kedalaman 50 75 cm kerapatan akar
berhubungan erat dengan kerapatan lindak, ruang pori total dan rerata berat d i e t e r
agregat kering. Sedangkan pada kedalaman 75

- 100 cm kerapatan akar hanya ber-

hubungan erat dengan permeabiitas tanah.
Unger dan Kaspar (1994) melaporkan pada tanah yang padat baik diakibatkan
oleh mesin pertanian maupun terbentuk secara a l e distribusi akar terhambat. Kond a l In1 akihat dan gultrnya alar mengambtl au dan unsur ham. y m g &hlrn)a &an

menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Pada gambar 1 dapat d i i t pada

ketahanan penetrasi 200 ~ l c m perkembangan
'
akar tmggal20 %, dan pada ketahanan
penetrasi 300 hilcm2 akar sudah lidak ada.

-

Soil Strength NlcnP

Garnbar 1: Pengaruh Tekanan Fiik Tanah Pada Berbagai Kerapatan Lindak Terhadap
Kemampuan Penetrasi Akar Tanaman (Taylor dan Gardner, 1963 dalam
Unger clan Kaspar, 1994).
Taylor, Nelson dan Williams (1993) berkesimpulan bahwa perkolasi air ke bawah
sangat dipengaruhi oleh lapisan subsoil, semakin gembur lapisan subsoil semakin cepat perkolasi air ke bawah atau sebaliknya. Oussible et af. (1993) melaporkan bahwa
perkembangan akar gandum akan berhenti pada lapisan tanah yang padat, demikii
juga dengan pengambii nitrogen oleh akar terhambat. Selanjutnya Ran e! al. (1994)
melaporkan bahwa penyerapan nitrogen oleh akar tergantung dari volume akar tersebut, semakii kecil volume akar semakin kecil tanaman tersebut menyerap nitrogen.
Durieux e! al. (1994) melaporkan bahwa pemupukan nitrogen pada tanaman jagung
merangsang pertumbuhan akar.
Radcliffe et al. (1986) memperoleh hasil bahwa apliasi gypsum pada permukaan
tanah, ternyata dapat tercuci kelapisan subsoil. Sifat kimia tanah p d a lapisan ini hcmbah dan kepadatan lapisan ini ikut berubah. Perkembangan akar pada lapisan ini

bertambah baik setelah itu. Arya e! al. (1992) melaporkan kerapatan dan kedalaman

perakaran untuk jagung menunjukkan perbaikan yang menonjol dengan peningkatan

kedalamdn pembenanam kapur. Kedalaman perakaran pada tanah yang ti& diicapnr

hanya pada lapisan permukaan, sedangkan pada tanah yang dikapur mencapai lapisan
subsoil. Ekstrasi air dari subsoil, seperti yang ditunjukkan oleh tekanan air tanah yang
meningkat sejalan dengan bertambahnya kapur. Sdaistiyonobowo dkk (1993)
melaporkan bahwa pemberian bahan organik, kapur, dan pupuk NPK pada tanah
podsolik merah kuning meningkatkan hasid biji kering kacang tanah
Stevenson (1982) menyatakan secara mum dalam aenentukan apakah agregat
terbentuk stabil atau tidak, dapat dilihat dengan mengetehui (1) jenis clan jumlah ba-

han orgsnik yang ada dalam tanah, (2) kondiii tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut, (3) sekresi akar yang merupakan sumber energi bagi mikroba tanah, (4) ada
tidaknya hipa h

i dan akar tanaman yang berukuran mikroskopis, (5) adanya pe-

ngeringan dan pembasahan tanah, (6) adanya pembekuan dan penmiran terutama pada

daerah temperet, (7) kation yang dapat dipertukarkan, dan (8) aktivitas makroorganisme tanah seperti cacing (Nacimento, Alrnendros, dan Fernandes, 1992).
Pengaruh Bahan Organik Pada Tanah

