ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM HAL MEMBEBASKAN MENGURANGKAN ATAU MEMBERATKAN PENGENAAN PIDANA

(1)

(Skripsi)

Oleh

Mohammad Rifani Agustam

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

MEMBEBASKAN MENGURANGKAN ATAU MEMBERATKAN PENGENAAN PIDANA

Oleh

MOHAMMAD RIFANI AGUSTAM

Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata mengadili adalah sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak. Figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu. Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum, dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis, banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutus perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra, seperti tentang penjatuhan vonis yang dianggap tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa yang berdasarkan kewenangan hakim dalam membebaskan, meringankan dan memberatkan putusan tersebut. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah faktor-faktor yang mendasari putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan bagi para pihak yang tidak menerima putusan tersebut.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kemudian dianalisis secara analisis deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan dan memperoleh gambaran mengenai jawaban terhadap permasalahan hasil penelitian.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendasari putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana antara lain adalah hakim berpedoman pada ketentuan perundang-undangan dan seorang hakim dalam memberikan putusan harus mempertimbangkan faktor internal (pelaku) dan faktor eksternal (korban),


(3)

dikeluarkan hakim, secara lebih spesifik lagi seorang aparat penegak hukum sangat berperan dalam suatu proses pelaksanaan peradilan karena putusan hakim adalah output dari proses penyelidikan, penyidikan sampai pada dakwaan yang ditujukan pada tersangka. Upaya yang dapat dilakukan bagi para pihak yang tidak menerima putusan hakim tersebut dapat dilakukan dengan upaya banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Saran yang diberikan penulis yaitu dalam menetapkan suatu putusan hendaknya seorang hakim harus bersandar pada nilai yang hidup di masyarakat, sehingga tidak hanya berpaku pada undang-undang saja, oleh karena itu kemampuan hakim dalam menggali peristiwa hukum harus lebih dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan kreatif dalam menemukannya, karena itu yang akan dijadikan dalam fakta persidangan guna menjadi acuan dalam mempertimbangkan suatu putusan selain dari ketentuan undang-undang, sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dapat mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan pandangan negatif pada masyarakat.


(4)

Oleh

MOHAMMAD RIFANI AGUSTAM

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

MENGURANGKAN ATAU

MEMBERATKAN PENGENAAN PIDANA Nama Mahasiswa : Mohammad Rifani Agustam

No. Pokok Mahasiswa : 0742011235

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. Eko Raharjo, S.H., M.H. NIP. 196208171987032003 NIP. 196104061989031003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. NIP. 196208171987032003


(6)

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati M, S.H., M.H. .………...

Sekretaris/Anggota :Eko Raharjo, S.H., M.H. ..………..

Penguji Utama :Firganefi, S.H., M.H. ……….

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(7)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada Tanggal 30 Agustus 1989, anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Apri D Jajasinga dan Ibu Hj. Septiana Sulaiman, S.Pd. Penulis memulai jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) Teladan Trisula 1 Propinsi Lampung diselesaikan Tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 1 Rawa Laut Bandar Lampung pada Tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 16 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2004 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 4 Bandar Lampung yang diselesaikan pada Tahun 2007.

Pada Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada Tahun 2010 penulis mengikuti program Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di Malang, Bali, dan Jogja. Penulis melakukan penelitian skripsi pada Pengadilan Negri Tanjung Karang.


(8)

Tariklah manfaat dari setiap menit yang berlalu agar jangan sampai ia terlewat dengan percuma Maka untuk setiap jam berikutnya tidak perlu cemas lagi

Sebab ia akan membawa keberhasilannya sendiri (Mohammad Rifani Agustam)

Gagasan-gagasan baik saja tidak cukup

Gagasan sederhana yang diwujudkan, dilaksanakan dan di

perkembangkan adalah 100% lebih baik dari pada gagasan cemerlang, yang mati karena tak dilaksanakan


(9)

Sujud syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus, kupersembahkan karya kecil ini

teruntuk :

Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk

kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.

Kakak dan adik-adikku tersayang yang memberi motivasi dan semangat dalam hidupku.

Rachmi Annisa yang telah memberi semangat serta dukungan moril, doa, perhatian dan kesabaran selama ini.


(10)

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Hal Membebaskan, Mengurangkan, Atau Memberatkan Pengenaan Pidana . Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut kelak dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Pidana, dan juga selaku Pembimbing I yang senantiasa memberikan saran dan masukan, serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.


(11)

membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. Dosen Pembahas I yang senantiasa memberikan waktu, masukan, saran dan kebaikannya selama penulisan skripsi ini.

5. Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan waktu, masukan dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini; 6. Bapak Tri Andrisman S.H., M.H. Sekretaris Jurusan Hukum Pidana.

7. Bapak Dharma Setiawan, S.H., M.H. Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan.

8. Bapak Maroni, S.H., M.Hum. yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini.

10. Mbak Sri dan Mbak Yanti, terima kasih atas bantuannya selama ini.

11. Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik.

12. Abi dan Ibu tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi masa depan.

13. Kakaku serta kedua adikku, atas motivasi dukungan dan semangat yang diberikan.


(12)

memberikan dorongan dan semangat yang tanpa batas.

15. Teman-teman di SMA (Texas Brother) Ahmad, Sopan, Sopi, Doni, Fiki, Bob, Aji, Aan, David, Cendol, Lahi, Edot, Ellet, Erwin, Hasan, Youdi, terima kasih untuk kebersamaannya bersama kalian, sukses selalu buat kita semua.

16. Seluruh sahabat-sahabatku Bayu, Andi, Ardi “Bom-bom”, Rully, Trisutrisno, Anto, Agung, Kent, Agus, Andres,Dika “Acong”, Roby, Roso, Wawan, Aple, Uky, Agus bom, terima kasih atas motivasi, semangat, serta dorongan buat menjadi manusia yang berhasil.

17. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Nedi, Ilham, Novan, Rivan, Hasan, Yuza, Oki, Fajri, Micel, Idung, Patra, Popoy, Gusnan, Ibror, Silo, Fero, Dimas, Bangkit, Joko, Gepeng, Anda, Ijul, Iwan, Andre, Bakrie, Geri, Nay, Nobrian, Panjul, Remi, Heru, Aldi terima kasih banyak sudah saling membantu selama kuliah, merasakan sama-sama susahnya kuliah, kenangan yang tak bisa terlupakan, terus semangat kawan.

18. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

19. Dan yang terakhir untuk Rachmi Annisa, terima kasih buat bantuan, dukungan, doa, semangat, pengertian, perhatian dan kesabaran tiada henti yang diberikan, dari awal hingga akhir.


(13)

kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Amien.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(14)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 17

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Kehakiman... 19

B. Pemidanaan Menurut Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 22

C. Putusan Pengadilan... 32

D. Hal yang Membebaskan, Meringankan, serta Memberatkan Pidana ... 36

E. Upaya Hukum...39

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 45

B. Sumber dan Jenis Data ... 45

C. Penentuan Narasumber... 46

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 47

E. Analisis Data... 48 DAFTAR PUSTAKA


(15)

B. faktor-faktor yang mendasari putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana ... 51 C. Upaya hukum yang dapat dilakukan bagi para pihak yang tidak

menerima atas putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana ... 63 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 75


(16)

A. Latar Belakang

Menurut Pasal 1 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan, hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata mengadili sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Profesi hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri (www.hukumonline.com, 10/4/2011, 11:29 WIB). Hakim bertanggungjawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta didalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu


(17)

Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 butir 1 UU No. 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), yaitu Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Seseorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan sesuatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku, barulah hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.


(18)

Pada era kehidupan masyarakat yang semakin kompleks saat ini dituntut adanya penegakkan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) yaitu, Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Berhubungan dengan itu dalam menemukan hukumnya seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut Wirjono Projodikoro (Andi Hamzah, 1996:103) dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum tetapi hakim hanya merumuskan hukum.

Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada undang-undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Oleh karena itu dalam memberikan putusan hakim harus berdasarkan penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang


(19)

dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum, dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis, namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak hal yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat. Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara-perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas, bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif (www.forumhukum.com, 10/4/2011, 11:30 WIB).

Secara umum anggapan itu adalah sah-sah saja, setidaknya ada alasan dari masyarakat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat pengadilan, terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran filosofis (keadilan). Seorang hakim harus membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Secara normatif pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan, hal itu tersandung dari namanya pengadilan dan dari sifat-sifat putusan hakim yang menjadi gawangnya. Menurut sifat-sifat itu, dalam menyelesaikan perkara hakim tidak bekerja demi hukum atau demi Undang-undang melainkan demi keadilan


(20)

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Frase Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi simbol bahwa hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena profesi hakim mengatas namakan Tuhan.

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum guna menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara (Andi Hamzah, 1996:22). Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi. Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.

Kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya hakim memiliki kesadaran didalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Sebagai contoh perkara pidana penadahan, yaitu penadahan 1 unit sepeda motor yang dilakukan oleh terdakwa I Marzuki dan terdakwa II Ona Saputra, diadili oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang


(21)

dengan No. Reg Perkara : 732/Pid/B/2010/PN.TK terdakwa I divonis satu tahun dan terdakwa II divonis delapan bulan, serta perkara pidana pencurian, dengan terdakwa I Agus Setiawan dan terdakwa II Hermansyah dengan No. Reg Perkara: 321/Pid/B/2011/PN.TK terdakwa I divonis satu tahun dan terdakwa II divonis delapan bulan, sedangkan vonis bebas dijatuhkan kepada pimpinan PT. Cipta Graha Nusantara selaku debitor Bank Mandiri, yakni Drs. H. Iskandar terdakwa diadili dalam perkara korupsi pemberian kredit Bank Mandiri kepada PT. Cipta Graha Nusantara (CGN). Vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang diketuai FX Soehartono, yakni 17 tahun penjara dan membayar denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti 1,85 juta Dollar AS.

Alasan Ketua Majelis Hakim, Martini Mardja membebaskan karena terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dakwaan primer, subsider, lebih subsider dan lebih subsider lagi. Tak ada unsur perbuatan melawan hukum atau merugikan negara sesuai dakwaan jaksa (http://antikorupsi.org/indo/content/view/7738/6,tanggal 10/4/2011, 11:31 WIB).

Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar atau bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum, yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas sesuatu peristiwa yang terungkap dipersidangan, untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan. Singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.


(22)

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk diamati dan dianalisis dalam skripsi ini yaitu tentang penjatuhan vonis yang dianggap tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa yang berdasarkan kewenangan hakim dalam membebaskan, meringankan dan memberatkan putusan tersebut. Berdasarkan hal tersebut itulah penulis memutuskan untuk memilih judul “Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Hal Membebaskan, Mengurangkan, atau Memberatkan Pengenaan Pidana”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah faktor-faktor yang mendasari putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana ?

b. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan bagi para pihak yang tidak menerima atas putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dapat dibedakan menjadi ruang lingkup bidang ilmu hukum pidana dan ruang lingkup kajian. Adapun ruang lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini merupakan bidang ilmu hukum pidana, khususnya dalam bidang hukum pidana formal. Penelitian juga mengkaji Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48


(23)

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta yurisprudensi dan teori-teori yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana. Adapun yang menjadi ruang lingkup kajian dalam penelitian ini terbatas pada daerah hukum Pengadilan Negri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini meliputi dua hal yaitu:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendasari putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana.

b. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan bagi para pihak yang tidak menerima atas putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, dan memberatkan pengenaan pidana.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna dan dapat dipakai sebagai bahan kajian tambahan guna mencapai suatu kebenaran yang sesungguhnya mengenai pengenaan pidana terhadap pelaku tindak pidana.


(24)

b. Kegunaan praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986:125).

