Hilangnya pendapatan gabah bagi buruh ngasak.

26

6. Hilangnya pendapatan gabah bagi buruh ngasak.

Ngasak mengambilmengumpulkan ceceran sisa panen masih cukup banyak dilakukan di masing- masing desa penelitian. Mayoritas buruh ngasak adalah ibu-ibu tua yang memiliki keterbatasan tenaga untuk bisa terlibat langsung dalam proses panen. Mereka biasanya merupakan rumah tangga petani miskin. Gabah sisa panen dikumpulkan dari berbagai lokasi panen di desa untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga dan mengurangi kerentanan hidup. Pada saat panen manual atau menggunakan power thresher, buruh ngasak dapat mengumpulkan sisa panen sebanyak 1-5 karung dalam 1 musim panen. Sementara, buruh ngasak tidak bisa lagi mencari sisa panen pada lahan yang dipanen menggunakan combine harvester karena ceceran gabah langsung berserakan di tanah dan tidak bisa dipulung. Ngasak sulit sekali dilakukan karena sisa gabah yang tercecer tidak menumpuk pada satu tempat seperti pada saat panen secara manual atau menggunakan power thresher. 7. Mengancam ketersediaan pakan ternak Jerami sebagai sumber pakan bagi hewan ternak terutama sapi. Panen menggunakan combine harvester menghasilkan jerami yang hancur sehingga hewan ternak cenderung tidak menyukainya. Selain bentuknya yang sudah hancur, jerami tersebut juga berbau solar sehingga sapi sering tidak mau memakannya. Pada musim kemarau pakan ternak menjadi langka karena rumput-rumput yang ditanam sebagai hijauan pakan tidak tumbuh maksimal. Pada saat musim kemarau, penggunaan combine harvester dalam proses panen justru meningkat. Jerami sisa panen secara manual atau menggunakan power thresher menjadi alternatif pakan gratis. Peternak sapi akan membeli pakan ternak berupa jerami yang tidak hancur baik dengan harga borongan maupun ikatan. Di Jawa Timur, harga borongan jerami sisa panen mencapai 700 ribuha luas panen. Selain sapi, penggunaan combine harvester pada proses panen juga mengancam ketersediaan pangan bagi bebek. Banyak peternak bebek pada desa penelitian di Sulawesi Selatan yang sudah tidak mampu beternak bebek karena sudah tidak bisa menggembalakan bebek pada paska panen. Sisa gabah dari panen manual atau menggunakan power thresher dimanfaatkan oleh peternak sebagai sumber pakan untuk bebek-bebek. Harga pakan bebek terus meningkat sedangkan sumber pakan lain yang berasal dari sisa gabah sudah sangat berkurang. Oleh karena itu banyak peternak bebek yang gulung tikar karena harus menanggung biaya pakan yang jauh lebih besar. 8. Mematikan roda perekonomian desa dari sektor perdagangan Pada saat panen manual dan menggunakan power thresher masih banyak dilakukan pada desa-desa di Sulawesi Selatan, perekonomian rakyat tumbuh di desa. Panen dilakukan hingga malam hari. Desa menjadi ramai oleh aktivitas panen. Banyak muncul pasar malam yang menjual beraneka ragam barang. Perputaran uang di desa ramainya orang-orang menjadi potensi bagi tumbuh dan bergeraknya sektor perdagangan di desa. Setelah banyak combine harvester masuk ke desa, panen dilakukan lebih cepat dari sebelumnya. Desa tidak lagi seramai dulu. Orang-orang yang terlibat dalam proses panen jauh lebih sedikit sehingga pasar malam yang pernah ada menjadi sepi dan tidak lagi yang pada akhirnya tutup. Berikut ini cerita menarik informan secara lebih detail tentang keuntungan kepemilikan combine harvester yang dirangkum dalam box 3.4 Pada saat masih banyak yang menggunakan power thresher pada saat panen, banyak orang dari daerah Mangkassa yang datang ke Desa Sambi untuk mengumpulkan padi sisa panen sebagai tambahan penghasilan. Mereka bahkan sampai mendirikan tenda-tenda di pinggir jalan untuk bermalam. Kebanyakan pengumpul padi sisa panen tersebut berasal dari luar desa. Selain itu, ketika musim panen banyak juga yang berjualan makanan karena kondisi desa yang ramai orang. Masuknya combine harvester ke Desa Sambi dapat mengurangi lapangan pekerjaan bagi buruh pasangkih. Banyak pedagang mengeluh karena dulunya banyak kaum wanita yang bekerja sebagai buruh pasangkih yang berbelanja kepada mereka, Namun, setelah pekerjaan mereka hilang, pendapatan para pedagang ini menjadi menurun akibat berkurangnya kaum wanita yang berbelanja. 