Bahan Organik sangat besar peranannya dalam m e n y e d i i medii pertumbuhan
dan perkembangan perakaran. Secara garis besar peranan bahan Organik adalah (1)

menjaga kelembaban tanah, (2) menawarkan sifat racun dari A1 dan Fe, (3) penyangga hara tanaman, (4) membantu dalam meningkatkan penyediaan hara, (5) menstah~lkantempratur tanah. (6) mempcrtstrk~ akt~wtaq mikroba, (7) memperbaiki
struktw tanah, (8) meningkatkan elisiensi pemupukan, (9) mengurangi terjadiiya
erosi (Suhardjo, Soepartini, dan Kurnia, 1993). Purwanto dan Sutanto (1995)

-

23

melaporkan Wwa jenis bahan organik mempunyai gugus fimgsional yang berbeda

-

dim

~~ rnemberikan gambaran kemampuan dalam menekan k e W m - A i dan

mempengaruhi ketersediaan fosfat. Roechan, Nasution, dan Makarim (1995) telah
melakukan analisis berbagai jenis bahan organik dan p e n g h y a terhadap tanah
tersebut.
Handayanto, Nuraini, dan Ismunandar (1995) melaporkan dekomposisi bahan organik kualitas rendah yaitu yang mempunyai kandungan N rendah tetapi mempu-nyai
kandungan lignin dan polifenol tinggi, berjalan lambat sehingga hanya sedikit N yang
dapat digunakan tanaman Sedangkan dekomposisi bahan organik kualitas tinggi yaitu

yang mempunyai kandungan N tinggi, kandungan lignin dan polifem1 rendah, akan
=pat tetapi tidak banyak memberikan sumbangan pada bahan organik tanah Apabila

jumlah N yang dilepaskan melebihi kebutuhan tanarnan, maka kelebiban itu akan hilang karena karena pencucian dan penguapan Hasil penelitkin menunjukan bahwa
pelepasan N dapat dikendalikan dengan cua mencampurlcan bahan organik yang
berbeda kualitas tersebut.
Nursyamsi dkk (1995) melaporkan bahwa pemberian bahan organik (kotoran
sapi, jerami, Flemingia sp.) dapat meningkatkan C-organik, KT& dan NO3 - tanah ;
dan meningkatkan serapan hara P dan Mg tanaman. Hasil residunya juga meningkatkan perturnbuhan dan produksi jagung. Sukristiyonubowo dkk (1993) melaporkan
bahwa pemberian bahan organik dan kapur mampu meningkatkan dan mempertahankan sitat kirnii tanah seperti pli. kandungan hahan organik. KTK. P-tersedia. dan
menurunkan kandungan Al-dd. Wahyuningsih, Setiawati, dan Natalie (1995)
melaporkan bahwa pemberian bahan organik dikombiikan dengan inokulan bakteri

-

pelarut fosfat berhasii meningkat kelarutan fosfat dalam tanah (Nurbaity, Hegarningsih, dan Sipumata, 1995).
Bruce et al. (1992) menyatakan bahwa jumlah, jenis dan metode aplikasi bahan
organik ke tanah telah d i a h u i memberikan pengaruh yang besar. Bahan organik
meningkatkan aktivitas mikroba dan jumlah agregat yang stabiL Dampak selanjutnya
dengan mengubah agregat lebih setabil akan meningkatkan laju infiltrasi air ke dalam
tanah (Dinel et al., 1992). Niedalina dan Busyra (1995) melaporkan bahwa sifd
%&a tanah yang sangat mempengaruhi tlngkat erosi dalah indeks stabiditas agrerat.
Hakim dan Yunus (1 995) melaporkan bahwa pada tahap awal rehabilitasi tanah kritis
dibutuhkan bahan organik berupa pupuk kandang atau pupuk hijau sebanyak 40
tonh.
Stevenson (1982) menyatakan bahan organik dalam proses agregasi berperan

dalarn tiga cam. Pertama sebagai bahan yang terletak antara dua partikel liat yang
bemuatan negatip sehingga liat tersebut terflokkulasi. Kedua bahan organik yang
berbentuk gelatin dapat membalut partikel-partikel tanah dan apab'i terjadi pengeringan akan terbentuk sementasi dan terbentuklah mikro-agrerat. Ketiga bahm organik menjadi surnber energi bagi fungi, dalam pertumbuhan hipe h