Negara melalui alat-alatnya berhak menjatuhkan pidana atau memidana, oleh Leo Polak (A.Hamzah & Siti Rahayu, 1983:22) bahwa pemerintahlah yang mengendalikan hukum itu dan oleh karena itu pemerintah berhak memidana melalui alat-alat hukum pemerintah seperti hakim. Hak memidana itu merupakan atribut pemerintah, hanya yang mempunyai hak memerintah yang dapat memaksakan dan memberlakukan kehendaknya yang mempunyai hak memidana.

Menurut Beysens (A.Hamzah & Siti Rahayu, 1983:22), negara melalui hakim atau pemerintah berhak memidana karena:

1. Sudah menjadi kodrat alam itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara. Disinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar memerintah. Berdasarkan atas


(25)

hakekat dan manusia secara alamiah maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut dengan jalan menjatuhkan sengsara yang bersifat pembalasan itu.

2. Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan itu tidak boleh bersifat balas dendam, tetapi bersifat objektif memberi kerugian kepada seseorang karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim mempunyai kedudukan yang sebenarnya merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban tertentu. Sedangkan hak dan kewajiban adalah merupakan peran (role), dengan demikian seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu disebut sebagai pemegang peran (role occupant), suatu hak adalah kewenangan yang dialah menanggung beban atau tugas yang harus diemban.

Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka (1993:11) yang menyatakan bahwa hak merupakan role atau peran yang bersifat fakultatif. Kewajiban adalah role atau peranan yang sifatnya imperatif, karena tidak boleh tidak harus dilaksanakan.

Dalam mengkaji kewajiban notebene merupakan peran dari lembaga kehakiman kita juga harus melihat bagaimana tinjauan dari sosiologisnya. Menurut Soerjono Soekanto (1986:251) menjelaskan bahwa:

“Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan yang sebenarnya merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban tertentu. Sedangkan hak dan kewajiban adalah merupakan peran (role), dengan demikan seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu disebut sebagai pemegang peran (role occupant), suatu hak adalah kewenangan yang dialah menanggung beban atau tugas yang harus diemban”.


(26)

Melaksanakan kewajibannya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman, hakim mempunyai hak untuk menyatakan putusan guna memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan suatu perkara. Pada Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 butir 11 KUHAP ditentukan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan.

Kemudian apabila melihat dari ketentuan KUHAP ada 3 macam sifat putusan hakim, ke-3 macam putusan tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (1),(2),(3). 1. Putusan yang berisi pembebasan terdakwa dari dakwaan (vrijspizak)

2. Putusan yang berisi pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onsslag van alle rechtsvervolging)

3. Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling).

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya,

3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.

(Sudarto, 1990:55).

Hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana haruslah mempertimbangkan berat ringannya pengenaan pidana, serta hal yang dapat dijadikan pembebasan pidana dalam perkara yang dihadapi, agar sesuai dengan asas kehakiman yang


(27)

berlaku adil guna menciptakan keadilan, sehingga mencegah munculnya kecemburuan sosial akibat dari suatu putusan yang dianggap tidak adil dalam masyarakat, sehingga terjadi kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana.

Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi (2008:136) maka dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia, pidana merupakan satu masalah urgen untuk diperbaharui. Oleh sebab itu, dalam pembaharuan hukum pidana nasional yang dirumuskan dalam konsep KUHP 2010, jenis pidana dan aturan pemidanaan mengalami perombakan total yang signifikan serta mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia. Beberapa perkembangan mengenai pidana dan pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana nasional itu diantaranya sebagai berikut:

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Konsep KUHP menjelaskan bahwa tujuan pemidanaan yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

b. Teori Pedoman Pemidanaan

Pedoman pemidanaan dijelaskan dalam konsep KUHP dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pidana. Pedoman pemidanaan itu adalah hakim


(28)

harus memperhatikan kesalahan pelaku tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Sudarto (Barda Nawawi, 2008:140) memberikan pendapat mengenai teori tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP sebagai berikut:

“……..pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP Tahun 2010 bertolak dari pokok pemikiran bahwa:

(1) Hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system). Dirumuskannya aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan; (2) Secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu

rangkaian proses dan kebijaksanaan yang konkretisasinya sengaja dirancangkan melalui tahap formulasi oleh pembuat undang-undang, tahap aplikasi oleh aparat yang berwewenang dan tahap eksekusi atau aparat pelaksanaan pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan;

(3) Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.”

Berkaitan dengan hal tersebut, selain mencangkup teori tujuan pemidanaan dan teori pedoman pemidanaan, dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori dasar pertimbangan hakim. Adapun


(29)

teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus diberi sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dalam melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum, seorang hakim juga harus memperhatikan fakta kongkret dalam persidangan, karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, dibawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka


(30)

hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

Hukum acara pidana juga menjelaskan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa guna melawan putusan hakim yang dirasa kurang mencerminkan rasa keadilan. Menurut Ansorie (204:1990) upaya hukum adalah alat untuk melawan putusan pengadilan (vonis) apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan. Demikian pula dalam penjelasan KUHAP disebutkan bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan.

Maksud dari upaya hukum itu sendiri adalah untuk memperbaiki kesalahan yang diperbuat oleh instansi yang sebelumnya, untuk kesatuan dalam keadilan. Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan baik terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam.

Dalam KUHAP dikenal adanya 2 macam upaya hukum, yaitu: Upaya hukum biasa, terdiri dari:

1. Banding. 2. Kasasi.

Upaya hukum luar biasa, yaitu:

Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (herziening).


(31)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti (Soerjono Soekanto, 1986:132).

Agar dapat membatasi penulisan sehingga mengarah pada tujuan dan kegunaan penelitian, maka diberikan batasan yang digunakan dari istilah-istilah yang digunakan. Adapun konsep dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2004:29).

b. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 angka 11 KUHAP).

c. Hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

d. Pembebasan pidana adalah pencabutan tuntutan yang diakibatkan tidak terbuktinya unsur-unsur tindak pidana (Roeslan Saleh, 1983:87).