27 3.5. Dinamika Farm dan Non Farm Petani Berdasarkan Strata Petani Akses Terhadap Non Farm oleh Masing-Masing Strata Petani Mereka yang kehilangan mata pencaharian dari kemunculan combine harvester sulit untuk mengakses pekerjaan lain di luar pertanian padi yang menawarkan income relatif sama dan atau lebih baik bahkan mengganggur. Seperti telah dijelaskan di atas, munculnya combine harvester berpengaruh terhadap ketersediaan lapangan kerja sektor pertanian padi, terutama bagi masyarakat strata bawah dan sebagian kecil strata menengah. Masyarakat pada strata tersebut masih mengandalkan sektor kerja buruh panen. Makin maraknya penggunaan combine harvester pada saat panen menyebabkan mereka kehilangan peluang kerja. Hal yang sama terjadi pada buruh ngasak. Penggunaan combine harvester menyebabkan proses panen tidak meninggalkan sisa-sisa gabah yang dapat diambil para buruh ngasak. Dinamika ini juga dirasakan oleh pemilik power thresher. Mereka kehilangan kesempatan memperoleh income dari masa panen. Kebanyakan dari mereka yang memiliki mesin perontok itu yang berasal dari golongan menengah ke bawah. Mereka tidak sanggup untuk membeli combine harvester. Hanya terdapat 1 orang pemilik power thresher dari strata tersebut yang mampu membeli combine harvester. Itu pun, dirinya hanya sanggup membeli harga combine harvester yang paling murah merk Cina. Dinamika antara sektor pertanian dan nonpertanian terlihat pada perubahan tenaga kerja buruh panen yang terlempar. Beberapa buruh panen tersebut masih bisa tertampung ke sektor kerja nonpertanian. Pada desa-desa yang sudah secara massif menggunakan combine harvester, banyak laki-laki bekerja sebagai buruh serabutan di dalam desa. Pekerjaan nonpertanian yang bisa mereka akses salah satunya adalah pengendara becak motor. Namun, pekerjaan ini mengharuskan mereka memiliki motor yang dimodifikasi menyerupai becak. Mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membeli motor, baik dengan cara membeli tunai atau kredit. Namun, tidak semua laki-laki di dalam desa yang sudah tidak bekerja di sektor pertanian dapat tertampung sebagai pengendara becak motor karena keanggotaannya hanya sekitar 25-30 orang. Kesulitan mendapatkan pekerjaan lain di luar sektor pertanian lebih dirasakan oleh buruh tani perempuan atau buruh ngasak. Sebagian wanita di Kayaran, Sulawesi Selatan beralih sebagai pengrajin kandang ayam. Itupun, hanya 10 orang perempuan di desa yang terlibat sebagai pengrajin kandang ayam. Upah yang diterima untuk satu buah rangka hanya 2.000 rupiah saja. Dalam sekali pesanan bisa mencapai 150 hingga 200 buah rangka dikerjakan oleh 11 orang. Namun, pesanan tersebut tidak dapat dipastikan. Bahkan, pernah tidak ada pesanan hingga 3 atau 4 bulan. Sebagian lain, perempuan-perempuan di Kayaran yang kehilangan pekerjaan sebagai buruh panen beralih menjadi penjahit manik-manik baju. Pendapatan mereka di sektor ini berkisar antara 50 hingga 100 ribupakaian. Dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan pesanan mulai dari 3 sampai 4 pakaian. Namun, lebih jauh perempuan-perempuan mantan buruh panen justru lebih banyak yang tidak dapat bekerja lagi di luar sektor pertanian. Mereka kemudian hanya menjadi ibu rumah tangga. 