i menyatukan

mikro-agrerat tanah menjadi agregat yang lebih besar. Kondisi ini juga dapat diperankan oleh akar tanaman yang berukuran mikroskopis.
Chan, Watson dan Lim (1980) menyatakan di sunping akar yang menjadi sumber
h?han organih tanah yang ditanami kelapa sawit, juga pelepah daun menyumbang

kira-kina 10 tonltahun berat kering, tandan kosong sawit menyumbang 1,5 tonltahun

berat keriug, dan pohon kelapa sawit yang b u r 25-30 tahun yang akan diremaja-

kan menyumbang kira-kira 74,5 t o h berat keriug.

Basuki dkk (1995) mengatakan bahwa penambahan hara nitrogen dan fosfor,
penggunaan inokulum tlmgi selIulotik dan kombiiinya mempercepat proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit dari 12 minggu menjadi sekitar 8 minggu.

nilai C M turun dari 109,s menjadi sekitar 49,5 sampai 21,5; penurunan ini diirtai
juga dengan penyusutan volume, bobot, kandungan serat, laju respirasi, dan Nammonium. Sedangkan kandungan N-nitrat clan UIISUT hara lainnya meningkat. Kandungan selldose dan hemisellulosa masing-masing mermrun dari 53,O % dan 21,9 %

menjadi 2 1,2 % dan 9,5 %.
Fisher (1995) dalam m e r e h a b ' i i

tanah yang sudah terdegradasi menanaumya

kembali dengan tanaman asahya Temyata setelah 4 tahun terjadi perubahan yaitu BD
menurun, dan terjadi peningkatan C-organik, jumlah kation &ma, P-tersedia sedang-

kan nitrogen hanya me-t

sedikit. Edward et al. (1992) memban-

antara

tanah yang tidak diolah dan ditanami tanrunan asli dengan tanah yang diolah dan dirotasi dengan palawija selama 10 tahun. Pada tanah yang dioIah pH menurun, Corganik menurun, BD meningkat, P - t e w i menurun. Rotasi dengan fiekuensi yang
tinggi dengan tanaman jagung memberi dampak negatip pada P, Ca, dan Mg tersedii
akibat turunnya pH tanah tersebut.
Sirait dan Siahaan (1991) melaporkan bahwa perkebunan kelapa sawit yang telah

rnemhuat [eras dan pclepah daun sebagai mulsa, temyata laju kehhgan tanah akibat
erosi lebih besar dibandingkan dibandiing laju pembentuk tanah. Chan, Purba dan
Lubi (1 995) menemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun telah terjadi pembahan

Mg i K- tukar. Selain itu juga diketahui admp p & - ikadar K - t m b (tstz!

&.

tukar) di semua jenis tanah.

Proses Pembentukan Agregrrt Tanah
Pembentukan Agregat sangat bergantung pada faktor-faktor h g k u g a n dimana
agregat tersebut terbentuk serta bahan organik dan anorganik yang terlibat. Untuk
keperluan pertumbuhan tanaman, maka dibutuhkan agregat yang stabil dari kemungkinan hancur akibat adanya air. Agregat yang hancur akan menyebabkan poripori tanah menurun jumlahnya dan akan mengganggu areasi tanah tersebut
(Stevensons, 1982) Selanjutnya dijelaskan ikatan-ikatan yang terlibat dalam pembentukan agregat sebagai berikut :
1. Ikatan liat dengan liat.
a. Ikatan antara liat bemuatan negatif yang dikoordiii dengan kation polivalen,

digambarkan sebagai berikut :
Liat- -hl"'- Z i t
b. Ikatan liat bermuatan negatif dengan liat bermuatan positip, digambarkan sebagai
berikut :
L i t Al-OH*+- Z i t
2. Ikatan liat-bahan organik-liat.
a. Ikatan daerah pinggir liat-polimer organik-pertukaran Anion : Sisi pinggir positif
dengan polimer karboksil
pinggi Al-OH2f--00C-R-C00'-

-&atan hidrogen antara pinggir hidroksil clan polimer karboksidal atau amida.