(32)

e. Peringanan pidana adalah pengurangan penjatuhan pidana oleh hakim, sepertiga dari hukuman yang diatur dalam perundang-undangan (Barda Nawawi, 2008:126).

f. Pemberatan pidana adalah penambahan sepertiga masa hukuman dari ketentuan perundang-undangan (Barda Nawawi, 2008:130)

g. Pidana adalah penderita yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Sudarto, 1990:9).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini


(33)

adalah menjelaskan tentang, kekuasaan hakim dalam memberikan pengenaan pidana dalam hal membebaskan, memberatkan, meringankan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang mendasari keputusan hakim dan upaya hukum apakah yang dapat ditempuh bagi para pihak yang tidak menerima putusan hakim dalam hal membebaskan, memberatkan, meringakan pengenaan pidana.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(34)

Hamzah, Andi, 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Arikha Media Cipta. Jakarta.

Hamzah, Andi & Siti Rahayu, 1983.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Iryanto, Tata dan Suharto. 2004. Kamus Bahasa Indonesia. Indah Surabaya. Surabaya.

Muladi dan Barda, Nawawi Arif, 1984.Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Diktat Fakultas Hukum Undip. Semarang.

Nawawi Arif, Barda, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media Group.Jakarta.

Sabuan, Ansorie, 1990. Hukum Acara Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1983.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Pres. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Prof. Purnadi Purbacaraka, 1993.Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip. Semarang.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

(http://antikorupsi.org/indo/content/view/7738/6/tanggal 10/4/2011 11:31 WIB/ Oksidelfa Yanto, Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Republika, 23 Maret 2006)


(35)

A. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Hakim

Berkaiatan dengan peranannya maka hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memiliki tugas dan wewenang dalam kapasitasnya menangani perkara sebagai berikut:

Pasal 20 ayat (3) KUHAP menentukan:

“Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan”.

Pasal 31 ayat (1) KUHAP menentukan:

“Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan hutang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditetukan”.

Pasal 154 ayat (6) KUHAP menentukan:

“Mengeluarkan “Penentapan” agar terdakwa yang tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya”.


(36)

Pasal 170 KUHAP menentukan:

“Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alasan atas permintaan orang yang karena pekerjaannya, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dan minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi”.

Pasal 174 ayat (2) KUHAP menentukan:

“Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi yang diduga telah memberikan keterangan palsu dipersidangan baik karena jabatanya atau atas permintaan Penuntut Umum atau terdakwa”.

Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP menentukan:

“Memerintahkan perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum secara singkat agar diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa setelah adanya pemeriksaan tambahan dalam waktu 14 hari akan tetapi Penuntut Umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan tersebut”.

Pasal 221 KUHAP menentukan:

“Memberikan penjelasan terhadap hukum yang berlaku, bila dipandang perlu di persidangan, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau Penasihat Hukumnya”.

Pasal 223 ayat (1) KUHAP menentukan:

“Memberikan perintah kepada seseorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar sidang”.


(37)

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan:

“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan”.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan:

(1) Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman dibidang hukum.

(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim.

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menentukan:

“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menjelaskan bahwa hakim memiliki kewajiban sebagai berikut:


(38)

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalahhak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

B. Pemidanaan Menurut Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Istilah hukuman dan pidana mempunyai arti yang sama dalam arti sebagai suatu sanksi atau ganjaran yang bersifat negatif, ia menimbulkan derita atau nestapa. Dalam sistem hukum kita, hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana harus lebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebutmullum delictum nulla poena sine praevia leqe poenalitercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Berdasarkan hal itulah letak perbedaan istilah hukuman lebih luas pengertiannya. Seseorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana.


(39)

1. Teori Pidana

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Sudarto, 1990:9). Asas legalitas hukum pidana Indonesia menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikian orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena harus dibuktikan kesalahannya dan apakah ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian seseorang dijatuhi pidana harus terlebih dahulu memenuhi unsur-unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.

Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang yang cukup luas. Hukuman atau pidana tidak hanya sering digunakan dalam hukum tetapi juga dalam bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh sebab itu pidana merupakan istilah yang bersifat umum. Jadi dengan demikian perlu adanya pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat khas dari pidana.

Pidana adalah penderitaan dan siksaan yang dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu untuk itu, atau penderitaan yang dengan sengaja dibebankan kepada orang yang telah dinyatakan bersalah karena telah melanggar dan melakukan kejahatan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Bambang Pornomo, 1993:2).


(40)

Pidana dapat juga diartikan sebagai suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan oleh penguasa berupa kerugian dan penderitaan kepada pelaku tindak pidana (Muladi, 1984:2).

Dari beberapa definisi pidana diatas dapatlah diperoleh pengertian bahwa pidana mempunyai unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1) Pidana itu hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan.

3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

(Muladi dan Barda Nawawi, 1984:4).

Menurut Sudarto (1990:91) untuk kesalahan seseorang sehingga dapat tidaknya ia dipidana harus memuat unsur-unsur sebagai berikut:

1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.

2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatan berupa kesengajaan atau kelalaian.

3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau pemaaf.

Pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran umum tidak boleh melebihi ketentuan yang ditetapkan terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukannya.

Ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) bahwa:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan tertentu perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.


(41)

Pasal 1 ayat (2) menentukan:

“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling menguntungkan atau yang paling ringan bagi terdakwa”.

Hal di atas menunjukan bahwa hukum pidana bukanlah merupakan suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum.

2. Jenis-jenis Pidana

Sifat dari hukum adalah memaksa dan dipaksakan, selanjutnya paksaan tersebut dilakukan untuk menjaga ketertiban umum. Lebih dari sifatnya yang memaksa, hukum pidana selain memberikan paksaan juga disertai dengan suatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 10, hukuman atau pidana terdiri atas:

a. Pidana (hukuman) pokok atau utama yang meliputi: 1) Pidana mati.

2) Pidana penjara;

(a) Pidana seumur hidup.

(b) Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).

3) Pidana kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun).


(42)

5) Pidana tutupan, yakni pidana yang diberikan atas dasar keadilan pribadi dan perbuatan serta tindak pidana yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

b. Pidana (hukuman) tambahan: 1) Pencabutan hak-hak tertentu. 2) Perampasan barang-barang tertentu. 3) Pengumuman putusan hakim.

Perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP tersebut adalah:

a. Pidana tambahan hanya ditambahkan pada pidana pokok. Pengecualiannya yakni pada perampasan barang-barang tertentu yang dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah. Ketentuan tersebut hanya mengenai barang-barang yang disita. Jadi terdapat pidana tambahan pada suatu tindakan, dan bukan pada pidana pokok.

b. Pidana tambahan tidak mempunyai sifat keharusan. Didalam menjatuhkan pidana tambahan hakim bebas untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan. Pengecualiannya adalah pada Pasal 250 bis, dan 275 KUHP yang memerintahkan supaya benda-benda yang menjadi objek dari kejahatan untuk dirampas, jadi hal ini bersifat imperatif.

c. Mulai berlakunya pencabutan hak tidak dengan suatu tindakan eksekusi. Ayat penghabisan Pasal 38 KUHP menentukan bahwa pidana tambahan mulai barlaku pada hari putusan hakim dijatuhkan.


(43)

Pidana tambahan gunanya untuk ditambahkan kepada pidana pokok yang dijatuhkan, pidana pokok yaitu:

a. Pencabutan beberapa hak tertentu yang dapat dicabut hanya yang tertentu saja. Artinya orang tidak mungkin akan dijatuhi pencabutan semua haknya, karena dengan demikian itu ia tidak akan dapat ditentukan dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:

1) Hak menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan; 2) Hak masuk pada kekuasaan bersenjata;

3) Hak memilih dan hak untuk boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut Undang-undang umum;

4) Hak menjadi penasihat, wali dan lain-lain; 5) Hak kuasa bapak dan sebagainya;

6) Hak melakukan pekerjaan yang ditentukan Undang-undang (Pasal 227 KUHP).

b. Perampasan barang-barang tertentu

Perampasan yang artinya mencabut hak milik atau suatu barang dari orang yang mempunyainya dan barang itu dijadikan milik pemerintah (untuk dirusak, atau dijual untuk negara). Barang-barang yang dapat dirampas ini menurut Pasal 39 KUHP dapat dibedakan atas dua macam yaitu:

1) Barang-barang (termasuk pula binatang) yang diperoleh dengan kejahatan, misalnya uang palsu yang diperoleh dengan melakukan kejahatan memalsukan uang, uang suap dan sebagainya.


(44)

2) Barang-barang (termasuk pula binatang) yang dengan sengaja dipakai melakukan kejahatan dengan syarat bahwa barang-barang itu kepunyaan terhukum dan digunakan untuk melakukan kejahatan.

c. Pengumuman putusan hakim

Pada hakikatnya semua putusan hakim itu senantiasa telah diucapkan dimuka umum, akan tetapi bila dianggap perlu, disamping itu sebagai pidana tambahan, putusan tersebut khusus akan disiarkan lagi sejelas-jelasnya dengan cara yang ditentukan oleh hakim.

d. Pemidanaan bersyarat

Hal ini diatur dalam Pasal 14a sampai 14f KUHP. Pemidanaan bersyarat itu dapat disebut pula “pemidanaan dengan perjanjian” atau “pemidanaan secara janggelan” artinya adalah menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi pidana ini tidak usah dijalani, kecuali di kemudian hari ternyata terpidana sebelum habis tempo percobaan berbuat satu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya oleh hakim. Jadi keputusan pidana tetap ada, akan tetapi hanya pelaksanaan pidana itu yang tidak dilakukan.

Selain jenis sanksi berupa pidana, dalam KUHP juga terdapat jenis sanksi yang berupa tindakan, yaitu:

a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena cacat jiwa atau terganggu karena penyakit.

b. Bagi anak yang belum berumur 16 tahun yang melakukan tindak pidana, maka hakim dapat menjatuhkan tindakan berupa:


(45)

1) Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau 2) Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah.

Maksudnya adanya jenis sanksi yang berupa tindakan dalam KUHP adalah untuk menjaga keamanan masyarakat terhadap orang-orang yang banyak atau sedikit dipandang berbahaya, dan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Perbedaan antara jenis sanksi yang berupa pidana dan jenis sanksi yang berupa tindakan yang terdapat dalam KUHP menurut Sudarto adalah bahwa:

“Pidana adalah pembalasan terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk melindungi masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi secara dogmatis pidana ini untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggungjawab tidak mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana. Terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:7).

3. Tujuan pemidanaan

Tujuan pemidanaan terbagi menjadi tiga jenis: 1) Teori mutlak (teori pembalasan)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan atau tindak pidana yang dilakukan seseorang. Ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak dari adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, terlepas dari manfaat yang harus dicapai.

Menurut C.S.T. Kansil (1989:269) menjelaskan bahwa penganut teori ini berpendapat bahwa dasar keadilan dari hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman


(46)

itu mutlak untuk membalas perbuatan itu (pembalasan). Orang yang berbuat jahat harus mendapat hukuman, dan hukuman yang adil itu adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Leo polak (Andi Hamzah, 1994:33) yang berpangkal pada etika berpendapat tiada seorangpun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya. Menurutnya pidana harus memenuhi 3 syarat:

a. perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi.

c. Sudah tentu bertanya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

2) Teori relatif (teori tujuan)

Menurut teori relatif suatu kajahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Memidana bukanlah sekedar untuk pembalasan saja tetapi mempunyai tujuan tertentu. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Johan Andreas (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:16) teori ini disebut juga sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Karena teori ini juga memasyarakatkan adanya tujuan dalam pemidanaan maka sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory).

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan). Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi 2 istilah, yakni:


(47)

1. Prevensi/pencegahan umum (Generale Preventie)

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:18).

Johan Andreas (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:20) terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu:

a. Pengaruh pencegahan;

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

c. pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum.

2. Prevensi/Pencegahan khusus (special preventive)

Prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana dijatuhkan terhadap terpidana, yang menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi. Fungsinya untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. Teori tujuan pidana ini dikenal pula dengan sebutan reformation ataurehabilitation theory(Muladi dan Barda Nawawi, 1984:22).

3) Teori Gabungan

Teori gabungan adalah suatu kombinasi dari teori mutlak dan teori relatif. Menurut teori gabungan, tujuan pemidanaan selain membahas kesalahan penjahat


(48)

juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi (Andi Hamzah,1994:23-24), yakni:

1. Teori gabungan menitik beratkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya berguna bagi masyarakat. Zevenbergen mengatakan, bahwa makna tiap-tiap pidana untuk melidungi tata hukum dan pemerintah.

2. Teori gabungan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.

3. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

Begitu juga Roeslan Saleh (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:24) mengemukakan bahwa pidana hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yakni:

a. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

b. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.

C. Putusan Pengadilan

1. Pengertian Putusan Pengadilan

Putusan atau pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa, putusan pengadilan merupakan


(49)

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Pengambilan putusan oleh hakim dipengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan itulah pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan. Dalam suatu persidangan di pengadilan seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana diluar batas-batas dakwaan (Andi Hamzah, 1994:167).

Walaupun suarat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim tidak terikat kapada surat dakwaan tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dengan demikian yang menjadi syarat bagi hakim untuk menjatuhkan putusan pidana terhadap suatu perkara pidana adalah:

1) Adanya alat bukti yang cukup dan sah. 2) Adanya keyakinan hakim.

Mengenai alat bukti yang sah, ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP bahwa: 1) Alat bukti yang sah ialah:


(50)

(b) Keterangan ahli; (c) Surat;

(d) Keterangan terdakwa;

2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Ditentukan dua persyaratan sebagaimana diatur dalam KUHAP diatas adalah bertujuan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Karena alat bukti yang terungkap dalam persidangan walaupun alat bukti tersebut berupa pengakuan terdakwa, tidak akan selalu membuktikan kebenaran, maka diperlukan juga adanya keyakinan hakim.

2. Macam-macam Putusan Hakim

Berdasarkan KUHAP putusan hakim dibagi menjadi beberapa macam, yakni: a. Keputusan pembebasan terdakwa.

Keputusan pembebasan terdakwa adalah keputusan hakim yang membebaskan terdakwa, atau memutuskan pembebasan bagi terdakwa. Putusan pembebasan terdakwa dijatuhkan karena peristiwa-peristiwa yang disebutkan surat dakwaan sebagian atau seluruhnya oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.

Dasar hukum dijatuhkannya putusan tersebut adalah Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.


(51)

b. Keputusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan.

Keputusan pelepasan terdakwa oleh hakim merupakan keputusan hakim yang memutuskan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum, karena perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dalam surat dakwaan memang terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan atau pelanggaran yang dapat dipidana.

Dasar hukum putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum adalah Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti. Tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

c. Keputusan pemidanaan terdakwa.

Keputusan ini adalah keputusan hakim yang memutuskan pemidanaan terhadap terdakwa, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan sebagaimana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya, dan perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran.

Dasar hukum keputusan tersebut adalah Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.


(52)

D. Hal yang Membebaskan, Meringankan, serta Memberatkan Pidana

1. Pembebasan Pidana

Pengertian terdakwa diputus bebas, yakni terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum atau dibebaskan dari pemidanaan, tegasnya terdakwa tidak dipidana (Barda Nawawi, 2008:105).

Dasar hukum atau pengaturan terhadap putusan bebas dirumuskan dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP, yakni:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Putusan pembebasan yang didasarkan pada penilaian hakim bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, artinya kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau kesalahan terdakwa yang didakwakan kepadanya tidak memenuhi ketentuan asas batas minimum pembuktian (Barda Nawawi, 2008:115).

Menurut Barda Nawawi (2008:115) putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim sebagai berikut:

1. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti. 2. Atau secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan

tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian.

3. Atas putusan bebas tersebut, bisa juga didasarkan atas penilaian kesalahan yang terbuti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim.


(53)

2. Peringanan Pidana

peringanan pidana adalah pengurangan sepertiga dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk pidana tertentu (Barda Nawawi, 2008:127). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat kejenis pidana yang lebih ringan.

Dalam buku kesatu Bab III KUHP pada Pasal 45-47 hanya mengatur tentang penjatuhan peringanan pidana tetapi tidak menjelaskan spesifikasi hal-hal yang meringankan pidana. Barda Nawawi Arief dalam bukunya “Kebijakan Hukum Pidana” merumuskan dalam konsep KUHP hal-hal yang meringankan pidana sebagai berikut:

1. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan pada waktu itu berumur 12 tahun atau lebih, tetapi masih dibawah 18 tahun.

2. Seseorang mencoba melakukan atau membantu terjadinya tindak pidana. 3. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela menyerahkan diri

kepada yang berwajib.

4. Seseorang wanita hamil muda melakukan tindak pidana.

5. Seseorang setelah melakukan tindak pidana, dengan sukarela memberi ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan akibat perbuatannya.

6. Seseorang melakukan tindak pidana karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi atau keluarga.


(54)

3. Pemberatan pidana

Dalam buku kesatu Bab III KUHP hanya terdapat dua Pasal yang mengatur masalah pemberatan pidana, yaitu Pasal 52 dan Pasal 52a. Pasal 52 menyatakan sebagai berikut:

“Bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Sedangkan Pasal 52a menyatakan sebagai berikut:

“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan, digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.

Selain kedua pasal tersebut, dalam KUHP dapat juga ditemukan dasar hukum lain yang merupakan alasan pemberat pidana, yaitu ketentuan yang mengatur masalah gabungan/perbarengan tindak pidana danrecidive.

Barda Nawawi (2008:130) juga merumuskan tentang hal yang memberatkan pidana dalam konsep KUHP sebagai berikut:

1. Pegawai negri yang melanggar suatu kewajiban jabatan yang khusus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan atau upaya yang diberikan kepadanya karena jabatannya.


(55)

2. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan atau lambang Negara Republik Indonesia.

3. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan keahlian atau profesinya.

4. Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak dibawah umur delapan belas tahun.

5. Tindak pidana dilakukan dengan kekuatan bersama, dengan kekerasan atau cara yang kejam.

6. Tindak pidana dilakukan pada waktu ada huru-hara atau bencana alam. 7. Terjadinya pengulangan tindak pidana.

Rancangan konsep KUHP dan KUHP yang berlaku saat ini tidak jauh berbeda, seperti hal yang disebut dalam sub 3, 5, 6, 7 selama ini dimasukkan dalam perumusan delik sebagai alasan pemberatan yang khusus, dan yang disebut dalam sub 1 dan 2 dimasukkan dalam aturan umum. Alasan ke-4 dapat dikatakan sebagai hal yang baru, karena selama ini belum diatur dalam KUHP. Hal ke-4 ini dimaksukkan sebagai alasan pemberatan pidana karena perbuatan tersebut dipandang dapat mempunyai pengaruh buruk terhadap pertumbuhan jiwa anak. Jadi dalam maksud melindungi anak, dalam arti mencegah agar anak tidak dilibatkan dalam melakukan tindak pidana.

E. Upaya Hukum

KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan Bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII.


(56)

1. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa terdiri dari 2 bagian, bagian pertama tentang Pemeriksaan Banding dan bagian kedua tentang Pemeriksaan Kasasi.

a. Banding

Jika Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian.

Kekecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP tersebut ialah sebagai berikut:

1. Putusan bebas (vrijspraak);

2. Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum;

3. Putusan pengadilan dalam acara cepat.

Tujuan banding sendiri digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu:

1. Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya. 2. Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu.

(Andi Hamzah, 292:1994)

Oleh karena itu, banding sering disebut juga revisi, pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian baru (judicium novum), jadi dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli, dan surat-surat baru. Menurut Andi Hamzah


(57)

(292:2008), KUHAP tidak melarang hal demikian, khususnya kalau melihat Pasal 238 ayat (4) KUHAP, yang menentukan:

“Jika dipandang perlu, Pengadilan Tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketehuinya”.

Begitu pula Pasal 240 ayat (1) KUHAP, yang menentukan:

“Jika Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan Pengadilan Negeri untuk memperbaiki hal itu atau Pengadilan Tinggi melakukannya sendiri”.

Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa acara pada pemeriksaan pertama tetap menjadi dasar pemeriksaan banding kecuali kalau ada penyimpangan-penyimpangan dan kekecualian-kekecualian.

b. Kasasi

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah casser yang artinya memecah (Andi Hamzah, 297:1994). Suatu putusan hakim dibatalkan demi hukum untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada ditangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.

Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di Negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas


(58)

pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya.

Menurut Andi Hamzah (298:1994) tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan Undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu:

1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);

2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya; 3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukannya peradilan menurut cara yang

ditentukan Undang-undang.

Dalam UUKK pada Pasal 50 ayat (1) menentukan sebagai berikut:

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang brsangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar hukum mengadili”.

Disinilah letak dasar hukum bahwa suatu putusan hakim itu harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu. Berdasarkan alasan-alasan-alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang ditentukan oleh Undang-undang yang menjadi dasar suatu putusan pengadilan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim).

Putusan-putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi terkadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh Undang-undang, kurang


(59)

adanya pertimbangan atau alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzuim), oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi oleh Mahkamah Agung dalam Putusan kasasi.

2. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa tercantum dalam Bab XVIII KUHAP, yaitu Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana.

Mengenai perkara pidana, diatur dalam Pasal 9, yang menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan, dengan alasan:

1. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan.

2. Apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara kepersidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.


(60)

Dibandingkan dengan ketentuan KUHAP, pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP maka terlihat hampir sama, ketentuan dalam KUHAP menentukan:

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagi putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.


(61)

Abidin, Zainal, 1987. Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni Bandung. Bandung.

Hamzah, Andi, 1994. Hukum Acara Pidana Indonesia. Arikha Media Cipta. Jakarta.

Kansil, C.S.T, 1989.Pengantar Ilmu Hukum. Reality Publisher. Surabaya. Moeljatno, 2008.Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta Muladi dan Barda, Nawawi Arif, 1984.Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Diktat

Fakultas Hukum Undip. Semarang.

Nawawi Arif, Barda, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media Group. Jakarta.

Saleh, Ruslan, 1987.Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. Sudarto, 1990.Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip.

Semarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(62)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah secara yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah peraturan perundang-undangan, asas-asas teori dan konsep-konsep yang berkaitan dengan putusan hakim dalam hal membebaskan, meringankan atau memberatkan pengenaan pidana. Selain itu juga dengan melihat literatur-literatur ilmu hukum dan artikel yang berhubungan dengan pokok bahasan.

B. Sumber dan Jenis data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier (Soerjono Soekanto, 1986:52). Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:


(63)

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media masa, artikel, makalah, naskah, paper, internet dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberi atau mengetahui secara jelas atau menjadi sumber informasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2004:178). Metode penentuan narasumber dalam penentuan dan pengambilan narasumber berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian , jadi narasumber yang ditentukan oleh peneliti sesuai dengan pertimbangan maksud dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Adapun narasumber sebagai bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 orang. 2. Dosen Fakultas Hukum Unila 2 orang.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Iryanto, Tata dan Suharto. 2004. Kamus Bahasa Indonesia. Indah Surabaya. Surabaya.