28 3.6 Potensi Konflik akibat Hadirnya Combine Harvester Combine harvester memicu timbulnya konflik pada beberapa desa penelitian bukan hanya antara buruh tani dengan pemilik combine harvester tetapi juga antar pemilik combine harvester, pemilik combine harvester dengan pemerintah desa bahkan antar petani. Combine harvester merupakan mesin panen padi modern. Modernisasi pertanian melalui mesin ini e a arka paket o o pada tahapa pa e . Mesi i i a pu e oto g padi sekaligus merontokkan. Waktu yang dibutuhkan untuk panen padi menggunakan mesin ini sangat singkat. Demikian juga dengan kebutuhan tenaga kerja. Pada saat panen menggunakan combine harvester, tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan pada saat panen manual atau menggunakan power thresher. Namun, modernisasi pertanian melalui combine harvester justru memicu konflik di beberapa desa penghasil padi, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di Desa Kendah, Blitar, combine harvester bantuan memicu ketegangan antara pemilik mesin bantuan dengan pemerintah desa tetangga. Sebagian warga dan pemerintah desa tetangga mengusir pengelola mesin dan tidak mengizinkan combine harvester masuk ke area persawahan warga. Hal ini dikarenakan mereka tidak terima dengan kehadiran combine harvester yang dianggap berpotensi menyingkirkan petani kecil dan buruh tani panen. Keberadaan buruh tani terutama buruh panen di desa tersebut dirasa masih banyak. Mereka khawatir jika sumber penghasilan dari buruh panen menjadi hilang dari desa dan hanya dikuasai oleh pemilik mesin panen dari luar desa. Combine harvester akan maksimal bekerja pada lahan yang luas. Karakter sawah di Jawa yang berpetak-petak dipisahkan oleh pematang juga menjadi kendala. Banyak pematang yang rusak oleh kerja combine harvester. Di Desa Lopang, Lamongan, pematang sawah pemilik lahan sempit banyak yang rusak karena terlindas roda mesin. Hubungan antarpetani menjadi renggang dipicu masalah rusaknya pematang. Combine harvester lebih sering merusak pematang sawah petani lainnya. Meskipu gale ga sudah diper aiki, tapi hu u ga erteta gga tidak isa diper aiki . Agus, salah satu petani pengguna combine harvester. Tidak hanya hubungan antarpetani yang menjadi renggang, namun hubungan buruh panen dengan pengelola combine harvester menjadi tidak baik. Terdapat reaksi negatif terutama dari regu panen dan pemilik power thresher di desa. Walau demikian, pengelola combine harvester tetap beroperasi di desa dengan alasan bekerja pada petani yang menghendaki saja. Tidak ada protes terbuka, apalagi terorganisir. Mereka hanya membesar-besarkan persoalan kalau panen menggunakan Combine Harvester itu t idak ersih kare a a yak ga ah ya g er e era . Ketegangan akibat hadirnya combine harvester juga terjadi pada dua desa penelitian di Mesuji. Di Tanjung, kehadiran combine harvester memicu protes masyarakat di desa. Protes ini dilatarbelakangi oleh anggapan mekanisasi pertanian melalui combine harvester akan merampas pekerjaan rakyat kecil. Pemilik combine harvester menggunakan mesinnya sebagai alat akumulasi modal. Sebagian besar pemilik sawah berukuran sedang 1-2 ha, petani kecil, dan buruh tani bertahan dengan tidak menggunakan combine harvester pada saat panen. Mereka sadar bahwa pemilik combine harvester merupakan orang kaya sehingga lebih baik berbagi pendapatan kepada petani kecil atau buruh tani. Le ih aik a o di erika kepada ora g ya g tidak a pu. Buruh tani sempat bersikap resisten terhadap pemilik combine harvester melalui protes yang mereka lakukan. Para buruh tani tidak mau menanam padi pada sawah-sawah yang dipanen menggunakan combine harvester. Akan tetapi, mereka tidak