Jembatan kation antara pinggir sisi negatif dan polimer karboksil.

-

Pinggir- 0' hf''

- -0OC-R-COO--

- Gaya Van der Waals antara pinggir dengan polimer.
b. Ikatan daerah permukaan liat - polimer organik -

Ikatan hidrogen antara polimer hidroksil dengan hi-kisi mineral yang dapat

mengembang (didalam atau diluar) permukaan silikat oksigen.

Pennulaan Si - 0 - HO-R-OH

-

- Jembatan kation antara daerah permukaan dalam dengan polimer karboksil atau
group polarisasi lainnya

-

Permukaan dalam - - M!'+ - -0OC-R-COO-

- Gaya Van der Waals antara permukaan dengan polimer.

-

3. Ikatan pasi - (debu, anorganik dan organik kolloid) pasir.

a. Ikatan kirnia yang terbentuk antara permukaan pasir dengan gel alumanium silikat

hidrat dru;grup-grup yang aktiflainnya dalam pembentukan agregat.
b. Butiran pasir yang diselubungi oleh campuran debu liat terutama distabiian de-

ngan :

- Partikel liat yang banyak
- Irreversibel silikat dehidrasi, seiskioksida atau komplek seiskioksida hwnik.

- Irreversibel bahan humik dehidrasi
- Mikroagregat ukuran debu distabilkan dengan besi humat.

- Ikatan kolloid organik dengan permukaan liat.
Mekanisme ikatan yang terlibat dalam adsorpsi bahan organik dengan mineral
liat, adalah (1) adsorpsi %ik

atau ikatan Van der Waals, terjadi pada semua moleM

yang bersatu akibat bersatunya muatan positip dan negatip pada masing-masing partikel. Adsorpsi ini disebut juga interaksi muatan listrik dipole-dipole. (2) Gaya elektrostatik atau adsorpsi kimia, yaitu bersatunya mineral liat bermuatan negatifp de-ngan
kolloid organik bermuatan positip atau sebaliknya seperti pada peristiwa pertukaran
kation (3) Ikatan hidrogen, yaitu adanya k e l e b i i muatan akibat dari dua atom

hanya diisi oleh kolloid liat atau organik. (4) Komplek koordinat, yaitu ikatan koordinasi oleh kation polivalen yang menyatukan dua atau lebih kolloid liat clan organik
(Stevensons, 1982).
Sudarsono (1991) melaporkan bahwa sebagai bukti adanya ikatan komplek
antara bahan organik dengan liat adalah sebagii besar C-organik tanah (84 %)
menumpuk pada h k s i terhalus tanah (0

- 50pm). Proses pembentukan agregat yang

terjadi akiiat dari kerjasama ikatan-ikatan tersebut. Semakin banyak ikatan yang terlibat, maka semakin stabid agregat tersebut dibandingkan dengan hanya satu ikatan saja
yang berfimgsi. Collado dan Karlen (1992) menyatakan bahwa proses agregasi dan
sifat dari agregat dapat dipakai sebagai indikator dalam evaluasi efek dari sistem bercocok tanam.
Penentuan kestabii agregat dibutuhkan pengetahuan tentang ikatan-ikatan yang
bekerja dalam pembentdcannya. Keadaan ini dapat diietahui dengan memisah-

misahkan partikel penyusun agregat (Edward dan Bremer, 1967; Stevensons, 1982).
Konsep pembentuican agregat dapat dijchskan sebagai berikut. Pasir halus, debu,
kolloid organik dan anorganik bersatu membentuk agregat dengan bantuan kation
polivalen, digambarkan {[C-P-OM],),. Dimana C adalah kolloid liat, P adalah kation
polivalen, OM adalah humus, C-P-OM adalah satu buti agregat, sedangkan x dan y
menunjukkan banyaknya agregat yang bersatu. Ikatan-ikatan ini dapat dihancurkan
dengan merusaknya, seperti bahan organik dibakar dan kedudukan kation polivalen
ditukar dengan kation Na'.

adalah Kuarsit yang telah mengalami pelapukan lanjut sehingga wamanya kabur
(opaq). Dengan adanya proses penekanan oieh gaya endogen bumi terhdap permu-

kaan, terjadilah lipatan-lipatan yang terdiri dari punggung dan rendahan (cekungan).
Pada bagian punggung terlihat beberapa tempat mengalami erosi berat oleh karena
arealnya sudah gundul (tanpa vegetasi penutup) sehingga batuan induknya tersingkap

di permukaan. Secara geologi d m tisiografi daerah ini masih merupakan ekologi
tanaman kelapa sawit, seperti daerah-daerah lainnya di Kabupaten Labuhan Batu yang
mempunyai formasi yang sama dan sudah merupakan daerah perkebunan kelapa sawit
berpotensi tinggi ( Van Bemelang, 1928; BPPM, 1977; dan Konperin, 1987)

Vegetasi
Vegetasi asli daerah penelitian menurut BPPM (1977) clan Koperindo (1987)

adalah diduga semula merupakan hutan tropika lebat, seperti yang masih terlihat dan
diketemukan di sepanjang Batang Kumu dan daerah ke arah perbatasan propinsi Riau
(daerah Rimbo Sibadak). Pembukaan hutan asli untuk usaba pertanian dan peternakan
yang selalu dibarengi dengan pembakaran, tidak rnemberikan kesernpatan bagi berbagai jenis pepohonan untuk mengalami regenemi, sebingga pada akhirnya daerah
tersebut menjadi padang rumput yang didominasi oleh galuman (Sporobulus, Andropogon, dan Eleusitna indica), Lalang (Imperata cylindrica) dan padang-padang
(Sporobulus sp), secara sekelompop-sekelompok terdapat tanaman beiukar rendah
haramunting (RhodumurfUs tomentosa) diikuti dengan tanaman pohon balaka
(Tehamerista glahra). Pembakaran rumput. terutama pa& muslm kemarau yang dilakukan tanpa adanya tujuan tertentu sudah menjadi keadaan yang rutin setiap tahunnya.

Berhasiya penanaman kelapa sawit oleh pihak perkebunan temyata diikuti oleh
perkebunan swasta nasional dan kemudian oleh rakyat perkotaan dan penduduk sekitarnya. Akibatnya pada saat ini seluruh daerah padang rumput tersebut sudah ditanami
dengan kelapa sawit, sedangkan pada beberapa lokasi yang arealnya masih belum
begitu luas telah ditanami oleh rakyat dengan karet. Didekat Sibuhuan juga telah ditanam dengan tanarnan palawija terutarna pada areal padi tadah hujan dan hortikultura
seperti rambutan, mangga dan durian. Pada areal kelapa sawit vegetasi asli sudah
tidak dijumpai lagi dan rumputnya juga berubah menjadi rumput yang b i i tumbuh di

bawah tanaman kelapa sawit, pada beberapa lokasi tahun tanam 1985 sudah mulai di
dominasi oleh jenis pakis-pakisan. Pembakaran rumput pada musim kemarau oleh
rakyat sekitar yang biasanya berlangsung temyata sudah mulai bericurang dibandhg-

kan dengan yang berlangsung selama ini.
Iklim
Data iklim yang mendapat perhatian di daerah penelitian adalah data curah hujan,

dimana diperoleh dari tiga stasiun pencatat yang lokasinya paling dekat dengan tempat
penelitian. Data pertama diperoleh dari stasiun pencatat Pasir Panguraian yang terletak sekitar 60 km dari tempat penelitian Data kedua diperoleh dari stasiun pencatat
Pasar Sibuhuan yang terletak sekitar 30 km dari tempat penelitian, kedua data ini
merupakan data curah hujan yang dicatat sebelum Perang Dunia I1 (1908

-

1941).

Data ketiga diperoleh dari stasiun pencatat Balangka Sitongkon yang berjarak sekitar
25 km dari tempat pene11tm-t.krupa data curah hujan setelah Perang Dunia 11 (1978 -

1986). Data keempat yang terbani diperoleh dari stasiun pencatat PT. Perkebunan
Nusantara 4 Kebun Sosa, data ini diperoleh dari pencatatan 12 stasiun yang terdapat

pada setiap Afdeling (1985 - 1997) dan d i i i atas dua bagian yaitu sebelum penana-

man kelapa sawit (1984

- i965j oian setelah penmaman keiapa sawit (1986 - 1997).

Dengan demikian daerah penelitii berada antara stasiun pencatat Pasar Sibuhuan dan
Balangka Sitongkon dengan stasiun pencatat Pasir P a n g u a k

-

Tabel 4 :Rataan Curah Hujan Pasar Sebuhuan ( 1908 1941), Balangka Sitongkon
(1978 -1986) PT. Perkebunan Nusantara 4 (I) (1984 1985), clan PT.
PerkebunanNusantara 4 (11) (1986 1997).

-

-

Pasar Sibu- Balangka Stk PT. PN 4 (I) PT. PN 4 (II)
huan
J H H H J H H H J H H H J H H H
26
13
294
287
13
kmari
335 16,5 194
22
11
224
15
169
235 11,4 280
26
17
268
16
273
248 13,9 256
26
8
215
108
12
.+xi1
255 13,4 244
21
212
16
9
184
169
'.Mei
153 9,7
15
12
83
6
51
80
-uni
115 6,O
16
13
99
8
78
, -uli
109
82
5,4
18
9
155
6
76
113
148 8,s
23
14
238
10
107
173
September
162 9,O
I1
24
213
131
13
3ktober
255 13,3 154
23
23
325
15
329
'Vopember
243 13,8 270
14
28
324
18
225
sember
328 14,7 303
141 2015 160 2650 269
3022 159,7 2559 135,l 2345
JH = Jumlah Hujan dalam mm
HH = Jumlah Hari Hujan.
Sumber : Berlege, 1949 dalam Balai Penelitian Perkebunan Medan, 1977
PT. Perkebunan Nusantara 4, 1997.
Bulan

Psr Panguraian
J H H H
292 15,9
254 12,8
306 14,9
282 14,5
217 11,7'
159 8,8
113 7,6
177 11,O
238 13,l
300 16,l
341 16,4
349 16,9

Pada Tabel 4 dapat d i i t bahwa data curah hujan yang tercatat di stasiun Pasar
Sibuhuan dan Balangka Sitongkon menunjukkan pola hujan yang sama, dirnana jum-

lah hari hujan yang hampir sama (135,l dan 141) dan curah hujan masing-masing
2559 mm dan 2345 mm. Sedangkan pencatatan stasiun Pasir Panguraian menunjukkan pola curah hujan yang berbeda, d

i i jumlah curah hujan leb'h banyak 3022 dan

jumlah hari hujan 159,7. Pada Stasiun pencatat data curah hujan PT. Perkebunan

-

Nusantara 4 Kebun Sosa pada tahun 1984 1985 menunjukkan pola yang mendekati

curah hujan stasiun pencattit Pasar Sibuhuan dan Balangka Sitongkon. Sementara itu
curah hujan yang dicatat dari tahun 1986 - 1997 di PT. Perkebunan Nusantara 4 su-

dah mulai mendekati pola curah hujan stasiun pencatat Pasir Panguraian. Pada tahun

-

1984 1985 jumlah hari hujan sudah mendekati Pasir Panguraian (160 hari) sementara

jumlah curah hujan mendekati Pasar Sibuhuan dan Balangka Sitongkon (2015 mm).
Setelah penanaman kelapa sawit terlihat perubahan pola curah hujan terutama hari
hujan meningkat sampai 68 % yaitu dari sekitar 160 hari hujdtahun menjadi sekitar
269 hari hujan