Muhammad, Abdulkaadir, 2004.Hukum dan Penelitian Hukum. Pt. Citra Aditya Bakti.Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Pres.Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Unila, 2007.Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila. Bandar Lampung

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, 1987. Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni Bandung. Bandung.

Hamzah, Andi, 1994. Hukum Acara Pidana Indonesia. Arikha Media Cipta. Jakarta.

Kansil, C.S.T, 1989.Pengantar Ilmu Hukum. Reality Publisher. Surabaya. Moeljatno, 2008.Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta Muladi dan Barda, Nawawi Arif, 1984.Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Diktat

Fakultas Hukum Undip. Semarang.

Nawawi Arif, Barda, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media Group. Jakarta.

Saleh, Ruslan, 1987.Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. Sudarto, 1990.Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip.

Semarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2002.Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2 (Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas). Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2000.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Edisi 2 (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali).Sinar Grafika. Jakarta.

Sarwoko, joko. 2006.Varia Peradilan Majalah Hukum. Ikatan Hakim Indonesia IKAHI. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993.Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip. Semarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(4)

✶ ✷

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang mendasari putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana antara lain:

a. Hakim dalam mengeluarkan putusan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan sebagai dasar menentukan suatu putusan, baik itu dalam aturan umum KUHP, delik-delik khusus dalam KUHP maupun diluar KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan karena dalam pelaksanaan hukuman seorang penegak hukum dalam menjatuhkan pidana harus berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang sistem pemidanaan.

b. Faktor struktur penegak hukum berpengaruh besar terhadap suatu putusan yang akan dikeluarkan oleh hakim, karena dalam suatu proses peradilan seorang penegak hukum memiliki peranan yang sangat penting, dari proses penyelidikan, penyidikan guna mencari fakta-fakta dalam suatu peristiwa pidana, keterangan terdakwa dan saksi, alat bukti, unsur-unsur tindak pidana, serta menentukan rumusan delik dalam undang-undang yang


(5)

✸ ✹

bertautan dengan perbuatan terdakwa untuk didakwakan kepadanya, hal itu yang menjadi dasar penilaian hakim dalam memutus perkara, sehingga jika struktur penegak hukum lemah dalam merumuskan dakwaan terjadi ketidak tepatan rumusan dakwaan dan tidak dapat dibuktikan dipersidangan, menyebabkan terdakwa lepas dari jeratan hukum.

c. Hakim dalam mengeluarkan putusan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang berkembang dimasyarakat dan pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarga korban, selain itu hakim dalam mengeluarkan putusan dengan memperhatikan tindak pidana yang dilakukan, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku dalam melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, serta pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku.

d. Faktor diri hakim sendiri mempengaruhi putusan yang akan dikeluarkan, baik yang bersifat internal yaitu latar belakang sosial, pendidikan agama, pengalaman dan prilaku sosial dan yang bersifat eksternal yaitu pengaruh-pengaruh politik, ekonomi, dan sosial.

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan bagi para pihak yang tidak menerima atas putusan hakim yang telah dijatuhkan antara lain:

a. Banding b. Kasasi

c. Peninjauan kembali

Banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa yang diatur dalam KUHAP Bab XVII, sedangkan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa


(6)

✺ ✻

yang diatur dalam KUHAP Bab XVIII, yang hanya dapat diajukan jika putusan hakim tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan putusan hakim dalam hal membebaskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana sebagai berikut:

1. Putusan hakim adalah gambaran dari kinerja hakim. Dalam menetapkan suatu putusan hendaknya seorang hakim harus bersandar pada nilai yang hidup di masyarakat, meletakan mata dan hati dalam masyarakat sehingga tidak hanya berpaku pada Undang-undang saja. Oleh karena itu kemampuan hakim dalam menggali peristiwa hukum harus lebih dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan kreatif dalam menemukannya, karena itu yang akan dijadikan dalam fakta persidangan guna menjadi acuan dalam mempertimbangkan suatu putusan selain dari ketentuan Undang-undang, sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dapat mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan pandangan negatif pada masyarakat.

2. Terhadap upaya hukum yang dapat dilakukan bagi para pihak yang kurang menerima atas putusan hakim, hendaknya proses upaya hukum tersebut dipermudah dan tidak terbelit-belit. Sehingga memudahkan bagi para pihak yang kurang menerima putusan hakim tersebut untuk mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya.


Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TIDAK MEMBEBASKAN DAKWAAN SELAIN YANG TERBUKTI (Putusan P. N Pematang Siantar ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TIDAK MEMBEBASKAN DAKWAAN SELAIN YANG ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TIDAK MEMBEBASKAN DAKWAAN SELAI

0 2 17

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KEADAAN MEMBERATKAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (PUTUSAN NOMOR 553/PID.B/2013/PN.JR)

0 5 16

HAL-HAL YANG MEMBERATKAN DAN HAL-HAL YANG MERINGANKAN DALAM MENJATUHKAN PIDANA KEPADA TERDAKWA (Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor : 147/Pid.B/2013/PN.Lwk)

0 4 16

PENGGALIAN PUTUSAN HAKIM: PENERAPAN UNSUR MEMPERKAYA DAN/ATAU MENGUNTUNGKAN Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi.

0 2 16

PENGGALIAN PUTUSAN HAKIM: PENERAPAN UNSUR MEMPERKAYA DAN/ATAU MENGUNTUNGKAN Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi.

0 2 24

PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH TUNTUTAN PENUNTUT UMUM MESKIPUN TERDAPAT HAL YANG MEMBERATKAN DALAM PERKARA PENGANIAYAAN BERAT.

0 0 14

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMBEBASKAN PELAKU YANG DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk)

0 3 14

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Nomor: 06-KPMIII-16ALI2017)

0 3 91

UPAYA KASASITERHADAP KEKURANGAN PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI HAL-HAL YANG MEMBERATKAN DAN YANG MERINGANKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PERBANKAN SECARA BERLANJUT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1152K/PID.SUS/2016) - UNS Institutional Repository

0 0 12