bisa berbuat banyak karena pemilik combine harvester tetap eroperasi di desa. Jika uruh kekura ga aka eras silaka a il di ru ah saya. Buruh 29 panen merasa semakin tidak berdaya. Buruh tani akhirnya menerima dan bersedia melakukan penanaman pada musim berikutnya karena merasa tidak ada pilihan. Protes oleh petani kecil dan buruh tani juga terjadi di Maja Sari, Kabupaten Mesuji. Buruh panen merasakan pendapatan bawon mereka semakin berkurang. Terancamnya pendapatan bawon para pekerja panen tersebut memunculkan kesepakatan yang tidak tertulis yaitu petani yang juga bekerja sebagai buruh bawon tidak boleh memanen sawahnya dengan menggunakan combine harvester, jika petani tersebut panen menggunakan combine harvester maka tidak diperbolehkan untuk ikut dalam kelompok panen thresher. Protes pun dilakukan kepada pemilik combine harvester dengan mengatakan bahwa pemilik combine harvester telah merampas pekerjaan orang kecil. Potensi konflik akibat combine harvester tidak hanya terjadi di Jawa yang keberadaannya belum massif. Hal ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang mayoritas petani sudah menggunakan combine harvester pada proses panen padi. Di Desa Sambi misalnya, konflik lebih banyak terjadi diantara pemilik combine harvester. Tingginya persaingan diantara mereka menjadi pemicunya. Pada awal kemunculan CH, harga sewa CH adalah 9:1 Dari 9 karung yang dipanen, ongkosnya 1 karung sementara itu sekarang harga sewanya semakin turun menjadi 12:1. Saat ini, persaingan harga sewa sudah mulai tidak sehat. Terdapat pemilik combine harvester yang berasal dari Sambi yang jahil dengan memberikan harga lebih murah. Harga sewa yang dipatok mencapai 15:1 hingga 16:1. Selain itu terkadang pemilik dari luar sering memberikan tips berupa uang tambahan sebesar 200-300 ribu diberikan kepada petani penggarap yang bersedia menggunakan combine harvester milik orang luar tersebut. Pemberian harga murah dari pemilik combine harvester dari luar desa telah merusak harga dan tidak sesuai dengan standar. Hal ini menyebabkan pemerintah desa dituntut untuk turut menentukan harga dan memberikan hukuman bagi pemilik combine harvester yang tidak sesuai dengan standar. Jika memang terus terjadi persaingan tidak sehat antar pemilik combine harvester maka ditakutkan nanti akan terjadi baku –parang dan akan ada pembakaran combine harvester dari luar. Potensi konflik akibat hadirnya combine harvester ini disadari banyak pihak, termasuk oleh Dinas Pertanian yang berada di masing-masing wilayah. Seperti yang terjadi di Blitar, Dinas Pertanian setempa t telah e yadari er agai pote si ko flik terse ut aka terjadi. Dampak sosialnya sudah dapat diprediksikan. Hanya saja Dinas Pertanian tidak mem pu yai solusi atas asalah i i. 3.7. Produktivitas 3.7.1 Produktivitas Pertanian di Desa-Desa Penelitian Combine harvester tidak meningkatkan produktivitas secara signifikan. Produktivitas pertanian padi untuk jenis sawah irigasi di desa-desa penelitian berkisar antara 3-10 tonha. Produktivitas rata-rata pada desa-desa penelitian berkisar 5-7 tonha. Terdapat perbedaan produktivitas pada musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim kemarau produktivitas mencapai 5-10 tonha, sedangkan pada musim hujan berkisar antara 3-7 tonha. Wilayah dengan produktivitas lahan tertinggi ada di Jawa Tengah yaitu Desa Simalaya, dimana produktivitas mencapai 10 tonha. Sementara untuk jenis sawah non irigasi seperti sawah tadah hujan dan sawah pasang surut produktivitas lahan berkisar antara 1-6 tonha. Pada desa penelitian yang menguasai jenis sawah seperti ini, pada musim kemarau biasanya hasil panen cenderung lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan.